Anda di halaman 1dari 70

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Secara historis filsafat merupakan induk ilmu, dalam perkembangannya

ilmu makin terspesifikasi dan mandiri, namun mengingat banyaknya masalah

kehidupan yang tidak bisa dijawab oleh ilmu, maka filsafat menjadi tumpuan

untuk menjawabnya. Filsafat memberi penjelasan atau jawaban substansial dan

radikal atas masalah tersebut. Sementara ilmu terus mengembangakan dirinya

dalam batas-batas wilayahnya, dengan tetap dikritisi secara radikal. Proses atau

interaksi tersebut pada dasarnya merupakan bidang kajian Filsafat Ilmu, oleh

karena itu filsafat ilmu dapat dipandang sebagai upaya menjembatani jurang

pemisah antara filsafat dengan ilmu, sehingga ilmu tidak menganggap rendah

pada filsafat, dan filsafat tidak memandang ilmu sebagai suatu pemahaman atas

alam secara dangkal.

Filsafat atau falsafat, berasal dari bahasa Yunani. Kalimat ini berasal dari

kata philosophia yang berarti cinta pengetahuan. terdiri dari kata philos yang

berarti cinta, senang, suka dan kata, sedangkan kaa Sophia berarti

pengetahuan, hikmah, dan kebijaksanaan. Dengan demikian filsafat adalah cinta

kepada ilmu pengetahuan atau kebenaran, suka kepada hikmah dan

kebiaksanaan.

Pada dasarnya filsafat ilmu merupakan kajian filosofis terhadap hal-hal

yang berkaitan dengan ilmu, dengan kata lain filsafat ilmu merupakan upaya

pengkajian dan pendalaman mengenai ilmu (Ilmu Pengetahuan/Sains), baik itu

ciri substansinya, pemerolehannya, ataupun manfaat ilmu bagi kehidupan

manusia. Pengkajian tersebut tidak terlepas dari acuan pokok filsafat yang

1
2

tercakup dalam bidang ontologi, epistemologi, dan axiologi dengan berbagai

pengembangan dan pendalaman yang dilakukan oleh para ahli.

Tak dapat dipungkiri, zaman filsafat modern telah dimulai, dalam era

filsafat modern, dan kemudian dilanjutkan dengan filsafat abab ke- 20,

munculnya berbagai aliran pemikiran, yaitu: Rasionalisme, Emperisme,

Kritisisme, Idealisme, Positivisme, Evolusionisme, Materalisme, Neo-

kantianisme, Pragmatisme, Filsafat Hidup, Fenomenologi, Eksistensialisme dan

Neo-Thomisme. Namun didalam pembahasan kali ini yang akan dibahas aliran

Empirisme (Francius Bacon, Thomas Hobbes. John lecke David Hume)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya

adalah.

1. Jelaskan Filsafat Pragmatisme

2. jelaskan Filsafat Idealisme,

3. Jelaskan filsafat Positivisme

4. Jelaskan Post Positivisme

5. Jelaskan Empirisme

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini selain untuk memenuhi tugas dari mata

kuliah Filsafat Ilmu dan Islam, penulis juga ingin manambah wawasan tentang

filsafat Idealisme, Empirisme, Paragmatisme , Positifisme dan Post Positifisme

khususnya, dan bagi pembaca pada umumnya, serta untuk mengatasi masalah-

masalah yang terjadi disekitar kita terkait pembahasan ini .


3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cara Memperoleh Pengetahuan Sain

Pengalaman manusia sudah berkembang sejak lama. Yang dapat dicatat

dengan baik ialah sejak tahun 600-an SM. Yang mula-mula timbul agaknya ialah

pengetahuan filsafat dan hampir bersamaan dengan itu berkembang pula

pengetahuan sain dan pengetahuan mistik.

Sejak zaman dahulu, manusia telah menginginkan adanya aturan untuk

mengatur manusia. Tujuannya ialah agar manusia itu hidup teratur. Hidup teratur

itu sudah menjadi kebutuhan manusia sejak dahulu. Untuk menjamin tegaknya

kehidupan yang teratur itu diperlukan aturan.

Manusia juga perlu aturan untuk mengatur alam. Pengalaman manusia

menunjukkan bila alam tidak diatur maka alam itu akan menyulitkan kehidupan

manusia. Sementara itu manusia tidak mau dipersulit oleh alam. Bahkan

sebaiknya – kalau dapat – manusia ingin alam itu mempermudah kehidupannya.

Karena itu harus ada aturan untuk mengatur alam.

Bagaimana membuat aturan untuk mengatur manusia dalam alam? Siapa

yang dapat membuat aturan itu? Orang Yunani Kuno sudah menemukan:

manusia itulah yang membuat aturan itu. Humanisme mengatakan bahwa

manusia mampu mengatur dirinya (manusia) dan alam. Jadi, manusia itulah yang

harus membuat aturan untuk mengatur manusia dan alam.

Bagaimana membuatnya dan apa alatnya? Bila aturan itu dibuat

berdasarkan agama atau mitos, maka akan sulit sekali menghasilkan aturan yang

disepakati.
4

Pertama, mitos itu tidak mencukupi untuk dijadikan sumber membuat

aturan untuk mengatur manusia, dan kedua, mitos itu amat tidak mencukupi

untuk dijadikan sumber membuat aturan untuk mengatur alam. Kalau begitu, apa

sumber aturan itu? Kalau dibuat berdasarkan agama? Kesulitannya ialah agama

mana? Masing-masing agama menyatakan dirinya benar, yang lain salah.

Jadi,

seandainya aturan itu dibuat berdasarkan agama maka akan banyak orang

yang menolaknya. Padahal aturan itu seharusnya disepakati oleh semua orang.

Begitulah kira-kira mereka berpikir.

Menurut mereka aturan itu harus dibuat berdasarkan dan bersumber pada

sesuatu yang ada pada manusia. Alat itu ialah akal. Mengapa akal? Pertama,

karena akal dianggap mampu, kedua, karena akal pada setiap roang bekerja

berdasarkan aturan yang sama. Aturan itu ialah logika alami yang ada pada akal

setiap manusia. Akal itulah alat dan sumber yang paling dapat disepakati. Maka,

Humanisme melahirkan Rasionalisme.

Kalau begitu diperlukan alat lain. Alat itu ialah Empirisme Empirisisme

ialah paham filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar ialah yang logis dan

ada bukti empiris.

Nah, dalam hal anak panah tadi, menurut Empirisisme yang benar adalah

bergerak, sebab secara empiris dapat dibuktikan bahwa anak panah itu bergerak.

Coba saja perut Anda menghadang anak panah itu, perut anda akan tembus,

benda yang menembus sesuatu haruslah benda yang bergerak. Ya, memang,

sesuatu yang diam tidak akan mampu menembus. Logis juga.Nah dengan

Empirisisme inilah aturan (untuk mengatur manusia dan alam) itu dibuat. Tetapi
5

nanti dulu, ternyata Empirisisme masih memiliki kekurangan. Kekurangan

Empirisisme ialah karena ia belum terukur. Empirisisme hanya sampai pada

konsep-konsep yang umum. Kata Empirisisme, air kopi yang baru diseduh ini

panas, nyala api ini lebih panas, besi yang mendidih ini sangat panas. Kata

Empirisisme, kelereng ini kecil, bulan lebih besar, bumi lebih besar lagi,

matahari sangat besar. Demikianlah seterusnya. Empirisisme hanya menemukan

konsep yang sifatnya umum. Konsep itu belum operasional, karena belum

terukur. Jadi, masih diperlukan alat lain. Alat lain itu ialah Positivisme.

Positivisme mengajarkan bahwa kebenaran ialah yang logis, ada bukti

empirisme, yang terukur. “Terukur” inilah sumbangan penting Positivisme. Jadi,

hal panas tadi oleh Positivisme dikatakan air kopi ini 80 derajat celcius, air

mendidih ini 100 derajat celcius, besi mendidih ini 1000 derajat celcius, ini satu

meter panjangnya, ini satu ton beratnya, dan seterusnya. Ukuran-ukuran ini

operasional, kuantitatif, tidak memungkinkan perbedaan pendapat. Sebagaimana

Anda lihat, aturan untuk mengatur manusia dan aturan untuk mengatur alam

yang kita miliki sekarang bersifat pasti dan rinci. Jadi, operasional. Bahkan dada

dan pinggul sekarang ini ada ukurannya, katanya, ini dalam kerangka ukuran

kecantikan. Dengan ukuran ini maka kontes kecantikan dapat dioperasikan.

Kehidupan kita sekarang penuh oleh ukuran.

Positivisme sudah dapat disetujui untuk memulai upaya membuat aturan

untuk mengatur manusia dan mengatur alam. Kata Positivisme, ajukan

logikanya, ajukan bukti empirisnya yang terukur. Tetapi bagaimana caranya?

Kita masih memerlukan alat lain.


6

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 PRAGMATISME

3.1.1 Sejarah Kemunculan Pragmatisme

Pragmatisme sebagai suatu gerakan dalam filsafat lahir pada akhir abad

ke-19 di Amerika. Karena itu sering dikatakan bahwa pragmatisme merupakan

sumbangan yang paling orisinal dari pemikiran Amerika terhadap perkembangan

filsafat dunia. Pragmatisme dilahirkan dengan tujuan untuk menjebatani dua

kecenderungan berbeda yang ada pada saat itu. Kedua kecenderungan yang

mau dijembatani itu yakni, pertantangan yang terjadi antara “yang spekulatif” dan

“yang praksis”. Tradisi pemikiran yang spekulatif bersumber dari warisan filsafat

rasionalistik Descartes dan berkembang melalui idealisme kritis dari Kant,

idealisme absolut Hegel serta sejumlah pemikir rasionalistik lainnya.[6] Warisan

ini memberikan kepada rasio manusia kedudukan yang terhormat kerena

memiliki kekuatan instrinsik yang besar. Warisan ini pulalah yang telah

mendorong para filsuf dan ilmuwan-ilmuwan membangun teori-teori yang

mengunakan daya nalar spekulatif rasio untuk mengerti dan menjelaskan alam

semesta. Akan tetapi, di pihak lain ada juga warisan pemikiran yang hanya

begitu menekankan pentingnya pemikiran yang bersifat praksis semata

(empirisme). Bagi kelompok ini, kerja rasio tidak terlalu ditekankan sehingga

rasio kehilangan tempatnya. Rasio kehilangan kreativitasnya sebagai instrumen

khas manusiawi yang mampu membentuk pemikiran dan mengarahkan sejarah.

Hasil dari model pemikiran ini yakni munculnya ilmu-ilmu terapan. Termasuk di

dalamnya yakni Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK).

Seperti yang sudah dijelaskan di atas, secara filosofis, pragmatisme

berusaha untuk menjebatani dua aliran filsafat tradisional ini. Atas salah satu
7

cara pragmatisme menyetujui apa yang menjadi keunggulan dari empirisme. Hal-

hal itu seperti.

1. Bahwa kita tidak pernah memiliki konsep yang menyeluruh tentang realitas,

2. Pengetahuan mengenai obyek-obyek material bersumber dari persepsi

dengan perspektif yang berbeda-beda,

3. Dibutuhkan pemahaman multidimensi atau memerlukan pemahaman

pluralitas. Jadi pemahaman komprehensif mesti dilihat dalam pluralitas.

Selain sependapat dengan empirisme untuk beberapa hal di atas, pragmatisme

juga sependapat dengan tradisi rasionalisme dan idealisme dalam hal

keseluruhan nilai hidup, terutama moralitas dan agama memberi makna untuk

hidup manusia.

Melihat apa yang ingin dijembatani ini, pragmatisme mengangkat nilai-nilai positif

yang ada pada kedua tradisi tersebut. Prinsip yang dipegang kaum pragmatis

yakni: tidaklah penting bahwa saya menerima teori ini atau itu; yang penting ialah

apakah saya memiliki suatu teori atau nilai yang dapat berfungsi dalam

tindakan.[8]

3.1.2 Pengertian Pragmatisme

Pragmatism berasal dari kata pragma yang berarti guna. Pragma berasal

dari kata yunani. Maka pragmatisme adalah suatu aliran filsafat abad ke-20 yang

mengajarkan bahwa yang benar adalah apa saja yang membuktikan dirinya

sebagai yang benar dengan akibat-akibat yang bermanfaat secara praktis.

Pragmatisme merupakan teoriu kebenaran yang mendasarkan diri

kepada criteria tentang fungsi atau tidaknya suatu pernyataan dalam lingkup

ruang dan waktu tertentu.

Menrut teori ini, suatu kebenaran suatu pernyataan di ukur dengan

menggunakan criteria fungsional. Suatu pernyataan benar jika pernyataan


8

tersebut memiliki fungsi atau kegunaan dalam kehidupan praktis. Jadi,

kebenaran menurut paham ini bukan kebenaran yang di lihat dari segi etik, baik

atau buruk, tetapi kebenaran yang di dasarkan pada kegunaannya

3.1.3 Tokoh Pragmatisme Dan Pemikirannya


1. Charles Sandre Peirce ( 1839 M )

Dalam konsepnya ia menyatakan bahwa, sesuatu dikatakan berpengaruh bila


memang memuat hasil yang praktis. Pada kesempatan yang lain ia juga
menyatakan bahwa, pragmatisme sebenarnya bukan suatu filsafat, bukan
metafisika, dan bukan teori kebenaran, melainkan suatu teknik untuk membantu
manusia dalam memecahkan masalah. Dari kedua pernyataan itu tampaknya
Pierce ingin menegaskan bahwa, pragmatisme tidak hanya sekedar ilmu yang
bersifat teori dan dipelajari hanya untuk berfilsafat serta mencari kebenaran
belaka, juga bukan metafisika karena tidak pernah memikirkan hakekat dibalik
realitas, tetapi konsep pragmatisme lebih cenderung pada tataran ilmu praktis
untuk membantu menyelesaikan persoalan yang dihadapi manusia.
Peirce mengemukakan dua metode yaitu metode pragmatik dan prosedur
penetapan makna. Yang dimaksud metode pragmatik merupakan sebuah ide
yang kita pikirkan itu bisa menjadi jelas. Metode pragmatik bukan dimaksudkan
untuk menetapkan makna semua ide melainkan untuk konsep intelektual yang
dimiliki struktur argumentatif atas fakta obyektif.
Prosedur Penetapan Makna merupakan urunan lain yang dari Peirce pada
pragmatisme. Pertama, suatu makna itu kosong bila tak dapat diaplikasikan
dalam situasi. Kedua, untuk dapat memberikan makna kita harus membangun
sekema sebagai kerangka teoretik untuk mendapatkan isi konsep empirik yang
signifikan.
9

2. William, James (1842-1910)

Lahir di new York, pada tahun 1842. Setelah belajar ilmu kedokteran di

universitas Harvard, ia kemudian pada tahun 1855-1860 belajar di Inggris,

prancis, Swiss, dan Jerman. memperkenalkan ide-idenya tentang pragmatism

kepada dunia. Ia ahli dalam bidang seni, psikologi, anatomi, fisiologi, dan filsafat.

Pemikiran filsafatnya lahir karena dalam sepanjang hidupnya mengalami konflik

antara pandangan ilmu pengetahuan dengan pandangan agama. Ia

beranggapan, bahwa masalah kebenaran tentang asal/tujuan dan hakikatnya

bagi orang Amerika terlalu teoritis. Ia menginginkan hasil-hasil yang konkrit.

Dengan demikian, untuk mengetahui kebenaran dari idea tau konsep haruslah

diselidiki konskuensi-konskuensi praktisnya.

William james selain menamakan filsafatnya dengan pragmatisme, juga

menyebut dengan istilah radical empirisme (suatu empirisme harus tidak

menerima unsure alam bentuk apapun yang tidak alami secara langsung, atau

mengeluarkan dari bentuknya unsure yang di alamin secara langsung).

a. Kebenaran Pragmatisme

Dalam bukunya the meaning of the truth (1909), James mengemukakan

bahwa tiada kebenaran mutlak yang berlaku umum, bersifat tetap, berdiri sendiri,

dan terlepas dari segala akal yang mengenal. Sebab pengalaman kita berjalan

terus dan segala yang kita anggap benar dalam perkembangan pengalaman itu

senantiasa berubah, karena di dalam praktiknya apa yang kita anggap benar

dapat di koreksi oleh pengalaman berikutnya. Oleh karena itu, tiada kebenaran
10

yang mutlak, yang ada adalah kebenaran-kebenaran “plural” (apa yang benar

dalam pengalaman-pengalaman khusus yang setiap kali dapat di ubah oleh

pengalaman berikutnya).

