Anda di halaman 1dari 15

Transaksi-transaksi khusus

1. Build, Operate and Transfer (BOT)


Bangun Guna Serah ("Built Operate and Transfer") adalah bentuk perjanjian
kerjasama yang dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan investor yang
menyatakan bahwa pemegang hak atas tanah memberi hak kepada investor untuk
mendirikan bangunan selama masa perjanjian BOT dan mengalihkan kepemilikan
bangunan kepada pemegang hak atas tanah setelah masa guna serah (BOT) berakhir.
Bangunan yang didirikan oleh investor dapat berupa gedung perkantoran, apartemen,
pusat perbelanjaan, rumah toko (ruko), hotel, dan atau bangunan lainnya. Ketentuan
pelaksanaan perpajakan tentang BOT ini diatur dalam Keputusan Menkeu No.
248/KMK.04/1995 dan SE. 38/PJ.4/1995
Sedangkan pembayaran PPh Final Pasal 15 atas kerjasama bentuk BOT, sesuai
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/201 Tanggal 2 Juli 2013, ditetapkan
menggunakan Kode Akun Pajak 411128 dengan kode jenis setoran No. 415.

Perlakuan Perpajakan :
a. Bagi Investor
1. Penghasilan berupa penerimaan sewa/penguasaan, hotel/penerimaan lain
sehubungan dengan pengoperasian gedung.
2. Imbalan yang diterima dari pemegang hak atas tanah BOT diperpendek dan
periode yang dijanjikan
3. Biaya yang boleh dikurangkan adalah biaya sebagaimana diatur dalam Pasal
6 ayat 1 dan dengan memperhatikan Pasal 9 ayat1 UU No.17/2000
4. Biaya pendirian bangunan diamortisasi secara garis lurus sesuai periode BOT,
dimulai pada saat bangunan digunakan.
5. Apabila periode BOT diperpendek dari periode yang telah ditetapkan, maka
sisa nilai buku bangunan diamortisasi sekaligus pada saat berakhirnya BOT
tersebut.

b. Bagi pemegang hak atas tanah:


1. Pembayaran berkala yang diterima dari investor selama masa BOT
2. Bagian sewa atau keuntungan dan penghasilan lainnya sehubungan dengan
perjanjian BOT 3. Dalam hal bangunan yang didirikan oleh investor sebagian
diserahkan kepada pemegang hak atas tanah, penyerahan tersebut terutang
PPh sebesar 5% dari nilai yang tertinggi antara nilai pasar dan NJOP dari
bagian bangunan yang diserahkan. Harus dilunasi oleh pemegang hak atas
tanah selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya, setelah bulan
penyerahan. Pembayaran ini bagi orang pribadi bersifat final namun bagi WP
Badan tidak final.
3. Bangunan yang diserahkan oleh investor pada akhir BOT, mer pakan
penghasilan bagi pemegang hak atas tanah dan terutalg PPh seperti pada butir
3 di atas.

1
4. Biaya yang boleh dikurangkan oleh pemegang hak atas tanah selama periode
BOT adalah biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 dengan
memperhacikn Pasal 9 ayat UU No.17/2000.

Contoh 1:
Investor PT ABC mendirikan gedung perkantoran 12 lantai atas tanah milik PT PG
berdasarkan perjanjian bangun guna serah dengan biaya Rp 30.000.000.000 untuk masa 15
tahun. Amortisasi yang dilakukan oleh PT ABC setiap tahun adalah Rp 2.000.000.000 (Rp
30.000.000.000 :15)

Contoh 2:
Berdasarkan contoh 1, PT ABC pada akhir tahun ke dua belas menyerahkan bangunan kepada
PT PG. Dengan diperpendeknya masa perjanjian tersebut, kepada PT ABC diberikan imbalan
oleh PT PG sebesar Rp 5.000.000.000 pada akhir tahun ke dua belas (tahun berakhimya masa
perjanjian bangun guna serah) PT ABC memperoleh tambahan penghasilan sebesar Rp
5.000.000.000 (Rp 30.000.000.000 - (12 x Rp 2.000.000.000).

Contoh 3:
Berdasarkan contoh 1, PT ABC pada tahun ke sebelas menambah bangunan dengan biaya Rp
20 miliar dan masa bangun guna serah diperpanjang 5 tahun sehingga menjadi 20 tahun.
Penghitungan amortisasi PT ABC mulai tahun ke-11 sebagai berikut:
- Sisa yang belum diamortisasi pada awal tahun ke sebelas: Rp 10 miliar
- Nilai perolehan hak atas penambahan bangunan pada tahun ke- 11 Rp20 miliar
- Dasar amortisasi yang baru Rp 30 miliar
- Masa amortisasi adalah 10 tahun (20 tahun -10 tahun)
- Amortisasi setiap tahun mulai tahun ke-11:
(Rp 30 miliar :10) = Rp 3 miliar
Dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan sebesar 5% (lima persen)
apabila pemegang hak atas tanah adalah badan pemerintah.
Pembayaran Pajak Penghasilan sebesar 5% (lima persen) yang dilakukan oleh
pemegang hak atas tanah, atas penyerahan bangunan yang dilakukan oleh investor
bagi orang pribadi bersifat final dan bagi wajib pajak badan merupakan pembayaran
Pajak Penghasilan Pasal 25 yang dapat diperhitungkan dengan Pajak Penghasilan
yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan.

2. Leasing dengan Hak Opsi


Transaksi Capital/Finance Lease (Sewa Guna Usaha Dengan Hak Opsi)

Transaksi sewa-guna-usaha digolongkan sebagai sewa-guna-usaha dengan hak


opsi Capital/Finance Lease apabila memenuhi semua kriteria berikut:
a. Jumlah pembayaran lease selama periode lease ditambah dengan nilai residu
barang modal, harus dapat menutup harga perolehan barang modal dan
keuntungan lessor.

