Anda di halaman 1dari 33

PENGANTAR FILSAFAT

A. PANDANGAN AWAM TENTANG FILSAFAT

Pengertian filsafat hingga saat ini masih dipandang dari


berbagai sudut pandang yang berbeda-beda dan kadang-kadang
diterapkan secara tidak tepat terutama dikalangan awam.
Sebagian pihak ada yang memandangnya sebagai ilmu atau
wacana yang luar biasa sangat tinggi kedudukannya, jauh lebih tinggi
dibandingkan maksud yang sebenarnya. Berdasarkan pandangan
tersebut, filsafat menjadi sebuah wacana atau ilmu pengetahuan yang
hanya mungkin dilakukan dan dipahami oleh orang-orang yang
memiliki keunggulan intelektual serta kebijaksanaan yang sangat
tinggi. Jadi, dalam pemahaman ini,. Orang “biasa” belum tentu dapat
berfilsafat. Persepsi ini menempatkan filsafat sebagai pemikiran yang
terlalu abstrak dan tidak membumi untuk dapat dimanfaatkan dalam
kehidupan sehari-hari. Pada umumnya, penilaian terhadap hal tersebut
tidak mempunyai manfaat praktis.
Ada juga pihak yang memandang filsafat sebagai wacana yang
tidak berhubungan dengan masalah kehidupan sehari-hari. Persepsi
seperti ini dibicarakan dikalangan orang-orang khusus yang “gagal”
menjalani apa yang ada didalam kehidupan sehari-hari. Dalam
pemahaman ini, filsafat tidak lain sebagai pertunjukan absurd, tidak
jelas arah dan tujuannya. Akan tetapi pemahaman filsafat seperti ini
digunakan oleh mereka yang tidak mampu berpikir secara wajar, tepat
dan benar, juga sebagai tempat persembunyian ketidakmampuan
intelektualnya. Akibat dari persepsi tersebut, filsafat menjadi
pembicaraan yang tidak serius, ngelantur, tidak berujung pangkal, dan
tidak berlandasan intelektual. Dalam pandangan ini, filsafat tampil
sebagai wacana “bodoh” bahkan hanya menjadi pembicaraan orang-
orang yang bermasalah.

1
Lain lagi dengan pandangan kaum awam Cina kuno, mereka
menyatakan bahwa seni ilmu, dan filsafat merupakan pelarian bagi
mereka yang tidak berhasil dalam kehidupan nyata, yaitu mereka yang
memproduksi sesuatu, seperti pembuat alat dan berdagang. Pendapat
ini tidak dipandang sebagai pendapat yang buruk, tetapi tetap
dinyatakan berguna, meskipun tidak selalu untuk saat “ini”.
Pandangan tersebut diatas persis menjadi persepsi yang
menjadi pandangan saya. Sampai saat ini kurang lebih tiga bulan saya
mempelajari filsafat di Program S1 keperawatan Jalur B, STIK Sint
Carolus, Jakarta. Bahkan penulis beranggapan bahwa sesungguhnya
filsafat itu adalah hanya ilmu yang sifatnya mengawang-awang,
bahkan lebih ekstrim lagi saya menganggap bahwa tidak perlulah
seorang calon perawat mempelajari filsafat, karena bukan merupakan
ilmu yang kelak dapat diterapkan didalam dunia keperawatan. Namun
seiring berjalannya waktu dalam mengikuti perkuliahan, saya merasa
semakin dekat dengan apa sesungguhnya filsafat itu, apa menfaatnya,
sehingga saya semakin tertarik untuk terus mempelajarinya. Ternyata
filsafat itu bukan sesuatu yang gampang dipelajari, dan bukan sesuatu
yang bersifat mengawang-awang, karena yang dipelajari adalah apa
yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut saya, salah satu hal yang membuat saya sulit untuk
mengerti filsafat atau berfilsafat adalah karena dari kecil sudah dikotak-
kotakkan oleh para pedahulu saya, termasuk oleh orang tua atau
lingkungan saya. Sebagai contoh saat saya kecil saya bertanya
kepada ibu saya ”Bu…adik itu dari mana?” Ibu saya hanya menjawab
”Itu pemberian dari Tuhan” lalu saya bertanya lagi ”Tuhan itu siapa
dan dimana?” Ibu saya menjawab ”Sudahlah….jangan banyak tanya”.
Saya meyakini sekarang bahwa ketika saya bertanya tentang segala
sesuatu yang tidak saya mengerti sesungguhnya saat itu saya sudah
mulai berfilsafat.

2
Namun pandangan umum terhadap orang yang selalu bertanya atau
mempertanyakan segala sesuatu dianggap merupakan hal yang
negatif, dan mepertanyakan segala sesuatu itu bukan hal yang selalu
penting.

B. PENGERTIAN DASAR FILSAFAT

Persepsi-persepsi tidak tepat tersebut diatas tidak


menggambarkan seluruh persepsi tidak utuh tentang persepsi atas
filsafat. Namun, keseluruhannya merupakan perbincangan filsafat
pada sisi ekstrim. Selain persepsi-persepsi diatas, terdapat pula
berbagai persepsi lainnya, baik dalam arti berlebihan maupun
berkekurangan.
Oleh krena itu diperlukan pemahaman baku sesuai dengan isi
dan cara mengemukakan persepsi mengenai filsafat secara tepat
berdasarkan pengertian, pemahaman, dan definisi yang jelas. Apapun
masalahnya, setiap ahli dengan alasan yang masuk akal dan kuat ,
kerap mengemukakan dan mempertahankan definisinya. Sampai saat
ini, belum ada kata sepakat diantara para ahli tentang definisi filsafat
yang secara konsisten digunakan dalam kehidupan sehari-hari, karena
adanya sisi yang berbeda dan perlu adanya penekanan (emphasize)
terhadap persepsi tersebut.
Terhadap perbedaan tersebut, tentu saja kita tidak perlu
bersikap negatif, sebaliknya, kita mampu bersikap arif dalam
memandang wajah dan isi filsafat secara lebih lengkap. Dengan
bijaksana pula, kita mampu memilih serta menyerap mana yang
dianggap penting dan bermanfaat dalam menggunakannya, baik untuk
keperluan umum maupun khusus.
Selain kesalahfahaman seperti yang telah diutarakan, juga
terdapat kesalahfahaman mengenai arti dan makna mengenai filsafat
menyangkut apa yang dibicarakan. Banyak orang dan buku yang
menyatakan bahwa filsafat itu seolah-olah merupakan perbincangan

3
mengenai agama, norma, nilai, dan moral, sehingga ahli filsafat
dianggap juga sebagai ahli dalam bidang agama, moral, budaya, dan
kesenian/sastra. Kesalahfahaman ini tidaklah fatal karena agama,
moral budaya, dan kesenian merupakan bagian dari permasalahan
filsafat. Akan tetapi filsafat berbeda dengan agama ataupun
permasalahan filsafat lainnya. Seorang ahli filsafat pun tidak dapat
diartikan sebagai orang yang mendasarkan perilakunya pada norma
dan nilai tertentu. Pandangan filosof terhadap agama dan perilaku
boleh jadi untuk sebagian patut diteladani oleh masyarakat luas,
namun tidak seluruhnya. Beberapa perilaku yang tidak patut kita
teladani, boleh jadi melekat pada seorang filosof. Bahkan, pandangan
yang patut kita hormati dan kagumi pun tidak harus disertai dengan
keinginan dan keharusan untuk menyetujuinya.
Terdapat pula ketidaktepatan lain yang menunjuk pada makna
manfaat tertentu dari penggunaan filsafat, yaitu pengertian filsafat
sebagai dasar dari apa yang ada dibalik sesuatu gejala. Misalnya,
dibalik suatu dalil dalam suatu cabang ilmu pengetahuan, terdapat
pemahaman tertentu yang mendasarinya atau maksud dan
manfaatnya yang lebih khusus. Dalam pengertian seperti itu, filsafat
sering diartikan sebagai maksud atau latar belakang suatu peraturan
atau maksud peraturan tersebut dibuat. Pengertian filsafat seperti ini
disebut dengan makna ganda dari kata filsafat.
Hal dan sikap yang benar sangat penting bagi mereka yang
ingin mempelajari filsafat, terutama mereka yang terjun kedalam dunia
filsafat karena sampai kapanpun ahli filsafat tidak pernah memiliki satu
pendapat, baik dalam hal isi, perumusan permasalahan maupun
penyusunan jawaban. Orang yang berfilsafat akan meragukan setiap
jawaban yang baru saja dipastikannya.
Berdasarkan hal tersebut, Immanuel Kant pernah menyatakan,
bahwa yang penting adalah belajar berfilsafat, bukan belajar filsafat.
”Orang-orang datang kepadaku bukanlah orang-orang yang hendak

4
belajar filsafat, melainkan belajar berfilsafat”, katanya. Orang yang
mengerti filsafat berbeda dengan orang yang berfilsafat. Langeveld
mengemukakan nasihat penting bagi pembaca bukunya, khususnya
bagi mereka yang tidak mudah menangkap makna meteri filsafat yang
dibacanya. Katanya,”Jangan sekali-kali berhenti membaca filsafat.
Terus saja, jika perlu kita ulangi setelah teks tersebut selesai dibaca”.
Beberapa istilah baru dalam filsafat, antara lain filsafat hidup
(way of life), dan filsafat bangsa atau negara. Filsafat hidup adalah
pegangan-pegangan dasar, spirit atau roh seseorang. Filsafat bangsa
dan negara artinya padangan hidup, pola pandang atas kehidupan
dunia (world view). Contohnya filsafat bangsa dan negara Indonesia
yaitu Pancasila.

