Anda di halaman 1dari 31

TUMOR MEDIASTINUM DENGAN MIASTENIA GRAVIS

LAPORAN KASUS

Oleh:
Tifany Tabita Korompis
17014101377

Residen Pembimbing:
dr. Sandy

Supervisor Pembimbing:
dr. Adrian Tangkilisan, Sp.B-TKV

BAGIAN BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SAM RATULANGI MANADO
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dibacakan, dikoreksi dan disetujui Laporan Kasus dengan judul

TUMOR MEDIASTINUM DENGAN MIASTENIA GRAVIS

Pada tanggal 22 April 2019

Mengetahui,

Residen Pembimbing:

dr. Sandy

2
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dibacakan, dikoreksi dan disetujui Laporan Kasus dengan judul

TUMOR MEDIASTINUM DENGAN MIASTENIA GRAVIS

Pada tanggal, 22 April 2019

Mengetahui,

Supervisor Pembimbing

dr. Adrian Tangkilisan, Sp.B-TKV

3
BAB I
PENDAHULUAN

Tumor mediastinum adalah tumor atau massa yang terdapat di dalam


mediastinum yaitu suatu rongga yang berada diantara kedua paru. Mediastinum
berisi jantung, pembuluh darah arteri dan pembuluh darah vena utama, trakea,
kelenjar timus, saraf, jaringan ikat, kelenjar getah bening serta salurannya.
Rongga ini sempit dan tidak dapat diperluas, maka pembesaran tumor dapat
menekan organ di sekitarnya sehingga dapat menyebabkan kegawatan yang
mengancam jiwa. Di Indonesia, berdasarkan lokasi tumor pada mediastinum
ditemukan sebanyak 64.7% kasus pada bagian anterior, 29,4% kasus pada bagian
mediastinum medial dan sisanya 5,9% kasus pada bagian posterior.1-4
Tumor mediastinum anterior tersering berasal dari kelenjar timus seperti
timoma dan thymic carcinoma. Pada timoma umumnya memberikan gambaran
jinak walaupun secara histologi telah invasif sehingga sering tanpa gejala khas
dan sulit dideteksi dengan pemeriksaan fisik, sedangkan thymic carcinoma
bersifat ganas, lebih cepat tumbuh serta menyebar ke bagian tubuh lainnya dan
lebih sulit untuk diobati. Berdasarkan usia tersering pada usia 40-60 tahun,
dengan timoma sekitar 47% kasus dan thymic carcinoma sekitar 5-10% kasus dari
tumor mediastinum anterior. Sekitar 30-50% penderita timoma mengalami
miastenia gravis dan sekitar 10-15% penderita miastenia gravis mengalami
timoma, sedangkan thymic carcinoma jarang terkait dengan miastenia gravis.
Miastenia gravis merupakan gangguan autoimun yang disebabkan oleh antibodi
atau sel limfosit T yang menyerang molekul, sel atau jaringan organisme yang
memproduksinya.1,2,5-7
Penentuan staging dari timoma memegang peran penting terhadap
keberhasilan penatalaksanaan. Penentuan staging yang paling banyak digunakan
yaitu kriteria Masaoka. Pemeriksaan histologi massa menggunakan kriteria WHO
merupakan konfirmasi terakhir dari timoma yang dilaksanakan pasca
pembedahan. Pada thymic carcinoma diklasifikasikan menjadi tipe low grade dan
high grade.2,5-8

4
Tatalaksana utama untuk kasus timoma adalah dengan pembedahan,
namun juga dapat digunakan modalitas lain seperti radioterapi, kemoterapi atau
kombinasi keduanya. Pada tymic carcinoma pengobatan utamanya seperti
timoma, namun dengan resiko kambuh yang lebih besar dikarenakan stadium
9,10
tumor yang lebih lanjut Penatalaksanaan tumor mediastinum dengan
miastenia gravis memerlukan penatalaksaan khusus setelah terapi utama
dilakukan dikarenakan adanya penyulit yakni miastenia gravis itu sendiri.11
Berikut ini akan dibahas laporan kasus mengenai seorang pasien yang dirawat
di instalasi rawat inap ICU RSUP. Prof. R. D. Kandou Manado dengan judul “Tumor
Mediastinum dengan Miastenia Gravis”

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Mediastinum12
Di dalam cavitas thoracis terdapat pulmo, pleura dan mediastinum.
Mediastinum sendiri adalah struktur yang terletak di bagian tengah cavitas
thoracis, berada di antara pleura parietalis sinister dan pleura parietalis dexter
(pleura mediastinalis sinister et dexter). Meluas dari sternum di bagian ventral
sampai columna vertebralis di bagian dorsal. Di sebelah cranial dibatasi oleh
apertura thoracis superior, dan di bagian caudal dibatasi oleh apertura thoracis
inferior. Di dalam mediastinum terdapat:
- Mediastinal dan jantung
- Pembuluh darah besar, seperti aorta, arteri dan vena
- Trachea
- Oesophagus
- Nervus vagus
- Nervus phrenicus
- Ductus thoracicus
- Kelenjar thymus
- Lymphonodus paratrachealis
- Jaringan ikat, yang membuat mediastinum menjadi “ mobil “ dan dapat
bergerak mengikuti irama gerakan pulmo dan cor, serta mengikuti
gerakan oesophagus sewaktu menelan.
Oleh suatu bidang horizontal, yang melalui angulus sternalis Louisi dan
tepi caudal corpus vertebrae thoracalis IV, mediastinum dibagi menjadi dua
bagian, yaitu mediastinum superius dan mediastinum inferius. Mediastinum
inferius dibagi menjadi mediastinum anterius yang berada di sebelah ventral
pericardium, mediastinum medius yang ditempati oleh pericardium dan
mediastinum posterius yang terletak di sebelah posterior pericardium.

