Anda di halaman 1dari 56

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Puskesmas
2.1.1. Definisi Puskesmas
Puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan
kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan
pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja.4
1. Unit Pelaksana Teknis
Sebagai unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
(UPTD), puskesmas berperan menyelenggarakan sebagian dari tugas
teknis operasional Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan merupakan
unit pelaksana tingkat pertama serta ujung tombak pembangunan
kesehatan di Indonesia.
2. Pembangunan Kesehatan
Pembangunan kesehatan adalah penyelenggaraan upaya kesehatan
oleh bangsa Indonesia untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat
kesehatan masyarakat yang optimal.
3. Penanggungjawab Penyelenggaraan
Penanggungjawab utama penyelenggaraan seluruh upaya
pembangunan kesehatan di wilayah kabupaten/kota adalah Dinas
Kesehatan Kabupaten / Kota, sedangkan puskesmas
bertanggungjawab hanya sebagian upaya pembangunan kesehatan
yang dibebankan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota sesuai dengan
kemampuannya.
4. Wilayah Kerja
Secara nasional, standar wilayah kerja puskesmas adalah satu
kecamatan, tetapi apabila di satu kecamatan terdapat lebih dari dari
satu puskesmas, maka tanggungjawab wilayah kerja dibagi antar

4
5

puskesmas, dengan memperhatikan keutuhan konsep wilayah


(desa/kelurahan atau RW). Masing-masing puskesmas tersebut
secara operasional bertanggungjawab langsung kepada Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota.5
Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan
perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya
promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat
yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya.6
Pembangunan kesehatan yang diselenggarakan di Puskesmas
bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang:
1. Memiliki perilaku sehat yang meliputi kesadaran, kemauan dan
kemampuan hidup sehat;
2. Mampu menjangkau pelayanan kesehatan bermutu
3. Hidup dalam lingkungan sehat dan
4. Memiliki derajat kesehatan yang optimal, baik individu, keluarga,
kelompok dan masyarakat.6

2.1.2. Visi
Visi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh
puskesmas adalah tercapainya Kecamatan Sehat menuju terwujudnya
Indonesia Sehat. Kecamatan Sehat adalah gambaran masyarakat
kecamatan masa depan yang ingin dicapai melalui pembangunan
kesehatan, yakni masyarakat yang hidup dalam lingkungan dan
berperilaku sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan
kesehatan yang bermutu secara adil dan merata serta memiliki derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya.6
6

Indikator Kecamatan Sehat yang ingin dicapai mencakup 4


indikator utama yakni:
1. Lingkungan sehat
2. Perilaku sehat
3. Cakupan pelayanan kesehatan yang bermutu
4. Derajat kesehatan penduduk kecamatan.

Rumusan visi untuk masing-masing puskesmas harus mengacu


pada visi pembangunan kesehatan puskesmas di atas yakni terwujudnya
Kecamatan Sehat, yang harus sesuaidengan situasi dan kondisi
masyarakat serta wilayah kecamatan setempat.6

2.1.3. Misi
Misi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh
puskesmas adalah mendukungtercapainya misi pembangunan kesehatan
nasional. Misi tersebut adalah:
1. Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan di wilayah
kerjanya. Puskesmas akan selalu menggerakkan pembangunan sektor
lain yang diselenggarakan di wilayah kerjanya, agar memperhatikan
aspek kesehatan, yakni pembangunan yang tidak menimbulkan
dampak negatif terhadap kesehatan, setidak-tidaknya terhadap
lingkungan dan perilaku masyarakat.6
2. Mendorong kemandirian hidup sehat bagi keluarga dan masyarakat
di wilayah kerjanya. Puskesmas akan selalu berupaya agar setiap
keluarga dan masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah kerjanya
makin berdaya di bidang kesehatan, melalui peningkatan
pengetahuan dan kemampuan menuju kemandirian untuk hidup
sehat.6
3. Memelihara dan meningkatkan mutu, pemerataan dan
keterjangkauan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan.
Puskesmas akan selalu berupaya menyelenggarakan pelayanan
7

kesehatan yang sesuai dengan standar dan memuaskan masyarakat,


mengupayakan pemerataan pelayanan kesehatan serta meningkatkan
efisiensi pengelolaan dana sehingga dapat dijangkau oleh seluruh
anggota masyarakat.6
4. Memelihara dan meningkatkan kesehatan perorangan, keluarga dan
masyarakat berserta lingkungannya. Puskesmas akan selalu berupaya
memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan
menyembuhkan penyakit, serta memulihkan kesehatan perorangan,
keluarga dan masyarakat yang berkunjung dan yang bertempat
tinggal di wilayah kerjanya, tanpa diskriminasi dan dengan
menerapkan kemajuan ilmu dan teknologi kesehatan yang sesuai.
Upaya pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang dilakukan
puskesmas mencakup pula aspek lingkungan dari yang
bersangkutan.6

2.1.4. Upaya Kesehatan Puskesmas


Untuk tercapainya visi pembangunan kesehatan melalui
puskesmas, yakni terwujudnya Kecamatan Sehat Menuju Indonesia
Sehat, puskesmas bertanggung jawab menyelenggarakan upaya
kesehatan perorangan dan upaya kesehatan masyarakat, yang keduanya
jika ditinjau dari sistem kesehatan nasional merupakan pelayanan
kesehatan tingkat pertama. Upaya kesehatan tersebut dikelompokkan
menjadi dua yakni6 :
1. Upaya Kesehatan Wajib
Upaya kesehatan wajib puskesmas adalah upaya yang ditetapkan
berdasarkan komitmen nasional, regional dan global serta yang
mempunyai daya ungkit tinggi untuk peningkatan derajat kesehatan
masyarakat. Upaya kesehatan wajib ini harus diselenggarakan oleh
setiap puskesmas yang ada di wilayah Indonesia. Upaya kesehatan
wajib tersebut adalah6:
a. Upaya Promosi Kesehatan
8

b. Upaya Kesehatan Lingkungan


c. Upaya Kesehatan Ibu dan Anak serta Keluarga Berencana
d. Upaya Perbaikan Gizi
e. Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular.

2. Upaya Kesehatan Pengembangan


Upaya kesehatan pengembangan puskesmas adalah upaya yang
ditetapkan berdasarkan permasalahan kesehatan yang ditemukan di
masyarakat serta yang disesuaikan dengan kemampuan puskesmas.
Upaya kesehatan pengembangan dipilih dari daftar upaya kesehatan
pokok puskesmas yang telah ada, yakni6:
a. Upaya Kesehatan Sekolah
b. Upaya Kesehatan Olah Raga
c. Upaya Perawatan Kesehatan Masyarakat
d. Upaya Kesehatan Kerja
e. Upaya Kesehatan Gigi dan Mulut
f. Upaya Kesehatan Jiwa
g. Upaya Kesehatan Mata
h. Upaya Kesehatan Usia Lanjut
i. Upaya Pembinaan Pengobatan Tradisional.

Upaya laboratorium medis dan laboratorium kesehatan


masyarakat serta upaya pencatatan dan pelaporan tidak termasuk
pilihan karena ketiga upaya ini merupakan pelayanan penunjang dari
setiap upaya wajib dan upaya pengembangan puskesmas.6
Perawatan kesehatan masyarakat merupakan pelayanan penunjang,
baik upaya kesehatan wajib maupun upaya kesehatan pengembangan.
Apabila perawatan kesehatan masyarakat menjadi permasalahan
spesifik di daerah tersebut, maka dapat dijadikan sebagai salah satu
upaya kesehatan pengembangan.6
9

Upaya kesehatan pengembangan puskesmas dapat pula bersifat


upaya inovasi, yakni upaya lain di luar upaya puskesmas tersebut di
atas yang sesuai dengan kebutuhan. Pengembangan dan pelaksanaan
upaya inovasi ini adalah dalam rangka mempercepat tercapainya visi
puskesmas.6
Pemilihan upaya kesehatan pengembangan ini dilakukan oleh
puskesmas bersama Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan
mempertimbangkan masukan dari BPP. Upaya kesehatan
pengembangan dilakukan apabila upaya kesehatan wajib puskesmas
telah terlaksana secara optimal, dalam arti target cakupan serta
peningkatan mutu pelayanan telah tercapai. Penetapan upaya kesehatan
pengembangan pilihan puskesmas ini dilakukan oleh Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota. Dalam keadaan tertentu, upaya kesehatan
pengembangan puskesmas dapat pula ditetapkan sebagai penugasan
oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.6
Apabila puskesmas belum mampu menyelenggarakan upaya
kesehatan pengembangan, padahal menjadi kebutuhan masyarakat,
maka Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota bertanggunjawab dan wajib
menyelenggarakannya. Untuk itu Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
perlu dilengkapi dengan berbagai unit fungsional lainnya.6
Dalam keadaan tertentu, masyarakat membutuhkan pula
pelayanan rawat inap. Untuk ini di puskesmas dapat dikembangkan
pelayanan rawat inap tersebut, yang dalam pelaksanaannya harus
memperhatikan berbagai persyaratan tenaga, sarana dan prasarana
sesuai standar yang telah ditetapkan.6
Lebih lanjut, di beberapa daerah tertentu telah muncul pula
kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan medik spesialistik. Dalam
keadaan ini, apabila ada kemampuan, di puskesmas dapat
dikembangkan pelayanan medik spesialistik tersebut, baik dalam
bentuk rawat jalan maupun rawat inap. Keberadaan pelayanan medik
spesialistik di puskesmas hanya dalam rangka mendekatkan pelayanan
10

rujukan kepada masyarakat yang membutuhkan. Status dokter dan atau


tenaga spesialis yang bekerja di puskesmas dapat sebagai tenaga
konsulen atau tenaga tetap fungsional puskesmas yang diatur oleh
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.6
Perlu diingat meskipun puskesmas menyelenggarakan
pelayanan medik spesialistik dan memiliki tenaga medis spesialis,
kedudukan dan fungsi puskesmas tetap sebagai sarana pelayanan
kesehatan tingkat pertama yang bertanggungjawab menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan dan pelayaan kesehatan masyarakat di
wilayah kerjanya.6
Upaya kesehatan masyarakat tingkat pertama meliputi upaya
kesehatan masyarakat esensial dan upaya kesehatan masyarakat
pengembangan6.
Upaya kesehatan masyarakat esensial meliputi:
a. Pelayanan promosi kesehatan;
b. Pelayanan kesehatan lingkungan;
c. Pelayanan kesehatan ibu, anak, dan keluarga berencana;
d. Pelayanan gizi
e. Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular.

