Anda di halaman 1dari 28

Lab/SMF Farmasi-Farmakoterapi P-Treatment

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

ANTI FUNGI

Disusun Oleh
Noverita Febriani 1210015046
Inna Adilah 1510015067

Pembimbing
dr. Ika Fikriah, M.Kes

Lab/SMF Ilmu Farmasi/Farmakoterapi


Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
Samarinda
2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat-
Nya, kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah tentang “P-Treatment
Anti Fungi”. Makalah ini disusun dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di
Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
Kami mengucapkan terima kasih kepada dr.Ika Fikriah, M.Kes, selaku
dosen pembimbing kami. Terdapat ketidak sempurnaan dalam makalah ini,
sehingga kami mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnaan makalah
ini. Akhir kata, semoga makalah ini berguna bagi para pembaca.

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR...........................................................................................2
DAFTAR ISI........................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................5
A. Definisi 5
B. Epidemiologi 6
C. Etiologi 6
D. Klasifikasi 7
E. Patofisiologi 10
F. Gambaran Klinis 11
G. Diagnosis 13
H. Penatalaksanaan15
BAB III TINJAUAN KASUS DAN P-TREATMENT......................................17
A. Menentukan Problem Pasien 18
B. Menentukan Tujuan Terapi 18
C. Pemilihan Terapi 18
D. Pemberian Terapi 25
E. Komunikasi Terapi 26
F. Monitoring dan evaluasi 27
BAB IV PENUTUP...........................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................29

3
BAB I
PENDAHULUAN

Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologi tertua yang ditemukan


pada semua umur yang dapat menyebabkan kecacatan serta kematian.
Diperkirakan terdapat 50 juta orang di seluruh dunia yang menderita epilepsi
(WHO 2012). Populasi epilepsi aktif (terjadi bangkitan terus menerus dan
memerlukan pengobatan) diperkirakan antara 4-10 per 1000 penduduk. Namun
angka ini jauh lebih tinggi di negara dengan pendapatan perkapita menengah
dan rendah yaitu antara 7-14 per 1000 penduduk.
Secara umum diperkirakan terdapat 2,4 juta pasien yang didiagnosis
epilepsi setiap tahunnya. Epilepsi adalah kelainan otak yang ditandai oleh
adanya faktor pedisposisi secara terus menerus untuk terjadinya suatu bangkitan
epileptik dan juga ditandai oleh adanya faktor neurolobiologis, kognitif,
psikologis, dan konsekuensi sosial akibat kondisi tersebut.
Tujuan utama terapi epilepsi adalah mengupayakan penyandang epilepsi
dapat hidup normal dan tercapainya kualitas hidup optimal sesuai dengan
perjalanan penyakit dan disabilitas fisik maupun mental yang dimilikinya.
Harapannya adalah bebas bangkitan tanpa efek samping. Untuk tercapainya
tujuan tersebut diperlukan beberapa upaya, antara lain menghentikan bangkitan,
mengurangi frekuensi bangkitan tanpa efek samping/ dengan efek samping
yang minimal, menurunkan angka kesakitan dan kematian. Terapi pada epilepsi
dapat berupa terapi farmakologi dan nonfarmakologi.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Epilepsi adalah sekelompok gangguan susuanan saraf pusat yang timbul
spontan dan berulang dengan episoda singkat (recurrent seizure), dengan gejala
utama kesadaran menurun sampai hilang. Bangkitan biasanya disertai dengan
kejang, hiperaktivitas otonomik, gangguan sensorik atau psikik dan selalu
disertai gambaran letupan abnormal dan esesif dari EEG.
Bangkitan epilepsi adalah manifestasi gangguan otak dengan berbagai
gejala klinis, disebabkan oleh lepasnya muatan listrik dari neuron-neuron otak
secara berlebihan dan berkala tepat tetapi reversibel dengan berbagai etiologi.
Epilepsy adalah suatu penyakit otak yang ditandai dengan kondisi/gejala
berikut:
1. Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkita reflex
dengan jarak waktu antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam
2. Satu bangkitan tanpa provokasi atau satu bangkita reflex dengan
kemungkinan terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun ke depan sama
dengan (minimal 60%) bila terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi/bangkitan
reflex (misalkan bangkitan pertama yang terjadi 1 bulan setelah kejadian
stroke, bangkitan pertama pada anak yang disertai lesi structural dan
epileptiform dischargers)
3. Sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsy
Bangkitan reflex adalah bangkitan yang muncul akibat induksi oleh factor
pencetus spesifik, seperti stimulasi visual, auditorik, somatosensitif, dan
somatomotor.

