Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyelenggaraan pemerintahan dan aktivitas yang menyertainya telah berlangsung
lama dan dapat dikatakan setua usia hidup manusia di dunia ini. Apabila pemerintahan adalah
sebuah prasyarat berdirinya sebuah negara maka menurut R.M. MacIver dengan tegas
mengatakan bahwa ilmu pemerintahan sama tuanya dengan obyek pemerintahan yang berdiri
terlebih dahulu dalam suatu negara. Ilmu politik lahir setelah berdirinya negara sedangkan ilmu
pemerintahan dengan obyek pemerintahan telah ada lebih dahulu sebelum negara itu
diciptakan.
Seiring dengan hal tersebut, penelusuran dan pengkajian terhadap gejala atau peristiwa
pemerintahan pun terus dilakukan oleh kaum cerdik pandai atau filsuf serta ilmuwan yang
berusaha menggali informasi dan menemukan masalah terkait penyelenggaraan pemerintahan
tersebut kemudian berusaha mendudukan model pemerintahan yang ideal dan yang harus
diterapkan. Hasil dari temuan pengkajian dan penulusuran tersebut yang dimuat dalam konsep
baku pemerintahan menjadi pedoman bagi penerapan atau implementasi di suatu bangsa.
Konsep ini terus diujicoba dan dipraktikan kemudian di perbaiki sehingga berkembang menjadi
sebuah kerangka pengetahuan yang diterima umum dan berlanjut pada lahirnya teori
pemerintahan. Dari sinilah kemudian pemerintahan berkembang menjadi sebuah disiplin ilmu
dengan lapangan pengkajian dan titik bidik yang mandiri dan otonom (Sumantri, 2006).
Gejala pemerintahan yang terus menerus diamati dan dirasakan pun memunculkan rasa
ingin tahu manusia yang kemudian melahirkan ide atau gagasan mengenai bagaimana
pemerintahan tersebut berkembang dan berproses. dengan menyadari bahwa pengetahuan
pemerintahan yang dapat diketahui oleh manusia sifatnya hampir tidak terbatas, dalam arti
mampu menembus ruang dan waktu maka pengembangannya dengan logika yang ideal dibatasi
pada hal-hal tertentu yang fokus dan terarah. Hal ini dilakukan agar pengembangan
pengetahuan oleh manusia tidak merugikan kepentingan manusia lainnya. Adapun
pembatasannya melalui aturan (etika, agama, hukum, norma) (Sumantri, 2006).
Menurut pemahaman Russell, bahwa pengetahuan bagian dari kepercayaan yang benar.
Setiap hal mengenai pengetahuan merupakan hal mengenai kepercayaan yang benar tetapi
bukan sebaliknya. Pengetahuan yang benar, secara empiris memerlukan bukti. Ini menunjukan
bahwa pengetahuan pemerintahan pun berangkat dari dunia nyata atau fakta yang telah terjadi
bukan pada ruang imajinasi atau khayal. Selanjutnya mengenai lahirnya pemerintahan sebagai

