Anda di halaman 1dari 18

1

NIKAH SIRI PERSPEKTIF


SOSIOLOGI HUKUM
A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Kehidupan manusia tidak terlepas dari adanya interaksi sosial antara

yang satu dengan yang lainnya yang terkumpul dalam suatu hubungan sosial

atau masyarakat yang terbentuk dari kumpulan kelompok-kelompok sosial

terkecil, dalam hal ini adalah keluarga. Keberadaan keluarga sebagai inti

masyarakat yang terbentuk atau diawali dengan adanya suatu ritual yang

disebut pernikahan atau perkawinan.


Pernikahan merupakan sunnatullah yang mengatur tata kehidupan

manusia, baik perorangan maupun kelompok. Dilihat dari sisi sosiologis,

pernikahan adalah suatu bentuk kerjasama kehidupan antara pria dan wanita

dalam kehidupan suatu masyarakat di bawah suatu peraturan khas (khusus)

yang memiliki ciri-ciri tertentu, yaitu pria bertindak sebagai suami, dan

perempuan bertindak sebagai istri, yang keduanya dalam ikatan yang sah.

Dengan pernikahan yang sah pergaulan laki-laki dan perempuan dipandang

terhormat sebagai manusia yang beradab.1


Pada prinsipnya perkawinan adalah suatu akad, untuk menghalalkan

hubungan serta membatasi hak dan kewajiban, tolong menolong antara pria

dengan wanita yang antara keduanya bukan muhrim. Apabila di tinjau dari

segi hukum, jelas bahwa pernikahan adalah suatu akad yang suci dan luhur

antara pria dengan wanita, yang menjadi sebab sahnya status sebagai suami

1 Munir Subarman, “Nikah Dibawah Tangan Perspektif Yuridis dan Sosiologis”, dalam Ijtihad,
Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, (Vol. 13, No. 1, Juni 2013), h. 66.
2

isteri dan dihalalkan hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga

sakinah, mawadah serta saling menyantuni antara keduanya.2 Suatu akad

perkawinan menurut Hukum Islam ada yang sah ada yang tidak sah. Hal ini

dikarenakan, akad yang sah adalah akad yang dilaksanakan dengan syarat-

syarat dan rukun-rukun yang lengkap, sesuai dengan ketentuan agama.

Sebaliknya akad yang tidak sah, adalah akad yang dilaksanakan tidak sesuai

dengan syarat-syarat serta rukun-rukun perkawinan. Akan tetapi pada

kenyataan ada perkawinan-perkawinan yang dilakukan hanya dengan

Hukum Agamanya saja. Perkawinan ini sering disebut Perkawinan Siri,

yaitu perkawinan yang tidak terdapat bukti otentik, sehingga tidak

mempunyai kekuatan hukum. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan, merupakan salah satuwujud aturan tata tertib pernikahan yang

dimiliki oleh negara Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat, di samping

aturan-aturan tata tertib pernikahan yang lain yaitu Hukum Adat dan Hukum

Agama.3
Agar terjaminnya ketertiban pranata pernikahan dalam masyarakat,

maka Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, menentukan bahwa setiap

perkawinan harus dicatat oleh petugas yang berwenang. Namun kenyataan

memperlihatkan fenomena yang berbeda. Hal ini tampak darimaraknya

2 Slamet Abidin, Aminuddin, Maman Abd. Djaliel, Fiqih Munakahat, (Bandung: CV Pustaka
Setia), 1999, h.121

3 Rusli, An R. Tama, Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya,( Bandung: Shantika Dharma)
h. 10
3

pernikahan siri atau pernikahan di bawah tangan yang terjadi di tengah

masyarakat.4

2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka rumusan masalah yang akan dibahas

dalam makalah ini adalah sebagai berikut :


a. Bagaimana definisi nikah sirri ?
b. Apa saja faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya

pernikahan siri ?
c. Apa saja dampak dari pernikahan siri ?
d. Bagaimana nikah siri dalam perspektif sosiologi hukum ?