Upaya kesehatan masyarakat esensial harus diselenggarakan


oleh setiap Puskesmas untuk mendukung pencapaian standar pelayanan
minimal kabupaten/kota bidang kesehatan.
Upaya kesehatan masyarakat pengembangan merupakan upaya
kesehatan masyarakat yang kegiatannya memerlukan upaya yang
sifatnya inovatif dan/atau bersifat ekstensifikasi dan intensifikasi
pelayanan, disesuaikan dengan prioritas masalah kesehatan, kekhususan
wilayah kerja dan potensi sumber daya yang tersedia di masing-masing
Puskesmas. Upaya kesehatan masyarakat tingkat pertama yang dapat
dilakukan oleh Puskesmas merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Permenkes RI no. 75 Tahun 2014. Upaya kesehatan
11

perseorangan tingkat pertama dilaksanakan dalam bentuk sebagai


berikut.
a. Rawat jalan;
b. Pelayanan gawat darurat;
c. Pelayanan satu hari (one day care);
d. Home care; dan/atau
e. Rawat inap berdasarkan pertimbangan kebutuhan pelayanan
kesehatan.5
Upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama dilaksanakan
sesuai dengan standar prosedur operasional dan standar pelayanan.5

2.1.5. Azas Penyelenggaraan Puskesmas


Penyelenggaraan upaya kesehatan wajib dan upaya kesehatan
pengembangan harus menerapkan azas penyelenggaraan puskesmas
secara terpadu. Azas penyelenggaraan puskesmas tersebut
dikembangkan dari ketiga fungsi puskesmas. Dasar pemikirannya
adalah pentingnya menerapkan prinsip dasar dari setiap fungsi
puskesmas dalam menyelenggarakan setiap upaya puskesmas, baik
upaya kesehatan wajib maupun upaya kesehatan pengembangan. Azas
penyelenggaraan puskesmas yang dimaksud adalah:
1. Azas Pertanggung Jawaban
Azas penyelenggaraan puskesmas yang pertama adalah
pertanggungjawaban wilayah. Dalam arti puskesmas
bertanggungjawab meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
yang bertempat tinggal di wilayah kerjanya. Untuk ini puskesmas
harus melaksanakan berbagai kegiatan, antara lain sebagai berikut:
a. Menggerakkan pembangunan berbagai sektor tingkat
kecamatan, sehingga berwawasan kesehatan
b. Memantau dampak berbagai upaya pembangunan terhadap
kesehatan masyarakat di wilayah kerjanya
12

c. Membina setiap upaya kesehatan strata pertama yang


diselenggarakan oleh masyarakat dan dunia usaha di wilayah
kerjanya
d. Menyelenggarakan upaya kesehatan strata pertama (primer)
secara merata dan terjangkau di wilayah kerjanya.
Diselenggarakannya upaya kesehatan strata pertama oleh
puskesmas pembantu, puskesmas keliling, bidan di desa serta
berbagai upaya kesehatan di luar gedung puskesmas lainnya
(outreach activities) pada dasarnya merupakan realisasi dari
pelaksanaan azas pertanggungjawaban wilayah.6

2. Azas Pemberdayaan Masyarakat


Azas penyelenggaraan puskesmas yang kedua adalah
pemberdayaan masyarakat. Dalam arti puskesmas wajib
memberdayakan perorangan, keluarga dan masyarakat, agar
berperan aktif dalam penyelenggaraan setiap upaya puskesmas.
Untuk ini, berbagai potensi masyarakat perlu dihimpun melalui
pembentukkan Badan Penyantun Puskesmas (BPP). Beberapa
kegiatan yang harus dilaksanakan oleh puskesmas dalam rangka
pemberdayaan masyarakat antara lain sebagai berikut.
a. Upaya kesehatan ibu dan anak: posyandu, polindes, Bina
Keluarga Balita (BKB)
b. Upaya pengobatan: posyandu, Pos Obat Desa (POD)
c. Upaya perbaikan gizi: posyandu, panti pemulihan gizi, Keluarga
Sadar Gizi (Kadarzi)
d. Upaya kesehatan sekolah: dokter kecil, penyertaan guru dan
orang tua/wali murid, Saka Bakti Husada (SBH), Pos Kesehatan
Pesantren (Poskestren)
e. Upaya kesehatan lingkungan: Kelompok Pemakai Air
(Pokmair), Desa Percontohan Kesehatan Lingkungan (DPKL)
f. Upaya kesehatan usia lanjut: posyandu usila, panti wreda
13

g. Upaya kesehatan kerja: Pos Upaya Kesehatan Kerja (Pos UKK)


h. Upaya kesehatan jiwa: posyandu, Tim Pelaksana Kesehatan
Jiwa Masyarakat (TPKJM)
i. Upaya pembinaan pengobatan tradisional: Taman Obat
Keluarga (TOGA), Pembinaan Pengobat Tradisional (Battra)
Upaya pembiayaan dan jaminan kesehatan (inovatif): dana
sehat, Tabungan Ibu Bersalin (Tabulin), mobilisasi dana
keagamaan.6

3. Azas Keterpaduan
Azas penyelenggaraan puksesmas yang ketiga adalah
keterpaduan. Untuk mengatasi keterbatasan sumberdaya serta
diperolehnya hasil yang optimal, penyelenggaraan setiap upaya
puskesmas harus diselenggarakan secara terpadu, jika mungkin
sejak dari tahap perencanaan. Ada dua macam keterpaduan yang
perlu diperhatikan, yakni:
a. Keterpaduan lintas program
Keterpaduan lintas program adalah upaya memadukan
penyelenggaraan berbagai upaya kesehatan yang menjadi
tanggungjawab puskesmas. Contoh keterpaduan lintas program
antara lain:
i. Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS): keterpaduan
KIA dengan P2M, gizi, promosi kesehatan, pengobatan
ii. Upaya Kesehatan Sekolah (UKS): keterpaduan kesehatan
lingkungan dengan promosi kesehatan, pengobatan,
kesehatan gigi, kesehatan reproduksi remaja dan kesehatan
jiwa
iii. Puskesmas keliling: keterpaduan pengobatan dengan
KIA/KB, gizi, promosi kesehatan, kesehatan gigi
iv. Posyandu: keterpaduan KIA dengan KB, gizi P2M,
kesehatan jiwa, promosi kesehatan.
14

b. Keterpaduan lintas sektor


Keterpaduan lintas sektor adalah upaya memadukan
penyelenggaraan upaya puskesmas (wajib, pengembangan dan
inovasi) dengan berbagai program dari sector terkait tingkat
kecamatan, termasuk organisasi kemasyarakatan dan dunia
usaha. Contoh keterpaduan lintas sektor antara lain sebagai
berikut.
i. Upaya Kesehatan Sekolah: keterpaduan sektor kesehatan
dengan camat, lurah/kepala desa, pendidikan, agama
ii. Upaya promosi kesehatan: keterpaduan sektor kesehatan
dengan camat, lurah/kepala desa, pendidikan, agama,
pertanian
iii. Upaya kesehatan ibu dan anak: keterpaduan sektor
kesehatan dengan camat, lurah/kepala desa, organisasi
profesi, organisasi kemasyarakatan, PKK, PLKB
iv. Upaya perbaikan gizi: keterpaduan sektor kesehatan dengan
amat, lurah/kepala desa, pertanian, pendidikan, agama,
koperasi, dunia usaha, PKK, PLKB
v. Upaya pembiayaan dan jaminan kesehatan: keterpaduan
sektor kesehatan dengan camat, lurah/kepala desa, tenaga
kerja, koperasi, dunia usaha, organisasi kemasyarakatan
vi. Upaya kesehatan kerja: keterpaduan sektor kesehatan
dengan camat, lurah/kepala desa, tenaga kerja, dunia usaha.6

4. Azas Rujukan
Azas penyelenggaraan puskesmas yang keempat adalah
rujukan. Sebagai sarana pelayanan kesehatan tingkat pertama,
kemampuan yang dimiliki oleh puskesmas terbatas. Padahal
15

puskesmas berhadapan langsung dengan masyarakat dengan


berbagai permasalahan kesehatannya. Untuk membantu puskesmas
menyelesaikan berbagai masalah kesehatan tersebut dan juga untuk
meningkatkan efisiensi, maka penyelenggaraan setiap upaya
puskesmas (wajib, pengembangan dan inovasi) harus ditopang oleh
azas rujukan.
Rujukan adalah pelimpahan wewenang dan tanggungjawab
atas kasus penyakit atau masalah kesehatan yang diselenggarakan
secara timbal balik, baik secara vertikal dalam arti satu strata
sarana pelayanan kesehatan ke strata sarana pelayanan kesehatan
lainnya, maupun secara horisontal dalam arti antar sarana
pelayanan kesehatan yang sama. Sesuai dengan jenis upaya
kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas ada dua macam
rujukan yang dikenal, yakni:
a. Rujukan upaya kesehatan perorangan
Cakupan rujukan pelayanan kesehatan perorangan adalah kasus
penyakit. Apabila suatu puskesmas tidak mampu menanggulangi
satu kasus penyakit tertentu, maka puskesmas tersebut wajib
merujuknya ke sarana pelayanan kesehatan yang lebih mampu
(baik horisontal maupun vertikal). Sebaliknya pasien paska
rawat inap yang hanya memerlukan rawat jalan sederhana,
dirujuk ke puskesmas. Rujukan upaya kesehatan perorangan
dibedakan atas tiga macam seperti sebagai berikut.
i. Rujukan kasus keperluan diagnostik, pengobatan, tindakan
medik (biasanya operasi) dan lain-lain.
ii. Rujukan bahan pemeriksaan (spesimen) untuk
pemeriksaan laboratorium yang lebih lengkap.
iii. Rujukan ilmu pengetahuan antara lain mendatangkan
tenaga yang lebih kompeten untuk melakukan bimbingan
kepada tenaga puskesmas dan ataupun menyelenggarakan
pelayanan medik di puskesmas.6
16

b. Rujukan Upaya Kesehatan Masyarakat


Cakupan rujukan pelayanan kesehatan masyarakat adalah
masalah kesehatan masyarakat, misalnya kejadian luar biasa,
pencemaran lingkungan, dan bencana Rujukan pelayanan
kesehatan masyarakat juga dilakukan apabila satu puskesmas
tidak mampu menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat
wajib dan pengembangan, padahal upaya kesehatan masyarakat
tersebut telah menjadi kebutuhan masyarakat. Apabila suatu
puskesmas tidak mampu menanggulangi masalah kesehatan
masyarakat, maka puskesmas tersebut wajib merujuknya ke
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Rujukan upaya kesehatan
masyarakat dibedakan atas tiga macam:
i. Rujukan sarana dan logistik, antara lain peminjaman
peralatan fogging, peminjaman alat laboratorium kesehatan,
peminjaman alat audio visual, bantuan obat, vaksin, bahan-
bahan habis pakai dan bahan makanan.
ii. Rujukan tenaga antara lain dukungan tenaga ahli untuk
penyelidikan kejadian luar biasa, bantuan penyelesaian
masalah hukum kesehatan, penanggulangan gangguan
kesehatan karena bencana alam.
iii. Rujukan operasional, yakni menyerahkan sepenuhnya
masalah kesehatan masyarakat dan tanggungjawab
penyelesaian masalah kesehatan masyarakat dan atau
penyelenggaraan upaya kesehatan masyarakat (antara lain
Upaya Kesehatan Sekolah, Upaya Kesehatan Kerja, Upaya
Kesehatan Jiwa, pemeriksaan contoh air bersih) kepada
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Rujukan operasional
diselenggarakan apabila puskesmas tidak mampu.6
17