2
b. Masa sewa-guna-usaha ditetapkan sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun untuk
barang modal golongan I, 3 (tiga) tahun untuk barang modal golongan II dan
III, 7 (tujuh) tahun untuk golongan bangunan.
c. Perjanjian sewa-guna-usaha memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee.

Perlakuan Perpajakan Atas Transaksi Finance/ Capital Lease


Perlakuan Pajak Penghasilan Bagi Lessor:
Sewa guna usaha atau leasing bisa dikelompokkan menjadi dua,yaitu
sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) dan sewa guna usaha
dengan hak opsi (fimancial lease atau capital lease). Secara akuntansi maupun
perpajakan, operating lease diperlakukan sama dengan sewa menyewa biasa
sehingga tidak menimbulkan perbedaan temporer. Sedangkan untuk capital
lease diperlakukan berbeda antara akuntansi dengan perpajakan. Bagian ini
hanya akan membahas aspek akuntansi dan perpajakan atas sewa guna usaha
dengan hak opsi atau capital lease bagi lessee dan selanjutnya hanya disebut
dengan istilah leasing.
a. Penghasilan lessor yang dikenakan Pajak Penghasilan adalah sebagian dari
pembayaran sewa guna usaha.
b. lessor tidak boleh menyusutkan barang modal yang disewa-guna-usahakan
dengan hak opsi.
c. Dalam hal masa segue-guna-usaha lebih pendek dari masa yang ditentukan
dalam Pasal 3 Keputusan ini, Direktur Jendral Pajak melakukan koreksi
atas pengakuan penghasilan pihak lessor.
d. Lessor dapat membentuk cadangan penghapusan piutang ragu-ragu yang
dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, setinggi tingginya 2,5% dari
rata-rata saldo awal dan saldo akhir piutang sewa-guna-usaha dengan hak
opsi
e. kerugian yang diderita karena piutang sewa-guna-usaha yang nyata-nyata
tidak dapat ditagih lagi, dibebankan pada cadangan penghapusan piutang
ragu-ragu yang telah dibentuk pada awal tahun pajak yang bersangkutan.
f. Dalam hal cadangan penghapusan piutang ragu-ragu tersebut tidak atau
tidak sepenuhnya dibebani untuk menutup kerugian yang dimaksud, maka
sisanya dihitung sebagai penghasilan. Apabila cadangan tersebut tidak
mencukupi maka kekurangannya dapat dibebankan sebagai biaya yang
dikurangkan dari penghasilan bruto.

Perlakuan Pajak Penghasilan Bagi Lessee:


a. Selama masa sewa-guna-usaha, lesse tidak boleh melakukan penyusutan atas barang
modal yang di sewa-guna-usahakan, sampai saat lessee menggunakan hak opsinya
untuk membeli.
b. Setelah lessee menggunakan hak opsinya untuk membeli barang modal tersebut,
lessee melakukan penyusutan dan dasar penyusutannya adalaj nilai sisa barang modal
yang bersangkutan.

3
c. Pembayaran sewa-guna-usaha yang dibayar atau terutang oleh lessee,kecuali
pembebanan atas tanah, merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto lessee.
d. Dalam hal masa sewa-guna-usaha lebih pendek dari masa yang ditentukan ( 2 tahun
untuk barang modal golongan I, 3tahun untuk barang modal golongan II dan III, 7
tahun untuk golongan bangunan), Direktorat Jendral Pajak melakukan koreksi atas
pembebanan biaya sewa-guna-usaha.
e. Lessee tidak memotong Pajak Penghasilan Pasal 23 atas pembayaran sewa-guna-
usaha yang dibayar atau terutang berdasarkan perjanjian sewa-guna-usaha dengan hak
opsi.

Perlakuan perpajakan di atas berbeda dengan standar akuntansi yang berlaku.


Perlakuan akuntansi untuk lessee dalam financial leasing mengharuskan:
- Lessee harus mengkapitalisasi barang modal yang di-leasing dan menimbulkan utang
leasing senilai nilai wajar barang modal yang di leasing.
- Aktiva yang di leasing kemudian diamortisasi sesuai dengan umur ekonomisnya.
- Pembayaran pokok leasing mengurangi utang leasing dan bunga leasing dan
dibebankan sebagai biaya tahun berjalan.
(Peraturan pelaksanaan perpajakan mengenai Capital/Finance Lease diatur dalam
Keputusan Menkeu No. 1169/KMK.01/1991 dan SE Dirjen Pajak No. SE-
29/PK.42/1992 yang direvisi dengan SE No.02.PK.31/1993).

Aspek Akuntansi
Perlakuan akuntansi atas transaksi leasing diatur secara detail dalam PSAK No. 30.
Menurut PSAK, suatu transaksi leasing akan disebut sebagai capital lease bila
memenuhi semua kriteria berikut ini:
a. Lessee memiliki hak opsi untuk membeli akhtiva yang di leasing-kan pada akhir
masa leasing dengan harga yang telah disetujui bersama pada saat dimulainya
perjanjian leasing.
b. seluruh permbayaran berkala yang dilakukan oleh lesse, ditambah dengan nilai sisa
mencakup pengembalian harga perolehan barang modal yang di-leasing-kan serta
bunganya sebagai keuntungan perusahaan leasing.
c. Masa leasing mimimum 2 tahun.