5
B. Epidemiologi
Insidensi epilepsi di berbagai negara bervariasi, sedangkan di Indonesia
sendiri diperkirakan ada 900.000-1,8 juta penderita. Epilepsi dijumpai hampir
semua ras di dunia dengan prevelensi yang hampir sama, walaupun dari
beberapan penelitian angka tertinggi berada di negara berkembang. Penderita
laki-laki lebih sering dibandingkan perempuan dan banyak ditemukan pada
anak yang pertama.
Terdapat perbedaan usia dimulainya awitan bangkitan pada kelompok umur
tertentu, awal bangkitan pada usia kurang dari 4 tahun sekitar 30-32,9%, usia
kurang dari 10 tahun bekisar 50-51,5%, usia kurang dari 20 tahun sebesar 75-
83,4%, sekitar 15% pada usia lebih dari 25 tahun, dan 2% pada usia lebih dari
50 tahun.

C. Etiologi
Etiologi epilepsi dapat dibagi ke dalam 3 kategori, sebagai berikut:
1. Idiopatik: tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit neurologis.
Diperkirakan mempunyai predisposisi genetik dan umumnya berhubungan
dengan usia.
2. Kriptogenik: dianggap simtomatis tetapi penyebabnya belum diketahui.
Termasuk disini sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut dan epilepsi
mioklonik. Gambaran klinis sesuai dengan ensefalopati difus.

3. Simtomatis: bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/ lesi struktural


pada otak, misalnya cedera kepala, infeksi SSP, kelainan kongenital, lesi
desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat),
metabolik, kelainan neurodegenerative

Penyebab epilepsy pada berbagai kelompok usia :


1. Kelompok usia 0-6 bulan

6
 Kelainan Intra uterin
 Kelainan selama persalinan : asfiksia dan perdarahan intracranial karena
kelainan maternal
 Kelainan congenital
 Gangguan metabolic
 Infeksi Susunan saraf pusat
2. Kelompok usia 6 bulan – 3 tahun
 Sama seperti kelompok usia diatas
 Kejang demam
3. Kelompok anak-anak sampai remaja
 Infeksi virus, bakteri, parasit
 Abses otak
4. Kelompok usia muda
 Cedera kepala
 Tumor otak
 Infeksi
5. Kelompok usia lanjut
 Gangguan pembuluh darah otak
 Trauma
 Tumor otak
 Degenerasi serebral

D. Klasifikasi
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) 1981, epilepsi
diklasifikasikan menjadi 2 yakni berdasarkan bangkitan epilepsi dan
berdasarkan sindrom epilepsi.
Klasifikasi berdasarkan tipe bangkitan epilepsi :
1. Bangkitan Parsial
Bangkitan parsial diklasifikasikan menjadi 3 yakni,
a. Parsial Sederhana (kesadaran tetap baik)

 Dengan gejala motorik

 Dengan gejala somatosensorik atau sensorik khusus

7
 Dengan gejala autonom

 Dengan gejala psikis

b. Parsial Kompleks (kesadaran menurun)

 Berasal sebagai parsial sederhana dan berekambang menjadi


penurunan kesadaran

 Dengan penurunan kesadaran sejak awaitan

 Parsial yang menjadi umum sekunder

 Parsial sederhana yang menajdi umum tonik-konik

 Parsial kompleks menjadi umum tonik-klonik

 Parsial sederhana menjadi parsial kompleks dan menjadi umum


tonik-konik
2. Bangkitan Umum
a. Absence / lena / petit mal
Bangkitan ini ditandai dengan gangguan kesadaran mendadak
(absence) dalam beberapa detik (sekitar 5-10 detik) dimana motorik
terhenti dan penderita diam tanpa reaksi. Seragan ini biasanya timbul
pada anak-anak yang berusia antara 4 sampai 8 tahun. Pada waktu
kesadaran hilang, tonus otot skeletal tidak hilang sehingga penderita
tidak jatuh. Saat serangan mata penderita akan memandang jauh ke
depan atau mata berputar ke atas dan tangan melepaskan benda yang
sedang dipegangnya. Pasca serangan, penderita akan sadar kembali
dan biasanya lupa akan peristiwa yang baru dialaminya. Pada
pemeriksaan EEG akan menunjukan gambaran yang khas yakni