Secara skematis pelaksanaan azas rujukan dapat digambarkan


sebagai berikut.

Gambar 2.1. Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan

2.1.6. Manajemen Puskesmas


Untuk terselenggaranya berbagai upaya kesehatan perorangan
dan upaya kesehatan masyarakat yang sesuai dengan azas
penyelenggaraan puskesmas, perlu ditunjang oleh manajemen
puskesmas yag baik. Manajemen puskesmas adalah rangkaian kegiatan
yang bekerja secara sistematik untuk menghasilkan luaran puskesmas
yang efektif dan efisien. Rangkaian kegiatan sistematis yang
dilaksanakan oleh puskesmas membentuk fungsi-fungsi manajemen.
Ada tiga fungsi manajemen pusksesmas yang dikenal yakni
Perencanaan, Pelaksanaan dan Pengendalian, serta Pengawasan dan
Pertanggungjawaban. Semua fungsi manajemen tersebut harus
dilaksanakan secara terkait dan berkesinambungan.6,7
18

A. Perencanaan
Perencanaan adalah proses penyusunan rencana tahunan
puskesmas untuk mengatasi masalah kesehatan di wilayah kerja
pusksesmas. Rencana tahunan puskesmas dibedakan atas dua
macam. Pertama, rencana tahunan upaya kesehatan wajib. Kedua,
rencana tahunan upaya kesehatan pengembangan.6
1. Perencanaan Upaya Kesehatan Wajib
Jenis upaya kesehatan wajib adalah sama untuk setiap
puskesmas, yakni Promosi Kesehatan, Kesehatan Lingkungan,
Kesehatan Ibu dan Anak termasuk Keluarga Berencana,
Perbaikan Gizi Masyarakat, Pencegahan dan Pemberantasan
Penyakit Menular serta Pengobatan.
2. Perencanaan Upaya Kesehatan Pengembangan
Jenis upaya kesehatan pengembangan dipilih dari daftar upaya
kesehatan pokok puskesmas yang telah ada, atau upaya inovasi
yang dikembangkan sendiri. Upaya laboratorium medik, upaya
laboratorium kesehatan masyarakat dan pencatatan dan
pelaporan tidak termasuk pilihan karena ketiga upaya ini
merupakan upaya penunjang yang harus dilakukan untuk
kelengkapan upaya-upaya puskesmas. Langkah-langkah
perencanaan upaya kesehatan pengembangan yang dilakukan
oleh puskesmas mencakup hal-hal sebagai berikut8 :
Penyusunan Perencanaan Tingkat Puskesmas (PTP)
dilakukan melalui 4 (empat) tahap sebagai berikut :
1. Tahap Persiapan
Tahap ini mempersiapkan staf Puskesmas yang terlibat
dalam proses penyusunan PTP agar memperoleh persamaan
pandangan dan pengetahuan tentang tahap perencanaan. Tahap
ini dilakukan dengan cara sebagai berikut.
a. Kepala Puskesmas membentuk Tim penyusun PTP yang
anggotanya staf puskesmas
19

b. Kepala puskesmas menjelaskan pedoman PTP kepada tim


c. Puskesmas mempelajari kebijakan dan pengarahan yang telah
ditetapkan oleh Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten, Dinas
Kesehatan Provinsi dan Departemen Kesehatan8
2. Tahap Analisis Situasi
Tahap ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi
keadaan dan permasalahan yang dihadapi Puskesmas melalui
analisis terhadap data yang dikumpulkan. Tim yang telah
disusun melakukan pengumpulan data. Ada 2 kelompok data
yang diperlukan yaitu data umum yang terdiri dari peta wilayah
kerja serta fasilitas kesehatan, data sumber daya, data peran serta
masyarakat, data penduduk dan sasaran program, data sekolah
dan data kesehatan lingkungan serta data khusus yang terdiri
dari status kesehatan, kejadian luar biasa, cakupan program
pelayanan kesehatan 1 (satu) tahun terakhir di tiap
desa/kelurahan dan hasil survey bila ada.8
3. Tahap Penyusunan Rencana Usulan Kegiatan (RUK)
Penyusunan RUK ini terdiri dari 2(dua) langkah, yaitu
analisa masalah dan rencana usulan kegiatan.
a. Analisa Masalah
Analisa masalah dapat dilakukan melalui kesepakatan
kelompok tim penyusun PTP dan konsil kesehatan
kecamatan/Badan Penyantun Puskesmas melalui tahap:
i. Identifikasi Masalah
Masalah adalah kesenjangan antara harapan dan
kenyataan. Identifikasi masalah dilaksanakan dengan
membuat daftar masalah yang dikelompokkan menurut
jenis program, cakupan, mutu, ketersediaan sumber daya.
ii. Menetapkan Urutan Prioritas Masalah
Mengingat adanya keterbatasan kemampuan
mengatasi masalah secara sekaligus, maka perlu dipilih
20

prioritas masalah dengan jalan kesepakatan tim. Dalam


penetapan urutan prioritas masalah dapat menggunakan
berbagai macam metode seperti kriteria matriks, MCUA,
Hanlon, CARL dsb.
Contoh kriteria matriks: masing-masing kriteria
ditetapkan dengan nilai 1-5. Nilai semakin besar jika
tingkat urgensinya sangat mendesak, atau tingkat
perkembangannya dan tingkat keseriusan semakin
memprihatinkan bila tidak diatasi. Kemudian kalikan
tingkat urgensi (U) dengan tingkat perkembangan (G),
dan tingkat keseriusan (S).
 Urgency berkaitan dengan mendesaknya waktu yang
diperlukan untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Semakin mendesak suatu masalah untuk diselesaikan
maka semakin tinggi urgensi masalah tersebut.
 Seriousness berkaitan dengan dampak dari adanya
masalah tersebut terhadap organisasi. Dampak ini
terutama yang menimbulkan kerugian bagi organisasi
seperti dampaknya terhadap produktivitas,
keselamatan jiwa manusia, sumber daya atau sumber
dana. Semakin tinggi dampak masalah tersebut
terhadap organisasi maka semakin serius masalah
tersebut.
 Growth berkaitan dengan pertumbuhan masalah.
Semakin cepat berkembang masalah tersebut maka
semakin tinggi tingkat pertumbuhannya. Suatu
masalah yang cepat berkembang tentunya makin
prioritas untuk diatasi permasalahan tersebut.
Prioritas masalah diurutkan berdasarkan hasil
perkalian yang besar dan disusun dalam matriks.
21

Tabel 1. Metode USG


Masalah Masalah Masalah Masalah
Kriteria 1 2 3
Tingkat Urgensi (U)
Tingkat Keseriusan (S)
Tingkat Perkembangan (G)
UxSxG

iii. Merumuskan Masalah


Hal ini mencakup apa masalahnya, siapa yang
terkena masalahnya, berapa besar masalahnya, dimana
masalah itu terjadi dan bilamana masalah itu terjadi (what,
who, when, where, how)
iv. Mencari Akar Penyebab Masalah
Mencari akar penyebab masalah dapat dilakukan
dengan menggunakan metode diagram sebab akibat dari
Ishikawa (disebut juga diagram tulang ikan karena
digambarkan membentuk tulang ikan). Kemungkinan
penyebab masalah dapat berasal dari:
 Input (sumber daya) : Jenis dan jumlah alat, obat,
tenaga serta prosedur kerja manajemen alat, obat dan
dana.
 Proses (Pelaksanaan kegiatan): frekuensi, kepatuhan
pelayanan medis dan non medis.
 Lingkungan
Kategori yang dapat digunakan antara lain adalah man,
money, material dan method.
22

G
a
m
b
a
r
Gambar 2.2. Diagram Fishbone

v. Menetapkan Pemecahan Masalah


Untuk menetapkan cara pemecahan masalah dapat
dilakukan dengan kesepakatan diantara anggota tim. Bila
tidak terjadi kesepakatan dapat digunakan kriteria matriks.
Untuk itu harus dicari alternatif pemecahan masalahnya.
Pada sesi ini ditentukan pula prioritas dari berbagai
kegiatan yang telah ditetapkan sehingga kegiatan dapat
dikurangi sesuai prioritasnya apabila anggaran untuk
program terbatas. Kriteria yang digunakan untuk
pemilihan prioritas kegiatan adalah sebagai berikut :
 Konsistensi
Bila kegiatan terpilih sesuai dengan strategi nasional
dan rencana kerja kabupaten/kota yang sudah ada.
Makin sesuai dengan strategi/rencana kerja yang ada,
maka makin tinggi skornya.
 Evidence Based
Bila kegiatan dipilih termasuk dalam rangkaian
kegiatan atau intervensi yang telah terbukti efektif
(evidence based) nilainya makin tinggi dibandingkan
dengan kegiatan yang belum ada bukti.
23

 Penerimaan
Kegiatan dapat diterima oleh semua institusi terkait
termasuk masyarakat setempat. Makin mudah
diterima, maka makin tinggi skor/nilainya.
 Mampu Laksana
Kegiatan yang dapat dilaksanakan berdasarkan
kondisi setempat, fasilitas, sumber daya manusia dan
infrastruktur yang dibutuhkan tersedia atau bisa
didapat, termasuk pembiayaan. Makin mudah
disediakan, makin tinggi nilainya.
Sepakati nilai yang akan diberikan untuk masing-
masing krteria. Misalnya 1= tidak penting, 2= kurang
penting, 3= penting, 4= sangat penting. Nilai akhir didapat
dari perkalian nilai kriteria

b. Penyusunan Rencana Usulan Kegiatan


Meliputi upaya kesehatan wajib, upaya kesehatan
pengembangan dan upaya kesehatan penunjang, yang
meliputi kegiatan tahunan yang akan datang, kebutuhan
sumber daya berdasarkan ketersediaan sumber daya yang
ada, rekapitulasi rencana usulan kegiatan dan sumber daya
yang dibutuhkan ke dalam format RUK puskesmas.

