Oleh:
COVER ................................................................................................................ i
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii
DAFTAR TABEL ............................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1 Latar belakang ........................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 2
1.3 Tujuan........................................................................................................ 2
1.4 Manfaat ...................................................................................................... 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 3
2.1 Telur Ayam Ras......................................................................................... 3
2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas Telur Ayam Ras ................... 7
BAB 3 METODOLOGI ...................................................................................... 9
3.1 Waktu dan Tempat PPDH .......................................................................... 9
3.2 Peserta PPDH ............................................................................................. 9
3.3 Metode Kegiatan ........................................................................................ 9
3.4 Metode Prosedur Pengujian Telur Ayam Ras ............................................ 9
3.4.1 Pemeriksaan Kualitas Telur S .......................................................... 9
3.4.5 Pemeriksaan ecara Fisik ................................................................... 10
3.4.2 Pemeriksaan Kesegaran telur ........................................................... 11
3.4.3 Pemeriksaan Kualitas Telur Setelah dibuka ..................................... 13
3.4.4Pemeriksaan pH ................................................................................. 13
3.4.5Pemeriksaan Mikrobiologi Telur ...................................................... 14
BAB 4 PEMBAHASAN ....................................................................................... 18
4.1 Hasil Pengujian........................................................................................... 18
4.2 Pembahasan ................................................................................................ 20
BAB 5 PENUTUP ................................................................................................ 28
5.1 Kesimpulan ................................................................................................. 28
5.2 Saran ........................................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 27
DAFTAR TABEL
Standar mutu telur ayam ras perlu diterapkan dalam pemasaran telur
terutama untuk memudahkan konsumen dalam menentukan pilihan sehingga
dapat memberikan kepuasan dan kepastian mutu untuk konsumen. Berdasarkan
SNI 01-3926-2006 telur ayam konsumsi segar adalah telur ayam yang tidak
mengalami proses pendinginan dan tidak mengalami penanganan pengawetan
serta tidak menunjukkan tanda-tanda pertumbuhan embrio yang jelas, kuning telur
belum tercampur dengan putih telur utuh dan bersih. Mutu akhir telur ditentukan
oleh: 1) kulit telur yaitu keutuhan, bentuk, kelicinan dan kebersihan, 2) kantong
udara yaitu kedalaman rongga udara dan kebebasan bergerak, 3) keadaan putih
telur yaitu kekentalan dan kebersihan, 4) keadaan kuning telur yaitu bentuk posisi,
penampakan batas dan kebersihan dan 5) bau telur yang khas (SNI 01-3926-
2006).
1.4 Manfaat
1. Memberikan infromasi mengenai kualitas mutu dan kelayakan telur ayam
ras yang beredar di pasaran untuk dikonsumsi oleh masyarakat.
2. Menciptakan bahan pangan asal hewan yang Halal, Aman, Utuh dan Sehat
untuk masyarakat, yang disesuaikan dengan SNI, 3926-2008 tentang telur
konsumsi.
3. Mahasiswa PPDH mampu melakukan pemeriksaan terhadap produk
pangan asal hewan dan menentukan kelayakan produk berdasarkan
peraturan yang berlaku sehingga produk aman dikonsumsi.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
Tabel 2.3 Persyaratan mutu batas maksimum cemaran mikroba pada telur (SNI
01-6366- 2000).
Faktor kualitas telur menurut Umar dkk. (2000), dibagi menjadi dua, yaitu
faktor kualitas eksterior yang meliputi warna, bentuk, tekstur, keutuhan,
kebersihan kerabang. Faktor interior meliputi keadaan putih telur yaitu
kekentalannya, bentuk kuning telur yaitu tidak ada noda pada putih maupun
kuning telur. Kualitas interior telur dapat dilihat dengan candling (peneropongan).
Dengan peneropongan akan diketahui kondisi kulit telur, ukuran rongga udara dan
pergeseran kuning telur. Telur segar yang disimpan pada suhu kamar hanya akan
bertahan 10-14 hari, setelah waktu tersebut telur mengalami kerusakan. Semakin
lama telur disimpan maka putih telur akan semakin encer. Hal ini terjadi karena
penguapan CO2 dari putih telur yang mengakibatkan perubahan pH putih telur
dari asam menjadi basa. Pengenceran putih telur karena serat glikoprotein
ovomucin pecah, suasana ini mengakibatkan melemahnya ikatan ovomucin
(Romanoff dan Romanoff, 1963).
