Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit ini merupakan penyakit yang berkaitan dengan kemiskinan dan
hampir bisa dikatakan hanya menyerang mereka yang berasal dari kaum termiskin
serta masyarakat kesukuan yang terdapat di daerah-daerah terpencil yang sulit
dijangkau.
Pada awalnya, koreng yang penuh dengan organisme penyebab ditularkan
melalui kontak dari kulit ke kulit, atau melalui luka di kulit yang didapat melalui
benturan, gigitan, maupun pengelupasan. Pada mayoritas pasien, penyakit frambusia
terbatas hanya pada kulit saja, namun dapat juga mempengaruhi tulang bagian atas
dan sendi. Walaupun hampir seluruh lesi frambusia hilang dengan sendirinya, infeksi
bakteri sekunder dan bekas luka merupakan komplikasi yang umum. Setelah 5 -10
tahun, 10 % dari pasien yang tidak menerima pengobatan akan mengalami lesi yang
merusak yang mampu mempengaruhi tulang, tulang rawan, kulit, serta jaringan halus,
yang akan mengakibatkan disabilitas yang melumpuhkan serta stigma social.
Beban Penyakit Selama periode 1990 an, frambusia merupakan permasalahan
kesehatan masyarakat yang terdapat hanya di tiga negara di Asia Tenggara, yaitu
India, Indonesia dan Timor Leste. Berkat usaha yang gencar dalam pemberantasan
frambusia, tidak terdapat lagi laporan mengenai penyakit ini sejak tahun 2004.
Sebelumnya, penyakit ini dilaporkan terdapat di 49 distrik di 10 negara bagian dan
pada umumnya didapati pada suku ? suku didalam masyarakat. India kini telah
mendeklarasikan pemberantasan penyakit frambusia dengan sasaran tidak adanya lagi
laporan mengenai kasus baru dan membebaskan India bebas dari penyakit ini sebelum
tahun 2008. yaitu Zeroincidence + No sero positive cases among < 5 children.
Didunia, pada awal tahun 1950-an diperkirakan banyak kasus frambusia terjadi di
Afrika, Asia, Amerika Selatan dan Tengah serta Kepulauan Pasifik, sebanyak 25 –
150 juta penderita. Setelah WHO memprakarsai kampanye pemberantasan frambusia
dalam kurun waktu tahun 1954 – 1963, para peneliti menemukan terjadinya
penurunan yang drastik dari jumlah penderita penyakit ini. Namun kemudian kasus
frambusia kembali muncul akibat kurangnya fasilitas kesehatan public serta
pengobatan yang tidak adekuat. Dewasa ini, diperkirakan sebanyak 100 juta anak-
anak beresiko terkena frambusia.

1
Masih adakah frambusia di Indonesia? Jawabannya masih ada, tersebar di
daerah kantong-kantong kemiskinan. Pada tahun 1990, 21 provinsi dari 31 provinsi di
Indonesia melaporkan adanya penderita frambusia. Ini tidak berarti bahwa provinsi
yang tidak melaporkan adanya frambusia di wilayah mereka tidak ada frambusia, hal
ini sangat tergantung pada kualitas kegiatan surveilans frambusia di provinsi tersebut.
Pada tahun 1997 hanya enam provinsi yang melaporkan adanya frambusia dan
pada saat krisis di tahun 1998 dan 1999 tidak ada laporan sama sekali dari semua
provinsi. Tahun 2000 sampai dengan tahun 2004, 8-11 provinsi setiap tahun
melaporkan adanya frambusia. Pemerintah pada Pelita III (pertengahan pemerintahan
Orde Baru) menetapkan bahwa frambusia sudah harus dapat dieliminasi dengan
sistem TCPS (Treponematosis Control Project Simplified) dan “Crash Program
Pemberantasan Penyakit Frambusia (CP3F)”. Namun, oleh karena metode, organisasi,
manajemen pemberantasan yang kurang tepat dan pembiayaan yang kurang atau
daerah tersebut selama ini tidak tersentuh oleh pemerataan pembangunan. Paling tepat
kalau dikatakan bahwa masih adanya frambusia di suatu wilayah sebagai resultan dari
upaya pemberantasan yang kurang memadai dan tidak tersentuhnya daerah tersebut
dengan pembangunan sarana dan prasarana wilayah.
Di Indonesia, sebanyak 4.000 kasus tiap tahunnya dilaporkan dari 8 dari 30
provinsi. 95 % dari keseluruhan jumlah kasus yang dilaporkan tiap tahunnya
dilaporkan dari empat provinsi :Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Papua dan
Maluku. Pelaksanaan program pemberantasan penyakit ini sempat tersendat pada
tahun-tahun terakhir, terutama disebabkan oleh keterbatasan sumber daya. Upaya-
upaya harus diarahkan pada dukungan kebijakan dan perhatian yang lebih besar
sangat dibutuhkan demi pelaksanaan yang lebih efektif dan memperkuat program ini.
Di Timor Leste, Frambusia dianggap penyakit endemic di 6 dari 13 distrik.
Data yang dapat dipercaya tidak terdapat di negara ini. Pendekatan yang terpadu
sedang direncanakan, dengan mengkombinasikan pemberantasan penyakit kaki gajah
dan frambusia, serta pengontrolan cacing tanah. Sinergi program semacam ini
merupakan pendekatan utama yang harus didukung.
Frambusia dapat diberantas karena penyakit ini dapat dideteksi dengan mudah
oleh petugas kesehatan di klinik- klinik serta dapat disembuhkan dengan satu kali
penyuntikan penisilin aksi lama. Secara geografis, penyakit ini hanya terbatas pada
sebuah daerah yang terpencil dan terlokalisir di tempat tersebut. Memperkenalkan
pemberantasan frambusia dapat menjadi pintu masuk untuk pemberian penanganan

