Anda di halaman 1dari 7

Spiritualisme ditengah Keberagaman Beragama dengan Peran Pemuda Sebagai Agen

Perubahan

Sinta Ayu Pratiwi

Abstrak

Pendahuluan
Jika berbicara mengenai spiritualisme pasti akan sering dikaitkan dengan individu
yang menjadi subyeknya. Belakangan ini hal-hal yang menyangkut agama sedang ramai
diperbincangkan. Tidak dapat dipungkiri juga bahwa agama adalah salah satu hal yang
sensitif dikalangan masyarakat. Indonesia dengan 6 agama besar didalamnya mempunyai
tanggung jawab yang besar juga dalam upaya untuk menjaga keutuhan bangsanya. Oleh
karena itu diperlukan kesadaran masing-masing yang harus ditanamkan sejak dini seperti,
menanamkan nilai toleransi sejak dini kepada anak-anak, mengajari untuk saling berbagi dan
menghormati dengan sesama temannya, dan sebagainya.
Tidak hanya kepada anak-anak, upaya tersebut juga harus dimiliki dikalangan
pemuda. Pemuda menjadi suatu generasi yang dipundaknya terbebani bermacam-macam
harapan, terutama dari generasi setelahnya. Mereka dijadikan contoh dan tauladan bagi
penerusnya serta diharapkan menjadi generasi yang dapat mengubah masa depan bangsa
menjadi lebih baik. Pemuda diibaratkan sebagai agen perubahan, dengan maksud agar
mereka dapat menjadi salah satu kalangan yang berperan penting dalam kemajuan bangsanya.
Tidak hanya para pejabat negara yang dapat mencari jalan keluar atas konflik yang terjadi,
namun pemuda juga mampu mencari jalan keluar dari permasalahan yang ada.
Sehingga mereka juga bisa menduduki peran penting atas terselesaikannya masalah
atau konflik yang terjadi dimasyarakat. Sudah sewajarnya memang, tidak hanya segi
kepercayaan saja, tapi juga jika dilihat dari keberagaman suku yang ada yang memicu
semakin panasnya suatu konflik yang kadang sampai menyebabkan perpecahan. Mereka
sangat memegang teguh nilai-nilai kebenaran dalam agamanya, beribadah dengan
menjalankan ketentuan agama masing-masing, serta hidup dengan tuntunan yang diyakini
benar menurut kepercayaan. Namun bagaimana jika hal itu dilakukan ditengah keberagaman
serta sifat egoisme yang kadang masih melekat pada sebagian masyarakat?.
Perkembangan aktivitas keagamaan
Hampir seluruh ahli ilmu jiwa sependapat, bahwa sesungguhnya apa yang menjadi
keinginan dan kebutuhan manusia itu bukan hanya terbatas pada kebutuhan makan, minum,
pakaian ataupun kenikmatan-kenikmatan lainnya.1 Berbicara tentang aktivitas keagamaan,
erat kaitannya dengan beribadah. Setiap individu mempunyai hak dalam beribadah menurut
agama yang dianutnya. Beribadah tidak hanya dalam hal menghadap pada Sang Pencipta,
namun juga tentang bagaimana sikap kita terhadap sesama manusia dan lingkungan sekitar.
Jika secara mutlak emosi berperanan tunggal dalam agama, maka ia akan mengurangi
nilai agama itu sendiri sebagaimana dikemukakan oleh W. H. Clark: Upacara keagamaan
yang hanya menimbulkan keributan bukanlah merupakan agama sama sekali.2 Agama juga
menjadi salah satu peran penting bagi kesuksesan seseorang, banyak dari mereka yang sukses
mengaku bahwa mereka selalu berusaha sekuat tenaga dan tidak lupa diiringi dengan doa.
Dengan begitu sebagai manusia kita dituntut untuk tetap taat dan patuh terhadap ketentuan
yang ada dalam agama masing-masing namun tidak sampai melupakan dunia yang dipenuhi
kemerlap cahaya yang mampu menghanyutkan penikmatnya.

