Anda di halaman 1dari 18

TUGAS KELOMPOK KEBUDAYAAN SULTRA

Disusun oleh :
Muhamad Ridwan (N1D118022)
Fitriyana (N1D118038)
Maya Silvia (N1D118094)
Ariska Pujarsa (N1D118062)
Muhammad Rahul S. (N1D118008)
Suci Ramadani (N1D118092)
Harisna Sofiana (N1D117056)
Vira Firdayanti Ningsih (N1D118016)

FAKULTAS ILMU BUDAYA


BAHASA DAN SASTRA INDONESIA/SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan anugrah dari-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah tentang “Unsur Kebudayaan Wakatobi” ini. Sholawat dan salam
semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan besar kita, Nabi Muhammad SAW yang telah
menunjukkan kepada kita semua jalan yang lurus berupa ajaran agama islam yang sempurna
dan menjadi anugrah terbesar bagi seluruh alam semesta.

Penulis sangat bersyukur karena dapat menyelesaikan makalah yang menjadi tugas makalah
kelompok Kebudayaan Sultra dengan judul “Unsur Kebudayaan Wakatobi”. Disamping itu,
kami mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu kamu
selama pembuatan makalah ini berlangsung sehingga dapat terealisasikanlah makalah ini.

Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca. Kami mengharapkan kritik dan saran terhadap makalah ini agar kedepannya dapat
kami perbaiki. Karena kami sadar, makalah yang kami buat ini masih banyak terdapat
kekurangannya.

Kendari, 5 Desember 2019

Penyusun

i
Daftar Isi
Kata Pengantar ............................................................................................................................ i

Daftar Isi .................................................................................................................................... ii

Bab I Pendahuluan .................................................................................................................. 1

1. Latar Belakang ................................................................................................................... 1

2. Rumusan Masalah .............................................................................................................. 3

3. Tujuan................................................................................................................................. 3

Bab II Pembahasan .................................................................................................................. 4

1. Bahasa ................................................................................................................................ 4

2. Sistem Pengetahuan ............................................................................................................ 5

3. Organisasi Sosial ............................................................................................................... 7

4. Sistem Mata Pencaharian ................................................................................................... 8

5. Kesenian ........................................................................................................................... 10

6. Sistem Religi .................................................................................................................... 11

7. Alat Tradisional ................................................................................................................ 12

Bab III Penutup...................................................................................................................... 13

Kesimpulan........................................................................................................................... 13

Daftar Pustaka .......................................................................................................................... 15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang terdiri dari berbagai macam suku,
budaya, ras maupun agama atau kepercayaan. Kemajemukan ini bukan hanya dimiliki oleh
bangsa Indonesia saja, melainkan berbagai negara yang ada di penjuru dunia. Keanekaragaman
agama, etnis, ras dan suku bangsa adalah merupakan masalah yang telah lama dihadapi oleh
berbagai negara yang ada di dunia. Semua itu nampak pada perbedaan tingkat pengetahuan,
bahasa, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, dan konsep tentang berbagai hal.

Kebudayaan yang dimiliki oleh suku, etnis, dan agama turut mempengaruhi gaya
komunikasi sehingga perbedaan budaya dapat menjadi sebuah rintangan dalam berinteraksi
satu sama lain. Rintangan budaya yang dimaksud disebabkan karena adanya perbedaan norma,
kebiasaan dan nilai-nilai antara suku bangsa yang satu dengan suku bangsa lainnya, serta
banyak hal lain yang berkaitan dengan budaya yang dapat menjadi rintangan dalam
berkomunikasi. Bukan hanya maslah kekerabatan secara turun temurun dari garis keturunan
dalam sebuah suku bangsa, namun mulai dari masalah ras (ciri-ciri fisik), agama, bahasa dan
tempat kelahiran membuat kemajemukan itu tercipta dengan sempurna di tengah-tengah
masyarakat Indonesia.

Lippman dalam Mariah dalam skripsi Rizandi (2012:3) menggambarkan stereotip


sebagai “Pictures in our heads” bahwa tidak melihat dulu lalu mendefinisikan, mendefinisikan
dulu kemudian melihat, kita diberitahu dunia sebelum melihatnya dan membayangkan
kebanyakan hal sebelum mengalaminya. Dari penjelasan ini kita dapat mengetahui bahwa
stereotip dapat menjadi penghambat dalam proses komunikasi karena stereotip dapat
menimbulkan penilaian negatif antar suku dan etnis.

Indonesia tidak terlepas dari yang namanya kebudayaan, bahkan setiap wilayah
manapun tetap saja menerapkan adanya kebudayaan. Kebudayaan itu sendiri sudah ada melalui
kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun dan berlangsung hingga saat ini.

Kebudayaan, menurut Koentjaraningrat (2009:144), adalah keseluruhan ide atau


gagasan, tingkah laku, dan hasil karya manusia dalam rangka hidup bermasyarakat yang
diperolehnya dengan cara belajar. Menurut Judith Schlehe dalam Skripsi Afrida (2011: 2)
kebudayaan dimana-mana adalah hasil dari percampuran (hibridasi) dan kompleksitas
permainan di antara fenomena global dan lokal.
Sebuah masyarakat merupakan sekelompok manusia yang hidup bersama dan memiliki
kesadaran identitas bersama dalam kurun waktu yang lama dan akhirnya menghasilkan sebuah