2
kesehatan primer ke dalam populasi yang termarjinalkan secara social dan terisolasi
secara geografis.
Secara histories, penggunaan strategi yang meliputi pendeteksian kasus secara
aktif dan penanganan tepat waktu dari kedua kasus ini serta kontak dengan keluarga
penderita terbukti dapat memberantas penyakit ini. Pada akhirnya, pemberantasan
frambusia dapat menurunkan angka kemiskinan dan memberdayakan masyarakat
tradisional sehingga Negara-negara mampu mencapai Millenium Development Goals
(MDGs) atau paling tidak mampu menyediakan akses ke kondisi kesehatan dan
sanitasi pada tingkat dasar. Berdasarkan argument-argument ini, WHO telah
mendeklarasikan bahwa pemberantasan frambusia merupakan prioritas untuk daerah
Asia Tenggara, dan hal ini dapat diwujudkan.
Untuk menjalankan misi pemberantasan penyakit ini, WHO telah
mempersiapkan kerangka kerja Regional Strategic Plan dan sebuah draft dokumen
pendukung untuk mobilitas sumber daya. Regional Strategic Plan 2006 -2010 telah
diselesaikan dalam sebuah pertemuan yang diadakan di Bali, Indonesia pada bulan
Juli 2006 dan kerangka kerja National Strategic Plan untuk Indonesia dan Timor
Leste telah dibuat.Dengan pendeklarasian pemberantasan frambusia di India,
Indonesia dan Timor Leste diharapkan meningkatkan upaya-upaya untuk
memberantas penyakit frambusia. Kedua negara ini akan membutuhkan dukungan
sumber daya dan teknis untuk memberantas penyakit frambusia sebelum tahun 2010.
Strategi-strategi untuk mencapai pemberantasan penyakit ini meliputi
pendeteksian kasus secara aktif di daerah- daerah yang terjangkiti penyakit ini ;
pengobatan yang tepat, serta pemberian penisilin dosis tunggal ; pelatihan tenaga
medis di daerah - daerah yang terjangkiti mengenai diagnosa, penanganan,
pencegahan, dan pengontrolan penyakit ini ; advokasi dan kampanye IEC guna
menciptakan kesadaran masyarakat dan dukungan administrative, program
pemantauan regular, dan peningkatan kerja sama.
Guna mencapai tujuan pemberantasan ini, kedua negara ini membutuhkan
komitmen politik dan dukungan kebijaksanaan, pengerahan sumber daya yang
memadai, dan peningkatan dukungan teknis untuk memperkuat program ini, serta
pelaksanaan strategi dan yang berkesinambungan dan dinamis.

3
B. TUJUAN
1. Tujuan umum untuk mengetahui penyakit FLAMBUSIA.
2. Tujuan khusus setelah membahas makalah ini diharapkan dapat memahami
tentang:

a. Penyakit Flambusia dan akibatnya


b. Epidemiologipenyakit flambusia
c. Penyebab penyakit Flambusia
d. Tanda Gejala penyakit Flambusia
e. Patofisiologis Penyakit Flambusia
f. Pemeriksaan Diagnosis Penyakit Flambusia
g. Pengobatan Penyakit Flambusia
h. Diagnosa keperawatan Penyakit Flambusia

C. MANFAAT PENULISAN
1. Manfaat Teoritis
Menjadi bahan untuk memperluas wawasan dan memperdalam kajian
tentang penyakit flambusia.
2. Bagi Mahasiswa
Menambah pengetahuan, pemahaman dan kemampuan yang mungkin
dapat digunakan untuk membantu dalam belajar serta mampu bersikap dalam
masyarakat tentang penyakit flambusia sebagai tenaga kesehatan.

3. Bagi Fakultas
Menjalin kerjasama yang baik antar lembaga pendidikan dengan pelayanan
kesehatan dan juga mendapatkan umpan balik tentang perkembangan di bidang
keilmuan khususnya dalam mencegah penyakit flambusia dan mengatasi
permasalahan yang ditimbulkan serta digunakan untuk pengembangan keilmuan
Sosiologi, khususnya Sosiologi kependudukan dan kesehatan.

4. Bagi Masyarakat
Menambah pengetahuan bagi masyarakat yang sebelumnya tidak
mendapatkan informasi tentang penyakit flambusia.

4
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. FRAMBUSIA
Frambusia adalah penyakit menular, kumat-kumatan, bukan termaksud
penyakit menular venerik, yang disebabkan oleh Treponema palidum subs. pertinue
dengan gejala utama pada kulit dan tulang.
Penyakit framboesia atau patek adalah suatu penyakit kronis, relaps
(berulang). Dalam bahasa Inggris disebut Yaws, ada juga yang disebut Frambesia
tropica dan dalam bahasa Jawa disebut Pathek. Di zaman dulu penyakit ini amat
populer karena penderitanya sangat mudah ditemukan di kalangan penduduk. Di Jawa
saking populernya telah masuk dalam khasanah bahasa Jawa dengan istilah “ora
Patheken”. Framboesia termasuk penyakit menular yang menjadi masalah kesehatan
masyarakat karena penyakit ini terkait dengan, sanitasi lingkungan yang buruk,
kurangnya kesadaran masyarakat akan kebersihan diri, kurangnya fasilitas air bersih,
lingkungan yang padat penduduk dan kurangnya fasilitas kesehatan umum yang
memadai, apalagi di beberapa daerah, pengetahuan masyarakat tentang penyakit ini
masih kurang karena ada anggapan salah bahwa penyakit ini merupakan hal biasa dan
alami karena sifatnya yang tidak menimbulkan rasa sakit pada penderita..

B. Epidemiologi
Endemis epidemiologi penyakit ini terdapat di daerah beriklim panas di Asia
Tenggara dan Selatan, termaksud Indonesia dan suku-suku terasing diAustralia bagian
utara, Afrika serta Amerika Latin.
Pada tahun 1957, Frambusia di Indonesia tercatat sebanyak 1.369.082
penderita dan pada tahun 1976 pernah dinyatakan bebas dari Frambusia, tetapi
kenyataan di tempat-tempat yang terpencil dan jauh dari kota-kota besar masih sering
ditemukan.
Frambusia terutama menyerang anak-anak yang tinggal di daerah tropis di
pedesaan yang panas, lembab, ditemukan pada anak-anak umur antara 2–15 tahun
lebih sering pada laki-laki. Prevalensi frambusia secara global menurun drastis setelah
dilakukan kampanye pengobatan dengan penisilin secara masal pada tahun 1950-an
dan 1960-an sehingga menekan peningkatan kasus frambusia, namun kasus frambusia
mulai ditemukan lagi di sebagian besar daerah khatulistiwa Afrika Barat dengan

