Bab 1
Bab 1
1. Latar Belakang
yang satu dengan yang lainnya yang terkumpul dalam suatu hubungan sosial
terkecil, dalam hal ini adalah keluarga. Keberadaan keluarga sebagai inti
masyarakat yang terbentuk atau diawali dengan adanya suatu ritual yang
pernikahan adalah suatu bentuk kerjasama kehidupan antara pria dan wanita
yang memiliki ciri-ciri tertentu, yaitu pria bertindak sebagai suami, dan
perempuan bertindak sebagai istri, yang keduanya dalam ikatan yang sah.
hubungan serta membatasi hak dan kewajiban, tolong menolong antara pria
dengan wanita yang antara keduanya bukan muhrim. Apabila di tinjau dari
segi hukum, jelas bahwa pernikahan adalah suatu akad yang suci dan luhur
antara pria dengan wanita, yang menjadi sebab sahnya status sebagai suami
1 Munir Subarman, “Nikah Dibawah Tangan Perspektif Yuridis dan Sosiologis”, dalam Ijtihad,
Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, (Vol. 13, No. 1, Juni 2013), h. 66.
2
perkawinan menurut Hukum Islam ada yang sah ada yang tidak sah. Hal ini
dikarenakan, akad yang sah adalah akad yang dilaksanakan dengan syarat-
Sebaliknya akad yang tidak sah, adalah akad yang dilaksanakan tidak sesuai
aturan-aturan tata tertib pernikahan yang lain yaitu Hukum Adat dan Hukum
Agama.3
Agar terjaminnya ketertiban pranata pernikahan dalam masyarakat,
2 Slamet Abidin, Aminuddin, Maman Abd. Djaliel, Fiqih Munakahat, (Bandung: CV Pustaka
Setia), 1999, h.121
3 Rusli, An R. Tama, Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya,( Bandung: Shantika Dharma)
h. 10
3
masyarakat.4
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka rumusan masalah yang akan dibahas
pernikahan siri ?
c. Apa saja dampak dari pernikahan siri ?
d. Bagaimana nikah siri dalam perspektif sosiologi hukum ?
B. PEMBAHASAN
1. Definisi Nikah Sirri
Perkawinan sirri merupakan perkawinan yang dilakukan secara
rahasia. Secara etimologi kata “sirri” berasal dari bahasa Arab, yaitu
“sirrun” yang artinya rahasia, sunyi, diam, tersembunyi sebagai lawan kata
dengan kata nikah sehingga menjadi nikah sirri untuk menyebutkan bahwa
pegawai pencatat nikah (KUA bagi yang beragama Islam, kantor catatan
dibawah tangan adalah pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan syarat
yang ditetapkan dalam fiqih (hukum Islam) namun tanpa pencatatan resmi
5 Trisnawati, Skripsi: “Nikah Sirri dan Faktor Penyebabnya di Kelurahan Lajangiru Kecamatan
Ujung Pandang (Analisis Perbandingan Hukum Islam dan UU No. 1 Tahun 1974”, (Makasar:
UIN Alauddin), 2015, h. 16.
pencatatan di KUA.7
Nikah siri merupakan pernikahan yang sering terjadi dengan
maksud agar pernikahan itu tidak diketahui istri. Pernikahan ini seringkali
tersebut didasarkan atas alasan karena syarat dan rukunnya dianggap sudah
pernikahan secara formal dan procedural. Dengan demikian nikah siri bisa
positif sepanjang pria itu belum atau tidak memiliki istri, namun jika
sedang memiliki istri maka inilah yang berdampak pada istri pertama dan
anak.
dll. sehingga mereka memilih menikah secara rahasia yang penting halal
7 M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan
niatnya untuk mendaftar secera resmi ke KUA atau Kantor Catatan Sipil.
seterusnya.