B. PEMBAHASAN
1. Definisi Nikah Sirri
Perkawinan sirri merupakan perkawinan yang dilakukan secara

rahasia. Secara etimologi kata “sirri” berasal dari bahasa Arab, yaitu

“sirrun” yang artinya rahasia, sunyi, diam, tersembunyi sebagai lawan kata

dari ’alaniyyah, yaitu terang-terangan. Kata sirri ini kemudian digabung

dengan kata nikah sehingga menjadi nikah sirri untuk menyebutkan bahwa

nikah yang dilakukan secara diam-diam atau tersembunyi. Makna diam-

diam dan tersembunyi ini memunculkan dua pemahaman, yaitu

pernikahan yang diam-diam tidak diumumkan kepada khalayak atau

pernikahan yang tidak diketahui atau tercatat di lembaga negara.


Apabila kita berpedoman dari pengertian etimologis nikah sirri

sebagaimana tersebut di atas, maka setidaknya ada 3 (tiga) bentuk atau

model nikah sirri yang dilakukan dalam masyakat, yaitu:


a) Pernikahan antara seorang pria dengan seorang wanita yang

sudah cukup umur yang dilangsungkan di hadapan dan dicatat


4 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: PT Rineke Cipta), 1991, h. 5
4

oleh Pegawai Pencatat Nikah namun hanya dihadiri oleh

kalangan terbatas keluarga dekat, tidak diumumkan dalam

suatu resepsi walimatul ursy.


b) Pernikahan antara seroang pria dan seorang wanita yang

masih di bawah umur menurut undang-undang, kedua-duanya

masih bersekolah.Pernikahan ini atas inisiatif dari orang tua

kedua belah pihak calon suami isteri yang sepakat

menjodohkan anak-anak mereka dengan tujuan untuk lebih

memastikan perjodohan dan menjalin persaudaraan yang lebih

akrab.Biasanya setelah akad nikah mereka belum kumpul

serumah dulu.Setelah mereka tamat sekolah dan telah mencapai

umur perkawinan, lalu mereka dinikahkan lagi secara resmi di

hadapan PPN yang menurut istilah jawa disebut

“munggah”.Pernikahan semacam ini pernah terjadi di sebagian

daerah di Jawa Tengah pada tahun 1970an ke bawah.


c) Model pernikahan antara seroang pria dan seroang wanita

yang sudah cukup umur menurut undang-undang akan tetapi

mereka sengaja melaksanakan perkawinan ini di bawah tangan,

tidak dicatatkan di KUA dengan berbagai alasan. Pernikahan

ini mungkin terjadi dengan alasan menghemat biaya, yang

penting sudah dilakukan menurut agama sehingga tidak perlu

dicatatkan di KUA. Atau mungkin, pernikahan itu dilakukan

oleh seseorang yang mampu secara ekonomi, akan tetapi

karena alasan tidak mau repot dengan segala macam urusan


5

administrasi dan birokrasi sehingga atau karena alasan lain,

maka ia lebih memilih nikah sirri saja.5


Istilah perkawinan dibawah tangan muncul setelah

diberlakukannya secara efektif UU Perkawinan pada tahun 1974.

Perkawinan dibawah tangan yang disebut juga sebagai perkawinan liar

karena perkawinannya dilaksanakan diluar pengawasan pemerintah atau

perkawinan yang dilakukan diluar ketentuan hukum perkawinan yang

berlaku secara positif di Indonesia. Meskipun demikian, tidak semua

perkawinan yang dilakukan secara sirri/dibawah tangan merupakan

perkawinan yang tidak sah.6


Nikah siri menurut hukum adalah pernikahan yang berdasarkan

aturan agama atau adat pelaksanaan istiadat yang dilakukan di luar

pengawasan petugas sehingga pernikahan itu tidak tercatat di kantor

pegawai pencatat nikah (KUA bagi yang beragama Islam, kantor catatan

sipil bagi non-Islam). Sedangkan dalam perspektif fIqih, nikah siri/nikah

dibawah tangan adalah pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan syarat