5
penyebaran infeksi tetap berfokus di daerah Amerika Latin, Kepulauan Karibia, India
dan Thailand Asia Tenggara dan Kepulauan Pasifik Selatan, Papua New Guinea,
kasus frambusia selalu berubah sesuai dengan perubahan iklim. Di daerah endemik
frambusia prevalensi infeksi meningkat selama musim hujan. Menurut WHO (2006)
bahwa kasus frambusia di Indonesia pada tahun 1949 meliputi NAD, Jambi,
Bengkulu, Sumatera Selatan, Jawa (Jawa Timur) dan sebagian besar Wilayah Timur
Indonesia yang meliputi Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua.
Penurunan prevalensi Frambusia secara bermakna terjadi pada tahun 1985
sampai pada tahun 1995 dengan prevalensi rate frambusia turun secara dramatis dari
22,1 (2210 per 10.000 penduduk) menjadi kurang dari 1 per 10.000 penduduk di
daerah kabupaten dan propinsi, strategi pencapaian target secara nasional Departemen
Kesehatan yaitu jumlah frambusia kurang dari 0,1 kasus per 100.000 penduduk di
Wilayah Jawa dan Sumatera, lebih dari 1 kasus per 100.000 penduduk di Wilayah
Indonesia Timur (Papua, Maluku, NTT dan Sulawesi).
Untuk menjangkau daerah-daerah kantong frambusia yang jumlahnya tersebar
di beberapa Propinsi dan beberapa Kabupaten di Indonesia maka dilakukan survey
daerah kantong frambusia yang dimulai tahun 2000. Propinsi yang masih mempunyai
banyak kantong frambusia diprioritaskan untuk dilakukan sero survei, yaitu NAD,
Jambi, Jawa Timur, Banten, Sulawesi Tenggara dan NTT. Hal ini di pengaruhi oleh 3
faktor yang penting, yaitu faktor host (manusia), agent (vector)dan environtment
(lingkungan) termasuk di dalam faktor host yaitu pengetahuan, sikap dan perilaku
perorangan. (Depkes, 2004).

C. Penyebab
Frambusia merupakan penyakit infeksi kulit yang disebabkan oleh Treponema
pallidum sub spesies pertenue (merupakan saudara dari Treponema penyebab
penyakit sifilis), penyebarannya tidak melalui hubungan seksual, yang dapat mudah
tersebar melalui kontak langsung antara kulit penderita dengan kulit sehat.
Penyakit ini tumbuh subur terutama didaerah beriklim tropis dengan
karakteristik cuaca panas, banyak hujan, yang dikombinasikan dengan banyaknya
jumlah penduduk miskin, sanitasi lingkungan yang buruk, kurangnya fasilitas air
bersih, lingkungan yang padat penduduk dan kurangnya fasilitas kesehatan umum
yang memadai.

6
Penularan penyakit frambusia dapat terjadi secara langsung maupun tidak
langsung (Depkes,2005), yaitu :
1. Penularan secara langsung (direct contact) .
Penularan penyakit frambusia banyak terjadi secara langsung dari
penderita ke orang lain. Hal ini dapat terjadi jika jejas dengan gejala menular
(mengandung Treponema pertenue) yang terdapat pada kulit seorang penderita
bersentuhan dengan kulit orang lain yang ada lukanya. Penularan mungkin juga
terjadi dalam persentuhan antara jejas dengan gejala menular dengan selaput
lendir.
2. Penularan secara tidak langsung (indirect contact) .
Penularan secara tidak langsung mungkin dapat terjadi dengan perantaraan
benda atau serangga, tetapi hal ini sangat jarang. Dalam persentuhan antara jejas
dengan gejala menular dengan kulit (selaput lendir) yang luka, Treponema
pertenue yang terdapat pada jejas itu masuk ke dalam kulit melalui luka tersebut.
Terjadinya infeksi yang diakibatkan oleh masuknya Treponema partenue dapat
mengalami 2 kemungkinan:
a. Infeksi effective. Infeksi ini terjadi jika Treponema pertenue yang masuk ke
dalam kulit berkembang biak, menyebar di dalam tubuh dan menimbulkan
gejala-gejala penyakit. Infeksi effective dapat terjadi jika Treponema pertenue
yang masuk ke dalam kulit cukup virulen dan cukup banyaknya dan orang
yang mendapat infeksi tidak kebal terhadap penyakit frambusia.
b. Infeksi ineffective. Infeksi ini terjadi jika Treponema pertenue yang masuk ke
dalam kulit tidak dapat berkembang biak dan kemudian mati tanpa dapat
menimbulkan gejala-gejala penyakit. Infeksi effective dapat terjadi jika
Treponema pertenue yang masuk ke dalam kulit tidak cukup virulen dan tidak
cukup banyaknya dan orang yang mendapat infeksi mempunyai kekebalan
terhadap penyakit frambusia (Depkes, 2005).
Framboesia berdasarkan karakteristik Agen :
a. Infektivitas dibuktikan dengan kemampuan sang Agen untuk berkembang
biak di dalam jaringan penjamu.
b. Patogenesitas dibuktikan dengan perubahan fisik tubuh yaitu terbentuknya
benjolan-benjolan kecil di kulit yang tidak sakit dengan permukaan basah
tanpa nanah.

7
c. Virulensi penyakit ini bisa bersifat kronik apabila tidak diobati, dan akan
menyerang dan merusak kulit, otot serta persendian sehingga menjadi cacat
seumur hidup. Pada 10% kasus frambusia, tanda-tanda stadium lanjut
ditandai dengan lesi yang merusak susunan kulit yang juga mengenai otot
dan persendian.
d. Toksisitas yaitu dibuktikan dengan kemampuan Agen untuk merusak
jaringan kulit dalam tubuh penjamu.
e. Invasitas dibuktikan dengan dapat menularnya penyakit antara penjamu yang
satu dengan yang lainnya.
f. Antigenisitas yaitu sebelum menimbulkan gejala awal Agen mampu merusak
antibody yang ada di dalam sang penjamu.
Jenis klasifikasi penyakit framboesia yaitu penyakit menular melalui :
a. Dapat menular melalui air yaitu terbukti dengan banyaknya para penderita
penyakit Framboesia di daerah yang sanitasi air dan lingkungannya tidak
terjaga atau kotor yang dapat memungkinkan Agen untuk berkembang biak
dan menulari Penjamu.
b. Dapat menular melalui kulit yaitu dengan melakukan kontak langsung
penderita yang dimana si Agen berkembang biak di si penderita.

