Oleh:
Ali Mustaqim
Ah. Dalhar Mu’arif
Aini Shofwatil Lama’ah
Siti Ruqoiyah
A. PENDAHULUAN
Indonesia ditinjau dari aspek historis berada pada rumpun sistem hukum
Civil Law yang dibawa oleh Belanda pada masa pemerintahan kolonial Hindia
Belanda. Hukum kolonial pemerintahan Hindia Belanda berlaku sebagai hukum
nasional berdasarkan asas konkordansi melalui Pasal II Aturan Peralihan yang
telah diamandemen menjadi Pasa lI Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun seiring dengan perkembangan
situasi kondisi, dan kebutuhan yang nyata dalam kehidupan bernegara dewasa
ini, kaidah-kaidah system hokum Civil Law dirasakan sudah tidak diterapkan
secara utuh. Kaidah hokum Common Law dan kaidah hokum Islam saat ini sudah
banyak mempengaruhi pembangunan hokum di Indonesia.
Namun demikian, aturan umum mengenai hokum kontrak masih
berpedoman pada aturan yang merupakan warisan dari pemerintahan colonial
Hindia Belanda, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerd) atau
Burgerlijk Wetboek (BW) khususnya Buku III tentang Perikatan. Belanda sendiri,
sebagai Negara yang membawa BW ke Indonesia sudah mengganti dengan yang
baru, yaitu Nieuw Burgerlijk Wetboek (NBW) yang muatannya sudah sangat
berbeda dengan BW. NBW yang saat ini berlaku di belanda sebagai The Dutch
Civil Code sudah jauh lebih maju baik dari segi substansi maupun sistematika
sebagai koreksi atas kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam BW.
Dari uraian latar belakang permasalahan ini, tentunya kajian pembaruan
hokum kontrak/ persetujun di Indonesia sebagai upaya peningkatan
perdagangan dan transaksi bisnis merupakan hal yang menarik untuk dibahas.
Selanjutnya makalah ini hanya akan membahas seputar sumber hokum kontrak
yang menjadi unsure utama dalam pembentukan kaidah-kaidah hokum kontrak.
B. PEMBAHASAN
a. Gambaran Umum Hukum Kontrak
Sistem hukum adalah kesatuan utuh dari tatanan-tatanan yang terdiri dari
bagian-bagian atau unsur-unsur yang satu sama lain saling berhubungan dan
berkaitan secara erat. Untuk mencapai suatu tujuan kesatuan tersebut perlu
kerja sama antara bagian-bagian atau unsur-unsur tersebut menurut rencana
dan pola tertentu. Dalam sistem hukum yang baik tidak boleh terjadi
pertentangan-pertentangan atau tumpang tindih di antara bagian-bagian yang
ada. Jika pertentangan atau kontradiksi tersebut terjadi, sistem itu sendiri yang
menyelesaikan hingga tidak berlarut.
Hukum yang merupakan sistem tersusun atas sejumlah bagian yang
masing-masing juga merupakan sistem yang dinamakan subsistem. Kesemuanya
itu bersama-sama merupakan satu kesatuan yang utuh. Marilah kita mengambil
contoh sistem hukum positif Indonesia. Dalam sistem hukum positif Indonesia
tersebut terdapat subsistem hukum perdata, subsistem hukum pidana,
subsistem hukum tata negara, dan lain-lain yang satu sama lain saling berbeda.
Sistem hukum di dunia ini ada bermacam-macam, yang satu dengan lainnya
saling berbeda.
Kontrak (perjanjian) adalah suatu "peristiwa di mana seorang berjanji
kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan suatu hal ". (Subekti, 1983:1).
Melalui kontrak terciptalah perikatan atau hubungan hukum yang
menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak yang membuat
kontrak. Dengan kata lain, para pihak terikat untuk mematuhi kontrak yang telah
mereka buat tersebut. Dalam hal ini fungsi kontrak sama dengan perundang-
undangan, tetapi hanya berlaku khusus terhadap para pembuatnya saja. Secara
hukum, kontrak dapat dipaksakan berlaku melalui pengadilan. Hukum
memberikan sanksi terhadap pelaku pelanggaran kontrak atau ingkar janji
(wanprestasi).
Pengaturan tentang kontrak diatur terutama di dalam KUH Perdata (BW),
tepatnya dalam Buku III, di samping mengatur mengenai perikatan yang timbul
dari perjanjian, juga mengatur perikatan yang timbul dari undang-undang
misalnya tentang perbuatan melawan hukum.