BAB 3 METODOLOGI
A) Pemeriksaan Putih dan Kuning Telur (SNI 3926 : 2008, Telur Konsumsi)
Prinsip: mengamati kebersihan, konsistensi putih telur dan bentuk, posisi,
kebersihan kuning telur dengan pannca indera.
Alat dan bahan: cawan petri besar, alkohol 70%, dan telur ayam layer.
Prosedur Kerja:
- Bagian lancip kerabang telur dibersihkan dan didesinfeki dengan
menggunakan kapas yang telah dibasahi dengan alkohol.
- Kemudian telur dibuka pada bagian ujung lancip da nisi telur
dituangkan secara perlahan ke dalam cawan petri steril.
- Kemudian dilakukan pengamatan kebersihan dan konsistensi putih,
serta bentuk, posisi, dan kebersihan kuning telur.
B) Uji Salmonella
Prinsip: Pertumbuhan Salmonella pada media selektif dengan pra pengayaan
dan pengayaan yang dilanjutkan dengan uji biokimia dan serologi. Salmonella
Shigella Agar merupakan media spesifik isolasi organisme basil enteric pathogen,
terutama genus Salmonella sp.. Bakteri yang tidak dapat memfermentasi laktosa
seperti Proteus sp dan Shigella sp.muncul sebagai koloni yang tidak berwarna.
Produksi H2S oleh Salmonella sp. mengubah pusat koloni menjadi berwarna
hitam.
Alat dan bahan: cawan petri, jarum inokulasi, Bunsen, sampel telur ayam
layer yang diencerkan dalam BPW, sampel telur ayam layer dan mediaSalmonella
Shigella Agar (SSA).
Prosedur Kerja:
- Sampel telur ayam layer yang sudah diencerkan dalam larutan BPW
(pengenceran 10-1) di streak denga ose pada media SSA.
- Lakukan metode yang sama dengan menggunakan sampel langsung dari
telur ayam layer.
- Cawan petri diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam.Setelah diinkubasi,
diamati kemungkinan adanya koloni bakteri yang tumbuh pada media
SSA.
Morfologi koloni Salmonella:
C) Uji E.coli
Prinsip: media Eosin methylene Blue Agar (EMBA) menggunakan eosin dan
methylene blue sebagai idikator yang akan memberikan perbedaan yang nyata
antara koloni yang dapat memfermentasikan laktosa dan yang tidak. Mikroba
yang memfermentasikan laktosa menghasilkan koloni dengan inti berwarna
gelap dengan kilap logam, sedankan mikroba lain yang dapat tumbuh
koloninya tidak berwarna.
Alat dan bahan: Cawan petri, media Eosin Methylen Blue Agar (EMBA),
sampel. Prosedur kerja:
- Sampel telur ayam yang sudah diencerkan dalam larutan BPW
(pengenceran 10-1) di streak dengan ose pada media EMBA.
- Lakukan metode yang sama dengan menggunakan sampel langsung dari
telur ayam layer.
- Cawan petri diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam.Setelah inkubasi
pada media EMBA.
Morfologi koloni E. coli:
Koloni E. coli berwarna hijau metalik.
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Organoleptik Telur
- Bentuk Normal Normal
9 pH Albumin : 7
- pH pH Yolk : 7
4. Cemaran Mikrobiologi
- TPC 1x105 koloni/g 4 x 105 koloni / g
4.2 Pembahasan
Pemeriksaan fisik luar sampel telur ayam layer menunjukkan hasil
kerabang telur berwarna coklat muda, agak kotor, tidak ada keretakan, telur
berbentuk oval, dengan berat 69 gram. Kualitas kerabang telur termasuk dalam
mutu II. Menurut SNI 3926:2008 tentang telur ayam konsumsi kondisi kerabang
pada telur mutu I memiliki bentuk normal, kehalusan kerabang telur halus,
ketebalan telur tebal, keutuhan telur utuh dan kebersihan bersih. Mutu II
menunjukkan bentuk normal, kehalusan halus, ketebalan sedang, keutuhan utuh
dan kebersihan sedikit noda kotor (stain). Mutu III menunjukkan hasil bentuk
abnormal, kehalusan sedikit kasar, ketebalan tipis, keutuhan utuh, kebersihan
banyak noda dan sedikit kotor.