Dalam membuktikan suatu kebenaran, James mengajukan

pertanyaan“apakah yang dilakukan oleh hide padamu dalam menghadapi

kehidupan nyata?”. Untuk memilikin nilai-nilai kemanusiaan, setiap ide mestilah

berguna untuk mewujudkan setiap tujuan hidup yang jelas. Ketika James

menyelidiki teori-teori kebenaran yang tradisional, ia menanyakan apakah arti

kebenaran dalam tindakan. Kebenaran harus merupakan nilai dari satu ide. Tak

ada suatu motif dalam mengatakan bahwa sesuatu itu benar atau tidak benar,

kecuali untuk member Petunjuk bagi tindakan yang Praktis. Dalam konteks

ini, James mengatakan:

“ideas become true just so far as they help us to get into satisfactory
relation other Parts of out experience” (“ suatu ide menjadi benar sejauh
ide itu menolong kita untuk memasuki hubungan-hubungan yang
menguntungkan dan memuaskan dengan bagian-bagian lain
Pengalaman kita”).
James menolak mentah-mentah tentang filsafat tradisional yang

mengatakan bahwa kebenaran itu bersifat “monistik” (tunggal). Kebenaran itu

relative, subjektif, dan terus berkembang. Nilai perkembangan dalam pragmatism

tergantung pada akibatnya, kepada kerjanya, atau tergantung kepada

keberhasilan dari perbbbuatan yang disiapkan oleh pertimbangan itu.

Pertimbangan itu benar jika bermanfaat bagi pelakunya, jika dapat memperkaya

hidup, serta kemungkinan-kemungkinan hidup. Menurut James, ada dua hal

kebenaran pokok dalam filsafat, yaitutough minded dan tender minded. Tough

minded dalam mencari kebenaran hanya lewat pendekatan empiris dan

tergantung pada fakta-fakta yang dapat ditangkap indra. Ini tentu saja menuju

pada materialism, dan skeptic dan apriori terhadap apa saja yang berbau

immaterial (transidental). Sikaf ini dipegang kuat oleh penganut filsafat


11

empirisme. Sementara tender mended hanya mengakui kebenaran yang sifatnya

berada dalam ide dan yang bersifat rasional. Tender mended sangat apriori pada

realitas. Paham semacam ini dipegang teguh oleh penganut filsafat idealisme.

James dating untuk menengahi kedua paham tersebut dalam mengajukan

konsep miliorismenya.

b. Pragmatism dan Etika

Terdapat hubungan yang erat antara konsep pragmatisme mengenai

kebenaran dan sumber kebaikan. Selama ide itu bekerja dan menghasilkan

hasil-hasil yang memuaskan, maka ide itu bersifat benar. Suatu ide di anggap

benar apabila dapat memberikan keuntungan kepada manusia dan yang dapat di

percayai tersebut membawa ke arah kebaikan.

Suatu bentuk teori etika dapat di bangun demi teori pragmatisme ini. Metode

pragmatisme dalam memebrikan batasan antara baik atau buruk, salah atau

benar, adalah sama seperti membatasi apakah suatu itu benar atau salah.

Contohnya, mencuri bila ia mendatangkan manfaat bagi pelakunya berarti ia

baik, tetapi bila ia mengakibatkan menderita berarti ia buruk

3. Jhon Dewey

Ia dilahirkan di Burlingtonpada tahun 1859. Setelah menyelesaikan studinya di

Baltimore ia menjadi guru besar di bidang filsafat dan kemudian juga bidang

pendidikan pada universitas-universitas di Mionnesota, Michigan, Chicago (1894-

1904), dan akhirnya universitas Columbia (1904-1929).

Sekalipun Dewey terlepas dari Willian James, ia menghasilkan pemikiran

yang nampaknya memiliki persamaan dengan gagasan james. Ia adalah seorang


12

pragmatis tetapi ia lebih suka menyebut sistemnya dengan istilah

insrtumentalisme. Menurutnya, tugas filsafat ialah memberikan garis-garis

pengarahan bagi perbuatan dalam kenyataan hidup. Oleh karena itu filsafat tidak

boleh tenggelam dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang tiada faedahnya.

Filsafat harus berpijak pada pengalaman dan penyelidikan serta mengelola

pengalaman itu secara aktif-kritis. Dengan demikian filsafat akan dapat

menyusun suatu system norma-norma dan nilai-nilai.

Pemikiran kita berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan bergerak

kembali menuju pengalaman-pengalaman. Gerak itu di bangkitkan segera kita di

hadapkan dengan suatu keadaan yang menimbulkan persoalan dalam dunia

sekitarnya, dan gerak itu berakhir dalam beberapa perubahan dalam dunia

sekitar atau dalam diri kita sendiri. Pengalaman yang langsung bukanlah soal

pengetahuan, yang mengandung di dalamnya pemisahan antara subjek dan

objek, tetapi menyatukan keduanya. Jika subjek dan objek di pisahkan maka itu

bukan pengalaman tetapi pemikiran kembali atas pengalaman tadi. Pemikiran

itulah yang menyusun sasaran pengetahuan.]

Menurut Dewey, penyelidikan adalah transformasi yang terawasi atau

terpimpin dari suatu keadaan yang tertentu. Penyelidikan berkaitan dengan

penyusunan kembali pengalaman yang di lakukan dengan sengaja. Oleh karena

itu, penyelidikan dengan penilaiannya adalah suatu alat (instrumenth). Jadi yang

di maksud dengan instrumentalisme adalah suatu usaha untuk menyusun suatu

teori yang logis dan tepat dari konmsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan,

penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam itu, dengan

cara pertama-tama menyelidiki bagaimana pikiran berfungsi dalam penentuan-

penentuan yang berdasarkan pengalaman, yang mengenai konsekuensi-

konsekuensi di masa depan.


13

Dalam rangka pandangan ini maka yang benar adalah apa yang pada

akhirnya di setujui oleh semua orang yang menyelidikinya. Kebenaran di

tegaskan dalam istilah-istilah penyelidikan. Kebenaran sama sekali bukan hal

yang sekali di tentukan tidak boleh di ganggu gugat, sebab, dalam prakteknya,

kebenaran memiliki nilai fungsional yang tetap. Segala pernyataan yang kita

anggap benar pada dasarnya dapat berubah.

Mengenal adalah berbuat. Kadar kebenarannya akan tampak dari

pengujiannya oleh pengalaman-pengalaman di dalam praktek. Satu-satunya cara

yang dapar di percaya untuk mengatur pengalaman dan untuk mengetahui

artinya yang sebenarnya adalah metode induktif.Metode ini bukan hanya berlaku

bagi limu pengetahuan fisika tetapi juga bagi persoalan-persoalan sosial dan

moral.

3.1.4 CIRI KHAS PRAGMATISME

Seperti yang kita lihat dalam uraian sebelumnya, secara umum orang

memakai istilah pragmatisme sebagai ajaran yang mengatakan bahwa suatu

teori itu benar sejauh sesuatu mampu dihasilkan oleh teori tersebut. Misalnya

sesuatu itu dikatakan berarti atau benar bila berguna bagi masyarakat. Sutrisno

lebih lanjut menyatakan bahwa pragmatisme lebih merupakan suatu teori

mengenai arti daripada teori tentang kebenaran.

Menurut Peirce kebenaran itu ada bermacam-macam. Ia sendiri

membedakan kenajemukan kebenaran itu sebagai berikut :

Pertama, trancendental truth yang diartikan sebagai letak kebenaran

suatu hal itu bermukim pada kedudukan benda itu sebagai benda itu sendiri.

Singkatnya letak kebenaran suatu hal adalah pada “things as things”.


14

Kedua, complex truth yang berarti kebanaran dari pernyataan-

pernyataan. Kebenaran kompleks ini dibagi dalam dua hal, yaitu kebenaran etis

disatu pihak dan kebanaran logis dipihak lain.

Kebenaran etis adalah seluruh pernaytaan dengan siapa yang diimami

oleh si pembicara, sedangkan kebenaran logis adalah selarasnya suatu

pernyataan dengan realitas yang didefinisikan.

Patokan kebenaran proporsi atau pernyataan itu dilandaskan pada

pengalaman. Artinya : suatu proporsi itu benar apabila pengalaman ,e,buktikan

kebenarannya. Begitu pula sebaliknya. Menurut Peirc, ada beberapa proporsi

yang tidak dapat dikatakan salah, yaitu proporsi dari matematika murni.

Disini, kriteria kebenaran matematika murni letknya dalm hal “ketidak

mungkinannya lagi” untuk menemukan kasus yang lemah. Dalam matematika

murni, semua kasus dan proporsi serba kuat . proporsinya sama sekali juga tidak

mengatakan sesuatu tentang hal-hal yang faktual ada atau fakta aktual karena

matematika murni tidak pernah menghiraukan apakah ada real atau fakta yang

cocok dengan pernyataan itu atau tidak. Karena itulah Peirnc mengatakan

bahwa proporsi matematika murni tidak dapat diklasifikasikan secara pasti

kebenarannya. Masalah penentuan hal “benar” memang bisa dilihat dari

bermacam-macam segi yaitu disatu pihak bisa diartikan sebagai “the universe of

all truth”, dipihak lain, dari sudut epistemologi, kebenaran di definisikan sebagai

kesesuaian antara pernyataan dengan penyelidikan empiris.

Karena itu, teori pragmatisme Peirce lebih menekankan teori tetntang arti

daripada teori tentang kebenara. Pandangan Peirce tentang kebenaran dalam

uraian diatas, lebih merupakan pandangan seorang idealis daripada pandangan

seorang pragmatis

Menurut Peirce, pragmatis adalah suatu metode untuk membuat sesuatu

ide manjadi jelas atau terang menjadi berarti. Kelihatan sekali teori arti Peirce
15

pada pragmatisismennya, baginya pragmatisme adalah metode untuk

menditerminasi makna dari ide-ide. Ide itulah yan hendak diditerminasikan atau

artinya melalui pragmatime.

Ketiga, yaitu ide tentang kaitan salah satu bentuk pasti dari obyek yang

diamati oleh penilik, ciri khas pragmatisme merupakan ,etode untuk ,e,astikam

arti ide-ide di atas.

3.1.5 Kekuatan Dan Kelemahan Pragmatisme

1. Kekuatan Pragmatisme.

a. Pragmatisme mengarahkan aktivitas manusia untuk hanya sekedar

mempercayai pada hal yang sifatnya riil, indrawi, dan yang manfaatnya

bisa dinikmati secara praktis pragmatis dalam kehidupan sehari-hari.

b. Pragmatisme telah berhasil mendorong berfikir yang liberal, bebas, dan

selalu menyangsikan segala yang ada. Berangkat dari sikap skeptis

tersebut, pragmatisme telah mampu mendorong dan member semangat

pada seseorang untuk berlomba-lomba membuktiakn suatu konsep lewat

penelitian-penelitian, pembuktian-pembuktian dan eksperimen-

eksperimen sehingga muncullah temuan-temuan baru dalam dunia ilmu

pengetahuan dan teknologi yang mampu mendorong secara dahsyat

terhadap kemajuan di bidang sosial dan ekonomi.

c. Sesuai dengan coraknya yang “sekuler” pragmatisme tidak mudah

percaya pada “kepercayaan yang mapan”. Suatu kepercayaan dapat di

terima apabila terbukti kebenarannya lewat pembuktian yang praktis

sehingga pragmatisme tidak mengakui adanya suatu yang sacral dan

mitos. Dengan coraknya yang terbuka, kebanyakan kelompok

pragmatisme merupakan pendukung terciptanya demokratisasi,


16

kebebasan manusia, dan gerakan-gerakan progresif dalam masyarakat

modern.

2. Kelemahan Pragmatisme:

a. Pada perkembangannya pragmatisme sangat mendewakan kemampuan

akal dalam upaya mencapai kebutuhan kehidupan, maka sikap seperti ini

menurus kepada sikap hateisme.

b. Karena yang menjadi kebutuhan utama dalam filsafat pragmatisme

adalah suatu yang nyata, praktis, dan langsung dapat di nikmati hasilnya

oleh manusia, maka pragmatisme menciptakan pola pikir masyarakat

yang materialis. Manusia berusaha keras untuk memenuhi kebutuhan-

kebutuhan yang bersifat rohaniah, maka dalam otak masyarakat

pragmatisme trelah di hinggapi oleh penyakit materialism.

c. Untuk mencapai tujuan materialismenya, manusia mengejarnya dengan

berbagai cara, tanpa mempedulikan lagi bahwa dirinya merupakan

anggota dari masyarakat sosialnya. Ia bekerja tanpa mengenal batas

waktu hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan materinya, maka dalam

struktur masyarakatnya manusia hidup semakin egois individualis. Dari

sini masyarakat pragmatisme menderita penyakit humanisme.

3.1.6 Sifat-sifat Pragmatisme

Pragmatisme mempunyai dua sifat, yaitu merupakan kritik terhadap

pendekatan ideologis dan prinsip pemecahan masalah. Sebagi kritik terhadap

pendekatan ideologis, pragmatisme mempertahankan relevansi sebuah ideologi

bagi pemecahan, misalnya fungsi pendidikan. Pragmatisme mengkritik segala

macam teori tentang cita-cita, filsafat, rumusan-rumusan abstrak yang sama

sekali tidak memiliki konsekuansi praktis. Bagi kaum pragmatis, yang penting

bukan keindahan suatu konsepsi melainkan hubungan nyata pada pendekatan

masalah yang dihadapi masyarakat. Sebagai prinsip pemecahan masalah,


17

pragmatisme mengatakan bahwa suatu gagasan atau strategi terbukti benar

apabila berhasil memecahkan masalah yang ada, mengubah situasi yang penuh

keraguan dan keresahan sedemikian rupa, sehingga keraguan dan keresahan

tersebut hilang

Dalam kedua sifat tersebut terkandung segi negatif pragmatisme dan

segi-segi positifnya. Pragmatisme, misalnya, mengabaikan peranan diskusi.

Justru di sini muncul masalah, karena pragmatisme membuang diskusi tentang

dasar pertanggungjawaban yang diambil sebagai pemecahan atas masalah

tertentu. Sedangkan segi positifnya tampak pada penolakan kaum

pragmatisterhadap perselisihan teoritis,serta pembahasan nilai-nilai yang

berkepanjangan sesegera mungkin mengambil tindakan langsung

3.1.7 Implementasi Filsafat Pragmatisme

Dalam pelaksanaannya, pendidikan pragmatisme mengarahkan agar

subjek didik saat belajar di sekolah tak berbeda ketika ia berada di luar sekolah.

Oleh karenanya, kehidupan di sekolah selalu disadari sebagai bagian dari

pengalaman hidup, bukan bagian dari persiapan untuk menjalani hidup. Di sini

pengalaman belajar di sekolah tidak berbeda dengan pengalaman saat ia belajar

di luar sekolah. Pelajar menghadapi problem yang menyebabkan lahirnya

tindakan penuh dari pemikiran yang relative. Di sini kecerdasan disadari akan

melahirkan pertumbuhan dan pertumbuhan akan membawa mereka di dalam

beradaptasi dengan dunia yang berubah. Ide gagasan yang berkembang

menjadi sarana keberhasila.

1. Instrumemtalisme

Dewey berpendapat bahwa berpikir sebagai alat untuk memecahkan masalah.

Dengan demikian maka ia mengesampingkan penelitian ilmu murni yang secara

langsung berkaitan dengan kehidupan konkret.


18

2. Eksperimentalisme

Kita menguji kebenaran suatu peoposisi dengan melakukan percobaan. Dengan

demikian maka tidak ada kebenaran yang pasti dan dapat dijadikan pedoman

dalam bertindak. Misalnya: suatu UU terus menerus diuji. Lantas, kapan

masyarakat bisa menjadikan UU itu sebagai pedoman untuk bertindak? Pendek

kata dalam hidup bermasyarakat, kita memerlukan kebenaran yang ditetapkan,

bukan terus-menerus diuji.

