Anda di halaman 1dari 10

POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan

Negara vs Masyarakat: Konflik Tanah di


Kabupaten Nagekeo, NTT
State vs Public: Land Conflict in Nagekeo
District, NTT

Fransiskus X. Gian Tue Mali


Universitas Nasional
gfrank25.gf@gmail.com

Abstract
Tulisan ini menjelaskan konflik lahan yang terjadi di Kabupaten Nagekeo antara negara VS
masyarakat. Kita tahu bahwa negara diwakili oleh pemerintah, jika di daerah kadang-kadang disebut
sebagai pemerintah daerah dalam proses pembangunan infrastruktur untuk kepentingan umum
sering menghadapi masalah kompensasi dalam bentuk masalah pembebasan lahan dan kepemilikan
lahan. Isu-isu seperti ini menyebabkan pemerintah dan orang sering berhadapan dalam konflik yang
terkadang menyebabkan kekerasan dan anarki. Meskipun resolusi yang diadopsi kadang-kadang telah
selesai tetapi konflik tidak akan berhenti di situ dalam beberapa konflik lahan di Indonesia. Akhirnya,
penulis menyimpulkan bahwa konflik tanah antara negara VS masyarakat Nagekeo adalah kepemilikan
lahan kesalahan pengaturan dan penyimpangan dari Undang-Undang dan Peraturan presiden Tentang
Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, selain itu ada kepentingan pribadi dan kelompok yang
memicu konflik di Nagekeo.

kata kunci: Negara VS Masyarakat, Konflik Tanah, Kabupaten Nagekeo

Abstract
This paper describes the land conflicts that occurred in the district of Nagekeo between the state VS
society. We know that the state represented by the government, if in the area sometimes referred to
as local governments in the process of infrastructure development for the public interest often face
the issue of compensation in the form of land acquisition and land tenure issues. Issues such as this
led to the government and people often face to face in a conflict that sometimes led to violence and
anarchy. Although the resolution adopted sometimes has completed but the conflict will not stop there in
some land conflicts in Indonesia. Finally, the authors conclude that the land conflict between the State
VS Nagekeo Society is land ownership arrangement error and deviation of the Act and Regulations
presidential About Land Acquisition for Public Interest, besides there are personal and group interests
that triggered the conflict in Nagekeo.

keywords: VS State Society, Conflict Land, District Nagekeo

JURNAL POLITIK 1657 VOL. 11 No. 02. 2015


Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan POLITIK

Pendahuluan penguasaan tanah, ketiadaan persepsi yang sama


UUPA No. 5 Tahun 1960 yang awalnya antara sesama pengelola negara mengenai makna
merupakan payung hukum bagi kebijakan penguasaan tanah oleh negara, dan inkonsistensi.
pertanahan di Indonesia, menjadi tak difungsikan Maka dari itu, untuk dapat memenuhi berbagai
dan bahkan secara substansial terdapat kebutuhan penduduk akan tanah terhadap tanah
pertentangan dengan diterbitkannya berbagai yang bersifat tetap, maka pemerintah berupaya
peraturan perundangan sektoral. Perbedaan antara mengoptimalkan peruntukkan dari penggunaan
undang-undang itu tidak hanya dapat memberikan tanah dengan berbagai cara, diantaranya dengan
peluang pada perbedaan interpretasi para birokrat, mengeluarkan berbagai bentuk peraturan
tetapi juga secara substansial undang-undang pertanahan seperti peraturan penyediaan tanah
tersebut tidak integrative. Konflik tanah di untuk kepentingan perorangan dan Badan Hukum
Indonesia terjadi dalam berbagai bentuk seperti atas tanah-tanah Negara dan/atau atas tanah-tanah
halnya, penyerobotan tanah, klaim secara sepihak, hak.
sertifikat ganda, permasalahan perbatasan tanah, Oleh karena itu, hak negara dan
dan sebagainya.Menurut WALHI konflik tanah masyarakat termasuk hak ulayat dan perseorangan
paling banyak terjadi di daerah yang secara diatur dalam UUPA. Dalam pasal 2 ayat 4 UUPA
perekonomiannya sedang bertumbuh, dan daerah mengatur tentang Hak Menguasai oleh Negara,
yang memiliki hutan luas dan area perkebunan hal ini memunculkan perdebatan pada kalimat
seperti di daerah Sumatera, Kalimantan, dan “Menguasai” tersebut, tetapi jika dilihat lebih
Jawa, dan 3 provinsi dengan tingkat konflik tanah lanjut dalam penjelasannya bahwa hal ini tidak
tertinggi pada 2011 adalah Provinsi Bengkulu, bertentangan dengan pasal 33 ayat 3 UUD 1945,
Provinsi Sulawesi Tengah dan Lampung. Menurut karena hak menguasai oleh negara ini merupakan
data WALHI pola konflik tanah tertinggi terjadi semacam hubungan hak ulayat yang diangkat
akibat adanya penyerobotan tanah dengan pada tingkatan paling atas, yaitu pada tingkatan
persentase 60 % termasuk pengakuan secara yang mengenai seluruh wilayah negara. Hak
sepihak yang kemudian ditolak pihak lain yang menguasai ini menurut pasal 2 ayat 4 UUPA,
berujung konflik, sedangkan persoalan sertifikat pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah
ganda, dan penyebab lainnya hanya 40 %, 75 % dan masyarakat-masyarakat hukum adat. Namun
konflik tanah berujung pada kekerasan hingga pengaturan tentang hak ulayat dan masyarakat adat
menelan korban jiwa (www. walhi. or. id, tetap diakomodir dalam UUPA, karena hakekat
diakses pada 11 April 2014). Menurut Kasubdit hak menguasai tanah ialah untuk membangun,
Konflik Pertanahan BPN RI, data itu berdasarkan mengusahakan, memelihara dan mengatur tanah
inventarisasi kasus yang dihimpun dari setiap untuk kepentingan negara, umum, kepentingan
Kantor wilayah BPN di Indonesia. Sedangkan rakyat bersama dan kepentingan perorangan.
konflik yang menyangkut tanah aset negara tidak Oleh karena itu dibawah hak menguasai oleh
sebanyak konflik tanah perkebunan, dari ke Tahun Negara dikenal hak pokok dan hak sekunder,
jumlah kasus tanah terus meningkat. Dalam hak pokok adalah hak milik yang diperoleh
kurun dua Tahun saja, jumlah kasus tanah yang secara originair seperti karena pembukaan hutan,
dilaporkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) pemberian pemerintah atau masyarakat hukum,
Republik Indonesia meningkat lima ribu kasus. dan derivative seperti karena pembelian, hibah
Pada 2007 jumlah laporan konflik yang masuk atau warisan. Sedangkan hak sekunder ialah hak
hanya 2.615 kasus. Namun pada 2009, jumlahnya pakai, hak sewa, hak bagi hasil, dan sebagainya.
melonjak 300 persen menjadi lebih dari tujuh ribu Selain itu masih ada tanah yang di luar lalu lintas
kasus di seluruh Indonesia (Bernhard Limbong, perdagangan (res extra commercium) dan tanah
2012). yang disediakan untuk keperluan kesejahteraan
Sebagaimana yang telah dikemukakan masyarakat. Singkatnya “hak menguasai/dikuasai”
sebelumnya, bahwa penyebab terjadinya konflik oleh negara bukan berarti “memiliki/dimiliki”
di bidang pertanahan antara lain terbatasnya istilah ini berarti bahwa negara sebagai organisasi
ketersediaan tanah, ketimpangan dalam struktur kekuasaan bangsa Indonesia, diberikan wewenang