8
“spike wave” yang berfrekuensi 3 siklus per detik yang bangkit
secara menyeluruh.

b. Klonik
Kejang Klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan
pemulaan fokal dan multifokal yang berpindah-pindah. Kejang
klonik fokal berlangsung 1 – 3 detik, terlokalisasi , tidak disertai
gangguan kesadaran dan biasanya tidak diikuti oleh fase tonik.
Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio cerebri akibat
trauma fokal pada bayi besar dan cukup bulan atau oleh ensepalopati
metabolik.

c. Tonik
Berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik
umum dengan ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai
deserebrasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan
bentuk dekortikasi.

d. Tonik-klonik /Grand mal


Secara tiba-tiba penderita akan jatuh disertai dengan teriakan,
pernafasan terhenti sejenak kemudian diiukti oleh kekauan tubuh.
Setelah itu muncul gerakan kejang tonik-klonik (gerakan tonik yag
disertai dengan relaksaki). Pada saat serangan, penderita tidak sadar,
bisa menggigit lidah atau bibirnya sendiri, dan bisa sampai
mengompol. Pasca serangan, penderita akan sadar secara perlahan
dan merasakan tubuhnya terasa lemas dan biasanya akan tertidur
setelahnya.

e. Mioklonik

9
Bangkitan mioklonik muncul akibat adanya gerakan involuntar
sekelompok otot skelet yang muncul secara tiba-tiba dan biasanya
hanya berlangsung sejenak. Gambaran klinis yang terlihat adalah
gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau keempat anggota gerak yang
berulang dan terjadinya cepat.

f. Atonik
Bangkitan ini jarang terjadi. Biasanya penderita akan kehilangan
kekuatan otot dan terjatuh secara tiba-tiba.

E. Patofisiologi
Secara normal aktivitas otak terjadi oleh karena perpindahan sinyal dari
satu neuron ke neuron lain. Perpindahan ini terjadi antara akson terminal suatu
neuron dengan dendrit neuron yang lain melalui sinaps. Sinaps merupakan area
yang penting untuk perpindahan elektrolit dan sekresi neurotransmitter yang
berada di dalam vesikel presinaps. Komposisi elektrolit dan neurotransmitter
saling mempengaruhi satu sama lain untuk menjaga keseimbangan gradient ion
di dalam dan di luar sel melalui ikatan antara neurotransmitter dengan
reseptormya serta keluar masuknya elektrolit melalui kanalnya masing-masing.
Aktivitas tersebut akan menyebabkan terjadinya depolarisasi, hiperpolarisasi
dan repolarisasi sehingga terjadi potensisal eksitasi dan inhibisi pada sel
neuron. Potensisal eksitasi di proyeksikan oleh sel-sel neuron yang berada di
kortek yang kemudian di teruskan oleh akson, sementara sel interneuron
berfungsi sebagai inhibisi.
Elektrolit yang berperan penting dalam aktivitas otak adalah natrium
(Na+), kalsium (Ca2+), kalium (K+), magnesium (Mg2+) dan klorida (Cl-).
Neurotransmitter pada proses eksitasi adalah glutamat sedangkan pada proses
inhibisi neurotransmiter utama adalah asam aminibutirik (GABA)