3. Pendidikan

Dewey menekankan pendidikan formal berdasarkan minat anak-anak dan

pelajaran yang diberikan hendaknya disesuaikan dengan minat anak-anak.

Dengan pandangan yang demikian maka pelajaran yang berlangsung di sekolah

tidak difokuskan karena minat setiap anak itu berbeda-beda. Demikian juga

dengan pelajaran-pelajaran pokok yang harus diajarkan kepada anak-anak tidak

dapat diterapkan dengan baik.

4. Moral

Penolakan dewey terhadap gagasan adanya final end berdasarkan finalis kodrat

manusia dan sebagai gantinya ia menekankan peran ends-in-view, membuat

teorinya jatuh pada masalah ”infinite regress” (tidak adanya pandangan yang

secara logis memberi pembenaran akhir bagi proses penalaran. Karena adanya

final end yang berlaku universal ditolak dan yang ada adalah serangkaian ends-

in-view maka pembenaran terhadap ends-in-view tidak pernah dilakukan secara

defenitif. Akibatnya tidak ada tolak ukur yang tegas untuk menilai tindakan itu

baik atau tidak

Model pembelajaran pragmatisme adalah anak belajar di dalam kelas dengan

cara berkelompok. Dengan berkelompok anak akan merasa bersama-sama

terlibat dalam masalah dan pemecahanya. Anak akan terlatih bertanggung jawab

terhadap beban dan kewajiban masing-masing. Sementara, guru hanya


19

bertindak sebagai fasilitator dan motivator. Model pembelajaran ini berupaya

membangkitkan hasrat anak untuk terus belajar, serta anak dilatih berpikir secara

logis. Sebagaimana yang diungkap oleh Power (Sadulloh, 2003:133) bahwa,

implikasi dari filsafat pendidikan pragmatisme terhadap pelaksanaan pendidikan

mencakup tiga hal pokok. Ketiga hal pokok tersebut, yaitu:

 Tujuan Pendidikan, tujuan pendidikan pragmatisme adalah memberikan

pengalaman untuk penemuan hal-hal baru dalam hidup sosial dan pribadi.

 Kedudukan Siswa, kedudukan siswa dalam pendidikan pragmatisme

merupakan suatu organisasi yang memiliki kemampuan yang luar biasa dan

kompleks untuk tumbuh.

 Kurikulum, kurikulum pendidikan pragmatis berisi pengalaman yang teruji

yang dapat diubah. Demikian pula minat dan kebutuhan siswa yang dibawa ke

sekolah dapat menentukan kurikulum. Guru menyesuaikan bahan ajar sesuai

dengan minat dan kebutuhan anak tersebut.

 Metode, metode yang digunakan dalam pendidikan pragmatisme adalah

metode aktif, yaitu learning by doing (belajar sambil bekerja), serta metode

pemecahan masalah (problem solving method), serta metode penyelidikan dan

penemuan (inquiri and discovery method). Dalam praktiknya (mengajar), metode

ini membutuhkan guru yang memiliki sifat pemberi kesempatan, bersahabat,

seorang pembimbing, berpandangan terbuka, antusias, kreatif, sadar

bermasyarakat, siap siaga, sabar, bekerjasama, dan bersungguh-sungguh agar

belajar berdasarkan pengalaman dapat diaplikasikan oleh siswa dan apa yang

dicita-citakan dapat tercapai.

 Peran Guru. Peran guru dalam pendidikan pragmatisme adalah

mengawasi dan membimbing pengalaman belajar siswa, tanpa mengganggu

minat dan kebutuhannya.


20

Selain hal di atas, pendidikan pragmatisme kerap dianggap sebagai

pendidikan yang mencanangkan nilai-nilai demokrasi dalam ruang pembelajaran

sekolah. Karena pendidikan bukan ruang yang terpisah dari sosial, setiap orang

dalam suatu masyarakat juga diberi kesempatan untuk terlibat dalam setiap

pengambilan keputusan pendidikan yang ada. Keputusan-keputusan tersebut

kemudian mengalami evaluasi berdasarkan situasi-situasi sosial yang ada.

3.2 IDEALISME

3.2.1 Sejarah Idealisme

Aliran ini merupakan aliran yang sangat penting dalam perkembangan

sejarah pemikiran manusia. Mula-mula dalam filsafat barat kita temui dalam

bentuk ajaran yang murni dari Plato. Plato menyatakan bahwa alam cita-cita itu

adalah yang merupakan kenyataan sebenarnya. Adapun alam nyata yang

menempati ruang ini hanya berupa bayangan saja dari alam ide.

Aristoteles memberikan sifat kerohanian dengan ajarannya yang

menggambarkan alam ide sebagai suatu tenaga yang berada dalam benda-

benda dan menjalankan pengaruhnya dari benda itu. Sebenarnya dapat

dikatakan bahwa paham idealisme sepanjang masa tidak pernah hilang sama

sekali. Di masa abad pertengahan malahan satu-satunya pendapat yang

disepakati oleh semua ahli pikir adalah dasar idealisme ini.

Pada jaman Aufklarung para filosof yang mengakui aliran serba dua

(dualisme) seperti Descartes dan Spinoza yang mengenal dua pokok yang

bersifat kerohanian dan kebendaan, maupun keduanya mengakui bahwa unsur

kerohanian lebih penting daripada kebendaan. Selain itu, segenap kaum agama

sekaligus dapat digolongkan kepada penganut idealisme yang paling setia

sepanjang masa, walaupun mereka tidak memiliki dalil-dalil filsafat yang


21

mendalam. Puncak jaman idealisme pada masa abad ke-18 dan 19 ketika

periode idealisme.

Secara historis, idealisme diformulasikan dengan jelas pada abad IV

sebelum masehi oleh Plato (427-347 SM). Semasa Plato hidup kota Athena

adalah kota yang berada dalam kondisi transisi (peralihan). Peperangan bangsa

Persia telah mendorong Athena memasuki era baru. Seiring dengan adanya

peperangan-peperangan tersebut, perdagangan dan perniagaan tumbuh subur

dan orang-orang asing tinggal diberbagai penginapan Athena dalam jumlah

besar untuk meraih keuntungan mendapatkan kekayaan yang melimpah.

Dengan adanya hal itu, muncul berbagai gagasan-gagasan baru ke dalam lini

budaya bangsa Athena. Gagasan-gagasan baru tersebut dapat mengarahkan

warga Athena untuk mengkritisi pengetahuan & nilai-nilai tradisional. Saat itu

pula muncul kelompok baru dari kalangan pengajar (para Shopis. Ajarannya

memfokuskan pada individualisme, karena mereka berupaya menyiapkan warga

untuk menghadapi peluang baru terbentuknya masyarakat niaga. Penekanannya

terletak pada individualisme, hal itu disebabkan karena adanya pergeseran dari

budaya komunal masa lalu menuju relativisme dalam bidang kepercayaan dan

nilai.

Aliran filsafat Plato dapat dilihat sebagai suatu reaksi terhadap kondisi

perubahan terus-menerus yang telah meruntuhkan budaya Athena lama. Ia

merumuskan kebenaran sebagai sesuatu yang sempurna dan abadi (eternal).

Dan sudah terbukti, bahwa dunia eksistensi keseharian senantiasa mengalami

perubahan. Dengan demikian, kebenaran tidak bisa ditemukan dalam dunia

materi yang tidak sempurna dan berubah. Plato percaya bahwa disana terdapat

kebenaran yang universal dan dapat disetujui oleh semua orang. Contohnya

dapat ditemukan pada matematika, bahwa 5 + 7 = 12 adalah selalu benar


22

(merupakan kebenaran apriori), contoh tersebut sekarang benar, dan bahkan di

waktu yang akan datang pasti akan tetap benar.

Idealisme dengan penekanannya pada kebenaran yang tidak berubah,

berpengaruh pada pemikiran kefilsafatan. Selain itu, idealisme ditumbuh

kembangkan dalam dunia pemikiran modern. Tokoh-tokohnya antara lain: Rene

Descartes (1596-1650), George Berkeley (1685-1753), Immanuel Kant (1724-

1804) dan George W. F. Hegel (1770-1831). Seorang idealis dalam pemikiran

pendidikan yang paling berpengaruh di Amerika adalah William T. Harris (1835-

1909) yang menggagas Journal of Speculative Philosophy. Ada dua penganut

idealis abad XX yang telah berjuang menerapkan idealisme dalam bidang

pendidikan modern, antara lain: J. Donald Butler dan Herman H. Horne.

Sepanjang sejarah, idealisme juga terkait dengan agama, karena keduanya

sama-sama memfokuskan pada aspek spiritual dan keduniawian lain dari

realitas.

3.2.2 Pengertian Idealisme

Idealisme adalah salah satu aliran filsafat pendidikan yang berpaham bahwa

pengetahuan dan kebenaran tertinggi adalah ide. Semua bentuk realita adalah

manifestasi dalam ide. Karena pandangannya yang idealis itulah idealisme

sering disebut sebagai lawan dari aliran realisme. Tetapi, aliran ini justru muncul

atas feed back realisme yang menganggap realitas sebagai kebenaran tertinggi.

Idealisme menganggap, bahwa yang konkret hanyalah bayang-bayang, yang

terdapat dalam akal pikiran manusia. Kaum idealisme sering menyebutnya

dengan ide atau gagasan. Seorang realisme tidak menyetujui pandangan

tersebut. Kaum realisme berpendapat bahwa yang ada itu adalah yang nyata, riil,

empiris, bisa dipegang, bisa diamati dan lain-lain. Dengan kata lain sesuatu yang

nyata adalah sesuatu yang bisa diindrakan (bisa diterima oleh panca indra).
23

3.2.3 Perkembangan Idealisme.

Aliran ini merupakan aliran yang sangat penting dalam perkembangan

sejarah pikiran manusia. Mula-mula dalam filsafat Barat kita temui dalam bentuk

ajaran yang murni dari Plato. Yang menyatakan bahwa alam, cita-cita itu adalah

yang merupakan kenyataan sebenarnya. Adapun alam nyata yang menempati

ruang ini hanyalah berupa bayangan saja dari alam idea itu. Aristoteles

memberikan sifat kerohanian dengan ajarannya yang menggambarkan alam ide

sebagai sesuatu tenaga (entelechie) yang berada dalam benda-benda dan

menjalankan pengaruhnya dari benda itu. Sebenarnya dapat dikatakan

sepanjang masa tidak pernah faham idealisme hilang sarna sekali. Di masa abad

pertengahan malahan satu-satunya pendapat yang disepakati oleh semua ahli

pikir adalah dasar idealisme ini.

Pada jaman Aufklarung ulama-ulama filsafat yang mengakui aliran serba

dua seperti Descartes dan Spinoza yang mengenal dua pokok yang bersifat

kerohanian dan kebendaan maupun keduanya mengakui bahwa unsur

kerohanian lebih penting daripada kebendaan. Selain itu, segenap kaum agama

sekaligus dapat digolongkan kepada penganut Idealisme yang paling setia

sepanjang masa, walaupun mereka tidak memiliki dalil-dalil filsafat yang

mendalam. Puncak jaman Idealiasme pada masa abad ke-18 dan 19 ketika

periode Idealisme Jerman sedang besar sekali pengaruhnya di Eropa

3.2.4 Jenis-jenis Idealisme

a. Idealisme Subyektif (Immaterialisme) :

Seorang idealis subyektif berpendirian bahwa akal, jiwa dan persepsi-

persepsinya atau ide-idenya merupakan segala yang ada. Obyek pengalaman

bukan benda material, obyek pengalaman adalah persepsi. Benda-benda seperti

bangunan dan pohon-pohonan itu ada, tetapi hanya ada dalam akal yang
24

mempersepsikannya. George Berkeley (1685-1753), seorang filosof dari Irlandia.

Ia lebih suka menamakan filsafatnya dengan immaterialisme.Baginya, ide adalah

'esse est perzipi' (ada berarti dipersepsikan). Tetapi akal itu sendiri tidak perlu

dipersepsikan agar dapat berada. Akal adalah yang melakukan persepsi. Segala

yang riil adalah akal yang sadar atau suatu persepsi atau ide yang dimiliki oleh

akal tersebut.

Berkeley menyatakanbahwa ketertiban dan konsistensi alam adalah riil

disebabkan oleh akal yang aktif yaitu akal Tuhan, akal yang tertinggi, adalah

pencipta dan pengatur alam. Kehendak Tuhan adalah hukum alam. Tuhan

menentukan urutan dan susunan ide-ide. Berkeley menyatakanbahwa ketertiban

dan konsistensi alam adalah riil disebabkan oleh akal yang aktif yaitu akal Tuhan,

akal yang tertinggi, adalah pencipta dan pengatur alam. Kehendak Tuhan adalah

hukum alam. Tuhan menentukan urutan dan susunan ide-ide.Tak mungkin ada

benda atau persepsi tanpa seorang yang mengetahui benda atau persepsi

tersebut, subyek (akal atau si yang tahu) seakan-akan menciptakan obyeknya

(apa yang disebut materi atau benda-benda) bahwa apa yang riil itu adalah akal

yang sadar atau persepsi yang dilakukan oleh akal tersebut.

b. Idealisme Obyektif

Platomenamakan realitas yang fundamental dengan nama ide, tetapi

baginya, tidak seperti Berkeley, hal tersebut tidak berarti bahwa ide itu, untuk

berada, harus bersandar kepada suatu akal, apakah itu akal manusia atau akal

Tuhan. Platopercaya bahwa di belakang alam perubahan atau alam empiris,

alam fenomena yang kita lihat atau kita rasakan, terdapat dalam ideal, yaitu alam

essensi, formatau ide.

Plato:dunia dibagi dalam dua bagian.


25

 Pertama, dunia persepsi, dunia penglihatan, suara dan benda-

benda individual. Dunia seperti itu, yakni yang kongkrit, temporal dan rusak,

bukanlah dunia yang sesungguhnya, melainkan dunia penampakkan saja.

 Kedua, terdapat alam di atas alam benda, yaitu alam konsep, ide,

universal atau essensiyang abadi. Konsep manusiamengandung realitasyang

lebih besar daripada yang dimiliki orang seorang. Dikenalnyabenda-benda

individual karena mengetahui konsep-konsep dari contoh-contoh yang abadi.

Ide-ide adalah contoh yang transenden dan asli, sedangkan persepsi

dan benda-benda individual adalah copyatau bayangandari ide-ide tersebut. Ide-

ide yang tidak berubah atau essensi yang sifatnya riil, diketahui manusia dengan

perantaraan akal. Jiwa manusia adalah essensi immaterial, dikurung dalam

badan manusia untuk sementara waktu. Dunia materi berubah, jika dipengaruhi

rasa indra, hanya akan memberikan opini dan bukan pengetahuan. Ide-ide

adalah contoh yang transenden dan asli, sedangkan persepsi dan benda-benda

individual adalah copyatau bayangandari ide-ide tersebut. Ide-ide yang tidak

berubah atau essensi yang sifatnya riil, diketahui manusia dengan perantaraan

akal. Jiwa manusia adalah essensi immaterial, dikurung dalam badan manusia

untuk sementara waktu. Dunia materi berubah, jika dipengaruhi rasa indra, hanya

akan memberikan opini dan bukan pengetahuan. Kelompok idealis obyektif

modern berpendapat bahwa semua bagian alam tercakup dalam suatu tertib

yang meliputi segala sesuatu, dan mereka menghubungkan kesatuan tersebut

kepada ide dan maksud-maksud dari suatu akal yang mutlak (absolute mind).

Hegel (1770-1831) memaparkan satu dari sistem-sistem yang terbaik

dalam idealisme monistik ataumutlak(absolute). Pikiran adalah essensi dari alam

dan alam adalah keseluruhan jiwa yang diobyektifkan. Alam adalahAkal yang

Mutlak(absolute reason) yang mengekpresikan dirinya dalam bentuk luar.