6
1. Mediastinum Superior
Di sebelah ventral dibatasi oleh manubrium sterni bersama ujung caudal
m.sternohyoideus dan m.sternothyreoideus. batas di sebelah dorsal adalah
corpus vertebrae thoracalis I – IV, bersama discus intervertebralis,
ligamentum longitudinalis anterior dan ujung caudal m.longus colli. Di
sebelah lateral dibatasi oleh pleura mediastinalis. Sebagai batas caudal adalah
suatu bidang datar imaginer yang ditarik melelui angulus sternalis Louisi.
Mediastinum superius berisikan:
a. Organ yang terletak retrosternal
Kelenjar thymus dan pembuluh vena besar, yang terletak retrosternal.
Tiga buah vena besar yang terdapat di tempat ini adalah vena anonyma
sinistra, vena anonyma dextra dan vena cava superior (vena anonyma =
vena innonimata = vena brachiocephalica).
Vena anonima sinistra. Merupakan vena yang membawa darah dari
kepala dan leher sebelah kiri dan extremitas superior sinister. Merupakan
persatuan dari vena jugularis interna sinistra dan vena subclavia sinistra di
sebelah dorsal dari pars sternalis claviculae sinistra. Vena tersebut berjalan
di sebelah dorsal manubrium sterni dan bermuara kedalam vena anonyma
dextra.
Vena anonyma dextra. Dibentuk oleh vena jugularis interna dextra dan
vena subclavia dextra, berada di sebelah dorsal pars sternalis clavicula
dextra.
Vena cava superior. Berjalan vertikal di sebelah kanan sternum. Pada
ujunng terminal vena cava superior bermuara vena azygos.
b. Organ yang terletak prevertebralis
Organ-organ yang dimaksud adalah oesophagus, trachea , nervus
recurrens sinister dan ductus thoracicus, yang berjalan paralel melalui
mediatinum superior sebagai suatu unit (kesatuan).
c. Organ yang terletak di bagian intermedia

7
Arcus aortae merupakan lanjutan dari aorta ascendens, Nervus
vagus berjalan di sebelah lateral a.carotis communis, masuk kedalam
cavitas thoracis, berada di sebelah dorsal vena anonyma.
2. Mediastinum Inferior
Dibagi menjadi tiga bagian yaitu mediatinum anterius, mediastinum
medium dan mediastinum posterius.
a. Mediatinum anterius
Dibatasi di sebelah ventral oleh corpus sterni, m.transversus
thoracis sinister, sebagian dari ujung costa IV – VII. Di sebelah dorsal
dibatasi oleh percardium parietalis yang meluas ke arah caudal mencapai
diaphragma thoracis. Berisi beberapa buah lymphonodi, jaringan ikat dan
jaringan lemak.
b. Mediastinum Medium
Berada diantara pleura parietalis sinister dan pleura parietalis
dexter. Merupakan bagian yang paling luas. Berisi percardium bersama
cor di dalamnya, aorta ascendens, pars caudalis vena cava superior, muara
vena azygos, vena pulmonalis sinistra dan vena pulmonalis dextra dan
n.phrenicus sinister et dexter.
c. Mediastinum Posterius
Dibatasi di sebelah ventral oleh pericardium dan diaphragma
thoracis, di sebelah dorsal oleh tepi caudal vertebra thoracalis 4 – vertebra
thoracalis 12, dan di sebelah lateral oleh pleura mediastinalis sinister et
dexter. Berisi aorta thoracalis, vena azygos, vena hemiazygos, N.vagus,
n.pherenicus, bifurcatio trachea, bronchus, oesophagus, ductus thoracicus
dan lymphonodi.
Aorta Descendens (= Aorta Thoracica). Dimulai pada tepi caudal
vertebra thoracalis IV, merupakan lanjutan dari arcus aortae, berada di
sebelah kiri columna vertebralis.
Ductus Thoracicus. Merupakan lanjutan ke arah cranial dari
cisterna chili yang masuk ke dalam cavitas thoracis dengan melewati
hiatus aorticus. Berjalan di dalam mediatinum posterius, berada di antara

8
aorta thoracica dan vena azygos. Setinggi corpus vertebrae thoracalis V
ductus thoracicus bergeser ke kiri dan masuk kedalam mediatinum
superius. Berada di sebelah dorsal arteria subclavia sinistra dan bermuara
kedalam angulus venosus sinister (pertemuan vena jugularis interna dan
vena subclavia sinistra).
Vena Azygos. Dimulai sebagai vena lumbalis ascendens dextra
setinggi vertebra lumbalis 1 atau 2, berjalan melalui hiatus aorticus masuk
kedalam mediatinum posterius, bermuara kedalam vena cava superior. Di
dalam mediastinum posterius vena azygos berjalan di sebelah kanan aorta
thoracalis dan ductus thoracicus.
Vena Hemiazygos. Vena hemiazygos adalah lanjutan dari vena
lumbalis ascendens sinistra, naik ke cranialis di lateral kiri columna
vertebralis. Setinggi corpus vertebrae thoracalis 9 vena hemiazygoa
menyilang columna vertebralis secara horizontal dan bermuara pada vena
azygos.
Vena Hemiazygos Accessoria. Berjalan descendens di sebelah kiri
columna vertebralis, menyilang corpus vertebrae thoracalis 8, bermuara
pada vena azygos atau pada vena hemiazygos.