1
kebudayaan. Kebudayaan dan msyarakat adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan, karena
masyarakatlah yang membentuk kebudayaan begitupun sebaliknya, kebudayaaan merupakan
bukti eksistensi dari masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, di dunia ini hampir tidak ada dua
kelompok masyarakat yang memiliki cirri yang sama persis. Banyak perbedaan yang melandasi
hal tersebut, seperti factor fisik maupun psikis dari sebuah lingkungan dimana sebuah
masyarakat tersebut menetap. Faktor ini pula yang akan membantu manusia menyesuaikan diri
dan secara tidak lansung dapat menjadi ciri khas dari sebuah kelompok masyarakat. Faktor lain
yang dapat mempengaruhi yaitu bahasa. Hal ini dapat membedakan sistem komunikasi antara
masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Setiap masyarakat akan memiliki sistem
komunikasi sendiri-sendiri, maka dengan sendirinya, demi kelangsungan hidupnya, setiap
masyarakat dapat membentuk kebudayaannya. (Kuswanto, 2008: 8)

Kluckhon dalam Kuswarno (2008: 9) menjelaskan bahwa ada tujuh unsur utama dalam
kebudayaan yang meliputi :
1. Bahasa
2. Sistem pengetahuan
3. Organisasi sosial
4. Sistem peralatan hidup
5. Sistem mata pencarian hidup
6. Sistem religi
7. Kesenian

Salah satu Kabupaten yang sedang berkembang pesat di Indonesia yang saat ini yang
terkenal degan unsur pariwisatanya adalah Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara.
Kabupaten Wakatobi adalah salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara, Indonesia.
Ibu kota kabupaten ini terletak diWangi-Wangi, dibentuk berdasarkan Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2003, tanggal 18 Desember 2003. Luas wilayahnya
adalah 823 km² dan pada tahun 2011 berpenduduk 94.846 jiwa. Sebelum menjadi daerah
otonom wilayah Kabupaten Wakatobi lebih dikenal sebagai Kepulauan Tukang Besi. Pada
masa sebelum kemerdekaan Wakatobi berada di bawah kekuasaan Kesultanan Buton. Setelah
Indonesia Merdeka dan SulawesiTenggara berdiri sebagai satu provinsi, wilayah Wakatobi
hanya berstatus beberapa kecamatan dalam wilayah pemerintahan Kabupaten Buton.

Pada tanggal 18 Desember 2003 wakatobi resmi ditetapkan sebagai salah satu
kabupaten pemekaran di Sulawesi Tenggara yang terbentuk berdasarkan Undang – Undang
Nomor 29 tahun 2003 tentang pembentukan Kabupaten Bombana, Kabupaten Wakatobi dan
Kabupaten Kolaka Utara. Saat pertama kali terbentuk Wakatobi hanya terdiri dari lima
kecamatan yaitu Kecamatan Wangi-Wangi, Kecamatan Wangi Selatan, Kecamatan Kaledupa,
Kecamatan Tomia dan Kecamatan Binongko. Pada tahun 2005 melalui Peraturan Daerah
Kabupaten Wakatobi Nomor 19 Tahun 2005 dibentuk Kecamatan Kaledupa Selatan dan
melalui Peraturan Daerah Kabupaten Wakatobi Nomor 20 Tahun 2005 dibentuk Kecamatan
Tomia Timur. Pada tahun 2007 melalui Peraturan Daerah Kabupaten Wakatobi Nomor 41
Tahun 2007 dibentuk Kecamatan Togo Binongko sehingga jumlah kecamatan di Kabupaten

2
Wakatobi menjadi 8 kecamatan yang terbagi menjadi 100 desa dan kelurahan (25 kelurahan
dan 75 desa).

Setelah rangkum melepaskan diri dari Kesulttanan Buton dan menjadi Kabupaten
tersendri, suku yang tersebar di Kabupaten Wakatobi terdiri dari beragam suku bangsa. Dengan
data tahun 2000 sebanyak 87.793, suku bangsa yang terbanyak adalah Wakatobi 91,33%, Bajau
7,92%, dan suku lainnya yang berjumlah kurang dari 1% , hal tesebut tentu saja telah
mengalami pertambahan jumlah suku bangsa yang mendiami wilayah tersebut. Dengan
semakin majunya dunia pariwisata, maka angka kunjungan wisata akan semakin meningkat
pula. Hal ini menjadikan Kabupaten Wakatobi sebagai daerah yang multicultural seperti hal
nya Negara Indonesia. Hingga saat ini pun Kecamatan Wangi-Wangi sebagai induk Kabupaten
Wakatobi masih menjadi primadona bagi masyarakat lokal maupun mancanegara. Sebagai
pusat ekonomi, hiburan dan pendidikan, tentunya hal tersebut menjadi daya tarik kelompok
masyarakat tersebut untuk menetap. Suku Wakatobi yang mendominasi wilayah tersebut tentu
saja memiliki rasa bangga tersendiri dan perasan lebih unggul, sehingga beranggapan bahwa
suku merekalah yang terbaik. Adanya pemikiran etnosentrisme, stereotipe dan prasangka
negatif yang masih berkembang sampai saat ini dapat menjadi potensi pemicu terjadinya
konflik antar kelompok etnis dan suku di induk Kabupaten Wakatobi. Seperti halnya yang
terjadi dalam jangka tahun antara 2006 sampai dengan 2011 silam yang mencatat begitu banyak
perkelahian antar siswa yang didasari dengan perihal suku dan ras yang ada di Wakatobi.

