TINJAUAN PUSTAKA
Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi, dan seringkali juga
sangat berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus pasangannya. Ukuran rata-rata
sinus frontal yaitu tinggi 3 cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm dan isi rata-rata 6-
7 ml. Dinding depan sinus frontal hampir selalu diploik, terutama pada bagian luar
atau sudut infero-lateral dan pada sulkus superior tempat pertemuan dinding
anterior dan posterior (Benninger, 2003). Dinding medial sinus merupakan
septum sinus tulang interfrontalis yang biasanya berada dekat garis tengah, tetapi
biasanya berdeviasi pada penjalarannya ke posterior, sehingga sinus yang satu
bisa lebih besar daripada yang lain. Sinus frontalis bermuara ke dalam meatus
medius melalui duktus nasofrontalis. Kadang-kadang kedua sinus frontalis tidak
terbentuk atau yang lebih lazim tidak terbentuk salah satu sinus (Hilger, 1997).
Sinus maksilaris disebut juga antrum Highmore, yang telah ada saat lahir.
Saat lahir sinus bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan
akhirnya mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml saat dewasa. Merupakan sinus
terbesar dan terletak di maksila pada pipi yang berbentuk segitiga. Dinding
anterior sinus adalah permukaan fasial os maksilaris yang disebut fosa
kanina,dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksilaris, dinding
medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar
orbita dan dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium
sinus maksilaris berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke
hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid.
Rinosinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi akibat alergi
atau infeksi karena bakteri, virus atau jamur. Secara klinis rinosinusitis dapat
dibahagikan kepada 3 yaitu ; rinosinusiitis akut apabila gejalanya berlangsung dari
beberapa hari sampai 4 minggu, rinosinusitis subakut apabila gejalanya
berlangsung dari 4 minggu sampai 3 bulan dan rinosinusitis kronis apabila
gejalanya berlangsung lebih dari 3 bulan (Mangunkusumo dan Rifki, 2003).
Terdapat 4 jenis sinus yaitu sinus frontalis, maksilaris, etmoidalis dan sfenoidalis.
Apabila rinosinusitis terjadi pada beberapa sinus,maka ia dikenali sebagai
multisinusitis,sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal dikenal sebagai
pansinusitis (Rosenfeld, 2007).
a. Virus
b. Bakteri
c. Jamur
Aspergilosis adalah salah satu jamur yang paling sering dijumpai pada
infeksi virus paranasal dengan ciri khas sekret mukopurulen yang berwarna hijau
kecoklatan. Mukormikosis pula merupakan infeksi oppurtunistik ganas yang dapat
berkembang menjadi patogenik pada orang yang menderita asidosis diabetik dan
imunosupresi. Pada penderita ini dijumpai sekret warna pekat,gelap, berdarah dan
gambaran konka yang berwarna hitam atau merah bata. Candida bersama
histoplasmosis, koksidoimilosis, sporotrikosis, serokosporamikosis dan
blastomikosis adalah kasus yang jarang mengenai hidung. (Boeis, 1997)
d. Alergi
f. Hormonal
Pada penelitian Sobot et al didapati bahwa 61% wanita yang hamil pada
trimester pertama menderita nasal congestion. Namun patogenesisnya masih
belum jelas. (Brook, 2012)
g. Lingkungan
Perubahan mukosa dan kerusakan silia dapat terjadi apabila terpapar pada
oleh lingkungan yang berpolusi, udara dingin dan kering. Kebiasaan merokok
juga memicu hal yang sama. (Mangunkusumo E, 2007)
2.2.3. Patofisiologi
2.2.4. KLASIFIKASI
• Rinosinusitis kronis : durasi terkena rinosinusitis sama atau lebih dari 12 minggu
• Rinosinusitis rekuren : menderita sama dengan atau lebih dari 4 kali menderita
menyebabkan sinusitis.
• Gejala Mayor :
- Obstruksi hidung
- Sekret pada daerah hidung/ sekret belakang hidung yang sering disebut
• Gejala Minor:
- Sakit kepala
- Sakit gigi
- Lemah
Gejala Subjektif
1. Nyeri
Nyeri yang timbul bersesuaian dengan daerah sinus yang terkena. Pada
peradangan yang aktif bagian sinus maksila atau frontalis nyerinya biasanya
sesuai dengan daerah yang terkena. Manakala pada sinus etmoid dan sfenoid
yang letaknya lebih dalam, nyeri terasa jauh di dalam kepala. Tidak begitu
jelas lokasi nyeri atau disebarkan ke perifer kepala di daerah yang tidak ada
hubungan dengan lokasi sinus.
2. Sakit kepala
Pada penyakit sinus, jenis sakit kepalanya sering unilateral atau dimulai
sebagai nyeri kepala unilateral dan meluas ke sisi lainnya. Sakit kepala akan
meningkat pada posisi badan yang membungkuk ke depan dan jika terjadi
perubahan posisi secara tiba-tiba. Nyeri kepala akan menetap saat menutup
mata dan saat istirahat. Sakit kepala akibat sinus juga dikatakan sebagai nyeri
yang tajam, menusuk-nusuk, melalui mata atau nyeri dan rasa berat yang
menetap.