10
F. Gambaran Klinis
1. Sawan parsial sederhana, ditandai dengan kesadaran yang tetap baik
dan dapat berupa: motorik fokal yang menjalar atau tanpa menjalar
(gerakan klonik dari jari tangan, lalu menjalar ke lengan bawah dan atas
atau menjalar ke seluruh tubuh, dulu dikenal sebagai epilepsy tipe
Jackson); gerakan versif, dengan kepala dan leher menengok ke suatu
sisi; atau dapat pula sebagai gejala sensorik fokal menjalar atau sensorik
khusus berupa halusinasi sederhana (visual, auditorik, gustatorik).
Kadang-kadang ada defisit neurologic fokal pasca sawan berupa
kelumpuhan ekstremitas; keadaan ini disebut sebagai paralisis Todd
yang biasanya hilang dalam beberapa jam.
2. Sawan parsial kompleks didapat adanya gangguan kesadaran dan
gejala psikis atau gangguan fungsi luhur, umpamanya disfasia, déjà-vu
(kenal dengan peristiwaperistiwa yang belum pernah dialaminya),
jamais-vu (tidak kenal dengan peristiwa yang pernah dialami), keadaan
seperti mimpi (dreamy state), ilusi, halusinasi sederhana atau kompleks
(rasa mendengar music), otomatisme (mengunyah-ngunyah, menelan,
gerakan-gerakan tertentu, verbal). Sawan ini sering bercampur dengan
emosi. Sebetulnya otomatisme bukan manifestasi khusus pada sawan
parsial kompleks, tapi dapat terjadi pada sawan lena, dan pasca sawan
tonik klonik. Penderita sering menjadi bingung, disorientasi, selama
beberapa menit pasca sawan parsial kompleks ini.
3. Sawan parsial dapat berubah menjadi sawan jenis lain melalui beberapa
tingkatan, hal ini menunjukkan adanya penyabaran lepasan listrik ke
berbagai bagian otak. Suatu sawan parsial dapat dimulai sebagai sawan
parsial sederhana, ini dapat disusul dengan sawan umum sekunder, atau
sawan parsial sederhana berubah menjadi sawan parsial kompleks dulu
disusul oleh sawan umum tonik-klonik sekunder. Sawan parsial

11
merupakan yang sering dijumpai, dan lebih dari 60% sawan kategori ini.
Sawan ini dulu dikenal sebagai epilepsy psikomotor.
4. Sawan umum tonik-klonik primer yang dulu dikenal sebagai epilepsy
grand-mal, awalnya dimulai dengan kehilangan kesadaran dan disusul
dengan gejala motorik secara bilateral, ini dapat berupa ekstensi tonik
dari semua ekstremitas selama beberapa menit, disusul oleh gerakan
klonik yang sinkron dari otot-otot tersebut. beberapa penderita dapat
menunjukkan komponen tonik saja atau klonik saja atau klonik-tonik-
klonik. Segera sesudah sawan berhenti kesadaran belum pulih dan
penderita tertidur. Kadang-kadang sebelum sawan ada gejala prodromal
berupa kecemasan yang tidak menentu atau rasa tidak nyaman.
5. Sawan mioklonik ditandai oleh kontraksi oot-otot tubuh secara cepat,
sinkron dan bilateral atau kadang-kadang hanya mengenai kelompok
otot tertentu.
6. Sawan lena ditandai oleh kehilangan kesadaran yang berlangsung
sangat singkat, sehingga aktivitas yang sedang berjalan terhenti.
Beberapa episode dapat disertai dengan mata yang menatap kosong atau
gerakan mioklonik dari kelompok otot mata atau wajah, otomatisme,
kehilangan tonus otot (sehingga barang yang sedang dipegang terjatuh
atau bila sedang berdiri dapat terjatuh). Serangan sawan ini dapat
berakhir dengan segera diikuti oleh pulihnya kesadaran. Sawan ini
berlangsung beberapa detik sampai setengah menit, dapat berlangsung
puluhan kali dalam sehari.
7. Sawan atonik ditandai dengan kehilangan tonus otot secara mendadak
pada kelemahan otot tertentu (umpamanya kelompok otot leher,
sehingga kepala terkulai), ini dapat berlangsung singkat, dan kesadaran
dapat hilang sesaat atau tidak sama sekali.
8. Bila sawan yang tidak dimasukkan ke dalam kategori sawan umum atau
parsial, maka dimasukkan ke dalam sawan epileptic yang tidak

12
diklasifikasikan, di sini termasuk yang datanya tidak lengkap, sawan
pada neonatus.