2. Rumusan Masalah
1. Apa saja unsur-unsur kebudayaan dalam Suku di Wakatobi?
3. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa saja unsur budaya yang terkandung dalam suku Wakatobi

3
BAB II
PEMBAHASAN

1. Bahasa
Bahasa merupakan sesuatu yang sangat vital dalam kehidupan manusia. Apalagi dalam
kehidupan tersebut adanya proses interaksi yang menyambungkan antara manusia yang satu
dengan manusia yang lain. Dalam proses interaksi sosial pelakunya selalu menggunakan alat,
yakni bahasa dalam menyampaikan ide, gagasan, harapan, dan sebagainya. Suatu daerah
mempunyai bahasa pertama atau bahasa ibu yang masih dominan digunakan sebagai pengantar
komunikasi antarmasyarakat.
Bahasa adalah kemampuan yang dimiliki manusia untuk berkomunikasi dengan
manusia lainnya menggunakan tanda, misalnya kata dan gerakan. Bahasa Wakatobi sendiri
memiliki banyak kemiripan dengan bahasa Buton, sehingga bahasa Wakatobi ini dianggap
sebagai salah satu sub bahasa Buton.
Adapun bahasa selain yang digunakan oleh masyarakat Wakatobi seperti bahasa Bajo,
Cia-Cia, dan terutama bahasa Wolio yang juga masih melekat pada masyarakat Wakatobi yang
dahulu belum terlepas dari Buton. Namun hanya beberapa pulau saja yang masih erat dengan
bahasa lain, sisanya menggunakan bahasa asli Wakatobi sebagai bahasa umum, namun juga
ada juga beberapa pulau yang masih terikat dengan etnis suku Bajo yang di mana merupakan
suku yang juga tersebar di mana-mana. Di Wakatobi, terutamanya di desa Liya Togo masih
erat dengan penggunaan bahasa suku Bajo. Di Liya pun, Bahasa Wakatobi merupakan bahasa
kedua dan merupakan bahasa umum bagi mereka. Namun dalam wilayah mereka sendiri,
bahasa Bajo merupakan bahasa yang paling utama digunakan.

Kabupaten Wakatobi adalah salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara,


Indonesia. Di Wakatobi terdapat empat pulau besar yaitu wanci, kaledupa, tomia dan binongko
yang tiap pulau memiliki beberapa perbedaan dalam dialek, nada tata serta beberapa kata,
namun perbedaan tersebut tidak seberapa banyak karena secara umun ke empat bahasa tersebut
sama dan tiap-tiap masyarakat dari ke empat pulau bisa saling memahami.
Perbedaan kosa kata bahasa wakatobi

1. Malas
Wa= Mangareaka
Ka= Mangare
To= Mangare
Bi= Mangare

2. Keluarga
Wa= Tolidha
Ka= Tolidha
To= Tuha

4
Bi= Tuha

3. Ikan
Wa= Ika
Ka= Kenta
To= Kenta
Bi= Kenta

2. Sistem Pengetahuan
Sistem pengetahuan, merupakan salah satu unsur kebudayaan universal, yang ada dan
bisa didapatkan di dalam semua kebudayaan di dunia, baik dalam masyarakat pedesaan yang
kecil terpencil maupun dalam masyarakat perkotaan yang besar dan kompleks
(Koentjaraningrat, 1992: 2). Sistem pengetahuan lahir dari hasil pengalaman dan daya
kreativitas masyarakat untuk digunakan sebagai petunjuk atau pedoman dalam melakukan
aktivitas demi kelangsungan hidup sehari-hari. Sistem pengetahuan tersebut diwariskan dari
satu generasi kegenerasi berikutnya. Dalam proses pewarisan, sistem pengetahuan tidak
diterima begitu saja, tetapi telah teruji kebenarannya berdasarkan pada berbagai peristiwa dan
pengalaman hidup yang berulang-ulang dialami, seperti didengar, dilihat, dan dirasakan, baik
dari sendiri maupun dari orang lain.
Pengetahuan merupakan sesuatu yang pasti ada dalam setiap masyarakat, sesuai dengan
jenis mata pencaharian yang mereka miliki dan lingkungan tempat mereka berada. Menurut
Koetjaraningrat (2009: 288), masyarakat sekecil apapun tidak dapat hidup tanpa memiliki
pengetahuan tentang alam sekelilingnya. Setiap masyarakat memiliki sistem pengetahuan
relatif banyak sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang ada dalam masyarakat
bersangkutan.

Berikut ini, penjelasan salah satu unsur kebudayaan (sistem pengetahuan) dalam Masyarakat
Wakatobi.
a). sistem pengetahuan tentang astronomi,

Kabupaten Wakatobi merupakan salah satu wilayah adminstratif di Provinsi Sulawesi


Tenggara, dengan luas wilayah Kabupaten Wakatobi adalah sekitar 19.200 km². Secara
astronomis, Kabupaten Wakatobi terletak pada bagian selatan garis khatulistiwa, membentang
dari Utara ke Selatan pada posisi garis lintang 5º12’ –6º25’ Lintang Selatan (sepanjang kurang
lebih 160 km) dan garis bujur 123º20’ – 124º39’ Bujur Timur (sepanjang kurang lebih 120
km). Kabupaten Wakatobi terdiri dari daratan seluas ± 823 km² atau hanya sebesar 3,00 persen
dan luas perairan (laut) ± 18.377 km2 atau sebesar 97,00 persen dari luas Kabupaten Wakatobi.
Atas dasar kondisi tersebut, maka potensi sektor perikanan dan kelautan serta sektor pariwisata
berbasis wisata laut/bahari menjadi sektor andalan daerah Kabupaten Wakatobi.

b). Sifat-sifat peralatan yang digunakan.

5
Masyarakat Wakatobi sadar bahwa ikan dan terumbu karang sangat mudah rusak bila
ditangkap dengan cara-cara seperti jaring pukat maupun bom dan rracun, jadi mereka
menggunakan bambu sebagai senjata untuk menangkap ikan. Biasanya, bubu diletakkan di batu
karang perairan dangkal, tempat ikan bernaung. Dengan peralatan seadanya bubu ditaruh di
bawah laut.