D. Tanda dan gejala


Gejala klinis terdiri atas 3 Stadium yaitu :
1. Stadium I : Stadium ini dikenal juga stadium menular. Masa inkubasi rata-rata 3
minggu atau dalam kisaran 3-90 hari. Lesi initial berupa papiloma pada port d’
entre yang berbentuk seperti buah arbei, permukaan basah, lembab , tidak
bernanah, sembuh spontan tanpa meninggalkan bekas, kadang-kadang disertai
peningkatan suhu tubuh, sakit kepala, nyeri tulang dan persendian kemudian,
papula-papula menyebar yang sembuh setelah 1-3 bulan. Lesi intinial berlangsung
beberapa minggu dan beberapa bulan kemudian sembuh. Lesi ini sering
ditemukan disekitar rongga mulut, di dubur dan vagina, dan mirip
kandilomatalata pada sipilis. Gejala ini pun sembuh tanpa meninggalkan parut,
walaupun terkadang dengan pigmentasi. selain itu terdapat semacam papiloma
pada tapak tangan atau kaki, dan biasanya lembab. Gejala pada kulit dapat berupa
macula, macula papulosa, papula, mikropapula, nodula, tanpa menunjukan

8
kerusakan struktur pada lapisan epidermis serta tidak bereksudasi. Bentuk lesi
primer ini adalah bentuk yang menular.

2. Stadium II atau masa peralihan : pada stadium ini, di tempat lesi ditemukan
treponema palidum pertinue. Treponema positif ini terjadi setelah beberapa
minggu sampai beberapa bulan setelah stadium I. Pada stadium ini frambusia
tidak menular dengan bermacam-macam bentuk gambaran klinis, berupa
hyperkeratosis. Kelainan pada tulang dan sendi sering mengenai jari-jari dan
tulang ekstermitas, yang dapat mengakibatkan terjadi atrofi kuku dan deformasi
ganggosa, yaitu suatu kelainan berbentuk nekrosis serta dapat menyebabkan
kerusakan pada tulang hidung dan septum nasi dengan gambaran-gambaran
hilangnya bentuk hidung, gondou ( suatu bentuk ostitis hipertofi ), meskipun
jarang dijumpai. Kelainan sendi, hidrartosis, serta junksta artikular nodular (
nodula subkutan, mudah bergerak, kenyal, multiple), biasanya ditemukan di
pergelangan kaki dekat kaput fibulae, daerah akral atau plantar dan palmar.

3. Stadium III : Pada stadium ini , terjadi guma atau ulkus-ulkus indolen dengan tepi
yang curam atau bergaung, bila sembuh, lesi ini meninggalkan jaringan parut,
dapat membentuk keloid dan kontraktur. Bila terjadi infeksi pada tulang dapat
mengakibatkan kecacatan dan kerusakan pada tulang. Kerusakan sering terjadi
pada palatum, tulang hidung, tibia.
a. Tahap Prepatogenesis
Pada tahap ini penederita belum menunjukan gejala penyakit. Namun,
tidak menutup kemungkinan si penyakit telah ada dalam tubuh si penderita.
b. Tahap Inkubasi
Tahap inkubasi Framboesia adalah dari 2 sampai 3 minggu
c. Tahap Dini
Terbentuknya benjolan-benjolan kecil di kulit yang tidak sakit dengan
permukaan basah tanpa nanah.
d. Tahap Lanjut
Pada gejala lanjut dapat mengenai telapak tangan, telapak kaki, sendi
dan tulang, sehingga mengalami kecacatan. Kelainan pada kulit ini biasanya
kering, kecuali jika disertai infeksi (borok).

9
e. Tahap Pasca Patogenesis
Pada tahap ini perjalanan akhir penyakit hanya mempunyai tiga
kemungkinan yaitu :
1) Sembuh dengan cacat penyakit ini berakhir dengan kerusakan kulit dan
tulang di daerah yang terkena dan dapat menimbulkan kecacatan 10-20 %
dari penderita
2) Karier tubuh penderita pulih kembali, namun bibit penyakit masih tetap
ada dalam tubuh.
3) Penyakit tetap berlangsung secara kronik yang jika tidak diobati akan
menimbulkan cacat kepada si penderita.

E. Patofisiologi
Frambusia di sebabkan oleh Treponemaa Pallidum, yang disebabkan karena
kontak langsung dengan penderita ataupun kontak tidak langsung. Treponema
palidum ini biasanya menyerang kulit dan tulang.
Pada awal terjadinya infeksi, agen akan berkembang biak didalam jaringan
penjamu, setelah itu akan muncul lesi intinal berupa papiloma yang berbentuk seperti
buah arbei, yang memiliki permukaan yang basah, lembab, tidak bernanah dan tidak
sakit, kadang disertai dengan peningkatan suhu tubuh, sakit kepala, nyeri tulang dan
persendian. Apabila tidak segera diobati agen akan menyerang dan merusak kulit,
otot, serta persendian. Terjadinya kelainan tulang dan sendi sering mengenai jari-jari
dan tulang ektermitas yang menyebabkan atrofi kuku dan deformasi ganggosa yaitu
suatu kelainan berbentuk nekrosis serta dapat menyebabkan kerusakan pada tulang
hidung dan septum nasi dengan gambaran-gambaran hilangnya hilangya bentuk
hidung. Kelainan pada kulit adanya ulkus-ulkus yang meninggalkan jaringan parut
dapat membentuk keloid dan kontraktur.
Klasifikasi Frambusia terdiri dari 4 (empat) tahap meliputi:
1. Pertama (primary stage) berbentuk bekas untuk berkembangnya bakteri
frambusia;
2. Secondary stage terjadi lesi infeksi bakteri treponema pada kulit;
3. latent stage bakteri relaps atau gejala hampir tidak ada;
4. Tertiary stage luka dijaringan kulit sampai tulang kelihatan, (Smith, 2006 ;
Greenwood, et al, 1994 ; Bahmer, et al 1990 ; Jawetz, et al., 2005).