yang ditetapkan dalam fiqih (hukum Islam) namun tanpa pencatatan resmi

di instansi berwenang sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Perkawinan yang di lakukan dibawah tangan

dimaksudnya adalah bahwa perkawinan itu tetap sah dilakukan dengan

baik rukun-rukun maupun syarat-syarat telah di tentukan menurut hukum

5 Trisnawati, Skripsi: “Nikah Sirri dan Faktor Penyebabnya di Kelurahan Lajangiru Kecamatan
Ujung Pandang (Analisis Perbandingan Hukum Islam dan UU No. 1 Tahun 1974”, (Makasar:
UIN Alauddin), 2015, h. 16.

6 H.M. Anshary MK, Hukum Perkawinan di Indonesia: Masalah-Masalah Krusial, (Yogyakarta:


Pustaka Pelajar, 2010), Cet. Ke-1, h. 26-27.
6

Islam, hanya pelaksanaannya tidak dilakukan melalui pendaftaran atau

pencatatan di KUA.7
Nikah siri merupakan pernikahan yang sering terjadi dengan

maksud agar pernikahan itu tidak diketahui istri. Pernikahan ini seringkali

dijadikan pembenaran untuk menghindari perzinahan. Pembenaran

tersebut didasarkan atas alasan karena syarat dan rukunnya dianggap sudah

terpenuhi, meskipun pada dasarnya tidak tercatat dan melanggar undang-

undang perkawinan yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Namun

karena adanya sebagian ulama yang membolehkan maka pernikahan ini

menjadi pilihan bagi laki-laki, mengingat resikonya tidak sebesar

pernikahan secara formal dan procedural. Dengan demikian nikah siri bisa

positif sepanjang pria itu belum atau tidak memiliki istri, namun jika

sedang memiliki istri maka inilah yang berdampak pada istri pertama dan

anak.

2. Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Terjadinya Pernikahan


Siri
Beberapa alasan yang melatarbelakangi nikah siri yaitu karena

terbenturnya ekonomi,hal ini disebabkan sebagian pemuda tidak mampu

menanggung biaya untuk walimatul ursy ,menyiapkan rumah, mengurus

administrasi untuk mendaftarkan diri ke KUA atau Kantor Catatan Sipil,

dll. sehingga mereka memilih menikah secara rahasia yang penting halal

atausah. Menurut adat nikah ini dianggap melanggar ketentuan, namun

7 M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan

Zakat Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika), 2001, h. 42


7

karena khawatir pernikahannya tersebar luas akhirnya mengurungkan

niatnya untuk mendaftar secera resmi ke KUA atau Kantor Catatan Sipil.

Hal ini membebaskan dari tuntutan hukum untuk perkawinankedua dan

seterusnya.
Mustafa mengemukakan bahwa masih banyaknya masyarakat yang

menjalani nikah sirri disebabkan dua faktor. Pertama, faktor di luar

kemampuan pelaku, seperti untuk menjaga hubungan laki-laki dan

perempuan agar terhindar dari perbuatan yang dilarang oleh agama, tidak

adanya izin dari wali, alasan poligami dan tidak ada izin istri pertama

serta kekhawatiran tidak mendapat pensiun janda. Alasan kedua,

pandangan bahwa pencatatan pernikahan bukanlah perintah agama.