Dalam KUH Perdata terdapat aturan umum yang berlaku untuk semua
perjanjian dan aturan khusus yang berlaku hanya untuk perjanjian tertentu saja
(perjanjian khusus) yang namanya sudah diberikan undang-undang. Contoh
perjanjian khusus : jual beli, sewa menyewa, tukar-menukar, pinjam-meminjam,
pemborongan, pemberian kuasa dan perburuhan.Selain KUH Perdata, masih ada
sumber hukum kontrak lainnya di dalam berbagai produk hukum. Misalnya :
Undang-undang Perbankan dan Keputusan Presiden tentang Lembaga
Pembiayaan. Di samping itu, juga dalam jurisprudensi misalnya tentang sewa
beli, dan sumber hukum lainnya.
Suatu asas hukum penting berkaitan dengan berlakunya kontrak adalah
asas kebebasan berkontrak. Artinya pihak-pihak bebas untuk membuat kontrak
apa saja, baik yang sudah ada pengaturannya maupun yang belum ada
pengaturannya dan bebas menentukan sendiri isi kontrak. Namun, kebebasan
tersebut tidak mutlak karena terdapat pembatasannya, yaitu tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.
Aspek-aspek kebebasan berkontrak dalam Pasal 1338 KUH Perdata (BW),
yang menyiratkan adanya 3 (tiga asas) yang seyogyanya dalam perjanjian :
1) Mengenai terjadinya perjanjian
Asas yang disebut konsensualisme, artinya menurut BW perjanijan hanya
terjadi apabila telah adanya persetujuan kehendak antara para pihak
(consensus, consensualisme).
2) Tentang akibat perjanjian
Bahwa perjanjian mempunyai kekuatan yang mengikat antara pihak-pihak
itu sendiri. Asas ini ditegaskan dalam Pasal 1338 ayat (1) BW yang menegaskan
bahwa perjanjian dibuat secara sah diantara para pihak, berlaku sebagai
Undang-Undang bagi pihak-pihak yang melakukan perjanjian tersebut.
3) Tentang isi perjanjian
Sepenuhnya diserahkan kepada para pihak (contractsvrijheid atau
partijautonomie) yang bersangkutan.
c. Penggolongannya
c. Madzhab Hukum
Berdasarkan sistem hukum dunia diatas, negara Indonesia termasuk
negara yang menganut sistem hukum Eropa kontinental. Hal ini dapat dilihat dari
sejarah dan politik hukumnya, sistem, sumber-sumber hukumnya maupun dalam
sistem penegakan hukumnya. Dapat digunakan sebagai contoh bahwa hukum
perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya
hukum perdata Belanda pada masa penjajahan. Bahkan Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (dikenal KUHPer.) yang berlaku di Indonesia tidak lain adalah
terjemahan yang kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek (atau dikenal dengan
BW)yang berlaku di kerajaan Belanda dan diberlakukan di Indonesia (dan
wilayah jajahan Belanda) berdasarkan azas konkordansi. Untuk Indonesia yang
saat itu masih bernama Hindia Belanda, BW diberlakukan mulai 1859. Hukum
perdata Belanda sendiri disadur dari hukum perdata yang berlaku di Perancis
dengan beberapa penyesuaian. Namun dalam pembentukan peraturan
perundangan yang berlaku sistem hukum Indonesia dipengaruhi oleh sistem
hukum adat dan juga sistem hukum Islam.
Sistem hukum eropa Kontinental menganut mazhab legisme dan
positivisme. Mazhab legisme adalah Mazhab/aliran ini menganggap bahwa
semua hukum terdapat dalam UU. Atau berarti hukum identik dengan UU. Hakim
dalam melakukan tugasnya terikat pada UU, sehingga pekerjaannya hanya
melakukan pelaksanaan UU belaka (wetstoepassing) . Aliran legisme demikian
besarnya menganggap kemampuan UU sebagai hukum, termasuk dalam
penyelesaian berbagai permasalahan sosial. Aliran ini berkeyakinan bahwa
semua persoalan sosial akan segera terselesaikan apabila telah dikeluarkan UU
yang mengaturnya. Menurut aliran ini UU adalah obat segala-galanya sekalipun
dalam kenyataannya tidak demikian.