4. Tahapan Penyusunan Rencana Pelaksanaan Kegiatan (RPK)


Tahap penyusunan rencana pelaksanaan kegiatan baik
upaya kesehatan wajib, upaya pengembangan upaya kesehatan
penunjang maupun upaya inovasi dilaksanakan secara bersama,
terpadu dan terintegritasi. Hal ini sesuai dengan azas
penyelenggaraan Puskesmas yaitu keterpaduan.
24

B. Pelaksanaan dan Pengendalian


Pelaksanaan dan pengendalian adalah proses
penyelenggaraan, pemantauan serta penilaian terhadap
penyelenggaraan rencana tahunan puskesmas, baik rencana tahunan
upaya kesehatan wajib maupun rencana tahunan upaya kesehatan
pengembangan, dalam mengatasi masalah kesehatan di wilayah
kerja puskesmas.
Langkah-langkah pelaksanaan dan pengendalian adalah
sebagai berikut:

1. Pengorganisasian
Untuk dapat terlaksananya rencana kegiatan puskesmas,
perlu dilakukan pengorganisasian. Ada dua macam
pengorganisasian yang harus dilakukan. Pertama,
pengorganisasian berupa penentuan para penanggungjawab dan
para pelaksana untuk setiap kegiatan serta untuk setiap satuan
wilayah kerja. Dengan perkataan lain, dilakukan pembagian
habis seluruh program kerja dan seluruh wilayah kerja kepada
seluruh petugas puskesmas dengan mempertimbangkan
kemampuan yang dimilikinya. Penentuan para
penanggungjawab ini dilakukan melalui pertemuan
penggalangan tim pada awal tahun kegiatan.

Tabel 3. Contoh Chart Pembagian Beban Tugas dan Wilayah


Kerja.
25

Kedua, pengorganisasian berupa penggalangan kerjasama


tim secara lintas sektoral. Ada dua bentuk penggalangan
kerjasama yang dapat dilakukan:
a. Penggalangan kerjasama dalam bentuk dua pihak, yakni
antara dua sektor terkait, misalnya antara puskesmas dengan
sektor tenaga kerja pada waktu menyelenggarakan upaya
kesehatan kerja.
b. Penggalangan kerjasama dalam bentuk banyak pihak, yakni
antar berbagai sector terkait, misalnya antara puskesmas
dengan sektor pendidikan, sektor agama, sektor kecamatan
pada waktu menyelenggarakan upaya kesehatan sekolah.6,8
Penggalangan kerjasama lintas sektor ini dapat dilakukan:
a. Secara langsung yakni antar sektor-sektor terkait
b. Secara tidak langsung yakni dengan memanfaatkan
pertemuan koordinasi kecamatan.6,8

2. Penyelenggaraan
Setelah pengorganisasian selesai dilakukan, kegiatan
selanjutnya adalah menyelenggarakan rencana kegiatan
puskesmas, dalam arti para penanggungjawab dan para
pelaksana yang telah ditetapkan pada pengorganisasian,
ditugaskan menyelenggarakan kegiatan puskesmas sesuai
dengan rencana yang telah ditetapkan. Untuk dapat
terselenggaranya rencana tersebut perlu dilakukan kegiatan
sebagai berikut:
a. Mengkaji ulang rencana pelaksanaan yang telah disusun,
terutama yang menyangkut jadwal pelaksanaan, target
pencapaian, lokasi wilayah kerja dan rincian tugas para
penanggungjawab dan pelaksana.
b. Menyusun jadwal kegiatan bulanan untuk setiap petugas
sesuai dengan rencana pelaksanaan yang telah disusun.
26

Beban kegiatan puskesmas harus terbagi habis dan merata


kepada seluruh petugas.
c. Menyelenggarakan kegiatan sesuai dengan jadwal yang telah
ditetapkan. Pada waktu menyelenggarakan kegiatan
puskesmas harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
i. Azas penyelenggaraan puskesmas
Penyelenggaraan kegiatan puskesmas harus menerapkan
keempat azas penyelenggaraan puskesmas yakni azas
pertanggungjawaban wilayah, azas pemberdayaan
masyarakat, azas keterpaduan dan azas rujukan
ii. Berbagai standar dan pedoman pelayanan puskesmas
Pada saat ini telah berhasil dikembangkan berbagai
standar dan pedoman pelayanan puskesmas sebagai
acuan penyelenggaraan kegiatan puskesmas yang harus
diperhatikan pada waktu menyelenggarakan kegiatan
puskesmas.

Standar dan pedoman tersebut adalah:


 Standar dan pedoman bangunan puskesmas
 Standar dan pedoman peralatan puskesmas
 Standar manajemen peralatan puskesmas
 Standar dan pedoman ketenagaan puskesmas
 Pedoman pengobatan rasional puskesmas
 Standar manajemen obat puskesmas
 Standar dan pedoman teknis pelayanan berbagai upaya
kesehatan perorangan dan upaya kesehatan masyarakat yang
diselenggarakan oleh puskesmas
 Pedoman Sistem Informasi Manajemen Puskesmas
(SIMPUS)
 Pedoman perhitungan satuan biaya pelayanan puskesmas
27

3. Kendala Mutu
Penyelenggaraan kegiatan puskesmas harus menerapkan
program kendali mutu. Prinsip program kendali mutu adalah
kepatuhan terhadap berbagai standar dan pedoman pelayanan
serta etika profesi, yang memuaskan pemakai jasa pelayanan.
Kendali mutu adalah Upaya yang dilaksanakan secara
berkesinambungan, sistematis, obyektif dan terpadu dalam
menetapkan masalah dan penyebab masalah mutu pelayanan
berdasarkan standar yang telah ditetapkan, menetapkan dan
melaksanakan cara penyelesaian masalah sesuai dengan
kemampuan yang tersedia serta menilai hasil yang dicapai dan
menyusun saran tindaklanjut untuk lebih meningkatkan mutu
pelayanan. Prinsipnya adalah sebagai berikut.
 Mengikuti siklus pemecahan masalah (problem solving
cycle).
 Dilaksanakan melalui kerjasama tim (team based)
 Sesuai sumber daya yang tersedia (resource based).

4. Kendali Biaya
Penyelenggaraan kegiatan puskesmas harus menerapkan
program kendali biaya. Prinsip program kendali biaya adalah
kepatuhan terhadap berbagai standar dan pedoman pelayanan
serta etika profesi, yang terjangkau oleh pemakai jasa
pelayanan. Kendali biaya adalah Upaya yang dilaksanakan
secara berkesinambungan, sistematis, obyektif dan terpadu
dalam menetapkan kebijakan dan tatacara penyelenggaraan
upaya kesehatan termasuk pembiayaannya, serta memantau
pelaksanaannya sehingga terjangkau oleh masyarakat. Tahapan
pelaksanaannya adalah sebagai berikut.
 Menetapkan upaya kesehatan yang diselenggarakan lengkap
dengan rincian pembiayaannya.
28

 Menjabarkan kebijakan dan tatacara penyelenggaraan


(standar, pedoman, dan nilai etika) yang mendukung
 Melaksanakan upaya kesehatan yang sesuai dengan kebijakan
dan tatacara penyelenggaraan
 Menampung dan menyelesaikan keluhan masyarakat yang
terkait dengan masalah biaya
 Menyempurnakan penyelenggaraan upaya kesehatan dengan
memperhatikan keluhan biaya dari masyarakat.6

5. Pemantauan
Penyelenggaraan kegiatan harus diikuti dengan kegiatan
pemantauan yang dilakukan secara berkala. Kegiatan
pemantauan mencakup hal-hal sebagai berikut:
i. Melakukan telaahan penyelenggaraan kegiatan dan hasil
yang dicapai, yang dibedakan atas dua hal:
a. Telaahan internal
Yakni telaahan bulanan terhadap
penyelenggaraan kegiatan dan hasil yang dicapai
puskesmas, dibandingkan dengan rencana dan standar
pelayanan. Data yang dipergunakan diambil dari Sistem
Informasi Manajemen Puskesmas (SIMPUS) yang
berlaku. Simpus adalah Suatu tatanan yang
menyediakan informasi untuk membantu proses
pengambilan keputusan dalam melaksanakan
manajemen puskesmas dalam mencapai sasaran
kegiatannya.
Kesimpulan dirumuskan dalam dua bentuk.
Pertama, kinerja puskesmas yang terdiri dari cakupan
(coverage), mutu (quality) dan biaya (cost). Kedua,
masalah dan hambatan yang ditemukan pada waktu
penyelenggaraan kegiatan puskesmas. Telaahan
29

bulanan ini dilakukan dalam Lokakarya Mini Bulanan


puskesmas.
Lokakarya mini bulanan adalah Pertemuan yang
diselenggarakan setiap bulan di puskesmas yang
dihadiri oleh seluruh staff di puskesmas, puskesmas
pembantu dan bidan di desa serta dipimpin oleh kepala
puskesmas.
Tahapan pelaksanaan:
 Lokakarya mini pertama
 Masukan
 Penggalangan tim dalam bentuk dinamika
kelompok tentang peran tanggungjawab staf
dan kewenangan puskesmas
 Informasi tentang kebijakan, program dan
konsep baru
 Informasi tentang tatacara penyusunan POA
puskesmas.
 Proses
 Inventarisasi kegiatan puskesmas termasuk
kegiatan lapangan/daerah binaan
 Analisis beban kerja tiap petugas
 Pembagian tugas baru termasuk pembagian
tanggung jawab daerah binaan
 Penyusunan POA puskesmas tahunan.
 Keluaran
 POA puskesmas tahunan
 Kesepakatan bersama (untuk hal-hal yang
dipandang perlu).
 Lokakarya mini bulanan
 Masukan
 Laporan hasil kegiatan bulan lalu
30

