Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN KEGIATAN PPDH

ROTASI KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER

LABORATORIUM KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA

PENGUJIAN BAHAN PANGAN ASAL HEWAN


“TELUR AYAM RAS”

Oleh:

WULAN AYU PAMUNGKAS, S.KH


180130100111078

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019
DAFTAR ISI

COVER ................................................................................................................ i
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii
DAFTAR TABEL ............................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1 Latar belakang ........................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 2
1.3 Tujuan........................................................................................................ 2
1.4 Manfaat ...................................................................................................... 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 3
2.1 Telur Ayam Ras......................................................................................... 3
2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas Telur Ayam Ras ................... 7
BAB 3 METODOLOGI ...................................................................................... 9
3.1 Waktu dan Tempat PPDH .......................................................................... 9
3.2 Peserta PPDH ............................................................................................. 9
3.3 Metode Kegiatan ........................................................................................ 9
3.4 Metode Prosedur Pengujian Telur Ayam Ras ............................................ 9
3.4.1 Pemeriksaan Kualitas Telur S .......................................................... 9
3.4.5 Pemeriksaan ecara Fisik ................................................................... 10
3.4.2 Pemeriksaan Kesegaran telur ........................................................... 11
3.4.3 Pemeriksaan Kualitas Telur Setelah dibuka ..................................... 13
3.4.4Pemeriksaan pH ................................................................................. 13
3.4.5Pemeriksaan Mikrobiologi Telur ...................................................... 14
BAB 4 PEMBAHASAN ....................................................................................... 18
4.1 Hasil Pengujian........................................................................................... 18
4.2 Pembahasan ................................................................................................ 20
BAB 5 PENUTUP ................................................................................................ 28
5.1 Kesimpulan ................................................................................................. 28
5.2 Saran ........................................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 27
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Persyaratan mutu fisik telur konsumsi……………………….... ......... 7


Tabel 2.2 Persyaratan mutu batas maksimum cemaran mikroba pada telur ........ 7
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Telur ayam ras adalah salah satu sumber pangan protein hewani yang
populer dan sangat diminati oleh masyarakat. Hampir seluruhkalangan
masyarakat dapat mengonsumsi telur ayam ras untuk memenuhi kebutuhan
protein hewani. Hal ini karenatelur ayam ras relatif murah dan mudah diperoleh
serta dapat memenuhi kebutuhan gizi yang diharapkan (Lestari, 2009).
Telur merupakan bahan pangan dengan struktur fisik yang khas, dan
tersusun atas 3 bagian yaitu kulit, kantung udara, dan isi yang terdiri dari putih
telur dan kuning telur. Komposisi telur secara fisik terdiri dari 10% kerabang
(kulit telur/cangkang), 60% putih telur, dan 30% kuning telur. Terdapat 4 lapisan
putih telur, yaitu bagian luar cairan (lapisan tipis), bagian viscous cairan (lapisan
tebal), bagian dalam cairan (lapisan tipis), dan bagian lapisan kecil padat
mengelilingi membrane vitelin kuning telur disebut chalaza untuk
mempertahankan posisi yolk (Sarwono, 2001).
Sifat-sifat telur yang perlu diketahui adalah: 1) kulit telur sangat mudah
pecah, dan tidak dapat menahan tekanan mekanis yang besar sehingga telur tidak
dapat diperlakukan secara kasar pada suatu wadah dan 2) telur tidak mempunyai
bentuk dan ukuran yang sama besar sehingga bentuk elipsnya memberikan
masalah untuk penanganan secara mekanis dalam suatu system yang kontiniu
(Nuryati dkk, 2000).

Standar mutu telur ayam ras perlu diterapkan dalam pemasaran telur
terutama untuk memudahkan konsumen dalam menentukan pilihan sehingga
dapat memberikan kepuasan dan kepastian mutu untuk konsumen. Berdasarkan
SNI 01-3926-2006 telur ayam konsumsi segar adalah telur ayam yang tidak
mengalami proses pendinginan dan tidak mengalami penanganan pengawetan
serta tidak menunjukkan tanda-tanda pertumbuhan embrio yang jelas, kuning telur
belum tercampur dengan putih telur utuh dan bersih. Mutu akhir telur ditentukan
oleh: 1) kulit telur yaitu keutuhan, bentuk, kelicinan dan kebersihan, 2) kantong
udara yaitu kedalaman rongga udara dan kebebasan bergerak, 3) keadaan putih
telur yaitu kekentalan dan kebersihan, 4) keadaan kuning telur yaitu bentuk posisi,
penampakan batas dan kebersihan dan 5) bau telur yang khas (SNI 01-3926-
2006).

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana kualitas mutu dan keamanan produk raw telur ayam layer
yang beredar dipasaran?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui kulitas mutu dan keamanan raw telur ayam ras yang
beredar dipasaran sehingga aman dikonsumsi oleh masyarakat.

1.4 Manfaat
1. Memberikan infromasi mengenai kualitas mutu dan kelayakan telur ayam
ras yang beredar di pasaran untuk dikonsumsi oleh masyarakat.
2. Menciptakan bahan pangan asal hewan yang Halal, Aman, Utuh dan Sehat
untuk masyarakat, yang disesuaikan dengan SNI, 3926-2008 tentang telur
konsumsi.
3. Mahasiswa PPDH mampu melakukan pemeriksaan terhadap produk
pangan asal hewan dan menentukan kelayakan produk berdasarkan
peraturan yang berlaku sehingga produk aman dikonsumsi.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Telur Ayam Ras


