Anda di halaman 1dari 30

TUGAS KELOMPOK MAKALAH

“Hukum Perkawinan dan Waris Berdasarkan Buku I dan II Kompilasi Hukum Islam”

Nama/Npm

1. Rizki Dwi Kusuma : 1810631010238

2. Ramadhina Krisna MP :1810631010274

3. Rizky Dwi Novaldi :1810631010088

4. Dwiki : 1810631010214

Dosen :

Dr. H. TADJUDIN NOR

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG


2019

DAFTAR PUSTAKA
BAB I ...................................................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN .................................................................................................................................. 3
A. Latar Belakang .................................................................................................................... 3
A. Rumusan Masalah.......................................................................................................... 6
BAB II ..................................................................................................................................................... 7
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................................................... 7
A. Kompilasi Hukum Islam ................................................................................................... 7
BAB III .................................................................................................................................................. 10
OBJEK PENELITIAN ......................................................................................................................... 10
A. Pasal-Pasal Perkawinan yang Termuat dalam Kompilasi Hukum ...................... 10
Islam ................................................................................................................................................ 10
1. Shighat (Ijab-Qabul) .............................................................................................................. 10
2. Sifat-sifat/ syarat calon kedua mempelai yang baik ......................................................... 12
3. Wali .......................................................................................................................................... 12
4. Saksi ........................................................................................................................................ 13
B. Pasal-Pasal Pewarisan yang Termuat dalam Kompilasi Hukum ......................... 13
Islam ................................................................................................................................................ 13
· Bab I memuat 1 pasal tentang “Ketentuan Umum”. ........................................................... 14
· Bab II memuat 4 pasal tentang “Ahli Waris” ........................................................................ 14
· Bab III memuat 16 pasal tentang ”Besarnya Bagian” ........................................................ 15
· Bab IV memuat 2 pasal tentang ” ‘Aul dan Radd” .............................................................. 18
· Bab V memuat 16 pasal tentang Wasiat; ............................................................................. 19
· Bab VI memuat 5 pasal tentang “Hibah”. ............................................................................. 23
BAB IV.................................................................................................................................................. 24
PEMBAHASAN ................................................................................................................................... 24
A. Kasus Perkawinan dalam KHI ....................................................................................... 24
B. Kasus Pewarisan dalam KHI ......................................................................................... 25
BAB V ................................................................................................................................................... 28
PENUTUP ........................................................................................................................................... 28
A. Kesimpulan ........................................................................................................................ 28
B. Saran ................................................................................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 29
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah unsur paling mayoritas.

dalam tataran dunia Islam internasional, umat Islam Indonesia bahkan dapat disebut

sebagai komunitas muslim paling besar yang berkumpul dalam satu batas teritorial

kenegaraan.

Kehadiran Kompilasi Hukum Islam sebagai jaminan pelaksanaan hukum agama Islam

dalam kehidupan bernegara, dilihat dari sudut pandang politik hukum menampakkan dua

hal. Pertama Kompilasi Hukum Islam, yang berlaku khusus bagi umat Islam. Menunjukkan

bahwa dalam rangka pembinaan hukum nasional, unifikasi hukum sebagai pelaksanaan

wawasan nusantara tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya (secara kaku), demi kepentingan

yang harus lebih dijamin yaitu kepentingan untuk memberikan ruang gerak bagi kesadaran

hukum masyarakat terhadap hukum agama

Manusia dalam perjalanan hidupnya mengalami tiga peristiwa yang penting; waktu

dilahirkan, waktu kawin, waktu dia meninggal dunia. Pada saat orang dilahirkan tumbuhlah

tugas baru dalam kehidupan (keluarganya). Demikianlah di dalam artian sosiologis, ia

menjadi pengembangan hak dan kewajiban. Kemudian setelah dewasa, ia akan

melangsungkan perkawinan yang bertemu dengan lawan jenisnnya untuk membangun dan

menunaikan dharma bhaktinya yaitu kelangsungan keturunan. Selanjutnya, manusia pada

akhirnya akan mengalami kematian meninggalkan dunia fana ini. Timbulah persoalan
setelah orang meniggal dunia, apakah yang terjadi dengan segala sesuatunya yang

ditinggalkan

Konsep pernikahan seperti didefinisikan para ulama fiqih, ditengarai memiliki

implikasi besar terhadap bangunan rumah tangga yang dikonstruksi berdasarkan konsep

nikah dimaksud. Hampir semua ulama memahami pernikahan sebagai perikatan kontraktual

semata, yang pada intinya adalah penghalalan perilaku dan hubungan seksual.[1] Konsep

kepemilikan (milk) dalam perikatan pernikahan, baik milk al-raqabah (memiliki sesuatu

secara keseluruhan seperti kepemilikan terhadap benda dengan jalan jual beli), milk al-

manfa’at (memiliki kemanfaatan suatu benda dengan cara menyewa) maupun milk al-intifa’

(memiliki penggunaan sesuatu tanpa orang lain berhak menggunakannya) mengacu kepada

perilaku seksualitas dimaksud.