Pemeriksaan kesegaran telur dilakukan dengan melakukan pengujian
candling kebebasan bergerak, pengukuran tinggi kantung hawa dan perendaman
dengan air garam. Pemeriksaan candling kebebasan bergerak pada sampel telur
menunjukkan hasil mutu II. Menurut SNI 3926:2008, pemeriksaan candling
kebebasan bergerak mutu I terlihat tetap ditempat, mutu II bebas bergerak dan
mutu III bebas bergerak dan dapat terbentuk gelembung udara. candling kantung
hawa terlihat dengan tinggi kantung hawa 0,245 cm menunjukkan hasil mutu I
dan ketika dilakukan perendaman dengan air garam, telur menunjukkan posisi
tenggelam. Menurut SNI 3926:2008, kedalaman kantong udara mutu I
menunjukkan ukuran tinggi < 0,5 cm, mutu II menunjukkan kedalaman 0,5-0,9
cm dan mutu III menunjukkan kedalaman > 0,9 cm. Menurut SNI 3926:2008,
semakin kecil kedalaman kantung hawa telur menunjukkan umur telur masih
baru. Telur yang masih baru belum mengalami proses penguapan air pada telur
melalui pori-pori kerabang yang mengakibatkan kadar air dalam telur tidak
berkurang sehingga kantung hawa tidak membesar.
Hasil pemeriksaan ukuran rongga udara telur dari waktu ke waktu
mengalami peningkatan. Menurut penelitian yang dilakukan Djaelani (2016), data
ukuran rongga udara menunjukkan semakin lama waktu penyimpanan semakin
meningkat. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan Samli et al.,
(2005), yang juga menunjukkan bahwa semakin lama penyimpanan ukuran
rongga udara semakin bertambah besar. Peningkatan ukuran rongga udara
menurut Jazil (2013), disebabkan oleh penyusutan berat telur yang diakibatkan
penguapan air dan pelepasan gas yang terjadi selama penyimpanan. Seiring
bertambahnya umur, telur akan kehilangan cairan dan isinya semakin menyusut
sehingga memperbesar rongga udara.
Hasil pemeriksaan isi telur menunjukkan adanya blood spot pada kuning
telur. Scott et al., (1982), menyatakan bahwa faktor nutrisi utama penyebab
terbentuknya "blood spot" adalah kekurangan vitamin A, yang biasanya sebagai
penyebab terjadinya kejadian pada telur. Kekurangan vitamin K dalam jumlah
sedikit juga mengurangi atau menurunkan kejadian blood spot, sedangkan aras
tepung alfalfa yang tinggi pada ransum ayam petelur meningkatkan insiden
bloodspot. Selanjutnya ditambahkan bahwa pemberian nicarbazin menyebabkan
adanya titik-titik darah pada kuning telur. Bintik pada kuning telur juga
dilaporkan oleh penggunaan kombinasi obat cacing piperazine, phenothiazine dan
dibutytin divalerat pada ayam petelur. Dijelaskan pula secara tersendiri obat-
obatan ini tidak berpengaruh pada kuning telur.
Pemeriksaan konsistensi putih telur menunjukkan kondisi sedikit cair
(Mutu II), sedangkan konsistensi kuning telur menunjukkan bentuk pipih, posisi
agak kepinggir, penampakan batas jelas dan kebersihan ada sedikit bercak darah
(Mutu III). Menurut SNI 3926:2008, kondisi kebersihan dan kekentalan pada
putih dan kuning telur terdiri dari mutu I hingga III. Mutu I menunjukkan kondisi
putih telur kebersihan bebas bercak darah atau benda asing lainnya dan
kekentalannya kental, serta kondisi kuning telur bentuknya bulat, posisi bulat
ditengah, batas tidak jelas, serta kebersihannya bersih. Mutu II menunjukkan putih
telur kebersihannya bebas bercak darah atau benda asing lainnya, tingkat
kekentalannya sedikit encer, serta kuning telur menunjukkan bentuk agak pipih,
posisi sedikit bergeser dari tengah, batas agak jelas dan kebersihannya bersih.
Mutu III pada putih telur tingkat kebersihannya ada sedikit bercak darah, tidak
ada benda asing lainnya, konsistensi encer, kuning belum tercampur dengan putih
telur, sedangkan pada kuning telur terlihat bentuk pipih, posisi agak kepinggir,
penampakan batas jelas dan kebersihannya ada sedikit bercak darah. Pada sampel
telur ayam ras, diperoleh indeks kuning telur (yolk index) 0,32 (Mutu III).