G. Diagnosis
Anamnesis
Auto dan allo-anamnesis dari orang tua atau saksi mata mengenai hal hal
dibawah ini
1. Gejala dan tanda sebelum, selama, dan pasca bangkitan :
 Sebelum bangkitan/gejala prodromal: Kondisi fisik dan psikis yang
mengindikasikan akan terjadinya bangkitan, misalnya perubahan
perilaku, perasaan lapar, berkeringat, hipotermi, mengantuk, menjadi
sensitif, dan lain-lain.
 Selama bangkitan/iktal:
- Apakah terdapat aura, gejala yang dirasakan pada awal bangkitan?
- Bagaimana pola/bentuk bangkitan, mulai dari deviasi mata, gerakan
kepala, gerakan tubuh, vokalisasi, otomatisasi, gerakan pada salah
satu atau kedua lengan dan tungkai, bangkitan tonik/klonik,
inkontinensia, lidah tergigit, pucat, berkeringat, dan lain-lain. (Akan
lebih baik bila keluarga dapat diminta untuk menirukan gerakan
bangkitan atau merekam video saat bangkitan)
- Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan?
- Apakah terdapat perubahan pola dari bangkitan sebelumnya?
- Aktivitas penyandang saat terjadi bangkitan, misalnya saat tidur, saat
terjaga, bermain video game, berkemih, dan lain-lain.
 Pasca bangkitan/ post iktal: Bingung, langsung sadar, nyeri kepala, tidur,
gaduh gelisah, Todd’s paresis.
2. Faktor pencetus : kelelahan, kurang tidur, hormonal, stress psikologis,
alkohol.
3. Usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan, interval terpanjang
antar bangkitan, kesadaran antar bangkitan.
4. Terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap OAE sebelumnya:
 Jenis obat anti epilepsi (OAE)
 Dosis OAE

13
 Jadwal minum OAE
 Kepatuhan minum OAE
 Kadar OAE dalam plasma
 Kombinasi terapi OAE.
5. Penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit neurologik, psikiatrik
maupun sistemik yang mungkin menjadi penyebab maupun komorbiditas.
 Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga
 Riwayat saat berada dalam kandungan, kelahiran, dan tumbuh kembang
 Riwayat bangkitan neonatal/ kejang deman
 Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi susunan saraf pusat (SSP), dan
lain-lain.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik umum, Untuk mencari tanda-tanda gangguan yang
berkaitan dengan epilepsi, misalnya:
 Trauma kepala,
 Tanda-tanda infeksi,
 Kelainan kongenital,
 Kecanduan alkohol atau napza,
 Kelainan pada kulit (neurofakomatosis)
 Tanda-tanda keganasan.
Pemeriksaan neurologis, untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal
atau difus yang dapat berhubungan dengan epilepsi. Jika dilakukan dalam
beberapa menit setelah bangkitan maka akan tampak tanda pasca bangkitan
terutama tanda fokal yang tidak jarang dapat menjadi petunjuk lokalisasi,
seperti:
 Paresis Todd
 Gangguan kesadaran pascaiktal
 Afasia pascaiktal

Kriteria Diagnosis
1. Setidaknya ada dua kejang tanpa provokasi atau dua bangkitan refleks yang
berselang lebih dari 24 jam.

14
2. Satu bangkitan tanpa provokasi atau satu bangkitan reflek dengan adanya
kemungkinan bangkitan berulang dengan risiko rekurensi sama dengan dua
bangkitan tanpa provokasi (setidaknya 60%), yang dapat timbul hingga 10
tahun ke depan (Bangkitan refleks adalah bangkitan yang muncul akibat
induksi oleh faktor pencetus tertentu seperti stimulasi visual, auditorik,
somatosensitif, dan somatomotorik)

H. Penatalaksanaan
Pada bangkitan epileptik pertama, terapi obat anti epileptik (OAE) dapat
langsung diberikan bila terdapat risiko yang tinggi untuk terjadinya bangkitan
berulang. OAE dberikan berdasarkan tipe bangkitan.
Tipe Bangkitan OAE Lini Pertama OAE Lini Kedua
Bangkitan parsial Fenitoin, carbamazepin, Acetozolamide,
(sederhana atau valproat clobazam, clonazepam,
kompleks) ethosuximide, felbamate,
gabapentine, lamotrigine,
Bangkitan umum Carbamazepin, fenitoin,
levetiracetam,
(sekunder) valproat
oxcarbazepine, tiagabin,
topiramate, vigabatrin,
pirimidone

Bangkitan umum tonik Carbamazepin, fenitoin, Acetozolamide,


klonik valproat, fenobarbital clobazam, clonazepam,
ethosuximide, felbamate,
gabapentine, lamotrigine,
levetiracetam,
oxcarbazepine, tiagabin,
topiramate, vigabatrin,
fenobarbital, pirimidone