Dalam tradisi masyarakat Wakatobi, hasil tangkapan pertama dari setiap jenis ikan harus
dipersembahkan ke dewa penjaga laut, Wa Ode Maryam. Sesajiannya disebut popanga. Isinya
kelapa, beras ketan, telur, serta sirih pinang, dan rokok. Nelayan percaya, dewa laut menjaga
keselamatan dan keberuntungan selama di laut. Nilai keramat ini menjaga nelayan untuk tidak
menggunakan cara tangkap ikan yang merusak. Kearifan lokal masyarakat Tomia telah
menjaga keanekaragaman hayati laut. Kearifan yang juga membawa hidup lebih damai, seperti
kedamaian Laut Wakatobi.
d). Pengetahuan tentang lingkungan alam.

Wakatobi memiliki keindahan alam bawah laut yang cukup fantastis karena dihuni sekitar
750 jenis terumbu karang. Selain, alam bawah laut Wakatobi juga dihuni sebanyak 942 jenis
ikan dan beragam binatang laut lainnya. Keragaman terumbu karang, berbagai jenis ikan dan
biota laut itu, menjadi daya tarik yang luar biasa bagi para wisatawan, terutama para wisatawan
pencita selam. Salah satu kearifan lokal masyarakat yang masih terus dilestarikan di Wakatobi
adalah cara masyarakat berinteraksi dengan alam sekitarnya. Masyarakat tidak akan
mengambil sesuatu dari alam sekitar, sebelum memberikan sesuatu kepada alam.
Meskipun pulau Wakatobi terletak di wilayah pesisir namun tidak semua masyarakatnya
bermata pencaharian di laut (menangkap ikan, mengelola rumput laut dan fokus menjaga
keindahan laut) namun tak beda jauh dari masyarakat lainnya, mereka juga memanfaatkan
sumber daya lainnya seperti mengelolah tanah (menanam Ubi, jagung maupun sayur-sayuran).

e.) Pengetahuan tentang berbagai ritual . saat belum ada sarana komunikasi apa pun di
Wakatobi, masyarakat dalam berinteraksi dengan sesama selalu menyampaikan informasi
secara langsung. Dalam hal mempertemukan muda mudi untuk saling mengenal dan
menumbuhkan benih-benih cinta di antara mereka, lembaga adat masyarakat setempat
membuat sebuah ritual yang diberi nama "Kabuenga".
Dalam tatanan tradisi masyarakat Melayu di Jawa atau Sumetera, Kabuenga artinya
ayunan. Leluhur masyarakat Wakatobi membuat tradisi Kabuenga sebagai sarana
mempertemukan anak-anak muda-laki-laki dan perempuan yang sudah memasuki usia balik
untuk saling mmengena. Harapan leluhur dalam ritual Kabuenga di antara mereka yang saling
bertemu dalam ritual tersebut bisa tumbuh benih-benih cinta dan dapat mengantarkan dua
remaja lain jenis ke jenjang pelaminan atau pernikahan.

Tradisi ritual Kabuenga yang dianggap mengandung nilai-nilai sakral oleh masyarakat
Wakatobi, di masa lampai digelar sekali dalam setahun, yakni pada setiap usai merayakan Hari
Raya Idul Fitri. Para tetua adat memilih perayaan hari Raya Idul Fitri sabagai memonentun
paling tepat menggelar tradisi Kabuenga, karena pada hari besar umat Islam itu, masyarakat

6
Wakatobi yang merantau di berbagai daerah di Indonesia, bahkan di luar negeri, pulang
kampung atau mudik lebaran.
-Nilai sakral

Tradisi Kabuenga dianggap memiliki nilai sakral karena ritual tersebut diawali dengan
prosesi ritual doa oleh dua orang tetua adat yang telah ditunjuk oleh lembaga adat. Tetua adat
pertama membacakan doa selamat, meminta keberkahan ritual Kabuenga kepada sang khalik,
Allah yang mencitapkan alam semesta beserta isinya. Sedangkan tetua adat kedua membacakan
doa tolak balaa, memohon kepada Allah agar menjauhkan masyarakat dari segala marabahaya.

Usai prosesi pembacaan doa, tetua adat laki-laki dan tetua adat perempuan kemudian
mendudukkan dua muda mudi berlainan jenis di atas Kabuenga atau ayunan lalu diayun
beramai-ramai.

Selain tradisi Kabuenga masyarakat Wakatobi juga menggelar ritual Bangka Mbule-mbule.
Mbangka Mbule-mbule merupakan tradisi masyarakat Wakatobi melarung sesajen di tengah
laut yang diarak ratusan bahkan ribuan perahu nelayan. Dalam tatanan masyarakat Wakatobi,
sesajen yang dilarung di tengah laut tersebut sebagai permohonan kepada penguasa alam laut
agar melimpahkan rejeki para nelayan saat melaut. Selain itu sesajen yang dilarung juga
sebagai permohonan kepada penguasa alam laut agar menjauhkan para nelayan dari
marabahaya gelombang laut perairan laut Wakatobi yang pada kondisi tertentu sangat ganas.
Dulu, nelayan Wakatobi menggelar ritual Mbangka Mbule-mbule sekali dalam setahun. Ritual
ini meruparakan tradisi masyarakat Wakatobi dari etnis Bajo, Ritual tersebut, digelar pada
setiap musim paceklik ikan dan kondisi cuaca wilayah perairan laut Wakatobi sedang tidak
bersahabat dengan para nelayan. Wakatobi memiliki banyak budaya peninggalan leluhur yang
hingga saat ini masih tetap dipertahankan dan dilestarikan. Bahkan dua warisan leluhur yang
bukan benda, Kabanti dan Tari Lariangi sudah ditetapkan sebagai wisaran budaya nasional oleh
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