Menurut SNI 3926:2008 indeks kuning telur (yolk index) memiliki nilai, yaitu
Mutu I memiliki nilai 0,458-0,521, Mutu II memiliki nilai 0,394-0,457 dan Mutu
III memiliki nilai 0,330-0,393. Indeks putih telur (albumin index) diperoleh
dengan nilai 0,0765 (Mutu III). Menurut SNI 3926:2008, indeks putih telur, yaitu
Mutu I memiliki nilai 0,134-0,175, Mutu II memiliki nilai 0,092-0,133 dan Mutu
III memiliki nilai 0,050-0,091. Hasil Haugh unit (HU) yang didapatkan pada
pemeriksaan ini adalah 64,40 (grade A). Nilai HU standar dengan nilai AA ( ≥
72), A (60 – 71) dan B (< 60). Nilai HU sangat tergantung pada kesegaran telur,
kesegaran telur dapat dilihat dari tinggi putih telur. Semakin lama umur telur
maka kualitas telur akan semakin menurun (Romanoff dan Romanoff, 1963).
Hasil pemeriksaan pH dengan pH meter digital dan pH indikator strip pada
kuning telur memiliki pH 7 dan putih telur juga menunjukkan pH 7, yang
mengindikasikan jika putih telur bersifat kearah basa. Menurut Jazil (2013), data
pH telur selama penyimpanan menunjukkan semakin lama waktu penyimpanan
semakin meningkat. Pada minggu pertama pH telur berkisar 7, meningkat menjadi
sekitar 8 setelah minggu kedua waktu penyimpanan dan meningkat menjadi 9,5
setelah lebih dua minggu waktu penyimpanan. Akibat dari kenaikan pH putih
telur menjadi semakin encer. Hilangnya CO2 melalui pori kerabang telur
mengakibatkan konsentrasi ion bikarbonat dalam putih telur menurun dan
merusak sistem buffer. Hal tersebut menjadikan pH telur naik dan putih telur
bersifat basa.
Haugh Unit (HU). Adalah suatu ukuran kualitas protein telur berdasarkan
tinggi X putih telur (albumen) dan berat telur (Monira et al. 2003). Test ini telah
diperkenalkan oleh Raymond (1937). Tinggi albumen kemudian dikonversi ke
haugh unit. Tinggi albumen diukur dengan tripod micrometer (mm). Caranya,
Telur ditimbang, kemudian dipecah pada permukaan datar (metode pemecahan);
dan mikrometer digunakan untuk menentukan tinggi albumin (tickalbumen)
segera di sekeliling kuning telur. Tinggi dikorelasikan dengan berat untuk
menentukan rating haugh unit. Semakin tinggi nilainya semakin baik kualitas
telur. Umumnya sebagian besar telur yang ada di peternakan nilai HU berada pada
kisaran 75-85 (Coutts andWilson, 1990).
Indeks Kuning Telur didefinisikan sebagai rasio tinggi dan lebar dari
kuning telur, diukur pada posisi normalnya jika telur dipecah pada permukaan
datar. Tinggi kuning telur diukur dengan tripod screw micrometer dan lebar
dengan kaliper yang diambil pada dua posisi menyilang (Wells, 1968). Funk
(1948) menemukan bahwa Indeks kuning telur pada posisi alaminya harus
dikoreksi dikurangi l0% dibandingkan dengan perhitungan setelah kuning telur
dipisahkan dengan putih telurnya.
Keterangan :
H : Tinggi kuning telur (mm)
d1, d2 : Diameter kuning telur (mm) diukur dari dua arah
Indeks Putih Telur merupakan perbandingan antara tinggi albumen kental
dengan rata-rata diameter panjang dan pendek putih telur kental (Arief,2011).
Indeks putih telur = H/0,5x(D1+D2)
Keterangan :
H -tinggi putih telur kental (mm)
Dl: diameter terpanjang putih telur (mm)
D2:diameter terpendek putih telur (rnm)
Uji koliform dilakukan dengan media Violet Red Bile Agar (VRB). Hasil
yang didapatkan pada pengujian koliform dengan media VRB menunjukkan hasil
0,8 x 102 cfu/g, jumlah koloni dibawah standar berdasarkan SNI 2897:2008, yaitu
Maks. 1x102 cfu/g. Jumlah bakteri pada sampel dapat disebabkan karena beberapa
faktor, antara lain lama penyimpanan daging, hygiene sanitasi saat pemotongan,
pedagang, dan penyimpanan yang kurang tepat. Pemeriksaan cemaran mikroba
menggunakan uji Salmonella pada media Salmonella Shigella Agar (SSA) dengan
menginokulasikan pengenceran BPW 10-1 mendapatkan hasil negatif dan uji E.
Coli menggunakan media Eosin Metylene Blue Agar (EMBA) mendapatkan hasil
negatif. Morfologi Salmonella sp: koloni berwarna coklat, abu – abu hingga hitam
dan terkadang kilap logam. Apabila masa inkubasi bertambah maka warna media
sekitar koloni mula-mula coklat kemudian menjadi hitam. Morfologi E. Coli
memiliki koloni berwarna hijau metalik.