JURNAL POLITIK 1658 VOL. 11 No. 02. 2015


POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan

untuk mengatur sesuatu yang berkenaan dengan yang menyelenggarakan penertiban di dalam
tanah. Pemerintah sebagai wakil negara dapat suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan
mengatur peruntukkan, penggunaan, persediaan berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan
dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa oleh suatu pemerintah yang untuk maksud tersebut
bagi kemakmuran bangsa Indonesia (S. Gautama, diberi kekuatan memaksa (Mirriam Budiarjo,
1993). 2007).
Perdebatan mengenai hak milik sebidang Teori Pola Hubungan Negara dan
tanah menjadi akar konflik tanah di mana saja, Masyarakat dapat dilihat dari perspektif paham
hal ini belum lagi ditambah dengan berbagai kemajemukan yang menurut paham ini, fungsi
benturan regulasi umum seperti UUPA maupun negara adalah untuk memenuhi kebutuhan rakyat,
regulasi sektoral yang tingkatannya di bawah yang titik perhatiannya ditujukan kepada pluralitas
UUPA.Hal ini pula ditambah dengan persoalan yang ada dalam masyarakat. Oleh karena itu, dalam
alamiah yaitu, bertambahnya jumlah penduduk paham ini tidak ada kaum yang dominan; semua
namun luas tanah tidak pernah bertambah malah sejajar. Dalam penyelesaian suatu permasalahan
berkurang, sehingga berdasarkan persoalan di antar kaum acapkali dilakukan upaya-upaya
atas konflik tanah tidak bisa dihindarkan untuk kompromi, tawar menawar, membentuk koalisi,
selalu terjadi di Indonesia. Permasalahan tanah pertukaran terbatas dan pertukaran umum. Di sini,
juga terjadi di Kabupaten Nagekeo di Provinsi negara berfungsi sebagai fasilitator (Nasiwan,
NTT yang dimekarkan berdasarkan UU No. 2 2010).
Tahun 2007 sebagai sebuah kabupaten baru hasil Masyarakat dengan asumsi mereka telah
pemekaran dari Kabupaten Ngada dengan ibukota membayar pajak yang digunakan untuk proses
Mbay. Berbagai konflik tanah antara negara yang kegiatan pemerintahan maka berhak melakukan
diwakilkan oleh pemerintah dengan masyarakat pengawasan secara langsung terhadap jalannya
sering erjadi dalam proses Pengadaan Tanah Bagi pekerjaan pemerintahan untuk melayani
Kepentingan Umum. Hal ini menjadi mudah atau kepentingan dan kebutuhan publik. Dalam paham
sering terjadi dikarenakan dalam proses tersebut ini ditangkap beberapa poin penting antara lain
akan terjadi benturan antara kepentingan nasional mengenai kemajemukan di mana masing-masing
(pembangunan) yang berhadapan langsung varian kepentingan dengan landasan SARA
dengan kepentingan individu atau dengan ataupun alasan lain yang melandasi sekelompok
kepentingan ulayat atas tanah. Berbagai konflik manusia berhimpun atas dasar suatu persamaan,
atas tanah tersebut kemudian akan menimbulkan menciptakan suatu atmosfer yang dipenuhi
dan berpengaruh terhadap hubungan antara semangat partisipasi politik tiap kelompok,
negara yang dengan masyarakat. Oleh karena itu sehingga justru posisi negara sebagai pembuat
penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan kebijakan terancam terdiskreditkan dengan
pola hubungan antara negara dengan masyarakat desakan berbagai kepentingan yang bila tidak
di kabupaten nagekeo, yang dilihat dari sudut dapat terakomodir dengan baik akan menimbulkan
pandang konflik tanah berdasarkan kondisi berbagai manuver yang menyebabkan chaos. Akan
konflik, faktor penyebab, serta resolusi konflik tetapi, dengan kondisi di mana seluruh elemen
yang ditempuh. masyarakat mempercayakan pemrograman
akomodasi segala kepentingan dan kebutuhan
Hubungan Negara dengan Warga Negara dengan adil pada negara, sebenarnya dapat
Hubungan antara negara dan warga negara dikatakan peran negara sangat dominan.
sebenarnya bukan merupakan topik perbincangan Dari faham ini, negara dicita-citakan
baru karena hal ini mungkin sudah dikaji ketika sebagai sarana mencapai kesejahteraan hidup,
negara-negara mulai terbentuk. Menurut Max di mana kepemimpinan berada di tangan banyak
Weber, negara merupakan suatu masyarakat elemen yang bervariasi atau berada pada banyak
yang mempunyai monopoli dalam penggunaan perwakilan sehingga tidak terjadi kesenjangan
kekerasan fisik secara fisik dalam suatu wilayah. kelas sosial, dan diupayakannya secara serius
Robert M. Maclver : Negara adalah asosiasi terciptanya kelas menengah untuk mereduksikan