Telur adalah suatu tempat penimbunan zat gizi seperti air, protein,
karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral yang diperlukan untuk pertumbuhan
embrio sampai menetas. Selain itu telur dengan kerabangnya berfungsi sebagai
pelindung embrio (Suprapti, 2002). Telur terdiri dari enam bagian yang penting
yaitu kerabang telur (shell), selaput kerabang telur (shell membranes), putih telur
(albumin), kuning telur (yolk), tali kuning telur (chalazae), dan sel benih
(germinal disc) (Sudaryani,2000).
Berdasarkan SNI 01-3926-2006 telur terdiri dari 3 komponen utama yaitu
kulit telur, putih telur (albumin) dan kuning telur. Warna kerabang (kulit telur)
dibedakan menjadi dua yaitu warna putih dan warna coklat. Berat telur ayam ras
dikelompokkan atas 4 yaitu ekstra besar (>60 g), besar (56-60 g), sedang (51-55
g), kecil (46-50 g), dan ekstra kecil (<46 g).
Mutu telur ditentukan oleh mutu bagian luar dan mutu bagian dalam. Mutu
bagian luar meliputi bentuk dan warna kulit, permukaan telur, keutuhan dan
kebersihan kulit telur. Mutu bagian dalam meliputi kekentalan putih dan kuning
telur, posisi kuning telur dan ada tidaknya noda atau bintik darah pada putih atau
kuning telur (SNI 01-3926-2006).
Menurut Sudaryani (2000), mutu telur sebelah luar ditentukan oleh kondisi
kulit telur. Berikut ini beberapa parameter yang dapat dijadikan ukuran untuk
menentukan mutu telur sebelah luar.
1. Bentuk Telur
Bentuk telur yang baik adalah proporsional, tidak benjol-benjol, tidak
terlalu lonjong dan tidak terlalu bulat (SNI 01-3926-2006). Bentuk telur umumnya
bulat sampai lonjong, perbedaan bentuk itu dapat terjadi karena adanya berbagai
faktor yang mempengaruhi antara lain sifat genetis (keturunan), umur hewan
sewaktu bertelur dan sifat biologis sewaktu bertelur (Elias, 1996).
2. Warna Kulit
Warna kulit telur ayam ras ada dua yaitu putih dan coklat. Perbedaan
warna kulit tersebut disebabkan adanya pigmen cephorpyrin yang terdapat pada
permukaan kulit telur yang berwarna coklat. Kulit telur yang berwarna coklat
relative lebih tebal dibandingkan dengan kulit telur yang berwarna putih.
Ketebalan kulit telur berwarna coklat rata-rata adalah 0,51 mm, sedangkan kulit
telur berwarna putih adalah 0,44 mm (SNI 01-3926-2006).
3. Kondisi Kulit Telur
Kondisi kulit telur dapat dilihat dari tekstur dan kehalusannya. Mutu telur
akan semakin baik jika tekstur kulitnya halus dan keadaan kulit telurnya utuh serta
tidak retak (SNI 01-3926-2006). Menurut Hadi (2005), telur yang baik
mempunyai kulit yang rata, tidak bernoda atau bintil–bintil dan tidak berpinggang.
Kondisi kerabang telur dapat dilihat dari tekstur dan kehalusannya. Kualitas telur
akan semakin baik jika tekstur kerabangnya halus dan keadaan kerabang utuh dan
tidak retak (Sudaryani, 2000). Keadaan kulit telur yang kulitnya yang
permukaannya kasar, retak dan kotor akan mempengaruhi mutu dalam telur
tersebut karena kulit telur memiliki pori-pori yang memyebabkan udara dan
kotoran dapat masuk kedalam telur.
4. Kebersihan Kerabang Telur
Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1992), kerabang telur merupakan
bagian telur yang paling luar dan paling keras. Kerabang yang tidak bersih dan
sedikit rusak seperti berlubang atau retak menyebabkan mikroba akan mudah
masuk kedalam telur sehingga telur menjadi busuk. Perlakuan pembersihan
bertujuan untuk menghilangkan kotoran dari permukaan kulit telur. Hal yang
perlu diperhatikan dalam pencucian kulit telur adalah sifat berpori kulit telur dan
sifat mengembang dan kontraksi isi telur. Mutu telur semakin baik jika kulit telur
dalam keadaan bersih dan tidak ada kotoran apa pun yang menempel (Sarwono,
2001). Menurut Sudaryani (2000), kondisi kerabang telur dapat dilihat dari tekstur
dan kehalusannya. Kualitas telur akan semakin baik jika tekstur kerabangnya
halus dan keadaan kerabang utuh dan tidak retak.
5. Mutu Telur Bagian Dalam (Isi Telur)
Menurut Sudaryani (2000), untuk menentukan mutu isi telur dapat dilihat
dari bagian telur disebelah dalam. Beberapa faktor yang menentukan mutu isi
telur di antaranya kondisi ruang udara, kuning telur dan putih telur.
6. Ruang Udara
Berdasarkan SNI 01-3926-2006 telur yang segar memiliki ruang udara
yang lebih kecil dibandingkan telur yang sudah lama. Berdasarkan kedalaman
ruang udaranya, mutu telur dapat dikelompokkan atas: a) mutu I, memiliki
kedalaman ruang udara 0,5 cm, b) mutu II, memiliki kedalaman ruang udara 0,5-
0,9 cm dan c) mutu III, memiliki kedalaman ruang udara 1 cm atau lebih. Menurut
Muchtadi dan Sugiyono (1992), terjadinya ruang udara atau pemisahan membran
kulit luar dan dalam disebabkan oleh perubahan suhu. Telur yang segar memiliki
kantong udara yang lebih kecil dibandingkan telur yang sudah lama. Kantong
udara dapat dijadikan sebagai petunjuk umur pada telur, makin besar kantong
udara umur telur relative makin lama.
7. Kuning Telur
Kuning telur berbentuk bulat, bewarna kuning sampai jingga. Kuning telur
terbungkus oleh selaput tipis yang sangat kuat dan elastis yang disebut membran
vitelin. Telur yang segar memiliki kuning telur yang tidak cacat, bersih dan tidak
terdapat pembuluh darah. Selain itu, di dalam kuning telur tidak terdapat bercak
daging atau bercak darah kuning telur yang memiliki mutu baik adalah bersih dan
tidak ada bercak atau noda darah yang menempel di kuning telur (Elias, 1996).
Menurut SNI 01-3926-2006 bentuk posisi kuning telur kategori mutu I adalah
kuning telur berbentuk bulat, bentuk posisi kuning telur kategori mutu II adalah
kuning telur agak gepeng dan bentuk posisi kuning telur mutu III adalah kuning
telur gepeng, agak melebar dan terkadang bisa pecah.
8. Putih Telur
Putih telur terdapat antara selaput telur dengan kuning telur Putih telur
terdiri dari putih telur encer dan putih telur kental. Fungsi putih telur adalah
sebagai tempat utama menyimpan makanan dan air dalam telur untuk digunakan
secara sempurna selama penetasan. Putih telur dilapisi oleh membran yang
disebut dengan membrane albumin. Bagian putih telur terdiri dari 4 lapisan yaitu
lapisan luar, lapisan tengah, lapisan dalam dan lapisan membran kalazifera
(Sugitha, 1995). Putih telur dari telur yang segar adalah tebal dan diikat kuat oleh
kalaza. Telur mutu I, mempunyai putih telur yang bebas dari titik daging atau titik
darah (SNI 01-3926-2006).
9. Indeks Putih Telur
Indeks putih telur merupakan perbandingan tinggi albumin kental dengan
diameter putih telur kental. Pada telur yang masih baru nilai ini berkisar antara
0,050-0,174. Indeks putih telur menurun karena penyimpanan, karena pemecahan
ovomucin yang dipercepat pada pH yang tinggi (Buckle, et al., 2007). Untuk
mengetahui mutu indeks putih telur dilakukan dengan cara mengukur tinggi
albumin kental (thick albumin) menggunakan rol kecil dan diameter albumin
kental menggunakan jangka sorong.
10. Indeks Kuning Telur
Indeks kuning telur merupakan perbandingan tinggi kuning telur dengan
diameter kuning telur yang diukur setelah dipisahkan dari kerabangnya. Nilai
indeks kuning telur normal adalah 0,33-0,50. Umumnya telur mempunyai 10
indeks kuning telur 0,42. Makin lama telur disimpan, nilai indeks kuning telur
makin kecil akibat migrasi air (Buckle, et al., 2007). Untuk mengetahui mutu
indeks kuning telur dilakukan dengan cara mengukur tinggi kuning telur
menggunakan rol kecil dan diameter kuning telur menggunakan jangka sorong.
11. Haugh Unit (HU)
Haugh Unit (HU) merupakan satuan yang digunakan untuk mengetahui
kesegaran isi telur terutama bagian putih telur, yang didasarkan pada ketebalan
albumin. Besarnya Haugh Unit dapat ditentukan dengan menggunakan table
konversi. Semakin tinggi nilai HU menunjukkan bahwa kualitas telur itu semakin
baik (Sudaryani, 2000). Perbandingan tinggi dan berat yang terukur diberi
penilaian mulai dari 20-100 atau lebih. Menurut SNI 01-3926-2006 kesegaran
telur dibedakan atas: a) Mutu I, memiliki nilai HU >72, b) Mutu II, memiliki nilai
HU 62-72 dan c) Mutu III, memiliki nilai HU < 60. 2. 3. Pemasaran dan Harga
Telur Ayam Ras Pasar merupakan pertemuan antara konsumen dengan produsen
yang akan menentukan suatu kesepakatan yang berbentuk harga. Harga dapat
mempangaruhi permintaan konsumen karena tinggi rendahnya harga akan
mempengaruhi keputusan konsumen untuk membeli suatu produk (Suharno,
1995). Sebagian konsumen lebih memperhatikan mutu telur dan sebagian lain
lebih memperhatikan harga produknya. Konsumen harus pandai memilih dan
menyimpan telur dengan baik.
Cara pemilihan dan penyimpanan telur yang baik agar kesehatan tetap
terjaga meliputi: 1) pemilihan telur dengan cangkang atau kulit yang bersih,
utuh/tidak retak, permukaan halus, warna kulit telur merata dan tidak ternoda,
bentuk normal dan tidak berbau, 2) telur sebaiknya dikemas dalam kantong plasik
bersih atau karton telur, 3) telur dicuci dengan air bersih dan dikeringkan sebelum
disimpan dalam lemari pendingin (kulkas), 4) telur disimpan di tempat yang
bersih, ventilasi udara cukup, dengan suhu di bawah 15o C dan kelembaban udara
75-90%.
Pengemasan telur yang baik mempunyai banyak kegunaan. Kegunaan
yang paling penting adalah untuk mengurangi kerusakan selama pengangkutan
dan penjualan. Dengan pengemasan yang baik telur bisa tampil lebih memikat.
Selain itu pengemasan juga berperan untuk memudahkan konsumen dalam
membawanya (Sujionohadi, 2004). Penggunaan pengemasan berbeda-beda
berdasarkan kebutuhan dan tujuan pemasaran. Telur yang dijual menggunakan
kemasan, perlu mengikuti persyaratan sebagai berikut: 1) bahan kemasan tidak
beracun dan mengeluarkan bau, 2) bahan kemasan harus mampu melindungi
kerabang dari tekanan dari luar yang mengakibatkan kerusakan, 3) telur dalam
satu kemasan harus mempunyai tingkatan mutu yang sama dan tingkatan bobot
yang sama, 4) pada kemasan harus dicantumkan, a) nama perusahaan, b) bobot
telur dan jumlah butir yang ada dalam kemasan, c) warna kerabang telur, d)
tingkatan mutu, dan e) jenis telur (SNI 01-3926-2006).
Tabel 2.2 Persyaratan mutu fisik telur konsumsi (SNI, 3926-2008)