B. Definisi
Tumor mediastinum adalah tumor atau massa yang terdapat di dalam
mediastinum yaitu suatu rongga yang berada diantara kedua paru. Mediastinum
berisi jantung, pembuluh darah arteri dan pembuluh darah vena utama, trakea,
kelenjar timus, saraf, jaringan ikat, kelenjar getah bening serta salurannya.
Berdasarkan lokasinya tumor mediastinum dibagi menjadi anterior, medial dan
posterior. Tumor mediastinum anterior tersering berasal dari kelenjar timus
seperti timoma dan thymic carcinoma.1-4
Miastenia gravis adalah penyakit yang menyerang hubungan antara sistem
saraf dan sistem otot. Penyakit biastenia gravis ditandai dengan kelemahan dan
kelelahan pada beberapa atau seluruh otot, dimana kelemahan tersebut diperburuk
dengan aktivitas terus menerus atau berulang. Merupakan penyakit autoimun yang

9
menyerang neuromuscular junction yang ditandai dengan kelemahan otot dan
cepat lelah akibat adanya antibodi terhadap reseptor asetil kolin (AchR) sehingga
jumlahnya berkurang di neuromuscular junction.13

C. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


1. Anamnesis
Tumor mediastinum sering tidak memberikan gejala dan terdeteksi pada
saat dilakukan foto rontgen toraks. Umumnya keluhan dirasakan apabila
terjadi penekanan dan infiltrasi organ-organ dalam mediastinum. Gejala dan
tanda yang timbul tergantung organ yang terlibat, misalnya batuk, sesak atau
stridor muncul bila terjadi penekanan atau invasi terjadi pada trakea dan/atau
bronkus utama. Disfagia muncul bila terjadi penekanan atau invasi ke
esophagus. Sindrom vena kava superior (SVKS) lebih sering terjadi pada
tumor mediastinum yang ganas dibandingkan dengan tumor jinak. Suara
serak dan batuk kering muncul bila nervus laringel terlibat. Dapat terjadi
paralisis diafragma yang timbul akibat penekanan nervus frenikus dan nyeri
dinding dada muncul pada tumor neurogenik atau pada penekanan sistem
saraf.14,15
Keluhan khusus terjadi sesuai dengan asal tumor, misalnya gejala
gangguan metabolisme pada struma yang retrosternal dan gejala gangguan
metabolisme kalsium serta fosfor pada tumor paratiroid yang retrosternal.15
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik akan memberikan informasi sesuai dengan lokasi,
ukuran dan keterbatasan organ lain, misalnya telah terjadi penekanan ke
organ sekitarnya. Kemungkinan tumor mediastinum dapat dipikirkan atau
dikaitkan dengan beberapa keadaan klinis lain, miaslnya miastenia gravis
yang mungkin menandakan timoma dan limfadenopati mungkin menandakan
limfoma.14

10
D. Pemeriksaan Penunjang14
1. Prosedur Radiologi
a. Foto Toraks
Dari foto toraks PA/lateral sudah dapat menentukan lokasi tumor pada
anterior, medial ataupun posterior, namun pada kasus dengan ukuran
tumor yang besar sulit untuk menentukan lokasi yang pasti.
b. Tomografi
Selain dapat menentukan lokasi tumor, juga dapat mendeteksi
klasifikasi pada lesi. Sering ditemukan pada kista dermoid, tumor tiroid
dan kadang-kadang timoma. Teknik ini jarang digunakan.
c. CT-Scan Toraks dengan Kontras
Selain dapat mendeskripsi lokasi juga dapat mendeskripsi kelainan
tumor secara lebih baik, juga dapat menentukan kemungkinan perkiraan
jenis tumor, misalnya teratoma dan timoma. CT-Scan juga dapat
menentukan stage pada kasus timoma dengan cara mencari apakah telah
terjadi invasi atau belum.
Perkembangan alat bantu ini mempermudah pelaksanaan pengambilan
bahan untuk pemeriksaan sitologi. Untuk menentukan luas radiasi
beberapa jenis tumor mediastinum sebaiknya juga CT-Scan abdomen
selain dilakukan CT-Scan toraks
d. Flouroskopi
Prosedur ini dilakukan untuk melihat kemungkinan aneurisma aorta
akibat bendungan yang disebabkan invasi tumor.
e. Ekokardiografi
Pemeriksaan ini berguna untuk mendeteksi pulsasi pada tumor yang
diduga aneurisma.
f. Angiografi
Teknik ini lebih sensitif untuk mendeteksi aneurisma dibandingkan
flouroskopi dan ekokardiogram.

11
g. Esofagografi
Pemeriksaan ini dianjurkan bila ada dugaan invasi atau penekanan ke
esofagus.
h. USG, MRI dan Kedokteran Nuklir
Jarang dilakukan, meskipun pemeriksaan-pemeriksaan tersebut
terkadang perlu dilakukan pada beberapa kasus tumor mediastinum untuk
membantu menegakkan diagnosis.
2. Prosedur Endoskopi
a. Bronkoskopi harus dilakukan bila ada indikasi operasi
Tindakan bronkoskopi dapat memberikan informasi tentang
pendorongan atau penekanan tumor terhadap saluran napas dan lokasinya.
Di samping itu melalui bronkoskopi juga dapat dilihat apakah telah terjadi
invasi tumor ke saluran napas. Bronkoskopi sering dapat membedakan
tumor mediastinum dari kanker paru primer.
b. Mediastinokopi
Tndakan ini lebih dipilih untuk dilakukan pada kasus tumor yang
berlokasi di mediastinum anterior.
3. Prosedur Patologi Anatomik .
a. Pemeriksaan Sitologi
Prosedur diagnostik untuk memperoleh bahan pemeriksaan untuk
pemeriksaan sitologi ialah:
- Biopsi Jarum Halus (BJH) atau Fine Needle Aspiration Biopsy
(FNAB) dilakukan bila ditemukan pembesaran Kelenjar Getah Bening
(KGB) atau pada tumor superfisial.
- Pungsi pleura dilakukan bila tampak gambaran efusi pleura pada saat
pemeriksaan klinis dan ditunjang dengan foto rongent toraks.
- Bilasan atau sikatan bronkus pada saat dilakukan pemeriksaan
bronkoskopi.
- Biopsi aspirasi jarum yaitu pengambilan bahan dengan jarum yang
dilakukan bila terlihat masa intrabronkial pada saat prosedur