JURNAL POLITIK 1659 VOL. 11 No. 02. 2015


Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan POLITIK

kecenderungan terjadinya konflik yang sangat antaran lain, Administrasi pertanahan di masa lalu
besar. Selain itu, para negarawan yang menduduki yang kurang tertib, Peraturan Perundang-undangan
jabatan politis dan menjadi pemerintah secara yang saling tumpang tindih, Penerapan hukum
apresiatif terbuka dalam menerima segala bentuk pertanahan yang kurang konsisten, Penegakkan
aspirasi dan mampu mengolah berbagai kepentingan hukum yang belum dapat dilaksanakan secara
yang ditonjolkan lalu mereka akan dengan segera konsekuen.
memutuskan dan mengambil beberapa langkah Mengenai konflik pertanahan adalah
konkret untuk merealisasikan kepentingan- merupakan bentuk ekstrim dan keras dari
kepentingan tersebut yang terformulasi dalam persaingan. Secara makro sumber konflik besifat
program-program pemerintahan, sehingga tercipta struktural misalnya beragam kesenjangan.
dan terakomodirnya kebutuhan masyarakat secara Secara mikro sumber konflik atau konflik dapat
adil dan bijaksana. timbul karena adanya perbedaan atau benturan
nilai (kultural), perbedaan tafsir mengenai
Konflik Tanah informasi, data atau gambaran obyektif kondisi
Konflik pertanahan adalah proses interaksi pertanahan setempat (teknis), atau perbedaan
antara dua orang atau lebih atau kelompok yang atau benturan kepentingan ekonomi yang
masing-masing memperjuangkan kepentingannya terlihat pada kesenjangan struktur pemilikan dan
atau objek yang sama, yaitu tanah dan benda- penguasaan tanah. Masalah tanah dilihat dari
benda lain yang berkaitan dengan tanah seperti segi yuridis merupakan hal yang tidak sederhana
air, tanaman, tambang juga udara yang berada pemecahannya. Timbulnya konflik hukum tentang
dibatas tanah yang bersangkutan. Secara umum tanah adalah bermula dari pengaduan satu pihak
ada beberapa macam sifat permasalahan dari (orang atau badan) yang berisi tentang keberatan-
suatu konflik tanah antara lain (1) masalah yang keberatan dan tuntutan hak atas tanah baik terhadap
menyangkut prioritas dapat ditetapkan sebagai status tanah ataupun prioritas kepemilikannya
pemegang hak yang sah atas tanah yang berstatus dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian
hak atau atas tanah yang belum ada haknya, (2) secara administrasi sesuai dengan ketentuan
bantahan terhadap sesuatu alasan hak atau bukti peraturan yang berlaku.
perolehan yang digunakan sebagai dasar pemberian Menurut Maria S. W. Sumardjono
hak, (3) kekeliruan atau kesalahan pemberian hak (2009), secara garis besar peta konflik tanah
yang disebabkan penerapan peraturan yang kurang dikelompokkan yaitu, Masalah penggarapan
atau tidak benar, dan (4) konflik atau masalah rakyat atas tanah areal perkebunan, kehutanan,
lain yang mengandung aspek-aspek sosial (Urip proyek perumahan yang ditelantarkan dan lain-
Santoso, 2005). lain, Masalah yang berkenaan dengan pelanggaran
Berdasarkan penjelasan di atas, maka ketentuan Landreform, Ekses-ekses penyediaan
konflik pertanahan sesungguhnya bukanlah tanah untuk keperluan pembangunan, Konflik
hal baru. Namun dimensi konflik makin terasa perdata berkenaan dengan masalah tanah, dan
meluas di masa kini bila dibandingkan pada masa Masalah yang berkenaan dengan hak Ulayat
kolonial. Beberapa penyebab terjadinya konflik masyarakat Hukum Adat. Melihat penjelasan
pertanahan yaitu (1) pemilikan atau penguasaan di atas, maka alasan sebenarnya yang menjadi
tanah yang tidak seimbang dan tidak merata, (2) tujuan akhir dari konflik bahwa ada pihak yang
kletidakserasian penggunaan tanah pertanian dan lebih berhak dari yang lain atas tanah yang
tanah nonpertanian, (3) kurangnya keberpihakan dikonflikkan oleh karena itu penyelesaian konflik
kepada masyarakat golongan ekonomi lemah, hukum terhadap konflik tanah tersebut tergantung
(4) kurangnya pengakuan terhadap hak-hak dari sifat permasalahannya yang diajukan dan
masyarakat adat atas tanah (hak ulayat), dan (5) prosesnya akan memerlukan beberapa tahap
emahnya posisi tawar masyarakat pemegang hak tertentu sebelum diperoleh sesuatu keputusan.
atas tanah dalam pembebasan tanah (Adrian Sutedi,
2009). Rusmadi Murad (dalam Elza Syarief, 2012) Konflik Tanah Pembangunan Kantor DPRD
mengemukakan penyebab timbulnya konflik tanah Nagkeo