Bangkitan lena Valproat Acetozolamide,


(absence) clobazam, clonazepam,
lamotrigin, fenobarbital,
pirimidone

Bangkitan mioklonik Valproat clobazam, clonazepam,

15
ethosuximide, lamotrigin,
fenobarbital, pirimidone,
piracetam

Penghentian OAE
Syarat penghentian OAE adalah sebagai berikut:
a. Penghentian OAE dapat dihentikan setelah minimal 2 tahun bebas
bangkitan
b. Gambaran EEG normal
c. Dilakukan bertahap, pada umumnya 25% dosis semula, setiap bulannya
dalam jangka waktu 3-6 bulan
d. Bila digunakan lebih dari 1OAE, penghentian OAE dimulai dari1 OAE
yang bukan utama

16
BAB III
TINJAUAN KASUS DAN P-TREATMENT

Kasus :
Ny. Maria berumur 22 tahun dibawa ke IGD oleh suaminya karena
mengalami kejang dengan seluruh tubuh kaku, kedua tangan dan kaki tersentak-
sentak yang terjadi selama kira-kira lebih dari 5 menit. Selama keluhan tersebut
pasien tidak sadarkan diri.
Setelah sadar, pasien mengompol di celana kebingungan. Keluhan serupa
pernah terjadi pada waktu kecil 1x namun tidak pernah dibawa kerumah sakit.
Riwayat benturan kepala, infeksi otak, dan selaput otak sebelumnya disangkal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, tekanan darah
120/80 mmHg, pernapasan 18x/menit, nadi 80x/menit, suhu aksiler 36,6°C.
Pada pemeriksaan neurologi tidak ditemukan kelainan.

Keluhan Utama : seluruh tubuh kaku, kedua tangan dan kaki tersentak-semtak,
disertai dengan penurunan kesadaran yang terjadi selama kurang lebih 8 menit.
Pemeriksaan Fisik : tanda-tanda vital dalam batas normal, tidak didapatkan
kelainan neurologis.
Pemeriksaan Penunjang : -
Diagnosis : Epilepsi Generalisata (Umum) Tonik Klonik (Grand Mall)

Tahapan penentuan P-Treatment:


1. Menentukan problem pasien
2. Menentukan tujuan terapi
3. Menentukan pemilihan terapi
4. Melakukan pemberian terapi (resep jika ada)
5. Melakukan komunikasi terapi
6. Melakukan monitoring dan evaluasi
P-TREATMENT

17
A. Menentukan Problem Pasien
- Kejang

B. Menentukan Tujuan Terapi


- Mengupayakan kondisi bebas bangkitan dengan efek seminimal
mungkin.
- Mengupayakan pasien dapat hidup normal dan tercapainya kualitas
hidup optimal.

C. Pemilihan Terapi
1) Terapi Non Farmakologis
- Menghindari faktor pencetus seperti minum alkohol, emosi, dan
kelelahan fisik maupun mental
- Hindarkan barang berbahaya di sekitar pasien ketika terjadi serangan
- Lindungi pasien dari cedera saat terjadi serangan
- Jangan menahan pasien saat terjadinya bangkitan dan biarkan kejang
berjalan dengan sendirinya
- Hindari memberikan minum atau menyiram pasien dengan air saat
terjadinya bangkitan

2) Terapi Farmakologis
Pilihan terapi farmakologis untuk epilepsi adalah sebagai berikut :
TERAPI EPILEPSI OBAT PILIHAN DAN OBAT ALTERNATIF
SEIZURE DISORDER DRUGS
TONIC-CLONIC OAE Lini pertama Carbamazepin, Penitoin,
As.Valproat, Fenobarbital
OAE Lini Kedua Acetozolamide, clobazam,
clonazepam, ethoxiximide,
felbamate, gabapentine,
lamotrigine, levetiracetam,
oxcarbazepine,
tiagabin,topiramate,
vigabatrin, pirimidone

18
Golongan Efficacy Safety Suitability Cost
Obat
Karbamaz +++ ++ +++ +++
epine FD : Efek KI : Kapsul :
Pada konsenterasi Samping: pengguna Rp 180,- /
teraupetik bekerja CNS : MAOI, kapsul
dengan diplopia, riwayat
memblokade vertigo, immunosupre
saluran natrium penglihatan si,
dan menghambat kabur, hipersensitivi
cetusan berulang, atalaksia tas terhadap
juga bekerja GIT : Mual, anti depresan
secara prasinaptik muntah trisiklit,
untuk Kulit : porfiria,
menurunkan Dermatitis gangguan
transmisi sinaptik alergi, SSJ konduksi AV
Lain-lain :
FK : anemia
A : umumnya aplastik,
absorbsi bersifat eosinophilia,
hampir sempurna limfadenopati,
pada semua splenomegaly
pasien dengan
kadar puncak
tercapai 6 – 8 jam
setelah pemberian
obat.