3. Organisasi Sosial
Eksistensi kehidupan sosial masyarakat dapat dilihat dari keberadaan tradisi kabuenga
ini yang masih dipertahankan dan dijalankan oleh masyarkat khususnya masyarakat di
Kecamatan Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi. Kabuenga merupakan upacara adat yang
biasanya diadakan pada waktu liburan panjang, tradisi ini dilaksanakan satu sampai empat kali
dalam setahun. Kabuenga merupakan sebuah tradisi yang sudah turun temurun dilaksanakan
oleh masyarakat dimana tujuan dilaksanakanya adalah untuk mempertemukan muda-muda
untuk saling mengenal dan memperkuat tali silaturahmi antar masyarakat dan keluarga.Seiring
perkembangan zaman tradisi ini keberadaanya masih sangat popular dikalangan masyarakat
Buton khusunya masyarakat di Kecamatan Wangi-Wangi, nilai-nilai yang terkandung dalam
tradisi ini menjadikan kabuenga masih tetap dilaksanakan sampai sekarang oleh masyarakat,
dan juga pelestarian tradisi ini masih dijaga oleh masyarakat sehingga tradisi ini tetap ada
hingga saat ini Kemudian untuk memperkuat keeksistensian tradisi ini terlihat dari hasil
wawancara peneliti mengenai tanggapan atau persepsi masyarakat tentang keberadaan tradisi
kabuenga yang ada di Kecamatan Wangi-Wangi, masyarakat sangat positif dan menerima

7
keberadaan adat ini karena memiliki nilai-nilai positif bagi kehidupan masyarakat yang harus
dijaga dan dilestarikan.

Gambaran tradisi kabuenga di Kecamatan Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi


terlaksana dengan baik. Tradisi ini merupakan tradisi atau upacara adat yang dilakukan setiap
tahun dan merupakan ajang pertemuan anatara masyarakat untuk saling mengenal dan
mempererat silaturahmi antar masyarakat yang dibuktikan dengan antusias dari masyarakat
dalam proses pelaksanaanya yang ditunjukan dengan rasa solidaritasyang tinggi serta interaksi
sosial yang masih terjalin dengan baik sehingga dalam pelaksanaanya tradisi kabuenga mampu
mempererat hubungan kekeluargaan dan sistem kekerabatan dalam masyarakat.
Sementara itu selain Kabuenga yang menjadi salah satu eksistensi sosial dalam
masyarakat Wakatobi, terdapat beberapa organisasi sosial yang juga dapat diakui menjadi
eksistensi sosial masyarakat yang dapat menjadi perkembangan sosial masyarakat Wakatobi,
seperti:

Organisasi IGI Buka Workshop di Wakatobi


IGI (Ikatan Guru Indonesia) merupakan organisasi legal yang diakui oleh Pemerintah,
disahkan sesuai dengan akta notaris Rr. Y. Tutiek Setia Murni, SH., MH. Nomor 2 tanggal 28
Januari 2009 Tentang Perkumpulan Ikatan Guru Indonesia. “Organisasi persatuan guru seperti
ini sangat berupaya memajukan pendidikan di Wakatobi karena tujuan pemerintah daerah
sangat mengharapkan agar para guru lebih maksimal paham teknologi,” tutupnya.

Komunitas Pariwisata Lokal Wakatobi


WWF-Indonesia mendorongkan konsep pengelolaan pariwisata bahari yang
bertanggung jawab dengan menghargai komunitas yang hidup di wilayah tersebut. Dalam
posisi ini, komunitas lokal mendapatkan hak untuk dilibatkan secara aktif dalam menyusun
dan mengembangkan pariwisata bahari, serta memiliki akses terhadap pemanfaatan sumber
daya alam dan ekonomi sektor pariwisata.

Komunitas Nelayan Tomia (Komnto)


Komunitas Nelayan Tomia adalah sebuah organisasi berbasis komunitas yang terdiri
dari perwakilan-perwakilan kelompok nelayan di Tomia Timur, Indonesia. Organisasi ini
dibentuk sebagai tanggapan atas keprihatinan komunitas terhadap pemancingan komersial
asing, penggunaan metode penangkapan ikan yang destruktif, dan vakumnya kepemimpinan
pemerintah lokal terhadap pengelolaan berkelanjutan sumber daya alam Wakatobi.

4. Sistem Mata Pencaharian


Pendapatan dan sumber mata pencaharian merupakan aspek penting dalam kehidupan
rumah tangga karena pendapatan menentukan kemampuan rumah tangga dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya. Pendapatan rumah tangga adalah pendapatan yang diterima oleh rumah
tangga yang berasal dari kepala keluarga maupun anggota rumah tangga. Guna memperoleh
pendapatan, rumah tangga mengirimkan anggota rumah tangganya untuk bekerja dalam
berbagai sumber mata pencaharian. Akan tetapi, daya tampung sumber mata pencaharian
bersifat terbatas sehingga tidak semua anggota rumah tangga mendapatkan pekerjaan yang

8
layak. Keterbatasan tersebut memaksa sebagian anggota rumah tangga bekerja dengan
pendapatan yang rendah dan sebagian yang lain menjadi penganggur sehingga tidak mampu
memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagian yang lain harus mencari mata pencaharian ke luar
daerah karena keterbatasan daya tampung dunia kerja di wilayahnya. Rendahnya daya tampung
sumber mata pencaharian dan pendapatan rumah tangga masih terus terjadi di Indonesia
termasuk di daerah pesisir Kabupaten Wakatobi, sehingga upaya menciptakan sumber mata
pencaharian dan meningkatkan pendapatan harus terus dilakukan.
Peningkatan pendapatan dan penciptaan sumber mata pencaharian tersebut sejalan
dengan visi pembangunan wilayah pesisir nasioanl yaitu terwujudnya pengelolaan sumberdaya
kelautan dan perikanan secara berdaulat, mandiri, dan berkelanjutan untuk kemakmuran
rakyat. Kabupaten Wakatobi menjadi bagian penting untuk mencapai misi tersebut karena
sebagian besar wilayahnya merupakan daerah pesisir. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik
(BPS) (2014), Kabupaten Wakatobi memiliki luas lautan sebesar 19.200 km2 (95,7%),
sementara luas wilayah daratan sekitar 823 km2 (4,3%). Secara historis, penduduk Kabupaten
Wakatobi adalah pelaut yang mengarungi bukan hanya Samudera Nusantara tetapi juga
Samudera Cina Selatan, Samudera Pasifik, Samudera Hindia dan Selat Malaka. Oleh sebab itu,
sebagian besar penduduk memiliki mata pencaharian di laut baik sebagai nelayan maupun
sebagai pelayar atau pedagang antar pulau.