JURNAL POLITIK 1660 VOL. 11 No. 02. 2015


POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan

Pasca pemekaran pada 2007, pemeritah miliknya berdasarkan warisan dari ayahnya yang
Nagekeo saat itu yang dipimpin oleh penjabat juga didapat dari ayahnya bernama Fao Giri,
bupati sementara, Drs. Elias Djo berniat Efraim Fao mengklaim memiliki lahan tersebut
membangun kantor DPRD Nagekeo di lokasi sejak 1948 saat bersama ayahnya Fransiskus
bernama Pomamela, Kelurahan Lape, Kecamatan Waso mengelola lahan tersebut. Para saksi yang
Aesesa. Untuk mewujudkan pembangunan dibawa oleh Efraim Fao membenarkan pernah
kantor DPRD tersebut, pemerintah daerah melihat fransiskus waso mengelola lahan tersebut.
melalui Penjabat Bupati sementara mengirim sedangkan menurut Suku Lape, laha tersebut sejak
surat permohonan kepada kepala Suku dan puluhan tahun lalu adalah hutan belukar yang tidak
masyarakat SukuLape yang dianggap sebagai bisa ditanami dan dijadikan kebun karena jauh
pemilik lahan tersebut, dan lahan yang diminta dari sumber air. pe rdebatan tetang kebenaran akan
dalam surat bernomor 130.01/T.Praja/02/01/2008 hal tersebut pun terhenti, karena hakim kemudian
yang ditandatangani oleh penjabat sementara mempertimbangkan dari mana kepemikan lahan
saat itu adalah seluas 2.5 Ha. Surat permohonan tersebut didapat.
permintaan tanah tersebut sejak diterima hingga Konradus Ru Remi mampu membuktikan
saat ini belum pernah dibalas oleh Ketua Suku kepemilikan lahan terssebut berdasarkan surat
dan masyarakat Lape, tetapi pada 28 April 2008 keputusan suku 21 Januari 2007 yang menyerahkan
ketua Suku dan masyarakat Lape diundang oleh tanah tersebut kepadanya, sedangkan Efraim
pemerintah untuk menyaksikan pelepasan hak Fao tidak mampu membuktikan kepemilikan
atas tanah tersebut dari Efraim Fao. Efraim Fao lahan tersebut darimana fao giri mendapat tanah
mengklaim diri sebagai pemilik sah atas tanah tersebut. sementara itu lahan tersebut diakui
tersebut dan menyerahkan tanah tersebut kepada masuk wilayah Suku Lape, sedangkan efraim
pemerintah daerah Kabupaten Nagekeo untuk beserta leluhurnya bukanlah orang Suku Lape.
digunakan bagi kepentingan umum. Dalam surat berdasarkan pengakuan ketua Suku Lape, pada
pelepasan tersebut para ketua Suku Lape yang masa lalu banyak orang dari Suku Lidhe yang
berjumlah 7 orang diminta untuk menandatangani datang bertani di wilayah Suku Lape, karena
surat pelepasan namun hanya satu kepala Suku wilayah suku mereka pada masa itu mengalami
yang menandatangani surat tersebut. Keenam kekeringan akibat kemarau panjang. Berdasarkan
kepala Suku lainnya tidak ingin menandatangani hal tersebutlah hakim PN Bajawa memenangkan
surat tersebut karena menganggap bahwa tanah Konradus Ru Remi dan suku Lape
tersebut adalah milik Suku Lape dan Efraim Fao Konflik ini pun diajukan banding ke PT
bukanlah anggota Suku Lape. Kupang, pada November 2011 namun dalam
Bermula dari hal tersebutlah konflik putusannya sebagian besar mendukung vonis
tentang perebutan kepemilikan pun berlanjut, PN Bajawa, tetapi terdapat dissenting opinion
karena berdasarkan surat keputusan Suku Lape diantara para hakim yang mempertanyakan
pada 21 Juni 2007 lahan tersebut telah menjadi apakah proses penyerahan tanah suku Lape kepada
milik Konradus Ru Remi. Atas dasar tersebut, Konradus dilakukan di hadapan pejabat daerah
Konradus Ru Remi melakukan gugatan terhadap seperti kepala desa Lape, atau camat. Karena
Efraim Fao dengan tuduhan penyerobotan berdasarkan peraturan UUPA hal tersebut harus
kepemilikan atas lahan, sedangkan pemerintah dilakukan sehingga memenuhi asas komunikasi
digugat karena telah melakukan pembangunan publik. Pada 2012 konflik ini dibawa hingga ke
kantor DPRD di atas lahan yang bukan miliknya, MA, dan PK serta Kasasi yang berakhir pada than
dan juga bukan milik Efraim Fao, melainkan milik 2014 yang kesemuanya mendukung putusan PN
Konradus Ru Remi. Sementara itu, DPRD ditarik Bajawa. Vonis PN Bajawa adalah penghentian
masuk sebagai tergugat karena lahan tersebut akan pembangunan kantor DPRD, serta pengakuan atas
dibangun gedung yang merupakan aset DPRD kepemilikan Koradus, dan membatalkan demi
Nagekeo. hukum segala proses penyerahan pada April 2008
Dalam persidangan di PN Bajawa, serta pihak tergugat diharuskan membayar ganti
Efraim Fao mengklaim lahan tersebut menjadi rugi 2 milyar rupiah. Namun hingga saat ini vonis