Sedangkan Mazhab/ Aliran Positivisme Hukum (Rechtspositivisme) sering
juga disebut dengan aliran legitimisme. Aliran ini sangat mengagungkan hukum
tertulis. Menurut aliran ini tidak ada norma hukum diluar hukum positif. Semua
persoalan masyarakat diatur dalam hukum tertulis. Sehingga terkesan hakikat
dari aliran ini adalah penghargaan yang berlebihan terhadap kekuasaan yang
menciptakan hukum tertulis ini sehingga dianggap kekuasaan itu adalah sumber
hukum dan kekuasaan adalah hukum. Aliran ini dianut oleh John Austin (1790 –
1861, Inggris) menyatakan bahwa satu-satunya hukum adalah kekuasaan yang
tertinggi dalam suatu negara. Sedangkan sumber-sumber lain hanyalah sebagai
sumber yang lebih rendah. Sumber hukum itu adalah pembuatnya langsung
yaitu pihak yang berdaulat atau badan perundang-undangan yang tertinggi dan
semua hukum dialirkan dari sumber yang sama itu. Hukum yang bersumber dari
situ harus ditaati tanpa syarat, sekalipun terang dirasakan tidak adil. Menurut
Austin hukum terlepas dari soal keadilan dan dari soal buruk-baik. Karena itu
ilmu hukum tugasnya adalah menganalisis unsur-unsur yang secara nyata ada
dalam sistem hukum modern. Ilmu hukum hanya berurusan dengan hukum
positif yaitu hukum yang diterima tanpa memperhatikan kebaikan dan
keburukannya. Hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat
dalam suatu negara.
Aliran positivisme hukum ini memperkuat aliran legisme yaitu suatu aliran
tidak ada hukum diluar undang-undang. Undang-undang menjadi sumber hukum
satu-satunya. Namun demikian aliran positivisme bukanlah aliran legisme.
Perbedaannya terletak pada bahwa menurut aliran legisme hanya menganggap
undang-undang sebagai sumber hukum. Sedangkan aliran positivisme bukan
undang-undang saja sumber hukum tetapi juga kebiasaan, adat istiadat yang
baik dan pendapat masyarakat. Para ahli positivisme hukum berpendapat bahwa
karya-karya ilmiah para hukum tidak hanya mengenai hukum positif (hukum
yang berlaku) tetapi boleh berorientasi pada hukum kodrat atau hukum yang
lebih tinggi seperti yang dilakukan penganut hukum alam.
Selanjutnya sistem anglo saxon berorientasi pada Mazhab / Aliran Freie
Rechtsbegung. Aliran ini berpandangan secara bertolak belakang dengan aliran
legisme. Aliran ini beranggapan bahwa di dalam melaksanakan tugasnya
seorang hakim bebas untuk melakukan menurut UU atau tidak. Hal ini
disebabkan karena pekerjaan hakim adalah melakukan penciptaan hukum.
Akibatnya adalah memahami yurisprudensi merupakan hal yang primer di dalam
mempelajari hukum, sedangkan UU merupakan hal yang sekunder. Pada aliran
ini hakim benar-benar sebagai pencipta hukum (judge made law) karena
keputusan yang berdasar keyakinannya merupakan hukum dan keputusannya ini
lebih dinamis dan up to date karena senantiasa memperlihatkan keadaan dan
perkembangan masyarakat.
C. KESIMPULAN
Berdasarkan hal diatas nampak antara sistem hukum Eropa Kontinental
dengan anglo saxon mempunyai kelebihan dan kelemahan. Kelebihan sistem
eropa kontinental, sistem hukumnya tertulis dan terkodifikasi. Dengan
terkodifikasi tersebut tujuannya supaya ketentuan yang berlaku dengan mudah
dapat diketahui dan digunakan untuk menyelesaikan setiap terjadi peristiwa
hukum (kepastian hukum yang lebih ditonjolkan). Contoh tata hukum pidana
yang sudah dikodifikasikan (KUHP), jika terjadi pelanggaran tehadap hukum
pidana maka dapat dilihat dalam KUHPidana yang sudah dikodifikasikan
tersebut. Sedangkan kelemahannya adalah sistemnya terlalu kaku, tidak bisa
mengikuti perkembangan zaman karena hakim harus tunduk terhadap
perundang-undang yang sudah berlaku (hukum positif). Padahal untuk mencapai
keadilan masyarakat hukum harus dinamis. Kelebihan sistem hukum Anglo
Saxon adalah hakim diberi wewenang untuk melakukan penciptaan hukum
melalui yurisprudensi (judge made law). Berdasarkan keyakinan hati nurani dan
akal sehatnya keputusannya lebih dinamis dan up to date karena senantiasa
memperlihatkan keadaan dan perkembangan masyarakat. Kelemahannya adalah
tidak ada jaminan kepastian hukumnya. Jika hakim diberi kebebasan untuk
melakukan penciptaan hukum dikhawatirkan ada unsur subjektifnya. Kecuali
hakim tersebut sudah dibekali dengan integritas dan rasa keadilan yang tinggi.
Untuk negara-negara berkembang yang tingkat korupsinya tinggi tentunya
sistem hukum anglo saxon kurang tepat dianut.