26

Sejarahadalah cara zat Mutlak (absolute) itu menjelmadalam waktu dan

pengalaman manusia. Oleh karena alam itu satu, dan bersifat mempunyai

maksud serta berpikir, maka alam itu harus berwatak pikiran. Hegel

membentangkan suatu konsepsi yang dinamik tentang jiwa dan lingkungan; jiwa

dan lingkungan itu adalah begitu berkaitan sehingga tidak dapat mengadakan

pembedaan yang jelas antara keduanya. Jiwa mengalami realitas setiap waktu.

c. Idealisme Personal

Personalismemuncul sebagai protesterhadap meterialisme mekanik dan

idealisme monistik. Bagi seorang personalis, realitas dasar itu bukannya

pemikiran yang abstrak atau proses pemikiran yang khusus, akan tetapi

seseorang, suatu jiwa atau seorang pemikir. Realitas itu termasuk dalam

personalitas yang sadar. Jiwa (self) adalah satuan kehidupan yang tak dapat

diperkecil lagi, dan hanya dapat dibagi dengan cara abstraksi yang palsu.

Kelompok personalis berpendapat bahwa perkembangan terakhir dalam sains

modern, termasuk di dalamnya formulasi teori realitas dan pengakuan yang selau

bertambah terhadap 'tempat berpijaknya si pengamat' telah memperkuat sikap

mereka. Realitasadalah suatu sistem jiwa personal, oleh karena itu realitas

bersifat pluralistik. Kelompok personalis menekankan realitas dan harga diri dari

orang-orang, nilai moral, dan kemerdekaan manusia. Bagi kelompok personalis,

alam adalah tata tertib yang obyektif, walaupun begitu alam tidak berada sendiri.

Manusia mengatasi alam jika ia mengadakan interpretasi terhadap alam ini.

Sains mengatasi materialnya melalui teori-teorinya; alam arti dan alam nilai

menjangkau lebih jauh daripada alam semesta sebagai penjelasan

terakhir.Realitas adalah masyarakat perseorangan yang juga mencakup Zat yang

tidak diciptakan dan orang-orang yang diciptakan Tuhan dalam masyarakat

manusia. Alam diciptakan oleh Tuhan, Akuyang Maha Tinggi dalam masyarakat

individu. Terdapat suatu masyarakat person atau aku-akuyang ada hubungannya


27

dengan personalitas tertinggi. Personalisme bersifat theistik(percaya pada

adanya Tuhan), ia memberi dasar metafisik kepada agama dan etika

3.2.5. Kelebihan dan Kekurangan Idealisme

Idealisme berasal dari kata ide yang artinya adalah dunia di dalam jiwa

(Plato), jadi pandangan ini lebih menekankan hal-hal bersifat ide, dan

merendahkan hal-hal yang materi dan fisik. Realitas sendiri dijelaskan dengan

gejala-gejala psikis, roh, pikiran, diri, pikiran mutlak, bukan berkenaan dengan

materi. Kata idealisme pun merupakan istilah yang digunakan pertama kali dalam

dunia filsafat oleh Leibniz pada awal abad 18. Ia menerapkan istilah ini pada

pemikiran Plato, seraya memperlawankan dengan materialisme Epikuros.

Istilah Idealisme adalah aliran filsafat yang memandang yang mental dan

ideasional sebagai kunci ke hakikat realitas. Dari abad 17 sampai permulaan

abad 20 istilah ini banyak dipakai dalam pengklarifikasian filsafat. Tokoh-tokoh

lain cukup banyak ; Barkeley, Jonathan Edwards, Howison, Edmund Husserl,

Messer dan sebagainya.

Kelebihan:

 Meningkatkan daya pemikiran dari segi menghasilkan ide yang benar dan

boleh dipakai. Kelemahan :

 Anggapan terhadap sesuatu nilai atau kebenaran yang kekal sepanjang

masa.

Kelemahan :

 Anggapan terhadap sesuatu nilai atau kebenaran yang kekal sepanjang

masa.
28

3.2.6 Tokoh-tokoh Idealisme

 Plato (477 -347 Sb.M)

Menurut Plato, kebaikan merupakan hakikat tertinggi dalam mencari

kebenaran. Tugas ide adalah memimpin budi manusia dalam menjadi contoh

bagi pengalaman. Siapa saja yang telah mengetahui ide, manusia akan

mengetahui jalan yang pasti, sehingga dapat menggunakannya sebagai alat

untuk mengukur, mengklarifikasikan dan menilai segala sesuatu yang dialami

sehari-hari.

 Immanuel Kant (1724 -1804)

Ia menyebut filsafatnya idealis transendental atau idealis kritis dimana

paham ini menyatakan bahwa isi pengalaman langsung yang kita peroleh tidak

dianggap sebagai miliknya sendiri melainkan ruang dan waktu adalah forum

intuisi kita. Dapat disimpulkan bahwa filsafat idealis transendental menitik

beratkan pada pemahaman tentang sesuatu itu datang dari akal murni dan yang

tidak bergantung pada sebuah pengalaman.

 Pascal (1623-1662)
29

Kesimpulan dari pemikiran filsafat Pascal antara lain.

a) Pengetahuan diperoleh melalaui dua jalan, pertama menggunakan

akal dan kedua menggunakan hati.

b) Manusia besar karena pikirannya, namun ada hal yang tidak

mampu dijangkau oleh pikiran manusia yaitu pikiran manusia itu sendiri. Menurut

Pascal manusia adalah makhluk yang rumit dan kaya akan variasi serta mudah

berubah. Untuk itu matematika, pikiran dan logika tidak akan mampu dijadikan

alat untuk memahami manusia. Menurutnya alat-alat tersebut hanya mampu

digunakan untuk memahami hal-hal yang bersifat bebas kontradiksi, yaitu yang

bersifat konsisten.Karena ketidak mampuan filsafat dan ilmu-ilmu lain untuk

memahami manusia, maka satu-satunya jalan memahami manusia adalah

dengan agama. Karena dengan agama, manusia akan lebih mampu menjangkau

pikirannya sendiri, yaitu dengan berusaha mencari kebenaran, walaupun bersifat

abstrak.

c) Filsafat bisa melakukan apa saja, namun hasilnya tidak akan

pernah sempurna. Kesempurnaan itu terletak pada iman.Filsafat bisa

menjangkau segala hal, tetapi tidak bisa secara sempurna.Karena setiap ilmu itu

pasti ada kekurangannya, tidak terkecuali filsafat.

 J. G. Fichte (1762-1914 M.)

Ia adalah seorang filsuf jerman. Ia belajar teologi di Jena (1780-1788 M).

Pada tahun 1810-1812 M, ia menjadi rektor Universitas Berlin. Filsafatnya

disebut “Wissenschaftslehre” (ajaran ilmu pengetahuan). Secara sederhana

pemikiran Fichte: manusia memandang objek benda-benda dengan inderanya.

Dalam mengindra objek tersebut, manusia berusaha mengetahui yang


30

dihadapinya. Maka berjalanlah proses intelektualnya untuk membentuk dan

mengabstraksikan objek itu menjadi pengertian seperti yang dipikirkannya.

 F. W. S. Schelling (1775-1854 M.)

Schelling telah matang menjadi seorang filsuf disaat dia masih amat

muda. Pada tahun 1798 M, dalam usia 23 tahun, ia telah menjadi guru besar di

Universitas Jena. Dia adalah filsuf Idealis Jerman yang telah meletakkan dasar-

dasar pemikiran bagi perkembangan idealisme Hegel.

Inti dari filsafat Schelling: yang mutlak atau rasio mutlak adalah sebagai

identitas murni atau indiferensi, dalam arti tidak mengenal perbedaan antara

yang subyektif dengan yang obyektif. Yang mutlak menjelmakan diri dalam 2

potensi yaitu yang nyata (alam sebagai objek) dan ideal (gambaran alam yang

subyektif dari subyek). Yang mutlak sebagai identitas mutlak menjadi sumber roh

(subyek) dan alam (obyek) yang subyektif dan obyektif, yang sadar dan tidak

sadar. Tetapi yang mutlak itu sendiri bukanlah roh dan bukan pula alam, bukan

yang obyektif dan bukan pula yang subyektif, sebab yang mutlak adalah identitas

mutlak atau indiferensi mutlak.

Maksud dari filsafat Schelling adalah, yang pasti dan bisa diterima akal

adalah sebagai identitas murni atau indiferensi, yaitu antara yang subjektif dan

objektif sama atau tidak ada perbedaan. Alam sebagai objek dan jiwa (roh atau

ide) sebagai subjek, keduanya saling berkaitan. Dengan demikian yang mutlak

itu tidak bisa dikatakan hanya alam saja atau jiwa saja, melainkan antara

keduanya.
31

 G. W. F. Hegel (1770-1031 M.)

Ia belajar teologi di Universitas Tubingen dan pada tahun 1791

memperoleh gelar Doktor. Inti dari filsafat Hegel adalah konsep Geists (roh atau

spirit), suatu istilah yang diilhami oleh agamanya. Ia berusaha menghubungkan

yang mutlak dengan yang tidak mutlak. Yang mutlak itu roh atau jiwa, menjelma

pada alam dan dengan demikian sadarlah ia akan dirinya. Roh itu dalam intinya

ide (berpikir)

3.2.7. Konsep Idealisme

Konsep idealisme menurut Aliran sebagai berikut.

a) Ontologi-idealisme :

Aliran idealisme dinamakan juga spiritualisme. Idealisme berarti serba cita

sedang spiritualisme berarti serba ruh. Idealisme diambil dari kata “Idea”, yaitu

sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan

yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis

dengannya, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Materi

atau zat itu hanyalah suatu jenis dari pada penjelmaan ruhani. Alasan aliran ini

yang menyatakan bahwa hakikat benda adalah ruhani, spirit atau sebangsanya

adalah:

 Nilai ruh lebih tinggi daripada badan, lebih tinggi nilainya dari materi bagi

kehidupan manusia. Ruh itu dianggap sebagai hakikat yang sebenarnya.

Sehingga materi hanyalah badannya bayangan atau penjelmaan.

 Manusia lebih dapat memahami dirinya daripada dunia luar dirinya.


32

 Materi ialah kumpulan energi yang menempati ruang. Benda tidak ada,

yang ada energi itu saja.

Dalam perkembangannya, aliran ini ditemui pada ajaran plato (428-348

SM) dengan teori idenya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada di alam mesti ada

idenya, yaitu konsep universal dari tiap sesuatu. Alam nyata yang menempati

ruangan ini hanyalah berupa bayangan saja dari alam ide itu. Jadi idealah yang

menjadi hakikat sesuatu, menjadi dasar wujud sesuatu.

George Knight mengemukakan bahwa realitas bagi idealism adalah dunia

penampakan yang ditangkap dengan panca indera dan dunia realitas yang

ditangkap melalui kecerdasan akal pikiran (mind). Dunia akal pikir terfokus pada

ide gagasan yang lebih dulu ada dan lebih penting daripada dunia empiris

indrawi.8 Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa ide gagasan yang lebih dulu ada

dibandingkan objek-objek material, dapat diilustrasikan dengan kontruksi sebuah

kursi. Para penganut idealisme berpandangan bahwa seseorang haruslah telah

mempunyai ide tentang kursi dalam akal pikirannya sebelum ia dapat membuat

kursi untuk diduduki. Metafisika idealisme nampaknya dapat dirumuskan sebagai

sebuah dunia akal pikir kejiwaan. Uraian di atas dapat dipahami bahwa meskipun

idealism berpandangan yang terfokus pada dunia ide yang bersifat abstrak,

namun demikian ia tidak menafikan unsur materi yang bersifat empiris indrawi.

Pandangan idealisme tidak memisahkan antara sesuatu yang bersifat abstrak

yang ada dalam tataran ide dengan dunia materi. Namun menurutnya, yang

ditekankan adalah bahwa yang utama adalah dunia ide, karena dunia materi

tidak akan pernah ada tanpa terlebih dulu ada dalam tataran ide.

b) Epistimologi-idealisme:

Kunci untuk mengetahui epistemologi idealisme terletak pada metafisika

mereka. Ketika idealisme menekankan realitas dunia ide dan akal pikiran dan

jiwa, maka dapat diketahui bahwa teori mengetahui (epistemologi)nya pada


33

dasarnya adalah suatu penjelajahan secara mental mencerap ide-ide, gagasan

dan konsep-konsep. Dalam pandangannya, mengetahui realitas tidaklah melalui

sebuah pengalaman melihat, mendengar atau meraba, tetapi lebih sebagai

tindakan menguasai ide sesuatu dan memeliharanya dalam akal pikiran.

Berdasarkan itu, maka dapat dipahami bahwa pengetahuan itu tidak didasarkan

pada sesuatu yang datang dari luar, tetapi pada sesuatu yang telah diolah dalam

ide dan pikiran. Berkaitan dengan ini Gerald Gutek mengatakan.

In idealism, the process of knowmg is that of recognition or


remmisence of latent ideas that are preformed and already present in
the mind. By reminiscence, the human mind may discover the ideas of
the Macrocosmic Mind in one's own thoughts ..... Thus, knowing is
essentially a process of recognition, a recall and rethinking of ideas
that are latently present in the mind. What is to be known is already
present in the mind.

Dari kutipan di atas, diketahui bahwa menurut idealisme, proses untuk

mengetahui dapat dilakukan dengan mengenal atau mengenang kembali ide-ide

tersembunyi yang telah terbentuk dan telah ada dalam pikiran. Dengan

mengenang kembali, pikiran manusia dapat menemukan ide-ide tentang pikiran

makrokosmik dalam pikiran yang dimiliki séseorang. Jadi, pada dasarnya

mengetahui itu melalui proses mengenal atau mengingat, memanggil dan

memikirkan kembali ide-ide yang tersembunyi atau tersimpan yang sebetulnya

telah ada dalam pikiran. Apa yang akan diketahui sudah ada dalam pikiran.

Kebenaran itu berada pada dunia ide dan gagasan. Beberapa penganut

idealisme mempostulasikan adanya Akal Absolut atau Diri Absolut yang secara

terus menerus memikirkan ide-ide itu. Berkeley menyamakan konsep Diri Absolut

dengan Tuhan. Dengan demikian, banyak pemikir keagamaan mempunyai corak

pemikiran demikian. Kata kunci dalam epistemologi idealisme adalah konsistensi

dan koherensi. Para penganut idealisme memberikan perhatian besar pada

upaya pengembangan suatu sistem kebenaran yang mempunyai konsistensi

logis. Sesuatu benar ketika ia selaras dengan keharmonisan hakikat alam


34

semesta. Segala sesuatu yang inkonsisten dengan struktur ideal alam semesta

harus ditolak karena sebagai sesuatu yang salah. Dalam idealisme, kebenaran

adalah sesuatu yang inheren dalam hakikat alam semesta, dan karena itu, Ia

telah dulu ada dan terlepas dari pengalaman. Dengan demikian, cara yang

digunakan untuk meraih kebenaran tidaklah bersifat empirik. Penganut idealisme

mempercayai intuisi, wahyu dan rasio dalam fungsinya meraih dan

mengembangkan pengetahuan. Metode-metode inilah yang paling tepat dalam

menggumuli kebenaran sebagai ide gagasan, dimana ia merupakan pendidikan

epistemologi dasar dari idealisme.

c) Aksiologi-idealisme:

Aksiologi idealisme berakar kuat pada cara metafisisnya. Menurut George

Knight, jagat raya ini dapat dipikirkan dan direnungkan dalam kerangka

makrokosmos (jagat besar) dan mikrokosmos (jagat kecil). Dari sudut pandang

ini, makrokosmos dipandang sebagai dunia Akar Pikir Absolut, sementara bumi

dan pengalaman-pengalaman sensori dapat dipandang sebagai bayangan dari

apa yang sejatinya ada. Dalam konsepsi demikian, tentu akan terbukti bahwa

baik kriteria etik maupun estetik dari kebaikan dan kemudahan itu berada di luar

diri manusia, berada pada hakikat realitas kebenaran itu sendiri dan berdasarkan

pada prinsip-prinsip yang abadi dan baku. Dalam pandangan idealisme,

kehidupan etik dapat direnungkan sebagi suatu kehidupan yang dijalani dalam

keharmonisan dengan alarm (universe). Jika Diri Absolut dilihat dalam kacamata

makrokosmos, maka diri individu manusia dapat diidentifikasi sebagai suatu diri

mikrokosmos. Dalam kerangka itu, peran dari individual akan bisa menjadi

maksimal mungkin mirip dengan Diri Absolut. Jika Yang Absolut dipandang

sebagai hal yang paling akhir dan paling etis dari segala sesuatu, atau sebagai

Tuhan yang dirumuskan sebagai yang sempurna sehingga sempurna pula dalam

moral, maka lambang perilaku etis penganut idealisme terletak pada "peniruan"
35

Diri Absolut. Manusia adalah bermoral jika ia selaras dengan Hukum Moral

Universal yang merupakan suatu ekspresi sifat dari Zat Absolut.