1
ilmu yang mandiri dan otonom pada prinsipnya berkembang sebagaimana proses normal
lahirnya sebuah ilmu itu sendiri. di dalam wacana umum, istilah ilmu (science) dan
pengetahuan (knowledge) seringkali dipertukartempatkan. Secara sederhana dapat
dikemukakan bahwa setiap ilmu adalah pengetahuan, sedangkan setiap pengetahuan belum
tentu merupakan sebuah ilmu. Sebab ilmu adalah pengetahuan yang memiliki ciri-ciri tertentu
yang membedakannya dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya. pada dasarnya ilmu telah
berkembang secara cepat dan perkembangannya tidak pernah mengikuti sebuah garis lurus.
Ilmu pemerintahan pun berkembang dalam proses yang sulit, berliku-liku dan mengalami
anomaly (Wasistiono, 2012). Hal ini sejalan dengan pemahaman Van Peursen bahwa: “ilmu
tidak berkembang secara berkesinambungan dalam suatu ruang lingkup netral tetapi tersendat-
sendat, terbina oleh motif-motif ideologis tertentu.
Dalam konteks ini maka dapat dikatakan bahwa esensi ilmu pemerintahan
sesungguhnya memiliki nilai-nilai yang unik dan khusus. Nilai tersebut meliputi deskripsi data
pengalaman fenomena pemerintahan. Kemudian hal tersebut tersusun secara metodis dalam
rumusan yang mudah dipahami. dan terakhir diciptakan secara sengaja untuk memperoleh
jawaban yang handal mengenai persoalan alam dan sosial. Dengan kata lain bahwa agar dapat
dibedakan dengan ilmu-ilmu lainnya, sebuah ilmu perlu memiliki metode sendiri. Selain
memiliki obyek forma yang berbeda dengan ilmu-ilmu lainnya, sebuah ilmu yang sudah mapan
biasanya juga memiliki metode yang khas yang sangat berkaitan dengan obyek forma ilmu
yang bersangkutan. Tujuannya adalah agar semua gejala dan peristiwa khas dari obyek forma
ilmu bersangkutan dapat mudah dipahami dan dimengerti, yang pada gili rannya akan diperoleh
pengetahuan yang benar.
Pengembangan sebuah ilmu pengetahuan tentu memiliki tujuan yang hendak diperoleh
terkait dengan obyek dari ilmu itu sendiri. Setiap ilmu yang mandiri dan otonom memiliki
obyek forma yang khusus yang merupakan ciri yang membedakan dengan ilmu lainnya. Dalam
konteks ilmu pemerintahan terdapat tujuan yang hendak dicapai dari pengembangan ilmu
tersebut. Beberapa ahli mengemukakan tujuan ilmu pemerintahan berdasarkan hasil
pendalaman dan penelusuran serta pengkajiannya.
Menurut pandangan yang dikemukakan oleh Clinton Rosevelt bahwa: The great
interests of man were in a state of chaos, an this science is to harmonize them, and run side by
side with true religion, so far as that is meant, “ to feed the hungry, clothe the naked, and make
on earth, peace and good will to man.” (kepentingan yang terbesar dari manusia ada di dalam
keadaan yang kacau balau dan ilmu pemerintahan melakukan penyelarasan untuk semua
berdasarkan moral agama atau dijalankan berdampingan dengan agama yang berkembang,

2
sejauh itu apa yang diajarkan oleh agama untuk memberi makan orang lapar, memberi pakaian
bagi yang telanjang, menghadirkan perdamaian dan niat baik atau tujuan yang baik untuk setiap
orang). Ini menunjukan bahwa hadirnya ilmu pemerintahan sebagai bagian penting dalam
menyelaraskan suatu keadaan yang kacau balau tersebut dengan berpedoman pada moral
agama yang dimiliki (apapun agamanya yang dikembangkan) sejauhmana memberikan solusi
bagi persoalan tersebut.
Ilmu pemerintahan pada dasarnya merupakan sebuah ilmu pengetahuan yang mandiri
dan otonom yang memiliki metode tersendiri sebagai pendekatan dalam melakukan kajian dan
penelusuran terhadap gejala atau peristiwa pemerintahan. Banyak ahli mengemukakan
beberapa pendekatan yang perlu dilakukan dalam membedah fenomena pemerintahan
berdasarkan referensi dan pengalaman hasil penelusurannya. Setiap ahli memiliki basis
argumentasinya karena dipengaruhi oleh waktu, tempat, situasi, peristiwa dan sistem yang
berbeda. Perbedaan tersebut merupakan dinamika perkembangan ilmu pemerintahan dari
waktu ke waktu. Namun dibalik itu semua tujuannya adalah memberikan kontribusi terhadap
penyelesaian masalahmasalah atau gejala peristiwa pemerintahan yang terus berkembang
dengan nilai sejarah suatu negara dan pengalaman penyelenggaraan pemerintahannya. Oleh
karena itu ditemukan perbedaan pokok bahasan ilmu pemerintahan pada setiap negara dan
bahkan perbedaan tersebut juga ditemukan dari periode waktu tertentu (Polyando, 2016).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana permasalahan pemerintahan di Indonesia saat ini?
2. Bagaimana penyelesaian masalah pemerintahan ditinjau dari teori pemerintahan sudut
pandang filsafat ilmu pemerintahan?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui permasalahan pemerintahan di Indonesia saat ini.
2. Untuk mengetahui penyelesaian masalah pemerintahan ditinjau dari teori pemerintahan
sudut pandang filsafat ilmu pemerintahan.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Permasalahan Pemerintahan di Indonesia