C. ARTI, PENGERTIAN, DAN DEFINISI FILSAFAT

Secara etimologi, filsafat berasal dari beberapa bahasa, yaitu


bahasa Inggris dan Yunani. Filsafat dalam bahasa Inggris, yaitu
philosophy, sedangkan dalam bahassa Yunani, filsafat merupakan
gabungan dua kata, yaitu philein yang berarti cinta atau philos yang
berarti mencintai, menikmati, menghormati, dan sophia atau sofein
yang artinya kenikmatan, kebenaran, kebaikan, kebijaksanaan, atau
kejernihan. Secara etimologis, berfilsafat atau filsafat berarti mencintai,
menikmati kebijaksanaan atau kebenaran. Hal ini sejalan dengan apa
yang diucapkan ahli fiilsafat Yunani Kuno, Socrates bahwa filosof
adalah orang yang mencintai atau mencari kebijaksanaan atau
kebenaran. Jadi, filosof bukanlah orang yang bijaksana atau
berpengetahuan benar, melainkan orang yang belajar dan mencari
kebenaran atau kebijaksanaan. Dalam bahasa Indonesia, filsafat
berasal dari bahasa Arab, filsafah yang juga berakar pada istilah
Yunani.
Di lihat dari arti praktisnya, filsafat adalah alam berpikir atau
alam pikiran. Berfilsafat adalah berpikir. Langeveld dalam bukunya

5
”Pengantar Pada Pemikiran Filsafat” (1995) menyatakan bahwa filsafat
adalah suatu perbincangan mengenai segala hal, sarwa sekalian alam
secara sistematis sampai ke akar-akarnya. Apabila dirumuskan
kembali, filsafat adalah suatu wacana atau perbincangan mengenai
segala hal secara sistematis sampai konsekuensi terakhir dengan
tujuan menemukan hakikatnya.
Beberapa konsep terkait dalam definisi itu. Adapun
penjelasannya sebagai berikut.
1. Wacana atau argumentasi menandakan bahwa filsafat
memiliki ciri kegiatan berupa pembicaraan yang mengandalkan
pada pemikiran, rasio, tanpa verifikasi uji empiris. ”Perbincangan
dengan menutup mata”, kata MAW Brouwer, seorang pastor dan
psikolog yang sangat berminat dan lama menjadi dosen untuk
berbagai jenis filsafat. Artinya, keputusan atau pendapat filsafati
tidak perlu didasari bukti kebenaran, baik melalui eksperimentasi
maupun pencarian data lapangan.
2. Segala hal atau sarwa sekalian alam. Artinya, bahwa apa
yang dibicarakan, yang merupakan materi filsafat adalah segala hal
yang menyangkut keseluruhan sehingga disebut perbincangan
universal. Tidak ada yang tidak dibicarakan filsafat. Ada atau tidak
ada permasalahan, filsafat merupakan bagian dari perbincangan.
Hal ini jelas berbeda dengan ilmu pengetahuan yang
membicarakan suatu lingkup permasalahan, misalnya zoologi
yang hanya membicarakan wujud binatang, tetapi lengkap dengan
ukurannya. Sebagian orang berpendapat, bahwa ciri dari segala
sesuatu ini merupakan inti dari filsafat, sehingga filsafat bersifat
universal.
3. Sistematis artinya perbincangan mengenai segala sesuatu
dilakukan secara teratur menurut sistem yang berlaku sehingga
tahapan-tahapannya mudah diikuti. Dengan demikian,
perbincangan tersebut tepat atau tidak, dapat diikuti dan diuji oleh

6
orang lain, meskipun pada akhirnya hanya ada satu pengertian
mengenai sesuatu itu.
4. Radikal artinya sampai ke akar-akarnya, sampai pada
konsekuensinya yang terakhir. Radiks artinya akar, juga disebut
arche. Hal ini merupakan ciri khas berpikir filsafat. Hal ini jelas
berbeda dengan ilmu pengetahuan yang bertitik tolak dari asumsi
yang sering disebut keyakinan filsafati (philosophical belief).
Pengertian sampai ke akar-akarnya, bahwa asumsi tersebut tidak
hanya dibicarakan tetapi digunakan. Ilmu pengetahuan
menggunakan asumsi, tetapi filsafat membangun atau
memperbincangkannya.
5. Hakikat merupakan istilah yang menjadi ciri khas filsafat
juga. Hakikat adalah pemahaman atau hal yang paling mendasar.
Jadi, filsafat tidak berbicara tentang wujud atau suatu materi,
seperti ilmu pengetahuan, tetapi berbicara makna yang ada di
belakangnya. Dalam filsafat, hakikat seperti ini merupakan akibat
dari berpikir secara radikal.

Berdasarkan hasil telaah, sejak Zaman Yunani Kuno sampai


dengan sekarang, beberapa ahli filsafat telah mendefinisikan bidang
kajian ini. Misalnya, Plato menyatakan filsafat sebagai ilmu
pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang murni. Murid
Plato, Aristoteles mendefinisikan filsafat sebagai ilmu pengetahuan
yang meliputi kebenaran, seperti ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika,
etika, ekonomi, politik, dan estetika. Decartes mendefinisikan filsafat
sebagai kumpulan berbagai ilmu pengetahuan termasuk didalamnya
Tuhan, alam , dan manusia menjadi pokok penyelidikan. Adapun
Immaanuel Kant menyatakan, bahwa filsafat adalah ilmu
pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala
pengetahuan yang didalamnya mencakup empat persoalan, yaitu yang
dapat diketahui (metafisika), apa yang seharusnya diketahui (etika),

7
sampai dimana harapan kita (agama), dan apa yang dinamakan
dengan manusia (antropologi).
Dari berbagai definisi psikologi yang ditemukan dan dicatatnya,
Hasbullah Bakri merumuskan filsafat sebagai berikut.
Ilmu filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan
mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta, dan manusia
sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana
hakekat ilmu filsafat dapat dicapai oleh akal manusia dan bagaimana
seharusnya sikap manusia setelah mencapai pengetahuan itu.
Sepatutnya, kita memberikan catatan mengenai penggunaan
istilah ilmu atau ilmu pengetahuan untuk pengertian ilmu filsafat. Saat
ini, filsafat dan ilmu atau ilmu pengetahuan merupakan dua hal
berbeda. Sedikit penjelasan dapat dikemukakan, bahwa sebelum
tahun 1500-an, semua wacana disebut filsafat, setidaknya di Yunani.
Orang yang sedang berbicara tentang ilmu bumi atau masalah jual beli
pun disebut sedang berfilsafat karena pada dasarnya adalah mencari
kebenaran. Setelah zaman filsafat modern yang dipelopori Decartes
dan John Locke terdapat perbedaan antara filsafat dan ilmu
pengetahuan.
Thomas Mautner (1999) mengemukakan adanya tiga
pengertian filsafat yang paling umum diartikan dan digunakan, ialah
sebagai berikut :
1. Aktivitas intelektual yang dapat diartikan dalam berbagai
pengertian, bergantung pada penekanannya, yaitu metode,
masalah serta tujuannya. Metode filsafat adalah pendalaman
rasional. Sebagai materi atau masalah metode filsafat merupakan
hal biasa pada masa yang lalu. Lazimnya, metode ini digunakan
filsafat pada saat mendalami berbagai masalah secara rasional.
Misalnya, fisika dan ilmu-ilmu alam lain dilakukan pendalaman
secara umum, disebut sebagai filsafat alam. Jika filsafat
dimaksudkan untuk penelaahan yang murni atau benar-benar

8
bersifat rasional atas pengetahuan filsafat merupakan tujuan usaha
intelektual.
2. Suatu teori yang lahir sebagai akibat dari dilakukannya
pendalaman filosofis.
3. Pandangan komprehensif mengenai realitas dan tempat
manusia berada dalam pandangan itu.