 Informasi tentang hasil rapat dinas kesehatan


kabupaten/kota
 Informasi tentang hasil rapat tingkat
kecamatan
 Informasi tentang kebijakan, program dan
konsep baru.
 Proses
 Analisis hambatan dan masalah, antara lain
dengan mempergunakan PWS
 Analisis sebab masalah, khusus untuk mutu
dikaitkan dengan kepatuhan terhadap standar
pelayanan
 Merumuskan alternatif pemecahan masalah.
 Keluaran
 Rencana kerja bulan yang baru.

b. Telaahan eksternal
Merupakan telaahan triwulan terhadap hasil yang
dicapai oleh sarana pelayanan kesehatan tingkat
pertama lainnya serta sektor lain terkait yang ada di
wilayah kerja puskesmas. Telaahan triwulan ini
dilakukan dalam Lokakarya Mini Triwulan puskesmas
secara lintas sektor. Lokakarya Mini Triwulan adalah
pertemuan yang diselenggarakan setiap 3 bulan sekali
di puskesmas yang dihadiri oleh instansi lintas sektor
tingkat kecamatan, Badan Penyantun Puskesmas (BPP),
staff puskesmas dan jaringannya, serta dipimpin oleh
camat.
Tahapan pelaksanaan:
 Lokakarya mini tribulanan pertama
 Masukan
31

 Penggalangan tim yang dilakukan melalui


dinamika kelompok
 Informasi tentang program lintas sektor
 Informasi tentang program kesehatan
 Informasi tentang kebijakan, program dan
konsep baru.
 Proses
 Inventarisasi peran bantu masing-masing
sektor
 Analisis masalah peran bantu dari masing-
masing sektor
 Pembaxian peran masing-masing sektor.
 Keluaran
 Kesepakatan tertulis sektor terkait dalam
mendukung program
 Kesehatan termasuk program pemberdayaan
masyarakat.

 Lokakarya mini tribulanan rutin


 Masukan
 Laporan kegiatan pelaksanaan program
kesehatan dan dukungan sektor terkait
 Inventarisasi masalah/hambatan dari masing-
masing sektor dalam pelaksanaan program
kesehatan
 Pemberian informasi baru.
 Proses
 Analisis hambatan dan masalah pelaksanaan
program kesehatan
 Analisis hambatan dan masalah dukungan dari
masing-masing sektor
32

 Merumuskan cara pemecahan masalah.


 Keluaran
 Rencana kerja tribulan yang baru
 Kesepakatan bersama (untuk hal-hal yang
dipandang perlu).

ii. Menyusun saran peningkatan penyelenggaraan kegiatan


sesuai dengan pencapain kinerja puskesmas serta masalah
dan hambatan yang ditemukan dari hasil telaahan bulanan
dan triwulanan.6

6. Penilaian
Kegiatan penilaian dilakukan pada akhir tahun anggaran.
Kegiatan yang dilakukan mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Melakukan penilaian terhadap penyelenggaraan kegiatan dan
hasil yang dicapai, dibandingkan dengan rencana tahunan dan
standar pelayanan. Sumber data yang dipergunakan pada
penilaian dibedakan atas dua. Pertama, sumber data primer
yakni yang berasal dari SIMPUS dan berbagai sumber data
lain yang terkait, yang dikumpulkan secara khusus pada akhir
tahun. Kedua, sumber data sekunder yakni data dari hasil
pemantauan bulanan dan triwulanan.
2. Menyusun saran peningkatan penyelenggaraan kegiatan
sesuai dengan pencapaian serta masalah dan hambatan yang
ditemukan untuk rencana tahun berikutnya.

C. Pengawasan dan Pertanggungjawaban


Pengawasan danpertanggungjawaban adalah proses
memperoleh kepastian atas kesesuaian penyelenggaraan dan
pencapaian tujuan puskesmas terhadap rencana dan peraturan
perundangan-undangan serta kewajiban yang berlaku. Untuk
33

terselenggaranya pengawasan dan pertanggungjawaban dilakukan


kegiatan sebagai berikut:
1. Pengawasan
Pengawasan dibedakan atas dua macam yakni pengawasan
internal dan eksternal. Pengawasan internal dilakukan secara
melekat oleh atasan langsung. Pengawasan eksternal dilakukan
oleh masyarakat, dinas kesehatan kabupaten/kota serta berbagai
institusi pemerintah terkait. Pengawasan mencakup aspek
administratif, keuangan dan teknis pelayanan. Apabila pada
pengawasan ditemukan adanya penyimpangan, baik terhadap
rencana, standar, peraturan perundangan-undangan maupun
berbagai kewajiban yang berlaku, perlu dilakukan pembinaan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.6
2. Pertanggungjawaban
Pada setiap akhir tahun anggaran, kepala puskesmas harus
membuat laporan pertanggungjawaban tahunan yang mencakup
pelaksanaan kegiatan, serta perolehan dan penggunaan berbagai
sumberdaya termasuk keuangan. Laporan tersebut disampaikan
kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota serta pihak-pihak
terkait lainnya, termasuk masyarakat melalui Badan Penyantun
Puskesmas. Apabila terjadi penggantian kepala puskesmas,
maka kepala puskesmas yang lama diwajibkan membuat laporan
pertanggungjawaban masa jabatannya.6
34

2.2. TB Paru
2.2.1. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang
disebabkan oleh kuman TBC (mycobacterium tuberculosis). Sebagian
besar kuman TBC menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ
lainnya.3
2.2.2. Cara Penularan
Sumber penularan adalah penderita TBC BTA (+). Penularan
terjadi pada waktu batuk atau bersin, saat itu kuman terbang ke udara
dalam bentuk droplet atau percikan dahak. Droplet yang mengandung
kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam.
Orang akan terinfeksi apabila droplet tersebut terhirup kedalam saluran
pernapasan, kuman TBC masuk melalui pernapasan hingga dapat
menyebar ke seluruh bagian tubuh lainnya. Makin tinggi derajat positif
hasil pemeriksaan dahak, maka makin tinggi juga penularannya.3

2.2.3. Faktor Risiko


Teori John Gordon mengemukakan bahwa timbulnya suatu
penyakit sangat dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu bibit penyakit
(agent), pejamu (host), dan lingkungan (environment).3
A. Agent
Agent (A) adalah penyebab yang esensial yang harus ada.
Agent memerlukan dukungan faktor penentu agar penyakit dapat
manifest. Agent yang mempengaruhi penularan penyakit
tuberkulosis adalah kuman Mycobacterium tuberculosis. Agent ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya pathogenitas,
infektifitas dan virulensi. Pathogenitas adalah daya suatu
mikroorganisme untuk menimbulkan penyakit pada host.
Pathogenitas kuman tuberkulosis paru termasuk pada tingkat
rendah.3
35

B. Host
Host atau pejamu adalah manusia atau hewan hidup.
Beberapa faktor host yang mempengaruhi penularan penyakit
tuberkulosis paru adalah sebagai berikut.3
a. Usia
Berdasarkan hasil penelitian WHO, penyakit tuberkulosis paru
paling sering ditemukan pada usia produktif (15-50 tahun)
(Suswati, 2007). Sebagian besar dari kasus TB (98%) terjadi di
Negara-negara yang sedang berkembang. Diantara mereka 75%
berada pada usia produktif yaitu 20-49 tahun.
b. Jenis Kelamin
Penyakit TB paru cenderung lebih tinggi pada jenis kelamin
laki-laki dibandingkan perempuan. Data dari India (2008)
penemuan pasien laki-laki 3x lebih banyak dari pasien
perempuan TB. Di Indonesia, tahun 2007 ditemukan 94.614
pasien laki-laki dan 65.642 pasien TB perempuan dengan BTA
(+).
c. Parut BCG (Bacillis Calmette Guerin)
Hasil penelitian dalam jurnal kesehatan masyarakat
menunjukkan bahwa risiko orang yang tidak mendapat
imunisasi BCG untuk terjadinya TB paru sebesar 2.855 kali
lebih besar dibandingkan orang yang mendapat imunisasi BCG
(Simbolon, 2007). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian
Apriyani di Kabupaten Donggala propinsi Sulawesi Tengah
menemukan bahwa kelompok yang tidak divaksinasi BCG
mempunyai risiko 1,43 kali lebih besar untuk menderita TB paru
dibandingkan orang yang pernah diimunisasi.
d. Tingkat pendidikan
WHO (1999) menyatakan bahwa selain menyerang pada
kelompok usia produktif, tuberkulosis juga menyerang pada
masyarakat berpendidikan rendah. Hal ini disebabkan karena
36

tingkat pendidikan ini memungkinkan menjadi salah satu faktor


yang berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan seseorang
terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan tuberkulosis.
Penelitian yang dilakukan di Kabupaten Jember menyatakan
bahwa tingkat pendidikan paling banyak pada penderita TB
adalah Sekolah Dasar (43%).
e. Pekerjaan
Penderita TB paru sebagian besar adalah kelompok usia
produktif dan sebagian besar sosial ekonomi lemah (Ditjen PPM
& PLP, 1999). Dengan makin memburuknya keadaan ekonomi
Indonesia, kelompok miskin bertambah banyak, daya beli
menurun, dan dikhawatirkan keadaan ini akan memperburuk
kondisi kesehatan masyarakat khususnya penderita TB paru.
disamping program pemerintah untuk mengentaskan
kemiskinan, penderita TB paru juga perlu disembuhkan.
f. Kebiasaan Merokok
Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan meningkatkan
resiko untuk mendapatkan kanker paru-paru, penyakit jantung
koroner, bronchitis kronik dan kanker kandung kemih.
Kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk terkena TB paru
sebanyak 2,2 kali. Prevalensi merokok pada hampir semua
Negara berkembang lebih dari 50% terjadi pada laki-laki
dewasa, sedangkan wanita perokok kurang dari 5%. Dengan
adanya kebiasaan merokok akan mempermudah untuk
terjadinya infeksi TB paru.
g. Status Gizi
Penelitian Etjang (1991) bahwa penyakit tuberkulosis
disebabkan oleh adanya sumber penularan (penderita) dan
adanya orang-orang yang rentan dalam masyarakat. Kerentanan
akan tuberkulosis ini terjadi karena daya tahan tubuh yang
rendah yang disebabkan oleh gizi yang buruk, terlalu lelah,
37

kedinginan, dan cara hidup yang tidak teratur. Gizi buruk akan
menyebabkan daya tahan tubuh seseorang menjadi rendah
sehingga rentan terhadap penularan penyakit.3
h. Infeksi HIV
Sekitar 10% individu yang terinfeksi Mycobacterium
tuberculosis akan berkembang menjadi TB klinis seumur hidup
mereka. Namun, resiko yang lebih besar adalah pada individu
yang imunosupresif, khususnya bagi mereka yang terkena
infeksi HIV. HIV akan merusak limfosit dan monosit, yang
keduanya merupakan sel pertahanan primer untuk melawan
infeksi TB.3