1
Dr Jalaluddin, psikologi agama, (jakarta, 1998), 53
2
Ibid, 57
Perbuatan manusia yang bersifat keagamaan dipengaruhi dan ditentukan oleh tiga
fungsi yaitu cipta, rasa, dan karsa berikut penjelasannya:
1. Cipta (reason)
Melalui cipta orang dapat menilai dan membandingkan dan selanjutnya memutuskan
suatu tindakan terhadap stimulan tertentu. Perasaan intelek ini dalam agama
merupakan suatu kenyataan yang dapat dilihat, terlebih-lebih dalam agama modern
peranan dan fungsi reason ini sangat menentukan
2. Rasa (emotion)
Suatu tenaga dalam jiwa manusia yang banyak berperan dalam membentuk motivasi
dalam corak tingkah laku seseorang yang jika dilakukan secara berlebihan menyebkan
ajaran agama itu menjadi dingin. Untuk itu fungsi reason hanya pantas berperan
dalam pemikiran mengenai super natural saja, sedangkan untuk memberi makna
dalam kehidupan beragama diperlukan penghayatan yang seksama dan mendalam
sehingga ajaran itu tampak hidup.
3. Karsa (will)
Will erfungsi mendorong timbulnya pelaksanaan doktrin serta ajaran agama
berdasarkan fungsi kejiwaan. Mungkin saja pengalaman agama seeorang bersifat
inytelek ataupun emosi, namun jika tanpa adanya peran will maka agama tersebut
belum tentu terwujud sesuai dengan kehendak reason atau emosi.3
Kini, orang-orang beragama harus meninggalkan kepentingan pribadi yang sempit
dan berusaha menemukan cara baru untuk melaksanakan apa yang terbaik dan mulia menurut
tradisi iman mereka.4 Tiga hal tersebut menjadi alasan berkembangnya spiritualisme dalam
diri seseorang. Tidak lupa pula didukung oleh aktivitas keagamaan yang dilakukannya,
seseorang mampu mengekspresikan dalam berbagai bentuk. Agama untuk manusia, bukan
manusia untuk agama. Demikian juga halnya, agama bukan untuk Tuhan, karena itu memang
Tuhan tidak memerlukan agama.5
Menurut penelitian Ernest Harms perkembangan agama anak-anak itu melalui
beberapa fase (tingkatan), dalam bukunya The Development of religious on Children:
1. The Fairy Tale Stage (Tingkat Dongeng)
Tingkatan ini dimulai pada anak yang berusia 3-6 tahun. Pada tingkatan ini
konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi.
Kehidupan masa ini masih banyak dipengaruhi kehidupan fantasi hingga dalam
menanggapi agama pun anak masih menggunakan konsep fantasi yang diliputi
oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal.
2. The Realistic Stage (Tingkat Kenyataan)
Tingkat ini dimulai sejak anak masuk sekolah dasar hingga sampai ke usia
adolesense. Pada masa ini keagamaan pada anak didasarkan atas dorongan
emosional, hingga mereka dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis.
3. The Individual Stage (Tingkat Individu)
Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan
dengan perkembangan usia mereka. Konsep ini terbagi menjadi tiga:

3
Ibid, 56-58
4
Charles Kimball, kala agama menjadi bencana, (bandung, 2003), 277
5
Prof. Dr. Musa Asy’arie, dialektika agama untuk pembebasan spiritual, (yogyakarta, 2002), 16
a. Konsep ke-Tuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi
sebagian kecil fantasi.
b. Konsep ke-Tuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam pandangan yang
bersifat personal (perorangan).
c. Konsep ke-Tuhanan yang bersifat humanistik.6

Kemudian perkembangan jiwa keagamaan pada remaja. Sejalan dengan


perkembangan jasmani dan rohaninya, maka agama pada para remaja turut dipengaruhi
perkembangan itu. Ada beberapa faktor terjadinya perkembangan tersubut:
1. Pertumbuhan pikiran dan mental
Sifat kritis terhadap ajaran agama mulai timbul. Selain masalah agama, mereka pun
juga tertarik pada masalah kebudayaan, sosial, ekonomi, dan norma-norma kehidupan
lainnya.
2. Perkembangan perasaan
Perasaan sosial, etis, dan estetis ,mendorong remaja untuk menghayati perikehidupan
yang terbiasa dalam lingkungannya. Kehidupan relijius akan cenderung mendorong
dirinya lebih dekat ke arah hidup yang relijius pula.
3. Pertimbangan sosial
Dalam kehidupan keagamaan mereka timbul konflik antara pertimbangan moral dan
material. Karena kehidupan duniawi lebih dipengaruhi kepentingan akan materi, maka
para remaja lebih cenderung jiwanya untuk bersikat materialis.
4. Perkembangan moral
Perkembangan moral para remaja bertitik tolak dari rasa berdosa dan usaha untuk
mencari proteksi. Tipe moral pada remaja mencakup:
a. Self-directive, taat terhadap agama atau moral berdasarkan pertimbangan pribadi.
b. Adaptive, mengikuti situasi lingkungan tanpa mengadakan kritik.
c. Submissive, merasakan adanya keraguan terhadap ajaran moral dan agama.
d. Unadjusted, belum meyakini akan kebenaran ajaran agama dan moral.
e. Deviant, menolak dasar dan hukum keagamaan serta tatanan moral masyarakat.
5. Sikap dan minat
Sikap dan minat remaja terhadap masalah keagamaan boleh dikatakan sangat kecil
dan hal ini tergantung dari kebiasaan masa kecil serta lingkungan agama yang
mempengaruhi mereka (besar kecil minatnya).7
Agama menjadi tantangan dimasyarakat
Di beberapa tempat dinegara kita akhir-akhir ini telah terjadi gangguan terhadap
kerukunan antar umat beragama, yang tidak selalu disaebbkan oleh faktor masalah agama
murni, melainkan oleh faktor-faktor lain8. Masalah tersebut akhirnya banyak berdampak pada
lingkungan sosial yang juga membuat berbagai pihak dirugikan. Masyarakat semakin
dihantui rasa takut dengan munculnya aksi-aksi demo, aksi bom bunuh diri ataupun terorisme
yang terjadi. Padahal saat terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut pemerintah sedang