12
bronkoskopi yang mudah berdarah, sehingga biopsi berbahaya dan
kurang dianjurkan.
- Biopsi Transtorakal atau Transthoracal Biopsy (TTB) dilakukan bila
massa dapat dicapai dengan jarum yang ditusukkan di dinding dada
dan lokasi tumor tidak dekat dengan pembuluh darah atau tidak ada
kecurigaan aneurisma. Untuk tumor yang kecil (ukuran <3cm),
memiliki banyak pembuluh darah dan dekat organ yang berisiko dapat
dilakukan TTB dengan tuntunan flouroskopi atau USG ataupun CT-
Scan.
b. Pemeriksaan Histologi
Bila FNAB tidak berhasil menetapkan jenis histologis asal tumor,
perlu dilakukan prosedur di bawah ini:
- Biopsi KGB yang teraba di leher atau supraklavikula. Bila tidak ada
KGB yang teraba, dapat dilakukan pengangkatan jaringan KGB yang
mungkin ada di sana. Prosedur ini disebut biopsi Daniels.
- Biopsi mediastinal dilakukan bila dengan tindakan di atas hasil belum
juga didapat dan berperan sebagai alternatif.
- Biopsi eksisional pada massa tumor yang besar.
- Torakoskopi diagnostik.
- Video-Assisted Thoracic Surgery (VATS) dilakukan untuk tumor di
semua lokasi, terutama tumor pada bagian posterior.
4. Pemeriksaan Khusus13
a. THT apabila disetai dengan keluhan perubahan suara.
b. Neurologi bila menduga adanya tumor yang kadang disertai gejala-gejala
miastenia gravis.

E. Lokasi Tumor Mediastinum15


1. Mediastinum anterior:
a. Tumor teratoid
b. Tumor retrosternalis
c. Timoma

13
d. Cystohygroma
e. Kista pericardial
2. Mediastinum posterior
a. Tumor neurogenik
b. Kista enterogenik
3. Tanpa lokasi tertentu
a. Kista bronkogenik
b. Lipoma
c. Kista echinococcus fibroma
d. Tuberkuloma
e. Kista yang berasal dari kelenjar limfoid
f. Primer
g. Sekunder

F. Terapi Pembedahan
Pada tumor mediastinum sebelumnya harus dilakukan pemeriksaan
patologi anatomi bertujuan untuk menentukan asal jaringan sehingga tenaga
kesehatan pelaksana dapat memberikan pengobatan yang sesuai. Bila perlu dapat
dilakukan torakotomi eksplorasi. Untuk tumor yang sensitif pada penyinaran atau
sitostatika misalnya limfoma malignum atau teratoid seminoma tidak dianjurkan
untuk dilakukan tindakan pembedahan. Namun pada tumor yang tidak sensitif
terhadap penyinaran atau sitostatika maka tindakan pembedahan paliatif
dianjurkan. Kemudian diikuti sitostatika secara paliatif. Bila hasil patologi tidak
menunjukan keganasan maka dianjurkan untuk mengangkat tumor secepatnya.15

G. Prognosis
Angka harapan hidup lima tahunan pada pasien dengan tumor
mediastinum cukup besar yakni sekitar 52%. Angka harapan hidup ini dapat
dipengaruhi oleh berbagai faktor. Berdasarkan jumlah perawatan pasien yang
mendapat 2 rejimen terapi memiliki angka harapan hidup yang lebih lama sekitar
118,3 bulan dibandingkan dengan yang mendapatkan 1 rejimen terapi (48,63

14
bulan) dan tidak mendapatkan terapi (4,65 bulan). Berdasarkan hasil pemeriksaan
histologi angka harapan hidup lima tahunan pada pasien dengan hasil histologi
seminomatous (87%) lebih baik dari non seminomatous (33%). Pada pembedahan
pasien dengan reseksi komplit memiliki angka harapan hidup sekitar 58%,
sedangkan pada pasien dengan reseksi komplit dengan radioterapi meningkatkan
angka harapan hidup hingga 60%.16
.

15
BAB III

LAPORAN KASUS

A. Identitas Penderita
Nama : MH
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 46 tahun
Tempat/TTL : Lolak, 22 Mei 1972
Alamat : Lolak
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Suku/Bangsa : Mongondow/Indonesia
Agama : Kristen Protestan
Status : Menikah
MRS : 09 Maret 2019
No. RM : 00.56.19.98

B. Anamnesis
Keluhan utama
Penurunan Kesadaran.

Riwayat penyakit sekarang


Pasien perempuan 46 tahun dirujuk ke RSUP Prof R.D Kandou dengan
keluhan utama penurunan kesadaran sejak 4 hari. Pasien sebelumnya mengeluh
sesak napas sejak 6 bulan yang lalu dan makin memberat sejak 1 bulan
sebelum masuk rumah sakit. Sesak napas dirasakan memberat dengan aktivitas.
Batuk tanpa disertai dahak sejak 4 bulan sebelum masuk rumah sakit,
tidak terdapat batuk darah. Kelopak mata dirasakan sulit membuka dan
pandangan tampak ganda sejak 3 bulan yang lalu. Seluruh tubuh terasa lemah,
kadang sulit untuk digerakkan terutama setelah beraktivitas.

16
Terdapat keluhan nafsu makan menurun dan berat badan turun lebih dari
10 kg dalam tiga bulanTidak terdapat keluhan keringat malam, demam maupun
sakit dada.
Riwayat penyakit dahulu :
- Pasien memiliki riwayat Miastenia Gravis.
- Riwayat operasi sebelumnnya disangkal.
- Riwayat hipertensi disangkal.
- Riwayat penyakit kencing manis disangkal.
- Riwayat alergi obat disangkal.
- Riwayat minum OAT disangkal.