JURNAL POLITIK 1661 VOL. 11 No. 02. 2015


Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan POLITIK

tersebut belum pernah dilaksanakan. No.36 Tahun 2005 memiliki kecenderungan untuk
keperluan pragmatis pada era ini yang dibuat
Hubungan Negara dengan Masyarakat di secara parsial dengan watak konservatif.Peraturan
Bidang Pertanahan Presiden tersebut jika dilihat dari materinya lebih
Pasca reformasi hingga saat ini konflik proporsional untuk dituangkan dalam bentuk UU.
tanah yang terjadi antara pemerintah atau negara Akan tetapi, tuntutan pragmatis telah membawa
dengan masyarakat lebih banyak terjadi akibat pemerintah untuk melahirkannya hanya dalam
adanya regulasi yang lebih memihak kepada pihak bentuk Peraturan Presiden. Peraturan Presiden
yang lebih kuat dalam hal ini pemerintah dan tersebut jelas sangat tidak partisipatif karena
pemodal besar. Salah satu peraturan perundang- secara formal hanya dilakukan secara sepihak oleh
undangan yang menimbulkan banyak tanggapan presiden (pemerintah), dan dengan sendirinya
dari masyarakat adalah Peraturan Presiden No.36 tidak aspiratif karena tidak membuka saluran
Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah bagi secara wajar bagi masuknya aspirasi masyarakat.
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Peraturan Presiden itu juga tidak memberikan
Umum. Berbagai tanggapan tersebut menjadi rasa keadilan bagi masyarakat sehingga dalam
lebih mendasar ketika masyarakat melihat bahwa pelaksanaanya banyak mendapat perlawanan
substansi, atau materi yang diatur dalam Peraturan dari masyarakat. Pada 2006 diadakan perubahan
Presiden sangat kental dengan pencabutan hak atas terhadap PP No. 36 Tahun 2005 yang dilakukan
tanah, bangunan, tanaman, serta benda-benda lain melalui Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006
yang berkaitan dengan tanah oleh negara dengan tentang Perubahan Atas PP No.36 Tahun 2005
pemberian ganti rugi senilai Nilai Jual Objek Pajak tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Untuk
(NJOP) untuk tanah, atau berdasarkan perhitungan Kepentingan Umum. Hal ini membuktikan bahwa
dari instansi pemerintah yang bersangkutan dengan PP No.36 Tahun 2005 tidak responsif dan tidak
benda-benda selain tanah. Hal tersebut sangat mampu mengakomodir kepentingan dan aspirasi
meresahkan masyarakat dan menjadi masalah masyarakat Indonesia dalam bidang pertanahan
sosial yang timbul di masyarakat. Permasalahan (Agraria).
utamanya adalah hak masyarakat atas tanah, Berbicara kebijakan pemerintah di
bangunan, tanaman, serta benda-benda lain bidangpertanahan kita akan selalu sampai pada
yang berkaitan dengan tanah menjadi terganggu. kesimpulan atas tindakan pemerintah yang
Pemerintah dapat saja “seolah-olah” dalam rangka tidakmemenuhi keadilan dalam pengalokasian
kepentingan umum yang sebenarnya adalah akses sumberdaya agraria. Ketidakadilan yang dirasakan
memperlancar ”bisnis” segelintir orang mencabut oleh masyarakat inilah sebagai pemicu konflik
hak masyarakat tersebut, terlebih yang dimaksud agraria di Indonesia. Kebijakan yang secara sengaja
dengan kepentingan umum dalam Peraturan telah meminggirkan dan memiskinan masyarakat
Presiden No.36 Tahun 2005 tersebut telah pada hakekatnya dapat dikatakan sebagai
mengalami perluasan kriteria jika dibandingkan bentuk kegagalan negara. Bukankah konstitusi
dengan Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993. mengamanatkan kepada negara untuk melakukan
Sekalipun diatur mengenai musyawarah dalam intervensi agar kesejahteraan dan kemakmuran
Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 akan dapat dinikmati oleh seluruh rakyat?. Negara
tetapi jika musyawarah gagal ditempuh kemudian yang tidak mampu melaksanakan kewajiban
terdapat uang pengganti dari pemerintah yang konstitusinya untuk mensejahterakan rakyat tetapi
dititipkan ke pengadilan, hingga presiden sendiri justru tunduk pada kepentingan-kepentingan
yang mencabut hak atas tanah itu. pemilik modal adalah bentuk kegagalan negara.
Hal tersebut menunjukan diperlemahnya Terlebih ketika negara tidak mampu memberikan
akses masyarakat akan hak atas tanah dan jalan keluar dan mengabaikan konflik agraria ini,
dilanggarnya hak sipil politik dan hak ekonomi, maka secara perlahan tapi pasti akan berdampak
sosial, budaya masyarakat oleh pemerintah. Akan secara ekonomi, politik dan juga sosial, yang
tetapi, mungkin saja justru yang diuntungkan, bermuara pada munculnya ketidakstabilan politik
termasuk para investor asing. Peraturan Presiden dan pergolakan sosial yang berkepanjangan.

