TENTANG
PENANAMAN MODAL
2
12. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4737);
3
Dengan Persetujuan Bersama
dan
MEMUTUSKAN :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden
Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan Negara
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Daerah adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur.
3. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur.
4. Gubernur adalah Gubernur Nusa Tenggara Timur.
5. Penanaman Modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik
oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk
melakukan usaha di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur.
6. Penanam Modal adalah perseorangan atau badan usaha yang melakukan
penanaman modal yang dapat berupa penanaman modal dalam negeri dan
penanaman modal asing.
7. Penanam Modal Dalam Negeri yang selanjutnya disebut PMDN adalah
Perseorangan Warga Negara Indonesia, Badan Usaha Indonesia, Negara
Republik Indonesia, atau Daerah yang melakukan penanaman modal di
wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur.
8. Penanam Modal Asing yang selanjutnya disebut PMA adalah Perseorangan
Warga Negara Asing, Badan Usaha Asing, dan / atau Pemerintah Asing
yang melakukan penanaman modal di wilayah Provinsi Nusa Tenggara
Timur.
9. APIT adalah Angka Pengenal Importir Terbatas.
BAB II
ASAS, MAKSUD DAN TUJUAN
Pasal 2
BAB III
RUANG LINGKUP
Pasal 3
(1) Ruang lingkup Peraturan Daerah ini, berlaku bagi PMDN dan PMA
di semua sektor usaha di Wilayah Nusa Tenggara Timur yang meliputi:
(2) Dikecualikan dari ayat (1), adalah penerbitan izin penanaman modal bagi
PMA.
BAB IV
PERENCANAAN PENANAMAN MODAL
Bagian Kesatu
Target Penanaman Modal
Pasal 4
(2) Target penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur
lebih lanjut oleh Gubernur.
5
Bagian Kedua
Bidang Usaha
Pasal 5
Pasal 6
Bagian Ketiga
Lokasi Usaha
Pasal 7
(2) Dalam hal penetapan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terletak
di atas tanah persekutuan masyarakat hukum adat (tanah suku atau
sejenisnya) harus dilakukan dengan cara musyawarah mufakat dengan
masyarakat hukum adat.
Bagian Keempat
Sistem Informasi
Pasal 8
(2) Sistem informasi penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
sebagai sarana promosi untuk penanaman modal di dalam dan di luar
Daerah.
6
BAB V
PROMOSI PENANAMAN MODAL
Bagian Kesatu
Promosi Dalam Negeri
Pasal 9
Bagian Kedua
Promosi Luar Negeri
Pasal 10
BAB VI
PELAYANAN PENANAMAN MODAL
Bagian Kesatu
Pendaftaran
Pasal 11
Pasal 12
(2) Tanda daftar penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
oleh Penanam Modal digunakan untuk membuat akta pendirian
perusahaan bagi yang belum memiliki.
(3) Tata cara pendaftaran dan pemberian tanda daftar penanam modal diatur
lebih lanjut oleh Gubernur.
7
Bagian Kedua
Persetujuan
Pasal 13
Bagian Ketiga
Perizinan
Pasal 14
(2) Untuk mendapatkan Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penanam
Modal harus mengajukan permohonan tertulis kepada Gubernur.
Bagian Keempat
APIT
Pasal 15
(1) Penanam Modal yang akan mengimpor barang modal bahan baku penolong
wajib mendapatkan APIT dari Gubernur.
(2) Untuk mendapatkan APIT sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penanam
modal harus mengajukan permohonan tertulis kepada Gubernur.
8
(3) Persyaratan dan tata cara mendapatkan APIT sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), diatur lebih lanjut oleh Gubernur.
BAB VII
FASILITAS PENANAMAN MODAL
Bagian Kesatu
Penyediaan Fasilitas
Pasal 16
Bagian Kedua
Kemudahan
Pasal 17
Pasal 18
Bagian Ketiga
Kriteria Pemberian Fasilitas dan Kemudahan
Pasal 19
9
c. menggunakan sebagian besar sumberdaya lokal;
d. memberikan kontribusi bagi peningkatan pelayanan publik;
e. memberikan kontribusi dalam peningkatan Produk Domestik Regional Bruto;
f. berwawasan lingkungan dan berkelanjutan;
g. termasuk skala prioritas tinggi;
h. termasuk pembangunan infrastruktur;
i. melakukan alih teknologi;
j. melakukan industri pionir;
k. berada di daerah terpencil, daerah tertinggal atau daerah perbatasan;
l. melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan dan inovasi;
m. bermitra dengan usaha mikro, kecil, menengah, atau koperasi;
n. industri yang menggunakan barang modal, mesin, atau peralatan yang
diproduksi di dalam negeri.