Uraian di atas memberikan pengertian bahwa nilai kebaikan dipandang

dan sudut Diri Absolut. Ketika manusia dapat menyeleraskan diri dan mampu

mengejewantahkan diri dengan Yang Absolut sebagai sumber moral etik, maka

kehidupan etik telah diperolehnya. Berkaitan dengan hal tersebut, Gutek

mengemukakan bahwa pengalaman yang punya nilai didasarkan pada

kemampuan untuk meniru Tuhan sebagai sesuatu yang Absolut, sehingga nilai

etik itu sendiri merupakan sesuatu yang muttlak, abadi, tidak berubah dan

bersifat universal.

d. Metafisika-idealisme:

secara absolut kenyataan yang sebenarnya adalah spiritual dan

rohaniah, sedangkan secara kritis yaitu adanya kenyataan yang bersifat fisik dan

rohaniah, tetapi kenyataan rohaniah yang lebih berperan.

e. humanologi-idealisme:

jiwa dikaruniai kemampuan berpikir yang dapat menyebabkan adanya

kemampuan memilih.

Demikian kemanusiaan merupakan bagian dari ide mutlak, Tuhan

sendiri. Idea yang berpikir sebenarnya adalah gerak yang menimbulkan gerak

lain. Gerak ini menimbulkan tesis yang dengan sendirinya menimbulkan gerak

yang bertentangan, anti tesis. Adanya tesis dan anti tesisnya itu menimbulkan

sintesis dan ini merupakan tesis baru yang dengan sendirinya menimbulkan anti

tesisnya dan munculnya sintesis baru pula.

Demikian proses roh atau ide yang disebut Hegel dialektika. Proses

itulah yang menjadi keterangan untuk segala kejadian. Proses itu berlaku

menurut hukum akal. Jadi semua yang riil bersifat rasional dan semua yang
36

rasional bersifat riil. Maksudnya luasnya rasio sama dengan luasnya realitas,

sedangkan realitas menurut Hegel adalah proses pemikiran (ide).

3.2.8 Prinsiip_prinsip Idealisme

Prinsip-prisip Idealisme.

a) Menurut idealisme bahwa realitas tersusun atas substansi

sebagaimana gagasan-gagasan atau ide (spirit). Menurut penganut idealisme,

dunia beserta bagian-bagianya harus dipandang sebagai suatu sistem yang

masing-masing unsurnya saling berhubungan.Dunia adalah suatu totalitas, suatu

kesatuan yang logis dan bersifat spiritual.

b) Realitas atau kenyataan yang tampak di alam ini bukanlah kebenaran

yang hakiki, melainkan hanya gambaran atau dari ide-ide yang ada dalam jiwa

manusia.

c) Idealisme berpendapat bahwa manusia menganggap roh atau sukma

lebih berharga dan lebih tinggi dari pada materi bagi kehidupan manusia. Roh

pada dasarnya dianggap sebagai suatu hakikat yang sebenarnya, sehingga

benda atau materi disebut sebagai penjelmaan dari roh atau sukma.Demikian

pula terhadap alam adalah ekspresi dari jiwa.

d) Idealisme berorientasi kepada ide-ide yang theo sentris (berpusat

kepada Tuhan), kepada jiwa, spiritualitas, hal-hal yang ideal (serba cita) dan

kepada norma-norma yang mengandung kebenaran mutlak. Oleh karena nilai-

nilai idealisme bercorak spiritual, maka kebanyaakan kaum idealisme

mempercayai adanya Tuhan sebagai ide tertinggi atau Prima Causa dari

kejadian alam semesta ini.

3.2.9. Implementasi Idealisme

Aliran idealisme terbukti cukup banyak berpengaruh dalam dunia

pendidikan. William T. Harris adalah salah satu tokoh aliran pendidikan idealisme
37

yang sangat berpengaruh di Amerika Serikat. Idealisme terpusat tentang

keberadaan sekolah. Aliran inilah satu-satunya yang melakukan oposisi secara

fundamental terhadap naturalisme. Pendidikan harus terus eksis sebagai

lembaga untuk proses pemasyarakatan manusia sebagai kebutuhan spiritual,

dan tidak sekedar kebutuhan alam semata.

Pendidikan idealisme untuk individual antara lain bertujuan agar anak

didik bisa menjadi kaya dan memiliki kehidupan yang bermakna, memiliki

kepribadian yang harmonis, dan pada akhirnya diharapkan mampu membantu

individu lainnya untuk hidup lebih baik. Sedangkan tujuan pendidikan idealisme

bagi kehidupan sosial adalah perlunya persaudaraan antar manusia. Sedangkan

tujuan secara sintesis dimaksudkan sebagai gabungan antara tujuan individual

dengan sosial sekaligus, yang juga terekspresikan dalam kehidupan yang

berkaitan dengan Tuhan.

Guru dalam sistem pengajaran menurut aliran idealisme berfungsi

sebagai.

1. Guru adalah personifikasi dari kenyataan anak didik. Artinya, guru

merupakan wahana atau fasilitator yang akan mengantarkan anak

didik dalam mengenal dunianya lewat materi-materi dalam aktifitas

pembelajaran.

2. Guru harus seorang spesialis dalam suatu ilmu pengetahuan dari

siswa. Artinya, seorang guru itu harus mempunyai pengetahuan yang

lebih dari pada anak didik.

3. Guru haruslah menguasai teknik mengajar secara baik. Artinya,

seorang guru harus mempunyai potensi pedagogik yaitu kemampuan

untuk mengembangkan suatu model pembelajaran, baik dari segi

materi dan yang lainnya.


38

4. Guru haruslah menjadi pribadi yang baik, sehingga disegani oleh

murid. Artinya, seorang guru harus mempunyai potensi kepribadian

yaitu karakter dan kewibawaan yang berbeda dengan guru yang lain.

5. Guru menjadi teman dari para muridnya. Artinya, seorang guru harus

mempunyai potensi sosial yaitu kemampuan dalam hal berinteraksi

dengan anak didik.

Kurikulum yang digunakan dalam pendidikan yang beraliran idealisme

harus lebih memfokuskan pada isi yang objektif. Pengalaman haruslah lebih

banyak daripada pengajaran yang textbook. Agar pengetahuan dan

pengalamannya aktual. Sedangkan implikasi Aliran Idealisme dalam Pendidikan

yaitu.

a) Tujuan, untuk membentuk karakter, mengembangkan bakat atau

kemampuan dasar, serta kebaikan sosial.

b) Kurikulum, pendidikan liberal untuk pengembangan kemampuan dan

pendidikan praktis untuk memperoleh pekerjaan.

c) Metode, diutamakan metode dialektika (saling mengaitkan ilmu yang

satu dengan yang lain), tetapi metode lain yang efektif dapat

dimanfaatkan.

d) Peserta didik bebas untuk mengembangkan kepribadian, bakat dan

kemampuan dasarnya.

e) Pendidik bertanggungjawab dalam menciptakan lingkungan

pendidikan melalui kerja sama dengan alam.

Implementasi Idealisme dalam Pendidikan:

a. Pendidikan bukan hanya mengembangkan dan menumbuhkan, tetapi

juga harus menuju pada tujuan yaitu dimana nilai telah

direalisasikan ke dalam bentuk yang kekal dan tak terbatas.


39

b. Pendidikan adalah proses melatih pikiran, ingatan, perasaan. Baik

untuk memahami realita, nilai-nilai, kebenaran, maupun sebagai

warisan sosial.

c. Tujuan pendidikan adalah menjaga keunggulan kultural, sosial dan

spiritual. Memperkenalkan suatu spirit intelektual guna membangun

masyarakat yang ideal

d. Pendidikan idealisme berusaha agar seseorang dapat mencapai nilai-

nilai dan ide-ide yang diperlukan oleh semua manusia secara

bersama-sama.

e. Tujuan pendidikan idealisme adalah ketepatan mutlak. Untuk itu,

kurikulum seyogyanya bersifat tetap dan tidak menerima

perkembangan.

f. Peranan pendidik menurut aliran ini adalah memenuhi akal peserta

didik dengan hakekat-hakekat dan pengetahuan yang tepat.

3.3 POSITIVISME

3.3.1 SEJARAH FILSAFAT POSITIVISME

Positivisme adalah salah satu aliran filsafat modern. Secara umum boleh

dikatakan bahwa akar sejarah pemikiran positivisme dapat dikembalikan kepada

masa Hume (1711-1776) dan Kant (1724-1804). Hume berpendapat bahwa

permasalahan-permasalahan ilmiah haruslah diuji melalui percobaan (aliran

Empirisme). Sementara Kant adalah orang yang melaksanakan pendapat Hume

ini dengan menyusun Critique of pure reason (Kritik terhadap pikiran murni /

aliran Kritisisme). Selain itu Kant juga membuat batasan-batasan wilayah

pengetahuan manusia dan aturan-aturan untuk menghukumi pengetahuan

tersebut dengan menjadikan pengalaman sebagai porosnya (Ahmad, 2009).


40

Istilah Positivisme pertama kali digunakan oleh Saint Simon (sekitar 1825).

Prinsip filosofik tentang positivisme dikembangkan pertama kali oleh seorang

filosof berkebangsaan Inggeris yang bernama Francis Bacon yang hidup di

sekitar abad ke-17 (Muhadjir, 2001). Ia berkeyakinan bahwa tanpa adanya pra

asumsi, komprehensi-komprehensi pikiran dan apriori akal tidak boleh menarik

kesimpulan dengan logika murni maka dari itu harus melakukan observasi atas

hukum alam.

Pada paruh kedua abad XIX muncullah Auguste Comte (1798-1857),

seorang filsuf sosial berkebangsaan Perancis, yang menggunakan istilah ini

kemudian mematoknya secara mutlak sebagai tahapan paling akhir sesudah

tahapan-tahapan agama dan filsafat dalam karya utamanya yang berjudul

Course de Philosophie Phositive, Kursus tentang Filsafat Positif (1830-1842),

yang diterbitkan dalam enam jilid (Achmadi, 1997).

Melalui tulisan dan pemikirannya ini, Comte bermaksud memberi

peringatan kepada para ilmuwan akan perkembangan penting yang terjadi pada

perjalanan ilmu ketika pemikiran manusia beralih dari fase teologis, menuju fase

metafisis, dan terakhir fase positif. Pada fase teologis (tahapan agama dan

ketuhanan) diyakini adanya kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur semua gerak

dan fungsi yang mengatur alam ini. Zaman ini dibagi menjadi tiga periode:

animisme, politeisme dan monoteisme. Pada tahapan ini untuk menjelaskan

fenomena-fenomena yang terjadi hanya berpegang kepada kehendak Tuhan

atau Tuhan-Tuhan. Selanjutnya pada zaman metafisis (tahapan filsafat), kuasa

adikodrati tersebut telah digantikan oleh konsep- konsep abstrak, seperti ‘kodrat’

dan ‘penyebab’. Pada fase ini manusia menjelaskan fenomena-fenomena

dengan pemahaman-pemahaman metafisika seperti kausalitas, substansi dan

aksiden, esensi dan eksistensi. Dan akhirnya pada masa positif (tahap

positivisme) manusia telah membatasi diri pada fakta yang tersaji dan
41

menetapkan hubungan antar fakta tersebut atas dasar observasi dan

kemampuan rasio. Pada tahap ini manusia menafikan semua bentuk tafsir

agama dan tinjauan filsafat serta hanya mengedepankan metode empiris dalam

menyingkap fenomena-fenomena (Ahmad 2009).

3.3.2 PENGERTIAN POSITIVISME

Positivisme berasal dari kata “positif”. Kata positif disini sama artinya

dengan faktual, yaitu apa yang berdasarkan fakta-fakta. Menurut positivisme,

pengetahuan kita tidak pernah boleh melebihi fakta-fakta. Dengan demikian,

maka ilmu pengetahuan empiris menjadi contoh istimewa dalam bidang

pengetahuan. Oleh karena itu, filsafat pun harus meneladani contoh tersebut.

Maka dari itu, positivisme menolak cabang filsafat metafisika. Menanyakan

“hakikat” benda-benda, atau “penyebab yang sebenarnya”, termasuk juga

filsafat, hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta-

fakta (Praja, 2005).

Jadi, Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam

sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas

yang berkenaan dengan metafisik. Positivisme tidak mengenal adanya spekulasi,

semua harus didasarkan pada data empiris. Positivisme dianggap bisa

memberikan sebuah kunci pencapaian hidup manusia dan ia dikatakan

merupakan satu-satunya formasi sosial yang benar-benar bisa dipercaya

kehandalan dan dan akurasinya dalam kehidupan dan keberadaan masyarakat.

Comte sering disebut “Bapak Positivisme“ karena aliran filsafat yang

didirikannya tersebut. Positivisme adalah nyata, bukan khayalan. Ia menolak

metafisika dan teologik. Jadi menurutnya ilmu pengetahuan harus nyata dan

bermanfaat serta diarahkan untuk mencapai kemajuan. Positivisme merupakan

suatu paham yang berkembang dengan sangat cepat, ia tidak hanya menjadi
42

sekedar aliran filsafat tapi juga telah menjadi agama humanis modern.

Positivisme telah menjadi agama dogmatis karena ia telah melembagakan

pandangan dunianya menjadi doktrin bagi ilmu pengetahuan. Pandangan dunia

yang dianut oleh positivisme adalah pandangan dunia objektivistik. Pandangan

dunia objektivistik adalah pandangan dunia yang menyatakan bahwa objek-objek

fisik hadir independen dari mental dan menghadirkan properti- properti mereka

secara langsung melalui data indrawi. Realitas dengan data indrawi adalah satu.

Apa yang dilihat adalah realitas sebagaimana adanya. Seeing is believing

(Syaebani, 2008).

Tugas khusus filsafat menurut aliran ini adalah mengoordinasikan ilmu-ilmu

pengetahuan yang beraneka ragam coraknya. Tentu saja maksud positivisme

berkaitan erat dengan apa yang dicita-citakan oleh empirisme. Positivisme pun

mengutamakan pengalaman. Hanya saja berbeda dengan empirisme Inggris

yang menerima pengalaman batiniah atau subjektif sebagai sumber

pengetahuan, positivisme tidak menerimanya. Ia hanya ,mengandalkan pada

fakta-fakta.

Menurut Ahmad (2009), Tujuan utama yang ingin dicapai oleh positivisme

adalah membebaskan ilmu dari kekangan filsafat (metafisika). Menurut Ernst,

ilmu hendaknya dijauhkan dari tafisran-tafsiran metafisis yang merusak

obyektifitas. Dengan menjauhkan tafsiran-tafisran metafisis dari ilmu, para

ilmuwan hanya akan menjadikan fakta yang dapat ditangkap dengan indera

untuk menghukumi segala sesuatu. Hal ini sangat erat kaitannya dengan tugas

filsafat. Menurut positivisme, tugas filsafat bukanlah menafsirkan segala sesuatu

yang ada di alam. Tugas filsafat adalah memberi penjelasan logis terhadap

pemikiran. Oleh karena itu filsafat bukanlah teori. Filsafat adalah aktifitas. Filsafat

tidak menghasil proposisi-proposisi filosofis, tapi yang dihasilkan oleh filsafat

adalah penjelasan terhadap proposisi-proposisi.


43

Alasan yang digunakan oleh positivisme dalam membatasi tugas filsafat di

atas adalah karena filsafat bukanlah ilmu. Kata filsafat hendaklah diartikan

sebagai sesuatu yang lebih tinggi atau lebih rendah dari ilmu-ilmu eksakta.