D. KEHERANAN SEBAGAI AWAL BERFILSAFAT

Mengapa ada filsafat? Mengapa orang berfilsafat? Bahkan, ada


orang yang menolak filsafat dengan menyatakan, mengapa tidak
cukup membicarakan dan mengamalkan ilmunya saja, tidak perlu
berpikir secara berlebihan, seperti yang dilakukan dalam berfilsafat?
Terkadang manusia selalu mempersoalkan sesuatu apapun,
termasuk mengapa harus berfilsafat? Banyak hal ditanyakannya,
seperti benda, keadaan hal konkrit atupun abstrak. Mengapa timbul
pertanyaan-pertanyaan seperti itu? Hal tersebut karena filsafat seolah-
olah megherankan sesuatu. Pertanyaannya pun bemacam-macam,
mulai dari pertanyaan yang bersifat biasa, seperti pertanyaan tentang
hal wujud sampai dengan pertanyaan yang bersifat filsafati. Kalau pun
harus langsung berfilsafat, seperti anjuran Kant maka timbullah
pertanyaan baru, ”Apa yang menjadi dasar dari pertanyaan tersebut?”
Keheranan seperti itu merupakan bekal bagi orang untuk
berfilsafat, bahkan timbul pertanyaan yang tidak filsafati. Hal ini penting
karena dengan heran, orang akan bertanya sehingga ilmunya akan
bertambah lebih dalam. Dengan bertambahnya ilmu lebih dalam dan
lebih luas, orang akan mampu menganalisis masalah dengan lebih
tajam, serta mampu menguasai lingkungannya. Dengan demikian,
orang tersebut mampu memahaminya, kemudian akan bertindak
dengan benar. Seperti kita ketahui bahwa kebenaran lah yang akan
membawa seseorang pada puncak kebahagiaan hidupnya.

9
Masalah selanjutnya, mengapa harus berfilsafat? Tentu tidak
menjadi keharusan bagi seseorang untuk berfilsafat atau sekadar
bertanya secara ilmiah, atau sesuai dengan bidang ilmunya. Namun,
orang yang berfilsafat akan menemukan akar dan hakikat dari apa
yang menjadi bahan pemikirannya. Selayaknya, kita mengetahui
terlebih dahulu bagaimana berfilsafat, atau lebih sederhananya apa
filsafat itu.
Sementara itu, untuk keperluan pelaksanaannya, filsafat
dianggap sebagai pertanyaan yang mempersoalkan sesuatu secara
mendalam dan sunguh-sungguh, radikal sampai keakar-akarnya.
Sebuah pertanyaan yang berbeda dari pertanyaan yang
diperbincangkan dalam ilmu pengetahan yang bertitik tolak pada
wujudnya. Tujuan yang hendak dicapai adalah kebenaran yang hakiki
dan kebenaran yang berfilsafati.
Apabila ada orang yaag berpendapat bahwa kita tidak perlu
bertanya secara filsafati, orang tersebut tampaknya tidak mengenal
filsafat sebagai perbincangan yang melahirkan ilmu pengetahuan, di
samping perbincangan masalah-masalah lainnya. Terlebih dahulu, ia
patut memahami pengertian filsafati secara mendasar dengan tepat
sehingga keraguannya atas manfaat berfilsafat tidak akan terjadi.
Dengan demikian, pertanyaannya menjadi mengapa orang berfilsafat?
Tampaknya, pertanyaan dan pemikiran yang sifatnya rasional
merupakan ciri khas manusia dibandingkan makhluk hidup lainnya. Ia
akan bertanya tentang segala hal. Untuk menjawab pertanyaannya, ia
akan berusaha mencari jawaban yang dapat memenuhi kebutuhan
intelektualnya. Oleh karena itu manusia berpikir (homo sapiens) di
sebut sebagai a rational animal, animal rationale atau binatang yang
mampu berpikir. Hal ini berlaku apabila manusia dan hewan
dikelompokkan ke dalam suatu golongan, dan tidak memperlihatkan
perbedaan yang esensial atau berbeda prinsip. Hal ini merupakan

10
permasalahan dalam bidang antropologi dan metafisika, khususnya
yang menyangkut hakikat manusia.
Makhluk hidup yang kita kenal saat ini, terdiri atas tumbuh-
tumbuhan yang hanya memiliki metabolisme. Binatang selain memiliki
metabolisme, juga memiliki naluri, sedangkan manusia selain memiliki
metabolisme dan naluri, juga memiliki akal termasuk moral, kalbu, nilai,
dan norma. Ada kepercayaan atau keyakinan lain, bahwa Tuhan hanya
menurunkan dua jenis makhluk hidup yaitu tumbuhan dan binatang.
Makhluk yang disebut binatang ini selain ada yang hanya memiliki
ciri nafsu, juga memiliki rasio (akal budi). Artinya terdapat perbedaan
yang gradual diantara keduanya. Suatu hal yang patut dipertanyakan
karena berfilsafat senantiasa melahirkan keheranan dan pertanyaan-
pertanyaan yang baru.untuk itu, kita dapat melanjutkan perbincangan
ini secara khusus.
Lantas, mengapa manusia terus-menerus bertanya dan berpikir
karenanya? Seperti telah diuraikan sebelumnya karena mereka heran
terhadap segala hal. Orang yang memiliki keinginan untuk memahami
lebih banyak hal, akan menimbulkan rasa heran terhadap banyak hal.
Dengan timbulnya rasa heran, berarti ia memiliki keingintahuan
(curiousity) terhadap apapun atau segala hal. Hal ini penting bagi
manusia karena lebih banyak pengetahuan akan lebih menjamin rasa
aman sehingga akan tercapai tujuan hidup yang lebih besar. Dengan
pengetahuan yang lebih banyak, manusia dapat menyesuaikan diri
secara lebih baik terhadap lingkungannya sehingga keamanan dan
hasil yang diraihnya akan lebih baik pula. Tentu saja setiap orang
memiliki batas kemampuan tertentu, termasuk daya pikirnya. Jadi,
keheranan seseorang terhadap apapun bersifat individual sesuai
dengan kemampuan dan keadaannya, namun tetap universal.
Keheranan yang dimaksudkan disini tentu bukanlah keheranan
yang mengada-ada, melainkan suatu kebutuhan atau keinginan,
aspirasi, dan cita-cita sehingga dapat mengembangkan diri terhadap

11
lingkungannya. Keheranan itu bersifat intelektual dan kerohanian.
Keinginan, aspirasi dan cita-cita itu bertujuan untuk memahami segala
hal, termasuk membuat pertimbangan dan perhitungan mengenai
tindakan-tindakan manakah yang akan memberi kemungkinan untuk
melaksanakan tugas manusia dalam kehidupan. Dalam psikologi, pada
dasarnya keinginan ini berhubungan dengan adanya kemauan
seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungannya.
Berdasarkan hal tersebut, lahirlah istilah keheranan orang-orang
”bodoh”. Artinya, keheranan yang sekadar heran sebagai akibat dari
sedikitnya pengetahuan, minat, usaha, serta kemampuan mereka
dalam berpikir lebih lanjut dan sungguh-sungguh. Berfilsafat tentu saja
tidak demikian, tetapi harus dilandasi oleh keheranan yag perlu
ditindaklanjuti. Tujuannya adalah untuk menggali pengetahuan yang
lebih mendalam serta kaya akan informasi yang berada dibalik gejala
yang diherankannya itu.
Oleh karena itu, timbul pertanyaan,”Apa saja yang diherankan
manusia?” Jawabannya adalah segala hal, karena setiap yang ada
dapat melahirkan dampak pada manusia, kehidupan, dan lingkungan
hidupnya.