Tabel 2.3 Persyaratan mutu batas maksimum cemaran mikroba pada telur (SNI
01-6366- 2000).

Sumber: BSN, 2000

2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Telur


Kualitas telur yang dipengaruhi oleh sifat genetika adalah tekstur dan
ketebalan kerabang telur, jumlah pori-pori kerabang telur, adanya noda darah,
banyaknya putih telur kental dan komposisi kimia telur (Romanoff dan Romanoff,
1963). Faktor-faktor kualitas yang dapat memberikan petunjuk terhadap
kesegaran telur adalah susut bobot telur, keadaan diameter rongga udara, keadaan
putih dan kuning telur, bentuk dan warna kuning telur serta tingkat kebersihan
kerabang telur. Susut bobot telur dipengaruhi keadaan awal dari telur. Penyusutan
bobot telur akan bertambah besar dengan bertambahnya umur simpan sampai
batas tertentu dan selanjutnya bobot telur akan relatif konstan. Penyusutan bobot
telur pada telur-telur yang tidak diawet, relatif berlangsung dengan cepat. Hal ini
disebabkan pengaruh suhu yang tinggi selama penyimpanan, pengaruh lama
penyimpanan, serta kelembaban udara yang rendah akan mempercepat penguapan
air dari dalam telur (Sulistiati, 1992). Penguapan air melalui kerabang telur, difusi
air dari putih telur ke kuning telur akibat perbedaan tekanan osmotik, terjadinya
pelepasan gas yang menyebabkan pH naik dan struktur gel putih telur rusak.
Semua kejadian tersebut berlangsung terus menerus, sehingga semakin lama telur
disimpan isi telur semakin encer (Romanoff dan Romanoff, 1963). Kekentalan
putih telur yang semakin tinggi dapat ditandai dengan tingginya lapisan putih telur
kental. Hal ini menunjukkan bahwa telur masih berada dalam kondisi segar.
Dengan bertambahnya lama penyimpanan maka tinggi lapisan kental tersebut
akan menurun dengan cepat pada awalnya dan akhirnya penurunan tersebut akan
6 semakin lambat. Penurunan tinggi putih telur bersifat logaritmik negatif (Sirait,
1986). Waktu peyimpanan yang semakin lama menyebabkan pori-pori semakin
besar dan rusaknya lapisan mukosa, air, gas dan bakteri lebih mudah melewati
kerabang tanpa ada yang menghalangi, sehingga penurunan kualitas dan
kesegaran telur semakin cepat terjadi.

Faktor kualitas telur menurut Umar dkk. (2000), dibagi menjadi dua, yaitu
faktor kualitas eksterior yang meliputi warna, bentuk, tekstur, keutuhan,
kebersihan kerabang. Faktor interior meliputi keadaan putih telur yaitu
kekentalannya, bentuk kuning telur yaitu tidak ada noda pada putih maupun
kuning telur. Kualitas interior telur dapat dilihat dengan candling (peneropongan).
Dengan peneropongan akan diketahui kondisi kulit telur, ukuran rongga udara dan
pergeseran kuning telur. Telur segar yang disimpan pada suhu kamar hanya akan
bertahan 10-14 hari, setelah waktu tersebut telur mengalami kerusakan. Semakin
lama telur disimpan maka putih telur akan semakin encer. Hal ini terjadi karena
penguapan CO2 dari putih telur yang mengakibatkan perubahan pH putih telur
dari asam menjadi basa. Pengenceran putih telur karena serat glikoprotein
ovomucin pecah, suasana ini mengakibatkan melemahnya ikatan ovomucin
(Romanoff dan Romanoff, 1963).

BAB 3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Kegiatan


Kegiatan PPDH rotasi KESMAVET ini dilaksanakan pada tanggal 13-24
Mei 2019 yang bertempat di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner,
Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Brawijaya, Malang.
3.2 Peserta Kegiatan
Peserta kegiatan Koasistensi Pendidikan Profesi Dokter Hewan (PPDH)
pada rotasi Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) di Laboratorium
Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas
Brawijaya adalah :
Nama : Wulan Ayu Pamungkas
Nim : 180130100111078
Email : lanayuchiel@gmail.com
Alamat : Perumahan Taman Embong Anyar 1 B5, Malang
yang berada dibawah bimbingan drh. Widi Nugroho, Ph.D

3.3 Metode Kegiatan


Metode kegiatan yang diakukan dalam koasistensi di Laboratorium
Kesmavet adalah
1. Melaksanakan pengujian sampel telur ayam ras.
2. Melaksanakan diskusi kelompok dan dengan dokter hewan pembimbing
koasistensi.
3.4 Metode Prosedur Pengujian Telur Ayam Ras
3.4.1 Pemeriksaan Kualitas Telur Secara Fisik (SNI 3926 : 2008, Telur
Konsumsi)
Prinsip: Melakukan pengujian sampel dengan menggunakan panca indra
meliputi berat telur, keutuhan, warna, kehalusan dan kebersihan kerabang
telur.
Alat dan bahan: timbangan dan telur ayam ras.
Prosedur kerja:
- Kerabang sampel telur ayam ras diamati dan diraba dari ujung tumpul
hingga ujung lancip.
- Diamati keutuhan, warna, kehalusan dan kebersihan kerabang telur.
- Kemudian ditimbang dengan menggunakan timbangan khusus untuk
telur dan dicatat hasilnya.Berat rata-rata telur ayam ras adalah 50-60 g.