C. Pemeriksaan Fisik
Status General
Keadaan Umum : Tampak sakit berat.
Kesadaran : Somolen (GCS Eye 2 Verbal 2 Motorik 2).
Tekanan Darah : 114/79 mmHg.
Respirasi : 24 x/mnt.
Nadi : 96 x/menit, regular, isi cukup.
Suhu : 36,2C.

1. Kepala
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat isokor 3mm/3mm,
refleks cahaya +/+,bibir tidak sianosis.

2. Leher
Tidak ada deviasi
3. Thorax
Paru
Inspeksi : simetris kiri dan kanan.
Palpasi : stem fremitus kiri=kanan.
Perkusi : sonor kiri=kanan.
Auskultasi : bunyi pernapasan vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-).

17
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak.
Palpasi : iktus kordis tidak teraba.
Perkusi : batas jantung kanan dan kiri dalam batas normal.
Auskultasi : BJ I/II regular, murmur (-), gallop (-).

4. Abdomen
Inspeksi : tampak datar.
Auskultasi : BU (+) normal.
Palpasi : teraba lemas, NT (-).
Perkusi : timpani.

5. Ekstremitas Atas dan Bawah (termasuk sendi dan kuku)


Tidak ada kelainan.

6. Genitalia dan Anus


Tidak ada kelainan.

Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Hasil Hasil Nilai normal


(09/3/2019) (19/3/2019)
Leukosit 17.300/Ul 21.700/uL 4000-10000/Ul
Eritrosit 4.85x106/Ul 4.86x106/uL (4,00-6,00)x106/ uL
Hemoglobin 14.7 g/Dl 13.8 g/dL 12,0-16,0 g/dL
Hematokrit 43.6% 342.2% 37,0-48,0%
Trombosit 190.000/Ul 318.000/Ul 150.000-450.000/uL
MCH 30.2 pg 29.5 pg 27-35 pg
MCHC 33.6 g/dL 32.7 g/Dl 30-40 g/dL
MCV 89.9 fL 90.1 Fl 80-100Fl
SGOT 49 U/L 14 U/L <33 U/L
SGPT 103 U/L 8 U/L <43 U/L
Ureum Darah 60 mg/dL 49 mg/dL 10-40

18
Creatinin Darah 0.9 mg/dL 0.4 mg/dL 0,5-1,5
Gula Darah Sesaat 186 mg/dL 150 mg/dL 70-125
Chlorida Darah 104.5 mEq/L 92.7 mEq 98-109 mEq/L
Kalium Darah 3.11 mEq/L 5.00 mEq 3,50-5,30 mEq/L
Natrium Darah 138 mEq/L 135 135-153 mEq/L
PT 13.0 detik 12,0-16,0 detik
INR 0.95 detik 0,80-1,30 detik
APPT 34.1 detik 27,0-39,0 detik
Albumin 4.05 g/dL 2.47 3.50 – 5.70 g/dL

 Rontgen Thorax

Kesan : Massa Mediastinum

19
 MSCT THORAX

Kesan : Suspek Thymoma di Mediastinum superior anterior sinistra dd kista


paru sinistra.

Kardiomegali

 EKG
Kesan Sinus Rythm, 90 bpm, HR 94

D. Diagnosis
“Tumor Mediastinum”

E. Tindakan/Pengobatan
Care Plan : Pro Thymomectomy
Farmakologi :

20
- Cairan Intravena : IVFD NaCl 0,9% 24 tpm.
- Antibiotik : inj. Ceftriaxone 2x 1gr iv.
- Analgetik : inj. ketorolac 3 x 1 amp iv.
- Medikamentosa lain : inj. Ranitidin 2x 1 amp iv.
Non Farmakologik :
- DL.

F. Laporan Operasi

Foto Pre-operas, Intraoperasi, Post Operasi

G. Follow Up
Tanggal Masuk : 09/03/2019.
Tanggal Keluar :
Tanggal Operasi : 13/03/2019.
Lama Dirawat :

21
BAB IV
PEMBAHASAN

Tumor mediastinum adalah tumor atau massa yang terdapat di dalam


mediastinum yaitu suatu rongga yang berada diantara kedua paru. Mediastinum
berisi jantung, pembuluh darah arteri dan pembuluh darah vena utama, trakea,
kelenjar timus, saraf, jaringan ikat, kelenjar getah bening serta salurannya.
Berdasarkan lokasinya tumor mediastinum dibagi menjadi anterior, medial dan
posterior. Tumor mediastinum anterior tersering berasal dari kelenjar timus
seperti timoma dan thymic carcinoma.1-4
Timoma dan thymic carcinoma adalah tumor epitelial yang berasal dari
kelenjar timus. Kelenjar timus berfungsi memproduksi sel limfosit-T. Sel ini
merupakan bagian dari sistem kekebalan tubuh dan membantu melawan suatu
infeksi. Kelenjar timus berkembang secara penuh pada usia pubertas dan secara
bertahap berhenti bekerja dan menyusut digantikan oleh lemak dan jaringan ikat.
Sebagian besar tumor yang berasal dari timus adalah timoma, sedangkan thymic
carcinoma lebih jarang terjadi yaitu sekitar 5 – 10 % dari tumor yang berasal dari
timus. Timoma dan thymic carcinoma biasanya terjadi pada usia 40 – 60 tahun
dengan rasio pada laki-laki dan perempuan adalah sama.5,6,9
Kelenjar timus berkaitan dengan perkembangan sistem imun, sehingga
beberapa penderita dengan tumor kelenjar timus juga akan memiliki kelainan
yang berkaitan dengan sistem imun. Kelainan yang tersering didapatkan yaitu
miastenia gravis.15,17
Miastenia gravis merupakan gangguan autoimun yang merusak
komunikasi antara saraf dan otot, mengakibatkan peristiwa kelemahan otot,
dimana gangguan ini dapat diakibatkan karena adanya kerusakan pada sistem
imun. Pada miastenia gravis, sistem imun menghasilkan antibodi yang menyerang
salah satu jenis reseptor pada simpul reseptor neuromuskular yang bereaksi
terhadap neurotransmitter acetycholine. Gejala miastenia gravis adalah
kelemahan pada otot-otot, diantaranya adalah kelopak mata lemah dan layu, otot
mata lemah yang menyebabkan penglihatan ganda, otot-otot yang mengendalikan