Indonesia merupakan negara dengan sistem pemerintahan Presidensial. Hal ini
didasarkan pada kesepakatan pendiri bangsa (founding father) dalam sidang Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) pada 29 Mei- 1 Juni dan 10-17 Juli
1945 (Isra, 2010). Dalam hal ini Soepomo memiliki andil yang sangat besar dalam
pembentukan pemerintahan Indonesia, karena gagasan yang dikeluarkannya itulah yang
kemudian disetujui oleh peserta sidang (meskipun dengan perdebatan yang cukup rumit).
Kemudian, meskipun dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 (sebelum amandemen)
mengatakan dianutnya sistem pemerintahan presidensial,tetapi sistem yang diterapkan
tetap mengandung ciri parlementernya, yaitu dengan adanya MPR yang berstatus sebagai
lembaga tertinggi negara, tempat kemana presiden harus tunduk dan bertanggung jawab
(Ashidiqqie, 2006). Dengan kata lain sistem presidensial Indonesia tidak begitu tegas
karena Presiden tidak dipilih langsung oleh rakyat. Namun, sejak konstitusi diamandemen,
tepatnya amandemen ketiga presidensialisme di Indonesia sudah lebih murni.
Ditengah membaiknya sistem presidensial dalam pemerintahan Indonesia setelah
amandemen UUD 1945 yang ditandai dengan pemilihan presiden secara langsung oleh
rakyat dan dibatasinya masa jabatan presiden. Namun dalam praktiknya dengan melihat
kewenangan yang diberikan kepada presiden selaku kepala negara dan kepala
pemerintahan yang seharusnya otoritas kewenangannya lebih tinggi karena dijamin oleh
sistem pemerintahan presidensial, senyatanya presiden harus kerja lebih ekstra untuk
menghadapi gejolak politik di tubuh parlemen. Presiden dalam menjalankan
kewenangannya tersandra oleh politikus-politikus di Parlemen.
Realitas saat ini menunjukkan bahwa sistem presidensial tengah dihadapkan pada
gejolak politik yang cenderung mengarah pada sistem parlementer. Pasalnya, sistem
pemerintahan presidensial selalu dihadapkan pada sistem multipartai yang seharusnya
sistem ini lebih sesuai diterapkan pada sistem pemerintahan parlementer. Legitimasi
presiden terpilih yang seharusnya menjadi modal politik bagi presiden kerap lumpuh saat
dihadapkan pada proses politik di tingkat elite partai. Cukup menjadi contoh dan
pembelajaran bersama bahwa dua kali masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono,
sebagai presiden pertama yang terpilih melalui pemilihan langsung, belum cukup

4
menguatkan agenda membangun sistem presidensial yang kuat dan berwibawa
(Kompas.com, 2014).
Selain itu, sistem prsidensial juga dihadapkan dengan koalisi partai yang semakin
menjadi-jadi. Koalisi politik justru menguat sebagai kebutuhan mendasar dan sulit
dihindari. Akibatnya, pembentukan kabinet pemerintahan yang semestinya menjadi
wilayah prerogatif presiden cenderung tergerus oleh intervensi politik dari partai-partai
yang ”berkeringat” dalam kontestasi pemilihan presiden. Padahal, koalisi itu sesungguhnya
ada di dalam sistem parlementer. Kondisi ini menyebabkan Presiden Yudhoyono tidak
leluasa untuk membuat keputusannya sendiri. Itu bisa dilihat dari kemunculan sekretariat
gabungan (setgab) yang justru menyandera Presiden sebagai ketua setgab.
Dalam sistem presidensial, penyusunan kabinet adalah hak prerogratif presiden.
Namun, teori dan praktik sering kali berbeda jalan. Faktanya, kabinet tidak hanya bersandar
pada hak prerogratif, namun juga tergantung pada kompromi dan akomodasi politik. Justru
masalah kompromi inilah yang lebih dominan mewarnai penyusunan kabinet. Dominasi
tersebut semakin terang-benderang apabila sistem presidensial berdiri di atas sistem multi
partai. Dalam kondisi demikian, sering terjadi presiden terpilih tidak menguasai mayoritas
suara di parlemen. Hadirlah presiden minoritas, lahirlah pemerintahan terbelah. Yaitu
pemerintahan yang agenda politik eksekutifnya berseberangan jalan dengan mayoritas
aspirasi politik di legislative (Indrayana, 2008).
Semakin jelas fenomena ketatanegaraan yang ditunjukkan sekarang ini sudah tidak
memperlihatkan lagi akan adanya penguatan sistem presidensial. Pasalnya, setelah
terpilihnya Jokowi-JK sebagai presiden Republik Indonesia periode 2015-2020, terdapat
partai oposisi yang tergabung dalam “koalisi merah putih” secara terang-terangan akan
melawan partai pengusung Jokowi-JK. Artinya jika partai pengusung tidak dapat
membubarkan koalisi tersebut atau mengajak bergabung dengan partai pihak Jokowi-JK
maka presiden yang memegang kendali eksekutif akan lebih tersandera oleh parlemen. Hal
ini tentunya sebagai hal yang tidak lazim dalam suatu negara yang menganut sistem
pemerintahan presidensial namun dalam praktik ketatanegaraan lebih kepada sistem
pemerintahan parlementer. Inilah kiranya anomali yang terjadi pada saat ini dalam tubuh
ketatenegaraan negara Indonesia.
2.2 Teori Pemerintahan
Dikatakan oleh Koswara (2002 : 29) bahwa yang dimaksud pemerintahan adalah:
(1) dalam arti luas meliputi seluruh kegiatan pemerintah, baik menyangkut bidang legislatif,
eksekutif maupun yudikatif,