3.4.2 Pemeriksaan Kesegaran telur

A) Peneropongan Telur (SNI 3926:2008, Telur Konsumsi)


Prinsip: Sorotan sinar dari candler ke telur dapat membantu melihat bagian
dalam isi telur seperti kantung hawa, kuning telur, adanya keretakan kerabang,
adanya bercak darah atau adanya pertumbuhan embrio.
Alat dan bahan: Candler dan telur ayam layer.
Prosedur Kerja:
- Sampel telur diarahkan ke sinar candler.
- Kemudian diputar perlahan untuk melihat kemungkinan adanya
kelainan pada isi telur, seperti tinggi kantung hawa, adanya bercaak
darah dan kematian embrio yang menunjukkan warna hitam.

B) Pengukuran Tinggi Kantung Hawa (SNI 3926:2008, Telur Konsumsi )


Prinsip: Semakin tinggi kantung hawa maka umur telur semakin tua.
Alat dan bahan: candler, pengukur kantung hawa, dan telur ayam layer.
Prosedur Kerja:
- Sampel telur diletakkan di depan candler sehingga terkena sinar
- Diukur tinggi dan diameter kantung hawa menggunakan alat pengukur.

C) Perendaman dalam Air Garam (Padaga et al., 2012)


Prinsip: Telur yang baru mempunyai kantung hawa yang relatif kecil
sehingga apabila dimasukkan dalam larutan air garam 10% atau air biasa, telur
akan tenggelam.
Alat dan bahan: beker glass, timbangan, garam, air, dan telur ayam layer.
Prosedur Kerja:
- Larutan air garam 10% dibuat dengan cara mencampur 10 g garam
yang ditambahkan ke dalam beker glass.
- Selanjutnya telur dimasukkan ke dalam larutan air garam tersebut.
3.4.3 Pemeriksaan Kualitas Telur Setelah dibuka

A) Pemeriksaan Putih dan Kuning Telur (SNI 3926 : 2008, Telur Konsumsi)
Prinsip: mengamati kebersihan, konsistensi putih telur dan bentuk, posisi,
kebersihan kuning telur dengan pannca indera.
Alat dan bahan: cawan petri besar, alkohol 70%, dan telur ayam layer.
Prosedur Kerja:
- Bagian lancip kerabang telur dibersihkan dan didesinfeki dengan
menggunakan kapas yang telah dibasahi dengan alkohol.
- Kemudian telur dibuka pada bagian ujung lancip da nisi telur
dituangkan secara perlahan ke dalam cawan petri steril.
- Kemudian dilakukan pengamatan kebersihan dan konsistensi putih,
serta bentuk, posisi, dan kebersihan kuning telur.

B) Indeks Kuning Telur (Yolk Index) ( Padagaet al., 2012)


Prinsip: pengukuran indeks kuning telur yaitu semakin tua umur telur, maka
ukuran kuning telur akan semakin besar dan indeks kuning telur semakin
kecil.
Alat dan bahan: cawan petri besar, jangka sorong dan telur ayam layer.
Prosedur Kerja:
- Telur yang telah dipecahkan di atas cawan petri diamati bagian kuning
telurnya.
- Kemudian dilakukan pengukuran pada tinggi dan diameter dari kuning
telur dengan menggunakan jangka sorong.
- Untuk mengetahui indeks kuning telur, hasil pengukuran dengan
jangka sorong kemudian dihitung dengan menggunakan rumus:
a
Yolk Indeks =
b
Keterangan:
a : tinggi kuning telur (mm)
b : diameter kuning telur (mm)

C) Indeks Albumin (Albumin Index) (Padaga et al., 2012)


Prinsip: Semakin tua telur, maka diameter putih telur akan semakin lebar dan
indeks albumin semakin kecil.
Alat dan bahan: cawan petri besar, jangka sorong dan telur ayam layer.
Prosedur Kerja:
- Telur yang telah dipecah di atas cawan petri diamati bagian albumin
telurnya.
- Tinggi dan diameter dari thick albumin diukur menggunakan jangka
sorong. Untuk mengetahui indeks albumin, hasil pengukuran
kemudian dihitung menggunakan rumus:
𝑎 (b1+b2)
Albumin Indeks = b =
𝑏 2
Keterangan:
a : tinggi thick albumin (mm)
b : diameter rata-rata dari thick albumin (mm)

D) Pemeriksaan Haugh Unit (Padaga et al., 2012)


Prinsip: melihat kesegaran telur berdasarkan pada pengukuran thick
almbumin dan berat telur, kental dan berat telur. Semakin tinggi nilai HU
maka kualitas telur semakin baik.
Alat dan bahan: timbangan, cawan petri, jangka sorong dan telur ayam layer.
Prosedur Kerja:
- Berat telur ditimbang dengan menggunakan timbangan khusus.
- Setelah itu telur dipecah di atas cawan petri.
- Tebal atau tinggi albumin diukur dengan menggunakan jangka sorong,
pengukuran dilakukan pada bagian batas antara albumin dengan
kuning telur.
- Untuk mengetahui haugh unit, hasil pengukuran dengan jangka
sorong dihitung dengan menggunakan rumus:
HU = 100 log (H + 7,57 – 1,7 W 0,37)
Keterangan :
HU : Haugh Unit
H : Tinggi albumin (mm)
W : Berat telur (g)

3.4.4 Pemeriksaan pH (Padaga et al., 2012)


A) Dengan pH meter (pH digital)

Prinsip: pengukuran pH dengan pH meter, yaiitu pengukuran nilai pH dengan


menggunakan pH meter berdasarkan besarnya potensial ditentukan oleh
konsentrasi ion hidogen pada sampel yang diukur.
Alat dan bahan: sampel telur ayam layer, larutan pH standar, pH meter,
kertas tisu, beker glass.
Prosedur Kerja:
- Alat pH meter dikalibrasi menggunakan larutan standar ber pH 4,0,
lalu dikalibrasi dengan larutan standar ber pH 7,0.
- Sampel telur ayam layer sebanyak 10 ml diletakkan di atas beker glass,
kemudian diuji menggunakan pH meter, pH diukur dengan
mencelupkan elektroda pH dan dibiarkan sampai terbaca konstan.
- Dilakukan pengukuran pH dua kali pada tempat yang berbeda.Nilai pH
diperoleh dari rata-rata kedua hasil pengukuran.
Interpretasi Hasil:
 angka < 7,00 : bersifat asam
 angka > 7,00 : bersifat basa
B) Dengan pH Strip
Prinsip: kerja pengukuran pH dengan pH strip, yaitu pH strip akan berubah
warna sesuai dengan tingkat keasaman dan dibandingkan dengan warna
standar indikator.
Alat dan bahan: sampel telur ayam layer, kertas tisu, cawan petri, kertas
indikator universal.
Prosedur Kerja:
- Sampel telur ayam layer sebanyak 10 ml diletakkan di atas beker glass.
- Kertas pH strip kemudian dicelupkan ke dalam sampel telur ayam
layer.
- Selanjutnya dibandingkn dengan deret standar warna indikator untuk
mengetahui pH sampel.
Interpretasi hasil:
 Perubahan warna < 7 : bersifat asam
 Perubahan warna > 7 : bersifat basa