Jika salah satu dari kriteria tersebut tidak terpenuhi, maka transaksi leasing
dikelompokkan dalam sewa-menyewa biasa (operating lease).
Pelaporan dan pengungkapan transaksi capital lease bagi lessee:
- Aktiva yang di-leasing-kan dilaporkan sebagai bagian dari aktiva tetap dalam
kelompok tersendiri sebesar nilai perolehan barang modal. Kewajiban leasing yang
bersangkutan harus disajikan terpisah dari kewajiban lainnya ssebesar jumlah yang
harus dibayar ke lessor. Selisihnya dicatat sebagai beban bunga SGU (sewa-guna-
usaha) yang ditangguhkan yang akan diamortisir sselama periode leasing.
- Lesse diperbolehkan melakukan penyusutan barang modal diperoleh dengan cara
leasing dengan hak opsi.

4
Transaksi pembelian aktiva secara leasing di neraca komersial terdapat aktiva teta
SGU, dan uang jaminan sedangkan di sisi kredit neraca terdapat utang SGU. Beban yang
diakui berupa bunga leasing dan beban penyusutan.

Aspek Perpakan
Aspek perpajakan atas pengadaan atau pembelian aktiva tetap secara leasing menurut
ketentuan perpajakan adalah KMK. No 1169/ KMK.01/1991 tanggal 27 Nopember
1991. Dalam pasal 3 dan 4 keputussan tersebut dinyatakan kriteria-kriteria capital
lease dan operating lease sebagai berikut
Pasal 3
“ Kegiatan sewa-guna-usaha digolongkan sebagai sewa-guna-usaha (SGU) dengan
hak opsi apabila memenuhi semua kriteria berikut:
a. Jumlah pembayaran sewa-guna-usaha selama masa sewa-guna-usaha pertama
ditambah dengan nilai sisa barang modal, harus dapat menutup harga perolehan
barang modal dan keuntungan lessor.
b. Massa sewa-guna-usaha ditetapkan ssekurang-kurangnya 2 tahun untuk barang
modal golongan I, 3 tahun untuk barang modal golongn II dan II, dan 7 tahun untuk
golongan bangunan.
c. Perjanjian sewa-guna-usaha memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee
Pasal 4
" Kegiatan sewa-guna-usaha digolongkan ssebagai sewa-guna-usaha tanpa hak opssi
apabila memenuhi semua kriteria berikut:
a. Jumlah pembayaran sewa-guna-usaha sselama masa sewa-guna-usaha pertama
tidak dapat menutupi perolehan barang modal yang di sewa-guna-usahakan ditambah
keuntungan yang diperhitungkan oleh leasor.
b. Perjanjian sewa-guna-usaha tidak memuat kentuan mengenai opsi bagi lessse.
Apabila perussahaan membeli aktiva secara leasing dan memenuhi syarat yang
ditentukan ssebagai capital lease, maka secara fiscal semua pembayaran, yaitu cicilan
pokok dan bunga diakui sebagai beban tahun pengeluaran, sedangkan penyusutan
tidak diakui sebagai beban melakukan penyusutan dengan dasar penyusutan sebesar
nilai sisa. Di neraca fiscal tidak kelihatan, baru akan terdapat aktiva leasing sesuadah
hak opsi dijalankan.

3. Joint Operation/Konsorsium, Kepastian Hukumnya dan Tax Planningnya


Banyak proyek di Indonesia yang dikerjakan serta menjadi tanggung jawab dari
beberapa perseroan atau subyek pajak yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia,
atau didirikan oleh berkedukan di luar Indonesia. Bagi Pengusaha yang memeIliki
peluang investasi tetapi tidak memiliki dana atau aset yang cukup, dapat membentuk
keejasama operasi atau aliansi strategic antar badan, yakni Konsorsium atau Joint
Operation (JO). Pada Proyek berskala besar, peran perusahaan-perusahaan besar dan
perusahaan-perusahaan asing sangat dominan. Jika bentuk kerjasama konsorsium/JO ini
dapat diaplikasikan dalam berbagai proyek di sektor perekonomian lainnya, dalam
perpsektif jangka panjang bisa menjadi suatu terobosan pendanaan proyek untuk
pemerdayaan UMKM dan koperasi.
Aspek Perpajakan Kerjasama Administratif Formal atau Administrative JO

5
Kontrak dengan pihak pemberi kerja atau project owner ditandatangani atas nama JO.
Dalam hal ini JO dianggap seolah-olah merupakan entitas tersendiri yang terpisah dari
perusahaan para anggotanya. Tanggung jawab pekerjaan terhadap pemilik proyek berada
pada entitas JO, bukan pada masing-masing anggota JO. Masalaj pembagian modal kerja atau
pembiayaan proyek, pengadaan peralatan, tenaga kerja, biaya bersama, serta pembagian hasil
sehubungan dengan pelaksanaan proyek didasarkan pada porsi pekerjaan masing-masinh
yang disepakati dalam sebuah Joint Operation Agreement.
Aspek Perpajakan Kerjasama Operasional atau Non Administrative JO
JO dengan tipe ini dikalangan pengusaha jasa kontruksi sering disebut sebagai
Konsorsium dimana kontrak dengan pihak pemilik proyek dibuat langsung atas nama
masing-masing perusahaa anggota. Dalam hal oni JO hanya sebagai alat koordinasi.
Tanggung jawab pekerjaan terhadap project owner berada pada masing-masing anggota. Jadi
dapat disimpulkan, bahwa Non Administrative JO tidak wajib memiliki NPWP dan tidak
wajib menyelenggarakan pembukuan.