Pendapat lain ditambahkan oleh Ali yang menyatakan bahwa terjadinya

nikah sirri adalah faktor budaya pernikahan di Indonesia yang

mempunyai bentuk seperti itu, mahalnya biaya untuk pencatatan

pernikahan diluar biaya pernikahan resmi, seringkali menjadi alasannya.8


Nikah sirri juga dilatarbelakangi oleh model keluarga masing-

masing pasangan. Pernikahan sirri ataupun bukan, tidak menjadi jaminan

untuk mempertahankan komitmen. Seharusnya orang lebih bijak,

terutama bila hukum negara tidak menfasilitasinya. Nikah sirri terjadi

bukan hanya karena motivasi dari pelaku/pasangan atau latar belakang

keluarganya, lingkungan sosial atau nilai sosial juga turut

membentuknya. Sebut saja ketika biaya pencatatan nikah terlalu mahal

sehingga ada kalangan masyarakat tak mampu tidak memperdulikan

8 Ramayulis, Perlukah Pemberian Mahar Terhadap Calon Isteri, Cet. II, (Jakarta: Lentera Hati),
2001, h. 38
8

aspek legalitas. Faktor lain, ada kecenderungan mencari celah-celah

hukum yang tidak direpotkan oleh berbagai prosedur pernikahan yang

dinilai berbelit, yang penting dapat memenuhi tujuan, sekalipun harus

rela mengeluarkan uang lebih banyak dari seharusnya. UU Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan beserta peraturan pelaksanaannya

mengatur syarat yang cukup ketat bagi seseorang atau pegawai negeri

sipil (PNS) yang akan melangsungkan pernikahan untuk kali kedua dan

seterusnya, atau yang akan melakukan perceraian. Syarat yang ketat itu,

bagi sebagian orang ditangkap sebagai peluang ''bisnis'' yang cukup

menjanjikan. Yaitu dengan menawarkan berbagai kemudahan dan

fasilitas, dari hanya menikahkan secara sirri (bawah tangan) sampai

membuatkan akta nikah asli tapi palsu (aspal). Bagi masyarakat yang

berkeinginan untuk memadu, hal itu dianggap sebagai jalan pintas atau

alternatif yang tepat. Terlebih, di tengah kesadaran hukum dan tingkat

pengetahuan rata-rata masyarakat yang relatif rendah. Tidak

dipersoalkan, apakah akta nikah atau tata cara perkawinan itu sah

menurut hukum atau tidak, yang penting ada bukti tertulis yang

menyatakan perkawinan tersebut sah. Penulis menyebut fenomena itu


sebagai ''kawin alternatif''.9
Jika pernikahan sirri dilakukan karena faktor biaya; maka pada

kasus semacam ini negara tidak boleh mempidanakan dan menjatuhkan

sanksi mukhalafat kepada pelakunya. Pasalnya, orang tersebut tidak

mencatatkan pernikahannya dikarenakan ketidakmampuannya;

9 Wahyu Pratama, Wahyu Pratama, Makalah Spai (On-line) tersedia di:


http://akmapala09.blogspot.com.html (diakses pada tanggal 08 Desember 2019).
9

sedangkan syariat tidak membebani seseorang di luar batas

kemampuannya. Oleh karena itu, Negara tidak boleh mempidanakan

orang tersebut, bahkan wajib memberikan pelayanan pencatatan gratis

kepada orang-orang yang tidak mampu mencatatkan pernikahannya di

lembaga pencatatan Negara.

3. Dampak Pernikahan Siri


Dampak yang akan timbul dari perkawinan yang tidak dicatatkan

secara Yuridis Formal, antara lain:


a) Perkawinan dianggap tidak sah. Meski perkawinan dilakukan

menurut agama dan kepercayaan, namun di mata negara perkawinan

tersebut dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh KUA atau Kantor

Catatan Sipil (KCS).


b) Anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan

keluarga ibu, tidak ada hubungan perdata dengan ayahnya. Ini artinya

anak tidak dapat menuntut hak-haknya dari ayah. Dengan dilahirkan

dalam perkawinan yang tidak dicatatkan, kelahiran anak menjadi

tidak tercatatkan pula secara hukum dan hal ini melanggar hak asasi

anak (Konvensi Hak Anak). Anak-anak ini berstatus anak di luar

perkawinan.
c) Akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik

istri maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut

tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya.