E. PERMASALAHAN

Setiap hal yang mengherankan dapat melahirkan suasana


atau mood yang akan berpengaruh terhadap pemikirannya. Dalam
ilmu pengetahuan, setiap ilmu mempunyai masalah sendiri-sendiri.
Persoalannya, filsafat adalah segala sesuatu, tidak terkecuali. Akan
tetapi, dalam mempersoalkannya terdapat keterbatasan, yaitu
menyangkut hakikat filsafat itu sendiri. Apabila kimia membicarakan
hukum-hukum persenyawaan zat, maka filsafat membicarakan hakikat
dari hukum-hukum itu. Inilah yang dimaksud dengan sarwa sekalian
alam yang menjadi ciri khas filsafat yang disebut juga universal.

12
Mengenai masalah yang orang pikirkan, terdapat beberapa
keadaan yang berbeda prinsip. Misalnya, pada suatu senja, setelah
hujan reda, seseorang berjalan-jalan dengan maksud menghirup udara
segar. Ia mendapati bulan berwarna putih keperak-perakan, tidak
seperti biasanya, berwarna kuning keemasan. Dalam pikirannya,
timbul sebuah pertanyaan, ”Mengapa bulan itu berwarna keperakan,
tidak seperti biasanya?”. Ternyata, keheranan orang ini menimbulkan
susana berpikir tentang ilmu pengetahuan, ialah suasana keilmuan
(scientific mood). Keheranannya muncul berupa pertanyaan,
”Mengapa warna cahaya yang ditampilkan bulan itu putih keperakan
bukan seperti yang biasanya kuning keemasan?”. Akibatnya, jalan
berpikir orang tersebut mengarah pada mencari hukum-hukum ilmu
pengetahuan. Dalam hal ini, ilmu pengetahuan alam, khususnya fisika,
lebih khusus lagi tentang ilmu cahaya. Pengetahuan dasar yang
pernah didapatnya entah di SD, SMP, atau SMA, akhirnya
menimbulkan jawaban, bahwa perubahan warna cahaya bulan itu, dari
kuning keemasan menjadi putih keperakan, tidak lain bersangkutan
dengan masalah pembiasan cahaya. Biasanya, udara tidak banyak
diisi oleh uap air sehingga pembiasannya berbeda pada saat udara
banyak diisi oleh uap air hujan. Dengan demikian, warna keperakan
terjadi pada senja setelah hujan. Dengan perkataan lain, bahwa
pemikirannya yang bersifat ilmiah ini didasari oleh pemikiran hukum-
hukum ilmu pengetahuan.
Boleh jadi juga, keheranan orang tersebut bukan lagi berupa
pertanyaan mengapa warna cahaya itu berubah, melainkan lahir
dalam bentuk kekaguman dan pernyataan betapa indahnya warna
keperakan cahaya bulan itu. Ia merasakan suatu kenyamanan yang
menggugah perasaan senang, dan harmonis. Akibatnya, muncul
pertanyaan tentang penghayatan dan perasaan indah. Hal ini
merupakan pertanyaan atas dasar keheranan yang melahirkan
pembicaraan tentang estetika, sehingga pemikirannya disebut sebagai

13
pemikiran estetis dan kesenian, contohnya membicarakan kenikmatan
ketika mendengarkan musik Mozart, melihat lukisan Rembrant, atau
membaca syair-syair Ramadhan K.H.
Dalam seni rupa, kita mengenal istilah golden section untuk
suatu perbandingan yang estetis, seperti digunakan dalam
perbandingan ukuran sisi suatu segi empat, yaitu 3 x 2. Mengapa
perbandingan 3 x 2 harus disebut golden section? Pertanyaan ini tidak
dapat dijelaskan secara ilmiah, tetapi dapat dirasakan oleh orang
pada umumnya, secara khusus hanya dapat dirasakan oleh orang
yang memiliki daya etetis yang baik.
Dalam hal ini, perlu dengan cermat kita perhatikan, bahwa
estetika berbeda dalam kaitannya dengan filsafat dan ilmu.
Pembicaraan yang menyangkut estetika, ialah dalam hal hukum-
hukumnya berdasarkan suatu atau sejumlah eksperimen.
Perbincangan ini sering dilakukan dan di tulis oleh para pakar ilmu
pengetahuan dalam bidang kesenian, seperti sejarawan, seniman,
atau pemahat. Hal tersebut merupakan suatu pemikiran ilmiah. Gejala
estetis, seperti golden section yang ditelaah secara komparatif dalam
berbagai budaya yang berbeda disebut sebagai pemikiran ilmiah.
Meskipun yang menjadi objek telaahnya adalah gejala estetika, namun
hal ini bukan merupakan pemikiran filsafat keindahan, melainkan
pemikiran ilmu pengetahuan tentang keindahan.
Sebagai pengertian lainnya, seseorang melihat warna bulan
keperakan kemudian timbullah keheranan. Maksudnya, pada diri orang
itu timbul kekaguman pada sang pencipta keindahan tersebut.
Kekaguman tersebut lahir dari suasana keagamaan yang dimilikinya.
Merupakan pernyataan keagamaan yang lahir dari suasana religius,
meskipun tidak harus menunjuk pada agama tertentu. Boleh jadi
dalam keadaan seperti itu yang muncul adalah kekaguman terhadap
Sang Pencipta, yang maha memiliki, sehingga mempertebal
keimanannya terutama dalam kehidupan beragamanya. Hal ini

14
sekaligus merupakan perbincangan religius. Adapun bahan kajian
yang dibicarakan adalah hal yang mengugah keimanan.
Keheranan berikutnya adalah keheranan yang menuntut
jawaban lebih mendalam atas gejala tersebut, yaitu hakikat tentang
sesuatu. Misalnya, ia menyatakan bahwa warna bulan itu
memunculkan keindahan, tetapi ia mempertanyakan, ”Mengapa
”indah” yang dikaitkan dengan gejala tersebut? Apakah indah itu?”.
Keheranan seperti ini menimbulkan gugahan pemikiran yang
menuntut jawaban hakiki. Misalnya, pertanyaan mengenai apakah
hakikat indah atau keindahan itu. Inilah yang dimaksud dengan
pemikiran filsafati. Dalam hal ini, si penanya sedang berada dalam
suasana filsafati (philosophical mood). Filsafat merupakan suatu
pemikiran mengenai hakikat terhadap sesuatu yang dibicarakan. Lalu,
apakah yang dibicarakannya? Jawabannya adalah segala hal, tetapi
terbatas hanya pada sisi hakikatnya.
Jelas kiranya, bahwa segala hal yang diherankan, kemudian
dipertanyakan orang. Pada dasarnya, apa yang dipertanyakan orang
meliputi masalah-masalah ilmiah, estetika, religius, dan filsafati.
Masalah ilmiah akan melahirkan pertanyaan ilmiah pula, kemudian
menimbulkan jawaban dan kebenaran ilmiah. Adapun sikap religius
akan melahirkan masalah religius yang akan melahirkan pertanyaan
religius sebelum akhirnya melalui alasan-alasan religius akan
melahirkan kebenaran-kebenaran religius. Adapun masalah estetika
melahirkan pertanyaan yang menuntut pemikiran estetis, dan diakhiri
oleh jawaban atau kebenaran estetis. Sementara itu, masalah-masalah
filsafati melahirkan pertanyaan filsafati untuk selanjutnya melahirkan
jawaban filsafati mengenai hakikat sesuatu (the nature of…).