5
(2) dalam arti sempit meliputi kegiatan pemerintah yang hanya menyangkut bidang eksekutif.
Selanjutnya Koswara (1999 : 5) menjelaskan bahwa ilmu pemerintahan adalah ilmu
pengetahuan yang secara mandiri menyelenggarakan studi tentang cara-cara bagaimana
pemerintahan negara disusun dan difungsikan, baik secara internal maupun eksternal dalam
upaya mencapai tujuan negara. Ilmu pemerintahan merupakan ilmu terapan karena
mengutamakan segi penggunaan dalam praktek, yaitu dalam hal hubungan antara yang
memerintah (penguasa) dengan yang diperintah (rakyat).
Obyek material ilmu pemerintahan secara kebetulan sama dengan objek material ilmu
politik, ilmu administrasi negara, ilmu hukum tata negara dan ilmu negara itu sendiri, yaitu
negara. Objek forma ilmu pemerintahan bersifat khusus dan khas, yaitu hubungan-hubungan
pemerintahan dengan sub-subnya (baik hubungan antara Pusat dengan Daerah, hubungan
antara yang diperintah dengan yang memerintah, hubungan antar lembaga serta hubungan antar
departemen), termasuk didalamnya pembahasan output pemerintahan seperti fungsi-fungsi,
sistem-sistem, aktivitas dan kegiatan, gejala dan perbuatan serta peristiwa-peristiwa
pemerintahan dari elit pemerintahan yang berkuasa.
Asas adalah dasar, pedoman atau sesuatu yang dianggap kebenaran, yang menjadi
tujuan berpikir dan prinsip-prinsip yang menjadi pegangan. Ada beberapa asas pemerintahan,
antara lain : asas aktif, asas ‘mengisi yang kosong” atau Vrij Bestuur, asas membimbing, asas
Freies Ermessen, asas “dengan sendirinya”, asas historis, asas etis, dan asas de tournament de
pouvoir. Menurut Taliziduhu Ndraha, pemerintahan dapat digolongkan menjadi 2 golongan
besar yaitu pemerintahan konsentratif dan dekonsentratif. Pemerintahan dekonsentratif terbagi
atas pemerintahan dalam negeri dan pemerintahan luar negeri. Pemerintahan dalam negeri
terbagi atas pemerintahan sentral dan desentral. Pemerintahan sentral dapat diperinci atas
pemerintahan umum dan bukan pemerintahan umum. Yang termasuk ke dalam pemerintahan
umum adalah pertahanan keamanan,peradilan, luar negeri dan moneter.
Ermaya (1998 : 6-7) membedakan secara tajam secara pemerintah dan pemerintahan.
Pemerintah adalah lembaga atau badan-badan politik yang mempunyai fungsi melakukan
upaya untuk mencapai tujuan negara. Pemerintahan adalah semua kegiatan lembaga atau
badan-badan publik tersebut dalam menjalankan fungsinya untuk mencapai tujuan negara. Dari
pengertian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa pemerintah pada hakekatnya adalah
aspek statis, sedangkan pemerintahan adalah aspek dinamikanya. Selanjutnya, Ermaya (1998 :
6-7) menyebutkan, bahwa suatu pengertian tentang pemerintahan, dapat dibedakan dalam
pengertian luas dan dalam pengertian sempit. Pemerintahan dalam arti luas adalah “segala
kegiatan badan-badan publik. Yang meliputi kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif

6
dalam usaha mencapai tujuan negara”. Dalam arti sempit, adalah segala kegiatan badan-badan
publik yang meliputi kekuasaan eksekutif”.
Karakteristik pemerintahan yang orientasinya kepada Anglo Saxon menurut Koswara (2003 :
3) lebih memperhatikan kemandirian masyarakat regional dan lokal, antara lain :
1) Partisipasi masyarakat yang luas dalam kegiatan pemerintahan,
2) Tanggung jawab sistem administrasi kepada badan legislatif,
3) Tanggung jawab pegawai peradilan biasa dan
4) Sifatnya lebih desentralistik.
Menurut Koswara (2002 : 3), karakteristik pemerintahan yang orientasinya kepada sistem
kontinental, antara lain :
1) Pemusatan kekuasaan ditangan eksekutif,
2) Terdapat dominasi otorisasi nasional,
3) Profesionalisme aparat pemerintah,
4) Memisahkan secara psikologis dari rakyat biasa dan tanggungjawab pemerintah kepada
Peradilan Administratif,
5) Kecenderungan sentralistik.
C.F Strong dalam Koswara (2002 : 247) memberikan makna pemerintahan sebagai
berikut :
Pemerintahan menunjukkan bahwa pemerintah mempunyai kewenangan yang dapat
digunakan untuk memelihara kedamaian dan keamanan Negara baik kedalam maupun keluar.
Untuk melaksanakan kewenangan itu, pemerintah harus mempunyai kekuatan tertentu, antara
lain kekuatan di bidang militer atau kemampuan untuk mengendalikan angkatan perang,
kekuatan legislatif, atau pembuatan undang-undang serta kekuatan finansial atau kemampuan
mencukupi keuangan masyarakat dalam rangka membiayai keberadaan negara bagi
penyelenggaran peraturan. Semua kekuatan tersebut harus dilakukan dalam rangka
penyelenggaraan kepentingan negara.
Sementara itu Finer dalam Pamudji (1993 : 24-25) mengemukakan bahwa istilah “government”
paling sedikit mempunyai 4 (empat) arti yaitu :
1. Menunjukan kegiatan atau proses pemerintah, yaitu melaksanakan kontrol atas pihak
lain (the activity or the process of governing).
2. Menunjukan masalah-masalah (hal ikhwal) negara dalam mana kegiatan atau proses di
atas dijumpai (states of affairs).
3. Menunjukan orang-orang (pejabat-pejabat) yang dibebani tugas-tugas untuk
memerintah (people chargewidth the duty of governing).

7
4. Menunjukan cara, metode atau sistem dengan mana suatu masyarakat tertentu
diperintah (the manner, method or system by which a particular society is governed).
Pemerintahan dalam konteks penyelenggaraan negara menunjukkan adanya badan
pemerintahan (institutional), kewenangan pemerintah (authority), cara memerintah (technique
to govern), wilayah pemerintahan (state, local, rural and urban) dan sistem pemerintahan
(government system) dalam menjalankan fungsi pemerintahannya.
Bayu Suryaningrat dalam Supriatna (2007 : 2) bahwa unsur yang menjadi ciri khas atau
karakteristik mendasar perintah menunjukkan :
1) Adanya keharusan, menunjukkan kewajiban apa yang diperintahkan.
2) Adanya dua pihak, yaitu yang member perintah dan yang menerima perintah.
3) Adanya hubungan fungsional antar yang memberi dan menerima perintah,dan
4) Adanya wewenang atau kekuasaan untuk memberi perintah.
Sedangkan Rasyid dalam Supriatna (2007 : 2) mengatakan bahwa pemerintahan
mengandung makna mengatur (UU), mengurus (mengelola) dan memerintah (memimpin)
dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan bagi kepentingan rakyat. Pemerintahan
mengandung unsur yang secara filosofis berkaitan erat dengan : Badan pemerintahan
(pemerintah) yang sah secara kontitusional; Kewenangan untuk melaksanakan pemerintahan ;
cara dan sistem pemerintahan ; Fungsi sesuai dengan kekuasaan pemerintahan, dan Wilayah
pemerintahan. Mengenai pembagian badan publik John Locke seperti yang dikutip Koswara
(2005 : 21) mengemukakan pemisahan kekuasaan negara dalam tiga bidang yakni :
1) Kekuasaan dalam bidang legislatif, yaitu kekuasaan pembuatan Undang-Undang.
2) Kekekuasaan di bidang eksekutif, yaitu kekuasaan dalam melaksanakan Undang-undang.
3) Kekuasaan di bidang federatif, yaitu kekuasaan dalam melakukan hubungan luar negeri.
Konsep kedaulatan rakyat merupakan buah pemikirannya yang ia tuangkan untuk
menghindari penyalahgunaan kekuasaan negara absolut dan dominan tanpa ada kekuatan lain
sebagai penyeimbang. Locke juga dikenal sebagai peletak dasar sistem demokrasi dengan
menggagas kontrak sosial sebagai sebuah pola untuk memberikan legitimasi pada negara
berdasarkan hukum alam (konsep alamiah).
Menurut Locke, sebuah negara dibangun atas dasar kesepakatan antara pemerintah
sebagai pemegang kekuasaan dan rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Hal ini menjadi
pijakan dasar dari teori kontrak sosial. Locke dengan tegas berpegang bahwa hak-hak dan
kewajiban-kewajiban moral adalah intrinsik dan lebih dulu ada daripada hukum; pemerintah
berkewajiban untuk memberi sanksi pada hukum-hukumnya terhadap apa yang secara moral
dan alamiah adalah benar. Kedua, individu tidak menyerahkan kepada komunitas tersebut hak-