Secara garis besar, perkawinan yang tidak dicatatkan sama

saja dengan membiarkan adanya hidup bersama di luar perkawinan,

dan ini sangat merugikan para pihak yang terlibat (terutama

perempuan), terlebih lagi kalau sudah ada anak-anak yang


10

dilahirkan. Mereka yang dilahirkan dari orang tua yang hidup

bersama tanpa dicatatkan perkawinannya, adalah anak luar kawin

yang hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya, dalam arti

tidak mempunyai hubungan hukum dengan bapaknya. Dengan

perkataan lain secara yuridis tidak mempunyai Bapak (Wila

Chandrawila, 2001). Sebenarnya, tidak ada paksaan bagi masyarakat

untuk mencatatkan perkawinan. Dalam artian, jika tidak mencatatkan

perkawinan, bukan berarti melakukan suatu kejahatan. Namun jelas

bahwa hal ini memberikan dampak atau konsekuensi hukum tertentu

yang khususnya merugikan perempuan dan anak-anaknya.10


Bersinggungan dengan pentingnya pencatatan perkawinan,

seperti juga pembuatan KTP atau SIM, sesungguhnya membicarakan

pelayanan publik yang menjadi tanggung jawab negara. Sehingga

sudah semestinya memperhatikan prinsip good governance, salah

satunya adalah menetapkan biaya yang sesuai dengan taraf

kehidupan masyarakat dan prosedur yang tidak berbelit-belit

(userfriendly).
Dengan prosedur yang tidak berbelit-belit dan biaya yang

sesuai masyarakat diajak untuk mencatatkan perkawinannya. Pada

dasarnya, Nabi SAW telah mendorong umatnya untuk

menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul

„ursy. Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai

hukumnya wajib akan tetapi Nabi sangat menganjurkan. Banyak hal-

hal positif yang dapat diraih seseorang dari penyiaran pernikahan di


10 Ibid
11

antaranya adalah: (1) untuk mencegah munculnya fitnah di tengah-

tengah masyarakat, (2) memudahkan masyarakat untuk memberikan

kesaksiannya, jika kelak ada persoalan-persoalan yang menyangkut

kedua mempelai, (3) memudahkan untuk mengidentifikasi apakah

seseorang sudah menikah atau belum. Hal semacam ini tentunya

berbeda dengan pernikahan yang tidak disiarkan, atau dirahasiakan

(sirri). Selain akan menyebabkan munculnya fitnah; misalnya jika

perempuan yang dinikahi sirri hamil, maka akan muncul dugaan-

dugaan negatif dari masyarakat terhadap perempuan tersebut;

pernikahan sirri juga akan menyulitkan pelakunya ketika dimintai

persaksian mengenai pernikahannya. Jika ia tidak memiliki dokumen

resmi, maka dalam semua kasus yang membutuhkan persaksian, ia

harus menghadirkan saksi-saksi pernikahan sirrinya; dan hal ini

tentunya akan sangat menyulitkan dirinya. Atas dasar itu, anjuran

untuk mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara

menjadi relevan, demi mewujudkan kemudahan-kemudahan bagi

suami istri dan masyarakat serta untuk mencegah adanya fitnah.11

4. Nikah Siri Perspektif Sosiologi Hukum


Sosiologi Hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang

secara empiris dan analitis mempelajari hubungan timbal-balik

antara hukum sebagai gejala sosial, dengan gejala gejala sosial lain.12

Dengan berpedoman pada persoalan-persoalan yang disoroti sosiologi

11 Ibid

12 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Semarang: Citra Aditya Bakti), 2006, h. 332
12

hukum, maka dapat dikatakan bahwa sosiologi hukum merupakan suatu

ilmu pengetahuan yang secara teoritis analitis dan empiris menyoroti

pengaruh gejala sosial lain terhadap hukum, dan sebaliknya. Perilaku

yang mentaati hukum dan yang menyimpang hukum sama-sama

merupakan objek pengamatan yang setaraf. Yang menjadi utama

hanyalah memberikan penjelasan terhadap objek yang dipelajari.