10
F. Pemeriksaan Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan treponema,
VDRL, TPHA, dan pada keadaan tertentu, diperlukan pemeriksaan patologi.
Mikroskop pandangan gelap, pada fase dini, diperlukan untuk pemeriksaan
treponema. Dapat pula diaplikasikan pengecatan giemsa, Ziel-Nelson atauu tinta
Hindia untuk pemeriksaan Burry.
Menurut Noordhoek, et al, (1990) diagnosa dapat ditegakkan dengan
pemeriksaan mikroskop lapangan gelap atau pemeriksaan mikroskopik langsung FA
(Flourescent Antibody) dari eksudat yang berasal dari lesi primer atau sekunder. Test
serologis nontrepanomal untuk sifilis misalnya VDRL (venereal disease research
laboratory), RPR (rapid plasma reagin) reaktif pada stadium awal penyakit menjadi
non reaktif setelah beberapa tahun kemudian, walaupun tanpa terapi yang spesifik,
dalam beberapa kasus penyakit ini memberikan hasil yang terus reaktif pada titer
rendah seumur hidup. Test serologis trepanomal, misalnya FTA-ABS (fluorescent
trepanomal antibody – absorbed), MHA-TP (microhemag-glutination assay for
antibody to t. pallidum) biasanya tetap reaktif seumur hidup.

G. Pengobatan
Benzatin penisilin diberikan dalam dosis 2, 4 juta unit untuk orang dewasa dan
untuk 1,2 juta uunit anak-anak. Hingga saat ini , penisilin merupakan obat pilihian,
tetapi bagi mereka yang peka dapat diberikan tetrasiklin atau eritromisin 2 gr / hari
selama 5-10 hari.
Menurut Departemen Kesehatan RI, (2004) dan (2007) bahwa pilihan
pengobatan utama adalah benzatin penicilin dengan dosis yang sama, alternatif
pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian tetrasiklin, doxicicline dan eritromisin.
Anjuran pengobatan secara epidemiologi untuk frambusia adalah sebagai
berikut :
1. Bila sero positif >50% atau prevalensi penderita di suatu desa/ dusun >5% maka
seluruh penduduk diberikan pengobatan.
2. Bila sero positif 10%-50% atau prevalensi penderita di suatu desa 2%-5% maka
penderita, kontak, dan seluruh usia 15 tahun atau kurang diberikan pengobatan
3. Bila sero positif kurang 10% atau prevalensi penderita di suatu desa/ dusun < 2%
maka penderita, kontak serumah dan kontak erat diberikan pengobatan

11
Untuk anak sekolah setiap penemuan kasus dilakukan pengobatan seluruh
murid dalam kelas yang sama. Dosis dan cara pengobatan sbb:
Pilihan utama
Umur Nama obat Dosis Pemberian Lama pemberian
< 10 thn Benz.penisilin 600.000 IU IM Dosis Tunggal
≥ 10 tahun Benz.penisilin 1.200.000 IU IM Dosis Tunggal
Alternatif
< 8 tahun Eritromisin 30mg/kgBB bagi 4 dosis Oral 15 hari
8-15 tahun Tetra atau erit. 250mg,4×1 hri Oral 15 hari
>8 tahun Doxiciclin 2-5mg/kgBB bagi 4 dosis Oral 15 hari
Dewasa 100mg 2×1 hari Oral 15 hari
Keterangan : Tetrasiklin atau eritromisin diberikan kepada penderita frambusia
yang alergi terhadap penicillin. Tetrasiklin tidak diberikan kepada ibu hamil, ibu
menyusui atau anak dibawah umur 8 tahun

H. Diagnosa Keperawatan
1. Kerusakan integritas kulit b/d adanya lesi
2. Resiko terjadi infeksi b/d kerusakan pada kulit, pertahanan tubuh menurun.
3. Gangguan mobilisasi b/d kecacatan
4. Gangguan citra tubuh b/d perubahan postur tubuh
5. Ansietas b/d perubahan kesehatan.
6. Kurang pengetahuan b/d kurang informasi terhadap perawatan kulit
Asuhan keperawatan Klien dengan Frambusia
1. Diagnosa Keperawatan : yaitu Kerusakan integritas kulit b/d adanya
lesi
Tujuan Perencanaan keperawatan :
Untuk memelihara integritas kulit/mencapai penyembuhan tepat waktu

Intervensi
a. Kaji kulit setiap hari. Catat warna, turgor, sirkulasi, dan sensasi. Amati
perubahan lesi
b. Pertahankan hygiene kulit. Misalnya dengan membasuh dan mengeringkannya
dengan hati-hati dan melakukan masase dengan menggunakan lotion atau krim
c. Gunting kuku secara teratur

12
d. Kolaborasi pemberian obat topical atau sistemik
e. Kolaborasi pemberian salep antibiotik untuk melindungi lesi
Rasional
a. Menentukan garis dasar dimana terjadi perubahan pada status
b. Masase meningkatkan sirkulasi kulit dan menambah kenyamanan
c. Kuku yang panjang/kasar menimbulkan resiko kerusakan kulit
d. Digunakan pada perawatan lesi kulit
e. Melindungi area dari kontaminasi bakteri dan meningkatkan penyembuhan

2. Diagnosa Keperawatan yaitu gangguan mobilisasib/d kecacatan


Tujuan Perencanaan keperawatan : Mobilisasi fisik terpenuhi,
Intervensi
a. Kaji ketidakmampuan bergerak klien yang diakibatkan oleh prosedur
pengobatan dan catat persepsi klien terhadap immobilisasi.
b. Tingkatkan ambulasi klien seperti mengajarkan menggunakan tongkat dan
kursi roda.
c. Ganti posisi klien setiap 3 – 4 jam secara periodic
d. Bantu klien mengganti posisi dari tidur ke duduk dan turun dari tempat tidur.
Rasional
a. Dengan mengetahui derajat ketidakmampuan bergerak klien dan persepsi
klien terhadap immobilisasi akan dapat menemukan aktivitas mana saja yang
perlu dilakukan.
b. Dengan ambulasi demikian klien dapat mengenal dan menggunakan alat-alat
yang perlu digunakan oleh klien dan juga untuk memenuhi aktivitas klien
c. Pergantian posisi setiap 3 – 4 jam dapat mencegah terjadinya kontraktur.
d. Membantu klien untuk meningkatkan kemampuan dalam duduk dan turun
dari tempat tidur.