19
D: distribusi
berlangsung
lambat, dan
terikat pada 70%
dengan protein
plasma dengan
waktu paruh 25-
65 jam di
M : Hati
E : Ekskresi
melalui ginjal
Hindatoin +++ ++ ++ ++
(Fenitoin) FD: Efek KI : Tablet :
Mengubah Samping: pasien Rp
konduktansi Na+, CNS : dengan 3.500,-/tablet
K+, dan Ca2+, diplopia, penyakit
potensial ataksia, gangguan
membran, dan vertigo, ginjal dan ibu
GABA. Fenitoin nystagmus, hamil,
memblokade sukar bicara, bradikardi,
pelepasan tremor, gugup,
berulang potensial kantuk, dan
aksi yang rasa lelah
berfrekuensi GIT : udem
tinggi dan gingiva,
bertahan lama. anoreksia,
Mekanisme kerja nyeri ulu hati,
utamnya dengan mual muntah
memblokade Kulit : ruam

20
kanal natrium. morbiliformis,
Namun juga keratosis
bekerja dengan Lain-lain :
mereduksi hipersesnsitivit
permeabilitas as dan anemia
kalsium juga megaloblastik
menghambat
influks kalsium,
serta menurunkan
pelepasan
glutamat juga
meningkatkan
pelepasan GABA.

FK :
A : diabsorbsi
melalui saluran
cerna secara
sempurna dan
mencapai kadar
puncak dalam 3-
12 jam
D : terikat sangat
erat dengan
protein plasma,
konsenterasi obat
dalam CSS
sebanding dengan

21
kadar obat di
dalam plasma.
Dapat menumpuk
di otak,
hati,otot,dan
lemak
M : di hati
E : diekskresi
sebagian besar
melalui urin
setelah
dimetabolisme
menjadi inaktif
Asam +++ ++ +++ ++
Valproat FD : Efek KI : Tablet :
(Valproat) Memblokade Samping: penyakit Rp
kanal natrium dan Mual muntah, hepar aktif 3.750,-/tablet
menyebabkan gangguan
hiperpolarisasi pencernaan
potensial istirahat lain, nyeri
membrane neuron perut, kantuk,
akibat ataksia, tremor,
peningkatan daya hepatotoksik,
konduksi pada kasus
membrane untuk yang jarang
kalium. Memiliki dapat terjadi
efek antikonvulsi peningkatan
dengan berat badan
meningkatkan dan nafsu

22
GABA di otak makan serta
kerontokan
FK : rambut.
A : diabsorbsi
dengan baik
melalui oral dan
kadar puncak
dicapai dalam
waktu 2 jam.
Makanan dapat
memperlambat
absorbsi.
D: terikat 90%
pada protein
plasma dengan
waktu paruh
antara 9-18 jam.
M: metabolisme
di hati
E: diekskresi
melalui urin
Barbiturat ++ + ++ ++
(Fenobarbi FD : Efek KI : Sirup :
ital) Membatasi Samping: depresi Rp 57.000 –
penjalaran, Mengantuk, sistem Rp 101.000
aktivitas penurunan pernapasan,
bangkitan, dan kesadaran, gangguan
menaikkan ataksia, depresi hati berat,
ambang rangsang, SSP sampai porfiria

23
meningkatkan koma, henti
inhibisi yang napas,
diperantarai laringospasme
GABA dan
reduksi eksitasi
diperantarai
glutamat,
menekan letupan
di focus epilepsy,
efektif untuk
serangan epilepsy
berulang

FK :
A : diabsorbsi
dengan baik
peroral
D : dapat
penetrasi ke otak
M : di Hati
E : secara utuh
melalui ginjal

D. Pemberian Terapi
1) Non-Farmakologis
- Menghindari faktor pencetus seperti minum alkhohol dan kelelahan
fisik maupun mental.
- Dirujuk ke bagian neurologi untuk melakukan pemeriksaan EEG

24
2) Farmakologis
Berdasarkan tabel pemilihan obat p-treatment di atas,obat yang dipilih
adalah golongan Carbamazepine, yang ditinjau dari segi
efficacy,suittability,cost, dan safety. Dimana obat ini memiliki keunggulan
dari segi safety dan cost dibandingkan obat anti epilepsi golongan lain. Selain
itu, obat ini merupakan terapi lini pertama
PRAKTEK DOKTERdalam epilepsii grand mal.
BERSAMA
dr. Fauziah Bahar
Jalan Perjuangan Nomor 11
Telp.0541-727777
SIP.1910027016