JURNAL POLITIK 1662 VOL. 11 No. 02. 2015


POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan

Menurut Christodoulou (dalam Afrizal, melakukan tindakan-tindakan represif mulai


2006), konflik agraria tidak lepas dari hubungan- mengambil jarak dengan kekuasaan. Terlebih
hubungan sosial yangberkaitan dengan salah satu tuntutan yang lantang disuarakan oleh
pengontrolan dan penggunaan sumber-sumber gerakan reformasi adalah mengembalikan tentara
agraria. Hubungan-hubungans osial tersebut ke barak dan fungsi semula sebagai pengaman
pada umumnya melibatkan unsur masyarakat, kedaulatan negara, bukan pengaman bagi
negara dan bisnis yang kesemuanya berusaha kepentingan penguasa. Inilah yang menyebabkan
memperebutkan sumber daya agraria. Masyarakat masyarakat tumbuh keberanian untuk melakukan
melakukan perlawanan terhadap negara dan perlawanan yan glebih besar. Perlawanan
bisnis untuk menuntut apa yang menurut mereka masyarakat di era reformasi cakupan orang yang
merupakan hak-haknya. Sementara negara terlibat didalamnya jauh lebih besar. Peluang
dan perusahaaan melakukan perlawanan dan politik akibat keterbukaan memungkinkan
penekanan terhadap masyarakat juga untuk para masyarakat melakukan koordinasi dalam
mempertahankan hak-haknya atas sumber- menyusun gerakan atas dasar kesamaan nasib
sumber agraria, dimana keduanya pada umumnya yaitu tercabutnya hak-hak atas tanah miliknya
memiliki bukti-bukti yuridis selama bertahun-tahun. Menurut Tilly, Tarrow
Berbagai ketimpangan dalam penerapan dan McAdam (dalam Mustain, 2007).bahwa
politik agraria di Indonesia di masa lalu hingga gerakan sosial kondusif terjadi pada masyarakat
saat ini telah memicu perlawanan dari masyarakat yang sedang mengalami perubahan, transisional,
yang berujung pada konflik tanah. Pemerintah di menuju perubahan sosial. Dalam situasi
era reformasi belum bisa secara total melepaskan transisional menyebabkan semakin terbukanya
diri dari pola-pola yang diterapkan di masa kesempatan aktor untuk merespon, memobilisasi
reformasi sedangkan perlawanan masyarakat struktur-struktus sosial, dan budaya sehingga
mengalami perubahan. Jika di masa Orde Baru memungkinkan dilakukannya komunikasi,
perlawanan masyarakat bisa dengan mudah koordinasi dan komitmen diantara para aktor
dihilangkan melalui alat-alat negara, namun di untuk menghasilkan kesamaan pengertian yang
saat ini perlawanan masyarakat bisa dilakukan bermuara pada kesadaran tentang apa yang sedang
secara terbua dan tidak menutup kemungkinan terjadi. Situasi transisional memungkinkan aktor
masyarakat menang dalam konflik tanah yang (pemimpin gerakan) mendayagunakan sejumlah
dilakukan secara litigasi maupun non litigasi. potensi lokal untuk memobilisasi suatu gerakan
Perlawanan masyarakat di era reformasi cukup perlawanan
berbeda dengan masa-masa sebelumnya, terutama Perlawanan masyarakat era reformasi
kemampuan masyarakat dalam mengembangkan memang tidak dapat dilepaskan dari kejatuhan
jaringan baik yang dibentuk atas inisiatif internal rezim Soeharto yang kemudian menjadi peluang
maupun adanya pengaruh eksternal terutama LSM bagi masyarakat untuk melakukan perlawanan
yang memberikan advokasi maupun pelatihan- kembali memperebutkan tanah miliknya,
pelatihan. Jumlah tindakan pembangkangan termasuk dengan cara-cara yang dikategorikan
masyarakat lebih luas, dimana fenomena ini tindakan radikal karena digunakannya cara-
bisa dijelaskan dengan karya Charles Tilly cara kekerasan. Pola radikalisme masyarakat era
yang menyatakan bahwa jumlah pembangkang reformasi ini berbeda dengan era sebelumnya,
dipengaruhi oleh, penolakan pembangkang dimana pada era kolonial perlawanan masyarakat
untuk membuat akses pada kekuasaan, kegagalan terjadi karena pengambilalihan tanah adat secara
tanggung jawab negara terhadap penduduk, paksa untuk kepentingan usaha perkebunan.
terjadinya krisis keuangan yang dialami oleh Bentuk perlawanan masyarakat bersifat mikro
negara, dan ketidak-efektifan kekuasaan represif yang dipimpin oleh pemuka agama dengan tujuan
negara karena militer atau anggotanya berkoalisi suci membebaskan rakyat dari kesengsaraan.
dengan pembangkang (Wahyudi, 2005). Pada era Orde Lama radikalisasi masyarakat lebih
Dengan jatuhnya rezim Orde Baru, diakibatkan oleh instrumen partai politik yang
militer yang selama ini menjadi penopang untuk menjadikan isu pertanahan sebagai kepentingan