Perlakuan Perpajakan atas Joint Operation (JO)


I. Perlakuan Pajak Penghasilan Atas JO
Status Subjek dan Kewajiban Pajak dari JO
1. Joint operation (JO)adalah kerjasama operasi dua badan atau lebih yang sifat
nya sementara untuk melaksanakan suatu proyek tertentu sampai proyek
tersebut selesai dikerjakan.
2. Karena JO tidak termasuk subjek pajak PPh, maka penghasilan yang diterima
suatu JO sebenarnya adalah penghasilan para anggota yang besarnya bagian
masing-masing ditentukan sesuai perjanjian.
3. Kewajiban pajak lain yang pada JO adalah sebagai wajib pajak pemotong atau
pemungut PPh pasal 21, PPh pasal 23, PPh pasal 26 serta PPN.
4. Mengingat bahwa JO bukan merupakan subjek pajak, maka JO tidak
berkewajiban untuk menyampaikan SPT PPh Badan dan membayar PPh pasal
25 serta PPh pasal 29
Mekanisme Pemecahan Bukti Potong PPh Pasal 23
Seperti diketahui atass penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 23
burupa bunga, sewa, jasa teknik, jasa manajemen, dan lain lain yang diterima
atau diperoleh Joint Operation dari pemilik proyek, dipotong PPh pasal 23.
Agar pengkreditan pemotongan PPh pasal 23 dapat dimanfaatkan oleh para
anggota JO, maka Bukti Pemotongan PPh pasal 23 tersebut harus dipecah
untuk massing masing anggota JO sebagai kredit pajak mereka masing-masing
yang dijelaskan dalam Surat Edaran Dirjen Pajak No.SE-44/PJ./1994 untuk
mengatur mekanisme pemecahan bukti potong.
II. Perlakuan PPN Atas JO
Status dan Kewajiban PPN dari JO
1. JO dan anggota harus terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak

6
2. Atas penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dari JO kepada
pemilik proyek tidak di pungut PPN
3. Atas penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dari JO kepada JO,
terutang PPN dan anggota JO harus membuat faktur pajak kepada JO
4. Atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak oleh anggota JO tetap
terutang PPN yang merupakan pajak masukan bagi anggota JO tersebut.
Sebagai administrative JO, JO wajib mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak (PKP), dan konsekuensinya sebagai PKP tentu JO wajib memungut, menyetor
dan menyampaikan SPT masa PPN. Sedangkan bagi Non administrative JO, pemenuhan
kewajiban PPN-nya menjadi tanggung jawa masing-masing anggota JO, dan Joint Operation
bukan PKP.

Manajemen Pajak untuk Konsorsium/JO


Manajemen pajak yang baik bila didiesain sesuai ketentuan perpajakan, mendapatkan
komitmen dari manajemen, dan didukung dengan administrasi perpajakan dan pembukuan
yang baik, akan memberikan manfaat, yaitu :Meminimalkan terjadinya kejutan pajak dan
dapat menjalankan kewajiban dan haknya dibidang perpajakan secara efisien dan efektif
Kepastian Hukum Terhadap Pemajakan Atas JO
Sudah 25 tahu reformasi perpajakan diluncurkan tahun 1983, namun hingga kini
belum ada satu ketentuan dalam undang-undang pajak maupun Peraturan Pemerintah dan
Peraturan/Keputusan Menteri Keuangan yang mengatur pemajakan atas JO. Hanya ada satu
rulingsetingkan Surat Edaran Dirjen Pajak, yaknj SE No.44/PJ./1994 tentang mekanisme
pemecahan bukti potong PPh pasal 23 yang dikaitkan dengan SE No 26/PJ.9/1991 tentang
petunjuk Teknis Pemindahan Bukuan. Selain itu hanya surat-surat khusus sebagai jawaban
dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan wajib pajak yang dijadikan “acuan hukum” yang
berlaku bagi wajib pajak untuk kasus yang dipertanyakan.

4. Hospitality Industry

Golf
Tax review di polemik antara kalangan pengusaha golf dan pihak fiskus yang
tidak bisa diselesaikan melalui jalur hukum formal dalam batasan undang-undang
perpajakan, baik pajak pusat mauoun pajak daerah.
Pemajakan Industri Golf Mau Dibawa Kemana ?
Dengan diberlakukanya Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang pajak dan
retribusi daerah, industri golf termasuk dalam pajak daerah yang dikenai pajak hiburan,
padahal sebelum undang-undang tersebut diterbitkan, lapangan golf merupakan objek Pajak
Pertambahan Nilai, dimana PPN masukan dapat dikreditkan dengan PPN keluaran pada masa
pajak yang sama. Konsekuensi dari pembukuan Undang-Undang No. 28 tahun 2009 adalah
pada perlakuan perpajakanya, dimana PPN masukan lapangan Golf menjadi pungutan pajak
yang tidak dapat dikreditkan oleh perusahaan lapangan golf dan harus dibiayakan, sehingga
meenambah beban industri ini.

7
Ambivalensi Pemerintah dalam Perlakuan Pemajakan Industri Golf Di Indonesia
Dalam pasal 42 ayat 2 huruf g dan h undang -undang No 26 tahun 2009 tentang pajak
daerah dan retribusi daerah, antara lain dinyatakan, bahwa permainan bilyar, golf, dan boling
serta pacuan kuda, dan kendaraan bermotor digolongkan kedalam pajak hiburan. Selanjutnya
dalam ayat 3 dinyatakan “penyelenggaraan hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dapat
dikecualikan dengan Peraturan Daerah”. Namun disisi lain, bilyar, golf, dan boling dan
boling, berkuda, dan lomba yang oleh Komite Olahraga Nasional dan Komite Olimpiade
Indinesia telah diterapkan sebagai cabanh olahraga prestasi dan telah diperbandingkan dalam
kejuaraan tingkat nasional dan internasional.