22
pernapasan, gerak lengan dan kaki mungkin juga akan terpengaruh. Sekitar 35 %
penderita dengan timoma memiliki miastenia gravis, dan 65 % penderita dengan
miastenia gravis mengalami pembesaran kelenjar timus, 10 % memiliki tumor
pada kelenjar timus (timoma), dan sekitar setengah dari timoma adalah ganas.
Diagnosa miastenia gravis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang yaitu electromyography test / Jolly test, uji
prostigmin, uji asetilkolin untuk mendeteksi antibodi terhadap acetylcholine
receptor, dan CT-Scan toraks atau magnetic resonance imaging (MRI) untuk
memastikan apakah terdapat timoma.7,15,17
Pada kasus ini didapatkan gejala miastenia gravis yaitu kelopak mata kiri
lemah dan layu, penglihatan ganda serta kelemahan pada otot-otot lengan dan
kaki, serta telah dilakukan pemeriksaan penunjang diantaranya adalah Jolly test,
uji prostigmin dan CT-Scan toraks. Pasien telah mendapatkan terapi piridostigmin
dengan dosis 4 x 60 mg dan metilprednisolon 2 x 125 mg i.v selama 19 hari di
bagian neurologi. Pada saat masuk di ruang paru perempuan sudah tidak
didapatkan keluhan sesak, kelopak mata kiri sudah dapat dibuka, penglihatan
sudah tidak terasa ganda serta tidak didapatkan kelemahan pada otot ekstremitas
atas dan bawah.
Gejala klinis pada penderita timoma dan thymic carcinoma bervariasi.
Gejala yang dapat timbul diantaranya adalah batuk, sesak napas, nyeri dada,
panas, keringat malam, rasa kedinginan, batuk darah, suara parau.3-6
Pada kasus ini didapati keluhan sesak napas dan batuk. Pemeriksaan
penunjang yang dilakukan untuk penegakan diagnosa adalah foto toraks, CT-Scan
5,12toraks, FNAB CT-Scan guiding. Pada pemeriksaan foto toraks ditemukan
gambaran tumor mediastinum, hasil CT-Scan toraks didapati adanya massa pada
mediastinum anterior. Untuk mengetahui jenis tumor mediastinum dilakukan
FNAB dengan tuntunan CT- Scan toraks dan didapatkan hasil timoma.
Penentuan staging dan pemeriksaan histologi adalah penentu arah
pengobatan dan prognosis dari timoma. Penentuan staging yang paling umum
digunakan adalah kriteria Masaoka.2,15 Pembagian thymoma menurut Masaoka ini

23
dengan cara melihat makroskopis, mikroskopis invasi tumor ke kapsul dan
jaringan sekitar. Masaoka staging: 18
 Stage I : Makroskopis dan mikroskopis masih terletak di dalam kapsul.
 Stage IIA : Mikroskopis telah terjadi invasi ke kapsul.
 Stage IIB : Telah terjadi invasi ke jaringan lemak sekitar.
 Stage III : Telah invasi ke organ sekitar (Perikardium, paru,
pembuluhbesar)
 Stage IVA : Invasi ke pleura dan menembus perikardial.
 Stage IVB : Metastasis lympogen atau hematogen.
Pembagian staging menurut Masaoka ini digunakan untuk menentukan
penanganan pada thymoma:
 Stage I : Hanya diperlukan tindakan reseksi
 Stage II : Reseksi dan/tanpa radiotherapy adjuvant
 Stage III : Reseksi dilanjutkan dengan radiotherapy adjuvant.
 Stage IV : Chemotherapy tanpa tindakan bedah.

Klasifikasi dari histologi biasanya didapat setelah dilakukan tindakan


bedah. World Health Organization (WHO) mengklasifikasikan tumor kelenjar
timus berdasarkan kelas dan jenis selnya ( histologi ).
• Tipe A : spindle cell, medullary thymoma.
• Tipe AB : mixed thymoma.
• Tipe B1: lymphocyte rich, lymphocytic, predominantly cortical
thymoma.
• Tipe B2 : cortical thymoma.
• Tipe B3 : epithelial thymoma, squamoid thymoma, well differentiated
thymic carcinoma.
• Tipe C : thymic carcinoma (malignant).
Jenis A dan AB termasuk dalam kelompok tumor jinak (benign). Jenis B1
sampai B3 termasuk dalam kelompok pertumbuhan lambat (slow growing),
peralihan antara jinak (benign) dan ganas (malignant). Jenis C termasuk ganas