F. KEBENARAN FILSAFATI

Bagaimana pun manusia bertanya karena heran. Berdasarkan


pertanyaan itu, mereka berharap untuk mendapatkan kebenaran

15
melalui jawaban, yaitu keterangan yang benar mengenai apa yang
dipertanyakannya. Permasalahannya adalah apakah kebenaran itu?
Hal ini merupakan masalah penting dalam filsafat pada umumnya, dan
khususnya dalam epistemologi atau filsafat ilmu. Kebenaran
merupakan hasil penilaian. Permasalahan berikutnya, ”Apakah yang
menjadi dasar dari penilaian itu?”. Boleh jadi subjektif, yang
berdasarkan norma, nilai, dan keyakinan orang yang menilainya. Boleh
jadi juga objektif, yaitu berdasarkan ukuran-ukuran, manfaat, dan lain-
lain terhadap obyeknya sendiri. Kita tidak perlu menyatakan bahwa
subjektif lebih buruk daripada objektif, karena yang sebenarnya ada
hanyalah perbedaan yang satu bukan yang lain.
Dalam menentukan sesuatu itu benar, pada dasarnya kita
mengukurnya berdasarkan dua kemungkinan, yaitu kebenaran apriori
atau kebenaran hipotesis dan kebenaran aposteriori atau kebenaran
empiris. Kebenaran apriori adalah kebenaran berdasarkan akal
semata-mata, secara logika tanpa memerlukan bukti empiris,
sedangkan kebenaran aposteriori atau kebenaran setelah pengalaman
adalah kebenaran yang di temukan di lapangan melalui suatu abstraksi
berupa ukuran-ukuran dari wujud apa yang ingin diketahui. Kebenaran
seperti ini adalah ilmu pengetahuan dari Kant, Comte,dan sebagainya.
Kant berpendapat, bahwa ilmu pengetahuan harus berdasarkan
sintesis apriori dan analitis aposteriori. Maksudnya, bahwa kebenaran
ilmu pengetahuan itu harus berdasarkan penggunaan akal atau
pemikiran teoritis yang disebut hipotesis dan teruji oleh bukti faktual
yang menguatkan atau menegakkan, berupa hasil pengukuran objektif.
Adapun untuk hipotesis, jika telah didukung oleh fakta di lapangan
maka kebenaran ilmiah dinilai telah sah.
Kebenaran filsafati tidak demikian, karena wacana filsafati
semata-mata berdasarkan penggunaan akal. Pada masa Yunani kuno
sampai dengan abad pertengahan, filsafat dalam mencari kebenaran
sama halnya dengan ilmu pengetahuan dalam mencari kebenaran.

16
Dengan perkataan lain, sampai abad pertengahan tidak ada
perbedaan antara wacana ilmu pengetahuan dan perbincangan filsafati
karena hanya ada satu jenis perbincangan ilmu pengetahuan disebut
filsafat yang hanya mengandalkan pemikiran.
Hal terpenting, bahwa kebenaran filsafati itu adalah kebenaran
yang hakiki bersifat subjektif, hasil pendalaman pemikiran dari
berbagai sudut pandang pemikir. Dengan demikian, hasil pemikiran
filsafati tidak dapat dibandingkan dalam arti baik-buruk dan benar-
salahnya. Suatu pemikiran yang mendalam dan jernih sangat mungkin
mencapai kebenaran tertinggi., lebih tinggi daripada hasil pengukuran
di lapangan. Pengukuran dilapangan pun boleh jadi kurang baik
nilainya karena alat ukur yang tidak canggih dan pengukurannya
sendiri yang tidak akurat.
Meskipun berbicara tentang hal yang sama, belum tentu suatu
pendapat ”baru” menyebabkan pendapat “lama” gugur. Pendapat
Plato, bahkan Socrates pada masa Yunani kuno tidaklah dapat
dianggap tidak berlaku lagi ketika pada abad ini ada pendapat
modern, seperti Husserl atau Jaspers, bahkan jika ada pemikiran
pasca-modernisme sekali pun. Hal yang dapat diterapkan dalam
memandang pikiran-pikiran filsafati yang tidak sama itu adalah “lain”
atau “beda”.
Adapun yang dimaksud dengan subjektif adalah suatu
pendapat berdasarkan kemampuan atau keadaan dan sudut pandang
subjek, sedangkan objektif adalah sesuai dengan keadaan objek atau
wujudnya.

G. MANFAAT FILSAFAT

Studi filsafat ini sering kali diabaikan orang karena seolah-olah


tidak cukup membumi, yaitu tidak ada hubungannya dengan masalah-
masalah nyata dalam kehidupan sehari-hari terlebih lagi

17
menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari, tetapi sekadar
”latihan berpikir”, seperti mengisi teka-teki silang.
Berdasarkan pemahaman dasarnya, persepsi ini tidak tepat,
meskipun didalamnya terdapat manfaat. Secara khusus, filsafat
merupakan perbincangan mencari hakikat sesuatu gejala atau segala
hal yang ada. Artinya, filsafat merupakan landasan dari sesuatu
apapun, tumpuan segala hal, jika salah tentulah berbahaya, sedikitnya
akan merugikan. Apabila kehidupan berpengetahuan itu diibaratkan
sebuah pohon maka filsafat adalah akarnya, yaitu bagian yang
berhubungan langsung dengan sumber kehidupan pohon itu,
sedangkan batang, dahan, ranting, daun, bunga, dan buah menjadi
bahan kajian ilmu pengetahuan. Berdasarkan penelitian, ilmu
pengetahuan berhubungan dengan apa yang terlihat atau yang biasa
di sebut menggejala atau mewujud. Terlebih lagi kaum awam, ia hanya
dapat melihat sesuatu secara langsung atau yang berhubungan secara
langsung, khususnya menjawab kebutuhan nyata dirinya sendiri.
Dalam perbincangan lebih nyata, filsafat mempersoalkan dan
membicarakan kembali akar, baik berdasarkan ilmu pengetahuan
maupun pemahaman lain. Jadi, filsafat menyadarkan manusia
terhadap apa yang sudah biasa diyakini, digauli, digunakan,dan
dilakukannya. Hal ini penting! Sebagai contoh pada matematika,
“Mengapa 5 x 5 lebih besar daripada 4 x 4?”. Umumnya, orang
percaya begitu saja, bahkan mempercayainya apa yang dikatakan
orang lain, seperti guru, orang tua, dan kakaknya. Jawaban yang
sebenarnya adalah sebutan angka 5 lebih tinggi nilainya daripada 4.
Dengan catatan, angka berikutnya lebih tinggi daripada angka
sebelumnya. Filsafat mengatakan, “Ingatlah di balik matematika itu ada
suatu kesepakatan, jika kesepakatannya tidak demikian, belum tentu
5 x 5 lebih besar daripada 4 x 4.
Dalam hal ini, ilmu pengetahuan mengenal asumsi yang
disebut aksioma, yaitu anggapan dasar yang merupakan tumpuan atau

18
sumber dari awal kehidupan dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Wacana atau perbincangan filsafat melahirkan asumsi tersebut.. hal
tersebut disebut sebagai keyakinan filsafati (philosophical belief).
Asumsi tersebut jika terus-menerus di telaah ketepatannya, bukan
tidak mungkin akan mengalami perubahan, entah itu bertambah atau
berkurang, atau justru berubah. Akhirnya teori-teori baru dalam bidang
pengetahuan akan bermunculan, sehingga lahirlah istilah filsafat ilmu.
Filsafat ilmu berperan fundamental dalam melahirkan, memelihara,
dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
Masalah penting, ialah suatu pandangan filsafati tidak akan
hilang atau terganti oleh pandangan filsafat berikutnya, meskipun hal
tersebut bertujuan untuk mengoreksi pandangan filsafati sebelumnya.
Hal itu dapat terjadi karena pandangan atau pemikiran filsafati adalah
perbincangan rasional semata, tetapi mendalam dan melibatkan
seluruh jiwa raga atau eksistensinya. Kebenarannya, selain relatif juga
mendasar. Oleh karena itu, jika ada satu pendapat, kemudian di
koreksi oleh pendapat baru, bukan berarti yang satu hilang, lalu diganti
dengan yang lain, melainkan dua pandangan atau pendapat. Jika
kedua pendapat yang berbeda itu kita padukan akan melahirkan tiga
pandangan.
Selanjutnya, perubahan itu akan terus berkembang tidak henti-
hentinya sehingga pandangan dasar itu akan terus berubah dan
berkembang. Dengan demikian, ilmu pengetahuan yang didasarinya
akan berubah pula, khususnya dalam arti berkembang. Begitulah
filsafat, pada saat suatu keyakinan mengenai sesuatu ditetapkan,
pada saat itu pula diragukan. Pada saat kebenaran ditemukan,
muncullah keraguan atas kebenaran itu.
Perlu diperhatikan, bahwa selain asumsi atau aksioma, di
kenal pula istilah lain yang hampir serupa, yaitu postulat.
Perbedaannya adalah bahwa asumsi merupakan keyakinan filosofis
yang menjadi anggapan dasar ilmu yang diyakini kebenarannya dan

19
keyakinan itu tidak perlu dipermasalahkan lagi. Adapun postulat
merupakan keyakinan filsafati dan landasan ilmu pengetahuan yang
diakhir perbincangan atau penelitiannya dapat dibicarakan kembali
untuk di ubah.
Manfaat filsafat adalah didasarkan pada pengertian filsafat
sebagai suatu integrasi atau pengintegrasi sehingga dapat melakukan
fungsi integrasi ilmu pengetahuan. Sebagian besar orang hanya
menyangkutkan apa yang paling dekat dan apa yang paling
dibutuhkannya pada saat dan tempat tertentu. Alam raya, ilmu
pengetahuan, benda-benda hanya dipandangnya dari beberapa
bagian kecil yang penting, serta menurut waktu, tempat, dan keadaan
tertentu. Dengan demikian, pandangannya tentang segala sesuatu
adalah sempit dan eksklusif. Alam raya seolah-olah dibagi-bagi,
manusia seolah-olah dipotong-potong menjadi badan dan jiwa,
sedangkan jiwanya dibagi-bagi emosi, motivasi, inteligensi, dan lain-
lain. Masyarakat dikotak-kotakkan sehingga akan kehilangan arti
menyeluruh dan hakikinya.
Filsafat memandang segala sesuatu dalam suatu sistem
keseluruhan dan dalam segala aspeknya, sebagai akibat dari
pandangan dasar atau akarnya. Filsafat bermanfaat untuk
mengajarkan bagaimana berpikir kritis, atau dengan kata lain
berfilsafat merupakan kegiatan berpikir kritis.