3.4.5 Pemeriksaan Mikrobiologi Telur (SNI 2897:2008, Metoda Pengujian


Cemaran Mikroba dalam Daging, Telur, dan Susu, serta Hasil Olahannya)
A) Perhitungan Total Plate Count (TPC)
Prinsip: sel mikroba yang masih hidup ditumbuhkan pada media agar, maka
mikroba tersebut akan berkembang biak dan membentuk koloni yang dapat
dilihat langsung, dan kemudian dihitung tanpa menggunakan mikroskop.
Alat dan bahan: cawan petri, tabung reaksi, pipet volumetric, jarum
inokulasi, stomacher, bunsen, vortex mixer, inkubator, Plate Count Agar
(PCA), Buffer Pepton Water (BPW) 0,1 %, Violet Red Bile Agar (VRB agar),
alkohol 70% serta sampel telur ayam layer.
Prosedur Kerja:
- Dilakukan pengenceran sampel 10-1 (1:10) yaitu 1 mL telur yang
dipecah dimasukkan ke tabung reaksi dan ditambahkan 9 mL larutan
BPW 0,1% lalu dihomogenkan.
- Sebanyak 1 mL pengenceran 10-1 diambil dengan menggunakan pipet
steril dan ditambahkan ke dalam 9 mL larutan BPW 0,1% pada tabung
reaksi untuk mendapatkan pengenceran 10-2.
- Pengenceran dilanjutkan sampai dengan pengenceran 10-7 dengan cara
yang sama seperti pada prosedur sebelumnya.
- Sebanyak 1 mL sampel dari hasil pengenceran 10-110-210-3
dimasukkan ke dalam cawan petri yang berbeda.Setiap pengenceran
yang dituang pada cawan petri, dibuat duplo.Kemudian media VRB
cair yang telah didinginkan hingga suhu 45°C dituangkan sebanyak
10-15 mL.
- Kemudian cawan petri digerakkan membentuk angka delapan agar
homogeny dan didiamkan hingga media padat. Setelah agar VRB
memadat, ditambahkan 3-4 ml agar VRB cair (45°C), dibiarkan
memadat kembali. Setelah memadat, diinkubasi dengan posisi terbalik
pada suhu 37°C selama 24 jam.
- Kemudian dihitung jumlah koloni berwarna merah keunguan yang
dikelilingi oleh zona merah.
- Sebanyak 1 mL sampel dari hasil pengenceran 10-510-610-7
dimasukkan ke dalam cawan petri yang berbeda, setiap pengenceran
yang dituangkan pada cawan, dibuat duplo.
- Selanjutnya PCA cair yang telah didinginkan hingga suhu 45°C
dituangkan sebanyak 10-15 mL.
- Cawan petri digerakkan secara melingkar agar homogeny, media
didiamkan hingga padat.
- Kemudian diinkubasi dengan posisi terbalik dalam incubator suhu
37°C selama 24 jam.
- Jumlah koloni dihitung setiap seri pengenceran dengan tally
counter.Dipilih cawan petri yang mempunyai jumlah koloni 25 sampai
250.

B) Uji Salmonella
Prinsip: Pertumbuhan Salmonella pada media selektif dengan pra pengayaan
dan pengayaan yang dilanjutkan dengan uji biokimia dan serologi. Salmonella
Shigella Agar merupakan media spesifik isolasi organisme basil enteric pathogen,
terutama genus Salmonella sp.. Bakteri yang tidak dapat memfermentasi laktosa
seperti Proteus sp dan Shigella sp.muncul sebagai koloni yang tidak berwarna.
Produksi H2S oleh Salmonella sp. mengubah pusat koloni menjadi berwarna
hitam.
Alat dan bahan: cawan petri, jarum inokulasi, Bunsen, sampel telur ayam
layer yang diencerkan dalam BPW, sampel telur ayam layer dan mediaSalmonella
Shigella Agar (SSA).
Prosedur Kerja:
- Sampel telur ayam layer yang sudah diencerkan dalam larutan BPW
(pengenceran 10-1) di streak denga ose pada media SSA.
- Lakukan metode yang sama dengan menggunakan sampel langsung dari
telur ayam layer.
- Cawan petri diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam.Setelah diinkubasi,
diamati kemungkinan adanya koloni bakteri yang tumbuh pada media
SSA.
Morfologi koloni Salmonella:

- Koloni Salmonella tidak berwarna hingga berwarna kuning dengan bagian


tengah ada atau tanpa bagian hitam.

C) Uji E.coli
Prinsip: media Eosin methylene Blue Agar (EMBA) menggunakan eosin dan
methylene blue sebagai idikator yang akan memberikan perbedaan yang nyata
antara koloni yang dapat memfermentasikan laktosa dan yang tidak. Mikroba
yang memfermentasikan laktosa menghasilkan koloni dengan inti berwarna
gelap dengan kilap logam, sedankan mikroba lain yang dapat tumbuh
koloninya tidak berwarna.
Alat dan bahan: Cawan petri, media Eosin Methylen Blue Agar (EMBA),
sampel. Prosedur kerja:
- Sampel telur ayam yang sudah diencerkan dalam larutan BPW
(pengenceran 10-1) di streak dengan ose pada media EMBA.
- Lakukan metode yang sama dengan menggunakan sampel langsung dari
telur ayam layer.
- Cawan petri diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam.Setelah inkubasi
pada media EMBA.
Morfologi koloni E. coli:
 Koloni E. coli berwarna hijau metalik.
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengujian


Identitas sampel telur dalam pengujian ini adalah sebagai berikut:
Sampel : Telur ayam ras (Lampiran 1)
Kemasan : Tidak ada kemasan (Curah)
Tanggal pembelian : 15 Mei 2019
Tempat pembelian : Supermarket G
Hasil dari pengujian sampel tersebut dapat dilihat pada tabel 4.1.
Tabel 4.1 Hasil uji kualitas sampel telur ayam ras
Jenis Pengujian Standar Interpretasi Hasil Hasil Uji

1. Organoleptik Telur
- Bentuk Normal Normal

- Ketebalan Tebal Sedang

- Kehalusan Halus Halus


SNI 3926 :2008

- Kebersihan Bersih Sedikit Kotor

- Berat < 50 g (kecil) 69 gram (ukuran besar)


50-60 g (sedang)
>50 g (besar)

- Keutuhan Utuh Utuh

2. Pemeriksaan Kesegaran Telur


Mutu I : tetap di Mutu II
tempat
Mutu II : bebas
begerak
- Kebebasan
SNI 3926 :2008

Mutu III : bebas


bergerak (dengan bergerak dan
cara candling) dapat terbentuk
gelembung udara

- Pengukuran Mutu I : < 0,5 cm Mutu I (0,245 cm)


tinggi kantung Mutu II : 0,5-0,9
udara cm
Mutu III : > 0,9
cm

- Perendaman air Tenggelam Tenggelam


garam
3. Pemeriksaan Kualitas Telur setelah dibuka
Bebas bercak Pipih, agak kepinggir,
- Pemeriksaan darah dan meat jelas ada sedikit bercak
Kuning telur spot, berbentuk darah (Mutu III)
konveks, bulat

Kental, tebal, konsistensi sedikit


- Pemeriksaan konveks, bebas encer (Mutu II)
Putih Telur dari bercak darah
dan meat spot

- Indeks Kuning Mutu I ( 0,458- 0,32 (Mutu III)


telur SNI 3926 : 0,521)
2008
Mutu II (0,394-
0,457)
Mutu III (0,330-
0,393)

Mutu I ( 0,134- 0,0765 (Mutu III)


0,175)
Mutu II (0,092 –
- Indeks Albumin 0,133)
Mutu III (0,050-
0,091)
AA : ≥ 72 64,40 (Grade A)
- Pemeriksaan A : 60 – 71
Haugh Unit
B : < 60