24
(malignant). Pembagian dari klasifikasi histologis ini berguna untuk penilaian
prognosis dari timoma. Klasifikasi ini menunjukkan apakah timoma tersebut
adalah timoma yang agresif. 2,5,8,19
Pada pasien ini tumor infiltrasi menembus kapsul sehingga pasien ini
masuk pada stadium II, kemudian dilakukan timektomi untuk pengangkatan
tumor. Hasil pemeriksaan histopatologi didapatkan thymic carcinoma. Thymic
carcinoma adalah kelompok heterogen agresif, invasif epitelial maligna.
Diklasifikasikan secara histologi oleh Levina dan Rosai dan diperbaharui oleh
Sustar dan Rosai menjadi low grade dan high grade. Low grade thymic carcinoma
mencakup tipe basaloid, mucoepidermoid dan well-differentiated squamous cell.
High grade thymic carcinoma mencakup tipe anaplastik/undifferentiated, clear
cell, poorly
TerapiDefinisi
Makroskopik dan mikroskopik mas kapsul Mikroskopik telah terjadi invasi
ke kapsul Telah terjadi invasi ke perikardium, pembuluh darah besar dan
paru Telah menyebar lebih luas ke pleura dan perikardium Metastasis
limfogen atau hematogen ih terletak di dalam Bedah ( Bedah (ETT),
dilanjutkan dengan radioterapi. Bedah (ETT) dan extended resection
dilanjutkan dengan radioterapi dan kemoterapi Debulking dilanjutkan
dengan kemoterapi dan radioterapi. Kemoterapi dan radioterapi dilanjutkan
dengan debulking extended thymoma thymectomy = ETT )
Stage
I
II III
IV A IV B
differentiated squamous cell, sarcomatoid dan small 5,9cell/ tipe
neuroendokrin. Pada kasus ini thymic carcinoma dengan tipe sel epitel
anaplastik, sehingga diklasifikasikan ke dalam high grade thymic carcinoma.
Pengobatan dan prognosis tergantung pada stage dan grade-nya. Sistem
stage dari Masaoka yang digunakan untuk timoma tidak berguna sebagai alat
prognosis pada thymic carcinoma. Fitur morfologis yang menandakan buruknya

25
prognosis termasuk hal-hal berikut, yaitu infiltrasi dari tumor margin, tidak
adanya pola lobular growth pattern, high grade dan adanya nekrosis. Tindakan
bedah dengan reseksi komplit merupakan pilihan utama untuk thymic carcinoma,
namun multimodalitas pengobatan dengan bedah, radioterapi dan kemoterapi
sering digunakan karena stadium tumor yang lebih lanjut dan risiko kambuh yang
lebih besar.5,9,10
Pada kasus ini pasien dengan high grade thymic carcinoma, sehingga
setelah tindakan bedah pengangkatan tumor dilakukan tindakan kemoterapi.
Kemoterapi pascabedah berbasis sisplatin dengan atau tanpa radioterapi
dapat memberikan prognosis yang lebih baik. Kombinasi kemoterapi dilaporkan
memberikan hasil kesembuhan yang komplit dan parsial. Kombinasi kemoterapi
yang umumnya digunakan adalah :9,10,20
1. Rejimen cisplatin, doxorubicin, cyclophosfamide (PAC). Pada
penelitian dicapai respond rate 50% termasuk 3 respons lengkap
dengan waktu respons median 12 bulan dan 5-years survival 32 %.
2. Rejimen doxorubicin, cisplatin, vincristine, cyclophosfamide (ADOC)
Didapatkan respond rate 92 % (34 dari 37 pasien). Termasuk respons
komplet 43 % pasien.
3. Rejimen etoposide dan cisplatin.
Penatalaksanaan untuk miastenia gravis adalah dengan memberikan obat-
obatan yang dapat meningkatkan kekuatan otot atau obat yang menekan reaksi
autoimun. Piridostigmin dan neostigmin dapat meningkatkan jumlah
acetylcholine, sehingga dapat membantu memperbaiki transmisi neuromuskular
dan meningkatkan kekuatan otot. Kortikosteroid atau immunosuppressant
(cyclosporine atau azathioprine) digunakan untuk menekan reaksi autoimun.
Plasmafarese diberikan ketika obat-obatan tidak menghasilkan perbaikan atau
ketika terjadi myasthinic crisis. Jika terdapat timoma, maka kelenjar timus harus
diangkat dengan pembedahan untuk mencegah penyebaran timoma.7,17
Pada penderita ini diberikan terapi piridostigmin 6 x 60 mg,
metilprednisolon 2 x 125 mg dan tindakan timektomi untuk mengatasi timoma.

26
Manajemen prabedah yang optimal pada pasien dengan miastenia gravis
membutuhkan persiapan dan evaluasi yang hati-hati. Evaluasinya termasuk usia,
jenis kelamin, onset, durasi penyakit, adanya timoma, serta penatalaksanaan klinis
yang optimal untuk miastenia gravis. Perhatian khusus harus diberikan untuk
kekuatan otot pernapasan, monitoring intraoperatif, penggunaan relaksan otot dan
obat-obat lainnya yang digunakan selama anestesi umum dan juga untuk
premedikasi. Untuk evaluasi prabedah dilakukan pemeriksaan foto toraks, uji faal
paru (negative inspiratory pressure dan forced vital capacity) untuk mengukur
kekuatan otot pernapasan yang digunakan dalam menentukan kondisi optimal
untuk ekstubasi dan kebutuhan akan ventilasi mekanik pascabedah, analisis gas
darah serta elektrokardiografi untuk evaluasi jantung.21,22
Persiapan prabedah pada pasien dengan miastenia gravis adalah penting
untuk keberhasilan operasi. Hal ini tergantung pada beratnya dan perubahan status
klinis jika pasien miastenia gravis menerima terapi antikolinesterase. Pasien
dengan miastenia gravis mungkin mempunyai sedikit cadangan respirasi, oleh
karena itu obat depresan untuk premedikasi prabedah harus digunakan dengan
hati-hati dan dihindari pada pasien dengan gejala bulbar. Manajemen anestesi
pada pasien miastenia gravis harus individual sesuai dengan beratnya penyakit
dan tipe pembedahan yang dibutuhkan. Anestesi umum dapat aman dilakukan jika
pasien telah dipersiapkan secara optimal dan transmisi neuromuskular dipantau
selama dan setelah pembedahan. Kontrol nyeri, pulmonary toilet dan mengindari
obat-obatan yang mengganggu transmisi neuromuskular akan memudahkan
ekstubasi trakeal pascabedah.21,22
Myasthenic crisis adalah komplikasi miastenia gravis yang ditandai oleh
kelemahan otot-otot pernapasan yang berat sehingga menyebabkan gagal napas
yang membutuhkan intubasi dan ventilasi mekanik. Faktor-faktor yang dapat
mencetuskan atau meningkatkan risiko terjadinya myasthenic crisis adalah
infeksi, demam, tindakan bedah, pneumonia aspirasi, stress, kehamilan,
pramenstruasi, nyeri, tapering immune-modulating medications, obat-obatan
(αinterferon, aminoglikosida, gentamisin, streptomisin, ampisilin, makrolid,
eritromisin, kuinolon, siprofloksasin, polimiksin, antiepilepsi, gabapentin,