Peningkatan pendapatan dan penciptaan sumber mata pencaharian di wilayah pesisir


Kabupaten Wakatobi semakin penting karena besarnya potensi sumber daya yang dimiliki,
tetapi kehidupan sebagian masyarakatnya masih miskin. Kabupaten Wakatobi dikenal sebagai
’Surga di Bawah Laut’, dengan keindahan dan keunikan terumbu karangnya. Wakatobi terletak
pada pusat segitiga karang dunia (Coral Triangle Center). Wakatobi juga memiliki jumlah
keanekaragaman hayati kelautan tertinggi di dunia yakni 750 jenis karang dari 850 spesies
karang dunia, 900 jenis ikan dunia dengan 46 divecites teridentifikasi (salah satunya
marimabuk), 942 spesies ikan, 90.000 ha terumbu karang. Di Kabupaten Wakatobi juga
terdapat Atol terpanjang di dunia, yaitu Atol Kaledupa sepanjang 48 km (Badan Pusat Statistik
(BPS), 2014). Potensi sumber daya alam yang tinggi tersebut tampaknya belum dikelola secara
optimal sehingga kemiskinan di Kabupaten Wakatobi masih cukup tinggi. Berdasarkan data
dari BPS terdapat 17,4 persen penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Persentase
kemiskinan ini meningkat dibanding dengan tahun 2011 dan 2012 masingmasing sebesar 16,36
persen dan 15,99 persen. Angka kemiskinan tersebut lebih tinggi dibanding dengan angka
kemiskinan nasional yaitu sebesar 13,37 persen atau 28,07 juta penduduk. Dari sisi mata
pencaharian, sebagaian besar penduduk Wakatobi usia 15 tahun ke atas juga bekerja di
pertanian padi dan palawija (37%) sementara yang bekerja di perikanan sebesar 17 persen.
Kemiskinan yang tinggi di Kabupaten Wakatobi tidak terlepas dari persoalan
rendahnya pendapatan rumah tangga sebagai dampak keterbatasan sumber mata pencaharian
dan kualitas penduduk. Untuk mendapatkan pekerjaan, sebagian penduduk wilayah pesisir
Kabupaten Wakatobi harus mencari pekerjaan di luar daerah, meskipun wilayah mereka juga
memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar. Kegiatan kenelayanan juga dihadapkan
pada kenyataan semakin menurunnya hasil tangkapan yang disebabkan oleh praktek
penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan. Rumah tangga nelayan juga memiliki

9
persoalan rendahnya kualitas sumber daya manusia dan peralatan melaut, sehingga mereka
tidak dapat bersaing dengan nelayan dari luar daerah.
Pemerintah terus berusaha untuk meningkatkan pendapatan masyarakat di Kabupaten
Wakatobi melalui berbagai kebijakan dengan visi “Terwujudnya Surga Nyata Bawah Laut di
Pusat Segitiga Karang Dunia”. Guna mendukung kebijakan itulah diperlukan data empirik
keadaan ekonomi masyarakat di daerah pesisir Wakatobi. Oleh sebab itu, paper ini
dimaksudkan untuk membahas kondisi sumber mata pencaharian dan pendapatan rumah
tangga serta persoalan-persoalan yang berpengaruh terhadap perekonomian mereka.

5. Kesenian
Kesenian dapat dimaknai sebagai segala hasrat manusia terdapat keindahan. Bentuk
keindahan yang beraneka ragam itu timbul dari imajinasi kreatif yang dapat memberikan
kepuasan batin bagi manusia.
Didaerah wakatobi ada terdapat beberapa kesenian yaitu seni tari,Pencak silat dan Nyayian.

a. Pengertian seni tari


Seni tari adalah seni yang menggunakan gerakan tubuh secara berirama.

Contoh tarian dari wakatobi tepatnya di kecamatan kaledupa yaitu:


1. Tari Lariangi

Tari Lariangi merupakan tari tradisional kecamatan kaledupa yang lahir pada
tahun 1634 .Tarian ini merupakan tari persembahan dari kaledupa untuk dimainkan di
Istana Raja dalam wujud gerakan dan nyayian dengan fungsi utamanya adalah sebagai
penerangan.

2. Tari Hebalia

Tari Hebalia diciptakan oleh para dukun pada zaman dahulu,tujuannya adalah
untuk mengusir roh-roh jahat yang membawa sial pada suatu keluarga atau kampung.

3. Tari Sombo Bungkale

Tari Sombo Bungkale ini dilakoni oleh penari gadis cantik sebanyak 12
orang.Ditampilkan sesudah selesai melakukan hajatan. Tari sombo Bukale ini
menggambarkan proses atau pingit,tersebut dianggap telah suci dan diberi gelar “kalambe”
atau wanita dewasa.