Desakan Pemerintah Pusat (Menpora)


Untuk menyelamatkan pemasukan keuangan daerah dam kebutuhan APBD nya,
kalangan DPR lebih berpihak pada aspirasi daerah untuk menempatkan olahraga golf dalam
kategori objek pajak hiburan dalam undang pajak daerah dan restribusi daerah, ketimbang
berpihak pada kepentingan pengusaha golf, yang mau tidak mau terbebani dengan ekstra cost
yang timbul dari pajak hiburan tersebut

Dasar Hukum Perpajakan Industri Golf


1. Dalam Undang-Undang No 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah, BAB VI Pajak
Hotel, pasal 38 ayat 2 menjelaskan bahwa yang tidak termasuk objek pajak adalah
penyewaan rumah atau kamar, pelayanan tinggal asrama dan fasilitas olahraga dan
hiburan.
2. Undang-Undang No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pasal
42 menjelaskan bahwa Objek Pajak Hiburan dan hiburan seperti tontonan fIlm,
pameran dan sirkus
3. Berdasarkan pasal 4A ayat 3 Undang-Undang No 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atau Barang Mewah.
Kepastian Hukum antara Daerah dan Pusat
Kepastian hukum tampak kabur dan keadilan pajak pertanyakan karena keberadaan
industri golf dalam UU PPN No 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah
yang diberlakukan. Adanya tarik menarik antara pajak pusat dan pajak daerah,
pengusahamenajdi terjepit diantara dua kekuataan besar tersebut. Keduanya memiliki
legitinasi hukum tetapi dari aspek keadikan pajak dan efesiensinya, sangat merugikan
pengusaha. Keadilan pajak menajdi barang langka, karena upaya mengatasi ketidakadilan
menjadi benih ketidakadilan pajak bagi pengusaha. Pajak hiburan 10% dari pendapatan golf
dvsuatu daerah akan menguras locek pengusaha dan menambah beban operasional lapangan
golf, karena pajak daerah tidak dapat dikreditkan sepertv pajak pertambahan nilai yang
pajaknya dapat dibebankan kepada konsumen. Jadi industrv golf ini learning curve untuk
mencapai break even apalagi memperoleh profit butuh waktu yang cukup lama, karena nilai
investasinya sangat mahal, biaya operasinal lapangan golf, pupuk, biaya mesin sangat
besar.dvsisi lain tiket masuk green fee, caddy fe,buggy fee tidak bias tinggi apalagi bila harus
ditambah dengan beban pajak hiburan 100% ke kas pemda karena tidak bias dikreditkan.
Semua ini akan berdampak negative dan kontraproduktif bagi pengembangan industry golf

8
pemerintah atau pemda kurang tanggap. Bagaimana pun pemerintah pusat dan pemerintah
daerah harus bertanggung jawab terhadap pembinaan dan pengembangan olahraga golf.
Secara psikologis tindakan itu kontraproduktif bagi industry golf, mengurangi kenyamanan
dam mempersempit ruang gerak mereka dengan batasan-batasan ekonomis- politis.

Persektif pajak golf


Dipicu oleh otonomi daerah yang lebih mengedepankan pembagian jatah ‘’kue’’ yang
lebih besar untuk kepentingan daerah, para fungsionaris legislative dan eksekutif tidak lagi
berfikir kaidah normative dari perakuannya pajak pendapatan atau melibatkan kajian
histrorisnya. Bagi mereka selama masih ada titik persinggungan dengan kegiatan wisata atau
hiburan, maka golf dikenakan pajak daerah/ hiburan, tanpa memperduli pandangan orang
atau negara lain. Pungutan PPN masukan dan pajak daerah bagi perusahaan golf tidak sama
dengan pajak penjualan, semuanya di perlakukan sebagai ‘’dibiayakan’’ dalam pembukuan
perusahaan golf, disatu sisi pengenaan PPN masukan dengan tariff 10% dari nilai pembelian
barang dan jasa harus dibiayakan, atas pembayaraan pajak daerah 10% dari pendapatan golf
ke kas daerah juga harus di biayakan.

Dampak positif
Upaya yang harus ditempuh untuk menuju terciptanya kondisi yang lebih teknis dalam
pemajakan atas pendapatan industry golf adalah:
 Tercipatnya iklim perpajakan yang lebih mendorong tumbuh dan berkembangnya
industry golf serta pembinaan atau pengembangan olah taga di Indonesia
 Terciptanya moral perpajakan yang leih baik. Untuk membidik pendapatan daerah
yang lebih tinggi, tidak perlu dilakukan dengan ‘’mendegradas I’’ klasifikasi pajak
yang mestinya pajak pusat menjadi pajak daerah
 Merapatkan mata rantai pemejakan PPN untuk mencegah distrosi agar hak
pengkreditan pajak masukan tidak terganggu
 Mengikatkan kepastian hukum tentang PPN atas pendapatan golf
 Prisip keadilan dalam proses pemajakan dikedepankan
 Menghilangkan pemejakan ganda yang merugikan pengusaha golf akibat high cost
economy

(II) Aspek Perpajakan Hotel dan Tax Plainingnya


Ditengah tingginya pertumbuhan hospitality industry salah satu peluang bisnis
menjanjikan adalah menjadi penusaha hotel. Usaha perhotelan (hotel berbintang) di seluruh
Indonesia tahun 2010 mengalami pertumbuhan sebesar yang cukup signifikan. Menurut
kepala BPS rusman heriawanpertumbuhan ekonomi kuartal pertama tahun 2010 sebesar 5,7
persen , hotel dan restoran tumbuh sebesar 9,3 persen. Hotel adalah fasilitas penyediaan jasa
penginapan atau peristirahatan termasuk jasa terkait dengan dipungut bayaran. Hotel ini
mencakup juga motel,losmen,gubuk pariwisata, wisma pariwisata,pesanggrahan, rumah
penginapan, serta rumah kos dengan jumlah kamar lebih 20. Pajak hotel merupakan pajak