Penjelasan dari hal ini adalah bahwa tugas utama dari ilmu adalah memberi

tafsiran terhadap materi yang menjadi obyek ilmu tersebut. Tugas dari ilmu-ilmu

eksakta adalah memberi tafsiran terhadap segala sesuatu yang terjadi di alam

dan sebab-sebab terjadinya. Sementara tugas ilmu-ilmu sosial adalah memberi

tafsiran terhadap segala sesuatu yang terjadi pada manusia, baik sebagai

individu maupun masyarakat. Dan karena semua obyek pengetahuan—baik

yang berhubungan dengan alam maupun yang berhubungan dengan manusia—

sudah ditafsirkan oleh masing-masing ilmu yang berhubungan dengannya, maka

tidak ada lagi obyek yang perlu ditafsirkan oleh filsafat. Oleh karena itulah dapat

disimpulkan bahwa filsafat bukanlah ilmu.

3.3.3 PERKEMBANGAN POSITIVISME

Auguste Comte dilahirkan pada tahun 1798 di kota Monpellir Perancis

Selatan. Ayah dan ibunya menjadi pegawai kerajaan dan merupakan penganut

agama Katolik yang cukup tekun. Ia menikah dengan seorang pelacur bernama

Caroline Massin yang kemudian dia menyesali perkawinan itu. Dia pernah

mengatakan bahwa perkawinan itu adalah satu-satunya kesalahan terbesar

dalam hidupnya. Dari kecil pemikiran-pemikiran Comte sudah mulai kelihatan,

kemudian setelah ia menyelesaikan sekolahnya pada jurusan politeknik di Paris

1814-1816, dia diangkat menjadi sekretaris oleh Saint Simon yaitu seorang

pemikir yang dalam merespon dampak negatif renaissance menolak untuk

kembali pada abad pertengahan akan tetapi harus direspon dengan

menggunakan basis intelektual baru, yaitu dengan berfikir empirik dalam

mengkaji persoalan-persoalan realitas sosial. Pergulatan intelektual dengan


44

Saint Simon inilah yang kemudian membuat pola fikir Comte berkembang.

Karena ketidak cocokan Comte dengan Saint Simon akhirnya ia memisahkan diri

dan kemudian Comte menulis sebuah buku yang berjudul “System of Positive

Politics, Sistem Politik Positif” tahun 1824. Berawal dari pemikiran Plato dan

Aristoteles, Comte mencoba menggabungkannya menjadi positivistik (Purwanto,

2008).

Terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme yaitu:

1. Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi

(positivisme sosial dan evolusioner), walaupun perhatiannya juga diberikan

pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika

yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P.

Laffitte, JS. Mill dan Spencer.

2. Munculnya tahap kedua dalam positivisme – empirio-positivisme – berawal

pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius

(positivisme kritis). Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang

obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal.

Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut

pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme.

Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina

dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain

(positivisme logis). Serta kelompok yang turut berpengaruh pada

perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin.

Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis,

positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga

ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah

dan lain-lain.
45

3.3.4 CIRI-CIRI POSITIVISME

Ciri-ciri Positivisme antara lain:

1. Objektif/bebas nilai. Dikotomi yang tegas antara fakta dan nilai

mengharuskan subjek peneliti mengambil jarak dari realitas dengan bersikap

bebas nilai. Hanya melalui fakta-fakta yang teramati dan terukur, maka

pengetahuan kita tersusun dan menjadi cermin dari realitas (korespondensi).

2. Fenomenalisme, tesis bahwa realitas terdiri dari impresi-impresi. Ilmu

pengetahuan hanya berbicara tentang realitas berupa impresi-impresi

tersebut. Substansi metafisis yang diandaikan berada di belakang gejala-

gejala penampakan ditolak (antimetafisika)

3. Nominalisme, bagi positivisme hanya konsep yang mewakili realitas

partikularlah yang nyata.

4. Reduksionisme, realitas direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat diamati.

5. Naturalisme, tesis tentang keteraturan peristiwa-peristiwa di alam semesta

yang meniadakan penjelasan supranatural (adikodrati). Alam semesta

memiliki strukturnya sendiri dan mengasalkan strukturnya sendiri.

6. Mekanisme, tesis bahwa semua gejala dapat dijelaskan dengan prinsip-

prinsip yang dapat digunakan untuk menjelaskan mesin-mesin (sistem-sistem

mekanis). Alam semesta diibaratkan sebagai giant clock work (Syaebani,

2008).

3.3.5 IMPLEMENTASI FILSAFAT POSITIVISME

Salah satu cita-cita bangsa Indonesia ialah menciptakan generasi-generasi

penerus bangsa yang tidak hanya cerdas dari segi kognitif saja melainkan juga

cerdas secara emosi dan spriritual melalui bidang pendidikan.

Melalui filsafat positivisme, pendidikan diarahkan kepada hal baik dalam

segi intelektual dan berbagai bidang kehidupan untuk menciptakan anak didik

yang sempurna baik lahir maupun batinnya. Peserta didik diasah dalam
46

kemampuannya melihat, menemukan fakta-fakta, menganalisis sesuatu, serta

mentransfer ilmu kepada lingkungannya. sehingga diharapkan dapat

terbentuknya anak bangsa yang kreatif, berkarakter, serta mampu berkontribusi

dalam pembangunan bangsa agar lebih baik dan mampu bersaing dengan

negara asing.

3.3.6 FUNGSI FILSAFAT POSITIVISME

Berdasarkan uraian pada bagian terdahulu kiranya dapat dikatakan mengenai,

fungsi filsafat positivisme yaitu.

1. Perkembangan yang diberi konotasi sebagai kemajuan memberikan makna

bahwa positivisme telah mempertebal optimisme. Hal tersebut melahirkan

pengetahuan yang positif yang terlepas dari pengaruh-pengaruh spekulatif,

atau dari hukum-hukum yang umum. Berkat pandangan positivisme

orang'tidak sekedar menghimpun fakta, tapi ia berupaya meramal masa

depan, yang antara lain turut mendorong perkembangan teknologi

2. Kemajuan dalam bidang fisik telah menimbulkan berbagai implikasi dalam

segi kehidupan. Dengan kata lain, f ungsi filsafat positivisme ini berperan

sebagai pendorong timbulnya perkembangan dan kemajuan yang dirasakan

sebagai kebutuhan.

3. Dengan adanya penekanan dari filsafat positivisme terhadap segi rasional

ilmiah, maka berfungsi pula kemampuannya untuk menerangkan

kenyataan, sedimikian rupa hingga keyakinannya akan kebenaran semakin

terbuka.

3.3.7 KELEBIHAN DAN KELEMAHAN POSITIVISME

Asumsi pokok teorinya adalah satu teori harus di uji dengan

menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaranya

dan Popper menyajikan teori ilmu pengetahuan baru ini sebagai penolakannya
47

atas positivisme logis yang beranggapan bahwa pengetahuan ilmiah pada

dasarnya tidak lain hanya berupa generalisasi pengalaman atau fakta nyata

dengan menggunakan ilmu pasti dan logika. Dan menurut positivisme logis tugas

filsafat ilmu pengetahuan adalah menanamkan dasar untuk ilmu pengetahuan.

Hal yang dikritik oleh Popper pada Positivisme Logis adalah tentang

metode Induksi, ia berpendapat bahwa Induksi tidak lain hanya khayalan belaka,

dan mustahil dapat menghasilkan pengetahuan ilmiah melalui induksi. Tujuan

Ilmu Pengetahuan adalah mengembangkan pengetahuan ilmiah yang berlaku

dan benar, untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan logika, namun jenis

penalaran yang dipakai oleh positivisme logis adalah induksi dirasakan tidak

tepat sebab jenis penalaran ini tidak mungkin menghasilkan pengetahuan ilmiah

yang benar dan berlaku, karena kelemahan yang bisa terjadi adalah kesalahan

dalam penarikan kesimpulan, dimana dari premis-premis yang dikumpulkan

kemungkinan tidak lengkap sehingga kesimpulan atau generalisasi yang

dihasilkan tidak mewakili fakta yang ada. Dan menurutnya agar pengetahuan itu

dapat berlaku dan bernilai benar maka penalaran yang harus dipakai adalah

penalaran deduktif.

Penolakan lainnya adalah tentang Fakta Keras, Popper berpendapat

bahwa fakta keras yang berdiri sendiri dan terpisah dari teori sebenarnya tidak

ada, karena fakta keras selalu terkait dengan teori, yakni berkaitan pula dengan

asumsi atau pendugaan tertentu. Dengan demikian pernyataan pengamatan,

yang dipakai sebagai landasan untuk membangun teori dalam positivisme logis

tidak pernah bisa dikatakab benar secara mutlak.

Dari deskriptif ringkas di atas mengenai positivisme, maka sebenarnya

positivisme mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan, yaitu antara lain.

a. Kelebihan Positivisme
48

 Positivisme lahir dari faham empirisme dan rasional, sehingga kadar dari

faham ini jauh lebih tinggi dari pada kedua faham tersebut.

 Hasil dari rangkaian tahapan yang ada didalamnya, maka akan

menghasilkan suatu pengetahuan yang mana manusia akan mempu

menjelaskan realitas kehidupan tidak secara spekulatif, arbitrary,

melainkan konkrit, pasti dan bisa jadi mutlak, teratur dan valid.

 Dengan kemajuan dan dengan semangat optimisme, orang akan

didorong untuk bertindak aktif dan kreatif, dalam artian tidak hanya

terbatas menghimpun fakta, tetapi juga meramalkan masa depannya.

 Positivisme telah mampu mendorong lajunya kemajuan disektor fisik dan

teknologi.

 Positivisme sangat menekankan aspek rasionali-ilmiah, baik pada

epistemology ataupun keyakinan ontologik yang dipergunakan sebagai

dasar pemikirannya

b. Kelemahan Positivisme

 Analisis biologik yang ditransformasikan ke dalam analisis sosial dinilai

sebagai akar terpuruknya nilai-nilai spiritual dan bahkan nilai-nilai

kemanusiaan. Hal ini dikarenakan manusia tereduksi ke dalam pengertian

fisik-biologik.

 Akibat dari ketidakpercayaannya terhadap sesuatu yang tidak dapat diuji

kebenarannya, maka faham ini akan mengakibatkan banyaknya manusia

yang nantinya tidak percaya kepada Tuhan, Malaikat, Setan, surga dan

neraka. Padahal yang demikian itu didalam ajaran Agama adalah benar

kebenarannya dan keberadaannya. Hal ini ditandai pada saat paham

positivistik berkembang pada abad ke 19, jumlah orang yang tidak

percaya kepada agama semakin meningkat.


49

 Manusia akan kehilangan makna, seni atau keindahan, sehingga manusia

tidak dapat merasa bahagia dan kesenangan itu tidak ada. Karena dalam

positivistic semua hal itu dinafikan.

 Hanya berhenti pada sesuatu yang nampak dan empiris sehingga tidak

dapat menemukan pengetahuan yang valid.

 Positivisme pada kenyataannya menitik beratkan pada sesuatu yang

nampak yang dapat dijadikan obyek kajiaannya, di mana hal tersebut

adalah bergantung kepada panca indera. Padahal perlu diketahui bahwa

panca indera manusia adalah terbatas dan tidak sempurna. Sehingga

kajiannya terbatas pada hal-hal yang nampak saja, padahal banyak hal

yang tidak nampak dapat dijadikan bahan kajian.

 Hukum tiga tahap yang diperkenalkan Comte mengesankan dia sebagai

teorisi yang optimis, tetapi juga terkesan lincar – seakan setiap tahapan

sejarah evolusi merupakan batu pijakan untuk mencapai tahapan

berikutnya, untuk kemudian bermuara pada puncak yang digambarkan

sebagai masyarakat positivistic

3.3.8 Tokoh-tokoh Positivisme

1. Auguste Comte ( 1798 – 1857 )

Bernama lengkap Isidore Marrie Auguste Francois Xavier Comte, lahir di

Montepellier, Perancis (1798). Keluarganya beragama khatolik yanga berdarah

bangsawan. Dia mendapat pendidikan di Ecole Polytechnique di Paris dan lama

hidup disana. Dikalangan teman-temannya Auguste Comte adalah mahasiswa

yang keras kepala dan suka memberontak, yang meninggalkan Ecole sesudah
50

seorang mahasiswa yang memberontak dalam mendukung Napoleon dipecat.

Auguste Comte memulai karier professionalnya dengan memberi les dalam

bidang Matematika. Walaupun demikian, perhatian yang sebenarnya adalah

pada masalah-masalah kemanusiaan dan sosial. Tahun 1844, dua tahun setelah

dia menyelesaikan enam jilid karya besarnya yang berjudul “Clothilde Course of

Positive Philosophy”. Comte bertemu dengan Clothilde de Vaux, seorang ibu

yang mengubah kehidupan Comte. Dia berumur beberapa tahun lebih muda

dari pada Comte. Wanita tersebut sedang ditinggalkan suaminya ketika bertemu

dengan Comte pertama kalinya, Comte langsung mengetahui bahwa perempuan

itu bukan sekedar perempuan. Sayangnya Clothilde de Vaux tidal terlalu meluap-

luap seperti Comte. Walaupun saling berkirim surat cinta beberapa kali, Clothilde

de Vaux menganggap hubungan itu adalah persaudaraan saja. Akhirnya, dalam

suratnya Chlothilde de Vaux menerima menjalin keprihatinan akan kesehatan

mental Comte. Hubungan intim suami isteri rupanya tidak jadi terlaksana, tetapi

perasaan mesra sering diteruskan lewat surat menyurat. Namun, romantika ini

tidak berlangsung lama, Chlothilde de Vaux mengidap penyakit TBC dan hanya

beberapa bulan sesudah bertemu dengan Comte, dia meninggal. Kehidupan

Comte lalu bergoncang, dia bersumpah membaktikan hidupnya untuk

mengenang “bidadarinya” itu. Auguste Comte juga memiliki pemikiran Altruisme.

Altruisme merupakan ajaran Comte sebagai kelanjutan dari ajarannya tentang

tiga zaman. Altruisme diartikan sebagai “menyerahkan diri kepada keseluruhan

masyarakat”. Bahkan, bukan “salah satu masyarakat”, melainkan “humanite”

suku bangsa manusia” pada umumnya. Jadi, Altruisme bukan sekedar lawan

“egoisme”(Juhaya S. Pradja, 2000 : 91). Keteraturan masyarakat yang dicari

dalam positivisme hanya dapat dicapai kalau semua orang dapat menerima

altruisme sebagai prinsip dalam tindakan mereka. Sehubungan dengan altruisme

ini, Comte menganggap bangsa manusia menjadi semacam pengganti Tuhan.


51

Kailahan baru dan positivisme ini disebut Le Grand Eire “Maha Makhluk” dalam

hal ini Comte mengusulkan untuk mengorganisasikan semacam kebaktian untuk

If Grand Eire itu lengkap dengan imam-imam, santo-santo, pesta-pesta liturgi,

dan lain-lain. Ini sebenarnya dapat dikatakan sebagai “Suatu agama Katholik

tanpa agma Masehi”. Dogma satu-satunya agama ini adalah cinta kasih sebagai

prinsip, tata tertib sebagai dasar, kemajuan sebagai tujuan. Perlu diketahui

bahwa ketiga tahap atau zaman tersebutdi atas menurut Comte tidak hanya

berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku

bagi perkembangan perorangan. Misalnya sebagai kanak-kanak seorang teolog

adalah seorang positivis.

2. John Stuart Mill ( 1806 – 1873 )

Adalah seorang filsuf Inggris, ekonom politik dan pegawai negeri sipil. Dia
adalah seorang kontributor berpengaruh untuk teori sosial, teori politik dan
ekonomi politik.
Lahir : 20 Mei 1806, Pentonville, London
Meninggal : 8 Mei 1873, Avignon, Prancis
Pasangan : Harriet Taylor Mill (. M 1851-1858)
Pendidikan : University College London
Orangtua : James Mill, Harriet Burrow
Ia adalah seorang filosof Inggris yang menggunakan sistem positivisme pada
ilmu jiwa, logika, dan kesusilaan. John Stuart Mill memberikan landasan
psikologis terhadap filsafat positivisme. Karena psikologi merupakan
pengetahuan dasar bagi filsafat. Seperti halnya dengan kaum positif, Mill
mengakui bahwa satu-satunya yang menjadi sumber pengetahuan ialah
pengalaman. Karena itu induksi merupakan metode yang paling dipercaya dalam
ilmu pengetahuan.
3. H. Taine ( 1828 – 1893 )
52

Adalah seorang kritikus Perancis dan sejarawan. Dia adalah pengaruh

teoritis kepala naturalisme Perancis, pendukung utama positivisme sosiologis

dan salah satu praktisi pertama kritik historis. Ia mendasarkan diri pada

positivisme dan ilmu jiwa, sejarah, politik, dan kesastraan.

Lahir : 21 April 1828, Vouziers, Prancis


Meninggal : 5 Maret 1893, Paris, Prancis
Pendidikan : École Normale Supérieure

4. Emile Durkheim (1852 – 1917 )

David Émile Durkheim adalah seorang sosiolog Perancis, psikolog sosial

dan filsuf. Ia secara resmi mendirikan disiplin akademis dan, dengan Karl Marx

dan Max Weber, yang sering dikutip sebagai kepala sekolah.

Lahir : 15 April 1858, Épinal, Prancis


Meninggal : 15 November 1917, Paris, Prancis
Pendidikan : Lycée Louis-le-Grand, École Normale Supérieure,
Universitas Leipzig
Ia menganggap positivisme sebagai asas sosiologi.

3.4 POST POSITIVISME

3.4.1 Pengertian Filsafat Post Positivsme

Post positivisme merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan-

kelemahan positivisme yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan

langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologis aliran ini bersifat critical

realism yang memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan, sesuai
53

dengan hukum alam, tetapi satu hal yang mustahil bila suatu realitas dapat

dilihat secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena itu, secara metodologis

pendekatan eksperimental melalui observasi tidaklah cukup, tetapi harus

menggunakan metode triangulation yaitu penggunaan bermacam-macam

metode, sumber data, peneliti dan teori.

Post positivisme merupakan sebuah aliran yang datang setelah positivism

dan memang amat dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu indikator

yang membedakan antara keduanya bahwa post positivisme lebih mempercayai

proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam

metode. Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai objektivitas

apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara. Oleh

karena itu dalam makalah ini akan membahas tentang pembahasan verifikasi

secara mendalam.

Guba (1990:20) menjelaskan Post-positivisme sebagai berikut:

“Postpositivism is best characterized as modified version of positivism. Having

assessed the damage that positivism has occured, postpositivists strunggle to

limited that damage as well as to adjust to it. Prediction and control continue to

be the aim.” Inti dari pernyataan yang berbahasa asing tersebut yakni, post-

positivisme merupakan perbaikan dari paradigma sebelumnya yakni positivisme.

Aliran post-positivisme merupakan aliran yang datang setelah positivisme, jadi

wajar bila ada kesamaan dalam aliran tersebut. Positivisme dan post-positivisme

sama-sama sepakat bahwa realitas itu benar-benar nyata dan sesuai dengan

hukum alam. Namun, post-positivisme beranggapan bahwa manusia tidak akan

mendapat kebenaran dari sebuah realitas apabila peneliti membuat jarak dengan

realitas atau tidak terlibat langsung dengan realitas. Jadi peneliti memerlukan

hubungan interaktif dengan realitas dengan menggunakan berbagai macam

metode, sumber data, dan lain sebagainya .


54

3.4.2 Asumsi Dasar Post-Positivsme

a. Fakta tidak bebas nilai, melainkan bermuatan teori.

b. Falibilitas Teori, tidak satupun teori yang dapat sepenuhnya dijelaskan

dengan bukti-bukti empiris, bukti empiris memiliki kemungkinan untuk

menunjukkan fakta anomali.

c. Fakta tidak bebas melainkan penuh dengan nilai.

d. Interaksi antara subjek dan objek penelitian. Hasil penelitian bukanlah

reportase objektif melainkan hasil interaksi manusia dan semesta yang

penuh dengan persoalan dan senantiasa berubah.

e. Asumsi dasar post-positivisme tentang realitas adalah jamak individual.

f. Hal itu berarti bahwa realitas (perilaku manusia) tidak tunggal melainkan

hanya bisa menjelaskan dirinya sendiri menurut unit tindakan yang

bersangkutan.

g. Fokus kajian post-positivis adalah tindakan-tindakan (actions) manusia

sebagai ekspresi dari sebuah keputusan.

3.4.3 Perkembangan Awal Post positivisme

Paradigma ini merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan-

kelemahan positivisme, yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan

langsung terhadap objek yang diteliti.Secara ontologis aliran ini bersifat critical

realism yang memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan sesuai

dengan hukum alam, tetapi satu hal yang mustahil bila suatu realitas dapat dilihat

secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena itu, secara metodologis

pendekatan eksperimental melalui observasi tidaklah cukup, tetapi

harus menggunakan metode triangulation yaitu penggunaan bermacam-macam

metode, sumber data, peneliti dan teori.


55

Secara epistemologis, hubungan antara pengamat atau peneliti dengan

objek atau realitas yang diteliti tidaklah bisa dipisahkan, seperti yang diusulkan

oleh aliran positivisme. Aliran ini menyatakan suatu hal yang tidak mungkin

mencapai atau melihat kebenaran apabila pengamat berdiri di belakang layar

tanpa ikut terlibat dengan objek secara langsung.

Lahirnya paradigma post-positivisme diawali oleh gugatan terhadap

positivisme yang dimulai antara tahun 1970-1980. Post-positivisme sendiri

merupakan perbaikan dari positivisme yang dianggap mempunyai berbagai

macam kelemahan. Kemudian alasan utama paham post-positivisme menentang

terhadap positivisme yakni tidak mungkin menyamaratakan ilmu-ilmu tentang

manusia dengan ilmu alam, karena tindakan manusia tidak bisa diprediksi

dengan satu penjelasan yang mutlak pasti, sebab manusia selalu berubah.

Contohnya pada kehidupan sehari-hari, kecenderungan orang memilih

kendaraan. Jika sepeda motor bertransmisi manual cocok digunakan untuk laki-

laki dan sepeda motor automatic cocok digunakan oleh perempuan. Maka belum

tentu semua laki-laki menggunakan sepeda motor manual dan belum tentu pula

semua wanita menggunakan sepeda motor automatic. Terkadang laki-laki ada

yang lebih suka menggunakan matic dan perempuan menggunakan sepeda

manual. Itulah contoh kecil dari tindakan manusia yang tidak dapat diprediksi

maupun dapat berubah-ubah.

3.4.4 Posisi Aliran Postpositivisme


Untuk mengetahui lebih jauh tentang postpositivisme empat pertanyaan

dasar berikut, akan memberikan gambaran tentang posisi aliran ini dalam kancah

paradigma ilmu pengetahuan.

a. Bagaimana sebenarnya posisi postpositivisme di antara paradigma-

paradigma ilmu yang lain? Apakah ini merupakan bentuk lain dari positivisme
56

yang posisinya lebih lemah? Atau karena aliran ini datang setelah positivisme

sehingga dinamakan postpositivisme? Harus diakui bahwa aliran ini bukan suatu

filsafat baru dalam bidang keilmuan, tetapi memang amat dekat dengan

paradigma positivisme. Salah satu indikator yang membedakan antara keduanya

bahwa postpositivisme lebih mempercayai proses verifikasi terhadap suatu

temuan hasil observasi melalui berbagai macam metode. Dengan demikian suatu

ilmu memang betul mencapai objektifitas apabila telah diverifikasi oleh berbagai

kalangan dengan berbagai cara.

b. Bukankah postpositivisme bergantung pada paradigma realisme yang

sudah sangat tua dan usang? Dugaan ini tidak seluruhnya benar. Pandangan

awal aliran positivisme (old-positivism) adalah anti realis, yang menolak adanya

realitas dari suatu teori. Realisme modern bukanlah kelanjutan atau luncuran dari

aliran positivisme, tetapi merupakan perkembangan akhir dari pandangan

postpositivisme.

c. Banyak postpositivisme yang berpengaruh yang merupakan penganut

realisme. Bukankah ini menunjukkan bahwa mereka tidak mengakui adanya

sebuah kenyataan (multiple realities) dan setiap masyarakat membentuk realitas

mereka sendiri? Pandangan ini tidak benar karena relativisme tidak sesuai

dengan pengalaman sehari-hari dalam dunia ilmu. Yang pasti postpositivisme

mengakui bahwa paradigma hanyalah berfungsi sebagai lensa bukan sebagai

kacamata. Selanjutnya, relativisme mengungkap bahwa semua pandangan itu

benar, sedangkan realis hanya berkepentingan terhadap pandangan yang

dianggap terbaik dan benar. Postpositivisme menolak pandangan bahwa

masyarakat dapat menentukan banyak hal sebagai hal yang nyata dan benar

tentang suatu objek oleh anggotanya.

d. Karena pandangan bahwa persepsi orang berbeda, maka tidak ada

sesuatu yang benar-benar pasti. Bukankah postpositivisme menolak kriteria


57

objektivitas? Pandangan ini sama sekali tidak bisa diterima. Objektivitas

merupakan indikator kebenaran yang melandasi semua penyelidikan. Jika kita

menolak prinsip ini, maka tidak ada yang namanya penyelidikan. Yang ingin

ditekankan di sini bahwa objektivitas tidak menjamin untuk mencapai kebenaran.

3.4.5 Implementasi filsafat Pospositivisme

Dalam pendidikan Indonesia Pospositivisme adalah suatu pergerakan ide

yang menggantikan ide-ide positivime. Post positivisme memiliki cita-cita, ingin

meningkatkan kondisi ekonomi dan sosial, kesadaran akan peristiwa sejarah dan

perkembangan dalam bidang pendidikan. Filsafat Pospositivisme mengarahkan

agar pendidikan tidak hanya dari kejadian atau hal-hal yang dapat dibuktikan

secara empiris atau dapat dilihat melainkan menggabungkan antara yang dilihat

dan dirasakan. Contoh: pendidikan berkarakter itu akan berjalan dengan baik

dan memberikan dampak yang positip, dilihat bukan hanya dari materi dalam

pembelajaran melainkan ada juga dari perilaku dari guru, keluarga, dan

lingkungan serta emosi anak

3.4.5 Tokoh-tokoh postpositivisme

1. Karl Popper

Memiliki nama lengkap Karl Raimund Popper, lahir di Vienna Austria pada

tanggal 28 Juli 1902 yang berlatar belakang keluarga Yahudi Protestan.

Kemudian beristirahat dengan tenang diusinya yang ke 92 tahun tepatnya di

London Inggris pada tanggal 17 September 1994. Merupakan salah satu dari

sekian banyak filsuf ilmu dan pakar dalam bidang psikologi belajar. Popper

dikenal dengan gagasan falsifikasi- sebagai lawan dari verifikasi terhadap ilmu.[
58

Dalam pemikirannya mengenai prinsip metodologi ilmu yaitu dia menolak

metode induksi yang kenyataannya bersifat valid. Menurut Popper, daripada

bersusah payah mencari fakta-fakta membenarkan, ilmuwan lebih baik

menggunakan waktunya untuk mencari fakta anomaly atau yang menyimpang.

Misalkan pernyataan mengenai semua burung gagak berwarna hitam. Secara

premis, pernyataan tersebut benar. Namun secara logis pernyataan tersebut

salah, karena belum ada jaminan logis bahwa gagak yang diobservasi kemudian

tidak ada yang berwana coklat atau putih. Jika hal ini terbukti mana kesimpulan

semua gagak hitam itu salah.

Pandangan rasionalistis beranggapan bahwa suatu teori baru akan

diterima kalau sudah terbukti bahwa ia dapat meruntuhkan teori lama yang ada

sebelumnya. Pengujian teori tersebut menggunakan suatu tes empiris.

2. Thomas khun

Nama lengkapnya adalah Thomas Samuel Khun, beliau lahir pada

tanggal 18 Juli 1922 dan menghembuskan nafas terakhir diusianya yang ke 73

tahun tepatnya pada 17 Juni 1996. Dia seorang filusuf, fisikawan dan sejarawan

Amerika Serikat. Kuhn mempercayai bahwa ilmu pengetahuan memiliki periode

pengumpulan data dalam sebuah paradigma. Revolusi kemudian terjadi setelah

sebuah paradigma menjadi dewasa. Paradigma mampu mengatasi

penyimpangan, namun demikian ketika banyak penyimpangan-penyimpangan

yang mengganggu yang mengancam acuan disiplin maka paradigm tidak bisa

dipertahankan lagi. Ketika sebuah paradigma tidak dapat dipertahankan lagi,

maka seorang ilmuan boleh berpindah ke paradigma baru. Ketika berada pada
59

periode pengumpulan data maka ilmu pengetahuan mengalami apa yang

dikatakan perkembangan ilmu biasa. Dalam perkembangan ilmu biasa, sebuah

ilmu pengetahuan mengalami perkembangan. Ketika paradigm mengalami

pergeseran, maka itulah yang disebut dengan revolusioner. Ilmu dalam tahap

biasa bisa dikatakan sebagai pengumpulan yang semakin banyak dari solusi

Puzzle. Sedangkan pada tahap revolusi ilmiah terhadap revisi dari kepercayaan

ilmiah atau praktek.

3. 5. EMPIRISME

3.5.1 Pengertian Empirisme

Beberapa pemahaman tentang pengertian empirisme cukup beragam,

namun intinya adalah pengalaman.

Di antara pemahaman tersebut antara lain:

Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa

semua pengetahuan berasal dari pengalaman manusia. Empirisme menolak

anggapan bahwa manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya

ketika dilahirkan. Empirisme lahir di Inggris dengan tiga eksponennya adalah

David Hume, George Berkeley dan John Locke.

Empirisme secara etimologis berasal dari kata bahasa

Inggris empiricism dan experience.Kata-kata ini berakar dari kata bahasa

Yunani έμπειρία (empeiria) yang berarti pengalaman Sementara menurut A.R.

Laceyberdasarkan akar katanya Empirisme adalah aliran dalam filsafat

yangberpandangan bahwa pengetahuan secara keseluruhan atau parsial

didasarkankepada pengalaman yang menggunakan indera.

Para penganut aliran empiris dalam berfilsafat bertolak belakang dengan

para penganut aliran rasionalisme. Mereka menentang pendapat-pendapat para

penganut rasionalisme yang didasarkan atas kepastian-kepastian yang bersifat


60

apriori. Menurut pendapat penganut empirisme, metode ilmu pengetahuan itu

bukanlah bersifat a priori tetapi posteriori, yaitu metode yang berdasarkan atas

hal-hal yang datang, terjadinya atau adanya kemudian.

Bagi penganut empirisme sumber pengetahuan yang memadai itu adalah

pengalaman. Yang dimaksud dengan pengalaman disini adalah pengalaman

lahir yang menyangkut dunia dan pengalaman bathin yang menyangkut pribadi

manusia. Sedangkan akal manusia hanya berfungsi dan bertugas untuk

mengatur dan mengolah bahan-bahan atau data yang diperoleh melalui

pengalaman.

3.5.2 Ajaran-ajaran pokok Empirisme

a. Pandangan bahwa semua ide atau gagasan merupakan abstraksi yang

dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami.

b. Pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan

akal atau rasio.

c. Semua yang kita ketahui pada akhirnya bergantung pada data inderawi.

d. Semua pengetahuan turun secara langsung, atau di simpulkan secara tidak

langsung dari data inderawi (kecuali beberapa kebenaran definisional logika dan

matematika).

e. Akal budi sendiri tidak dapat memberikan kita pengetahuan tentang realitas

tanpa acuan pada pengalaman inderawi dan penggunaan panca indera kita. Akal

budi mendapat tugas untuk mengolah bahan bahan yang di peroleh dari

pengalaman.

f. Empirisme sebagai filsafat pengalaman, mengakui bahwa pengalaman

sebagai satu-satunya sumber pengetahuan.

3.5.3 Jenis-jenis Emperisme

1. Empirio-Kritisisme
61

Disebut juga Machisme. Sebuah aliran filsafat yang bersifat subyaktif-

idealistik. Aliran ini didirikan oleh Avenarius dan Mach. Inti aliran ini adalah ingin

“membersihkan” pengertian pengalaman dari konsep substansi, keniscayaan,

kausalitas, dan sebagainya, sebagai pengertian apriori. Sebagai gantinya aliran

ini mengajukan konsep dunia sebagai kumpulan jumlah elemen-elemen netral

atau sensasi-sensasi (pencerapan-pencerapan). Aliran ini dapat dikatakan

sebagai kebangkitan kembali ide Barkeley dan Hume tatapi secara sembunyi-

sembunyi, karena dituntut oleh tuntunan sifat netral filsafat. Aliran ini juga anti

metafisik.