H. BAGAIMANA MEMPELAJARI FILSAFAT

Berdasarkan pengertian filsafat tersebut, boleh jadi ada pihak


yang merasa asing dengan permasalahan ini, terutama di Indonesia.
Pada umumnya, sistem pendidikan di Indonesia menempatkan filsafat
sebagai bidang studi pada taraf pendidikan tinggi, itu pun hanya pada
disiplin ilmu tertentu. Boleh jadi, mereka menginginkan pemahaman
yang benar mengenai filsafat dan bertanya-tanya bagaimana caranya
mempelajari filsafat. Dengan pemahaman filsafat seperti itu, terutama

20
dengan mengaitkannya pada definisi, terdapat ciri khas, baik dalam
cara berpikir maupun masalah yang dipikirkannya. Hal ini jelas
berbeda dengan cara seseorang saat mempelajari ilmu berhitung atau
ilmu bumi yang sistematikanya sudah umum dan baku, yang telah
dipelajari sejak di sekolah dasar. Mengenai caranya, sebagian pihak
berpendapat, bahwa antara mempelajari filsafat dan ilmu
pengetahuan lain, pada dasarnya adalah sama.
Secara umum, Langeveld (1959) mengatakan apabila
seseorang ingin belajar berfilsafat, mulailah berfilsafat. Caranya,
mulailah memikirkan segala hal secara mendalam, yaitu janganlah
berpikir yang terbatas pada asumsi-asumsi, melainkan sampai pada
konsekuensi-konsekuensinya yang terakhir. Immanuel Kant
mengatakan, bahwa seseorang yang datang kepadanya bukanlah
untuk belajar filsafat, melainkan belajar berfilsafat.
Di pihak lain, Beerling (1959) dalam bukunya “Filsafat Dewasa
Ini” menyatakan, bahwa tidak semua manusia berfilsafat meskipun
berpikir. Namun, siapapun dapat berfilsafat asalkan memiliki minat dan
kecerdasan yang cukup. Jadi, untuk dapat berfilsafat atau mempelajari
filsafat, pada dasarnya dituntut minat dan kecerdasan yang cukup,
tidak berbeda dengan mempelajari masalah atau subject matter yang
lain. Untuk mampu menjadi seorang ahli biologi, siapapun harus
memiliki minat terhadap biologi itu sendiri dan kecerdasan pada bidang
tersebut. Dengan tegas dikatakan, bahwa untuk belajar filsafat tidak
hanya harus dipenuhi kemampuan berpikir yang memadai, tetapi minat
yang memadai pula. Minat yang memadai ini adalah minat pada
bidang kajian filsafat yang berbeda dengan jenis kajian ilmu
pengetahuan. Bidang kajian filsafat disebut dengan objek material
filsafat, yaitu hakikat segala sesuatu. Seseorang yang mempelajari
kajian tertentu disebut dengan objek formal, sebagai refleksi dan
kontemplasi. Jadi, objek material filsafat adalah segala hal, sedangkan
objek formalnya adalah cara berpikirnya.

21
Kecerdasan dan pendalaman minat akan mengantarkan
seseorang pada pemahaman filsafat yang lebih besar, seperti
pemahaman yang lebih banyak dan mendalam terhadap biologi dan
ilmu pengetahuan lainnya. Sebagai tambahan, apabila kita telah biasa
mempelajari ilmu pengetahuan secara konvensional, lalu kita bertindak
dari asumsi tersebut, untuk mempelajari filsafat, kita harus tertarik
memperbincangkan asumsi tersebut. Sebagai contoh, karya ilmiah
untuk mahasiswa tingkat tinggi di sebut S-3 dengan gelar Ph.D.
mahasiswa tersebut disyaratkan menemukan proporsi-proporsi baru
yang tidak lain dari asumsi-asumsi baru, kemudian diperluas menjadi
teori baru. Orang yang sedang mempelajari filsafat, hendaknya tidak
berhenti sampai pada asumsi, tetapi melampauinya sampai pada
konsekuensi-konsekuensi yang terakhir.
Dalam perbincanagn ini terdapat hal penting, yaitu mengenai
metode yang digunakan dalam filsafat yang secara prinsipil berbeda
dibandingkan dengan metode belajar ilmu lain. Inti dari metode
berfilsafat adalah refleksi. Berfilsafat adalah berefleksi dan
berkontemplasi. Artinya, orang tersebut tidak memikirkan mengenai
apa yang secara konkrit ada dihadapannya secara langsung, tetapi
memikirkan apa yang mendasarinya. Misalnya ketika seseorang
melihat gunung yang indah melalui kaca jendela, ia mempertanyakan
apa itu indah, mengapa saya menyebut gejala itu indah dan tidak
indah, dan terhadap pemandangan seperti itu mengapa kita tidak
menggunakan atau mempertanyakan mahal dan murahnya.
Dikatakan seseorang, bahwa tekanan dalam berfilsafat
dletakkan pada persoalan dan pertanyaan, bukan pada
jawabannya. Berfilsafat juga mempertanyakan pertanyaan. Dalam
memastikan kebenaran, filsafat mempercayakan pada rasio dan akal
budi. Filsafat merupakan kegiatan rasional yang tidak memerlukan
bukti empiris.

22
Berikut ini meupakan perbincangan filsafat secara umum dan singkat :
 Ilmu pengetahuan di peroleh melalui metode ilmiah dengan
membandingkan atau menguji hipotesis dari perbincangan teoritis
(rasional) oleh hasil penelitian di lapangan (empiris).
 Religi diperoleh melalui wahyu Tuhan, di ajarkan para nabi
dan rasul Allah, misalnya dalam agama Islam kebenaran itu di
dapat dari firman Allah Swt., yaitu dalam Alquran dan Hadis.
 Estetika atau keindahan di dapat dari penghayatan melalui
perasaan senang atau tidak, nyaman atau tidak, ketika kita
menghadapi suatu objek. Istilah harmonis menjadi pegangan
utama, meskipun kita juga memasukkan istilah enharmonis
didalamnya.
 Kebenaran filsafati di peroleh dari refleksi atau perenungan
atas suatu masalah, semata-mata dengan rasio secara radikal,
sehingga ditemukan suatu jawaban atau lebih berupa hakikat (the
nature). Perlu di ingat, bahwa dalam mempersoalkan asumsi,
perbincangan filsafati tidak akan berhenti sampai ujungnya. Oleh
karena itu, asumsi-asumsi akan senantiasa berkembang dan
menjadi dasar dari perkembangan ilmu.
Dalam mempelajari filsafat, kita memerlukan penjelasan operasional
mengenai cara mempelajari atau memahami filsafat ini. Metode yang
lazim digunakan ada dua, yaitu metode sistematis dan metode
historis.
1. Metode Sistematis
Metode sistematis adalah cara mempelajari filsafat
mengenai materi atau masalah-masalah yang dibicarakannya..
sistematis disini artinya adanya susunan dan urutan (hirarki), juga
kaitan suatu masalah dengan materi atau masalah lain yang
terdapat dalam filsafat. Lantas, apa yang di maksud dengan materi
atau permasalahan dalam filsafat dan bagaimana susunan dan
hubungan satu masalah dengan masalah lain terjadi? Hal ini