Mikroorganisme yang dapat mencemari telur diantaranya adalah
Salmonella sp, Stapylococcus aureus, dan Eschericia coli, yang dalam keadaan
tertentu dan dalam jumlah yang melebihi batas, mikroorganisme yang terdapat
dalam telur tersebut dapat menyebabkan keracunan bagi yang mengkonsumsinya
(Chusniati, 2009). Pencemaran pada telur dapat disebabkan oleh unggas yang
sakit, alas kandang, feses, penyimpanan, sanitasi dan higine. Mikroba dapat
masuk ke dalam telur melalui pori – pori pada kulit telur. Jumlah Mikroba pada
telur semakin meningkat sejalan dengan lamanya penyimpanan (Nurjanna, 2015).
Infeksi pada telur dapat terjadi melalui tiga rute yang berbeda yaitu
transovari, transoviduk, dan melalui kerabang telur. Kejadian infeksi transovari
terjadi saat telur masih melekat pada ovarium, infeksi transoviduk terjadi melalui
membran vitelin atau albumin saat telur yang sedang dipersiapkan bergerak
melalui oviduk. Kerabang telur mendapatkan cemaran mikrob pertama kali saat
bergerak keluar melalui kloaka. Cemaran pada telur kemudian akan bertambah
dari lingkungan terutama akibat kontak dengan bidang permukaan yang memiliki
cemaran mikrob. Terdapat variasi jumlah cemaran mikrob yang terdapat pada
permukaan kerabang telur mulai dari hanya sejumlah ratusan hingga jutaan
mikrob pada setiap kerabang telur (Pui, 2011).
5.1 Kesimpulan
Hasil pengujian kualitas telur ayam ras diperoleh bahwa sampel
telur ayam ras memiliki hasil pengujuan telur tenggelam, serta indeks yolk
dan albumin bermutu III, selain itu angka cemaran pada uji TPC berada
diatas normal. Hal ini mungkin dapat disebabkan lamanya penyimpanan di
dalam toko atau distributor maupun penerapan sanitasi peternakan yang
kurang baik.
5.2 Saran
Perlu adanya pembahasan lebih lanjut tentang kualitas telur ayam
ras berdasarkan mutu internasional sebagai upaya meningkatkan kualitas
produk dalam negeri yang bermutu tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Djaelani, MA. 2016. Ukuran rongga udara, pH telur dan diameter putih telur,
ayam ras (Gallus L.) setelah pencelupan dalam larutan rumput laut dan
disimpanan beberapa waktu. Buletin Anatomi dan Fisiologi. Volume 1:
Nomor 1.
Friden, T. 2013. Antibiotic Resistence Threats in the United States 2013. U.S.
Centers for Disease Control and Prevention.
Jazil, N., Hintono, A., Mulyani, S. 2013. Penurunan Kualitas Telur Ayam Ras
dengan Intensitas Warna coklat kerabang berbeda selama penyimpanan.
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan. Vol. 2 No. 1
Nurjanna, S. 2015. Kontaminasi bakteri telur ayam ras yang di pelihara dengan
sistem pemeliharaan intensif dan free range dengan waktu pemberian
naungan alami berbeda. Skripsi. Fakultas Perternakan, Universitas
Hasanuddin, Makassar.
Pui, C.F., Wong W, Chai L.C, Tunung R, Jeyaletchumi P, Noor H.M.S, Ubong,
A, Farinazleen M.G, Cheah Y.K, Son R. 2011. Salmonella: A
foodborne pathogen. Int Food Res J. 18:465-473.
Romanoff, AL and Romanoff, AJ. 1963. The Avian Egg. Second Printing. John
Wiley and Sons, Inc. New York.
Sakti, M.R., Mas D.R, dan I Gusti K.S. 2012. Pengaruh suhu dan lama
penyimpanan telur ayam lokal terhadap jumlah Coliform. Indonesia
Medicus Veterinus.1(3):394-407.
Scott, M.L., M.C. Nesheim, and R.S. Young. 1982. Nutrition of the Chicken.
3rdEd. Published by M.L. Scott & Associates, Itacha, New York.
Stadelman. W.J. andO. J. Cotteril. 1973. Egg Science and Technology. the AVI
Publ., Co., Inc. West Port
Standar Nasional Indonesia (SNI). 2008. SNI 3926-2008. Telur ayam konsumsi.
Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
Umar, H. 2009. Metode Penelitianu Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. Rajawali
Pers. Jakarta.