JURNAL POLITIK 1663 VOL. 11 No. 02. 2015


Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan POLITIK

politik partai. Masa Orde Baru perlawanan bagi rakyat untuk memperjuangkan hak-haknya.
masyarakat lebih bersifat vertikal menghadapkan Konflik tanah di Nagekeo juga tidak lepas dari
masyarakat dengan pengusaha yang berkolaborasi adanya kepentingan pribadi dan kelompok yang
dengan penguasa mengambil tanah masyarakat berada di balik konflik tanah yang bertujuan untuk
tanpa dialog dan menafikan kearifan lokal. Pada Pengadaan Bagi Kepentingan Umum di Nagekeo.
era reformasi perlawanan masyarakat lebih Jika dilihat dari pendekatan yuridis empiris dalam
dicirikan oleh tindakan akibat tidak jelasnya konflik tanah di Nagekeo maka dapat dilhat
paradigma pembangunan pertanian era Orde dengan jelas tentang adanya kelompok dan orang
Baru, yang telah memarjinalisasi masyarakat tertentu yang mendapat keuntungan dari berbagai
karena dipaksa menyerahkan tanahnya untuk konflik tanah di Nagekeo. Selain itu konflik
kepentingan pemilik modal. Dengan kemampuan tanah juga dalam sistem politik yang berkaitan
membangun jaringan, dan dukungan kekuatan dengan kelompok sosial tertentu akan mampu
politik eksternal, perlawanan masyarakat era meningkatkan nilai tawar politik bagi pihak
reformasi lebih terbuka, masif dan terorganisir yang menang dalam konflik. Ruang politik yang
(Munafrizal Manan, 2005). memungkinkan rakyat untuk melawan memang
Konflik tanah di masa reformasi memang menjadi kunci utama terjadinya konflik tanah
tinggi dibandingkan di masa Orde Baru, akibat selain itu terdapat faktor ekonomi, primodialisme
dari faktor-faktor yang telah dijelaskan di atas dan etnocentrisme, supremasi hukum yang lemah,
sehingga sudah seharusnya pemerintah saat ini yang turut menjadi pendukung terjadinya konflik
perlu melakukan Landreform yang lebih adil dan tanah di Nagekeo.
berpihak kepada kepentingan rakyat tentunya
tetap berdasarkan pada fakta kepemilikan bukan Simpulan
berdasarkan hukum rimba tentang siapa yang lebih Berdasarkan keseluruhan data yang
kuat yang menguasai. Namun kecenderungan didapat dalam penelitian serta analisis atas
KKN yang juga adalah warisan Orde Baru tentunya kesesuaian segala penyebab konflik dengan teori
penyelesaian konflik tanah masih jauh dari harapan maupun konsep berupa regulasi dapat dilihat dan
belum lagi di sisi lain berbicara konflik tidak akan diambil kesimpulan bahwa beberapa kemungkinan
pernah lepas dari pembicaraan mengenai conflict mengapa negara yang diwakili oleh pemerintah
of interest yang menjadi “penunggang gelap” daerah Nagekeo menghadapi banyak konflik
dibalik usaha penegakkan keadilan dalam politik dalam proses Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan
pertanahan di Indonesia. Umum Di Nagekeo
Perlawanan rakyat terhadap pemerintah Pertama, Pemerintah Nagekeo dalam
juga terjadi di Kabupaten Nagekeo jika dilihat proses pengadaan tanah bagi pembangunan
dari konflik yang terjadi, maka dapat diambil infrastruktur maupun sarana publik lainnya
beberapa kesamaan umum bahwa segala konflik tidak memahami secara keseluruhan Perundang-
tersebut terjadi pada masa reformasi padahal Undangan maupun peraturan Presiden tentang
rata-rata penyebab konflik dimulai sejak 1970- Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum,
1980 masa dimana Orde Baru berkuasa. Senada Kedua Pemerintah Nagekeo dengan
dengan berbagai penjelasan di atas, konflik tanah sengaja dalam beberapa proses pengadaan
di Nagekeo merupakan contoh kecil warisan tanah bagi pembangunan bagi kepentingan
Soeharto yang kemudian menjadi masalah tanah umum mengesampingkan hal-hal substansial
berkepanjangan di masa kini. Pola perlawanan dalam pengadaan tanah bagi pembangunan
rakyat Nagekeo yang menempuh jalur hukum kantor DPRD Nagekeo untuk menekan biaya
menunjukkan bahwa negara bukan lagi menjadi pengeluaran demi kepentingan lain, seperti proses
lawan yang menakutkan seperti pada masa Orde ganti rugi, identifikasi keseluruhan pihak terkait
Baru, meskipun bukan berarti negara saat ini atas tanah serta mengidentifikasi secara jelas hak
merupakan lembaga yang bersih yang bebas kepemilikan atas tanah.
dari kepentingan pribadi maupun segelintir Ketiga, Pemerintah Daerah Nagekeo salah
orang, namun negara telah memberikan ruang mengartikan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 yang

JURNAL POLITIK 1664 VOL. 11 No. 02. 2015


POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan

berisi tentang hak menguasai tanah, bumi, air dan menyumbangkan kemampuannya bagi perbaikan
angkasa oleh negara demi kemakmuran bangsa komunitas melalui partisipasi ekonomi, layanan
dimana hak menguasai negara merupakan hak publik, kerja sukarela, dan berbagai kegiatan serupa
mengatur. Berbagai konflik diakibatkan adanya untuk memperbaiki penghidupan masyarakatnya.
kesalahan pengaturan tentang tanah di masa lalu Sedangkan negara menjamin kebebasan, menjamin
antara tanah milik negara, perseorangan, maupun keselamatan, serta menjamin keadilan bagi setiap
tanah Suku di Nagekeo. warga negaranya.Oleh karena itu hubungan yang
Keempat, Nagekeo sebagai daerah hasil terjalin adalah hubungan timbal balik antar negara
Pemekaran menjadi pemicu mengemukanya dengan warga negara.Namu dalam persoalan
konflik tanah yang disebabkan sebagian besar politik agraria di Indonesia, dominasi negara yang
oleh faktor ekonomi dimana harga tanah di begitu kuat kemudian membentur kepentingan
daerah ibukota baru menjadi meningkat secara individu maupun kelompok sosial.
drastis akibat adanya pertumbuhan kota baru. Hubungan yang terjalin antara pemerintah
Selain itu kebutuhan pembangunan daerah baru Nagekeo dengan masyarakat Nagekeo jika dilihat
akan tanah menjadi alasan dasar lainnya yang berdasarkan konflik tanah yang terjadi maka dapat
menjadikan konflik tanah mengemuka di daerah diambil kesimpulan bahwa Negara yang diwakili
hasil pemekaran. oleh pemerintah Nagekeo yang seharusnya
Kelima, eksistensi tradisi suatu kelompok berfungsi untuk menertibkan kekacauan yang
masyarakat di Nagekeo menjadi penyebab lainnya terjadi dalam masyarakat, meskipun negara
dalam konflik tanah di Nagekeo antara Negara adalah bentukan masyarakat, namun kedudukan
Vs Masyarakat.Eksistensi kelompok masyarakat negara adalah penyelenggara ketertiban dalam
dengan tradisinya tentu merujuk pada keinginan masyarakat agar tidak terjadi konflik, pencurian
untuk diakui sebagai kelompok masyarakat dan lain-lain, telah lalai dalam menjalankan fungsi
dengan wilayah kekuasaan. dan tugasnya di Nagekeo. Negara seharusnya
Keenam, lemahnya pengawasan dari memenuhi hak dari tiap warga negaranya, akan
pemerintah serta Suku yang ada di Nagekeo tetapi sebagai warga negara, kewajiban-kewajiban
terhadap penguasaan lahan di Nagekeo menjadi yang harus diberikan kepada negara hendaknya
pemicu dalam konflik yang berkaitan dengan dipenuhi. Apabila kedua hal tersebut sudah sama-
pengkuan hak milik atas tanah. sama terpenuhi maka akan muncul keseimbangan
Secara keseluruhan konflik tanah yang serta hubungan timbal baik yang menguntungkan
terjadi di Nagekeo merupakan akibat dari tidak kedua belah pihak sehingga konflik antara warga
adanya komunikasi publik yang juga terdapat asas negara dengan negara mengenai pemenuhan hak
Musyawarah yang harus dijunjung tinggi oleh dan kewajiban dapat dihindari. Namun pemerintah
pemerintah Nagekeo maupun Panitia Pengadaan Nagekeo serta pihak-pihak (masyarakat Nagekeo)
Tanah Bagi Pembangunan Kepentingan Umum di yang terkait dalam konflik tanah di Nagekeo seperti
Kabupaten Nagekeo dengan masyarakat maupun yang diungkapkan dalam kesimpulan di atas tidak
pihak terkait tanah, seperti yang telah dimuat mampu memenuhi hak dan kewajibannya namun
dalam Perpres Nomor 36 Tahun 2005 Tentang lebih mengutamakan aspek kepentingan kelompok
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Kepentingan maupun pribadi. Karena sejatinya negara dan
Umum, atau dalam Perpres Nomor 40 Tahun 2014 warga negara sama-sama memiliki hak dan
Tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 71 Tahun kewajiban yang dapat dituntut dan dipenuhi sesuai
2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah porsinya dan hal yang sebaiknya dilakukan ialah
Bagi Kepentingan Umum maupun Perpres Nomor memenuhi kewajiban terlebih dahulu, setelah itu
71 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi baru menuntut hak.
Kepentingan Umum. Sehingga dapat diambil kesimpulan
Di dalam   teori kontrak sosial, status bahwa hubungan antara negara yang diwakili
kewarganegaraan memiliki implikasi hak dan oleh pemerintah Nagekeo dengan Masyarakat
kewajiban. Dalam filosofi “kewarganegaraan dalam hal ini masyarakat Nagekeo telah menjadi
aktif”, seorang warga negara disyaratkan untuk hubungan yang saling bertabrakan dimana

JURNAL POLITIK 1665 VOL. 11 No. 02. 2015


Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan POLITIK

kepentingan umum yang ingin diwujudkan oleh Nasiwan. 2010. Teori-Teori Politik Indonesia.
Pemda Nagekeo berbenturan dengan kepentingan Yogyakarta: UNY Press.
pribadi maupun kelompok, selain itu kepentingan
umum yang dijalankan oleh pemerintah Nagekeo
menjadi tameng bagi sekelompok orang untuk Santoso, Urip. 2005. Hukum Agraria dan Hak-hak
mengambil keuntungan bagi terwujudnya atas Tanah. Jakarta: Prenada Media.
kepentingan pribadi maupun kelompok. Hal ini
lebih banyak dipengaruhi oleh faktor Ekonomi
Sumardjono, Maria SW. 2009. Mediasi Konflik
serta faktor membudayanya KKN yang sudah
Tanah. Jakarta: Kompas.
menjalar dalam tubuh pemerintahan di negara
ini dari pusat hingga daerah.Serta faktor lainnya
yang menjadi permasalahan adalah tidak adanya Sutedi, Adrian. 2009. Peralihan Hak atas Tanah
harmonisasi antara kepentingan ulayat yang dan Pendaftarannya. Jakarta: Sinar
bersifat sakral dengan kepentingan Negara di Grafika.
Nagekeo.

Syarief, Elza. 2012. Menuntaskan Konflik


Kepustakaan Pertanahan Melalui Pengadilan Khusus
Pertanahan. Jakarta: Kepustakaan Popular
Afrizal. 2006. Sosiologi Konflik Agraria Protes- Gramedia.
protes Agraria dalam Masyarakat
Indonesia Kontemporer. Padang: Andalas
University Press. Wahyudi. 2005. Formasi dan Struktur Gerakan
Sosial Petani, Studi Kasus : Reklaiming
atau Penjarahan Atas Tanah PTPN XII
Budiarjo, Mirriam. 2007. Dasar-Dasar Ilmu (Persero) Kalibakar Malang Selatan.
Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Malang: UMM Press.

Gautama, Sudargo. 1993. Tafsiran Undang- www. walhi. or. id, diakses pada 11 April 2014,
Undang Pokok Agraria. Bandung: Citra
Adtya Bakti.

Limbong, Bernhard. 2012. Konflik Pertanahan.


Jakarta: Margaretha Pustaka.

Manan, Munafrizal. 2005. Gerakan Rakyat


Melawan Elit. Yogyakarta: Resist Book.

Moleong, Lexy J. 2007. Metode Penelitian


Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mustain. 2007. Petani vs Negara: Gerakan Sosial


Petani Melawan Hegemoni Negara.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

JURNAL POLITIK 1666 VOL. 11 No. 02. 2015

Anda mungkin juga menyukai