C. Environment
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar diri host
(pejamu).
a. Kepadatan penghuni dalam satu rumah
Seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang
anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah.Mengurangi
kepadatan penghuni dalam satu rumah merupakan salah satu
tindakan yang dapat menurunkan risiko penularan tuberkulosis
paru yang berkaitan dengan hygiene dan sanitasi lingkungan.
Menurut APHA (American Public Health Assosiation), salah
satu syarat lingkungan rumah yang sehat yaitu jumlah kamar
tidur dan pengaturannya disesuaikan dengan umur dan jenis
kelaminnya. Ukuran ruang tidur anak yang berumur kurang dari
lima tahun minimal 4,5 m³, artinya dalam satu ruangan anak
yang berumur lima tahun ke bawah diberi kebebasan
menggunakan volume ruangan 4,5 m³ (1,5 x 1 x3 m³) dan diatas
lima tahun menggunakan ruangan 9 m³ (3 x 1 x 3 m³). Untuk
kamar tidur diperlukan minimum 3 m²/orang. Kamar tidur
sebaiknya tidak dihuni > 2 orang, kecuali untuk suami istri dan
38

anak dibawah dua tahun. Apabila ada anggota keluarga yang


menjadi penderita penyakit tuberkulosis sebaiknya tidak tidur
dengan anggota keluarga lainnya.3
b. Pencahayaan
Kebutuhan cahaya matahari dalam rumah atau ruangan mutlak
diperlukan, karena cahaya matahari berguna sebagai penerangan
dan mengurangi kelembaban dalam ruangan, membunuh
kuman-kuman dan mengusir nyamuk. Kuman tuberkulosis cepat
mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan
hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab. Dengan
begitu cahaya matahari perlu dapat masuk ke dalam ruangan.
Untuk mendapatkan cahaya matahari pagi secara optimal,
sebaiknya jendela kamar menghadap ke cahaya matahari terbit
dan luas jendela paling sedikit 10-20% dari luas lantai.
Kebutuhan standar cahaya alam yang memenuhi syarat
kesehatan untuk berbagai keperluan dalam rumah adalah 60-120
Lux.3
c. Ventilasi
Ventilasi rumah merupakan sarana untuk menjaga agar udara
ruangan selalu segar dengan mengganti udara yang sudah
terpakai dengan udara baru dari luar. Luas ventilasi yang
memenuhi syarat kesehatan adalah 10% dari luas lantai ruangan
dan tetap ditambah 5% dari ventilasi yang dibuka dan ditutup
(jendela). Menurut Sanropie, kelembaban udara agar
dipertahankan antara 40-60%.3

d. Jenis Lantai
Lantai rumah merupakan faktor risiko terjadinya penyakit TB
Paru.Risiko untuk menderita TB Paru 3 - 4 kali lebih tinggi pada
penduduk yang tinggal pada rumah yang lantainya tidak
memenuhi syarat kesehatan. Hal ini sesuai pendapat Fahmi
39

(2005) yang menyatakan bahwa lantai tanah memiliki peran


terhadap proses kejadian TB Paru melalui kelembaban ruangan,
karena lantai tanah cenderung menimbulkan kelembaban. Lantai
dari tanah perlu dilapisi dengan satu lapisan semen yang kedap
air. Rumah dengan lantai tanah akan menyebabkan kondisi
lembab, pengap, yang akan memperpanjang masa viabilitas atau
daya tahan hidup kuman TBC dalam lingkungan. Pada akhirnya
akan menyebabkan potensi penularan TBC menjadi lebih besar.3
e. Jenis Dinding
Dinding rumah merupakan faktor risiko terjadinya penyakit TB.
Risiko untuk menderita TB Paru 6 - 7 kali lebih tinggi pada
penduduk yang tinggalpada rumah yang dindingnya tidak
memenuhi syarat kesehatan. Hal ini sesuai dengan hasil survei
kesehatan lingkungan Dinas KesehatanKabupaten Gunungkidul
tahun 2004 yang menyatakan bahwa dinding rumahyang tidak
memenuhi syarat 70,65%. Dinding rumah sebaiknya kering
agarruangan tidak menjadi lembab.3
f. Kelembaban udara
Menurut Sanropie, kelembaban udara agar dapat dipertahankan
antara 40-60% dengan temperature kamar 22o -30o C. kuman TB
paru akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung, tetapi
dapat bertahan hidup selama beberapa jam di tempat yang gelap
dan lembab.3
Menurut indikator pengawasan perumahan, kelembaban
udara yang memenuhi syarat kesehatan dalam rumah adalah 40-
60% dan kelembaban udara yang tidak memenuhi syarat kesehatan
adalah < 40 % atau > 60 % dengan suhu rumah yang memenuhi
syarat kesehatan adalah antara 20-25 ºC, dan suhu rumah yang
tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 20 ºC atau > 25 ºC.
40

2.2.4. Manifestasi Klinis


A. Anamnesis (Subjective)
Keluhan Pasien datang dengan batuk berdahak ≥ 2 minggu. Batuk
disertai dahak, dapat bercampur darah atau batuk darah. Keluhan
dapat disertai sesak napas, nyeri dada atau pleuritic chest pain (bila
disertai peradangan pleura), badan lemah, nafsu makan menurun,
berat badan menurun, malaise, berkeringat malam tanpa kegiatan
fisik, dan demam meriang lebih dari 1 bulan.

B. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang (Objective)


Pada pemeriksaan fisik akan didapatkan demam (pada
umumnya subfebris, walaupun bisa juga tinggi sekali), respirasi
meningkat, berat badan menurun (BMI pada umumnya <18,5).
Pada auskultasi terdengar suara napas
bronkhial/amforik/ronkhi basah/suara napas melemah di apex paru,
tergantung luas lesi dan kondisi pasien.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk
membantu penegakan diagnosis TB Paru adalah sebagai berikut.
1. Darah: limfositosis/ monositosis, LED meningkat, Hb turun.
2. Pemeriksaan mikroskopis kuman TB (Bakteri Tahan Asam/
BTA) atau kultur kuman dari specimen sputum/ dahak sewaktu-
pagi-sewaktu.
3. Untuk TB non paru, specimen dapat diambil dari bilas lambung,
cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan.
4. Tes tuberkulin (Mantoux test). Pemeriksaan ini merupakan
penunjang utama untuk membantu menegakkan Diagnosis TB
pada anak.
5. Pembacaan hasil uji tuberkulin yang dilakukan dengan cara
Mantoux (intrakutan) dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan
dengan mengukur diameter transversal. Uji tuberkulin
dinyatakan positif yaitu:
41

a. Pada kelompok anak dengan imunokompeten termasuk anak


dengan riwayat imunisasi BCG diameter indurasinya > 10
mm.
b. Pada kelompok anak dengan imunokompromais (HIV, gizi
buruk, keganasan dan lainnya) diameter indurasinya > 5mm.
6. Radiologi dengan foto toraks PA-Lateral/ top lordotik.
Pada TB, umumnya di apeks paru terdapat gambaran bercak-
bercak awan dengan batas yang tidak jelas atau bila dengan
batas jelas membentuk tuberkuloma. Gambaran lain yang dapat
menyertai yaitu, kavitas (bayangan berupa cincin berdinding
tipis), pleuritis (penebalan pleura), efusi pleura (sudut
kostrofrenikus tumpul).

2.2.5. Diagnosis
Diagnosis pasti TB ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (sputum untuk dewasa,
tes tuberkulin pada anak).
Sedangkan kriteria diagnosis berdasarkan International
Standards for Tuberculosis Care (ISTC) adalah sebagai berikut.
a. Semua pasien dengan batuk produktif yang yang berlangsung selama
≥ 2 minggu yang tidak jelas penyebabnya, harus dievaluasi untuk
TB.
b. Semua pasien (dewasa, dewasa muda, dan anak yang mampu
mengeluarkan dahak) yang diduga menderita TB, harus diperiksa
mikroskopis spesimen sputum/ dahak 3 kali salah satu diantaranya
adalah spesimen pagi.
c. Semua pasien dengan gambaran foto toraks tersangka TB, harus
diperiksa mikrobiologi dahak.
d. Diagnosis dapat ditegakkan walaupun apus dahak negatif
berdasarkan kriteria berikut:
42

1. Minimal 3 kali hasil pemeriksaan dahak negatif (termasuk


pemeriksaan sputum pagi hari), sementara gambaran foto
toraks sesuai TB.
2. Kurangnya respon terhadap terapi antibiotik spektrum luas
(periksa kultur sputum jika memungkinkan), atau pasien
diduga terinfeksi HIV (evaluasi Diagnosis tuberkulosis harus
dipercepat).

e. Diagnosis TB intratorasik (seperti TB paru, pleura, dan kelenjar


limfe mediastinal atau hilar) pada anak:
1. Keadaan klinis (+), walaupun apus sputum (-).
2. Foto toraks sesuai gambaran TB.
3. Riwayat paparan terhadap kasus infeksi TB.
4. Bukti adanya infeksi TB (tes tuberkulin positif > 10 mm
setelah 48-72 jam)

Gambar 2.3. Alur Diagnosis TB paru


43

Keterangan: Pada keadaan tertentu dengan pertimbangan kegawatan dan medis


spesialistik, alur tersebut dapat digunakan lebih fleksibel.