3. Diagnosa Keperawatan yaitu : gangguan citra tubuh b/d perubahan postur tubuh
Tujuan Perencanaan keperawatan : Pasien dapat mengembangkan peningkatan
penerimaan diri
Intervensi

13
a. Kaji adanya gangguan pada citra diri pasien (menghindari kontak mata,
ucapan yang merendahkan diri sendiri, ekspresi perasaan muak pada kondisi
kulit
b. Berikan kesempatan untuk pasien mengungkapkan. Dengarkan dengan cara
yang terbuka dan tidak menghakimi untuk mengekspresikan berduka atau
ansietas tentang perubahan citra tubuh
c. Bersikap realistis selama pengobatan, pada penyuluhan kesehatan
d. Jangan memberikan keyakinan yang salah
e. Dorong interaksi keluarga dan dengan rehabilitasi
Rasional
a. Gangguan citra diri akan menyertai setiap penyakit atau keadaan byata bagi
pasien. Kesan seseorang terhadap dirinya sendiri akan berpengaruh pada
dirinya sendiri
b. Pasien membutuhkan pengalaman didengarkan dan dipahami. Mendukung
upaya pasien untuk memperbaiki citra diri
c. Meningkatkan kepercayaan dan mengadakan hubungan antara pasien dengan
perawat
d. Meningkatkan perilaku positif dan memberikan kesempatan untuk menyusun
tujuan dan rencana untuk masa depan berdasarkan realita
e. Mempertahankan pola komunikasi dan memberikan dukungan terus-menerus
pada pasien dan keluarga

4. Diagnosa Keperawatan : Resiko terjadi infeksi b/d kerusakan pada kulit,


pertahanan tubuh menurun
Tujuan Perencanaan keperawatan yaitu :Mencapai penyembuhan tepat waktu,
tanpa komplikasi
Intervensi
a. Ukur tanda-tanda vital termasuk suhu
b. Tekankan pentingnya tekhnik mencuci tangan yang baik untuk semua individu
yang kontak dengan pasien
c. Gunakan sapu tangan, masker dan tekhnik aseptic selama perawatan dan
berikan pakaian yang steril atau baru
d. Observasi lesi secara periodic
Rasional
14
a Berikan lingkungan yang bersih dan berventilasi baik. Periksa pengunjung
atau staf terhadap tanda infeksi dan pertahankan kewaspadaan sesuai indikasi
b Kolaborasi pemberian preparat antibiotic dengan dokter
c Memberikan informasi data dasar. Peningkatan suhu secara berulang-ulang
dari demam yang terjadi untuk menunjukkan pada tubuh bereaksi pada proses
infeksi yang baru.
d Mencegah kontaminasi silang, menurunkan resikoinfeksi
e Mencegah terpajan pada organism infeksius
f Untuk mengetahui perubahan respon terhadap terapi
g Mengurangi pathogen pada system integument dan mengurangi kemungkinan
pasien mengalami infeksi nosokomial.
h Membunuh atau mencegah pertumbuhan mikroorganisme penyebab infeksi

5. Diagnosa Keperawatan : Ansietas b/d perubahan kesehatan


Tujuan Perencanaan keperawatan yaitu : Pasien dapat menunjukkan penurunan
ansietas sehingga dapat menerima perubahan status kesehatannnya dengan cara
sehat
Intervensi
a. Berikan penjelasan yang sering dan informasi tentang prosedur perawatan
b. Libatkan pasien atau orang yang terdekat dalam proses pengambilan
keputusan
c. Kaji status mental terhadap penyakit
d. Berikan orientasi konstan dan konsisten
e. Dorong pasien untuk bicara tentang penyakitnya
f. Jelaskan pada pasien apa yang terjadi. Berikan kesempatan untuk bertanya dan
berikan jawaban terbuka atau jujur
g. Identifikasi metode koping atau penangan siuasi stress sebelumnya
h. Dorong keluarga dan orang yang terdekat untuk mengunjungi dan
mendiskusikan yang terjadi pada keluarga. Mengingatkan pasien kejadian
masa lalu dan akan datang
Rasional
a Kolaborasi sedative ringan sesuai indikasi
b Pengetahuan diharapkan menurunkan ketakutan dan ansietas, dan memperjelas
kesalahan konsep dan meningkatkan kerja sama

15
c Meningkatkan rasa control dan kerja sama, menurunkan perasaan tak berdaya
atau putus asa
d Pada awalnya pasien dapat menggunakan penyangkalan untuk meurunkan dan
menyaring informasi secara keseluruhan.
e Membantu pasien tetap berhubungan dengan lingkungan dan realitas.
f Pasien perlu membicarakan apa yang terjadi terus-menerus untuk membantu
beberapa rasa terhadap situasi apa yang menakutkan
g Pernyataan kompensasi menujukkan realitas situasi yang dapat membantu
pasien atau orang yang terdekat menerima realita dan mulai menerima apa
yang terjadi
h Perilaku masa lalu yang berhasil dapat digunakan untuk membantu situasi saat
ini
i Mempertahankan kontak dengan realitas keluarga, membuat rasa kedekatan
dan kesinambunga hidup.
j Obat ansietas diperlukan untuk periode singkat sampai pasien lebih stabil
secara psikis

6. Diagnosa Keperawatan : Kurang pengetahuan b/d kurang informasi terhadap


perawatan kulit
Tujuan Perencanaan keperawatan yaitu : Pasien mendapatkan informasi yang
adekuat tentang perawatan kulit
Intervensi
a. Tentukan apakah pasien mengetahui tentang kondisi dirinya
b. Pantau agar pasien mendapatkan informasi yang benar, memperbaiki
kesalahan persepsi informasi
c. Berikan informasi yang spesifik dalam bentuk tulisan.
d. Jelaskan penatalaksanaan minum obat: dosis, frekuensi, tindakan, dan
perlunya terapi dalam jangka waktu lama
e. Dorong pasien agar mendapat status nutrisi yang sehat

Rasional
a Tekankan perlunya atau pentingnya mengevaluasi perawatan atau rehabilitasi
b Memberikan data dasar untuk mengembangkan rencana penyuluhan
c Pasien harus memiliki perasaan bahwa ada sesuatu yang dapat di perbuat

16
d Informasi tertulis dapat membantu mengingatkan pasien
e Meningkatkan partisipasi pasien, memahami aturan terapi dan mencegah putus
obat
f Penampakkan kulit mencerminkan kesehatan umum seseorang. Perubahan
kulit dapat menandakan status nutrisi yang abnormal. Nutrisi yang optimal
meningkatkan regenerasi jaringan dan penyembuhan umum kesehatan
g Dukungan jangka panjang dengan evaluasi ulang continue dan perubahan
terapi dibutuhkan untuk penyembuhan optimal.