6
Dr. Jalaluddin, psikologi agama, (jakarta, 1998), 66-67, Loc. Cit
7
Ibid, 72-74
8
Prof. Dr. H. Munawir sjadzali, ham dan pluralisme agama, (surabaya, 1997), 55
merencanakan pembangunan nasional untuk negara ini. Hampir tiga puluh tahun terakhir
banga kita telah berhasil melkasanakan pembangunan nasional.
Dan, stabilitas politik hanya mungkin terwujud kalau terdapat dan dapat dibina
keserasian sosial.9 Singkatnya, kerukunan hidup antar umat beragama dalam masyarakat
Indonesia yang majemuk ini merupakan syarat mutlak bagi stabilitas politik, yang mana
merupakan sendi dari keberhasilan pembangunan nasional. Kebebasan yang menjadi milik
hakiki dari setiap pribadi, yang selama ini terpasung dalam kekuasaan politik penguasa, tiba-
tiba juga dilepaskan.10 Kebebasan berpendapat terutama yang sekarang ini muncul, dengn
berbgai bentuk pengekspresiannya mampu mrnimbulkan pro dan kontra.
Dalam menyikapi terjadinya perubahan-perubahan dalam hidup, yang diperlukan
adalah kearifan dan kerendahhatian untuk dapat menerima setiap perubahan dengan penuh
kesadaran bahwa manusia tidaklah pernah mampu menempati posisi yang mutlak., apalagi
menggenggam kemutlakan.11 Oleh karena itu, kita sebagai warga Indonesia harus memiliki
rasa tenggang rasa atau toleran yang tinggi. Jangan sampai hanya karena agama kita saling
menghujat. Perbedaan akan selalu ada dimanapun dan kapanpun kita berada. Sebagai kaum
beragama kita tidak hanya dituntut untuk menjalankan syariat atau tuntunan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku dalam agama masing-masing.
Menjalankan ibadah dengan hati ikhlas dan tidak lupa menjalin hubungan yang baik
dengan lingkungan sekitar. Karena kita sebagai manusia tidak hanya membutuhkan bantuan
Tuhan dalam menyelesaikan setiap cobaan dalam hidup tapi juga terhadap sesama manusia
kita hendaknya menciptakan suasana yang harmonis agar tercipta hubungan yang selaras. Dr.
Dzakiah Daradjat mengemukakan, bahwa selain dari kebutuhan jasmani dan kebutuhan
rohani manusia pun mempunyai suatu kebutuhan akan adanya keseimbangan dalam
kehidupan jiwanya agar tidak mengalami tekanan, yaitu:
1. Kebutuhan akan rasa kasih sayang.
Sebagai pernyataan tersebut dalam bentuk negatif dapat kita lihat dalam kehidupan
sehari-hari, misalnya: mengeluh, mengadu, menjilat kepada atasan
mengambinghitamkan orang lain dan sebagainya.
2. Kebutuhan akan rasa aman.
Kebutuhan yang mendorong manusia mengarapkan adanya perlindungan.
3. Kebutuhan akan rasa harga diri.
Kebutuhan yang bersifat individual yang mendorong manusia agar dirinya dihormati
dan diakui oleh orang lain.
4. Kebutuhan akan rasa bebas.
Kebutuhan akan rasa bebas ini terlihat dari pernyataan kebebasan untuk menyatakan
keinginan sesuai dengan pertimbangan batinnya, misalnya: melakukan sesuatu dan
menyatukan sesuatu.
5. Kebutuhan akan rasa sukses.
Kebutuhan manusia yang menyebabkan ia mendambakan rasa keinginan untuk dibina
dalam bentuk pernghargaan terhadap hasil karyanya.
6. Kebutuhan akan rasa ingin tahu (mengenal).