9
daerah masng-masing daerah memiliki peraturah daerah sendr. Pada dasarnya subjek dan
objek pajak sama saja disemua propinsi. Dalam mengukur kinerja hotel ada benchamark yang
dapat digunakan sebagai indicator pengukur kesuksesaan manajeman hotel misalnya
accupany rste, F&B ratio, tergantung pada besarnya investasi. Biasanya hotel juga dengan
acupany rate dibawah 50% masih belum memperoleh laba operasi. Tax plaining sangat
penting untuk diterapkan dalam stretegi manajeman perusahaan hotel terkait dengan strategi
penerapan peraturan perpajakan secara efektif dan efisien untuk kelangsungan usaha.
Perencanaan pajak adalah suatu keniscayaan bagi setiap perusahaan yang menginginkan
adanya tax saving, sepanjang cara-cara yang ditempuh masih dalam koridor UU perpajakan.
Menyusun perencanaan pajak sejak dini, perusahaan akan bias terhindar dari segala hal yan
bias mengakibatkan meningkatnya beban pembayaraan pajak dikemudian hari. Pemahaman
konsep PPN dan Pajak hotel ini sangat diperlukan bagi pengusaha hotel dalam praktik
dilapangan masih banyak pengusaha tidak bias membedakan mana jenis usaha yang terkena
pajak daerah dan yang terkena pajak pertambahan nilai. Kebetulan tarifnya sama yaitu 10%.
Pajak hotel dikategorikan sebagai pajak daerah, tidak ad faktur pajak yang diberikan kepada
penyewa karena atas pembebanan pajak daerah langsung dapat dibiayakan oleh penyewa
kamar hotel.

Aspek Pajak Pertambahan Nilai


Hotel adalah subjek pajak daerah. Setiap pembelian barang konsumsi dan barang
modal terkena PPN sedangkan pendapatan hotel buka merupakan objek PPN. Akibatnya
terjadi penumpukan PPN masukan sedangkan PPN keluaraan praktis nihil jumalahnya tidak
signifikan. Bila hal ini dibiarkan tanpa adanya plan of action yang jelas, ketidakseimbangan
cash flow terjadi dan mengganggu daya dukung cash manajement perusahaan. Cash flow
adalah urat nadi yang menentukan kesehataan perusahaan dan itu sistem pengamanan harus
diprioritaskan. Admnistrasi dan perencanaan harus tertata dan dikelola dengan baik dan
kokoh dan sebab harus dijadikan salah satu barometer kinerja finansial.

Aspek Pajak Penghasilan


a. Tax shifting
Selan baya F&B restoran, pengeluaran biaya yang paling besar disektor usaha hotel
adalah biaya tenaga kerja. Hotel adalah bidang usaha yang menyerap banyak tenaga
kerja manusia. Tahap awal recruitement perusahaan harus menggantisipasi terjadinya
penggeseran beban pajak penghasilan karyawan agar tidak menjadi beban perusahaan
dikemudian hari. Kebijakan bertujuan untuk menghemat beban pajak perusahaan
mulai didirikan strategi ini diimplementasikan semua tingkat karyawan, semua biaya
ikutan seperti lembur, tunjangan, transportasi, THR, pesangon, pengganti cuti, akan
mengacu pada kebijakan dasar itu.
b. Memerdayakan tenaga outsourcing
Cara lain resiko atau beban pajak adalah dengan memberdayakan tenaga sebanyak
mungkin sepanjang tidak melanggar regulasi pemerintah . pengarahan tenaga kerja
bukan kebijakan yang populsi dimata pekerja dan memliki hubungan dalam serkat
pekerja dan ketenaga kerjaan dari aspek perpajakan kita menemukan perlakuan

10
kerjaan yang berbeda dalam perhitungannya berdampak timbulnya mengenai sanksi
perpajakan terkat dengan ppn dan pengenaan sanksi perpajakan.

5. Implikasi Fasilitas PPh Pada Yayasan Pendidikan

Di Indonesia, pemberian fasilitas perpajakan terhadap lembaga pendidikan


terbilang masih minim.padahal jika ingin bersaing dengan negara lain, pemerintah
harus membantu, salah satu caranya adalah dengan memberikan keringanan pajak.
Menanggapi hal tersebut pemerintah menyatakan kesungguhannya dengan menata
kembali kebijakan-kebijakannya. Pada 23 September 2008, Undang-Undang No. 36
tahun 2008 tentang perubahan ke-empat atas UU Nomor 7 tahun 1983 tentah Pajak
Penghasilan.
Dalam aturan pelaksana disimpulkan bahwa sisa lebih yang diterima badan
atau lembaga nirlaba tersebut akan dikecualikan dari Objek PPh apabila sisa lebih
yang diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang ditanamkan kembali dalam bentuk
sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan atau penelitian dan pengembangan,
yang diselenggarakan bersifat terbuka kepada pihak manapun, dalam jangka waktu
paling lama 4 tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut.

Penegakan disiplin anggaran/pendanaan


1. Dana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan wajib digunakan untuk
pembangunan gedung dan prasarana pendidikan dalam jangka waktu 4 tahun seteleh
berakhirnya tahun pajak diterimanya dana tersebut
2. Apabila setelah lewat jangka waktu tersebut, yayasan tidak menggunakan dana
pembangunan gedung dan prasarana pendidikan dimaksud, maka dana pembangunan
gedung dan prasarana pendidikan tersebut diakui sebagai penghasilan dan dikenakan
PPh pada tahun pajak berikutnya.
3. Pengenaan PPh atas dana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan yang
tidak digunakan setelah lewat jangka waktu 4 tahun akan ditambah dengan sannksi
sesuai denganketentuan perpajakan.