Samarinda, 16 September 2019

R/ Carbamazepin cap 200 mg LX


S 2dd cap I pc

Pro: Ny. Maria


Umur: 22 tahun
Alamat: Jalan X no.Y

E. Komunikasi Terapi
1) Informasi Penyakit
- Epilepsy bukan suatu penyakit menular dan bukan penyakit keturunan
dapat diobati dan dapat dikendalikan
- Penyakit ini dapat menyebabkan hilangnya kesadaran.
- Kejang akan mereda dengan sendirinya
- Hindarkan barang berbahaya di sekitar pasien saat terjadi serangan
- Hindarkan tindakan yang salah seperti, memberi minum, menyiram air,
atau menahan pasien saat kejang.
- Jika memungkinkan longgarkan pakaian pasien
- Cegah orang-orang berkerumun dan menonton pasien

2) Infomasi Terapi Non-Farmakologis


- Hindari faktor pencetus seperti minum akhohol, dan kelelahan fisik dan
mental

25
- Dianjurkan menghubungi dokter mengikuti anjuran dan disiplin minum
obat
- Pasien tidak boleh putus obat dan mengurangi dosisnya sendiri

3) Informasi terapi farmako


- Indikasi : epilepsi semua jenis kecuali petit mal
- Kontraindikasi : gangguan konduksi AV, riwayat depresi sumsum
tulang, porfiria, penggunaan bersama MAOI
- Dosis : 100 – 200 mg , 1 – 2x/ hari untuk dosis awal,
ditingkatkan 400 mg 2-3x/hari.
- Cara pemakaian : oral
- Efek samping : efek samping yang sering muncul penurunan
nafsu makan, mulut kering, mual, mntah, pusing, dengan efek samping
lain yang jarang berupa mengantuk, sakit kepala, ataksia, bingung dan
agitasi, gangguan penglihatan, konstipasi, diare, ruam, eritema,
leukopenia dan gangguan darah lain, hepatitis, sindrom steven johnson,
atralgia, demam, proteinuria, gangguan konduksi jantung, depresi,
impotensi, ginekomastia, galaktorea, fotosensitivitas, hipertensi
pulmonar, hiponatremi, edema, penurunan nafsu makan, mulut kering.

F. Monitoring dan evaluasi


- Kontrol pengobatan, pasien harus kontrol kembali sebelum obatnya
habis
- Obat dihentikan minimal setelah 2 tahun bebas serangan, dan tidak
dijumpai retardasi psikomotor dan devisit neurologis. dosis dikurangi
sebesar 25% tiap 2 atau 4 minggu
- Monitoring obat dalam serum.

26
BAB IV
PENUTUP

Adapun kesimpulan dari kasus pasien di atas antara lain:


1. Pasien menderita epilepsi bangkitan umum tonik klonik (grand mal).
2. Terapi farmakologis yang diberikan adalah golongan carbamazepin dengan
dosis yang diberikan 200 mg sebanyak 2x sehari.
3. Terapi tidak boleh putus di tengah jalan.

27
DAFTAR PUSTAKA

Fitriana, R. (2018, August 27). Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.


Retrieved September 16, 2019, from Direktorat Jendral Pelayanan
Kesehatan: http://yankes.kemkes.go.id/read-epilepsi-4812.html
Harsono. (2015). Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Katzung, B. G. (2012). Farmakologi Dasar dan Klinik (10 ed.). Jakarta: EGC.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2017, August 2). Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Epilepsi pada Anak.
Jakarta.
Munir, B. (2015). Neurologi Dasar. Malang: Sagung Seto.
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. (2016). Panduan Praktis Klinis
Neurologi. Jakarta: PERDOSSI.
Pico, G. M. (Ed.). (2017). MIMS Petunjuk Konsultasi (17 ed.). Jakarta: Bhuana
Ilmu Populer.
Team Medical Mini Notes . (2019). Basic Pharmacology and Drug Notes.
Makassar: MMN Publishing.
Utama, H., & Gan, V. H. (2011). Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta:
Badan Penerbit FK UI.

28

Anda mungkin juga menyukai