2.2.6. Pemeriksaan Dahak Makroskopis


Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan
dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua
hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS).
1. S (Sewaktu)
Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung
pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak
untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.
2. P (Pagi)
Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah
bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di
UPK.
3. S (Sewaktu)
Dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan
dahak pagi.3

2.2.7. Indikasi Pemeriksaan Foto Thorax


Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan
dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan
foto toraks. Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu
dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut:
1. Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada
kasus ini pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk
mendukung diagnosis ‘TB paru BTA positif. (lihat bagan alur)
2. Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen
dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif
44

dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.


(lihat bagan alur)
3. Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat
yang memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak,
pleuritis eksudativa, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien
yang mengalami hemoptisis berat untuk menyingkirkan
bronkiektasis atau aspergiloma.

2.2.8. Penatalaksanaan
A. Tujuan Pengobatan
Adapun tujuan pengobatan TB adalah sebagai berikut.3
a. Menyembuhkan, mempertahankan kualitas hidup dan
produktifitas pasien.
b. Mencegah kematian akibat TB aktif atau efek lanjutan.
c. Mencegah kekambuhan TB.
d. Mengurangi penularan TB kepada orang lain.
e. Mencegah kejadian dan penularan TB resisten obat.
Sedangkan menurut Kepmenkes, 2009 pengobatan TB
bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan
mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.
Selama terapi dilakukan evaluasi foto setelah pengobatan 2
bulan dan 6 bulan.
Sedangkan menurut Kepmenkes tahun 2009, pengobatan TB
dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis
obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan
kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal
(monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-
KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
45

2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan


pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment)
oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal
(intensif) dan lanjutan.
 Tahap Awal (Intensif)
 Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap
hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah
terjadinya resistensi obat.
 Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara
tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular
dalam kurun waktu 2 minggu.
 Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA
negatif (konversi) dalam 2 bulan.
 Tahap Lanjutan
 Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih
sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama
 Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister
sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

1. Kategori -1
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
a) Pasien baru TB paru BTA positif.
b) Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
c) Pasien TB ekstra paru
Dosis yang digunakan untuk paduan OAT KDT Kategori
1: 2(HRZE)/4(HR)3.
46

Tabel 5 Dosis paduan OAT KDT Kategori 1


Barat Tahap intensif tiap hari Tahap lanjutan 3 kali
badan selama 2 bulan RHZE seminggu selama 4 bulan
(150/75/400/275) RH (150/150)
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
> 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

2. Kategori -2
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang
pernah diobati sebelumnya (pengobatan ulang) yaitu:
a) Pasien kambuh.
b) Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori
1.
c) Pasien yang diobati kembali, putus berobat (lost to follow-
up).

Tabel 7 Dosis paduan OAT KDT Kategori 2


47

2.3. Manajemen Program Pengendalian TB Paru


Penatalaksanaan TB dikelola dengan menggunakan strategi DOTS.
DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) adalah nama untuk
strategi yang dilaksanakan pada pelayanan kesehatan dasar di dunia untuk
mendeteksi dan menyembuhkan pasien TB.3
Ekspansi strategi DOTS di Indonesia membutuhkan dukungan
manajerial yang kuat. Desentralisasi pelayanan kesehatan berpengaruh
negatif terhadap kapasitas sumber daya manusia dan pengembangan
program pengendalian TB. Meskipun dilaporkan bahwa 98% staf di
Puskesmas dan lebih kurang 24% staf TB di rumah sakit telah dilatih,
program TB harus tetap melakukan pengembangan sumber daya manusia
mengingat tingkat mutasi staf yang cukup tinggi.3
Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci.
1. Komitmen politis
2. Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya.
3. Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan
tatalaksana kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan.
4. Jaminan ketersediaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang bermutu.
5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian
terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan.

2.3.1. Tujuan Penanggulangan TB Paru


Tujuan penanggulangan TB Paru, antara lain sebagai berikut.
1. Jangka Panjang
Menurunkan angka kesakitan dan angka kematian yang diakibatkan
penyakit TB paru dengan cara memutuskan rantai penularan,
sehingga penyakit TB paru tidak lagi merupakan masalah
kesehatan masyarakat Indonesia.
48

2. Jangka Pendek.
a. Tercapainya angka kesembuhan minimal 85 % dari semua
penderita baru BTA positif yang ditemukan.
b. Tercapainya cakupan penemuan penderita secara bertahap
sehingga pada tahun 2006 dapat mencapai 70 % dari perkiraan
semua penderita baru BTA positif

2.3.2. Klasifikasi Pasien TB Paru


Klasifikasi pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu:
1. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2. Kasus kambuh (Relaps)
Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
3. Kasus setelah putus berobat (Default)
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau
lebih dengan BTA positif.
4. Kasus setelah gagal (failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan.
5. Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register
TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.
6. Kasus Kronik
Yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah
menyelesaikan pengobatan ulangan dibawah pengawasan.
49

2.3.3. Formula dan Analisa Indikator


A. Angka Penjaringan Suspek
Merupakan jumlah suspek yang diperiksa dahaknya diantara
100.000 penduduk pada suatu wilayah tertentu dalam 1 tahun.
Angka ini digunakan untuk mengetahui upaya penemuan pasien
dalam suatu wilayah tertentu, dengan memperhatikan
kecenderungannya dari waktu ke waktu (triwulan/tahunan)

Rumus:
Jumlah Suspek yang Diperiksa x 100%
Jumlah Penduduk

Jumlah suspek yang diperiksa bisa didapatkan dari buku


daftar suspek (TB. 06).
FASYANKES yang tidak mempunyai wilayah cakupan
penduduk, misalnya rumah sakit, BP4 atau dokter praktek swasta,
indikator ini tidak dapat dihitung.3

B. Proporsi Paien TB BTA Positif diantara Suspek


Adalah prosentase pasien BTA positif yang ditemukan
diantara seluruh suspek yang diperiksa dahaknya. Angka ini
menggambarkan mutu dari proses penemuan sampai diagnosis
pasien, serta kepekaan menetapkan kriteria suspek.

Rumus:
Jumlah Pasien TB BTA Positif yg ditemukan x 100%
Jumlah Suspek TB yg diperiksa

Angka ini sekitar 5 - 15%. Bila angka ini terlalu kecil (< 5%)
kemungkinan disebabkan:
50

 Penjaringan suspek terlalu longgar. Banyak orang yang tidak


memenuhi kriteria suspek, atau
 Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (negatif palsu).
 Bila angka ini terlalu besar (>15%) kemungkinan disebabkan:
 Penjaringan terlalu ketat atau
 Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium seperti positif
palsu (Kemenkes RI, 2013).

C. Proporsi Pasien TB Paru BTA Positif diantara Semua Pasien TB


Paru Tercatat/ Diobati
Adalah prosentase pasien Tuberkulosis paru BTA positif
diantara semua pasien Tuberkulosis paru tercatat. Indikator ini
menggambarkan prioritas penemuan pasien Tuberkulosis yang
menular diantara seluruh pasien Tuberkulosis paru yang diobati.

Rumus:
Jumlah Pasien TB BTA positif (baru + kambuh) x 100%
Jumlah seluruh pasien TB (semua tipe)

Angka ini sebaiknya jangan kurang dari 65%. Bila angka ini
jauh lebih rendah, itu berarti mutu diagnosis rendah, dan kurang
memberikan prioritas untuk menemukan pasien yang menular atau
pasien BTA Positif.3
51

D. Proporsi pasien TB Anak diantara seluruh pasien TB


Adalah prosentase pasien TB anak (<15 tahun) diantara
seluruh pasien TB tercatat.

Rumus:
Jumlah Pasien TB Anak (<15 Tahun) yang ditemukan x 100%
Jumlah Seluruh Pasien TB yg tercatat

Angka ini sebagai salah satu indikator untuk menggambarkan


ketepatan dalam mendiagnosis TB pada anak. Angka ini berkisar
15%. Bila angka ini terlalu besar dari 15%, kemungkinan terjadi
overdiagnosis.3

E. Angka Penemuan Kasus (Case Detection Rate/ CDR)


Adalah presentase jumlah pasien baru BTA positif yang
ditemukan dan diobati dibanding jumlah pasien baru BTA positif
yang diperkirakan ada dalam wilayah tersebut.
Case Detection Rate menggambarkan cakupan penemuan
pasien baru BTA positif pada wilayah tersebut.

Rumus:
Jumlah pasien baru TB BTA Positif yg dilaporkan dalam TB.07 x 100%
Perkiraan jumlah pasien baru TB BTA Positif

Perkiraan jumlah pasien baru TB BTA positif diperoleh


berdasarkan perhitungan angka insidens kasus TB paru BTA positif
dikali dengan jumlah penduduk.
Target Case Detection Rate Program Penanggulangan
Tuberkulosis Nasional minimal 70%.
Angka perkiraan nasional penderita baru BTA positif adalah
161/100.000 penduduk.
52

F. Angka Notifikasi Kasus (Case Notification Rate/ CNR)


Adalah angka yang menunjukkan jumlah pasien baru yang
ditemukan dan tercatat diantara 100.000 penduduk di suatu
wilayah tertentu. Angka ini apabila dikumpulkan serial, akan
menggambarkan kecenderungan penemuan kasus dari tahun ke
tahun di wilayah tersebut.

Rumus:
Jumlah pasien TB (semua tipe) yg dilaporkan dlm TB.07 x 100%
Jumlah Penduduk

G. Angka Konversi (Convension Rate)


Angka konversi adalah prosentase pasien baru TB paru BTA
positif yang mengalami perubahan menjadi BTA negatif setelah
menjalani masa pengobatan intensif. Indikator ini berguna untuk
mengetahui secara cepat hasil pengobatan dan untuk mengetahui
apakah pengawasan langsung menelan obat dilakukan dengan
benar. Contoh perhitungan angka konversi untuk pasien baru TB
paru BTA positif adalah sebagai berikut.

Rumus
Jumlah pasien baru TB Paru BTA positif yg konversi x 100%
Jumlah pasien baru TB Paru BTA Positif yg diobati

Di fasyankes, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien


TB.01, yaitu dengan cara mereview seluruh kartu pasien baru BTA
Positif yang mulai berobat dalam 3-6 bulan sebelumnya, kemudian
dihitung berapa diantaranya yang hasil pemeriksaan dahak negatif,
setelah pengobatan intensif (2 bulan).
53

Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dengan


mudah dapat dihitung dari laporan TB. Angka minimal yang harus
dicapai adalah 80%.