Sosiologi hukum tidak memberikan penilaian, melainkan mendekati

hukum dari segi objektivitas semata dan bertujuan untuk memberikan

penjelasan terhadap fenomena hukum yang nyata. Akan tetapi tidak dapat

dipungkiri bahwa hukum Islam dalam undang-undang tersebut memasuki

fase-fase baru dengan apa yang disebut taqnin (perundangan). Banyak

sekali ketentuan fiqih Islam tentang perkawinan ditransformasikan ke

dalam Undang-undang tersebut walaupun dengan modifikasi-modifikasi

pada beberapa bagian.13


Menurut sistem hukum yang ada di Indonesia tidak mengenal

istilah “nikah sirri” atau semacamnya dan tidak mengatur secara khusus

dalam sebuat peraturan. Perkawinan yang sah sendiri sudah diatur pada

UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat 2 yang berbunyi “

tiap-tiap perkawianan dicatat menurut peraturan perundang-undangan

yang berlaku. Nikah sirri dianggap tidak sah oleh hukum dan memiliki

dampak yang merugikan bagi istri sebagai perempuan, baik secara

yuridis maupun secara sosiologis. Secara yuridis, pihak istri tidak

dianggap sebagai istri yang sah, tidak berhak atas nafkah dari suami, dan

13 Amiur Nurudin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana), 2006, h. 26


13

tidak berhak atas harta gono gini apabila ia berpisah. Secara sosiologis

nikah siri dianggap sesuatu yang negative atau buruk dimata masyarakat.

Dan apabila mempuanyai anak-anak tersebut dianggap anak diluar nikah.


Menurut UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 Bab IX tentang

kedudukan anak pasal 42, berbunyi “anak yang sah adalah anak yang

dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Pada pasal

43 berbunyi “anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai

hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Pada padal diatas

menjelaskan bahwa anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya

mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Hal

tersbut berarti si anak tidak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya.

Tetapi peraturan tersbut bisa berubah apabila anak yang dilahirkan

memiliki hubungan daarah yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu

pengetahuan dan teknologi atau bukti lain menurut hukum.


Jadi secara hukum nikah siri adalah perkawinan yang tidak sah

dimata hukum. Apabila memiliki anak, anak tersebut tidak memiliki

hubungan perdata dengan ayahnya. Secara sosiologis nikah siri banyak

dilakukan oleh masyarakat. Hal tersebut menimbulkan dampak yang

merugikan bagi pihak perempuan dan anak yang dilahirkan dari

pernikahan tersebut. Jika terjadi permasalahan pihak suami terkesan lepas

tangan begitu saja dan tidak memikirkan nasib anak dan istrinya.
Pada hakikatnya, hukum mengandung ide atau konsep-konsep

abstrak. Ide abstrak itu berupa harapan akan suatu keadaan yang hendak

dicapai oleh hukum. Dalam hal percatatan perkawinan ini misalnya,

undang-undang mengatur tentang perkawinan seorang warga Negara


14

sekaligus sebagai umat yang beragama. Hukum merupakan sarana untuk

merekayasa sosial.14 Dalam perspektif ini maka perintah untuk

mencatatkan merupakan suatu alat untuk merancang masa depan

masyarakat yang dijamin perlindungan hukum dan kepastian hukum dan

jaminan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat. Perlindungan yang

dijanjikan oleh hukum merupakan ide abstrak dan tidak akan menjadi

nyata apabila hukum dibiarkan hanya sebatas tersusun dilembaar naskah.