27
adrenergic antagonist, calcium channel antagonist, media kontras, magnesium,
prednison). Terapi utama untuk krisis miastenia adalah plasmafarese atau
immunoglobulin intravena (IVIg).21-23
Pemantauan penderita yang telah mengalami terapi definitif di evaluasi
dari gejala klinis maupun foto toraks setiap 4 bulan selama 2 tahun dan setiap 6
bulan sekali selama 5 tahun, selanjutnya setiap setahun sekali. Tingkat
kelangsungan hidup penderita dengan thymic carcinoma adalah 35% dan tingkat
kelangsungan hidup 10 tahun adalah 28%.9

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Musani A, Sterman D. Tumors of the mediastinum, pleura, chest wall and


diaphragm. In : Crapo J, Glassroth J, Karlinsky, King T, editors. Baum’s
textbook of pulmonary disease. 7th eds. Philadelphia: Lippincot Williams
& Wilkins, Philadelphia; 2004.p.883-9.
2. Duwe B, Musani A, Sterman D. Tumors of the mediastinum. Chest. 2005;
128:2893-909.
3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tumor mediastinum. Dalam
pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: PDPI;
2003.p.6-8.
4. Alsagaf H, Mukti A. Tumor mediastinum : Dasar- dasar ilmu penyakit
paru. Surabaya : Airlangga University Press; 2002.p.220-229.
5. Venuta F, . Thymoma and thymic carcinoma. Eur J Cardio-Thorac.
2012;60:1-12.
6. Disease of the Mediastinum. In : Fishman's manual of pulmonary disease
and disorders. 3rd eds. New York: McGraw-Hill; 1994.p. 530-5.
7. Jaretzki A, Barohn RJ, Ernstoff RM. Myasthenia gravis. Neurology.
2000;55:16-23.
8. Desai SS, Jambhekar NA. Classification of thymic neoplasms :
Observation on the WHO 1999 classification based on 56 cases. Indian J
Surg. 2004;66:93-6. Rendina EA, Anile M, de Giacomo T, Vitolo D,
Coloni GF Fishman AP, Fishman JA, Grippi MA, Elias JA, Kaiser LR,
Senior RM
9. Ogawa K, Toita T, Uno T, Kamata M, et al. Treatment and prognostic of
thymic carcinoma : A retrospective analysis of 40 cases. Cancer.
2002;94:3115-9. 10. Giaccone G. Treatment of thymoma and thymic
carcinoma. Ann Onc. 2000;11:245-6.

29
10. Ogawa K, Toita T, Uno T, Kamata M, et al. Treatment and prognostic of
thymic carcinoma : A retrospective analysis of 40 cases. Cancer.
2002;94:3115-9.
11. Syahruddin E, Hudoyo A, Jusuf A, Ikhsan AG, Wibawanto A, Busroh ID,
et al. Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan timoma di rumah sakit
Persahabatan tahun 2007. J Respir Indo. 2007;27 (4):231-5.
12. Rafiah S. Dinding thorax-glandula mammae dan mediastinum [internet].
2016 [cited 2019 Apr 17]. Available from:
https://med.unhas.ac.id/kedokteran/en/wp-
content/uploads/2016/10/Dinding-thorax-mediastinum.pdf
13. Miasthenia gravis [internet] 2016 [cited 2019 Apr 18]. Available from:
https://med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-content/uploads/2016/09/Bahan -
Ajar-1-_-Miasthenia-Gravis.pdf
14. Riedel RF, Burfeind WR. Thymoma: Benign appearance, malignant
potential. The Oncologist. 2006;11:887-94.
15. Lennon V, Vernino S. Autoantibody profil and neurological correlations
of thymoma. Clin Cancer Res. 2004;10:7270-5.
16. Liu TZ, Zhang DS, Liang Y, Zhou NN, Gao HF, Liu KJ. Treatment
strategies and prognostic factors of patients with primary germ cell tumor
in mediastinum. J Cancer Res Clin Oncol (2011) 137:1607-1612
17. Toyka KV, Gold R. Treatment of myasthenia gravis. Schweiz Arch
Neurol Psychiatr. 2007;158:309-21.
18. Subkhan M. Thymik karsinoma dengan efusiperikard. Quanun Medika
vol. I no.2 I Juli 2017
19. Masaoka A, Matsuda H, Eimoto T, Tada H, Maeda H, Matsumura A, et
al. The world health organization histologic classification system reflect
the oncologic behavior of thymoma. American cancer society. Cancer.
2002;94:624-32.
20. Loehrer PJ, Jiroutek MS, Aisner S, ombined etoposide, ifosfamide and
cisplatin in the treatment of patients with advanced thymoma and thymic
carcinoma. Cancer. 2001;91(11):2010-5.

30
21. Abel M, Eisenkraft JB. Anesthetic implications of myasthenia gravis. Mt
Sinai J Med. 2002;69:31-7.
22. Cardone A, Congedo E, Aceto P, Sicuranza R, Chine E, Caliandro F, et al.
Perioperative evaluation of myasthenia gravis. Ann Ital Chir. 2007;78:
359- 65.
23. Wandell LC, Levine JM. Myasthenic crisis. The Neurohospitalist.
2011;1:16-22.

31

Anda mungkin juga menyukai