H. Angka Kesembuhan (Cure Rate)


Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan
prosentase pasien baru TB paru BTA positif yang sembuh setelah
selesai masa pengobatan, diantara pasien baru TB paru BTA positif
yang tercatat.
Angka kesembuhan dihitung juga untuk pasien BTA positif
pengobatan ulang dengan tujuan sebagai berikut.
 Untuk mengetahui seberapa besar kemungkinan kekebalan
terhadap obat terjadi di komunitas, hal ini harus dipastikan
dengan surveilans kekebalan obat.
 Untuk mengambil keputusan program pada pengobatan
menggunakan obat baris kedua (second-line drugs).
 Menunjukan prevalens HIV, karena biasanya kasus pengobatan
ulang terjadi pada pasien dengan HIV.
Cara menghitung angka kesembuhan untuk pasien baru BTA
positif adalah sebagai berikut.

Rumus:
Jumlah pasien baru TB BTA positif yg sembuh x 100%
Jumlah Pasien baru TB BTA positif yg diobati

Di fasyankes, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien


TB.01, yaitu dengan cara mereview seluruh kartu pasien baru BTA
Positif yang mulai berobat dalam 9 - 12 bulan sebelumnya,
kemudian dihitung berapa diantaranya yang sembuh setelah selesai
pengobatan.
54

Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dapat


dihitung dari laporan TB. Angka minimal yang harus dicapai
adalah 85%. Angka kesembuhan digunakan untuk mengetahui hasil
pengobatan.
Walaupun angka kesembuhan telah mencapai 85%, hasil
pengobatan lainnya tetap perlu diperhatikan, yaitu berapa pasien
dengan hasil pengobatan lengkap, meninggal, gagal, default, dan
pindah.
 Angka default tidak boleh lebih dari 10%, karena akan
menghasilkan proporsi kasus retreatment yang tinggi dimasa
yang akan datang yang disebabkan karena ketidak-efektifan dari
pengendalian Tuberkulosis.
 Menurunnya angka default karena peningkatan kualitas
pengendalian TB akan menurunkan proporsi kasus pengobatan
ulang antara 10-20 % dalam beberapa tahun
 Sedangkan angka gagal untuk pasien baru BTA positif tidak
boleh lebih dari 4% untuk daerah yang belum ada masalah
resistensi obat, dan tidak boleh lebih besar dari 10% untuk
daerah yang sudah ada masalah resistensi obat.

I. Angka Keberhasilan Pengobatan


Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan
prosentase pasien baru TB paru BTA positif yang menyelesaikan
pengobatan (baik yang sembuh maupun pengobatan lengkap)
diantara pasien baru TB paru BTA positif yang tercatat.
Dengan demikian angka ini merupakan penjumlahan dari
angka kesembuhan dan angka pengobatan lengkap.
Cara perhitungan untuk pasien baru BTA positif dengan
pengobatan kategori 1.
55

Rumus:
Jumlah pasien baru BTA positif (sembuh+pengobatan lengkap) x 100%
Jumlah pasien baru TB BTA positif yg diobati

J. Angka Kesehatan Laboratorium


Pada saat ini Penanggulangan TB sedang dalam uji coba
untuk penerapan uji silang pemeriksaan dahak (cross check)
dengan metode Lot Sampling Quality Assessment (LQAS) di
beberapa propinsi, untuk masa yang akan datang akan diterapkan di
seluruh Fasyankes.

K. Error Rate
Error rate atau angka kesalahan baca adalah angka kesalahan
laboratorium yang menyatakan prosentase kesalahan pembacaan
slide/ sediaan yang dilakukan oleh laboratorium pemeriksa pertama
setelah di uji silang (cross check) oleh BLK atau laboratorium
rujukan lain.
Angka ini menggambarkan kualitas pembacaan slide secara
mikroskopis langsung laboratorium pemeriksa pertama.

Rumus:
Jumlah Sediaan yg dibaca salah x 100%
Jumlah seluruh sediaan yg diperiksa

Angka kesalahan baca sediaan (error rate) ini hanya bisa


ditoleransi maksimal 5%.
Apabila error rate = 5 % dan positif palsu serta negatif palsu
keduanya <5% berarti mutu pemeriksaan baik.
Error rate ini menjadi kurang berarti bila jumlah slide yang di
uji silang (cross check) relatif sedikit. Pada dasarnya error rate
dihitung pada masing- masing laboratorium pemeriksa, di tingkat
56

kabupaten/ kota. Kabupaten / kota harus menganalisa berapa persen


laboratorium pemeriksa yang ada diwilayahnya melaksanakan
cross check, disamping menganalisa error rate per
PRM/PPM/RS/BP4, supaya dapat mengetahui kualitas
pemeriksaan slide dahak secara mikroskopis langsung.3

2.3.4. Pencatatan dan Pelaporan TB (P2TB)


Pencatatan dan pelaporan merupakan salah satu elemen yang
sangat penting dalam sistem informasi penanggulangan TBC. Untuk itu
pencatatan & pelaporan perlu dilakukan berdasar klasifikasi dan tipe
penderita. Semua unit pelaksana program penanggulangan TBC harus
melaksanakan suatu sistem pencatatan dan pelaporan yang baku.
Formulir pencatatan dan pelaporan yang digunakan dalam
penanggulangan TB Nasional adalah sebagai berikut:
1. TB 01. Kartu pengobatan TB
2. TB 02. Kartu identitas penderita
3. TB 03. Register TB kabupaten
4. TB 04. Register Laboratorium TB
5. TB 05. Formulir permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan
dahak
6. TB 06. Daftar tersangka penderita (suspek) yang diperiksa dahak
SPS
7. TB 07. Laporan triwulan Penemuan Penderita Baru dan Kambuh
8. TB 08. Laporan triwulan Hasil Pengobatan Penderita TB Paru yang
terdaftar 12 -15 bulan lalu
9. TB 09. Formulir rujukan/pindah penderita
10. TB 10. Formulir hasil akhir pengobatan dari penderita TB pindahan
11. TB 11. Laporan Triwulan Hasil Pemeriksaan Dahak Akhir Tahap
Intensif untuk penderita terdaftar 3-6 bulan lalu
12. TB 12. Formulir Pengiriman Sediaan Untuk Cross Check
13. TB 13. Laporan Penerimaan dan Pemakaian OAT di kabupaten.
57

Disamping formulir tersebut diatas terdapat formulir sebagai berikut.


1. Rekapitulasi TB 07 kabupaten / kota ( blok 1 & blok 2)
2. Rekapitulasi TB 08 kabupaten / kota (Penderita Baru BTA positif,
Penderita Kambuh, dan Penderita Baru BTA negatif Rontgen
positif)
3. Rekapitulasi TB 12 kabupaten / kota dan propinsi
4. Rekapitulasi TB 11 per kabupaten / kota dan propinsi (Penderita
Baru BTA Positif, Penderita Kambuh, dan Gagal).
5. Rekapitulasi TB 13 propinsi.

A. Pencatatan di Unit Pelayanan Kesehatan


UPK misalnya Puskesmas, Rumah Sakit,. BP4, klinik dan
dokter praktek swasta dalam melaksanakan pencatatan, dapat
menggunakan formulir sebagai berikut.
1. Kartu pengobatan TB (TB.01),
2. Kartu identitas penderita (TB.02),
3. Formulir permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan
dahak (TB.05),
4. Daftar tersangka penderita (suspek) yang diperiksa dahak SPS
(TB.06),
5. Formulir rujukan/pindah penderita (TB 09)
6. Formulir hasil akhir pengobatan dari penderita TB pindahan
(TB.10)

UPK diharuskan melakukan pencatatan semua kegiatan yang


dilaksanakan dan tidak diwajibkan membuat laporan. Petugas
kabupaten / kota akan mengambil data yang dibutuhkan dan
mengisi dalam buku Register TB Kabupaten (Form TB.03) sebagai
bahan laporan yang pelaksanaannya dilakukan secara rutin. UPK
yang banyak penderitanya, misalnya Rumah sakit, dapat
58

menggunakan buku pencatatan seperti Buku Register TB


kabupaten (TB.03), tetapi untuk nomor register diisi sesuai dengan
nomor register yang diberikan oleh kabupaten/kota (Permenkes RI,
2007).

B. Pencatatan di Laboratorium PRM/ PPM/ RS/ B4


Laboratorium yang melakukan pewarnaan pembacaan
sediaan dahak BTA menggunakan formulir pencatatan:
1. Register Laboratorium TB (Formulir TB.04)
2. Formulir Permohonan Laboratorium TB Untuk Pemeriksaan
Dahak (TB.05) bagian bawah (mengisi hasil pemeriksaan).

C. Pencatatan dan Pelaporan di Kabupaten/ Kota


Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota menggunakan formulir
pencatatan dan pelaporan sebagai berikut:
1. Register TB kabupaten (Formulir TB.03)
2. Laporan Triwulan Penemuan Penderita Baru dan Kambuh
(Formulir TB.07)
3. Laporan Triwulan Hasil Pengobatan (Formulir TB.08)
4. Laporan Triwulan Hasil Konversi (Kruk Akhir Tahap Intensif
(Formulir TB.11)
5. Formulir Pemeriksaan Sediaan untuk Cross Check (Formulr
TB.12)
6. Rekapitulasi TB.12 kabupaten (Analisis Hasil Cross Check
kabupaten)
7. Laporan Penerimaan dan Pemakaian OAT di daerah
Kabupaten/Kota (Formulir TB.13) (Permenkes RI, 2007).
59

D. Pencatatan dan Pelaporan di Provinsi


Provinsi menggunakan formulir pencatatan dan pelaporan sebagai
berikut.
1. Rekapitulasi TB.07 blok 1 per kabupaten/kota.
2. Rekapitulasi TB.07 blok 2 per kabupaten/kota.
3. Rekapitulasi TB.08 yang dibuat tersendiri untuk tiap tipe
penderita per kabupaten/kota.
4. Rekapitulasi TB.11 yang dibuat tersendiri untuk tiap tipe
penderita per kabupaten/kota.
5. Rekapitulasi TB.12 propinsi (Rekapitulasi Analisis Hasil Cross
Check propinsi) per kabupaten/kota.

Anda mungkin juga menyukai