Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Tonsilitis kronis pada anak hampir selalu terjadi bersamaan dengan hipertrofi
adenoid. Hal tersebut dikarenakan adenoid dan tonsil merupakan jaringan limfoid
yang saling berhubungan membentuk suatu cincin Waldeyer Tonsilitis adalah
peradangan pada tonsil palatina atau yang umumnya dikenal dengan istilah radang
amandel. Tonsil palatina adalah salah satu dari cincin waldeyer. Tonsil berperan
dalam sistem kekebalan tubuh yang berguna untuk menjaring bakteri dan virus yang
masuk ke tubuh melalui mulut dan sinus. Tonsil juga menstimulasi sistem imun untuk
memproduksi antibodi.1
Hipertrofi adenoid merupakan pembesaran pada adenoid akibat terjadinya
infeksi saluran pernafasan atas. Adenoid juga berperan dalam sistem kekebalan tubuh
yang berperan melawan virus dan bakteri dan akan membentuk antibodi.2
Adenotonsilitis kronis adalah infeksi menetap atau berulang dari tonsil dan
adenoid. Adenotonsilitis dapat disebabkan oleh bakteri dan virus. Penyebab tersering
dari adenotonsilitis adalah bakteri Streptokokus beta hemolitikus grup A.3
Adenotonsilitis masih menjadi masalah kesehatan di dunia terutuma sering
terjadi pada kelompok umur 5 – 10 tahun. Berdasarkan epidemiologi penyakit THT di
7 provinsi Indonesia, prevalensi tonsilitis kronik 36 kasus/1000 anak sebsar 3,8%
tertinggi kedua setelah nasofaringitis akut (4,6%). Insiden tonsilitis kronik di
Semarang 23,36% dan 47% diantaranya pada usia 6-15 tahun. Dari data medical
record tahun 2010 menyebutkan di RSUP dr. M. Djamil Padang bagian THT-KL
terdapat 465 dari 1110 kunjungan pasien yang mengalami tonsilitis. Penelitian yang
dilakukan di RSUP Sanglah tahun 2013, pasien tonsilitis yang sudah menjalani
tonsilektomi tertinggi yakni pada usia 5 – 11 tahun yaitu sebesar 40,74%. Sebagian
besar anak mengalami tonsilitis kronis karena perilaku pola makan mengkonsumsi
makanan seperti gorengan dan minuman dingin seperti es, kebiasaan mengkonsumsi
makanan dan minuman yang dijual dimana kebersihannya kurang terjamin, dan
kurangnya pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut.4,5,6

1
Gejala yang sering muncul pada adenotonsilitis adalah sakit menelan, hidung
tersumbat, tidur sering mendengkur karena nafas lewat mulut, sleep apnea symptoms,
adenoid face dan maloklusi. Pada pasien adenotonsilitis kronis pemeriksaan yang
dilakukan harus fokus ke tonsil dan adenoid. Pada pemeriksaan tonsil dapat kita dapat
melihat berbenjol-benjol, kripte melebar, dan disertai detritus. Sementara untuk
adenoid pemeriksaan dapat dilakukan dengan rinoskopi anterior dan posterior serta
pemeriksaan penunjang. 7,8
Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk mengetahui lebih banyak
mengenai adenotonsilitis kronis.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI
2.1.1 Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid yang terletak di fosa tonsil
pada kedua sudut orofaring, diliputi epitel skuamosa dan ditunjang oleh jaringan ikat
dengan kriptus didalamnya. Berdasarkan lokasinya, tonsil dibagi menjadi :2
1. Tonsil lingualis, terletak pada radiks linguae.
2. Tonsil palatina (tonsil) terletak pada isthmus faucium antara arcus
glossopalatinus dan arcus glossopharingicus.
3. Tonsil pharyngeal (adenoid) terletak pada dinding dorsal dari nasofaring.
4. Tonsil tubaria, terletak pada bagian lateral nasofaring di sekitar ostium tuba
auditiva.

Gambar 1. Tonsil
Adenoid bersama tonsil palatina dan tonsil lingual membentuk cincin jaringan
limfe pada pintu masuk saluran nafas dan saluran pencernaan yang dikenal sebagai
cincin Waldeyer. Bagian-bagian lain cincin ini dibentuk oleh tonsil lidah dan jaringan
limfe di mulut tuba eustachius. Seperti halnya jaringan-jaringan limfe yang lain,
jaringan limfe pada cincin Waldeyer menjadi hipertrofi pada masa kanak-kanak dan
menjadi atrofi pada masa pubertas. Kumpulan jaringan ini berfungsi sebagai suatu