Pernikahan tidak harus dimaknai sebagai ‘aqd al-tamlik (perikatan kepemilikan)

tetapi sebagai ‘aqd al-ibahah yakni kontrak kebolehan, dalam hal ini,

menggunakan/membolehkan penggunaan alat reproduksi perempuan yang sebelumnya

diharamkan. Konsep pernikahan yang dipahami sebagai ‘aqd al-tamlik (perikatan

kepemilikian),[2] berimplikasi bahwa isteri adalah milik suami seutuhnya. Dalam konteks ini,

isteri tidak memiliki posisi tawar (bargaining position) untuk mengatur atau mengurus dirinya

sendiri. Hal ini, karena ketaatan mutlak yang diinginkan oleh konsep pernikahan ‘aqd al-

tamlik, tidak memberikan ruang bagi isteri untuk menolak atau sekedar mempertimbangkan

tentang apa yang seharusnya atau yang tidak seharusnya dilakukan olehnya. Implikasi lebih

jauh dari konsep ini adalah rentan terjadinya kekerasan dalam rumah tanga (KDRT), yang

dalam konteks ini dilakukan oleh suami terhadap isterinya. Sedangkan konsep pernikahan

yang dipahami sebagai ‘aqd al-ibahah, memungkinkan isteri memiliki posisi tawar

(bargaining position) untuk melakukan pilihan-pilihan perbuatan tertentu sesuai dengan

1
Abdurrahman al-Jaziri. Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba‟ah. Istambul: Dar al-Da‟wah, vol.IV, 2. Pernikahan
tidak harus dimaknai sebagai ‘aqd al-tamlik (perikatan kepemilikan) tetapi sebagai ‘aqd al-ibahah yakni
kontrak kebolehan, dalam hal ini, 84
2
Hussein Muhammad. Pandangan Islam Tentang Seksualitas, Makalah Seminar Gender dan Islam, Surabaya,
2004.
keinginannya dengan menjaga kehormatan dan proporsinya sebagai seorang isteri.3 Hal ini

karena, dalam konsep ini, isteri memiliki otoritas dan penguasaan atas dirinya, sehingga ia

leluasa mengekspresikan dirinya dalam mengarungi bahtera pernikahan, termasuk dalam

hal yang spesifik, hubungan seksual.

Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak didefinisikan secara rinci pengertian

pernikahan. Sebagaimana disebutkan pada pasal 12 Bab II, KHI mengambil definisi

sebagaimana yang ditunjuk al-Qur‟an bahwa pernikahan merupakan akad yang sangat kuat

atau mitsaqan ghalidzan, untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan

ibadah.[4]

Ketika pernikahan dimaknai sebagai ikatan yang demikian kuat dan mendalam

(mitsaqan ghaliidzan), maka ia memiliki makna yang kuat, baik hakiki maupun implikasinya.

Namun permasalahnnya adalah bahwa ketentuan dari pernikahan, masih banyak yang bias

gender sehingga mereduksi keagungan pernikahan itu sendiri. Dalam konteks ini misalnya

dapat dilihat konsep peminangan yang harus dilakukan pihak laki-laki (pasal 11-12), wali

yang disyaratkan laki-laki (pasal 20), saksi yang juga laki-laki (pasal 25), perjanjian

perkawinan (pasal 45), dan beristeri lebih dari satu orang (pasal 55).[5] Berdasarkan pada

butir-butir pasal di atas, terdapat reduksi-reduksi makna hakiki perkawinan. Hal ini

selanjutnya berimplikasi terhadap bangunan rumah tangga, yang dalam banyak kasus juga

dapat menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga karena adanya dominasi satu pihak

atas pihak lain.

Selain perkawinan diatur pula sistem waris dalam KHI. Hukum waris merupakan

salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil

dari hukum kekeluargaan. Hukum waris erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan

manusia, sebab setiap manusia akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan

kematian mengakibatkan masalah bagaimana penyelesaian hak-hak dan kewajiban .

3
Ibid. 213
4
QS. Al-Nisa‟:21. Pengertian ini pula yang diadopsi oleh pasal 12 bab II Kompilasi Hukum Islam (KHI)
5
Kompilasi Hukum Islam (KHI) ditetapkan berdasarkan Instruksi Presiden RI Nomor 1 tahun 1991, yang
ditindaklanjuti dengan Keputusan menteri Agama RI Nomor 154 tahun 1991.
Sebagaimana telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukup Perdata (KUHPerdata) buku

kedua tentang kebendaan dan juga dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) buku kedua

tentang kewarisan.

A. Rumusan Masalah

1. Bagaimana hukum perkawinan berdasarkan kompilasi hukum islam yang berlaku

di Indonesia ?

2. Bagaimana hukum kewarisan berdasarkan kompilasi hukum islam yang berlaku di

Indonesia ?
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kompilasi Hukum Islam

Kompilasi Hukum Islam adalah seperangkat ketentuan hukum Islam yang senantiasa

menjadi rujukan dasar bagi terciptanya masyarakat berkeadilan, yang menjunjung nilai-nilai

kemanusiaan, menghargai hak-hak kaum perempuan, meratanya nuansa kerahmatan dan

kebijaksanaan, serta terwujudnya kemaslahatan bagi seluruh umat manusia. Semua

ketentuan tersebut hendak digali dan dirumuskan dari sumber-sumber Islam yang otoritatif,

al-Qur’ân dan al-Sunnah, melalui pengkajian terhadap kebutuhan, pengalaman, dan

ketentuan-ketentuan yang hidup dalam masyarakat Indonesia, khazanah intelektual klasik

Islam, dan pengalaman peradaban masyarakat Muslim dan Barat di belahan dunia yang

lain.

Kompilasi Hukum Islam terbentuk dengan cara menghimpun dan menseleksi berbagai

pendapat fiqh mengenai persoalan kewarisan, perkawinan dan perwakafan dari kitab-kitab

fiqh yang berjumlah 38 kitab6

Pada akhir dekade 1980-an terdapat dua peristiwa penting berkenaan dengan

perkembangan hukum dan peradilan Islam di Indonesia. Pertama, pada tanggal 25 Pebruari

1988, ulama Indonesia telah menerima tiga rancangan buku Kompilasi Hukum Islam.