8
hak alamiahnya yang subtansial, tetapi hanya untuk melaksanakan hukum alam, bahwa tiap
orang mempunyai hak menurut hukum alam atas sesuatu di mana dia telah mempergunakan
tenaga untuk memperolehnya, seperti misalnya menutup dan mengerjakan tanah. Ketiga, hak
yang diserahkan oleh individu tidak diberikan kepada orang atau kelompok tertentu tetapi
kepada seluruh komunitas.
Locke mengutamakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban moral sebagai esensi dari
terbangunnya kontrak sosial, bahkan menempatkan lebih tinggi dari hukum. Hal ini
menegaskan bahwa Locke memandang hak asasi sebagai referensi utama dalam menetapkan
sebuah aturan. Kerangka pemikiran Locke kemudian lebih dikembangkan dan dipertegas lagi
oleh Montesquieu. Dalam pemikirannya yang dikenal dengan konsep Trias Politika.
Montesquieu dengan ajaran Trias Politika (Tripraja) yang dikenal dalam bukunya L’Esprit des
Lois yang dikenal dengan dengan “Teori Pemisahan Kekuasaan” seperti dikutip Koswara (2002
: 1) membagi badan-badan kekuasaan dalam tiga lembaga, yaitu :
1. Pouvoir Legislatif, yaitu kekuasaan dalam bidang pembuatan perundang-undangan.
2. Pouvoir Eksekutif, yaitu kekuasaan dalam bidang melaksanakan segala sesuatu yang
dimanatkan oleh undang-undang.
3. Pouvoir Yudikatif, yaitu kekuasaan untuk menjaga agar undang-undang tersebut dapat
dijalankan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan tujuan.
Dengan adanya pemisahan kekuasaan yang tegas, diharapkan terjaminnya kebebasan
masing-masing lembaga dalam menjalankan kekuasaannya. Pembagian kekuasaan dalam suatu
negara menjadi tiga kelompok ini mutlak harus diadakan, sebab dengan adanya pemisahan
secara ketat ini akan dapat dijamin adanya kebebasan dari masing-masing kekuasaan. Artinya,
pemisahan kekuasaan akan dapat menghindari terjadinya interaksi atau campur tangan dari
kekuasaan yang satu terhadap kekuasaan yang lainnya. Bahkan Montesquieu berani
menyimpulkan bahwa jika kekuasaan eksekutif disatukan dengan legislatif atau yudikatif, atau
jika kekuasaan legislatif dicampur dengan kekuasaan yudikatif, maka tidak akan ada
kebebasan.
Dasar pemikiran Locke dan Montesquieu di jaman modern kemudian mengalami
perkembangan yang amat pesat. Mekanisme kelembagaan yang dulu belum menyentuh
persoalan-persoalan teknis dan operasional terus mengalami perbaikan-perbaikan. Namun
demikan isu-isu yang dikumandangkan tetap tidak berubah yaitu pembatasan kekuasaan negara
melalui mekanisme kedaulatan rakyat (demokratisasi).