23
merupakan bahasan dalam metode ini. Setiap ahli di bidang ini
dapat saja mengajukan pendapatnya mengenai materi atau
masalah apa saja yang dibicarakan dalam filsafat.
Langeveld (1959) mengajukan tiga masalah pokok dalam
filsafat yang melahirkan jenis-jenis filsafat, disebut dengan
problematika filsafat. Ketiga masalah tersebut antara lain:
a. Masalah mengenal dan mengetahui atau cognitio.
b. Masalah segala sesuatu atau metafisika, yaitu metafisika
umum atau ontologi dan metafisika khusus.
c. Masalah penilaian, nilai, dan aksiologi.
Dalam pembicaraan sitematis ini terjadi perbandingan
pengertian dan masalah tertentu, misalnya masalah logika antara
seorang pemikir dan pemikir lain. Bahkan, perbandingan antar
waktu, seperti metafisika pada masa Yunani kuno dengan abad
pertengahan dan pendapat Gabrel Marcel pada zaman modern.
Sebagai bahan perbandingan, sistematika filsafat ini sudah
ada sejak masa Yunani kuno, yang terkenal adalah sistematika
Aristoteles. Sistematika ini di anggap sebagai sistematika pertama
dalam filsafat, meskipun sebelumnya, guru Aristoteles, Plato telah
mengemukakan tiga cabang filsafat, yaitu dialektika, yang
mempersoalkan gagasan atau pengertian umum, fisika yang
mempersoalkan dunia materi, dan etika yang mempersoalkan baik
serta buruk. Menurut Aristoteles, pembagian atau klasifikasi filsafat
adalah logika yang di anggap sebagai pendahulu filsafat. Adapun
klasifikasi filsafatnya, yaitu filsafat teoritis membicarakan fisika,
matematika, dan metafisika; filsafat fisika praktis membicarakan
etika, ekonomi, dan politik; serta filsafat poetika (kesenian).

2. Metode Historis
Metode historis adalah cara memepelajari filsafat
berdasarkan urutan waktu, perkembangan pemikiran filsafat yang

24
telah terjadi, sejak kelahirannya sampai saat ini, sepanjang dapat di
catat dan memenuhi syarat-syarat pencatatan serta penulisan
sejarah. Dalam pencatatan sejarah ini terdapat periodisasi
perkembangan pemikiran mengenai berbagai masalah yang bisa
saja berbeda untuk setiap ahli, karena memiliki bahan
pertimbangan dan asumsi masing-masing. Menurut Berteens
(1976), sejarah perkembangan filsafat dibagi dalam empat tahap,
yaitu :
 Zaman Yunani kuno, dari abad ke-6 SM sampai dengan 200
M.
 Zaman Patristik dan Pertengahan, dari 200 – 2500 M.
 Zaman Modern, dari 1500 – 1800 M.
 Zaman Baru, sejak 1800 M.
Angka-angka tersebut tidak dapat dijadikan sebagai
pegangan secara pasti, karena sejarah perkembangan pemikiran
tidak memiliki batas waktu yang definitiv, seperti kenaikan pangkat
atau kejadian berwujud. Tahun-tahun tersebut hanya berupa
perkiraan. Daerah abu-abu yang menjadi perantara suatu masa
dengan masa lainnya merupakan hal yang biasa sehingga kita
menyebut seseorang tokoh cenderung pada masa sebelumnya.
Adapun tokoh lain yang hidup pada masa sesudahnya, cenderung
tidak mengalami banyak perbedaan. Contoh kerelativan yang
sangat kuat adalah masa yang kemudian dikenal sebagai pasca-
modern, yaitu kira-kira setelah 1950. Akan tetapi, ada pihak yang
dibangun dari kemampuan nalar para filosof. Hal ini merupakan
sesuatu yang wajar apabila pada beberapa abad yang lalu terdapat
suatu pemikiran yang hingga saat ini masih ada pengikutnya atau
bahkan bangkit kembali sebagai filsafat lama dengan “nafas baru”.
Beberapa pemikir masa kini mendasarkan pemikirannya
pada Socrates, Plato, dan Aristoteles yang hidup pada hampir 26
abad yang lalu. Pemikiran Immanuel Kant atau Husserl banyak

25
dijadikan acuan pemikir pada abad dua puluhan, tentu saja masuk
akal dan di nilai wajar.
Dalam sejarah perkembangan filsafat, Salomon dan
Higgins membaginya empat periode, antara lain :
a. Zaman Filsafat Kuno, kurang lebih sama dengan filsafat
Yunani Kuno sampai dengan stoisisme, skeptisisme, dan
epikureanisme.
b. Zaman Religius dan Abad Pertengahan sampai dengan
Renaisans.
c. Zaman Filsafat Modern dan Pencerahan sampai dengan
Feuerbach, Kierkegaard, Darwin, dan Nietzsche.
d. Zaman Filsafat Abad XX, modernisme, dan pasca-
modernisme.

Dari kedua ahli tersebut di atas dapat disimpulkan adanya


lima zaman dalam sejarah perkembangan filsafat, yaitu :
a. Zaman Yunani Kuno, tahun 600-an SM sampai dengan
tahun 200 M.
b. Zaman Patristik dan Pertengahan, tahun 200-an M sampai
dengan 1500-an M.
c. Zaman Modern, tahun 1500-an M sampai dengan tahun
1800-an M.
d. Zaman Baru, tahun 1800-an M sampai dengan 1950-an M,
dan
e. Pasca-modern, tahun 1950-an M sampai dengan saat ini.
Mengenai pasca-modern, sebagian orang berpendapat,
bahwa mazhab itu tidak cukup pantas untuk dijadikan periode
waktu tersendiri. Di Indonesia, pasca-modern merupakan salah
satu periode dalam sejarah perkembangan filsafat yang masih
perlu dipertimbangkan. Pasca-modern sebanding dengan
eksistensialisme yang hadir pada tahun 1950-an di Indonesia.

26
Alasan penolakan pasca-modern saat itu adalah bahwa apa yang
menjadi tema dan topik eksistensialisme sama sekali tidak
bersentuhan dengan masalah nyata masyarakat Indonesia saat itu.
Ada satu hal yang perlu diperhatikan dalam sejarah filsafat,
bahwa abad ke-6 SM dianggap merupakan awal dari sejarah
filsafat. Seperti kita ketahui, bahwa manusia mulai mendiami dunia
pada tahun 60.000 SM atau pada abad ke-600 SM. Manusia
“datang” ke bumi dengan berbekal akal dan pikiran. Jadi, dapat
dikatakan, bahwa filsafat sudah ada sejak abad ke-600 SM. Akan
tetapi, sistem pencatatan yang terjadi antara 60.000 SM sampai
dengan 600 SM tidak dianggap memenuhi syarat penulisan
sejarah. Dengan perkataan lain, periode tersebut merupakan
periode pra-sejarah filsafat. Dapat pula dikatakan, bahwa pada 600
SM terdapat pola pikir dan paradigma baru dalam berpikir yang
terjadi secara global atau lebih tepat mondial. Alasannya adalah
bahwa di seluruh daerah sumber filsafat yang di kenal dalam dunia
akademis pada abad ke-6 SM itulah, filsafat mulai dikenal. Daerah
sumber yang di maksud adalah Yunani (Thales), India (Wedda),
Asia Tenggara (Sidharta Gautama), dan Cina (Kong Hu Tzu).

3. Metode-metode Lain
Selain kedua metode tersebut, dalam mempelajari filsafat
terdapat metode lain, tetapi tidak populer dan tidak umum
digunakan. Metode lain yang di maksud diantaranya metode
ikhtisar (ikhtisar = sari, singkatan) yang secara ringkas
mengemukakan inti dari berbagai aliran atau masalah filsafat yang
pernah berkembang, baik secara berurutan menurut waktu
maupun tidak. Hal yang di ikhtisarkan adalah bagian-bagian
permasalahan filsafat seperti yang dibicarakan dalam sistematika
filsafat.