4. Tari Honari

Tari Honari merupakan jenis tarian pergaulan yang ditarikan oleh empat orang gadis
dan empat orang pemuda yang membawa selendang sambil menyanyikan lagu
boorina(alaaku). Tari ini ditarikan sebagai ungkapan kegembiraan gadis-gadis setelah
selesai di sombo (dipingit).
5. Tari Sajo Moane

10
Tarian Sajo Moane merupakan tarian dari tomia. Tarian Sajo Moane merupakan
tarian sacral yang dimainkan oleh kaum laki-laki. Melambangkan kesiapan prajurit perang
untuk menghadapi peperangan tarian ini di mainkan oleh 20 orang prajurit

6. Tari Balumpa

Tari Balumpa adalah salah satu tarian tradisional berasal dari Binongko. Tarian ini
di mainkan oleh 8 orang gadis cantik jelita dan diiringi music khas daerah yang di kenal
dengan kabanti. Tarian ini melambangkan kelembutan dan keramahan masyarakat
Binongko

b. Pencak silat

Tradisi pencak silat adalah tradisi dari adat masyarakat kaledupa.Pesta adat ini
merupakan tradisi dalam menyambut Hari Raya Idul Fitri. Event ini dilakukan setelah solat
bersama di lapangan.

c. Nyayian tradisional dari wakatobi

Kabanti Wakatobi dimasa lampau di nyayikan dalam pesta adat masyarakat dan
mengandung nilai-nilai pendidikan yang cukup tinggi.

6. Sistem Religi
Sebelum menjadi daerah otonom wilayah Kabupaten Wakatobi lebih dikenal sebagai
Kepulauan Tukang Besi. Setelah Indonesia merdeka dan Sulawesi Tenggara berdiri sebagai
satu provinsi, wilayah Wakatobi hanya berstatus beberapa kecamatan dalam wilayah pemeritah
Kabupaten Buton. Pada masa sebelum kemerdekaan, Wakatobi berada di bawah kekuasaan
Kesultanan Buton. System kepercayaan yang dianut oleh kesultanan Buton adalah islam
karena, sentuhan islam dapat melahirkan Kesultanan Buton. Pada abad ke-14 dan ke-15
penyebaran islam di daerah-daerah sekitar pesisir pantai umnya lebih cepat menerim agama
Islam.

Wilayah kesultanan Buton yang sekarang menjadi bagian dari Privinsi Sulawesi
Tenggara merupakan salah satu daerah yang terletak pada jalur pelayaran. Para pedagang dari
Jawa yang belayar ke Maluku atau sebaliknya melintasi wilayah kerajaan Buton. Maka
waliayag Buton taurut menerima dampak Islamisasi di Nusantara.Selain perdagangan proses
penyebarab agama Islam dialkukan denag memalui saluran perkawinanyang di anut
sebelumnya dan perkawian ini pula didsarakan untuk membentuk keluarga muslim. Kemudian
penyebarab agama islam juga di lakukan melalui pendidikan, tasawuf, sera melalui politik.

Dengan kepercayaaan yang dianut oleh kesultanan Buton maka masarakat Wakatobi
yang pada ssat itu berada di bwah kekuasaan kesultaan Bton juga menganut agama Islam.pada
tahun 2003 tempat ibadah yng terlihat yaitu Mesjid sebanyak 112 buah dan Mushollah 22 buah,

11
sementara Gereja, Pura, dan Vihara tidak ada. Ini menandakan bahwa masyarakat wakatobi
memeluk agama Islam.

Sebelum ajaran agama Islam Wakatobi dan Kesultanan Buton umumya masih
dipengaruhi oleh kepercayaan animisme dan dinamisme. Contohnya seperti
mempercayai/meyakini suatu lokasi yang memiliki kekuatan gaib keramat atau ada penghuni
yang mendiami lokasi tersebut dengan istilah penunggu. Jika penghuni yang dianggap keramat
tersebut merasa terusik, sehinggah ada upacara pemberian sesajen untu penghuni lokasi
tersebut dengan memberikan makanan pada tempatnya. Namun setelah ajaran Islam dianut
oleh masyarakat Wakatobi kepercayaan seperti ini mulai menghilang.
Pelaksanaan kepercayaan baik unsur animisme dan dinamisme tersebut mengalami
perubahan-perubahan atau pregeseran nilai-nilai budaya semenjak masuknya Islam melaui
jalur perdagangan dan perkawinan ataupun pendidikan sehingga menghasilkan perpaduan
antara dua unsure kebudayaan yang dikenal dengan akulturasi.

7. Alat Tradisional
Masyarakat Wakatobi telah mengenal dan mempergunakan alat-alat sederhana yang
dipergunakan dalam mencari ikan seperti alat pancing dengan menggunakan batu karang,
bambu sebagai senjata menangkap ikan dan juga jaring. Masyarakat juga menggunakan
peralatan tradisional lain seperti periuk yang terbuat dari tanah liat (mirip sebuah guci) dan
juga tungku sederhana yang biasanya digunakan untuk membuat makanan khas Wakatobi yaitu
Kasoami. Selain itu, masyarakat Wakatobi tidak terlepas dari kerajinan tangan pembuatan kain
tenun yang berbahan dasar benang dan alat penenunnya, karena pada hal ini budaya tenun
masyarakat Wakatobi tidak terlepas dari budaya tenun yang dilakukan secara turun temurun
oleh masyarakat lampau sejak kerajaan buton abad ke-14. Kemudian alat tradisional yang
lainnya yaitu seperti tempat pembuatan parang yang berlokasi di Binongko. Sementara itu,
senjata tradisional Wakatobi yakni berupa parang, keris, dan badik yang dibuat khas Wakatobi.

12
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Wakatobi terdiri atas beberapa suku dan juga beberapa bahasa termasuk dialek yang
sedikit berbeda. Dalam unsur kebahasaan Wakatobi memiliki bahasa yang merupakan bahasa
umum dan semua bahasa yang digunakan untuk seluruh pulau. Akan tetapi adapun beberapa
bahasa tambahan yaitu bahasa Cia-Cia, bahasa Bajo yang sampai saat ini digunakan di desa
Liya, dan juga Wolio yang juga masih melekat pada masyarakat Wakatobi terlebih lagi karena
dahulu sebelum Wakatobi terpisah dari kerajaan Buton. Dan juga tidak terlepas dari perbedaan
dialek antara Wangi-Wangi dan Kaledupa dengan Tomia dan Binongko yang memiliki dialek
yang sedikit berbeda dalam pemaknaannya namun masih bisa saling memahami.
Sementara itu dalam sistem pengetahuan, dapat dijelaskan bahwa sistem pengetahuan
yang ada di Wakatobi yaitu diantaranya seperti sistem pengetahuan secara astronomi, sifat-
sifat peralatan yang digunakan, pengetahuan tentang lingkungan alam, dan juga pengetahuan
tentang berbagai ritual seperti salah satu ritual “Kabuenga” yang sampai saat ini ritual tersebut
masih dijalankan.

Dalam unsur kemasyarakatan atau biasa disebut organisasi sosial, dalam Wakatobi
terdapat eksistensi sosial sehingga membuat kekerabatan atau kekeluargaan dalam masyarakat
Wakatobi terjalin yaitu seperti tradisi Kabuenga yang menjadi patokan budaya yang terus
berlangsung hingga saat ini. Juga beberapa Organisasi Sosial lainnya seperti IGI (Ikatan Guru
Indonesia), Komunitas Pariwisata Lokal Wakatobi dan Komunitas Nelayan Tomia yang turut
mendukung yang termasuk dalam eksistensi sosial Wakatobi.

Mata Pencaharian di Wakatobi tidak lebih dan berpatokan ke sektor perikanan yang di
mana menjadi salah satu pekerjaan yang menyangkut perekonomian yang ada di Wakatobi.
Terlebih lagi karena kemiskinan yang tinggi di Kabupaten Wakatobi tidak terlepas dari
persoalan rendahnya pendapatan rumah tangga sebagai dampak keterbatasan sumber mata
pencaharian dan kualitas penduduk. Untuk mendapatkan pekerjaan, sebagian penduduk
wilayah pesisir Kabupaten Wakatobi harus mencari pekerjaan di luar daerah, meskipun
wilayah mereka juga memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar. Kegiatan
kenelayanan juga dihadapkan pada kenyataan semakin menurunnya hasil tangkapan yang
disebabkan oleh praktek penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan. Rumah tangga
nelayan juga memiliki persoalan rendahnya kualitas sumber daya manusia dan peralatan
melaut, sehingga mereka tidak dapat bersaing dengan nelayan dari luar daerah.
Di Wakatobi tentu tidak terlepas dari kebudayaan seni yang masih dilestarikan sampai
saat ini. Kesenian di Wakatobi diantaranya seperti tari yang terdiri atas tari Lariangi, Hebalia,
Sombo Bungkale, Honari, Sajo Moane, dan Balumpa. Kesenian lainnya seperti pencak silat,
dan juga nyanyian tradisional Wakatobi.

13
Wakatobi dikenal sebagai mayoritas beragama Islam. Namun sebelum Sebelum ajaran
agama Islam Wakatobi dan Kesultanan Buton umumya masih dipengaruhi oleh kepercayaan
animisme dan dinamisme. Contohnya seperti mempercayai/meyakini suatu lokasi yang
memiliki kekuatan gaib keramat atau ada penghuni yang mendiami lokasi tersebut dengan
istilah penunggu. Jika penghuni yang dianggap keramat tersebut merasa terusik, sehinggah ada
upacara pemberian sesajen untu penghuni lokasi tersebut dengan memberikan makanan pada
tempatnya. Namun setelah ajaran Islam dianut oleh masyarakat Wakatobi kepercayaan seperti
ini mulai menghilang.

Dalam masyarakat Wakatobi telah mengenal dan mempergunakan alat-alat sederhana


yang dipergunakan dalam mencari ikan seperti alat pancing dengan menggunakan batu karang,
bambu sebagai senjata menangkap ikan dan juga jaring. Masyarakat juga menggunakan
peralatan tradisional lain seperti periuk yang terbuat dari tanah liat (mirip sebuah guci) dan
juga tungku sederhana yang biasanya digunakan untuk membuat makanan khas Wakatobi yaitu
Kasoami. Selain itu, masyarakat Wakatobi tidak terlepas dari kerajinan tangan pembuatan kain
tenun yang berbahan dasar benang dan alat penenunnya, karena pada hal ini budaya tenun
masyarakat Wakatobi tidak terlepas dari budaya tenun yang dilakukan secara turun temurun
oleh masyarakat lampau sejak kerajaan buton abad ke-14. Kemudian alat tradisional yang
lainnya yaitu seperti tempat pembuatan parang yang berlokasi di Binongko. Sementara itu,
senjata tradisional Wakatobi yakni berupa parang, keris, dan badik yang dibuat khas Wakatobi.

14
Daftar Pustaka

Koentjaranigrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta

Kuswarno, Engkus. 2008. Etnografi Komunikasi Suatu Pengantar dan Contoh


Penelitiannya. Widya Padjajaran : Bandung

Afrinda. 2011. Skripsi : Makna Simbolik Ritual Maudu Lompoa di Kabupaten Takalar.
Skripsi Tidak Diterbitkan. Makassar: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Rizandy, R Ahmad. 2012. Stereotip Suku Mandar di Kota Makassar (Studi


Komunikasi Antarbudaya Suku Bugis dan Suku Mandar). Skripsi Tidak Diterbitkan.
Makassar: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin.

15

Anda mungkin juga menyukai