Mustafa mengemukakan bahwa masih banyaknya masyarakat yang
perempuan agar terhindar dari perbuatan yang dilarang oleh agama, tidak
adanya izin dari wali, alasan poligami dan tidak ada izin istri pertama
8 Ramayulis, Perlukah Pemberian Mahar Terhadap Calon Isteri, Cet. II, (Jakarta: Lentera Hati),
2001, h. 38
8
mengatur syarat yang cukup ketat bagi seseorang atau pegawai negeri
sipil (PNS) yang akan melangsungkan pernikahan untuk kali kedua dan
seterusnya, atau yang akan melakukan perceraian. Syarat yang ketat itu,
membuatkan akta nikah asli tapi palsu (aspal). Bagi masyarakat yang
berkeinginan untuk memadu, hal itu dianggap sebagai jalan pintas atau
dipersoalkan, apakah akta nikah atau tata cara perkawinan itu sah
menurut hukum atau tidak, yang penting ada bukti tertulis yang
tersebut dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh KUA atau Kantor
keluarga ibu, tidak ada hubungan perdata dengan ayahnya. Ini artinya
tidak tercatatkan pula secara hukum dan hal ini melanggar hak asasi
perkawinan.
c) Akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik
(userfriendly).
Dengan prosedur yang tidak berbelit-belit dan biaya yang
antara hukum sebagai gejala sosial, dengan gejala gejala sosial lain.12
11 Ibid
12 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Semarang: Citra Aditya Bakti), 2006, h. 332
12
penjelasan terhadap fenomena hukum yang nyata. Akan tetapi tidak dapat
istilah “nikah sirri” atau semacamnya dan tidak mengatur secara khusus
dalam sebuat peraturan. Perkawinan yang sah sendiri sudah diatur pada
yang berlaku. Nikah sirri dianggap tidak sah oleh hukum dan memiliki
dianggap sebagai istri yang sah, tidak berhak atas nafkah dari suami, dan
tidak berhak atas harta gono gini apabila ia berpisah. Secara sosiologis
nikah siri dianggap sesuatu yang negative atau buruk dimata masyarakat.
kedudukan anak pasal 42, berbunyi “anak yang sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Pada pasal
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Pada padal diatas
tangan begitu saja dan tidak memikirkan nasib anak dan istrinya.
Pada hakikatnya, hukum mengandung ide atau konsep-konsep
abstrak. Ide abstrak itu berupa harapan akan suatu keadaan yang hendak
dijanjikan oleh hukum merupakan ide abstrak dan tidak akan menjadi
dibuat.
14 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada),
2005,
h. 135
15 Munir Fuadi, Aliran Hukum Kritis, Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, (Bandung: Citra
Aditya Bakti), 2003, h. 39
15
16
C. PENUTUP
Kesimpulan
pernikahan itu tidak tercatat di kantor pegawai pencatat nikah (KUA bagi yang
terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fiqih (hukum Islam)
perkawinan tidak sah, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu, dan
juga akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik istri
Apabila memiliki anak, anak tersebut tidak memiliki hubungan perdata dengan
ayahnya. Secara sosiologis nikah siri banyak dilakukan oleh masyarakat. Hal
tersebut menimbulkan dampak yang merugikan bagi pihak perempuan dan anak
yang dilahirkan dari pernikahan tersbut. Jika terjadi permasalahan pihak suami
terkesan lepas tangan begitu saja dan tidak memikirkan nasib anak dan istrinya.
DAFTAR PUSTAKA
17
M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama
dan Zakat Menurut Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2001.
Munir Fuadi, Aliran Hukum Kritis, Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2003.
Munir Subarman, “Nikah Dibawah Tangan Perspektif Yuridis dan Sosiologis”, dalam Ijtihad,
Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, Vol. 13, No. 1, Juni 2013.
Ramayulis, Perlukah Pemberian Mahar Terhadap Calon Isteri, Cet. II, Jakarta: Lentera Hati,
2001.
Rusli, An R. Tama, Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya, Bandung: Shantika Dharma
Slamet Abidin, Aminuddin, Maman Abd. Djaliel, Fiqih Munakahat, Bandung: CV Pustaka
Setia, 1999
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2005
Trisnawati, Skripsi: “Nikah Sirri dan Faktor Penyebabnya di Kelurahan Lajangiru Kecamatan