9 pH Albumin : 7
- pH pH Yolk : 7

4. Cemaran Mikrobiologi
- TPC 1x105 koloni/g 4 x 105 koloni / g

- Koliform SNI 1x102 koloni/g 0,8 x 102 koloni / g


7388:2009
- E.coli 1x101 koloni/g Negatif
- Salmonella Negatif/25g Negatif

SNI Negatif Negatif


5. Residu
Antibiotik 3926 :2008

4.2 Pembahasan
Pemeriksaan fisik luar sampel telur ayam layer menunjukkan hasil
kerabang telur berwarna coklat muda, agak kotor, tidak ada keretakan, telur
berbentuk oval, dengan berat 69 gram. Kualitas kerabang telur termasuk dalam
mutu II. Menurut SNI 3926:2008 tentang telur ayam konsumsi kondisi kerabang
pada telur mutu I memiliki bentuk normal, kehalusan kerabang telur halus,
ketebalan telur tebal, keutuhan telur utuh dan kebersihan bersih. Mutu II
menunjukkan bentuk normal, kehalusan halus, ketebalan sedang, keutuhan utuh
dan kebersihan sedikit noda kotor (stain). Mutu III menunjukkan hasil bentuk
abnormal, kehalusan sedikit kasar, ketebalan tipis, keutuhan utuh, kebersihan
banyak noda dan sedikit kotor.
Pemeriksaan kesegaran telur dilakukan dengan melakukan pengujian
candling kebebasan bergerak, pengukuran tinggi kantung hawa dan perendaman
dengan air garam. Pemeriksaan candling kebebasan bergerak pada sampel telur
menunjukkan hasil mutu II. Menurut SNI 3926:2008, pemeriksaan candling
kebebasan bergerak mutu I terlihat tetap ditempat, mutu II bebas bergerak dan
mutu III bebas bergerak dan dapat terbentuk gelembung udara. candling kantung
hawa terlihat dengan tinggi kantung hawa 0,245 cm menunjukkan hasil mutu I
dan ketika dilakukan perendaman dengan air garam, telur menunjukkan posisi
tenggelam. Menurut SNI 3926:2008, kedalaman kantong udara mutu I
menunjukkan ukuran tinggi < 0,5 cm, mutu II menunjukkan kedalaman 0,5-0,9
cm dan mutu III menunjukkan kedalaman > 0,9 cm. Menurut SNI 3926:2008,
semakin kecil kedalaman kantung hawa telur menunjukkan umur telur masih
baru. Telur yang masih baru belum mengalami proses penguapan air pada telur
melalui pori-pori kerabang yang mengakibatkan kadar air dalam telur tidak
berkurang sehingga kantung hawa tidak membesar.
Hasil pemeriksaan ukuran rongga udara telur dari waktu ke waktu
mengalami peningkatan. Menurut penelitian yang dilakukan Djaelani (2016), data
ukuran rongga udara menunjukkan semakin lama waktu penyimpanan semakin
meningkat. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan Samli et al.,
(2005), yang juga menunjukkan bahwa semakin lama penyimpanan ukuran
rongga udara semakin bertambah besar. Peningkatan ukuran rongga udara
menurut Jazil (2013), disebabkan oleh penyusutan berat telur yang diakibatkan
penguapan air dan pelepasan gas yang terjadi selama penyimpanan. Seiring
bertambahnya umur, telur akan kehilangan cairan dan isinya semakin menyusut
sehingga memperbesar rongga udara.
Hasil pemeriksaan isi telur menunjukkan adanya blood spot pada kuning
telur. Scott et al., (1982), menyatakan bahwa faktor nutrisi utama penyebab
terbentuknya "blood spot" adalah kekurangan vitamin A, yang biasanya sebagai
penyebab terjadinya kejadian pada telur. Kekurangan vitamin K dalam jumlah
sedikit juga mengurangi atau menurunkan kejadian blood spot, sedangkan aras
tepung alfalfa yang tinggi pada ransum ayam petelur meningkatkan insiden
bloodspot. Selanjutnya ditambahkan bahwa pemberian nicarbazin menyebabkan
adanya titik-titik darah pada kuning telur. Bintik pada kuning telur juga
dilaporkan oleh penggunaan kombinasi obat cacing piperazine, phenothiazine dan
dibutytin divalerat pada ayam petelur. Dijelaskan pula secara tersendiri obat-
obatan ini tidak berpengaruh pada kuning telur.
Pemeriksaan konsistensi putih telur menunjukkan kondisi sedikit cair
(Mutu II), sedangkan konsistensi kuning telur menunjukkan bentuk pipih, posisi
agak kepinggir, penampakan batas jelas dan kebersihan ada sedikit bercak darah
(Mutu III). Menurut SNI 3926:2008, kondisi kebersihan dan kekentalan pada
putih dan kuning telur terdiri dari mutu I hingga III. Mutu I menunjukkan kondisi
putih telur kebersihan bebas bercak darah atau benda asing lainnya dan
kekentalannya kental, serta kondisi kuning telur bentuknya bulat, posisi bulat
ditengah, batas tidak jelas, serta kebersihannya bersih. Mutu II menunjukkan putih
telur kebersihannya bebas bercak darah atau benda asing lainnya, tingkat
kekentalannya sedikit encer, serta kuning telur menunjukkan bentuk agak pipih,
posisi sedikit bergeser dari tengah, batas agak jelas dan kebersihannya bersih.
Mutu III pada putih telur tingkat kebersihannya ada sedikit bercak darah, tidak
ada benda asing lainnya, konsistensi encer, kuning belum tercampur dengan putih
telur, sedangkan pada kuning telur terlihat bentuk pipih, posisi agak kepinggir,
penampakan batas jelas dan kebersihannya ada sedikit bercak darah. Pada sampel
telur ayam ras, diperoleh indeks kuning telur (yolk index) 0,32 (Mutu III).
Menurut SNI 3926:2008 indeks kuning telur (yolk index) memiliki nilai, yaitu
Mutu I memiliki nilai 0,458-0,521, Mutu II memiliki nilai 0,394-0,457 dan Mutu
III memiliki nilai 0,330-0,393. Indeks putih telur (albumin index) diperoleh
dengan nilai 0,0765 (Mutu III). Menurut SNI 3926:2008, indeks putih telur, yaitu
Mutu I memiliki nilai 0,134-0,175, Mutu II memiliki nilai 0,092-0,133 dan Mutu
III memiliki nilai 0,050-0,091. Hasil Haugh unit (HU) yang didapatkan pada
pemeriksaan ini adalah 64,40 (grade A). Nilai HU standar dengan nilai AA ( ≥
72), A (60 – 71) dan B (< 60). Nilai HU sangat tergantung pada kesegaran telur,
kesegaran telur dapat dilihat dari tinggi putih telur. Semakin lama umur telur
maka kualitas telur akan semakin menurun (Romanoff dan Romanoff, 1963).
Hasil pemeriksaan pH dengan pH meter digital dan pH indikator strip pada
kuning telur memiliki pH 7 dan putih telur juga menunjukkan pH 7, yang
mengindikasikan jika putih telur bersifat kearah basa. Menurut Jazil (2013), data
pH telur selama penyimpanan menunjukkan semakin lama waktu penyimpanan
semakin meningkat. Pada minggu pertama pH telur berkisar 7, meningkat menjadi
sekitar 8 setelah minggu kedua waktu penyimpanan dan meningkat menjadi 9,5
setelah lebih dua minggu waktu penyimpanan. Akibat dari kenaikan pH putih
telur menjadi semakin encer. Hilangnya CO2 melalui pori kerabang telur
mengakibatkan konsentrasi ion bikarbonat dalam putih telur menurun dan
merusak sistem buffer. Hal tersebut menjadikan pH telur naik dan putih telur
bersifat basa.
Haugh Unit (HU). Adalah suatu ukuran kualitas protein telur berdasarkan
tinggi X putih telur (albumen) dan berat telur (Monira et al. 2003). Test ini telah
diperkenalkan oleh Raymond (1937). Tinggi albumen kemudian dikonversi ke
haugh unit. Tinggi albumen diukur dengan tripod micrometer (mm). Caranya,
Telur ditimbang, kemudian dipecah pada permukaan datar (metode pemecahan);
dan mikrometer digunakan untuk menentukan tinggi albumin (tickalbumen)
segera di sekeliling kuning telur. Tinggi dikorelasikan dengan berat untuk
menentukan rating haugh unit. Semakin tinggi nilainya semakin baik kualitas
telur. Umumnya sebagian besar telur yang ada di peternakan nilai HU berada pada
kisaran 75-85 (Coutts andWilson, 1990).