Pelaporan Penyelenggaraan Pembangunan Gedung dan Prasaraba Pendidikan


1. Yayasan memberitahukan rencana fisik sederhana dengan rencana biaya
pembangunan gedung dan prasarana pendidikan tersebut kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak setempat dengan tindasan kepada Direktur Jendral Pendidikan Tinggi
dan atau Direktur Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah atau yang ditunjuk,
dengan dilampiri pernyataan.
2. Laporan mengenai penyediaan dan penggunaan dana pembangunan gedung dan
prasarana pendidikan dan kepada kepala kantor Pelayanan Pajak setempat dalam
lampiran SPT tahunan PPh.
6. Jasa Pelatihan atau Event Organizer

Penyelenggara acara (event organizer atau EO) adalah istilah yang diberikan
untuk penyedia jasa penyelenggara acara professional. Modal utama EO adalah
kreatifitas. EO bertugas membantu kliennya untuk dapat menyelenggarakan acara
yang diinginkan.

11
Dalam Peraturan Menteri Keuangan, disebutkan bahwa: jasa penyelenggara
kegiatan atau event organizer adalah kegiatan usaha yang dilakukan oleh pengusaha
jasa penyelenggara kegiatan yang meliputi, antara lain penyelenggaraan pameran,
konvensi, pagelaran musik, pesta, seminar dan kegiatan lain yang memanfaatkan jasa
penyelenggara kegiatan (PMK No. 244/PMK.03/2008)

Dilema Event Organizer


Dalam konteks penyelenggaraan Jasa Pelatihan Publik, jika karakteristiknya sudah
solid seperti tema acara pelatihan yang sudah menjadi trade mark, memiliki program reguler
atau berupa paket in house traning, service blueprint yang standar, dengan target audience
yang jelas dan calon sponsor potensialnya yang mendukung, kenapa tidak meningkatkan
status dari penyelenggara kegiatan EO menjadi penyelenggara jasa pelatihan dari sebuah
institusi pendidikan. Perubahan ini membawa konsekuensi, kalau tadinya merupakan profesi
penyelenggara kegiatan, sekarang berubah bentuknya menjadi Pusat Jasa
Pelatihan/Pendidikan Tenaga Kerja atau Sumber Daya Manusia. Untuk menjamin kepastian
hukum dalam bidang perizinan usaha serta perlakuan perpajakannya, restrukturisasi bisnis
saja tidak cukup, dan bisa dipersoalkan oleh instansi terkait, misalnya dalam perlakuan
perpajakannya dan lain-lain. Oleh sebab itu, izin penyelenggaraan pelatihan tenaga kerja
yang dikeluarkan oleh kepala dinas tenaga kerja departemen tenaga kerja (depnaker) mutlak
diperlukan

Aspek Perpajakannya
a. Jasa Event Organizer
Berdasarkan pasal 4 ayat 1 UU PPN No.42 tahun 2009 disebutkan bahwa PPN
dikenakan atas penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh
pengusaha. Dengan memperhatikan Pasal 4 A ayat (3), jelas bahwa jasa EO tidak
terdaftar dalam kelompok jasa tertentu yang tidak dikenai pajak pertambahan nilai, dan
oleh sebab itu jasa EO adalah merupakan objek pengenaan PPN dengan tarif umum 10%.
UU No.36 Tahun 2008 yang selanjutnya peraturan pelaksanaanya diatur dengan
peraturan menteri keuangan No.244/PMK.03/2008 ditegaskan bahwa Jasa EO merupakan
objek pengenaan PPh Pasal 23 di potong Pajak Penghasilan sebesar 2% dari jumlah bruto
tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.

b. Jasa Pendidikan/Pelatihan Publik


Tabel 1-Event Organizer
No Items Jasa PPN PPh Pasal 23
1 Jasa Penyelengara Dikenakan PPN Dipotong PPh
kegiatan 10% dari tagihan Ps.23 oleh klien-
jasa tarif 2%
2 Jasa In House Traning Dikenakan PPN Dipotong PPh
10% dari tagihan Ps.23 oleh klien-
jasa tarif 2%

12
No Items Jasa PPN PPh Pasal 23
1 Jasa Penyelengara Tidak Dikenakan Tidak Dipotong
kegiatan PPN PPh Ps.23 oleh
klien
2 Jasa In House Traning Tidak Dikenakan Tidak Dipotong
PPN PPh Ps.23 oleh
klien

Berdasarkan tabel 1 dan 2 pengusaha bisa melihat pilihan mana yang lebih
memberikan kemudahan dan keuntungan buat perusahaan. Bagi institusi
penyelenggara kegiatan pelatihan publik yang semula harga jasa pelatihannya sudah
termasuk PPN, maka pilihan pada tabel 2 akan lebih menguntungkan dengan alasan
sebagai berikut:
Penghematan biaya kalau semula harus bayar sendiri PPNnya 10% (karena
tagihan inclusive PPN), sekarang tidak perlu dikenakan PPN. Saving cost 10% dari
nilai omzet. Cash flownya juga lebih favourable ketimbang pilihan pada tabel 1
karena atas invoicenya tidak perlu ada pemotongan PPh Pasal 23 oleh klien, sehingga
dana yang diterima dari klien utuh 100%

Tax Planning
Semua billing kepada klien harus dibuat sebagai “pelatihan jasa publik”. Surat
pengantar faktur penjualan atau investor yang diserahkan kepada klien, menyebutkan klien
untuk memotong pajak pemotongan dengan mengacu pada pasal undang-undang pajak yang
bersangkutan tidak diperlukan
Agar diakui secara hukum oleh pemerintah sebagai institusi pendidikan atau lembaga
pelatihan atau sebagai perusahaan kasa penyelenggara pelatihan publik/program kursus,
menjadi prioritas utama dan pertama untuk mendapatkan Sertifikat Ijin Usaha dari
Departemen Tenaga Kerja untuk diakui.