2. Empirisme Logis

Analisis logis Modern dapat diterapkan pada pemecahan-pemecahan problem

filosofis dan ilmiah. Empirisme Logis berpegang pada pandangan-pandangan

berikut:

a) Ada batas-batas bagi Empirisme. Prinsip system logika formal dan prinsip

kesimpulan induktif tidak dapat dibuktikan dengan mengacu pada pengalaman.

b) Semua proposisi yang benar dapat dijabarkan (direduksikan) pada

proposisi-proposisi mengenai data inderawi yang kurang lebih merupakan data

indera yang ada seketika

c) Pertanyaan-pertanyaan mengenai hakikat kenyataan yang terdalam pada

dasarnya tidak mengandung makna.

3. Empiris Radikal

Suatu aliran yang berpendirian bahwa semua pengetahuan dapat dilacak sampai

pada pengalaman inderawi. Apa yang tidak dapat dilacak secara demikian itu,

dianggap bukan pengetahuan. Soal kemungkinan melawan kepastian atau

masalah kekeliruan melawan kebenaran telah menimbulkan banyak

pertentangan dalam filsafat. Ada pihak yang belum dapat menerima pernyataan

bahwa penyelidikan empiris hanya dapa memberikan kepada kita suatu


62

pengetahuan yang belum pasti (Probable). Mereka mengatakan bahwa

pernyataan- pernyataan empiris, dapat diterima sebagai pasti jika tidak ada

kemungkinan untuk mengujinya lebih lanjut dan dengan begitu tak ada dasar

untuk keraguan. Dalam situasi semacam ini, kita tidak hanya berkata: Aku

merasa yakin (I feel certain), tetapi aku yakin. Kelompok falibisme akan

menjawab bahwa: tak ada pernyataan empiris yang pasti karena terdapat

sejumlah tak terbatas data inderawi untuk setiap benda, dan bukti-bukti tidak

dapat ditimba sampai habis sama sekali.

Metode filsafat ini butuh dukungan metode filsafat lainnya supaya ia lebih

berkembang secara ilmiah. Karena ada kelemahan-kelemahan yang hanya bisa

ditutupi oleh metode filsafat lainnya. Perkawinan antara Rasionalisme dengan

Empirisme ini dapat digambarkan dalam metode ilmiah dengan langkah-langkah

berupa perumusan masalah, penyusunan kerangka berpikir, penyusunan

hipotesis, pengujian hipotesis dan penarikan kesimpulan.

3.5.4. Tokoh-tokoh Empirisme

Aliran empirisme dibangun oleh Francis Bacon (1210-1292) dan Thomas Hobes

(1588-1679), namun mengalami sistematisasi pada dua tokoh berikutnya, John

Locke dan David Hume.

a. Jonh Locke (1673-1704)

Ia lahir tahun 1632 di Bristol Inggris dan wafat tahun 1704 di Oates

Inggris. Ia juga ahli politik, ilmu alam, dan kedokteran. Pemikiran John termuat

dalam tiga buku pentingnya yaitu essay concerning human understanding, terbit

tahun 1600; letters on tolerantion terbit tahun 1689-1692; dan two treatises on

government, terbit tahun 1690. Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap aliran
63

rasionalisme. Bila rasionalisme mengatakan bahwa kebenaran adalah rasio,

maka menurut empiris, dasarnya ialah pengalaman manusia yang diperoleh

melalui panca indera. Dengan ungkapan singkat Locke :

Segala sesuatu berasal dari pengalaman inderawi, bukan budi (otak).

Otak tak lebih dari sehelai kertas yang masih putih, baru melalui pengalamanlah

kertas itu terisi.

Dengan demikian dia menyamakan pengalaman batiniah (yang bersumber dari

akal budi) dengan pengalaman lahiriah (yang bersumber dari empiri).

b. David Hume (1711-1776).

David Hume lahir di Edinburg Scotland tahun 1711 dan wafat tahun 1776

di kota yang sama. Hume seorang nyang menguasai hukum, sastra dan juga

filsafat. Karya tepentingnya ialah an encuiry concercing humen understanding,

terbit tahun 1748 dan an encuiry into the principles of moral yang terbit tahun

1751.

Pemikiran empirisnya terakumulasi dalam ungkapannya yang singkat

yaitu I never catch my self at any time with out a perception (saya selalu

memiliki persepsi pada setiap pengalaman saya). Dari ungkapan ini Hume

menyampaikan bahwa seluruh pemikiran dan pengalaman tersusun dari

rangkaian-rangkaian kesan (impression). Pemikiran ini lebih maju selangkah

dalam merumuskan bagaimana sesuatu pengetahuan terangkai dari

pengalaman, yaitu melalui suatu institusi dalam diri manusia (impression, atau

kesan yang disistematiskan ) dan kemudian menjadi pengetahuan. Di samping

itu pemikiran Hume ini merupakan usaha analisias agar empirisme dapat di
64

rasionalkan teutama dalam pemunculan ilmu pengetahuan yang di dasarkan

pada pengamatan “(observasi ) dan uji coba (eksperimentasi), kemudian

menimbulkan kesan-kesan, kemudian pengertian-pengertian dan akhirnya

pengetahuan.

Empirisme menganjurkan agar kita kembali kepada kenyataan yang

sebenarnya (alam) untuk mendapatkan pengetahuan, karena kebenaran tidak

ada secara apriori di benak kita melainkan harus diperoleh dari pengalaman.

Melalui pandangannya, pengetahuan yang hanya dianggap valid adalah bentuk

yang dihasilkan oleh fungsi pancaindra selain daripadanya adalah bukan

kebenaran (baca omong kosong). Dan mereka berpendapat bahwa tidak dapat

dibuat sebuah klaim (pengetahuan) atas perkara dibalik penampakan (noumena)

baik melalui pengalaman faktual maupun prinsip-prinsip keniscayaan. Artinya

dimensi pengetahuan hanya sebatas persentuhan alam dengan pancaindra,

diluar perkara-perkara pengalaman yang dapat tercerap secara fisik adalah tidak

valid dan tidak dapat diketahui dan tidak dianggap keabsahan sumbernya.

Usaha manusia untuk mencari pengetahuan yang bersifat, mutlak dan

pasti telah berlangsung dengan penuh semangat dan terus-menerus. Walaupun

begitu, paling tidak sejak zaman Aristoteles, terdapat tradisi epistemologi yang

kuat untuk mendasarkan din kepada pengalaman manusia, dan meninggalkan

cita-cita untuk mencari pengetahuan yang mutlak tersebut. Doktrin empirisme

merupakan contoh dan tradisi ini. Kaum empiris berdalil bahwa adalah tidak

beralasan untuk mencari pengetahuan mutlak dan mencakup semua segi,

apalagi bila di dekat kita, terdapat kekuatan yang dapat dikuasai untuk

rneningkatkan pengetahuan manusia, yang meskipun bersifat lebih lambat

namun lebih dapat diandalkan. Kaum empiris cukup puas dengan

mengembangkan sebuah sistern pengetahuan yang rnempunyai peluang yang

besar untuk benar, meskipun kepastian mutlak takkan pernah dapat dijamin.
65

Kaum empiris memegang teguh pendapat bahwa pengetahuan manusia

dapat diperoleh lewat pengalaman. Jika kita sedang berusaha untuk meyakinkan

seorang empiris bahwa sesuatu itu ada, dia akan berkata “Tunjukkan hal itu

kepada saya”. Dalam persoalan mengenai fakta maka dia harus diyakinkan oleh

pengalamannya sendiri. Jika kita meng takan kepada dia bahwa ada seekor

harimau di kamar mandinya, pertama dia minta kita untuk menceriterakan

bagairnana kita sampai pada kesimpulan itu. Jika kemudian kita terangkan

bahwa kita melihat harimau itu dalam kamar mandi, baru kaum empiris akan mau

mendengar laporan mengenai pengalaman kita itu, namun dia hanya akan

menerima hal tersebutjika dia atau orang lain dapat memeriksa kebenaran yang

kita ajukan, denganjalan melihat harimau itu dengan mata kepalanya sendiri.

Dua aspek dan teori empiris terdapat dalam contoh di atas tadi. Pertama

adalah perbedaan antara yang mengetahui dan yang diketahui. Yang

mengetahui adalah subyek dan benda yang diketahui adalah obyek. Terdapat

alam nyata yang terdiri dan fakta atau obyek yang dapat ditangkap oleh

seseorang. Kedua, kebenaran atau pengujian kebenaran dan fakta atau obyek

didasarkan kepada pengalaman manusia. Agar berarti bagi kaum empiris, maka

pernyataan tentang ada atau tidak adanya sesuatu haruslah memenuhi

persyaratan pengujian publik.

3.5.5 KELEBIHAN DAN KELEMAHAN EMPIRISME

1. Kelebihan empirime adalah pengalaman indera merupakan sumber

pengetahuan yang benar, karena faham empiris mengedepankan fakta-fakta

yang terjadi di lapangan.

2. Sedangkan kelemahan empirisme cukup banyak Prof. Dr. Ahmad Tafsir

mengkritisi empirisme atas empat kelemahan, sebagai berikut.


66

a. Indra terbatas. Benda yang jauh kelihatan kecil. Apakah benda itu kecil

benda itu kecil? Tidak. Keterbatasan kemampuan indera ini dapat melaporkan

objek salah.

b. Indera menipu. Pada orang yang sakit malaria, gulara rasanya pahit, udara

panas dirasakan dingin. Ini akan menimbulkan pengetahuan empiris yang salah

juga.

c. Objek yang menipu. Contohnya ilusi, fatamorgana. Jadi, objek itu

sebenarnya tidak sebagaimana ia tangkap oleh alat indera; ia membihongi

indera. Ini jleas dapat menimbulkan inderawi yang salah.

d. Indera dan objek sekaligus. Dalam hal ini indera (di sini mata) tidak mampu

melihat seekor kerbau secara keseluruhan, dan kerbau itu juga tidak dapat

memperlihatkan badannya secara keseluruhan. Jika melihatnya dari depan, yang

kelihatan adalah kepala kerbau, dan kerbau pada saat itu memang tidak mampu

sekaligus memperlihatkan ekornya. Kesimpulannya ialah empirisme lemah

karena keterbatasan indera manusia.

3.5.6 Implementasi bagi Perkembangan Studi Keilmuan

Empirisme memiliki andil yang besar dalam ilmu, yaitu dalam pengembangan

berpikir induktif. Dalam ilmu pengetahuan, sumbangan utama adalah lahirnya

ilmu pengetahuan modern dan penerapan metode ilmiah untuk membangun

pengetahuan. Selain daripada itu, tradisi empirisme adalah fundamen yang

mengawali mata rantai evolusi ilmu pengetahuan sosial, terutama dalam konteks

perdebatan apakah ilmu pengetahuan sosial itu berbeda dengan ilmu alam.

Sejak saat itu empirisme menempati tempat yang terhormat dalam metodologi

ilmu pengertahuan sosial. Acapkali empirisme di paralelkan dengan tradisi

positivisme. Namun demikian keduanya mewakili pemikiran filsafat ilmu yang

berbeda. Sedangkan dalam Islam, Empirisme dalam Islam mempunyai peran


67

penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan seperti ilmu Fiqh yang bebasis

empiris, yaitu (ibadah mumalah), shalat, zakat, puasa, dan haji. Empirisme lahir

dan terjebak kepada afirmasi rasio praksis dan menegasikan rasio murni

sehingga muncul dogmatisme empiris sendiri, terlebih dengan membangun

kecurigaan/ ketidakpercayaan/ menegasikan (skeptisis) terhadap epistema yang

lainnya telah banyak dianut oleh pendidikan modern, inilah bukti kenaifannya.

Dampak epistemologis dari empirisme diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Terjadinya pemisahan antara bidang sankral dan bidang duniawi, misalnya

pemisahan antara agama dan negara, agama dan politik, atau pemisahan materi

dan ruh yang terwujud dalam seorang ahli fisika atau ekonomi tidak akan

berbicara agama dalam karya ilmiah mereka, sementara fisika dan ekonomi

direduksi menjadi angka-angka, materi dan ruh tampak tidak kompatebel di mata

mereka.

2. Kecendrungan kearah reduksionisme, materi dan benda direduksi kepada

element-elemennya. Ini tampak pada fisika Newton, sama halnya dengan homo

ekonomi-kus dalam ekonomi modern. (dua hal ini pengaruh sejarah rasionalisme

empirisme).

3. Pemisahan antara subyektivitas dan obyektifitas, misalnya dalam ilmu sosial

hal yang merupakan debuku obyektif adalalah keniscayaan yang mengarah

kepada relitas pasti, (pengaruh positivisme pengetahuan yang berujung pada

statusquo hinggga dominasi kebenaran).

4. Antroposentrisme, ini tampak dalam dalam konsep demokrasi dan

individualisme (ini merupakan pengaruh dari rasionalisme Rendescartes dengan

jargon individu bebas atau subyek manusia akan menjadi sentral peradaban

dunia).

5. Progresivisme, progresivisme diwakili oleh Marx, tetapi juga diyakini secara

luas seperti pada kemajuan ilmu pengetahuan dan obat-obatan.


68

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Munculnya filsafat pertama kali ternyata bukanlah dari Yunani.

Berdasarkan pelacakan sejarah para ilmuwan ternyata filsafat Yunanipun

dipengaruhi oleh kebudayaan agama-gama yang berasal dari dunia Timur,

terutama dari Mesir, Babilonia, Mesopotamia. Selain itu, di bagian dunia lainnya

juga berkembang filsafat, seperti di India dan Cina.

Filsafat ilmu dengan berbagai macam paradigmanya merupakan sejarah

jalan menuju perkembangan ilmu pengetahuan di masa kini. Pandangan

konstruktif dibutuhkan untuk mengembangkan ilmu dan pengetahuan dengan

metode apapun asalkan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Dalam

dunia Islam, paradigma konstruktivisme merupakan tradisi pemikiran Islam sejak

kemunculan Islam itu sendiri.

Idealisme menganggap, bahwa yang konkret hanyalah bayang-bayang,

yang terdapat dalam akal pikiran manusia. Kaum idealisme sering menyebutnya

dengan ide atau gagasan. Seorang realisme tidak menyetujui pandangan

tersebut. Kaum realisme berpendapat bahwa yang ada itu adalah yang nyata, riil,

empiris, bisa dipegang, bisa diamati dan lain-lain. Dengan kata lain sesuatu yang

nyata adalah sesuatu yang bisa diindrakan (bisa diterima oleh panca indra).

Pragmatisme berasal dari kata pragma (bahasa Yunani) yang berarti

tindakan, perbuatan. Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa

yang benar apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan

akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis.

Dalam paham empirisme, pengalaman sebagai sumber utama

pengetahuan, baik pengalaman lahiriyah yang menyangkut dunia maupun


69

pengalaman batiniyah yang menyangkut pribadi manusia. Pengalaman yang

dimaksud adalah pengalaman atauempiri melalui alat indera. Paham empirisme

ini dipertentangkan dengan paham rasionalisme yang mengatakan akal (rasio)

sebagai sumber pengetahuan.

Paradigma ini merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan-

kelemahan positivisme, yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan

langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologis aliran ini bersifat critical

realism yang memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan sesuai

dengan hukum alam, tetapi satu hal yang mustahil bila suatu realitas dapat dilihat

secara benar oleh manusia (peneliti).


70

DAFTAR PUSTAKA

Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010), 182


Juhaya S. Praja, Prof., Dr. 2003. Aliran-aliran Filsafat dan Etika Prenada Media:
Jakarta
Prof. Dr. Ahmad Tafsir, Fislasat Umum, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2003,
hal.144.
Waris, Filsafat Umum (Ponorogo: Stain Po Press, 2009),
http://nuramaliyahramadhanyamelfadiliam.blogspot.co.id/2017/01/aliran
empirisme-dalam-pendidikan.html ( diakses 11 April 2018)

Anda mungkin juga menyukai