9
2.2 Tinjauan Teori Pemerintahan Dari Sudut Pandang Filsafat Ilmu Dalam
Penyelesaian Masalah Pemerintahan di Indonesia
Sistem pemerintahan menjadi salah satu faktor penentu keberlangsungan kehidupan
bernegara. Pemerintahan akan berjalan efektif dan normal mana kala sistem yang dipilih dan
digunakan sesuai dengan karakter kondisi sosial politik negara. Pada hakikatnya kajian tentang
sistem pemerintahan adalah kajian tentang bagaimana lembaga – lembaga negara bekerja
dengan memperhatikan tingkat kewenangan dan pertanggungjawaban antar lembaga negara
terdapat sistem pemerintahan dimana ada hubungan yang erat antara kekuasaan eksekutif
dengan parlemen. Terdapat jenis – jenis sistem pemerintahan, yaitu sisem pemerintahan
Parlementer, Presidensial, Campuran dan Referendum (Anangkota, 2016).
Dalam teori pemerintahan dikenal istilah demokrasi, konsep demokrasi ini dipraktikkaan
di seluruh dunia secara berbeda-beda dari suatu Negara ke Negara lain. Setiap Negara dan
bahkan setiap orang menerapkan definisi dan kriterianya sendiri-sendiri mengenai demokrasi
itu. Sampai sekarang, Negara komunis seperti Kuba dan RRC juga mengaku sebagai Negara
demokrasi. Ia sudah menjadi paradigma dalam bahasa komunikasi dunia mengenai system
pemerintahan dan system politik yang dianggap ideal, meskipun dalam praktiknya setiap orang
menerapkan standar yang berbeda-beda, sesuai kepentingannya masing-masing. Oleh karena
itu, bisa saja pada suatu hari nanti, timbul kejenuhan atau ketidakpercayaan yang luas mengenai
kegunaan praktik konsep demokrasi modern ini. Jika itu terjadi, niscaya orang mulai akan
menggugat kembali secara kritis keberadaan sebagai system yang dianggap ideal. Sekarang
saja, sudah makin banyak sarjana yang mulai menaruh kecurigaan dan bahkan menilai bahwa
sebenarnya demokrasi itu sendiri juga hanya mitos.
Mimpi demokrasi hanyalah utopia, yang kenyataannya di lapangan tidaklah seindah
gagasan abstraknya. Namun, terlepas dari kritik-kritik itu, yang jelas, dalam system kedaulatan
rakyat itu, kekuasaan tertingi suatu Negara dianggap berada di tangan rakyat Negara itu sendiri.
Kekuasaan itu pada hakikatnya berasal dari rakyat, dikelola oleh rakyat, dan untuk kepentingan
seluruh rakyat itu sendiri. Jargon yang kemudian dikembangkan sehubungan dengan ini adalah
“kekuasaan itu dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Bahkan, dalam system participatory
democracy, dikembangkan pula tambahan bersama rakyat, sehingga menjadi “kekuasaan
pemerintahan ituberasal dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”.
Pengertian mengenai kekuasaan tertinggi itu sendiri, tidak perlu dipahami bersifat
monostik dan mutlak dalam arti tidak terbatas, karena sudah dengan sendirinya kekuasaan
tertinggi ditangan rakyat itu dibatasi oleh kesepakatan yang mereka tentukan sendiri secara
bersama-sama yang dituangkan dalam rumusan konstitusi yang mereka susun dan sahkan

10
bersama,terutama mereka mendirikan Negara yang bersangkutan. Inilah yang disebut dengan
kontrak social antar warga masyarakat yang tercermin dalam konstitusi. Konstitusi itulah yang
membatasi dan mengatur bagaimana kedaulatan rakyat itu disalurkan, dijalankan dan
diselenggarakan dalam kegiatan kenegaraandan kegiatan pemerintahan seharihari. Pada
hakikatnya, dalam ide kedaulatan rakyat itu, tetap harus dijamin bahwa rakyatlah yang
sesungguhnya pemilik Negara dengan segala kewenangannya untuk menjalankan semua fungsi
kekuasaan Negara, baik di bidang legislative, eksekutif, maupun yudikatif. Rakyatlah yang
berwenang merencanakan, mengatur, melaksanakan, dan melakukan pengawasan serta
penilaian terhadap pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan itu. Bahkan lebih jauh lagi, untuk
kemanfaatan bagi rakyatlah sesungguhnya segala kegiatan ditujukan dan diperuntukkannya
segala manfaat yang didapat dari adanya dan berfungsinya kegiatan bernegara itu. Inilah
gagasan kedaulatan rakyat atau demokrasi.
Ilmu pemerintahan pada dasarnya merupakan sebuah ilmu pengetahuan yang mandiri dan
otonom yang memiliki metode tersendiri sebagai pendekatan dalam melakukan kajian dan
penelusuran terhadap gejala atau peristiwa pemerintahan. Banyak ahli mengemukakan
beberapa pendekatan yang perlu dilakukan dalam membedah fenomena pemerintahan
berdasarkan referensi dan pengalaman hasil penelusurannya. Setiap ahli memiliki basis
argumentasinya karena dipengaruhi oleh waktu, tempat, situasi, peristiwa dan sistem yang
berbeda. Perbedaan tersebut merupakan dinamika perkembangan ilmu pemerintahan dari
waktu ke waktu. Namun dibalik itu semua tujuannya adalah memberikan kontribusi terhadap
penyelesaian masalahmasalah atau gejala peristiwa pemerintahan yang terus berkembang
dengan nilai sejarah suatu negara dan pengalaman penyelenggaraan pemerintahannya. Oleh
karena itu ditemukan perbedaan pokok bahasan ilmu pemerintahan pada setiap negara dan
bahkan perbedaan tersebut juga ditemukan dari periode waktu tertentu (Polyando, 2016).