I. UPAYA PENCEGAHAN
1. Upaya Pencegahan (tahap Prepatogenesis)
Walaupun penyebab infeksi sulit dibedakan dengan teknik yang ada pada
saat ini. Begitu pula perbedaan gejala-gejala klinis dari penyakit tersebut sulit
ditemukan. Dengan demikian membedakan penyakit treponematosisi satu sama
lainnya hanya didasarkan pada gambaran epidemiologis dan faktor linkungan saja.
Hal-hal yang diuraikan pada butir-butir berikut ini dapat dipergunakan untuk
manangani penyakit frambusia dan penyakit golongan treponematosis non
venereal lainnya.
a. Pencegahan tingkat pertama (Primary Prevention)
1) Sasaran pencegahan tingkat pertama dapat ditujukan pada factor penyebab,
lingkungan serta factor penjamu.
2) Sasaran yang ditujukan pada faktor penyebab yang bertujuan untuk
mengurangi penyebab atau menurunkan pengaruh penyebab serendah
mungkin dengan usaha antara lain : desinfeksi, pasteurisasi, sterilisasi,
yang bertujuan untuk menghilangkan mikro-organisme penyebab penyakit,
penyemprotan/insektisida dalam rangka menurunkan dan menghilangkan
sumebr penularan maupun memutuskan rantai penularan, disamping
karantina dan isolasi yang juga dalam rangka memutuskan rantai
penularan. Selain itu usaha untuk mengurangi atau menghilangkan sumber
penularan dapat dilakukan melalui pengobatan penderita serta pemusnahan
sumber yang ada, serta mengurangi atau menghindari perilaku yang dapat
meningkatkan resiko perorangan dan masyarakat.
3) Mengatasi atau modifikasi lingkungan melalui perbaikan lingkungan fisik
seperti peningkatan air bersih, sanitasi lingkungan dan perumahan serta

17
bentuk pemukiman lainnya, perbaikan dan peningkatan lingkungan
biologis seperti pemberantasan serangga dan binatang pengerat, serta
peningkatan lingkungan sosial seperti kepadatan rumah tangga, hubungan
antar individu dan kehidupan sosial masayarakat.
4) Meningkatkan daya tahan pejamu yang meliputi perbaikan status gizi,
status kesehatan umum dan kualitas hidup penduduk, pemberian imunisasi
serta berbagai bentuk pencegahan khusus lainnya, peningkatan status
psikologis, persiapan perkawinan serta usaha menghindari pengaruh factor
keturunan, dan peningkatan ketahanan fisik melalui peningkatan kualitas
gizi, serta olahraga kesehatan.
b. Pencegahan tingkat kedua (Secondary Prevention)
1) Sasaran pencegahan ini terutama ditujukan kepada mereka yang menderita
atau dianggap menderita (suspect) atau yang terancam akan menderita
(masa tunas). Adapun tujuan usaha pencegahan tingkat kedua ini yang
meliputi diagnosis dini dan pengobatan yang tepat agar dapat dicegah
meluasnya penyakit atau untuk mencegah timbulnya wabah, serta untuk
segera mencegah proses penyakit untuk lebih lanjut serta mencegah
terjadinya akibat samping atau komplikasi.
2) Pencarian penderita secara dini dan aktif melalui peningkatan usaha
surveillance penyakit tertentu, pemeriksaan berjala serta pemeriksaan
kelompok tertentu ( calon pegawai, ABRI, Mahasiswa, dan lain
sebagainya), penyaringan (screening) untuk penyakit tertentu secara umum
dalam masyarakat, serta pengobatan dan perawatan yang efektif.
3) Pemberian chemoprophylaxis yang terutama bagi mereka yang dicurigai
berada pada proses prepatogenesis Framboesia.
c. Pencegahan tingkat ketiga (Tertiary Prevention)
1) Sasaran pencegahan tingkat ketiga adalah penderita penyakit Framboesia
dengan tujuan mencegah jangan sampai cacat atau kelainan permanen,
mencegah bertambah parahnya penyakit tersebut atau mencegah kematian
akibat penyakit tersebut. Berbagai usaha dalam mencegah proses penyakit
lebih lanjut agar jangan terjadi komplikasi dan lain sebagainya.
2) Pada tingkat ini juga dilakukan usaha rehabilitasi untuk mencegah
terjadinya akibat samping dari penyembuhan penyakit Framboesia.
Rehabilitasi adalah usaha pengembalian funsi fisik, psikologis, sosial

18
seoptimal mungkin yang meliputi rehabilitasi fisik atau medis, rehabilitasi
mental atau psikologis serta rehabilitasi sosial.
3) Pengawasan Penderita, Kontak dan Lingkungan Masyarakat (tahap
Patogenesis)
a) Laporan kepada instansi kesehatan yang berwenang: Di daerah
endemis tertentu dibeberapa negara tidak sebagai penyakit yang harus
dilaporkan, kelas 3B (lihat laporan tentang penularan penyakit)
membedakan treponematosis venereal & non venereal dengan
memberikan laporan yang tepat untuk setiap jenis, adalah hal yang
penting untuk dilakukkan dalam upaya evaluasi terhadap kampanye
pemberantasan di masyarakat dan penting untuk konsolidasi
penanggulangan pada periode selanjutnya.
b) Isolasi: Tidak perlu; hindari kontak dengan luka dan hindari
kontaminasi lingkungan sampai luka sembuh.
c) Disinfeksi serentak: bersihkan barang-barang yang terkontaminasi
dengan discharge dan buanglah discharge sesuai dengan prosedur.
d) Karantina: Tidak perlu
e) Imunisasi terhadap kontak: Tidak perlu
f) Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi: Seluruh orang yang
kontak dengan penderita harus diberikan pengobatan, bagi yang tidak
memperlihatkan gejala aktif diperlakukan sebagai penderita laten. Pada
daerah dengan prevalensi rendah, obati semua penderita dengan gejala
aktif dan semua anak-anak serta setiap orang yang kontak dengan
sumber infeksi.
g) Pengobatan spesifik: Penisilin, untuk penderita 10 tahun ke atas
dengan gejala aktif dan terhadap kontak, diberikan injeksi dosis
tunggal benzathine penicillin G (Bicillin) 1,2 juta unit IM; 0,6 juta unit
untuk penderita usia dibawah 10 tahun.
d. Upaya Penanggulan Wabah (Tahap Pasca Patogenesis)
Dengan melakukan program pengobatan aktif untuk masyarakat di daerah
dengan prevalensi tinggi. Tujuan utama dari program ini adalah:
1) Pemeriksaan terhadap sebagian besar penduduk dengan survei lapangan.
Pengobatan terhadap kasus aktif yang diperluas pada keluarga dan

19
kelompok masyarakat sekitarnya berdasarkan bukti adanya prevalensi
frambusia aktif.
2) Melakukan survei berkala dengan tenggang waktu antara 1 – 3 tahun
sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan masyarakat pedesaan
disuatu negara.
J. Program Pemberantasan
Strategi Pemberantasan framboesia terdiri dari 4 hal pokok yaitu:
1. Skrining terhadap anak sekolah dan masyarakat usia di bawah 15 tahun untuk
menemukan penderita.
2. Memberikan pengobatan yang akurat kepada penderita di unit pelayanan kesehatan
(UPK) dan dilakukan pencarian kontak.
3. Penyuluhan kepada masyarakat tentang perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
4. Perbaikan kebersihan perorangan melalui penyediaan sarana dan prasarana air
bersih serta penyediaan sabun untuk mandi.