9
Ibid, 55
10
Prof. Dr. Musa Asy’arie, dialektika agama untuk pembebasan spiritual, (yogyakarta, 2002), 107, Op. Cit
11
Ibid, 108
Kebutuhan yng menyebabkan manusia selalu meneliti dan menyelidiki sesuatu.12
Seperti itulah Dr. Dzakiah Darajat mengemukan pendapatnya mengenai kebutuhan
manusia. Penjelasan diatas dimaksudkan bahwa jika manusia melaksanakan agama secara
baik maka kebutuhan-kebutuhan sosial juga diharapkan berjalan dengan semetinya. Baik kita
secara sadar telah bergulat dengan masalah partikularitas dan pluralisme atau tidak , pada
tingkat tertentu kita menyadari bahwa agama merupakan unsur kehidupan manusia yang
kompleks.13 Tidak perlu berlebihan dalam berinteraksi dengan orang lain, karena hal itu juga
dapat menimbulkan rasa tidak nyaman. Namun yang paling utama adalah bagaimana cara
menjaga hubungan kita dengan sekitar agar tetap rukun dan damai tanpa menimbulkan
kesenjangan sosial.
Membangun pondasi yang kuat dalam beragama.
Terlepas apakah seseorang itu agamawan sejati atau sekularis fanatik, kita tetap perlu
mengambil langkah berikutnya setelah mengetahui faktor-faktor yang dapat memprediksi
kapan agama berubah menjadi jahat, kepada satu pemahaman yang jelas tentang bagaimana
agama tetap setia kepada sumber-sumber autentiknya dan sebuah kekuatan bagi perubahan
yang positif. Dalam jantung semua tradisi agama besar, kita menemukan kebenaran dan
prinsip-prinsip yang tak terbantahkan yang menjadi penangkal pertama bagi setiap kekerasan
dan ekstremisme.14
Dalam setiap tradisi agama besar di dunia, para nabi, teolog, ulama, orang-orang
bijak, dan orang-orang biasa, yang yang dimuliakan oleh kehidupan suci yang diajarkan
agama-agama itu selalu memperbaiki dan memperdalam praktik spiritual danajaran teologis
dalam agama mereka untuk mendukung terciptanya perdamaian dan rekonsiliasi, bukan
mendukung perang dan balas dendam.15 Dengan begitu kita sebagai pemeluk agama
mengikuti para tokoh yang kita anut dalam beragama, sikap dan perilakunya yang baik
menurut kita sepatutnya diikuti. Dalam beragama semua dianggap sama tanpa ada perbedaan
status, dimata Tuhan kita sebagai hamba hanya diwajibkan menyembah dan mempercayai
segala kuasa-Nya.
Tidak ada agama yang saling menjatuhkan terhadap sesamanya, baik mereka sesama
pengikutnya ataupun tidak. Kita memerlukan paradigma baru baik sebagai cara kita untuk
bertindak di dalam agama yang ada maupun sebagai hubungan multikultural dan antar
iman.16 Jati diri sebagai bangsa yang beragama yang menjunjung tinggi nilai agama, yang
mendorong seorang kuat untuk menjauhi perbuatan yang merugikan orang lain. Jati diri
Bangsa Timur yang dikenal amat santun dan penuh tenggang rasa.17 Persoalan ini
sesungguhnya berkaitan dengan pendidikan.18 Seperti diperguruan tinggi contohnya, seorang
mahasiswa tidak hanya dituntut untuk condong dibidang akademisnya saja namun juga
diharapkan mampu lebnih peka dengan lingkungan masyarakat.

12
Dr. Jalaluddin, psikologi agama, (jakarta, 1998), 60-62, Loc. Cit
13
Charles Kimball, kala agama jadi bencana, (bandung, 2003), 51
14
Ibid, 276
15
Ibid, 278
16
Ibid, 279
17
Prof. Dr. Musa Asya’arie, dialektika agama untuk pembebasan spiritual, (yogyakarta, 2002), 6, Loc. Cit
18
Ibid, 15
Dibidang pendidikan pemuda memang dituntut untuk mampu menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi. Generasi muda dapat berperan secara berdaya guna dalam rangka
pengembangan ilmu dan teknologi bila secara fungsional dapat dikembangkan sebagai
transformator dan dinamisator terhadap lingkungannya yang lebih terbelakang dalam ilmu
dan pendidikan serta penerapan teknologi, baik yang maju, madya maupun sederhana.19

19
Arifin Noor, Ilmu Sosial Dasar (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007), 123.

Anda mungkin juga menyukai