Demikian juga rancangan masyarakat tertib tidak akan terwujud menjadi

nyata jika peraturan perkawinan hanya dianggap sebagai syarat

administratif dalam perkawinan. Maka, untuk mewujudkan gagasan dan

rancangan itu menjadi kenyataan diperlukan proses penyelarasan. Proses

itulah yang kemudian disebut penegakan hukum. Penegakan hukum

sebagai segala daya upaya untuk menjabarkan kaidah hukum ke dalam

hidup masyakarat, sehingga dengan demikian dapat terlaksana tujuan

hukum dalam masyarakat berupa perwujudan nilai-nilai keadilan,

kesebandingan, kepastian hukum , perlindungan hak, dan ketentraman

masyarakat.15 Penegakan hukum dimulai pada saat peraturan hukum itu

dibuat.

14 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada),
2005,
h. 135

15 Munir Fuadi, Aliran Hukum Kritis, Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, (Bandung: Citra
Aditya Bakti), 2003, h. 39
15
16

C. PENUTUP
Kesimpulan

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa :


1. Nikah siri adalah pernikahan yang berdasarkan aturan agama atau adat

pelaksanaan istiadat yang dilakukan di luar pengawasan petugas sehingga

pernikahan itu tidak tercatat di kantor pegawai pencatat nikah (KUA bagi yang

beragama Islam, kantor catatan sipil bagi non-Islam). Sedangkan dalam

perspektif fIqih, nikah siri/nikah dibawah tangan adalah pernikahan yang

terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fiqih (hukum Islam)

namun tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur oleh

peraturan perundang-undangan yang berlaku.


2. Beberapa alasan yang melatarbelakangi nikah siri yaitu karena terbenturnya

ekonomi, model keluarga masing-masing pasangan dan juga biaya pernikahan.


3. Dampak yang akan timbul dari perkawinan yang tidak dicatatkan yaitu

perkawinan tidak sah, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu, dan

juga akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik istri

maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak

menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya.


4. Secara hukum nikah sirri adalah perkawinan yang tidak sah dimata hukum.

Apabila memiliki anak, anak tersebut tidak memiliki hubungan perdata dengan

ayahnya. Secara sosiologis nikah siri banyak dilakukan oleh masyarakat. Hal

tersebut menimbulkan dampak yang merugikan bagi pihak perempuan dan anak

yang dilahirkan dari pernikahan tersbut. Jika terjadi permasalahan pihak suami

terkesan lepas tangan begitu saja dan tidak memikirkan nasib anak dan istrinya.

DAFTAR PUSTAKA
17

Amiur Nurudin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006.

H.M. Anshary MK, Hukum Perkawinan di Indonesia: Masalah-Masalah Krusial,


Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, Cet. Ke-1.

M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama
dan Zakat Menurut Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2001.

Munir Fuadi, Aliran Hukum Kritis, Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2003.

Munir Subarman, “Nikah Dibawah Tangan Perspektif Yuridis dan Sosiologis”, dalam Ijtihad,
Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, Vol. 13, No. 1, Juni 2013.

Ramayulis, Perlukah Pemberian Mahar Terhadap Calon Isteri, Cet. II, Jakarta: Lentera Hati,
2001.

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Semarang: Citra Aditya Bakti, 2006.

Rusli, An R. Tama, Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya, Bandung: Shantika Dharma

Slamet Abidin, Aminuddin, Maman Abd. Djaliel, Fiqih Munakahat, Bandung: CV Pustaka
Setia, 1999

Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2005

Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta: PT Rineke Cipta, 1991.


18

Trisnawati, Skripsi: “Nikah Sirri dan Faktor Penyebabnya di Kelurahan Lajangiru Kecamatan

Ujung Pandang(Analisis Perbandingan Hukum Islam dan UU No. 1 Tahun 1974”,


Makasar: UIN Alauddin, 2015.

Wahyu Pratama, Wahyu Pratama, Makalah Spai (On-line) tersedia di:


http://akmapala09.blogspot. com.html diakses pada tanggal 08 Desember 2019.

Anda mungkin juga menyukai