27
Kritik terhadap metode ini adalah bahwa metode ikhtisar ini
tidak dapat menggambarkan situasi filsafat pada setiap waktu yang
dimaksud. Keadaannya sama dengan ikhtisar atau inti sari yang
terdapat dalam buku-buku sastra yang isi lengkapnya diperkirakan
tidak akan semppat dibaca oleh para siswa. Orang yang
mempelajari sastra dari inti sari cerita buku sastra berbeda dengan
orang yang membaca sendiri buku yang sebenarnya. Orang yang
mempelajari buku sastra dari inti sarinya akan memandang sastra
secara rasional. Adapun mereka yang membaca sendiri buku
sastra mampu menghayati keseluruhan nilai sastra tersebut, seperti
yang terdapat dalam kata demi kata, sehingga metode membaca
cepat pun tidak dianjurkan.
Sebagai jalan pembuka bagi orang yang memasuki dunia
filsafat secara lebih mendalam, mempelajari filsafat dari inti sari
atau ikhtisarnya, sedikit banyak ada manfaatnya. Terlebih lagi
filsafat berbeda dengan sastra, yaitu menekankan segi rasionalnya.
Dikenal pula istilah metode wilayah sumber filsafat, yaitu
mempelajari filsafat berdasarkan perkembangan di wilayah-wilayah
yang di kenal sebagai sumber filsafat, misalnya Yunani dengan
tokoh pertamanya Thales. Secara umum, metode tersebut
membicarakan alam dan kosmos, sedangkan secara khusus,
metode tersebut menyangkut hubungan subjek dan objek, misalnya
India dengan tokoh pertamanya Wedda. Pada metode tersebut
Wedda membicarakan alam, terutama hubungan makhluk dengan
Tuhan-nya. Di Asia Tenggara, metode tersebut lebih membicarakan
keseimbangan hidup dalam mengabdi kepada Tuhan, sedangkan di
Cina dengan tokoh utamanya Kong Hu Tzu dan Jepang, metode
ini banyak diwarnai oleh masalah-masalah hubungan sosial.
Dalam mempelajari filsafat, kerap terjadi kelemahan atau
kesalahan, seperti membanding-bandingkan filsafat di suatu daerah
dengan daerah lain dan membuat evaluasi mana yang lebih tinggi

28
dari pada yang lain. Dengan demikian, seseorang yang
mempelajari filsafat dengan metode ini akan berhadapan dengan
dua perbedaan, yaitu perbedaan horizontal dan vertikal. Perbedaan
horizontal lebih bermakna abstrak (yang ini bukan, yang itu juga
bukan), sedangkan perbedaan vertikal lebih bermakna
perbandingan (yang ini lebih tinggi dari pada yang itu).
Dalam mempelajari filsafat, kita dapat memilih mana yang
lebih dahulu atau memilih satu diantara yang lain, meskipun
seharusnya meliputi seluruh jenis filsafat. Metode yang paling
banyak di anut orang adalah metode sistematika filsafat (metode
sistematis), kemudian metode sejarah filsafat (metode historis).
Mengapa cara ini dipilih? Pada umumnya, orang telah terbiasa
mempelajari ilmu pengetahuan secara konvensional, lazimnya di
awali dengan pengenalan mengenai apa yang akan dipelajarinya,
setelah itu masalah dan hal-hal lainnya. Misalnya, dalam
mempelajari filsafat sejarah, di mulai dengan apa yang disebut
dengan ilmu sejarah; dalam mempelajari geografi, dimulai dengan
apa yang di sebut dengan ilmu bumi; begitu pula dalam
mempelajari batu-batuan, di mulai dengan mempertanyakan apa
yang disebut (ilmu) batu-batuan. Dengan perkataan lain, kita dapat
memulainya dalam bentuk pertanyaan mengenai pengertian atau
definisinya. Selanjutnya, kita dapat melakukan perbandingan
terhadap suatu hal di suatu tempat dengan di tempat lainnya.
Sebagian pihak berpendapat sebaliknya, bahwa metode
yang terlebih dahulu di pelajari adalah metode sejarah filsafat,
kemudian metode sistematika filsafat. Tujuannya agar siswa dapat
mengenal perkembangan filsafat secara menyeluruh terlebih
dahulu. Ada pula pihak yang menganjurkan mempelajari ikhtisar
filsafat terlebih dahulu, tujuannya agar lebih mudah dalam
mempelajarinya. Jadi, mereka yang tidak akan menjadi filosof atau
ahli filsafat, cukup mengenalnya saja. Sebagian pihak ada pula

29
yang menganjurkan, bahwa pemahaman terhadap sumber filsafat
adalah hal yang harus dipelajari terlebih dahulu, karena erat
kaitannya dengan kultur masyarakat.
Hampir dapat dipastikan, bahwa dalam mempelajari
metode filsafat terdapat kekuatan dan kelemahan masing-masing.
Pada dasarnya, kita bebas memilih dan menentukan, mana yang
secara metodis lebih menguntungkan atau lebih memberi
kemudahan kepada pihak pengajar, terutama bagi siswa. Terhadap
kekuatan dan kelemahannya, sikap kita adalah bagaimana
memanfaatkan kekuatannya serta mewaspadai, menghindari, atau
mengurangi efek buruk kelemahannya.

I. FILSAFAT SEBAGAI ILMU PENGETAHUAN

Apakah filsafat itu ilmu pengetehuan atau bukan merupakan


bahasan penting dalam epistemologi ataupun pengantar filsafat secara
umum. Pada bagian ini perlu sedikit tambahan penjelasan berkenaan
dengan segi wawasan awalnya. Filsafat dan ilmu pengetahuan jelas
berbeda, karena filsafat membuat asumsi, sedangkan ilmu
pengetahuan di bangun atas dasar asumsi tersebut.
Permasalahannya, “Adakah peluang filsafat dipelajari sebagai ilmu
pengetahuan?”.
Dalam hal ini, ilmu pengethuan mutlak dibuktikan dalam
sebuah eksperimen. Realitas yang demikian kaya-raya akan menuntut
berbagai metode dalam kelahiran dan pengembangannya. Merupakan
hal yang wajar apabila ilmu pengetahuan di bangun oleh eksperimen,
tetapi tidak akan dapat menyentuh realitas yang asasi, yang disebut
sebagai hakikat. Dengan demikian, ilmu pengetahuan berusaha untuk
menjawab berbagai realitas yang ada. Oleh karena itu, diperlukan
kebebasan untuk menggunakan metode-metodenya.
Filsafat sebagai suatu wacana memiliki peluang untuk
diketahui. Untuk sementara waktu, filsafat di pandang sebagai bahan

30
pembelajaran yang cukup memenuhi. Filsafat sebagai sejumlah bahan
yang menjadi objek penelaahan tersusun dengan rapi. Tinggal lagi
masalah objektivitas filsafat sebagai ilmu pengetahuan. Objektif adalah
tidak bergantung pada subjek, tetapi pada objek atau sesuai dengan
objeknya. Sebagai contoh, apabila seseorang menyatakan bahwa
“barang itu berat”, itulah yang di sebut subjektif, sedangkan jika barang
itu di sebut “100 Kg”, pernyataan itu di sebut objektif. Artinya, nilai
objektif filsafat terdapat pada ciri-ciri tertentu yang ditampilkannya, dan
karenanya dapat diamati orang. Pengamatan ini tidak dilakukan oleh
kelima indra kita, tetapi dikenali oleh pikiran. Hal ini sebenarnya telah
dipenuhi oleh lima cirri utama filsafat seperti telah dikemukakan
sebelumnya.
Dapatlah disimpulkan, bahwa ada dua pengertian filsafat,
yaitu filsafat sebagai suatu kegiatan yang berada diluar ilmu
pengetahuan sebagaimana dipisahkan pada masa Renaisans yang
merupakan refleksi untuk mencapai suatu hakikat, dan filsafat sebagai
sejumlah pikiran tersusun mengenai berbagai hal. Pengertian filsafat
yang kedua ini telah menempatkan filsafat sebagai ilmu pengetahuan.

Sumber :

1. Pengantar Filsafat, Pfof. Dr.Sutarjo A. Wiramihardja, Psi. Refika


Aditama, 2006.
2. Filsafat Ilmu Pengetahuan, Telaah Analitis, Dinamis, dan Dialektis.
Mikael Dua, Maumere : Penerbit Ledareo, 2007.

31
TUGAS MATA KULIAH FILSAFAT

PENGANTAR FILSAFAT

SONI HENDRA SITINDAON


( 2007 – 12 – 034 )

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SINT CAROLUS


PROGRAM S 1 KEPERAWATAN JALUR B

32
JAKARTA, 2007
DAFTAR ISI

Halaman:
PENGANTAR FILSAFAT………………………………………………... 1
A.Pandangan Awam Tentang Filsafat………………………………1
B.Pengertian Dasar Filsafat………………………………………….3
C.Arti, Pengertian, dan Definisi Filsafat……………………………..
5
D.Keheranan Sebagai Awal Berfilsafat………………………………
9
E. Permasalahan……………………………………………………….
12
F. Kebenaran Filsafati…………………………………………………15
G.Manfaat Filsafat……………………………………………………..17
H.Bagaimana Mempelajari Filsafat………………………………….20
I. Filsafat Sebagai Ilmu Pengetahuan……………………………….
30

33

Anda mungkin juga menyukai