4. Gangguan penciuman
Keluhan yang paling sering adalah kehilangan sensasi penciuman.
Gejala Objektif
2. Sekret nasal
Kecurigaan terdapatnya peradangan pada sinus seharusnya sudah timbul
apabila adanya pus dalam rongga hidung. Pada sinus frontal, etmoid anterior
dan maksila, tandanya adalah terdapatnya pus pada meatus medius karena
sinus-sinus ini bermuara ke dalam meatus medius. Jika pus terletak di fisura
olfaktorius, maka sel-sel etmoid posterior dan sfenoid mungkin terkena karena
sel-sel tersebut berdrainase ke dalam meatus superior di atas konka medius.
3. Transiluminasi
Transiluminasi sinus memberikan informasi objektif atas kondisi sinus
maksila dan frontal, tetapi tidak untuk sinus lainnya. Digunakan apabila tiada
fasilitas radiologis. Pada transiluminasi sinus, di dalam kamar gelap, suatu
sumber cahaya diletakkan dalam mulut pasien dengan mata pasien terbuka.
Apabila refleks pupil merah dan bayangan sinar bulan sabit tidak ada maka
kemungkinan sinus maksila terkena. Transiluminasi pada sinus frontal, cahaya
diletakkan di bawah dasar sinus frontal pada sudut atas dan dalam orbita, dan
kedua sisi dibandingkan.
4. Cairan radioopak
Untuk sinus maksila dan sfenoid hal ini mempunyai arti yang besar.
Dengan adanya cairan itu, rongga sinus tampak jelas tergambar, sehingga
penebalan mukosa dan adanya polip dapat diketahui dan ketidaksamaan
ukuran dapat tergambar dengan jelas.( Rosenfeld ,2007)
2.2.6. DIAGNOSA
Gambaran klinis
Kriteria rinosinusitis akut dan kronik pada penderita dewasa dan anak
berdasarkan gambaran klinik, yaitu:
Tabel 2.1. Kriteria rinosinusitis akut dan kronik pada anak dan dewasa menurut
International Conference on Sinus Disease 1993 & 2004 (Kennedy,1995)
No Kriteria Rinosinusitis Akut Rinosinusitis Kronik
Dewasa Anak Dewasa Anak
1 Lama gejala dan tanda < 12 <12 > 12 > 12
minggu minggu minggu minggu
2 Jumlah episode serangan akut, < 4 kali / < 6 kali / > 4 kali / > 6 kali /
masing-masing berlangsung tahun tahun tahun tahun
minimal 10 hari
3 Jumlah episode serangan akut, Dapat sembuh Tidak dapat sembuh
masing-masing berlangsung sempurna dengan sempurna dengan
minimal 10 hari pengobatan pengobatan
medikamentosa medikamentosa
Rinoskopi anterior
Rinoskopi anterior adalah alat dasar untuk pemeriksaan fisik yang paling spesifik
yang berkaitan dengan keadaan patologis pada daerah sinunasal. Ia adalah
pemeriksaan yang tepat untuk mengevaluasi pasien sebelum dan sesudah
pemakaian dekongestan topikal. Sebelum dekongesti, pemeriksa mengevaluasi
permukaaan anterior nasal. Biasanya hanya setelah dekongesti, middle turbinate
dapat divisualisasi secara jelas. (Benninger, 2003).