Rancangan kompilasi itu, pada tanggal 10 Juni 1991, mendapat legalisasi pemerintah dalam

bentuk Instruksi Presiden kepada Menteri Agama untuk digunakan oleh instansi pemerintah

6
Marzuki Wahid & Rumadi, Fiqh Madzab Negara, Yogyakarta: LKIS, 2001, Hal 155
dan oleh masyarakat yang memerlukannya. Instruksi itu dilaksanakan dengan Keputusan

Menteri Agama Nomor 154 tanggal 22 Juli 1991.Kedua, pada tanggal 29 Desember 1989

disahkan dan diundangkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Kedua peristiwa itu merupakan suatu rangkaian yang saling berhubungan dan saling

melengkapi. Kompilasi Hukum Islam disusun dan dirumuskan untuk mengisi kekosongan

hukum substansial, yang diberlakukan pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.

Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, antara lain diatur tentang

kekuasaan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Dengan demikian, secara

yuridis hukum Islam di bidang perkawinan, kewarisan dan perwakafan menjadi hukum positif

tertulis dalam sistem hukum nasional (tata hukum Indonesia).

. KHI yang tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, dilaksanakan

dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991. penyusunan KHI mengenai

perkawinan didasarkan pada Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-undang

Nomor 32 Tahun 1954 dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Peraturan Pemerintah

Nomor 9 Tahun 1975. Sedangkan yang berhubungan dengan bidang kewarisan tidak

ditemukan peraturan perundang-undangan yang dijadikan rujukan. Namun demikian, dapat

ditemukan dalam yurisprudensi yang memuat bagian-bagian tertentu dari hukum kewarisan.

Hal itu menunjukkan bahwa KHI merupakan hukum positif Islam untuk melaksanakan

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ia memiliki konsistensi dengan peraturan

perundang-undangan yang kedudukannya lebih tinggi. Tahapan pengumpulan bahan baku

dalam penyusunan KHI dilakukan melalui beberapa jalur sebagai berikut :

Penelaahan 38 kitab fikih dari berbagai mazhab, mencakup 160 masalah hukum keluarga.

 Penelaahan kitab fikih itu dilakukan para pakar di tujuh IAIN.

 Wawancara dengan 181 ulama yang tersebar di sepuluh daerah hukum Pengadialn

Tinggi agama waktu itu (Aceh, Medan, Padang, Palembang, Bandung, Surakarta,

Surabaya, Banjarmasin, Ujung Pandang, dan Mataram).


 Penelaahan produk pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama yang terhimpun

dalam 16 buah buku. Ia terdiri atas empat jenis, yakni himpunan putusan PTA,

himpunan fatwa pengadilan, himpunan yurisprudensi Pengadian Agama, dan law

report tahun 1977 sampai tahun 1984.

 Kajian perbandingan hukum keluarga yang berlaku di Maroko, Mesir, dan Turki.

Dalam perumusan Kompilasi Hukum Islam, secara substansial, dilakukan dengan

mengacu kepada sumber hukum Islam, yaitu al-Qur’an dan Sunnah Rasul; dan secara

hirarkial mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di samping itu,

para perumus KHI memperhatikan perkembangan yang berlaku secara global serta

memperhatikan tatanan hukum Barat tertulis (terutama hukum Eropa Kontinental) dan

tatanan hukum Adat, yang memiliki titik temu dengan tatanan hukum Islam. Berkenaan

dengan hal itu, dalam beberapa hal, maka terjadi adaptasi dan modifikasi tatanan hukum

lainnya itu ke dalam KHI. Dengan demikian, KHI merupakan suatu perwujudan hukum Islam

yang khas di Indonesia. Atau dengan perkataan lain, KHI merupakan wujud hukum Islam

yang bercorak keindonesiaan.


BAB III

OBJEK PENELITIAN

A. Pasal-Pasal Perkawinan yang Termuat dalam Kompilasi Hukum

Islam

Di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 14 menyatakan bahwa untuk melaksanakan

perkawinan harus ada : (1) Calon suami, (2) Calon istri, (3) Wali nikah, (4) Dua saksi, (5) Ijab

dan Qobul.7

1. Shighat (Ijab-Qabul)

Pengertian akad nikah menurut KHI dalam pasal 1 bagian c akad nikah ialah:

rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan Kabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau

wakilnya disaksikan oleh 2 orang saksi.

Syarat bentuk kalimat ijab dan Qabul: para fuqaha’ telah mensyaratkan harus dalam

bentuk madzi (lampau) bagi kedua belah pihak. Atau salah satunya dengan bentuk madhi,

sedangkan lainnya berbentuk mustaqbal (yang datang). Contoh untuk bentuk pertama

adalah si wali mengatakan, Uzawwajtuka ibnatii (aku nikahkan kamu dengan putriku),

sebagai bentuk madhi. Lalu si mempelai laki-laki menjawab, Qabiltu (aku terima), sebagi

bentuk madhi juga. Sedangkan contoh bagi bentuk kedua adalah si wali mengatakan:

7
UU RI nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawianan dan Kompilasi Hukum Islam (Bandung : Citra Umbara),
232
Uzawwijuka ibnatii (aku akan menikahkanmu dengan putriku), sebagai bentuk mustakbal.

Lalu si mempeli laki-laki menjawab: Qabiltu (aku terima nikahnya), sebagai bentuk madhi.8

Mereka mensyaratkan hal itu, karena adanya persetujuan dari kedua belah pihak

merupakan rukun yang sebenarnya bagi akad nikah. Sedangkan Ijab dan Qabul hanya

merupakan manifestasi dari persetujuan tersebut. Dengan kata lain kedua belah pihak harus

memperlihatkan secara jelas adanya persetujuan dan kesepakatan tersebut pada waktu

akad nikah berlangsung. Adapun bentuk kalimat yang dipakai menurut syari’at bagi sebuah

akad nikah adalah bentuk madhi. Yang demikian itu, juga karena adanya persetujuan dari

kedua belah pihak yang bersifat pasti dan tidak mengandung persetujuan lain.

Menurut Kompilasi Hukum Islam :

pasal 27 :

1. Ijab dan Qabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak

berselang waktu.

pasal 28 :

1) Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan.

Wali nikah dapat mewakilkan pada orang lain.

Pasal 29 :

(1) Yang berhak mengucapkan Qabul ialah calon mempelai pria secara pribadi.

(2) Dalam hal-hal tertentu ucapan Qabul nikah dapat dilakukan pada pria lain dengan

ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa

penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria.9

8
Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqh Wanita, terj. Abdul Ghoffar (Jakarta, Pustaka al- Kautsar), 404
2. Sifat-sifat/ syarat calon kedua mempelai yang baik

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 15 ayat 1 menyatakan bahwa: untuk kemasahatan

keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah

mencapai umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7 UU No 1 tahun 1974 yakni calon suami

berumur 19 tahun dan calon istri sekurangnya berumur 16 tahun.

Dalam pasal 16 ayat 1: perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai.

3. Wali

Wali adalah rukun dari beberapa rukun pernikahan yang lima, dan tidak syah nikah

tanpa wali laki-laki. Dalam KHI pasal 19 menyatakan wali nikah dalam perkawinan

merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk

menikahkannya.

Wali dapat di pindah oleh hakim bila:

1. Jika terjadi pertentangan antar wali.

2. Jika tidak adanya wali, ketidak adanya di sini yang dimaksud adalah benar-

benar tidak ada satu kerabat pun, atau karena jauhnya tempat sang wali

sedangkan wanita sudah mendapatkan suami yang kufu’.

Pasal 20 ayat 1 menyatakan yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang

memenuhi syarat hukum Islam yakni, muslim, aqil, baligh. Wali nikah terdiri dari: wali nasab

dan wali hakim. Pada pasal 21 dibahas empat kelompok wali nasab yang pembahasanya

sama dengan fikih Islam seperti pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas.

Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki saudara kandung, seayah dan keturunan laki-laki

mereka. Ketiga, kelompok kerbat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara

seayah dan keturunan laki-laki mereka. Kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara

9
Ibid, 236.
laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka. Menyangkut dengan wali hakim

dinyatakan pada pasal 23 yang berbunyi:

1. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada

atau tidak mungkin menghadiri atau tidak diketahui tempat tinggal atau ghaibnya

atau ‘adhalnya atau enggan.

2. Dalam hal wali ‘adhal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai

wali nikah setelah ada putusan pengadilan agama tentang wali tersebut

4. Saksi

KHI menyatakan Dalam pasal 24 ayat 1 saksi dalam perkawinan merupakan rukun

pelaksanaan akad nikah. Dalam KHI pasal 26 saksi harus hadir dan menyaksikan secara

langsung akad nikah serta menandatangani akta pada waktu dan ditempat akad nikah

dilangsungkan. Dalam KHI pasal 24 ayat 2: setiap perkawinan harus disaksikan 2 orang

saksi. KHI menyatakan Dalam pasal 24 ayat 1: saksi dalam perkawinan merupakan rukun

pelaksanaan akad nikah.

B. Pasal-Pasal Pewarisan yang Termuat dalam Kompilasi Hukum

Islam

KHI yang merupakan kumpulan materi/bahan hukum Islam yang tersebardi perbagai

kitab fikih klasik, di samping bahan-bahan lain yang berhubungan,kemudian diolah melalui

proses dan metode tertentu, lalu dirumuskan dalambentuk yang serupa perundang-

undangan (yaitu dalam pasal-pasal tertentu) lahirberdasarkan atas landasan Instruksi

Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tertanggal 10Juni 1991. Khusus mengenai buku II tentang

hukum kewarisan, KHI memuat enam, bab43 pasal, terhitung mulai pasal 171 sampai

dengan pasal 214 dengan perincian sebagai berikut:


· Bab I memuat 1 pasal tentang “Ketentuan Umum”.

Pasal 171

a. Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentangpemindahan hak pemilikan harta

peninggalan (tirkah)pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahliwaris dan

berapa bagiannya masing-masing.

b. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnyaatau yang dinyatakan meninggal

berdasarkan putusanPengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan

harta peninggalan.

c. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal duniamempunyai hubungan darah

atau hubungan perkawinandengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena

hukum untuk menjadi ahli waris.

d. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan olehpewaris baik yang berupa harta

benda yang menjadimiliknya maupun hak-haknya.

e. Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dariharta bersama setelah

digunakan untuk keperluanpewaris selama sakit sampai meninggalnya, biayapengurusan

jenazah (tahjiz), pembayaran utang danpemberian untuk kerabat.

· Bab II memuat 4 pasal tentang “Ahli Waris”

Pasal 172

Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dankartu identitas atau pengakuan

atau amalan atau kesaksian,sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum

dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.

Pasal 173
Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusanHakim yang telah mempunyai

kekuatan hukum yang tetap, dihukum

karena:

a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencobamembunuh atau menganiaya berat pada

pewaris.

b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukanpengaduan bahwa pewaris telah

melakukan suatu kejahatanyang diancam dengan hukum 5 tahun penjara atau hukuman

yang lebih berat.

Pasal 174

Ayat (1), kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:

a. Menurut hubungan darah:

1) Golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki- laki, paman dan kakek

2) Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek.

Ayat (2), apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya: anak,

ayah, ibu, janda atau duda.

Pasal 175

Ayat (1), kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah:

a. Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai.

b. Menyelesaikan baik utang-utang berupa pengobatan, perawatan termasuk kewajiban

pewaris maupun menagih piutang.

c. Menyelesaikan wasiat pewaris.

d. Membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak.

Ayat (2), tanggung jawab ahli waris terhadap utang ataukewajiban pewaris hanya terbatas

pada jumlah atau nilai harta peninggalannya.

· Bab III memuat 16 pasal tentang ”Besarnya Bagian”

Pasal 176
Anak perempuan bila hanya seorang, ia mendapat separoh bagian,bila dua orang atau

lebih, mereka bersama-sama mendapat duapertiga bagian, dan apabila anak perempuan

bersama-sama dengananak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding

satu dengan anak perempuan.

Pasal 177

Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkananak. Bila ada anak, ayah

mendapat seperenam bagian.

Pasal 178

Ayat (1), ibu mendapat seperempat bagian bila ada anak atau duasaudara atau lebih. Bila

tidak ada anak atau dua orang saudara ataulebih, maka ia mendapat sepertiga bagian.

Ayat (2), ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambiloleh janda atau duda bila

bersama-sama dengan ayah.

Pasal 179

Duda mendapat separoh bagian, bila pewaris tidak meninggalkananak.Dan bila pewaris

meninggalkan anak, maka dudamendapat seperempat bagian.

Pasal 180

Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidakmeninggalkan anak.Dan bila pewaris

meninggalkan anak, makajanda mendapat seperdepalapan bagian.

Pasal 181

Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, makasaudara laki-laki dan

saudara perempuan seibu masing-masingmendapat seperenam bagian.Bila mereka itu dua

orang ataulebih maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga bagian.

Pasal 182

Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan ayah dan anak,sedang ia mempunyai satu

saudara perempuan kandung atauseayah, maka ia mendapat separoh bagian. Bila saudara

perempuantersebut bersama-sama dengan saudara perempuan kandungatau seayah dua


orang atau lebih, maka mereka bersama-samamendapat dua pertiga bagian.Bila saudara

perempuantersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atauseayah, maka

bagian saudara laki-laki adalah dua berbanding satudengan saudara perempuan.

Pasal 183

Pada ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalampembagian harta warisan,

setelah masing-masing menyadari bagiannya.

Pasal 184

Bagi ahli waris yang belum dewasa atau tidak mampumelaksanakan hak dan kewajibannya,

maka baginya diangkatwali berdasarkan keputusan Hakim atas usul anggota keluarga.

Pasal 185

Ayat (1), ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripadasi pewaris maka kedudukannya

dapat digantikan oleh anaknya,kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173

Ayat (2), bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihidari bagian ahli waris yang

sederajat dengan yang diganti.

Pasal 186

Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungansaling mewaris dengan

ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.

Pasal 187

Ayat (1), bilamana pewaris meninggalkan harta peninggalan,maka oleh pewaris semasa

hidupnya atau oleh para ahli waris dapatditunjuk beberapa orang sebagai pelaksana

pembagian harta warisandengan tugas:

a. Mencatat dalam suatu daftar harta peninggalan, baikberupa benda bergerak maupun

tidak bergerak yang kemudiandisahkan oleh para ahli waris yang bersangkutan, bila perlu

dinilai harganya dengan uang.

b. Menghitung jumlah pengeluaran untuk kepentinganpewaris sesuai dengan pasal 175 ayat

(1) sub a, b, dan c.

Ayat (2), sisa dari pengeluaran dimaksud di atas adalahmerupakan harta warisan yang

harus dibagikan kepada ahli warisyang berhak.


Pasal 188

Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapatmengajukan

permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukanpembagian harta warisan. Bila ada

di antara ahli warisyang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutandapat

mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untukdilakukan pembagian harta warisan.

Pasal 189

Ayat (1), bila harta warisan yang akan dibagi berupa lahanpertanian yang luasnya kurang

dari 2 hektar, supaya dipertahankankesatuannya sebagaimana semula, dan dimanfaatkan

untukkepentingan bersama para ahli waris yang bersangkutan.

Ayat (2), bila ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini tidakdimungkinkan karena di antara

para ahli waris yang bersangkutanada yang memerlukan uang, maka lahan tersebut dapat

dimilikioleh seorang atau lebih ahli waris dengan cara membayar harganyakepada ahli waris

yang berhak sesuai dengan bagiannya masingmasing.

Pasal 190

Bagi pewaris yang beristri lebih dari seorang, maka masingmasingistri berhak mendapat

bagian atas gono gini dari rumahtangga dengan suaminya, sedangkan keseluruhan bagian

pewarisadalah menjadi hak para ahli warisnya.

Pasal 191

Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, atau ahliwarisnya tidak diketahui

ada atau tidaknya, maka harta tersebut atasutusan Pengadilan Agama diserahkan

penguasaannya kepada BaitulMal untuk kepentingan Agama Islam dan kesejahteraan

umum.

· Bab IV memuat 2 pasal tentang ” ‘Aul dan Radd”

Pasal 192

Apabila dalam pembagian harta warisan di antara para ahli warisnyaDzawil furud

menunjukkan bahwa angka pembilang lebih besar dariangka penyebut, maka angka
penyebut dinaikkan sesuai dengan angkapembilang, dan baru sesudah itu harta warisnya

dibagi secara aul menutuangka pembilang.

Pasal 193

Apabila dalam pembarian harta warisan di antara para ahli waris Dzawilfurud menunjukkan

bahwa angka pembilang lebih kecil dari angkapenyebut, sedangkan tidak ada ahli waris

asabah, maka pembagian hartawarisan tersebut dilakukan secara rad, yaitu sesuai dengan

hak masingmasingahli waris sedang sisanya dibagi berimbang di antara mereka.

· Bab V memuat 16 pasal tentang Wasiat;

Pasal 194

(1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehatdan tanpa

adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanyakepada orang lain atau

lembaga.

(2) Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.

(3) Pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat (1) pasal inibaru dapat

dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia.

Pasal 195

(1) Wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulisdihadapan dua

orang saksi, atau dihadapan Notaris.

(2) Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari hartawarisan kecuali

apabila semua ahli waris menyetujui.

(3) Wasiat kepada ahli waris berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris.

(4) Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini dibuat secaralisan di hadapan

dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua orang saksidi hadapan Notaris.

Pasal 196
Dalam wasiat baik secara tertulis maupun lisan harus disebutkan dengantegas dan jelas

siapa atau lembaga apa yang ditunjuk akan menerimaharta benda yang diwasiatkan.

Pasal 197

(1) Wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat berdasarkanputusan Hakim yang

telah mempunyai kekuatan hukum tetap dihukumkarena:

a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh ataumenganiaya berat kepada

pewasiat;

b. dipersalahkan secara memfitrnah telah mengajukan pengaduan bahwapewasiat telah

melakukan sesuatu kejahatan yang diancam hukuman limatahun penjara atau hukuman

yang lebih berat;

c. dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiatuntuk membuat atau

mencabut atau merubah wasiat untuk kepentingancalon penerima wasiat;

d. dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukansurat wasiat dan

pewasiat.

(2) Wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima

wasiat itu:

a. tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai meninggal duniasebelum meninggalnya

pewasiat;

b. mengetahui adanya wasiat tersebut, tapi ia menolak untukmenerimanya;

c. mengetahui adanya wasiat itu, tetapi tidak pernah menyatakanmenerima atau menolak

sampai ia meninggal sebelum meninggalnyapewasiat.

(3) Wasiat menjadi batal apabila yang diwasiatkan musnah.

Pasal 198

Wasiat yang berupa hasil dari suatu benda ataupun pemanfaatan suatubenda haris

diberikan jangka waktu tertentu.

Pasal 199
(1) Pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiatbelum

menyatakanpersetujuan atau sesudah menyatakan persetujuantetapi kemudian menarik

kembali.

(2) Pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan disaksikanoleh dua orang saksi

atautertulis dengan disaksikan oleh dua prang saksiatau berdasarkan akte Notaris bila

wasiatterdahulu dibuat secara lisan.

(3) Bila wasiat dibuat secara tertulis, maka hanya dapat dicabut dengancara tertulis dengan

disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkanakte Notaris.

(4) Bila wasiat dibuat berdasarkan akte Notaris, maka hanya dapatdicabut berdasarkan akte

Notaris.

Pasal 200

Harta wasiat yang berupa barang tak bergerak, bila karena suatu sebabyang sah mengalami

penyusutan atau kerusakan yang terjadi sebelumpewasiat meninggal dunia, maka penerima

wasiat hanya akan menerimaharta yang tersisa.

Pasal 201

Apabila wasiat melebihi sepertiga dari harta warisan sedangkan ahliwaris ada yang tidak

menyetujui, maka wasiat hanya dilaksanakansampai sepertiga harta warisnya.

Pasal 202

Apabila wasiat ditujukan untuk berbagai kegiatan kebaikan sedangkanharta wasiat tidak

mencukupi, maka ahli waris dapat menentukankegiatan mana yang didahulukan

pelaksanaannya.

Pasal 203

(1) Apabila surat wasiat dalam keadaan tertutup, maka penyimpanannyadi tempat Notaris

yang membuatnya atau di tempat lain, termasuk suratsuratyang ada hubungannya.

(2) Bilamana suatu surat wasiat dicabut sesuai dengan Pasal 199 makasurat wasiat yang

telah dicabut itu diserahkan kembali kepada pewasiat.

Pasal 204
(1) Jika pewasiat meninggal dunia, maka surat wasiat yang tertutup dandisimpan pada

Notaris, dibuka olehnya di hadapan ahli waris, disaksikandua orang saksi dan dengan

membuat berita acara pembukaan suratwasiat itu.

(2) Jika surat wasiat yang tertutup disimpan bukan pada Notaris makapenyimpan harus

menyerahkan kepada Notaris setempat atau KantorUrusan Agama setempat dan

selanjutnya Notaris atau Kantor UrusanAgama tersebut membuka sebagaimana ditentukan

dalam ayat (1) pasalini.

(3) Setelah semua isi serta maksud surat wasiat itu diketahui maka olehNotaris atau Kantor

Urusan Agama diserahkan kepada penerima wasiatguna penyelesaian selanjutnya.

Pasal 205

Dalam waktu perang, para anggota tentara dan mereka yang termasukdalam golongan

tentara dan berada dalam daerah pertempuran atau yangberada di suatu tempat yang ada

dalam kepungan musuh, dibolehkanmembuat surat wasiat di hadapan seorang komandan

atasannya dengandihadiri oleh dua orang saksi.

Pasal 206

Mereka yang berada dalam perjalanan melalui laut dibolehkan membuatsurat wasiat di

hadapan nakhoda atau mualim kapal, dan jika pejabattersebut tidak ada, maka dibuat di

hadapan seorang yang menggantinyadengan dihadiri oleh dua orang saksi.

Pasal 207

Wasiat tidak diperbolehkan kepada orang yang melakukan pelayananperawatan bagi

seseorang dan kepada orang yang memberi tuntunankerohanian sewaktu ia menderita sakit

sehingga meninggalnya, kecualiditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas jasa.

Pasal 208

Wasiat tidak berlaku bagi Notaris dan saksi-saksi pembuat akte tersebut.

Pasal 209

(1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampaidengan Pasal 193

tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkatyang tidak menerima wasiat diberi

wasiat wajibah sebanyak-banyaknya1/3 dari harta wasiat anak angkatnya.


(2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiatwajibah sebanyak-

banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.

· Bab VI memuat 5 pasal tentang “Hibah”.

Pasal 210

(1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun berakalsehat tanpa adanya

paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain

atau lembaga di hadapan dua orangsaksi untuk dimiliki.

(2) Harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah.

Pasal 211

Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagaiwarisan.

Pasal 212

Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepadaanaknya.

Pasal 213

Hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan sakityang dekat dengan

kematian, maka harus mendapat persetujuan dari ahliwarisnya.

Pasal 214

Warga negara Indonesia yang berada di negara asing dapat membuatsurat hibah di

hadapan Konsulat atau Kedutaan Republik Indonesiasetempat sepanjang isinya tidak

bertentangan dengan ketentuan pasal-pasalini.Empat bab dengan 23 pasal di antaranya

terkait langsung dengan masalahkewarisan Islam.


BAB IV

PEMBAHASAN

A. Kasus Perkawinan dalam KHI

Di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 14 menyatakan bahwa untuk melaksanakan

perkawinan harus ada : (1) Calon suami, (2) Calon istri, (3) Wali nikah, (4) Dua saksi, (5) Ijab

dan Qobul.10

Salah satu kasus nya adalah mengenai Wali Nikah Yang Tidak Mau Menikahkan

Anaknya Marinem seorang perempuan yang masih berstatus lajang mempunyai hubungan

khusus dengan seorang laki-laki bernama satrio. Mereka berdua saling mencintai, namun

hubungan mereka tidak disetujui oleh kedua orang tua marinem, terutama ayahnya sebagai

wali marinem.

10
UU RI nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawianan dan Kompilasi Hukum Islam (Bandung : Citra Umbara),
232
Namun, marinem tetap bersikukuh untuk menikah dengan satrio. Sampai-sampai Ia

mengancam pada orang tuanya bahwa ia akan bunuh diri apabila orang tuanya tetap

melarang ia untuk menikah dengan satrio.

Mendengar hal itu, orang tua marinem begitu terkejut, namun ternyata keterkejutannya

itu tidak mengubah keyakinan mereka, mereka tetap tidak akan menikahkan marinem

dengan satrio.

Kemudian, bagaimanakah solusi yang tepat untuk menyelesaikan perkara diatas?

Agar tidak terjadi kejadian yang tidak diinginkan, ayah marinem sebagai wali nikahnya

marinem boleh tidak menikahkan marinem dengan satrio dan menyerahkan anaknya itu

pada wali hakim meskipun wali nasab masih ada/hidup, dengan syarat ada pernyataan

tertulis dari wali nasab bahwa ia menyerahkan pernikahan anaknya itu pada wali hakim.

Maka dengan itu marinem bisa melangsungkan pernikahan dengan satrio dengan wali

hakim.

B. Kasus Pewarisan dalam KHI

Kompilasi Hukum Islam ini berisi tiga buku, dan masing-masing buku dibagi kedalam

beberapa bab dan pasal, khusus bidang kewarisan diletakkan dalam buku II dengan judul

Hukum Kewarisan, buku ini terdiri dari 6 bab dengan 44 pasal, untuk lebih jelasnya diuraikan

berikut ini:11

Bab I : Ketentuan Umum, memuat penjelasan singkat tentang kata-kata penting

yang dimuat dalam Buku II (Pasal 171).

Bab II : Ahli Waris (Pasal 172 sampai dengan Pasal 175).

Bab III : Besarnya Bagian (Pasal 176 sampai dengan Pasal 191)

Bab IV : Auld an Rad (Pasal 192 sampai dengan Pasal 193)

Bab V : Wasiat (Pasal 194 sampai dengan Pasal 209)

11
Suhrawati K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Lengkap dan Praktis), Sinar Grafika,
Jakarta, 2008. Hlm 19
Bab VI : Hibah (Pasal 210 sampai dengan Pasal 214)

Seperti dapat kita lihat dalam contoh berikut ini, kasus Bapak Siswanto menikah dengan

Ibu Teni dan dikaruniai seorang anak laki-laki yaitu Tomi, dan 2 (dua) anak perempuan,

yaitu Tati dan Tita. Tomi menikah dengan Mita dan dikaruniai seorang anak perempuan,

yaitu Fitri. Pada peristiwa gempa bumi yang terjadi di Sumatera Barat tahun 2009, Tomi

beserta Mita dan Fitri yang merupakan orang asli Sumatera Barat dan berdomisili di Padang

menjadi korban dalam peristiwa tersebut. Tomi tertimpa puing-puing bangunan rumahnya

sehingga perlu dirawat di rumah sakit, namun akhirnya jiwanya tidak tertolong. Ibu Teni

merasa sangat terpukul dan kehilangan anaknya tersebut yang kemudian menyebabkan

beliau sakit-sakitan dan kemudian meninggal dunia dua bulan kemudian. Mita saat ini dalam

keadaan mengandung 6 (enam) bulan. Untuk kepentingan anaknya (Fitri) dan anak yang

sedang dikandungnya, Mita meminta bagian warisan atas kematian Tomi dan Ibu Teni

tersebut karena dalam kedua kematian tersebut belum dilaksanakan pembagian waris.

Bagaimana pembagian waris untuk kasus tersebut? Di dalam kasus ini terdapat dua

peristiwa kematian, yaitu kematian Tomi dan kematian Ibu Teni. Oleh sebab itu maka

penyelesaiannya harus dilakukan kasus per kasus, sesuai dengan urutan

kematiannya.

Kasus I : Kasus Kematian Tomi

Tomi meninggal tanggal 13 Oktober 2009 (lima tahun yang lalu). Saat ini Mita sedang

mengandung 6 bulan. Berkaitan dengan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa

anak yang dikandung Mita adalah bukan anak dari Tomi. Sehingga para ahli-waris dari

Tomi yang masih hidup antara lain :

1. Bapak : Pak Siswanto;

2. Ibu : Ibu Teni (pada tahun 2009 Ibu Teni belum

meninggal dunia);

3. Saudara sekandung : Tati dan Tita;

4. Janda : Mita;

5. Anak perempuan : Fitri.


Dalam hal ini, hak waris saudara sekandung belum terbuka karena masih ada bapak. Maka

pembagian hak waris menjadi :

1. Bapak : memperoleh 1/6 bagian, dan memperoleh 1/6 bagian lagi

dari status bapak sebagai Ashabah;

2. Ibu : memperoleh 1/6 bagian;

3. Janda : memperoleh 1/8 bagian (karena memiliki anak);

4. Anak perempuan : memperoleh ½ bagian.

Kasus II : Kasus Kematian Ibu Teni

Pada saat kematian Ibu Teni, anak laki-lakinya (Tomi) sudah meninggal dunia, sehingga

para ahli-waris yang masih hidup terdiri dari :

1. Duda : Pak Siswanto;

2. Anak perempuan : Tati dan Tita;

3. Cucu perempuan : Fitri.

Mita bukan merupakan ahli waris karena dia hanya keluarga semenda (menantu),

sehingga tidak memiliki hak mewaris. Cucu perempuan dari anak laki-laki (Fitri) belum

terbuka hak warisnya karena ada dua anak perempuan tetapi dapat menerima harta

peninggalan dengan jalan wasiat wajibah. Maka pembagian hak waris menjadi :

1. Duda : memperoleh ¼ bagian;

2. Anak perempuan : memperoleh 2/3 bagian (karena ada 2 anak, maka hartanya

dibagi 2);

 Tati : ½ x 2/3 = 1/3

 Tita : ½ x 2/3 = 1/3

3. Cucu perempuan : memperoleh harta peninggalan dengan jalan wasiat wajibah

sebesar ½ bagian.
Penetapan nilai wasiat wajibah sebesar 1/3 untuk cucu dari anak laki-laki (Fitri)

dihitung berdasarkan kemungkinan bagian yang akan diterima anak laki-laki (Tomi)

apabila ia masih hidup. Dalam hal semua anak masih hidup maka akan terdapat

Ashabah sebesar ¾ yang akan diterimakan kepada Tomi sebesar 2/4-nya, yaitu

sebesar 2/4 x ¾ = 3/8. Nilai 3/8 lebih dari batas maksimum wasiat, yaitu 1/3, maka nilai

wasiat wajbah ditetapkan sebesar 1/3.12

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 14 menyatakan bahwa untuk melaksanakan

perkawinan harus ada : (1) Calon suami, (2) Calon istri, (3) Wali nikah, (4) Dua saksi, (5) Ijab

dan Qobul.

Khusus bidang kewarisan diletakkan dalam buku II dengan judul Hukum Kewarisan,

buku ini terdiri dari 6 bab dengan 44 pasal, untuk lebih jelasnya diuraikan berikut ini yaitu

Bab I mengenai Ketentuan Umum, memuat penjelasan singkat tentang kata-kata penting

yang dimuat dalam Buku II (Pasal 171). Lalu Bab II mengenai Ahli Waris (Pasal 172 sampai

dengan Pasal 175). Bab III mengenai Besarnya Bagian (Pasal 176 sampai dengan Pasal

12
Otje Salman. S dan Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 109-111.
191). Bab IV mengenai Auld an Rad (Pasal 192 sampai dengan Pasal 193). Bab V

mengenai Wasiat (Pasal 194 sampai dengan Pasal 209) dan terakhir Bab VI mengenai

Hibah (Pasal 210 sampai dengan Pasal 214)

B. Saran

Sudah saatnya kini KHI ditinjau ulang dan lebih dikritisi originalitasnya dengan sumber

aslinya, yaitu syariat Islam yang baku. Apalagi saat ini sudah banyak para ulama muda yang

ilmunya sudah mumpuni.. Sudah menjadi kewajiban para ulama yang memang mumpuni

dalam syariah untuk memberitahukan umat mana informasi yang benar. Di tataran politik,

sudah ada banyak partai yang mengusung dan membela syariat Islam. Tentu peran partai

itu sangat besar dalam upanya mengegolkan revisi terhadap KHI ini. Apalagi hari ini juga

bermunuclan para aktifis dakwah yang punya jiwa militansi kuat dalam memperjuangkan

syariah. Mereka punya peran besar juga untuk mensosialisasikan pembenahan isi

kandungan KHI.

DAFTAR PUSTAKA
Buku

Hussein, Muhammad. Pandangan Islam Tentang Seksualitas, Makalah Seminar Gender dan

Islam, Surabaya, 2004.

Bustanul, Arifin, “Pelaksanaan Hukum Islam di Indonesia”, Al-Mizan, Nomor 3 Tahun I,

1983.

Daud Ali, Muhammad. Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia, Jakarta,

Yayasan Risalah, 1984.

Afandi .Hukum Waris, Hukum Keluarga dan Hukum Pembuktian Menurut KUHPerdata,

Jakarta: Bina Aksara, 1981


Tutik, Titik Triwulan.Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta:

Kencana,2000.

Salim. Pengantar Hukum Perdata Tertulis, Jakarta: Sinar Grafika,1993.

Afandi,Ali. HUKUM WARIS HUKUM KELUARGA HUKU PEMBUKTIAN,Jakarta:PT

RINEKACIPTA,1997.

Subekti.Hukum Keluarga dan Hukum Waris,Jakarta:PT Intermasa,1990.

Sumber Perundang Undangan

Intruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam

Anda mungkin juga menyukai