3
kesatuan, sehingga pengangkatan suatu bagian dari jaringan tersebut ketika fase aktif
dapat menyebabkan hipertrofi sisa jaringan. Ukuran adenoid kecil pada waktu lahir,
pada masa anak-anak akan mengalami hipertrofi fisiologis, yang biasanya terjadi pada
umur 3 tahun. Dikarenakan adenoid membesar, sehingga terbentuk pernafasan
melalui mulut. Setelah usia 5 tahun, adenoid akan mulai mengalami atrofi dan
menghilang keseluruhannya pada masa pubertas.2
Tonsil terletak di lateral orofaring dan dibatasi oleh:
a. Lateral : m. konstriktor faring superior
b. Anterior : m. palatoglosus
c. Posterior : m. palatofaringeus
d. Superior : Palatum mole
e. Inferior : Tonsil lingual
Fossa tonsilaris di bagian depan dibatasi oleh pilar anterior (arkus palatina
anterior), sedangkan di bagian belakang dibatasi oleh pilar posterior (arkus palatina
posterior), yang kemudian bersatu di pole atas dan selanjutnya bersama-sama dengan
m. palatina membentuk palatum molle. Bagian atas fossa tonsilaris kosong dinamakan
fossa supratonsilar yang merupakan jaringan ikat longgar.Permukaan lateral tonsil
ditutupi oleh kapsula fibrosa yang kuat dan berhubungan dengan fascia
faringobasilaris yang melapisi M. konstriktor faringeus. Kapsul tonsil tersebut masuk
ke dalam jaringan tonsil, membentuk septa yang mengandung pembuluh darah dan
saraf tonsil.2
Kutub bawah tonsil melekat pada lipatan mukosa yang disebut plica
triangularis, dimana pada bagian bawahnya terdapat folikel yang kadang-kadang
membesar. Plika ini penting karena sikatrik yang terbentuk setelah proses
tonsilektomi dapat menarik folikel tersebut ke dalam fossa tonsilaris, sehingga dapat
dikelirukan sebagai sisa tonsil.Pole atas tonsil terletak pada cekungan yang berbentuk
bulan sabit, disebut sebagai plika semilunaris. Pada plika ini terdapat massa kecil
lunak, letaknya dekat dengan ruang supratonsil dan disebut glandula salivaris mukosa
dari Weber, yang berperan dalam pembentukan abses peritonsil. Pada saat
tonsilektomi, jaringan areolar yang lunak antara tonsil dengan fosa tonsilaris mudah
dipisahkan.2
Tonsil lingualis adalah kumpulan jaringan limfoid yang tidak berkapsul dan
terdapat pada basis lidah diantara kedua tonsil palatina dan meluas ke arah
anteroposterior dari papilla sirkumvalata ke epiglotis. Jaringan limfoid ini menyebar

4
ke arah lateral dan ukurannya mengecil. Dipisahkan dari otot-otot lidah oleh suatu
lapisan jaringan fibrosa. Jumlahnya antara 30-100 buah. Pada permukaannya terdapat
kripta yang dangkal dengan jumlah yang sedikit. Sel-sel limfoid ini sering mengalami
degenerasi disertai deskuamasi sel-sel epitel dan bakteriyang akhirnya membentuk
detritus. Tonsil lingualis mendapat perdarahan dari a. lingualis yang merupakan
cabang dari a. karotis eksterna. Darah vena dialirkan sepanjang v. lingualis ke v.
jugularis interna. Aliran limfe menuju ke kelenjar servikalis profunda. Persarafannya
melalui cabang lingual n. IX.2
Tonsil palatina terletak di bagian samping belakang orofaring, berjumlah
sepasang yang terletak pada masing-masing terletak pada tiap sisi orofaring. Tonsil
palatina berbentuk oval dengan ukuran dewasa panjang 20-25 mm, lebar15-20 mm,
tebal 15 mm, dan berat sekitar 1,5 gram. Berat tonsil pada laki-laki berkurang dengan
bertambahnya umur, sedangkan pada wanita berat bertambah saat massa pubertas dan
berkurang setelahnya. Tonsil palatina memiliki struktur dasar massa limfoid ditunjang
oleh jaringan penyokong dan memiliki sistem kripte kompleks. Kripte pada tonsil ini
berjumlah sekitar 10-30 kripte memanjang dari dalam tonsil sampai ke kapsul
permukaan luar. Epitel kripte tonsil merupakan lapisan membran tipis bersifat
semipermiabel.2
Vaskularisasi tonsil berasal dari arteri karotis eksterna yang bercabang
menjadi arteri palatina ascendens, arteri lingualis, arteri palatina descenden, dan arteri
pharyngea ascendens. Aliran darah balik tonsil yaitu vena palatina eksterna yang
berjalan ke bawah dari pallatum mole dan lewat dekat pada permukaan lateral tonsil
palatina dan nantinya bermuara ke dalam plexus pharingealis. Inervasi tonsil bagian
atas mendapat sensasi dari beberapa cabang nervus palatina serabut saraf kelima
melalui ganglion sfenopalatina dan bagian bawah dari nervus glossfaringeus.2
Secara miksroskopik tonsil memiliki tiga komponen, yaitu jaringan ikat,
jaringan interfolikuler dan jaringan germativum. Jaringan ikat trabekula atau
retikulum memiliki fungsi sebagai penyokong tonsil. Trabekula merupakan perluasan
kapsul tonsil ke parenkim tonsil yang mengandung pembuluh darah, saraf dan
limfetik eferen. Jaringan germinativum terletak dibagian tengah jaringan tonsil,
sebagai sel induk kelompok leukosit yang membentuk sel-sel limfoid. Jaringan
interfolikuler terdiri dari jaringan limfoid dalam berbagai tingkat pertumbuhan.2

5
2.1.2 Adenoid
Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan
limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil palatina. Lobus atau segmen
tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah celah atau kantong
diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian
tengah yang dikenal sebagai bursa faringeus.2
Adenoid terletak pada dinding atas nasofaring bagian belakang. Jaringan
adenoid di nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun
dapat meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Pada masa pubertas
adenoid ini akan menghilang atau mengecil sehingga jarang dijumpai pada orang
dewasa. Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya
adenoid akan berukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami
regresi. Adenoid mendapat darah dari cabang-cabang faringeal arteri karotis interna
dan sebagian kecil dari cabang-cabang palatina arteri maksilaris. Darah vena dialirkan
sepanjang pleksus faringeus ke dalam vena jugularis interna. Sedangkan persarafan
sensoris melalui nervus. nasofaringeal yaitu cabang dari saraf otak ke IX dan juga
melalui nervus vagus.2

2.2 Definisi
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari
cincin Waldeyer. Hipertrofi adenoid merupakan pembesaran pada tonsil pharyngeum
(adenoid) akibat terjadinya infeksi saluran nafas atas secara terus menerus.
Adenotonsilitis kronis merupakan infeksi menetap atau berulang dari tonsil palatina
dan adenoid.3

2.3 Epidemiologi
Data epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit tonsilitis kronis di Amerika
merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak usia 5 – 10 tahun dan dewasa muda
usia 15 – 25 tahun. Berdasarkan epidemiologi penyakit THT di 7 provinsi Indonesia,
prevalensi tonsilitis kronik 36 kasus/1000 anak sebsar 3,8% tertinggi kedua setelah
nasofaringitis akut (4,6%). Insiden tonsilitis kronik di Semarang 23,36% dan 47%
diantaranya pada usia 6-15 tahun.4
Dari data medical record tahun 2010 menyebutkan di RSUP dr. M. Djamil
Padang bagian THT-KL terdapat 465 dari 1110 kunjungan pasien yang mengalami

6
tonsilitis dan sebanyak 163 sudah menjalani tonsilektomi. Pada penelitian yang
dilakukan di RSUP Sanglah tahun 2013, pasien tonsilitis yang sudah menjalani
tonsilektomi tertinggi yakni pada usia 5 – 11 tahun yaitu berjumlah 11 orang
(40,74%) dari 27 sampel penelitian. 5
Sebagian besar anak mengalami tonsilitis kronis karena perilaku pola makan
mengkonsumsi makanan seperti gorengan dan minuman dingin seperti es, kebiasaan
mengkonsumsi makanan dan minuman yang dijual dimana kebersihannya kurang
terjamin, dan kurangnya pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut. Tonsilitis kronik
pada anak hampir selalu terjadi bersama adenoiditis kronik, karena adenoid dan tonsil
merupakan jaringan adenoid yang berhubungan membentuk suatu cincin yang disebut
dengan cincin waldeyer. Adenotonsilitis kronik cukup sering terjadi, terutama pada
kelompok usia anak 5 – 10 tahun.6

2.4 Etiologi
Adenotonsilitis disebabkan oleh bakteri Streptokokus beta hemolitikus grup A,
Streptokokus viridian dan Streptokokus piogenes. Adenotonsilitis dapat juga
disebabkan oleh Epstein Barr Virus. Tonsillitis yang disebabkan oleh virus tersebut
biasanya disebut tonsillitis mononuleus infeksiosa, Haemofilus influenza virus
menyebabkan terjadinya tonsillitis supuratif dan dapat juga disebabkan oleh virus
coxachie yang pada pemeriksaan dapat ditemukan adanya luka-luka kecil pada
palatum mole serta tonsil terasa sangat nyeri.7,8

2.5 Klasifikasi Tonsilitis


Tonsillitis dapat dibagi menjadi tiga yaitu tonsillitis akut seperti tonsillitis viral dan
tonsillitis bakterial, tonsillitis membranosa serta tonsillitis kronis. 9
1. Tonsillitis akut
a. Tonsilitis viral
Gejala tonsillitis viral lebih menyerupai common cold yang disertai rasa
nyeri tenggorok. Penyebab tersering adalah virus Epstein Barr.
b. Tonsillitis bakterial
Radang akut pada tonsil dapat disebabkan kuman grup A Streptokokus β
hemolitikus yang dikenal sebagai strept throat, pneumokokus, Streptokokus
viridan dan Streptokokus piogenes. Bakteri yang menginfiltrasi lapisan epitel
jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit

7
polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Detritus merupakan kumpulan
leukosit, bakteri yang mati dan epitel yang terlepas. Secara klinis detritus
mengisi kriptus tonsil dan tampak bercak kuning.
2. Tonsillitis membranosa.
a. Tonsillitis difteri
Tonsillitis difteri merupakan tonsillitis yang disebabkan oleh kuman Coryne
bacterium diphteriae. Penyakit ini sering ditemukan pada anak berusia kurang
dari 10 tahun namun frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun.
b. Tonsillitis septik
Tonsillitis yang disebabkan karena Streptokokus hemolitikus yang terdapat
dalam susu sapi.
c. Angina Plaut Vincent (stomatitis ulsero membranosa)
Bakteri spirochaeta atau triponema yang merupakan penyebab penyakit ini,
biasanya didapatkan pada penderita dengan hygiene mulut yang kurang dan
defisiensi vitamin C.
d. Penyakit kelainan darah
Tidak jarang tanda pertama leukemia akut, angina agranulositosis dan infeksi
mononucleosis timbul di faring atau tonsil yang tertutup membran semu.
Kadang terdapat perdarahan di selaput lendir mulut dan faring serta
pembesaran kelenjar submandibula.
3. Tonsillitis kronik.
Tonsillitis kronik timbul karena rangsangan menahun dari rokok, beberapa
jenis makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan
pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat. Pada pemeriksaan tampak tonsil
membesar dengan permukaan yang tidak rata, kripte melebar dan beberapa kripte terisi
oleh detritus. Gejala lain yang sering dikeluhkan dapat berupa rasa mengganjal di
tenggorok, terasa kering di tenggorok dan napas berbau.

2.6 Patofisiologi
Tonsil berfungsi sebagai filter terhadap bakteri ataupun virus yang masuk dan
membentuk antibodi terhadap infeksi. Virus atau bakteri dapat masuk ke dalam tubuh
melalui hidung atau mulut sehingga kuman menginfiltrasi lapisan epitel dan jaringan
limfoid superfisial mengadakan reaksi radang yakni keluarnya leukosit
polimorfonuklear. Proses ini akan membentuk detritus yang secara klinis tampak

8
bercak kuning pada korpus tonsil. Detritus merupakan leukosit, bakteri mati, dan
epitel yang terlepas. Apabila tonsilitis akut dengan detritus jelas disebut tonsilitis
folikularis, jika bercak detritus menjadi satu dan membentuk alur maka disebut
tonsilitis lakunaris.9
Infeksi yang berulang dan sumbatan pada kripte tonsil mengakibatkan
peningkatan antigen di dalam kripte. Selain itu juga terjadi penurunan integritas epitel
kripte sehingga memudahkan bakteri masuk ke parenkim tonsil. Pada tonsilitis akut,
bakteri ditemukan pada parenkim tonsil, sedangkan pada tonsilitis kronis bakteri lebih
banyak ditemukan pada kripte. Bakteri yang di dalam kripte tonsil menjadi sumber
infeksi yang berulang terhadap tonsil. Pada keadaan ini fungsi pertahanan tubuh dari
tonsil berubah menjadi fokal infeksi dan suatu saat bakteri dan virus dapat menyebar
ke seluruh tubuh, misalnya pada saat keadaan kekebalan tubuh menurun.10
Proses peradangan dimulai pada satu atau lebih kripte tonsil, karena proses
radang berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis, sehingga pada
proses penyembuhan jaringan limfoid digantikan oleh jaringan parut yang akan
mengerut sehingga kripte akan melebar, ruang antara kelompok melebar yang akan
diisi oleh detritus, yaitu: akumulasi epitel yang mati, sel leukosit yang mati, dan
bakteri yang menutupi kripte berupa eksudat berwarna kekuningan. Proses ini meluas
hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan sekitar fosa
tonsilaris. Pada anak-anak proses ini disertai pembesaran kelenjar limfe
submandibula.10

2.7 Manifestasi Klinis


2.7.1 Tonsilitis
Gejala tonsilitis kronis yakni terdapat rasa yang mengganjal dan sakit di
tenggorok, sakit saat menelan, malaise dan nafas berbau. Pada pemeriksaan fisik
tampak tonsil membesar dengan permukaan tidak rata, kriptus melebar dan beberapa
kripte terisi oleh detritus.7,9,11
Derajat pembesaran Tonsil:
T0 : Tonsil sudah terangkat.
T1 : Tonsil sedikit keluar dimana ukuran tonsil <25% yaitu tonsil
masih berada dalam fossa tonsilaris.
T2 : Tonsil melewati arkus posterior hingga mencapai linea

9
paramedia.
T3 : Ukuran tonsil >50% sampai dengan <75% yaitu tonsil melewati
linea paramedia hingga mencapai linea mediana.
T4 : Ukuran tonsil >75% yaitu tonsil melewati linea mediana (uvula).

Gambar 2. Derajat Tonsil

2.7.2 Hipertropi Adenoid


Hipertrofi adenoid akan menyebabkan pasien bernafas melalui mulut dan akan
terjadi fasies adenoid yaitu tampak hidung kecil, gigi incisivus ke depan (prominen),
arkus faring tinggi yang menyebabkan kesan wajah pasien tampak seperti orang
bodoh. Selain itu terjadi faringitis, bronkitis dan sinusitis kronik akibat dari gangguan
ventilasi dan drainase sinus paranasal.8,11
Sumbatan tuba eustachius akan terjadi otitis media akut berulang, otitis media
kronik dan akhirnya terjadi otitis media supuratif kronik. Hipertrofi adenoid juga akan
menimbulkan gangguan tidur, tidur ngorok dan pertumbuhan fisik berkurang.11

2.8 Diagnosis
2.8.1 Tonsilitis
Diagnosis Tonsilitis kronis ditegakkan dengan anamnesa, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang.7,9

10
a. Anamnesis
Pada anamnesis pasien mengeluh rasa sakit dan mengganjal pada
tenggorok terus menerus, sakit menelan, nafas berbau dan kadang demam.
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan inspeksi tonsil. Pada inpeksi tonsil akan
terlihat berbenjol-benjol, kripte melebar disertai adanya detritus. Selain itu
pada pemeriksaan fisik dengan inspeksi tonsilitis dapat dibedakan, yaitu
pada tonsilitis akut akan tampak hiperemis, membengkak, detritus (+)
berbentuk folikel atau lacuna atau tertutup membran semu, kelenjar
submandibular membengkak dan nyeri tekan. Sedangkan pada tonsilitis
kronis, akan tampak pembesaran tonsil oleh karena hipertrofi dan
perlengketan kejaringan sekitar, kripta yang melebar, tonsil ditutupi oleh
eksudat yang purulen atau seperti keju tetapi dapat juga dijumpai tonsil
tetap berukuran kecil, mengeriput, kadang-kadang seperti terpendam di
dalam tonsil bed dengan tepi yang hiperemis, kripta yang melebar dan
ditutupi eksudat yang purulen.
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk menentukan diagnosis
tonsilitis kronis adalah pemeriksaan mikrobiologi yaitu dengan melakukan
kultur swab dengan cara mengambil apusan dari permukaan tonsil dan
orofaring posterior dan diapus dipermukaan medium agar darah.
Tujuannya untuk mengetahui kuman penyebab dan mengetahui sensitivitas
terhadap antibiotik. Selain itu dapat dilakukan lab darah rutin dan ASTO.

2.8.2 Hipertofi Adenoid


Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.8,9
a Anamnesis
Pada anak, pasien mengeluh mengorok pada saat tidur (sleep obstructive)
karena pada anak-anak tonsil yang hipertrofi dapat menyebabkan obstruksi
saluran pernafasan atas yang mengakibatkan hipoventilasi alveoli selanjutnya
terjadi hiperkapnia dan mengakibatkan kor pulmonal.

11
b Pemeriksaan fisik
 Rhinoskopi anterior dengan cara melihat tertahannya gerakan velum
palatum mole pada waktu fonasi.
 Rhinoskopi posterior, tapi pada pemeriksaan rhinoskopi posterior sulit
dilakukan pada anak.
c Pemeriksaan penunjang
 Nasoendoskopi
 Foto skull AP Lateral.

2.9 Penatalaksanaan
2.9.1 Tonsilitis
2.9.1.1 Medikamentosa
Terapi medikamentosa dapat diberikan pada kasus tonsilitis kronis eksaserbasi
akut dengan memberikan antibiotik oral selama kurang lebih 10 hari disertai
memperbaiki dan menjaga higiene mulut guna menghindari infeksi berulang. Selian
itu pemberian obat juga menyesuaikan dengan gejala dan infeksi lain yang diderita
pasien. Jenis antibiotik yang dapat diberikan yaitu golongan penisilin, sefalosporin,
dan sulfonamid. Apabila terdapat alergi terhadap kedua antibiotik tersebut, dapat
memberikan antibiotik eritromisin atau klindamisin. Sebaiknya sebelum memberikan
antibiotik, terlebih dahulu dilakukan kultur bakteri. Kemudian diberikan jenis
antibiotik sesuai dengan kultur. 7,9
2.9.1.2 Operatif 7,9,10
Selain terapi medikamentosa, penatalaksanaan tonsilitis kronis dapat dengan
melakukan tindakan operatif yaitu tonsilektomi. Tonsilektomi merupakan operasi
pengangkatan seluruh tonsil palatina. Tindakan ini merupakan pengobatan pasti yang
dilakukan pada kasus apabila penatalaksanaan medis dan konservatif gagal untuk
meringankan gejala. Indikasi tonsilektomi menurut American Academy of
Otolaryngology – Head and Neck Surgery (AAO-HNS) (1995), indikator klinis untuk
prosedur operasi tonsilektomi adalah seperti berikut:
a) Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali pertahun walaupun telah mendapat
terapi yang adekuat.
b) Tonsil hipertrofi yang menimbulkan meloklusi gigi dan menyebabkan
gangguan pertumbuhan orofasial.

12
c) Sumbatan jalan nafas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan
nafas, sleep apnea, gangguan menelan, gangguan bicara dan kor pulmonal.
d) Rinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak
berhasil hilang dengan pengobatan.
e) Nafas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan
f) Tonsilitis berulang yang disebabkan ole bakteri grup A streptococcus ß
hemoliticus.
g) Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan
h) Otitis media efusa atau otitis media supuratif
Terdapat beberapa risiko yang menjadi kontraindikasi tonsilektomi, namun bila risiko
tersebut dapat diatasi sebelum operasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap
memperhitungkan imbang “manfaat dan risiko”. Keadaan tersebut adalah gangguan
perdarahan, risiko anestesi yang besar atau penyakit berat, anemia, infeksi akut yang
berat.

2.9.2 Hipertrofi Adenoid


Penatalaksanaan hipertrofi adenoid dengan melakukan tindakan operatif yaitu
adenoidektomi. Adenoidektomi dilakukan bertujuan untuk mencegah komplikasi
berupa otitis media. Adenoidektomi dinyatakan efektif menurunkan insiden otitis
media efusi, sinusitis, serta memperbaiki tuba akibat penurunan respon inflamasi dan
polusi disekitar nasofaring. Indikasi melakukan adenoidektomi adalah 8,11 :
a) Sumbatan
- Sumbatan hidung yang menyebabkan bernapas lewat mulut
- Sleep apnea
- Gangguan menelan
- Gangguan bicara
- Kelainan bentuk wajah dan gigi (adenoid face)
b) Infeksi
- Adenoiditis berulang atau kronik
- Otitis media efusi berulang atau kronik
- Otitis media akut berulang
c) Neoplasia
Kecurigaan neoplasma jinak atau ganas

13
2.10 Komplikasi
2.10.1 Tonsilitis
a) Abses peritonsil.
Abses peritonsil paling sering terjadi pada penderita dengan serangan berulang
Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan mengenai jaringan sekitarnya.
Abses biasanya terdapat pada daerah antara kapsul tonsil dan otot-otot yang
mengelilingi faringeal bed. Gejala penderita adalah malaise, odinofagi yang
berat dan trismus. Diagnosa dapat ditegakkan setelah melakukan aspirasi
abses. 1,9
b) Abses intratonsilar.
Abses intratonsilar merupakan akumulasi pus yang berada dalam substansi
tonsil. Biasanya diikuti dengan penutupan kripta pada Tonsilitis Folikular
akut. Dijumpai nyeri lokal dan disfagia yang bermakna. Tonsil terlihat
membesar dan merah. Penatalaksanaan yaitu dengan pemberian antibiotika
dan drainase abses jika diperlukan, kemudian dilakukan tonsilektomi 9,10.
c) Tonsilolith (kalkulus tonsil).
Tonsililith dapat ditemukan pada Tonsilitis Kronis bila kripta diblokade oleh
sisa-sisa dari debris. Garam inorganik kalsium dan magnesium kemudian
tersimpan yang memicu terbentuknya batu. Batu tersebut dapat membesar
secara bertahap dan kemudian dapat terjadi ulserasi dari tonsil. Tonsilolith
lebih sering terjadi pada dewasa dan menambah rasa tidak nyaman lokal atau
foreign body sensation. Hal ini didiagnosa dengan mudah dengan melakukan
palpasi atau ditemukannya permukaan yang tidak rata pada perabaan 9,10.
d) Otitis media akut.
Infeksi dapat menyebar ke telinga tengah melalui tuba eustachius dan
mengakibatkan otitis media akut. 7
e) Sinusitis.
Infeksi yang terjadi di tonsil dapat menyebar ke bagian nasal sehingga dapat
menyebabkan sinusitis. 7
f) Komplikasi jauh
Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau limfogen dan dapat timbul
endokarditis, artritis, miositis, uveitis dan nefritis7
2.10.2 Hipertrofi Adenoid

14
Komplikasi adenoidektomi adalah perdarahan jika pada saat pengerokan
adenoid kurang bersih. Apabila kuretase dilakukan terlalu dalam, dapat terjadi
kerusakan dinding belakang faring. selain itu apabila kuretase terlalu lateral
maka torus tubarius akan rusak dan mengakibatkan oklusi tuba eustachius dan
menimbulkan tuli konduktif pada pasien. 8,10

2.11 Prognosis
2.11.1 Tonsilitis
Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristrahat dan pengobatan
suportif. Menangani gejala-gejala yang timbul dapat membuat penderita Tonsilitis
lebih nyaman. Pasien yang telah dilakukan tonsilektomi biasanya memiliki prognosis
baik. 7
2.11.2 Hipertrofi Adenoid
Adenotonsillektomi merupakan suatu tindakan yang kuratif pada kebanyakan
individu dengan pembesaran tonsil dan adenoid. Jika pasien ditangani dengan baik
diharapkan dapat sembuh sempurna. 8,11
a. Otitis media persisten kronik
Sekitar 30-50% terjadi penurunan otitis media setelah dilakukan
adenoidektomi.
b. Sinusitis kronik
Sinusitis kronik tidak berkurang meskipun telah dilakukan
pengangkatan adenoid. Namun beberapa penelitian tetap menunjukkan adanya
resolusi gejala sinusitis setelah pengangkatan adenoid.
c. Obstruksi jalan napas
Adenoidektomi menghilangkan obstruksi sehingga gejala-gejala
obstruksi nasal seperti sleep apnea, hiponasal menghilang dengan
sendirinya.

15
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas
Inisial : NKTBP
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 9 tahun
Alamat : Blahbatuh, Gianyar
Pekerjaan : Pelajar
Suku Bangsa : Indonesia
Agama : Hindu
No. RM : 621848

3.2 Anamnesis
- Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poliklinik THT RSUD Sanjiwani Gianyar diantar oleh kedua
orangtuanya. Pasien datang untuk kontrol kedua untuk evaluasi pengobatan
yang diberikan pada kontrol pertama. Pasien sudah pernah ke poli THT
sebelumnya sekitar 1 bulan yang lalu dan sudah melakukan kontrol pertama.
Menurut keterangan ibu pasien pada saat pertama kali ke poli THT sekitar 1
bulan yang lalu, pasien mengeluh rasa mengganjal pada tenggorok dan sulit
menelan yang kadang disertai nyeri. Nyeri dikatakan hilang timbul. Kesulitan
menelan dan rasa mengganjal pada tenggorokan pasien dirasakan sejak 2
bulan sebelum pertama kali memeriksakan keluhan ke poli THT. Namun
sekitar 1 minggu sebelum ke poli THT pasien mulai mengeluh nyeri pada
tenggorok. Pada saat itu berdasarkan keterangan ibu pasien, dokter
mendiagnosa infeksi kronis pada amandel yang kambuh. Keluhan lain pada
saat itu adalah pasien dalam keadaan pilek. Keluhan seperti batuk, bersin, dan
nyeri telinga disangkal oleh ibu pasien. Pasien telah diberikan pengobatan
berupa sirup antibiotik dan obat puyer untuk pileknya. Pasien tidak mengingat
jenis antibiotik dan tidak mengetahui komposisi puyer yang diberikan. Untuk
kontrol kedua ini pasien masih merasakan rasa mengganjal pada tenggorok
namun tidak disertai nyeri. Menurut ibu pasien, pasien sering mengorok saat

16
tidur tapi tidak sampai terbangun, dan bau mulut. Untuk keluhan lain saat ini
seperti batuk, pilek, dan demam disangkal oleh pasien. Keluhan telinga berupa
nyeri, berdengung, bergemuruh, penurunan pendengaran, dan keluar cairan
disangkal oleh pasien. Menurut orang tua pasien keluhan yang diderita pasien
sedikit menurunkan nafsu makan pasien, pasien menjadi lesu, dan sering
mengantuk. Sekitar 5 bulan yang lalu pasien pernah ke puskesmas dan
dikatakan menderita pembesaran amandel oleh dokter kemudian diberikan
obat sirup namun orang tua pasien tidak mengingat jenis obat tersebut
- Riwayat Penyakit Terdahulu
Menurut orang tua pasien, sekitar 5 bulan yang lalu pernah mengalami pilek
dan sakit tenggorokan, lalu diperiksakan ke puskesmas. Pasien dikatakan oleh
dokter puskesmas kalau amandel pasien tampak membesar. Begitu pula 1
bulan yang lalu pasien datang ke poli THT RSUD sanjiwani dengan mengeluh
keluhan yang sama dengan keluhan saat ini namun disertai dengan nyeri.
Kemudian dokter mendiagnosa kekambuhan infeksi kronis pada amandel.
Riwayat penyakit kronis dan riwayat alergi obat maupun makanan disangkal
oleh pasien. Riwayat pengobatan saat pertama kali datang ke THT dan kontrol
pertama yang didiagnosa oleh dokter kekambuhan infeksi kronis pada
amandel dan pembesaran adenoid adalah pemberian antibiotik tablet dan obat
puyer untuk pilek. Pasien tidak mengingat jenis antibiotik dan komposisi obat
puyer yang diberikan oleh dokter.
- Riwayat Keluarga
Orang tua pasien mengatakan anggota keluarganya tidak ada yang mengalami
keluhan yang sama dengan keluhan yang dirasakan pasien.
- Riwayat Sosial
Pasien merupakan seorang siswa. Kegiatan sehari-hari pasien dilakukan di
sekolah, dirumah, dan kadang bermain ditetangga. Pasien senang jajan jajanan
di pinggir jalan seperti makanan ringan, minuman manis, goreng-gorengan
dan sebagainya. Riwayat merokok dan konsumsi alkohol disangkal pasien.

3.3 Pemeriksaan Fisik


Status Present
Kesadaran : Compos Mentis

17
Nadi : 84 x/menit
Suhu Aksila : 36,4ºC
Berat badan : 25 kg
Status General
Pemeriksaan umum
Mata : Anemis -/-
Ikterus -/-
THT : Sesuai status THT
Thoraks : Tidak dievaluasi
Abdomen : Tidak dievaluasi
Ekstremitas : Hangat pada keempat ektremitas tanpa edema

Status Lokalis THT


Telinga
Status Kanan Kiri
Daun Telinga Normal Normal
Liang Telinga Lapang Lapang
Discharge (-) (-)
Membran Timpani Intak Intak
Tumor (-) (-)
Mastoid Normal Normal

Hidung
Status Kanan Kiri
Hidung Luar Tampak normal Tampak normal
Kavum Nasi Tampak lapang Tampak lapang
Septum Deviasi (-) Deviasi (-)
Discharge (-) (-)
Mukosa Merah muda Merah muda
Tumor (-) (-)
Konka Dekongesti Dekongesti
Sinus Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)

18
Tenggorok
Status Kanan Kiri
Tonsil T3 T3
Kripte melebar (+), Kripte melebar (+),
Detritus (-) Detritus (-)
Mukosa Merah muda
Dispneu (-)
Sianosis (-)
Stridor (+)
Suara Normal
Dinding Belakang Merah muda, tidak tampak granula hipertropi

Laring
Status
Epiglotis Tidak dievaluasi
Plika Vokalis Tidak dievaluasi
Aritenoid Tidak dievaluasi
Plika Ventrikularis Tidak dievaluasi
Rimaglotis Tidak dievaluasi

19
Gambar 1. Wajah Pasien Gambar 2. Pemeriksaan tenggorok

3.4 Assesment
Tonsilitis kronis dengan adenoid hipertrofi

3.5 Terapi
- Pro Adenotonsilektomi

20
BAB IV
PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesis didapatkan penderita perempuan berusia 9 tahun datang


dengan keluhan rasa mengganjal pada tenggorok dan kadang disertai nyeri. Keluhan
tersebut sudah dirasakan sejak 3 bulan dari kontrol kedua di poli THT RSUD
Sanjiwani. Pada saat dilakukan wawancara didapatkan gejala-gejala yang mengarah
pada tonsilitis dengan hipertrofi adenoid. Gejala tersebut berupa rasa mengganjal pada
tenggorok, mengorok saat tidur, napas bau, dan lesu sehingga sering mengantuk.
Dari anamnesis yang dilakukan, keluhan pasien sudah spesifik mengarah pada
diagnosa tonsilitis kronis dengan adenoid hipertropi. Pasien mengeluh rasa
mengganjal pada tenggorok yang kadang disertai nyeri menelan. Posisi tonsil dan
adenoid (cicin Waldeyer) terdapat pada pintu masuk saluran pencernaan dan
pernapasan, jika terjadi pembesaran akan menutup pintu tersebut. Saat proses
menelan, makanan yang masuk akan dihalangi oleh tonsil dan adenoid yang
membesar sehingga akan terdapat sensasi mengganjal yang kadang bisa disertai nyeri
saat menelan apabila terjadi infeksi. Untuk keluhan ngorok pada pasien dapat
disebabkan oleh adenoid hipertropi. Posisi adenoid terdapat pada dinding posterior
nasofaring dan dekat dengan koana, sinus paranasal dan tuba eustachius, apabila
terjadi pembesaran adenoid dapat menyumbat secara parsial sampai total koana dan
nasofaring sehingga akan terjadi ngorok, percakapan hiponasal, dan membuat anak
bernapas lewat mulut. Napas bau pada tonsilitis kronis disebabkan karena sisa
makanan yang terperangkap pada kripte tonsil kemudian mengalami pembusukan
sehingga menimbulkan bau mulut yang kurang sedap. Proses pembusukan tersebut
dipermudah oleh koloni bakteri pada tonsil tersebut. Keluhan lesu pada pasien
tonsilitis kronis dengan hipetropi adenoid diakibatkan oleh rasa tidak nyaman saat
menelan, sehingga menurunkan nafsu makan. Seseorang dapat terkena tonsilitis
kronis dengan adenoid hipertrofi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu rangsangan
menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh
cuaca, kelelahan fisik, dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat. Pasien anak-
anak yang terserang tonsilitis kronik dan adenoid hipertrofi cenderung disebabkan
oleh sistem imunitas yang tidak sebaik orang dewasa sehingga sering terkena ISPA

21
(Infeksi Saluran Pernapasan Atas) dan kebiasaan untuk jajan makanan sembarangan
serta pengetahuan higiene mulut yang tidak sebaik orang dewasa. 3,6,7,11
Pemeriksaan vital sign (suhu dan respiratory rate) dan status general masih
dalam batas normal. Begitu pula pada pemeriksaan lokalis telinga dan hidung masih
dalam batas normal. Pada pemeriksaan lokalis tenggorok ditemukan Tonsil T3/T3
berwarna merah muda, kripte melebar, tidak ditemukan dentritus. Pada pemeriksaan
fenomena palatum mole diperoleh hasil negatif.
Hasil pemeriksaan fisik dari kasus diatas sesuai dengan teori yang mengatakan
bahwa pasien dengan tonsilitis kronis memiiki status lokalis tenggorok berupa
pembesaran tonsil disertai dengan kripte melebar dan tidak ada dentritus. Tosil T3/T3
itu menunjukkan pembesaran sudah mencapai ukuran >50% sampai dengan <75%
yaitu tonsil melewati linea paramedia hingga mencapai linea mediana. Pada tonsilitis
kronis dengan adenoid hipertropi tidak menunjukkan kelainan vital sign, berbeda
dengan tonsilitis akut ataupun tosilitis kronis eksaserbasi akut akan diikuti perbuahan
tanda vital berupa peningkatan suhu tubuh (demam) dan nyeri hebat pada tenggorok.
Pada pasien ini tidak terdapat perubahan vital sign (suhu dan respiratory rate pasien
normal) dan tidak sedang merasa nyeri hebat. 7,9
Penatalaksanaan pada kasus ini adalah memberikan antibiotik dan dekongestan
pada pertama kali ke poli THT dan kontrol pertama, karena telah terjadi proses
inflamasi kronis dan berulang, sehingga dilakukan tindakan pembedahan. Tindakan
pembedahan berupa adenotonsilektomi yaitu prosedur pengangkatan tonsil palatina
dan tonsil adenoid. Indikasi tindakan ini sudah sesuai dengan American Academy of
Otolaryngology – Head and Neck Surgery (AAO-HNS) (1995) yakni Sumbatan jalan
nafas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan nafas, sleep apnea,
gangguan menela, dan nafas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan. Tindakan
pembedahan ini dilakukan di ruang operasi dengan pengaruh anastesi umum.
Berdasarkan teori, penanganan tonsilitis kronis dengan adenoid hipertrofi dibagi
menjadi terapi medikamentosa dan operatif. Penanganan medikamentosa bertujuan
untuk mengendalikan proses infeksi berulang dengan memberikan antibiotik. Pasien
saat terjadi proses eksaserbasi akut diberikan antibiotik Cefadroxil dari golongan
sefalosporin. Cefadroxil merupakan antibiotik spektrum luas bersifat bakterisida
karena bekerja dengan menghambat dinding sel bakteri. Cefadroxil aktif pada jenis
bakteri Streptococcus Beta-Hemolitikus, Staphylococcus termasuk kelompok
pengahsil penisilinase, Streptococcus pneumonia, Eschericia coli, Klabisela sp dan

22
beberapa bakteri gram negatif lainnya. Pemberian bersama dengan makanan tidak
menunjukkan adanya efek terhadap absorpsi cefadroxil. Selain itu pemberian obat-
obatan menyesuaikan dengan keluhan yang diderita pasien yang kemungkinan juga
dapat memperburuk kondisi tonsil dan menimbulkan komplikasi, sehingga jika ada
keluhan lain seperti pilek dan demam dapat diberikan dekongestan dan antipiretik.
Apabila penatalaksanaan medikamentosa tidak dapat memperbaiki keluhan pasien,
maka dapat dilakukan tindakan operatif berupa pengangkatan tonsil dan adenoid yaitu
adenotonsilektomi. Penanganan operatif dilakukan untuk mengeradikasi jaringan
yang mengalami pembesaran. Beberapa indikasi harus dipenuhi agar dapat dilakukan
adenotonsilektomi. Acuan indikasi tonsilektomi berdasarkan pada American
Academy of Otolaryngology – Head and Neck Surgery (AAO-HNS) (1995). 7,10,11

DAFTAR PUSTAKA

1. Paradise JL,Bluestone CD. Prevalence and incidence of chronic tonsillitis.


Available from :http://www.wrongdiagnosis.com/chronictonsillitis.com.
2. Drake R.L, Vogl A.W, Mitchell A.W. Gray Dasar-Dasar Anatomi. 2012. Elsevier
Churchill Livingstone. Hal: 557-558..
3. Nadhilla NF, Sari MI. 2016. Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut Pada Pasien
Dewasa. Fakultas Kedokteran. Universitas Lampung.
4. Mindarti F, Rahardjo SP, Kondrat L. 2010. The Relationship Between Titer of Anti
Streptolisin O and Clinical Symptoms In Patient with Chronic Tonsilitis. Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin Makasar.
5. Srikandi PR, Sutanegara SW, Sucipta IW. 2013. Profil Pembesaran Tonsil Pada
Pasien Tonsilitis Kronis yang Menjalani Tonsilektomi di RSUP Sanglah Pada
Tahun 2013. Bagian/SMF/Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/ Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, Denpasar.

23
6. Farokah, Suprihati, Suyitno S. 2007. Hubungan Tonsilitis Kronis dengan Prestasi
Belajar pada Siswa Kelas II Sekolah Dasar di Kota Semarang. Dalam: Riyanto
WB. Cermin Dunia KedokteraN No 155 (THT). Jakarta
7. Chris Tanto dkk. 2014. Tonsilitis In: Fardizza F, Klarisa C. Kapita Selekta
Kedokteran Jilid 2. Edisi ke-7. Media Aesculapius, Jakarta: pp. 1067-1070.
8. Chris Tanto dkk. 2014. Hipertrofi Adenoid In: Fardizza F, Arifputera A. Kapita
Selekta Kedokteran Jilid 2. Edisi ke-7. Media Aesculapius, Jakarta: pp. 1049-1050.
9. Soetjipto D & Mangunkusumo E. 2012. Tonsilitis, Faringitis dan Hipertropi
Adenoid In: Soepardi EA, Rusmarjono. Buku Ajar Ilmu Kedokteran THT Kepala
dan Leher. Edisi ke-7. Balai Penerbit FK UI, Jakarta: pp. 199-203.
10. Brodsky L, Poje C. 2006. Tonsilitis, Tonsilectomy and adenoidectomy. Head &
Neck Surgery-Otolaryngology. 4th edn. Lippincort-William & Wilkins.
Philadelphia, pp. 979-991.
11. Lapinska I, Zawadzka L. 2016. Adenoid and Tonsils Hyportrophy – Symptoms
and Treatment. Department of Pediatric Otolaryngology, Medical University of
Warsaw.

24

Anda mungkin juga menyukai