Endoskopi nasal
Di samping memainkan peranan yang penting dalam mendiagnosa
rinosinusitis, endoskopi nasal juga dapat membantu dalam pemberian terapi yang
tepat. Sebilangan besar dokter menggunakan menggunakan endoskopi nasal
karena alasan yang berikut :
Pemeriksaan mikrobiologi
Biakan dari hasil yang berasal dari hidung bagian posterior dan nasofaring
biasanya lebih akurat dibandingkan dengan biakan hidung bagian anterior. Namun
demikian, pengambilan biakan hidung bagian posterior juga lebih sulit. Biakan
bakteri spesifik pada sinusitis dilakukan dengan mengaspirasi pus dari sinus yang
terkena. Pemeriksaan ini sering dilakukan untuk mencari antibiotik yang sesuai
untuk membasmi mikroorganisma penyebab penyakit ini. (Brown, 2008)
MRI
Walaupun MRI tidak dapat menunjukkan anatomi tulang sinus paranasal
seperti CT scan, namun MRI dapat menunjukkan kelainan pada mukosa dengan
baik. (Rosenfeld,2007)
2.2.7. Terapi
1. Rinosinusitis akut
Bagi pengobatan rinosinusitis akut, antibiotik empirik diberikan 2x24 jam. Di
sini,obat lini I golongan penisilin atau cotrimoxazol dan terapi tambahan seperti
dekongestan oral + topikal, mukolitik digunakan untuk memperlancarkan
drainase. Analgetik juga dapat diberikan untuk menghilangkan rasa nyeri. Jika
terdapat pembaikan, maka pemberian harus diteruskan selama 10-14 hari. Namun,
apabila tidak ada kebaikan, antibiotik lini II diberikan selama 7 hari seperti
amoksisilin klavulanat, atau ampisilin sulbaktam, sefalosporin generasi II,
makrolid dan terapi tambahan. Setelah pemberian pengobatan ini terdapat
pembaikan, maka pemberian antibiotik diteruskan selama 10-14 hari. Namun
apabila tidak terdapat pembaikan, maka pasien harus dijalani foto rontgen polos,
CT scan atau naso-endoskopi. Menurut pemeriksaan ini,jika terdapat
kelainan,seterusnya dilakukan terapi rinosinusitis kronis. Jika tidak terdapat
kelainan, maka harus dilakukan evaluasi diagnosa yakni evaluasi komprehensif
alergi dan kultur dari sinus. (McCort,2005)
2. Rinosinusitis subakut
Pertama sekali harus diberikan pengobatan medikamentosa, dan apabila perlu
sahaja maka dibantu dengan tindakan diatermi atau pencucian sinus. Dari segi
pengobatan, antibiotik berspektrum luas diberikan sesuai dengan resistensi kuman
selama 10-14 hari. Selain itu, obatan simptomatis juga dapat diberikan seperti
dekongestan. Obatan seperti analgetik, antihistamin dan mukolitik juga dapat
diberikan kepada pasien. Tindakan diatermi dengan sinar gelombang pendek
(Ultra Short Wave Diathermy) dilakukan sebanyak 5 hingga 6 kali pada daerah
yang sakit untuk memperbaiki atau melancarkan vaskularisasi sinus. Setelah
tindakan ini masih tidak ada pembaikan, maka harus dilakukan pencucian sinus.
Pada sinus maksila, ini dilakukan dengan pungsi irigasi manakala pada sinus
etmoid, frontal atau sfenoid yang letak muaranya di bawah, dilakukan dengan cuci
sinus cara Proetz,di mana prinsip kerjanya adalah dengan membuat tekanan
negatif dalam rongga hidung dan sinus paranasal. . (Hansen, 2011)
3. Rinosinusitis kronis
Pada penatalaksanaan rinosinusitis, jika diketemukan faktor predisposisi,
dapat dilakukan tatalaksana yang sesuai bersama terapi tambahan. Jika terdapat
perbaikan setelah pemberian terapi, maka antibiotik yang diberi harus diteruskan
selama 10-14 hari. Jika faktor predisposisi tidak diketemui, maka pemberian
terapi sesuai episode akut lini II dan terapi tambahan dapat diberikan. Sambil
menunggu hasil pemberian terapi, pasien dapat diberi antibiotik alternatif 7 hari
atau dilakukan kultur. Jika ada pembaikan, diteruskan pemberian antibiotic
selama 10-14 hari. Namun, jika tidak ada pembaikan, maka diteruskan proses
evaluasi dengan pemeriksaan naso-endoskopi, sinuskopi (jika irigasi sebanyak 5
kali tidak membaik). Jika terdapat obstruksi osteo meatal, maka dilakukan
tindakan bedah yaitu BSEF atau bedah konvensional. Walaubagaimanapun, jika
tidak ada obstruksi kompleks osteo meatal, maka dilakukan kembali evaluasi
diagnosa.
2.2.9. Komplikasi
a. Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Ini terjadi pada isi orbita
akibat infeksi sinus ethmoidalis di dekatnya. Keadaan ini sering
ditemukan pada anak, karena lamina papirasea yang memisahkan
orbita dan sinus ethmoidalis sering kali merekah pada kelompok umur
ini.
b. Selulitis orbita,di mana edema bersifat difus dan bakteri telah secara
aktif menginvasi isi orbita namun pus masih belum terbentuk.
c. Abses subperiosteal, pus telah terkumpul diantara periorbita dan
dinding tulang orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.
d. Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan
isi orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan
kebutaan unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot
ekstraokular mata yang tersering dan kemosis konjungtiva merupakan
tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin bertambah.
e. Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri
melalui saluran vena kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk
suatu tromboflebitis septik. (Herawati, 2004)
2. kelainan intracranial
4. mukokel
Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam
sinus, Kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut
sebagai kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya. Dalam sinus frontalis,
ethmoidalis dan sfenoidalis, kista ini dapat membesar dan melalui atrofi tekanan,
mengikis struktur sekitarnya. Kista ini dapat bermanifestasi sebagai
pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat menggeser mata ke
lateral. Dalam sinus sfenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan gangguan
penglihatan dengan menekan saraf didekatnya (Hilger, 1997).
5. piokel