20
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Frambusia merupakan penyakit infeksi kulit yang disebabkan olehTreponema
pallidum sub spesies pertenue (merupakan saudara dari Treponema penyebab
penyakit sifilis), penyebarannya tidak melalui hubungan seksual, yang dapat mudah
tersebar melalui kontak langsung antara kulit penderita dengan kulit sehat.
Frambusia, yang disebabkan oleh Treponema pertenue, adalah penyakit
menular bukan seksual pada manusia yang pada umumnya menyerang anak-anak
berusia di bawah 15 tahun.
Penyakit frambusia ditandai dengan munculnya lesi primer pada kulit berupa
kutil (papiloma) pada muka dan anggota gerak, terutama kaki, lesi ini tidak sakit dan
bertahan sampai berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan.
Pada awalnya, koreng yang penuh dengan organisme penyebab ditularkan
melalui kontak dari kulit ke kulit, atau melalui luka di kulit yang didapat melalui
benturan, gigitan, maupun pengelupasan.
Penyakit fambusia tidak menyerang jantung, pembuluh darah, otak dan saraf
dan tidak ada frambusia kongenital, namun daerah endemis pada musim hujan
penderita baru akan bertambah. Gejala klinis terdiri atas 3 stadium pertama pada
tungkai bawah sebagai tempat yang mudah trauma; masa tunas berkisar antara 3-6
minggu.
Penularan penyakit frambusia dapat terjadi secara langsung maupun tidak
langsung. Terjadinya infeksi yang diakibatkan oleh masuknya Treponema partenue
dapat mengalami 2 kemungkinan yaitu Infeksi effective dan Infeksi ineffective.
Terdapat 3 stadium Frambusia yang dikenal, yakni : Stadium Primer, Stadium
Sekunder, dan Stadium Tersier.
Menurut Noordhoek, et al, (1990) diagnosa dapat ditegakkan dengan
pemeriksaan mikroskop lapangan gelap atau pemeriksaan mikroskopik langsung FA
(Flourescent Antibody) dari eksudat yang berasal dari lesi primer atau sekunder. Test
serologis nontrepanomal untuk sifilis misalnya VDRL (venereal disease research
laboratory), RPR (rapid plasma reagin). Test serologis trepanomal, misalnya FTA-

21
ABS (fluorescent trepanomal antibody – absorbed), MHA-TP (microhemag-
glutination assay for antibody to t. pallidum).
Pilihan pengobatan utama adalah benzatin penicilin dengan dosis yang sama,
alternatif pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian Tetrasiklin, Doxicicline, dan
Eritromisin.
Pencegahan dan Pemberantasan penyakit Frambusia dapat dilakukan dengan
cara yaitu : Upaya Pencegahan; Pengawasan Penderita, Kontak, dan Lingkungan
Sekitarnya; dan Upaya Penanggulangan Wabah.
Diagnosa Keperawatan yang sering muncul pada penyakit Frambusia adalah
Kerusakan integritas kulit b/d adanya lesi, Resiko terjadi infeksi b/d kerusakan pada
kulit, pertahanan tubuh menurun, Gangguan mobilisasi b/d kecacatan, Gangguan citra
tubuh b/d perubahan postur tubuh, Ansietas b/d perubahan kesehatan, dan Kurang
pengetahuan b/d kurang informasi terhadap perawatan kulit.

B. SARAN
Sebagai mahasiswa keperawatan kita harus mengetahui tentang penyakit
Frambusia. Hal ini ditujukan apabila mahasiswa menemukan kasus Frambusia di
lingkungannya, agar dapat melakukan tindakan lebih awal pada klien dengan
Frambusia. Selain itu, rencana asuhan keperawatan pada klien dengan Frambusia
sangat penting dipelajari mahasiswa agar dapat membuat rencana asuhan keperawatan
tentang Frambusia dan merawat klien jika berhadapan langsung pada klien dengan
Frambusia.
Berikut ini ada beberapa hal penting dalam strategi pemberantasan Penyakit
Frambusia yang terdiri dari 4 hal pokok, yaitu :
1. Skrining terhadap anak sekolah dan masyarakat usia di bawah 15 tahun untuk
menemukan penderita.
2. Memberikan pengobatan yang akurat kepada penderita di unit pelayanan kesehatan
(UPK) dan dilakukan pencarian kontak.
3. Penyuluhan kepada masyarakat tentang perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
4. Perbaikan kebersihan perorangan melalui penyediaan sarana dan prasarana air
bersih serta penyediaan sabun untuk mandi.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Pedoman Eradikasi Frambusia. 2007. Departemen Kesehatan RI, Dirjen


Pengendalian dan Penyehatan Lingkungan.
2. Solution, Heroes. 2010. Penyakit Frambusia/Patek/Yaws.
3. Syahreza, Lissa. 2011. Frambosia.
4. http://herodessolutiontheogeu.blogspot.com/2010/11/penyakit-frambusia-patek-
yaws.html
5. http://ichynurse.blogspot.com/2012/01/askep-frambusia.html
6. http://petrus88.blogspot.com/2012/04/asuhan-keperawatan-frambusia.html
7. http://amhypoer.blogspot.com/2014/05/frambusia.html
8. http://ichynurse.blogspot.com/2012/01/askep-frambusia.html
9. http://www.gejalapenyakit.com/wp-content/uploads/2014/06/Gejala-Penyakit-
Frambusia.jpg
10. http://kjhosygelhyn.blogspot.com/2014/10/epidemiologi-makalah-penyakit-
frambosia.html

23

Anda mungkin juga menyukai