7. Fenomena Keadilan dalam Sistem PPh Final


Secara historis, PPh final mulai marak sejak 1995 menyusul diberlakukannya UU
pajak penghasilan 1994. Dalam Pasal 4 ayat 2. Usulan PPh final untuk jasa kontruksi
mengemuka saat asosiasi Gabungan Pelaksana Kontruksi seluruh Indonesia mengadakan
kongres di Surabaya kemudian disetujui oleh pemerintah

Justifikasi yang juga menjadi Keuntungan PPh Final


 Bagi wajib pajak, tarif PPh final sangat menguntungkan jika grafik pertumbuham
ekonomi naik saat bisnis jasa kontruksi sedang booming. Dalam situasi ini, pelaku
bisnis mampu meraup keuntungan yang besar. Pengenaan PPh final yang sifatnya flat
terhadap penghasilan bruto jauh lebih menguntungkan dibanding dengan tarif
progresif 10%, 15% dan 30 % sebagaimana diatur dalam Pasal 17 UU PPh th 2000,

13
bahkan untuk Jasa-jasa kena pajak tertentu misalnya Usaha Jasa Kontruksi, dengan
tarif yang berlaku di UU PPh No.36 th 2008 juga masih menguntungkan.
 Pembenaran dalam penerapan sistem PPh final adalah jaminan bahwa penerimaan
pahak dari sektor ini akan meningkat dibandingkan dengan saat dikenakan tarif
umum. Pajak final dikenakan atas basis nilai transaksi, tanpa memandang asal-usul
penghasilan tersebut

Kelemahan PPh Final


 Sebaliknya bagi wajib pajak, tarif PPh final menjadi bumerang pada saat grafik
pertumbuhan ekonomi trendnya menurun atau pada saat mereka menderita rugi, sebab
pengenaan PPh final dikenakan terhadap penghasilan bruto, bukan penghasilan neto.
 Kehilangan hak kompensasi rugi fisikal untuk mengompensasi kerugian yang diderita.
 Kemudahan dan kesederhanaan serta kepastian hukum dalam menghitung pengenaan
Pajak Penghasilan agar tidak menambah beban administrasi Wajib Pajak maupun
direktorat jendral pajak mengalahkan aspek pentingnya keadilan dalam pemajakan
jasa kontruksi.
Dengan mengatasnamakan keadilan pajak, pemerintah menerbitkan PP Nomor 140/2000.
Melalui PPn ini, penghasilan yang diterima perusahaan jasa konstruksi, pengawas,
perncanaan, dan konsultan kembali ke tarif umum kecuali mereka yang omzetnya di bawah
Rp 1 miliar. Tarif untuk perusahaan skala kecil sama dengan PP 73/1996, yaitu 2% untuk jasa
pelaksana kontruksi, dan 4% untuk jasa perencana dan pengawas kontruksi. Namun jasa
konsultan hilang dari PP 140/2000
1. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WP DN dan BUT dari usaha dibidang
jasa kontruksi yang memenuhi dua syarat yaitu kualifikasi sebagai usaha kecil
berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang dan tang
mempunyai nilai pengadaan sampai 1 miliah rupiah dikenakan pajak penghasilan
yang bersifat final dengan tariff
 2% dari jumlah bruto yang diterima WP penyedia jasa pelakasana kontruksi
 4% dari jumlah bruto yang diterima WP penyedia jasa perencana kontruksi
 4% dari jumlah bruto yang diterima WP penyedia jasa pengawasan kontruksi
2. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WP, DN, BUT dari usaha dibidang jasa
kontruksi yang tidak memenuhi salah satu syarat sebagai usaha kecil berdasarkan
sertifikat yg dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang atau yang mempunyai nilai
pengadaan sampai 1 miliar rupiah dikenakan pajak penghasilan berdasarkan
ketentuan umum UU PPh dan merupakan objek pemotongan PPh pasal 23.
Tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final (PP No.51 tahun 2008) ditetapkan sebagai
berikut:
 2% untuk Pelaksana kontruksi yang dilakukan Penyedia Jasa dengan kualifikasi
usaha kecil
 4% untuk Pelaksanaan kontruksi yang dilakukan penyedia jasa yang tidak
memiliki kualifikasi usaha
 3% untuk Pelaksanaan kontruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa selain
penyedia jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b
 4% untuk Perencanaan kontruksi atau Pengawasan kontruksi yang dilakukan oleh
penyedia jasa yang memiliki kualifikasi usaha

14
 6% untuk Perencanaan kontruksi atau pengawasan kontruksi yang dilakukan oleh
penyedia jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha

Ambivalensi Pemajakan Usaha Jasa Kontruksi


Pertimbangan yang mendasari penetapan penghasilan yang dapat dikenai pajak
bersifat final, antara lain:
 Kesederhanaan dalam pemungutan pajak
 Berkurangnya beban administrasi baik bagi wajib pajak maupun Direktorat Jendral
Pajak
 Pemerataan dalam pengenaan pajaknya
 Memperhatikan perkembangan ekonomi moneter, atas penghasilan-penghasilan
tersebut perlu diberikan perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajaknya. Perlakuan
tersendiri dalam pengenaan pajak atas jenis penghasilan tersebut termasuk sifat,
besarnya, dan tata cara pelaksanaan pembayaran, pemotongan atau pemungutan diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

15

Anda mungkin juga menyukai