Haugh Unit =100 log (H+7,57 -1,7 W 0,37)


Keterangan:
HU: Haugh Unit
H : tinggi albumen (mm) yang diukur
W:berat telur (g)
Penentuan kualitas telur berdasarkan HU dapat dilihat pada Tabel 4.2
Tabel 4.2 Penentuan kualitas telur berdasarkan HU
Grade HU menurut USDA HU menurut Stadelman
dan Cotterill (1973)
AA > 72 79
A 60-72 55-78
B 31-60 31-45
C <31 <31

Indeks Kuning Telur didefinisikan sebagai rasio tinggi dan lebar dari
kuning telur, diukur pada posisi normalnya jika telur dipecah pada permukaan
datar. Tinggi kuning telur diukur dengan tripod screw micrometer dan lebar
dengan kaliper yang diambil pada dua posisi menyilang (Wells, 1968). Funk
(1948) menemukan bahwa Indeks kuning telur pada posisi alaminya harus
dikoreksi dikurangi l0% dibandingkan dengan perhitungan setelah kuning telur
dipisahkan dengan putih telurnya.

Indeks kuning telur = H/0,5 x (d1+d2)

Keterangan :
H : Tinggi kuning telur (mm)
d1, d2 : Diameter kuning telur (mm) diukur dari dua arah
Indeks Putih Telur merupakan perbandingan antara tinggi albumen kental
dengan rata-rata diameter panjang dan pendek putih telur kental (Arief,2011).
Indeks putih telur = H/0,5x(D1+D2)

Keterangan :
H -tinggi putih telur kental (mm)
Dl: diameter terpanjang putih telur (mm)
D2:diameter terpendek putih telur (rnm)

Pemeriksaan cemaran bakteri dilakukan dengan menggunakan TPC, Uji


Koliform, Uji Salmonella dan Uji E. Coli. Uji Total Plate Count (TPC) dilakukan
pada media Plate Count Agar (PCA) dengan metode agar tuang. Uji TPC
dilakukan untuk membandingkan cemaran bakteri yang mengontaminasi telur
dengan ambang Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM) yang telah
ditetapkan oleh SNI. Berdasarkan SNI 3926:2008 batas maksimum cemaran
bakteri adalah sebesar 1 x 105 cfu/gr, sehingga daging yang telah terkontaminasi
melebihi ambang batas tersebut artinya sudah tidak memenuhi kriteria ASUH.
Pemeriksaan yang telah dilakukan mendapatkan hasil nilai cemaran mikroba pada
uji TPC mendapatkan hasil 4 x 105, sehingga cemaran mikroba berada diatas
ambang batas.

Uji koliform dilakukan dengan media Violet Red Bile Agar (VRB). Hasil
yang didapatkan pada pengujian koliform dengan media VRB menunjukkan hasil
0,8 x 102 cfu/g, jumlah koloni dibawah standar berdasarkan SNI 2897:2008, yaitu
Maks. 1x102 cfu/g. Jumlah bakteri pada sampel dapat disebabkan karena beberapa
faktor, antara lain lama penyimpanan daging, hygiene sanitasi saat pemotongan,
pedagang, dan penyimpanan yang kurang tepat. Pemeriksaan cemaran mikroba
menggunakan uji Salmonella pada media Salmonella Shigella Agar (SSA) dengan
menginokulasikan pengenceran BPW 10-1 mendapatkan hasil negatif dan uji E.
Coli menggunakan media Eosin Metylene Blue Agar (EMBA) mendapatkan hasil
negatif. Morfologi Salmonella sp: koloni berwarna coklat, abu – abu hingga hitam
dan terkadang kilap logam. Apabila masa inkubasi bertambah maka warna media
sekitar koloni mula-mula coklat kemudian menjadi hitam. Morfologi E. Coli
memiliki koloni berwarna hijau metalik.
Mikroorganisme yang dapat mencemari telur diantaranya adalah
Salmonella sp, Stapylococcus aureus, dan Eschericia coli, yang dalam keadaan
tertentu dan dalam jumlah yang melebihi batas, mikroorganisme yang terdapat
dalam telur tersebut dapat menyebabkan keracunan bagi yang mengkonsumsinya
(Chusniati, 2009). Pencemaran pada telur dapat disebabkan oleh unggas yang
sakit, alas kandang, feses, penyimpanan, sanitasi dan higine. Mikroba dapat
masuk ke dalam telur melalui pori – pori pada kulit telur. Jumlah Mikroba pada
telur semakin meningkat sejalan dengan lamanya penyimpanan (Nurjanna, 2015).

Infeksi pada telur dapat terjadi melalui tiga rute yang berbeda yaitu
transovari, transoviduk, dan melalui kerabang telur. Kejadian infeksi transovari
terjadi saat telur masih melekat pada ovarium, infeksi transoviduk terjadi melalui
membran vitelin atau albumin saat telur yang sedang dipersiapkan bergerak
melalui oviduk. Kerabang telur mendapatkan cemaran mikrob pertama kali saat
bergerak keluar melalui kloaka. Cemaran pada telur kemudian akan bertambah
dari lingkungan terutama akibat kontak dengan bidang permukaan yang memiliki
cemaran mikrob. Terdapat variasi jumlah cemaran mikrob yang terdapat pada
permukaan kerabang telur mulai dari hanya sejumlah ratusan hingga jutaan
mikrob pada setiap kerabang telur (Pui, 2011).

Adanya mikroba di dalam makanan menunjukkan kemungkinan adanya


mikroorganisme yang bersifat enteropatogenik atau toksigenik yang berbahaya
bagi kesehatan. Kebiasaan masyarakat yang mengkonsumsi telur ayam secara
mentah tanpa mengetahui daya simpan telur yang berpengaruh terhadap
mikroorganisme di dalamnya yang dapat membahayakan kesehatan dikarenakan
kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai keamanan pangan. Gangguan yang
ditimbulkan pada manusia adalah mual, nyeri perut, muntah, diare, diare berdarah,
demam tinggi bahkan pada beberapa kasus bisa kejang dan kekurangan cairan
atau dehidrasi. Telur-telur yang dikonsumsi dimasyarakat berasal dari perternakan
ayam lalu didistribusikan ke masyarakat melalui pasar-pasar dan juga swalayan-
swalayan. Hal ini akan memberikan jangka waktu yang cukup untuk
mikroorganisme yang merugikan masuk ke dalam telur (Sakti, 2012).
Mikroorganisme yang dapat mencemari telur diantaranya adalah Echerichia coli,
Clostridium sp, Salmonella sp, Camphylobacter sp, Listeria sp, Staphylococcus
aureus, Psudomonas, Alcaligenes, Proteus, Achromobacter, Flavobacterium, dan
Bacillus. Dalam keadaan tertentu dan dalam jumlah yang melebihi batas,
mikroorganisme yang terdapat pada telur tersebut dapat membahayakan kesehatan
bagi yang mengkonsumsinya (Chusniati, 2009).