BAB VIII
HAK, KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB PENANAM MODAL
Pasal 20
Setiap Penanam Modal berhak mendapat :
a. kepastian hak, hukum dan perlindungan;
b. informasi yang terbuka mengenai bidang usaha yang dijalankannya;
c. hak pelayanan; dan
d. berbagai bentuk fasilitas/kemudahan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 21
Pasal 22
Setiap Penanam Modal bertanggung jawab :
a. menjamin tersedianya modal yang berasal dari sumber yang tidak
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. menanggung dan menyelesaikan segala kewajiban dan kerugian jika
penanam modal menghentikan atau meninggalkan atau menelantarkan
kegiatan usahanya secara sepihak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
c. menciptakan iklim usaha persaingan yang sehat, mencegah praktik
monopoli, dan hal lain yang merugikan negara;
d. menjaga kelestarian lingkungan hidup;
e. menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan
pekerja; dan
f. mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 23
Penanam modal yang mengusahakan sumber daya alam yang tidak terbarukan
wajib mengalokasikan dana secara bertahap untuk pemulihan lokasi yang
memenuhi standar kelayakan lingkungan hidup, yang pelaksanaannya diatur
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
10
BAB IX
PENGEMBANGAN PENANAMAN MODAL
Pasal 24
BAB X
KEPASTIAN USAHA
Pasal 25
(2) Jaminan kepastian usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi :
a. kepastian status tanah yang akan dijadikan lokasi usaha penanaman
modal;
b. kepastian akan bebas dari sengketa atau keberatan dari pihak lain
tentang lokasi usaha.
Pasal 26
BAB XI
LAPORAN KEGIATAN PENANAMAN MODAL
Pasal 27
(2) Tata cara dan bentuk LKPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur
lebih lanjut oleh Gubernur.
11
BAB XII
KERJASAMA PENANAMAN MODAL
Bagian Kesatu
Kerjasama Antar Daerah
Pasal 28
Bagian Kedua
Kerjasama Internasional
Pasal 29
BAB XIII
KETENAGAKERJAAN
Pasal 30
BAB XIV
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 31
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa :
a. menyampaikan saran ;
b. menyampaikan informasi potensi daerah;
c. penyertaan modal dalam usaha penanaman modal;
d. melakukan pengawasan.
12
(3) Peran serta sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bertujuan untuk :
a. mewujudkan keberlanjutan penanaman modal;
b. ikut serta melakukan pencegahan pelanggaran atas peraturan
perundang-undangan;
c. ikut serta melakukan pencegahan dampak negatif sebagai akibat
penanaman modal;
d. menumbuhkan kebersamaan antara masyarakat dengan penanam
modal.
Pasal 32
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam
bentuk :
a. memberi kesempatan seluas-luasnya kepada perusahaan penanaman
modal yang akan melakukan penanaman modal;
b. memberi kenyamanan keberadaan perusahaan penanaman modal yang
sementara melakukan kegiatan penanaman modal.
BAB XV
PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN
Pasal 33
(2) Tata cara pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), diatur lebih lanjut oleh Gubernur.
BAB XVI
SANKSI ADMINISTRASI
Pasal 34
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 11, Pasal 14, Pasal 26,
Pasal 27 dan Pasal 30 ayat (1) dan (2), dikenakan sanksi administrasi.
(2) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa :
a. peringatan tertulis;
b. pembatasan kegiatan usaha;
c. pembekuan dan/atau pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas
penanaman modal.
13
BAB XVII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 35
Seluruh persetujuan atau izin penanaman modal yang telah diterbitkan sebelum
ditetapkannya Peraturan Daerah ini, masih tetap berlaku sampai dengan habis
masa berlakunya.
BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 36
Pasal 37
Ditetapkan di Kupang
pada tanggal 20 Agustus 2009
Diundangkan di Kupang
pada tanggal 20 Agustus 2009
BENNY R. NDOENBOEY
14
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
NOMOR 7 TAHUN 2009
TENTANG
PENANAMAN MODAL
I. UMUM
Penanaman modal di daerah juga tidak dapat dilihat terlepas dari peranannya
dalam pembangunan ekonomi dan rencana pembangunan, karena Penanaman
Modal merupakan salah satu faktor dalam usaha pembangunan ekonomi.
Pentingnya penanaman modal di daerah tidak dapat dihindari dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan ekonomi di Provinsi
Nusa Tenggara Timur. NTT sebagai salah satu kawasan yang terbilang sudah
cukup maju tetapi belum semaju daerah lainnya, juga sangat membutuhkan
sentuhan Penanaman Modal untuk mengembangkan potensi sumber daya manusia
dan sumber daya alam yang tersedia, sehingga dapat mendongkrak Pendapatan
Asli Daerah.
Masalah tersebut terkait dengan munculnya berbagai persoalan sosial yang lebih
luas, yaitu rendahnya Penanaman Modal di daerah akan menyebabkan berbagai
potensi daerah yang ada di NTT tidak bernilai ekonomis dan hanya dimanfaatkan
secara terbatas untuk kepentingan konsumtif. Pemanfaatan potensi daerah sebatas
pada kepentingan komsumtif akan berakibat pada tidak berkembangnya peluang
kesempatan kerja, sementara itu jumlah pencari kerja (tenaga kerja produktif) terus
meningkat dari waktu ke waktu.
Dengan semakin banyak tenaga kerja yang tidak tertampung karena terbatasnya
lapangan kerja, dapat berakibat terhambatnya perkembangan ekonomi
masyarakat/daerah dan mencuatnya masalah sosial, antara lain meningkatnya
kejahatan pencurian, perampokan, perjudian, premanisme, pemerkosaan,
pelacuran, tindakan yang bersifat anarkhis, dan akan bermunculan berbagai
masalah sosial lainnya. Kalau saja kondisi ini dibiarkan berlanjut, maka muncul pula
ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan tidak mungkin dihindari
terciptanya disintegrasi bangsa.
15
Bilamana Penanaman Modal di derah tidak dikembangkan, maka kontribusi
sektor swasta terhadap APBD juga tidak bertambah dan berakibat pada
ketergantungan pembiayaan daerah terhadap pemerintah pusat tetap tinggi, bahkan
semakin meningkat. Kondisi ini sangat memprihatinkan karena sampai dengan
Tahun Anggaran 2006, tingkat ketergantungan Propinsi NTT terhadap anggaran
pusat (perbandingan antara kontribusi Pendapatan Asli Daerah terhadap APBD
dengan kontribusi dana dekonsentrasi terhadap APBD) masih sangat tinggi.
Kontribusi dana dekonsentrasi adalah 71,2% dari total pendapatan daerah
dibandingkan dengan penerimaan daerah dari PAD hanya sebesar 22,8%.
Kepincangan pembiayaan daerah tersebut bilamana tidak dikendalikan antara lain
dengan pengembangan Penanaman Modal di daerah, maka akan berakibat pada
pelaksanaan otonomi daerah di NTT yang tidak efektif.
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
16
Pasal 4
Target Penanaman Modal untuk penyelenggaraan penanaman modal
meliputi jenis dan besaran penanaman modal.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Yang dimaksud dengan “Pelayanan terpadu satu pintu” adalah kegiatan
penyelenggaraan suatu perizinan dan nonperizinan yang mendapat
pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi
yang memiliki kewenangan perizinan yang proses pengelolaannya
dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya
dokumen yang dilakukan dalam satu tempat.
Pasal 19
Cukup jelas.
17
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Laporan kegiatan penanam modal yang memuat perkembangan
penanaman modal dan kendala yang dihadapi penanam modal
disampaikan secara berkala kepada Pemerintah daerah dengan
tembusan kepada Satuan Kerja Perangkat Daerah yang menangani
bidang Penanaman Modal.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
18
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (2)
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pembatasan kegiatan usaha” adalah
membatasi volume produksi usaha, dari volume maksimal yang dapat
dicapai perusahaan
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
19