11
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Semakin jelas fenomena ketatanegaraan yang ditunjukkan sekarang ini sudah tidak
memperlihatkan lagi akan adanya penguatan sistem presidensial. Pasalnya, setelah terpilihnya
Jokowi-JK sebagai presiden Republik Indonesia periode 2015-2020, terdapat partai oposisi
yang tergabung dalam “koalisi merah putih” secara terang-terangan akan melawan partai
pengusung Jokowi-JK. Artinya jika partai pengusung tidak dapat membubarkan koalisi
tersebut atau mengajak bergabung dengan partai pihak Jokowi-JK maka presiden yang
memegang kendali eksekutif akan lebih tersandera oleh parlemen. Hal ini tentunya sebagai hal
yang tidak lazim dalam suatu negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial namun
dalam praktik ketatanegaraan lebih kepada sistem pemerintahan parlementer. Inilah kiranya
anomali yang terjadi pada saat ini dalam tubuh ketatenegaraan negara Indonesia.
Apabila pemerintahan adalah sebuah prasyarat berdirinya sebuah negara maka menurut
R.M. MacIver dengan tegas mengatakan bahwa ilmu pemerintahan sama tuanya dengan obyek
pemerintahan yang berdiri terlebih dahulu dalam suatu negara. Ilmu politik lahir setelah
berdirinya negara sedangkan ilmu pemerintahan dengan obyek pemerintahan telah ada lebih
dahulu sebelum negara itu diciptakan. Berbagai model maupun tipe pemerintahan pun telah
dipraktikan dalam ruang dan waktu yang berbeda mengikuti dinamika sosial manusia dan
kebutuhan hadirnya pemerintahan tersebut. Semuanya merupakan satu kesatuan sistem yang
silih berganti berkembang dan dijalankan berdasarkan karakteristik jaman serta situasi dan
kondisi suatu bangsa.
Gejala pemerintahan yang terus menerus diamati dan dirasakan pun memunculkan rasa
ingin tahu manusia yang kemudian melahirkan ide atau gagasan mengenai bagaimana
pemerintahan tersebut berkembang dan berproses. dengan menyadari bahwa pengetahuan
pemerintahan yang dapat diketahui oleh manusia sifatnya hampir tidak terbatas, dalam arti
mampu menembus ruang dan waktu maka pengembangannya dengan logika yang ideal dibatasi
pada hal-hal tertentu yang fokus dan terarah. Hal ini dilakukan agar pengembangan
pengetahuan oleh manusia tidak merugikan kepentingan manusia lainnya. Adapun
pembatasannya melalui aturan (etika, agama, hukum, norma).
Menurut pemahaman Russell, bahwa pengetahuan pemerintahan pun berangkat dari
dunia nyata atau fakta yang telah terjadi bukan pada ruang imajinasi atau khayal. Selanjutnya
mengenai lahirnya pemerintahan sebagai ilmu yang mandiri dan otonom pada prinsipnya

12
berkembang sebagaimana proses normal lahirnya sebuah ilmu itu sendiri. di dalam wacana
umum, istilah ilmu (science) dan pengetahuan (knowledge) seringkali dipertukartempatkan.
Secara sederhana dapat dikemukakan bahwa setiap ilmu adalah pengetahuan, sedangkan setiap
pengetahuan belum tentu merupakan sebuah ilmu. Sebab ilmu adalah pengetahuan yang
memiliki ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya.
3.2 Saran
Dalam penyelesaiaan masalah pemerintahan di saat ini, maka perlu mengkaji kembali
tentang hakikat teori pemerintahan dari sudut filsafat sebagai awal kemunculan pengetahuan
tentang pemerintahan.

13
DAFTAR PUSTAKA

Anangkota, Muliadi. 2016. Klasifikasi Sistem Pemerintahan Perspektif Pemerintahan Modern


Kekinian. CosmoGov: Jurnal Ilmu Pemerintahan. Vol.3 No.2.
Asshiddiqie, Jimly. 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Konstitusi Press.
Indrayana, Denny. 2008. Negara Antara Ada dan Tiada. Jakarta: Kompas.
Isra, Saldi. 2010. Pergeseran Fungsi Legislasi, Menguatnya Model Legislasi Parlementer
dalam Sistem Presidensial Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Koswara E., 2002, Teori Pemerintahan Daerah, Jakarta: Institut Ilmu Pemerintahan Press.
Polyando, Petrus. 2016. Menelusuri Duduknya Ilmu Pemerintahan. Jurnal Politikologi . Vol. 3
No. 1 Oktober 2016 39 – 50.
Suriasumantri, Yuyun S. 2006, Ilmu Dalam Perspektif Sebuah Kumpulan Karangan tentang
Ilmu. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Wasistiono, Sadu dan Fernandes Simangunsong, 2015, Metodologi Ilmu Pemerintahan, IPDN
Press, Jatinangor.

14

Anda mungkin juga menyukai