Pemeriksaan residu antibiotik menghasilkan hasil negatif. Uji deteksi


residu antibiotik sangat diperlukan untuk dilakukan pengujian untuk menjamin
telur yang dikonsumsi ASUH. Penggunaan antibiotik pada industri peternakan
umumnya bertujuan untuk pengobatan ternak sehingga mengurangi resiko
kematian dan mengembalikan kondisi ternak menjadi sehat. Pada industri
peternakan, pemberian antibiotika juga digunakan sebagai imbuhan pakan (feed
additive) untuk memacu pertumbuhan (growth promotor), meningkatkan
produksi, dan meningkatkan efisiensi penggunaan pakan (Bahri et al., 2005).
Namun penggunaan obat-obatan, antibiotika, feed additive ataupun hormon
pemacu pertumbuhan hewan yang tidak sesuai anjuran dan tidak sesuai dengan
dosis yang ditetapkan dapat menyebabkan residu pada produk ternak yang
dihasilkan (Bahri et al. 2005). Konsumsi pangan asal hewan yang mengandung
residu antibiotika memeiliki banyak dampak negatif bagi kesehatan yaitu reaksi
alergi, toksisitas, mempengaruhi flora usus, respon immun, dan resistensi terhadap
mikroorganisme. Selain berbahaya bagi kesehatan, residu antibiotik juga dapat
pengaruh terhadap lingkungan dan ekonomi (Anthony, 1997).

Pelarangan penggunaan antibiotik sebagai growth promotor sudah


dilaksanakan di Indonesia, akan tetapi pelarangan ini sudah berlaku di luar negeri
sejak tahun 2006. Menurut Maron et al., (2013), selama tahun 1990an, pelarangan
penggunaan antibiotik sebagai promotor pertumbuhan di Uni Eropa mulai
diterapkan (larangan tersebut mulai berlaku tahun 2006) karena dikhawatirkan
adanya residu pada produk-produk ternak seperti daging, telur serta susu. U.S
Agriculture Department melakukan pemeriksaan terhadap daging, unggas, dan
produk olahan telur, jarang ditemukan residu pada level yang aman. Pusat
pengendalian dan pencegahan penyakit di Amerika melaporkan bahwa bakteri
resisten semakin meningkat dan mengkhawatirkan karena pemberian antibiotik
dengan dosis yang rendah dalam jangka waktu yang lama. Karena hal tersebut,
akhirnya FDA juga mulai membatasi penggunaan antibiotik sebagai promotor
pertumbuhan (Friden, 2013).
BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Hasil pengujian kualitas telur ayam ras diperoleh bahwa sampel
telur ayam ras memiliki hasil pengujuan telur tenggelam, serta indeks yolk
dan albumin bermutu III, selain itu angka cemaran pada uji TPC berada
diatas normal. Hal ini mungkin dapat disebabkan lamanya penyimpanan di
dalam toko atau distributor maupun penerapan sanitasi peternakan yang
kurang baik.

5.2 Saran
Perlu adanya pembahasan lebih lanjut tentang kualitas telur ayam
ras berdasarkan mutu internasional sebagai upaya meningkatkan kualitas
produk dalam negeri yang bermutu tinggi.
DAFTAR PUSTAKA

Anthony T. 1997. Food Poisoning. Departement of Biochemistry Colorado Estate


University. New York.

Bahri S, Masbulan E, Kusumaningsih A. 2005. Proses Praproduksi sebagai Faktor


Penting dalam Menghasilkan Produk Ternak yang Aman untuk
Manusia. Jurnal Litbang Pertanian 24 (1).

Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleedrds, dan M. Wooton. 2007. Ilmu


Pangan. UI Press. Jakarta.

Djaelani, MA. 2016. Ukuran rongga udara, pH telur dan diameter putih telur,
ayam ras (Gallus L.) setelah pencelupan dalam larutan rumput laut dan
disimpanan beberapa waktu. Buletin Anatomi dan Fisiologi. Volume 1:
Nomor 1.

Friden, T. 2013. Antibiotic Resistence Threats in the United States 2013. U.S.
Centers for Disease Control and Prevention.

Haryato. 1996. Pengawetan Telur Segar. Kanisius. Yogyakarta.

Jazil, N., Hintono, A., Mulyani, S. 2013. Penurunan Kualitas Telur Ayam Ras
dengan Intensitas Warna coklat kerabang berbeda selama penyimpanan.
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan. Vol. 2 No. 1

Chusniati, S., R.N. Budiono, dan R. Kurnijasanti. 2009. Deteksi Salmonella sp


pada telur ayam buras yang dijual sebagai campuran jamu di kecamatan
sidoarjo. Journal of Poultry Diseases. 2(1):20-23.

Lestari, P, I. 2009. Kajian Supply Chain Management: Analisis Relationship


Marketing antara Peternakan Pamulihan Farm dengan Pemasok dan
Pelanggannya. Institut Pertanian Bogor.Bogor

[Kepmentan] Keputusan Menteri Pertanian. 2001. Pedoman Budidaya Ternak


Ayam Petelur yang Baik (Good Farming Practices), Jakarta.
Maron, DF, Smith, TJ, Nachman, KE. 2013. Restrictions on antimicrobial use in
food animal production: an international regulatory and economic
survey. Global Health. 9:48.
Masdiana, P., Herawati., C. Sari., A. Setianingrum., T. Widyaputri. 2014.
Penuntun Praktikum Higiene Makanan. Program Kedokteran Hewan
Universitas Brawijaya. Malang.
Muchtadi, T. R, dan Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut
Pertanian Bogor. Bogor.

Nurjanna, S. 2015. Kontaminasi bakteri telur ayam ras yang di pelihara dengan
sistem pemeliharaan intensif dan free range dengan waktu pemberian
naungan alami berbeda. Skripsi. Fakultas Perternakan, Universitas
Hasanuddin, Makassar.

Nuryati, T. Sutarto, dan M. Khamim. 2000. Sukses Menetaskan Telur. Penebar


Swadaya. Jakarta.

Pui, C.F., Wong W, Chai L.C, Tunung R, Jeyaletchumi P, Noor H.M.S, Ubong,
A, Farinazleen M.G, Cheah Y.K, Son R. 2011. Salmonella: A
foodborne pathogen. Int Food Res J. 18:465-473.

Romanoff, AL and Romanoff, AJ. 1963. The Avian Egg. Second Printing. John
Wiley and Sons, Inc. New York.

Sakti, M.R., Mas D.R, dan I Gusti K.S. 2012. Pengaruh suhu dan lama
penyimpanan telur ayam lokal terhadap jumlah Coliform. Indonesia
Medicus Veterinus.1(3):394-407.

Samli, H. E., A. Agma and N. Senkoylu.2005 Effects of Storage Time and


Temperature on Egg Quality in Old Laying Hens J. Appl.Poult Res.
14:548–553

Sarwono, J. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif & Kualitatif. Penerbit Graha


Ilmu. Yogyakarta.
Sarwono, B. 2001. Pengawetan dan Pemanfaatan Telur. Penebar Swadaya.
Jakarta.

Scott, M.L., M.C. Nesheim, and R.S. Young. 1982. Nutrition of the Chicken.
3rdEd. Published by M.L. Scott & Associates, Itacha, New York.

Stadelman. W.J. andO. J. Cotteril. 1973. Egg Science and Technology. the AVI
Publ., Co., Inc. West Port

Standar Nasional Indonesia (SNI). 2008. SNI 3926-2008. Telur ayam konsumsi.
Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.

Suprijatna. 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Penebar Swadaya. Jakarta.

Suprapti, L. 2002. Pengawetan Telur. Penerbit Kanisius. Teknologi Pangan dan


Gizi IPB. Bogor.

Standar Nasional Indonesia nomor 01-3926-2006. Telur Ayam Konsumsi. Badan


Standar Nasional. Jakarta.

Umar, H. 2009. Metode Penelitianu Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. Rajawali
Pers. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai