Anda di halaman 1dari 18

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Sinus

2.1.1. Sinus Frontalis

Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi, dan seringkali juga
sangat berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus pasangannya. Ukuran rata-rata
sinus frontal yaitu tinggi 3 cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm dan isi rata-rata 6-
7 ml. Dinding depan sinus frontal hampir selalu diploik, terutama pada bagian luar
atau sudut infero-lateral dan pada sulkus superior tempat pertemuan dinding
anterior dan posterior (Benninger, 2003). Dinding medial sinus merupakan
septum sinus tulang interfrontalis yang biasanya berada dekat garis tengah, tetapi
biasanya berdeviasi pada penjalarannya ke posterior, sehingga sinus yang satu
bisa lebih besar daripada yang lain. Sinus frontalis bermuara ke dalam meatus
medius melalui duktus nasofrontalis. Kadang-kadang kedua sinus frontalis tidak
terbentuk atau yang lebih lazim tidak terbentuk salah satu sinus (Hilger, 1997).

2.1.2. Sinus Maksilaris

Sinus maksilaris disebut juga antrum Highmore, yang telah ada saat lahir.
Saat lahir sinus bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan
akhirnya mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml saat dewasa. Merupakan sinus
terbesar dan terletak di maksila pada pipi yang berbentuk segitiga. Dinding
anterior sinus adalah permukaan fasial os maksilaris yang disebut fosa
kanina,dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksilaris, dinding
medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar
orbita dan dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium
sinus maksilaris berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke
hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid.

Sinus maksilaris ini sering terinfeksi oleh karena merupakan sinus


paranasalis yang terbesar, letak ostiumnya yang lebih tinggi dari dasar sehingga
aliran sekret dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia, dasar dari
anatomi sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu P1
dan P2 dan M1, M2 dan M3, kadang-kadang juga gigi caninus, bahkan akar-akar
gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke
atas menyebabkan sinusitis dan karena ostium sinus maksila terletak di meatus
medius, di sekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga mudah tersumbat
(Mangunkusumo dan Rifki, 2007).

2.1.3. Sinus Etmoidalis

Sinus etmoid pada orang dewasa berbentuk seperti piramid dengan


dasarnya pada bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior adalah 4-5
cm, tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di anterior sedangkan di bagian posterior
1,5 cm. (Soetjipto, 2007). Sinus etmoidalis berongga-rongga, terdiri dari sel-sel
yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os
etmoid, yang terletak diantara konka media dan dinding medial orbita.
Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang
bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus
superior dengan perlekatan konka media. Di bagian terdepan sinus etmoid anterior
ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus
frontal. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut
infundibulum, tempat bermuaranya sinus ostium sinus maksila. Pembengkakan
atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan
pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila (Soetjipto
dan Mangunkusumo, 2007).

2.1.4. Sinus Sfenoidalis

Sinus sfenoid terletak di os sfenoid, di belakang sinus etmoid posterior.


Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang jarang terletak di tengah disebut septum
intersfenoid. (Soetjipto, 2007). Ukuran sinus ini kira-kira pada saat usia 1 tahun
2,5 x 2,5 x 1,5, pada usia 9 tahun 15 x 12 x 10,5 mm. Isi rata-rata sekitar 7,5 ml
(0,05-30 ml). (Benninger, 2003). Batas-batasnya ialah sebelah superior terdapat
fossa serebri dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah
lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna dan di
sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.

Gambar 2.1. Anatomi hidung dan sinus (Hilger, 1997)


Gambar 2.2. Lokasi sinus dari depan, samping dan belakang (Hazenfield, 2009)

2.2.1. Definisi Rinosinusitis

Rinosinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi akibat alergi
atau infeksi karena bakteri, virus atau jamur. Secara klinis rinosinusitis dapat
dibahagikan kepada 3 yaitu ; rinosinusiitis akut apabila gejalanya berlangsung dari
beberapa hari sampai 4 minggu, rinosinusitis subakut apabila gejalanya
berlangsung dari 4 minggu sampai 3 bulan dan rinosinusitis kronis apabila
gejalanya berlangsung lebih dari 3 bulan (Mangunkusumo dan Rifki, 2003).
Terdapat 4 jenis sinus yaitu sinus frontalis, maksilaris, etmoidalis dan sfenoidalis.
Apabila rinosinusitis terjadi pada beberapa sinus,maka ia dikenali sebagai
multisinusitis,sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal dikenal sebagai
pansinusitis (Rosenfeld, 2007).

2.2.2. ETIOLOGI DAN FAKTOR PREDISPOSISI

a. Virus

Virus yang lebih sering menyebabkan rinosinusitis adalah rhinovirus, virus


parainfluenza, respiratory syncitial virus (RSV) dan virus influenza. Setiap virus
mempunyai banyak serotype yang mempunyai potensi tersendiri untuk
memperparahkan infeksi tersebut. Infeksi akibat rhinovirus merupakan penyebab
tersering rinosinusitis pada orang dewasa dan memuncak pada musim gugur. RSV
dan influenza pula akan merusak silia pernafasan pada saat musim dingin dan di
awal musim semi.

b. Bakteri

Bakteri patogen yang sering menyebabkan rinosinusitis bakteri akut adalah


S. pneumoniae dan H. influenza. Patogen ini menjadi penyebab utama terjadinya
rinosinusitis sejak kali pertama dilakukan penelitian. Sedangkan patogen yang
sering pada rinosinusitis bakteri kronis adalah s. aureus, staphylococcus
koagulase negative, bakteri anaerob dan bakteri gram negative. (Brown, 2008)

c. Jamur

Aspergilosis adalah salah satu jamur yang paling sering dijumpai pada
infeksi virus paranasal dengan ciri khas sekret mukopurulen yang berwarna hijau
kecoklatan. Mukormikosis pula merupakan infeksi oppurtunistik ganas yang dapat
berkembang menjadi patogenik pada orang yang menderita asidosis diabetik dan
imunosupresi. Pada penderita ini dijumpai sekret warna pekat,gelap, berdarah dan
gambaran konka yang berwarna hitam atau merah bata. Candida bersama
histoplasmosis, koksidoimilosis, sporotrikosis, serokosporamikosis dan
blastomikosis adalah kasus yang jarang mengenai hidung. (Boeis, 1997)

d. Alergi

Rinitis adalah suatu reaksi alergi yang diperantarai oleh imunoglobulin.


Reaksi ini melibatkan suatu antibodi, biasanya IgE, yang mana bagian Fc antibodi
melekat pada suatu sel yang mengandung mediator atau prekursornya (sel mast,
basofil, eosinofil, makrofag). Bagian Fab dari antibodi ini berinteraksi dengan
alergen spesifik dan akibatnya terjadi aktivasi beberapa enzim membran. Hasil
pembelahan enzimatik menyebabkan pelepasan mediator seperti histamin,
prostaglandin dan leukotrien. Mediator ini menyebabkan suatu reaksi tipe segera
yang timbul , misalnya edema. Selain itu, juga akan terjadi reaksi lambat yang
selanjutnya cenderung terjadi akibat pelepasan mediator dari sel mast dan
demikian pula eosinofil, makrofag dan trombosit. (Boeis, 1997).

e. Kelainan anatomi dan struktur hidung

Kelainan anatomi hidung dan sinus dapat mengganggu fungsi mukosiliar


secara lokal. Jika permukaan mukosa yang saling berhadapan mendekat atau
bertemu satu sama lain, maka aktivitas silia akan terhenti. Deviasi septum, polip,
konka bulosa atau kelainan struktur lain di daerah kompleks osteomeatal dan
ostium sinus dapat menghalangi transportasi mukosiliar. (Hilger, 1997)

f. Hormonal

Pada penelitian Sobot et al didapati bahwa 61% wanita yang hamil pada
trimester pertama menderita nasal congestion. Namun patogenesisnya masih
belum jelas. (Brook, 2012)

g. Lingkungan

Perubahan mukosa dan kerusakan silia dapat terjadi apabila terpapar pada
oleh lingkungan yang berpolusi, udara dingin dan kering. Kebiasaan merokok
juga memicu hal yang sama. (Mangunkusumo E, 2007)

2.2.3. Patofisiologi

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan


lancarnya “clearance” mukosiliar didalam sumbatan kompleks osteo meatal
(KOM). Mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang
berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk
bersama udara pernapasan. (Hilger, 1997).

Organ-organ yang membentuk kompleks osteo meatal terletak berdekatan,


maka apabila terjadi edema, mukosa yang saling berhadapan akan bertemu
sehingga menyebabkan gerakan silia terhambat dan ostium tersumbat. Akibatnya
muncul tekanan negative di dalam rongga sinus yang seterusnya menyebabkan
terjadinya transudasi. Efek awal yang ditimbulkan adalah keluarnya cairan serous.
Apabila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus akan
menjadi media pembiakan yang baik bagi pertumbuhan bakteri. Efek dari
kejadian ini adalah sekret menjadi purulen. Kini keadaan ini dikenali sebagai
rinosinusitis akut yang disebabkan oleh bakteri dan memerlukan terapi antibakteri.

Jikalau terapi tidak berhasil, maka inflamasi akan berlanjut sehingga


terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa semakin membengkak
dan siklus ini seterusnya berputar sampai akhirnya terjadi perubahan mukosa yang
kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan
ini mungkin peril dilakukan tindakan operasi. (Mangunkusumo E, 2007)

Gambar 2.3 Kompleks Osteo Meatal. (Hazenfield, 2009)

2.2.4. KLASIFIKASI

Secara klinis rinosinusitis terbagi atas:

• Rinosinusitis akut : durasi terkena rinosinusitis dibawah 4 minggu


• Rinosinusitis subakut : durasi terkena rinosinusitis dari 4 minggu 12 minggu.

• Rinosinusitis kronis : durasi terkena rinosinusitis sama atau lebih dari 12 minggu

• Rinosinusitis rekuren : menderita sama dengan atau lebih dari 4 kali menderita

episode rinosinusitis, tapi episode lebih kurang durasinya

7-10 hari. (Mangunkusomo, 2007)

Berdasarkan penyebabnya rinosinusitis terbagi atas:

• Sinusitis rinogen : penyebabnya adalah kelainan atau masalah di hidung. Segala

sesuatu yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat

menyebabkan sinusitis.

• Sinusitis dentogen : penyebabnya adalah kelainan gigi yang sering menyebabkan

sinusitis seperti infeksi pada gigi geraham atas (pre molar

dan molar). (Mangunkusomo, 2007).

2.2.5. GEJALA KLINIS

Setiap gejala rinosinusitis, keparahan dan durasinya harus didokumentasi.


The American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery (AAO-HNS)
telah membuat kriteria mayor dan minor untuk mempermudahkan mendiagnosa
rinosinusitis. Rinosinusitis dapat didiagnosa apabila dijumpai dua atau lebih
kriteria mayor atau satu kriteria mayor ditambah dua atau lebih kriteria minor.
Gejalanya menurut kriteria mayor dan minor adalah:

• Gejala Mayor :

- Obstruksi hidung
- Sekret pada daerah hidung/ sekret belakang hidung yang sering disebut

PND (Postnasal drip).

- Kongesti pada daerah wajah

- Nyeri /rasa tertekan pada wajah

- Kelainan penciuman(Hiposmia / anosmia)

- Demam (hanya pada akut)

• Gejala Minor:

- Sakit kepala

- Sakit/ rasa penuh pada telinga

- Halitosis/ nafas berbau

- Sakit gigi

- Batuk dan iritabilitas

- Demam (semua nonakut)

- Lemah

Gejala Subjektif

1. Nyeri
Nyeri yang timbul bersesuaian dengan daerah sinus yang terkena. Pada
peradangan yang aktif bagian sinus maksila atau frontalis nyerinya biasanya
sesuai dengan daerah yang terkena. Manakala pada sinus etmoid dan sfenoid
yang letaknya lebih dalam, nyeri terasa jauh di dalam kepala. Tidak begitu
jelas lokasi nyeri atau disebarkan ke perifer kepala di daerah yang tidak ada
hubungan dengan lokasi sinus.
2. Sakit kepala
Pada penyakit sinus, jenis sakit kepalanya sering unilateral atau dimulai
sebagai nyeri kepala unilateral dan meluas ke sisi lainnya. Sakit kepala akan
meningkat pada posisi badan yang membungkuk ke depan dan jika terjadi
perubahan posisi secara tiba-tiba. Nyeri kepala akan menetap saat menutup
mata dan saat istirahat. Sakit kepala akibat sinus juga dikatakan sebagai nyeri
yang tajam, menusuk-nusuk, melalui mata atau nyeri dan rasa berat yang
menetap.

3. Nyeri pada penekanan


Pada penyakit sinus yang berhubungan dengan permukaan wajah seperti
sinus frontal, etmoid anterior dan maksila, terdapat nyeri apabila disentuh atau
nyeri pada penekanan jari. Nyeri tekan pada os frontal apabila ada penekanan
di sudut medial rongga orbita. Pada pemeriksaan sel-sel etmoid anterior,
tekanan dilakukan pada sudut medial orbital pada planum orbita os etmoid.
Pada pemeriksaan sinus maksila, harus dilakukan penekanan pada fosa kanina
os maksila superior.

4. Gangguan penciuman
Keluhan yang paling sering adalah kehilangan sensasi penciuman.

Gejala Objektif

1. Pembengkakan dan edema


Pada infeksi akut sinus yang berbatasan dengan kulit (frontal, maksila dan
etmoid) dapat terjadi pembengkakan dan edema kulit yang ringan akibat
periostitis. Pada palpasi dengan jari boleh didapatkan sensasi seperti ada
penebalan ringan. Pembengkakan ini lebih sering pada sinus frontal.

2. Sekret nasal
Kecurigaan terdapatnya peradangan pada sinus seharusnya sudah timbul
apabila adanya pus dalam rongga hidung. Pada sinus frontal, etmoid anterior
dan maksila, tandanya adalah terdapatnya pus pada meatus medius karena
sinus-sinus ini bermuara ke dalam meatus medius. Jika pus terletak di fisura
olfaktorius, maka sel-sel etmoid posterior dan sfenoid mungkin terkena karena
sel-sel tersebut berdrainase ke dalam meatus superior di atas konka medius.

3. Transiluminasi
Transiluminasi sinus memberikan informasi objektif atas kondisi sinus
maksila dan frontal, tetapi tidak untuk sinus lainnya. Digunakan apabila tiada
fasilitas radiologis. Pada transiluminasi sinus, di dalam kamar gelap, suatu
sumber cahaya diletakkan dalam mulut pasien dengan mata pasien terbuka.
Apabila refleks pupil merah dan bayangan sinar bulan sabit tidak ada maka
kemungkinan sinus maksila terkena. Transiluminasi pada sinus frontal, cahaya
diletakkan di bawah dasar sinus frontal pada sudut atas dan dalam orbita, dan
kedua sisi dibandingkan.

4. Cairan radioopak
Untuk sinus maksila dan sfenoid hal ini mempunyai arti yang besar.
Dengan adanya cairan itu, rongga sinus tampak jelas tergambar, sehingga
penebalan mukosa dan adanya polip dapat diketahui dan ketidaksamaan
ukuran dapat tergambar dengan jelas.( Rosenfeld ,2007)
2.2.6. DIAGNOSA

Gambaran klinis
Kriteria rinosinusitis akut dan kronik pada penderita dewasa dan anak
berdasarkan gambaran klinik, yaitu:
Tabel 2.1. Kriteria rinosinusitis akut dan kronik pada anak dan dewasa menurut
International Conference on Sinus Disease 1993 & 2004 (Kennedy,1995)
No Kriteria Rinosinusitis Akut Rinosinusitis Kronik
Dewasa Anak Dewasa Anak
1 Lama gejala dan tanda < 12 <12 > 12 > 12
minggu minggu minggu minggu
2 Jumlah episode serangan akut, < 4 kali / < 6 kali / > 4 kali / > 6 kali /
masing-masing berlangsung tahun tahun tahun tahun
minimal 10 hari
3 Jumlah episode serangan akut, Dapat sembuh Tidak dapat sembuh
masing-masing berlangsung sempurna dengan sempurna dengan
minimal 10 hari pengobatan pengobatan
medikamentosa medikamentosa

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan
posterior, pemeriksaan nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang
lebih tepat dan dini. Tanda khas adalah adanya pus di meatus medius atau di
daerah meatus superior. (Mangunkusumo dan Rifki).

Rinoskopi anterior
Rinoskopi anterior adalah alat dasar untuk pemeriksaan fisik yang paling spesifik
yang berkaitan dengan keadaan patologis pada daerah sinunasal. Ia adalah
pemeriksaan yang tepat untuk mengevaluasi pasien sebelum dan sesudah
pemakaian dekongestan topikal. Sebelum dekongesti, pemeriksa mengevaluasi
permukaaan anterior nasal. Biasanya hanya setelah dekongesti, middle turbinate
dapat divisualisasi secara jelas. (Benninger, 2003).
Endoskopi nasal
Di samping memainkan peranan yang penting dalam mendiagnosa
rinosinusitis, endoskopi nasal juga dapat membantu dalam pemberian terapi yang
tepat. Sebilangan besar dokter menggunakan menggunakan endoskopi nasal
karena alasan yang berikut :

- Gejala-gejala pasien sahaja tidak dapat menjadi patokan untuk


mendiagnosa.
- Endoskopi merupakan fasilitas diagnostik yang lebih baik dan dapat
mendeteksi kelainan yang tidak diketemukan pada saat anamnesa,
pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan pencitraan.
- Perubahan warna hijau kekuningan tampak pada permukaan nasal.
- Kultur endoskopik berguna untuk organisme yang menyebabkan
rinosinusitis. (Rosenfeld, 2007).

Pemeriksaan mikrobiologi
Biakan dari hasil yang berasal dari hidung bagian posterior dan nasofaring
biasanya lebih akurat dibandingkan dengan biakan hidung bagian anterior. Namun
demikian, pengambilan biakan hidung bagian posterior juga lebih sulit. Biakan
bakteri spesifik pada sinusitis dilakukan dengan mengaspirasi pus dari sinus yang
terkena. Pemeriksaan ini sering dilakukan untuk mencari antibiotik yang sesuai
untuk membasmi mikroorganisma penyebab penyakit ini. (Brown, 2008)

Foto polos kavitas nasal dan sinus paranasal


Rinosinusitis menunjukkan gambaran berupa :
1. Penebalan mukosa,
2. Opasifikasi sinus ( berkurangnya pneumatisasi)
3. Gambaran air fluid level yang khas akibat akumulasi pus yang dapat dilihat
pada foto waters.
Bagaimanapun juga, harus diingat bahwa foto polos ini memiliki
kekurangan dimana foto polos gagal menunjukkan anatomi sinus yang diperlukan
dan gagal menunjukkan peradangan yang meluas. (Rosenfeld, 2007).
CT csan
CT scan adalah pemeriksaan yang dapat memberikan gambaran yang paling
baik akan adanya kelainan pada mukosa dan variasi antominya tulang yang
relevan untuk mendiagnosis sinusitis kronis maupun akut. Walaupun demikian,
harus diingat bahwa CT scan menggunakan dosis radiasi yang sangat besar, yang
berbahaya bagi mata.(Rosenfeld, 2007).

MRI
Walaupun MRI tidak dapat menunjukkan anatomi tulang sinus paranasal
seperti CT scan, namun MRI dapat menunjukkan kelainan pada mukosa dengan
baik. (Rosenfeld,2007)

2.2.7. Terapi

Tujuan terapi rinosinusitis adalah untuk mempercepatkan penyembuhan,


mencegah komplikasi, dan mencegah progresifitas penyakit menjadi lebih kronik.
Prinsip kerja pengobatan rinosinusitis adalah dengan membuka sumbatan di
kompleks osteo meatal sehingga drainase dan ventilasi sinus dipulihkan secara
alami.

1. Rinosinusitis akut
Bagi pengobatan rinosinusitis akut, antibiotik empirik diberikan 2x24 jam. Di
sini,obat lini I golongan penisilin atau cotrimoxazol dan terapi tambahan seperti
dekongestan oral + topikal, mukolitik digunakan untuk memperlancarkan
drainase. Analgetik juga dapat diberikan untuk menghilangkan rasa nyeri. Jika
terdapat pembaikan, maka pemberian harus diteruskan selama 10-14 hari. Namun,
apabila tidak ada kebaikan, antibiotik lini II diberikan selama 7 hari seperti
amoksisilin klavulanat, atau ampisilin sulbaktam, sefalosporin generasi II,
makrolid dan terapi tambahan. Setelah pemberian pengobatan ini terdapat
pembaikan, maka pemberian antibiotik diteruskan selama 10-14 hari. Namun
apabila tidak terdapat pembaikan, maka pasien harus dijalani foto rontgen polos,
CT scan atau naso-endoskopi. Menurut pemeriksaan ini,jika terdapat
kelainan,seterusnya dilakukan terapi rinosinusitis kronis. Jika tidak terdapat
kelainan, maka harus dilakukan evaluasi diagnosa yakni evaluasi komprehensif
alergi dan kultur dari sinus. (McCort,2005)

2. Rinosinusitis subakut
Pertama sekali harus diberikan pengobatan medikamentosa, dan apabila perlu
sahaja maka dibantu dengan tindakan diatermi atau pencucian sinus. Dari segi
pengobatan, antibiotik berspektrum luas diberikan sesuai dengan resistensi kuman
selama 10-14 hari. Selain itu, obatan simptomatis juga dapat diberikan seperti
dekongestan. Obatan seperti analgetik, antihistamin dan mukolitik juga dapat
diberikan kepada pasien. Tindakan diatermi dengan sinar gelombang pendek
(Ultra Short Wave Diathermy) dilakukan sebanyak 5 hingga 6 kali pada daerah
yang sakit untuk memperbaiki atau melancarkan vaskularisasi sinus. Setelah
tindakan ini masih tidak ada pembaikan, maka harus dilakukan pencucian sinus.
Pada sinus maksila, ini dilakukan dengan pungsi irigasi manakala pada sinus
etmoid, frontal atau sfenoid yang letak muaranya di bawah, dilakukan dengan cuci
sinus cara Proetz,di mana prinsip kerjanya adalah dengan membuat tekanan
negatif dalam rongga hidung dan sinus paranasal. . (Hansen, 2011)

3. Rinosinusitis kronis
Pada penatalaksanaan rinosinusitis, jika diketemukan faktor predisposisi,
dapat dilakukan tatalaksana yang sesuai bersama terapi tambahan. Jika terdapat
perbaikan setelah pemberian terapi, maka antibiotik yang diberi harus diteruskan
selama 10-14 hari. Jika faktor predisposisi tidak diketemui, maka pemberian
terapi sesuai episode akut lini II dan terapi tambahan dapat diberikan. Sambil
menunggu hasil pemberian terapi, pasien dapat diberi antibiotik alternatif 7 hari
atau dilakukan kultur. Jika ada pembaikan, diteruskan pemberian antibiotic
selama 10-14 hari. Namun, jika tidak ada pembaikan, maka diteruskan proses
evaluasi dengan pemeriksaan naso-endoskopi, sinuskopi (jika irigasi sebanyak 5
kali tidak membaik). Jika terdapat obstruksi osteo meatal, maka dilakukan
tindakan bedah yaitu BSEF atau bedah konvensional. Walaubagaimanapun, jika
tidak ada obstruksi kompleks osteo meatal, maka dilakukan kembali evaluasi
diagnosa.

2.2.8. Tindakan operasi

Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan operasi terkini


untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Indikasi penatalaksanaannya
berupa sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat, sinusitis
kronik yang disertai kista, atau kelainan yang irreversibel, polip ekstensif, adanya
komplikasi sinusitis serta sinusitis akibat jamur. (Mangunkusumo dan Rifki,
2003)

2.2.9. Komplikasi

1. Kelainan pada orbita

Penyebab komplikasi ini adalah sinus ethmoidalis karena lokasinya yang


terletak berdekatan dengan mata. Pembengkakan orbita dapat merupakan
manifestasi dari ethmoidalis akut, namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga
terletak di dekat orbita dan dapat menimbulkan infeksi isi orbita juga. Pada
komplikasi ini terdapat lima tahapan:

a. Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Ini terjadi pada isi orbita
akibat infeksi sinus ethmoidalis di dekatnya. Keadaan ini sering
ditemukan pada anak, karena lamina papirasea yang memisahkan
orbita dan sinus ethmoidalis sering kali merekah pada kelompok umur
ini.
b. Selulitis orbita,di mana edema bersifat difus dan bakteri telah secara
aktif menginvasi isi orbita namun pus masih belum terbentuk.
c. Abses subperiosteal, pus telah terkumpul diantara periorbita dan
dinding tulang orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.
d. Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan
isi orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan
kebutaan unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot
ekstraokular mata yang tersering dan kemosis konjungtiva merupakan
tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin bertambah.
e. Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri
melalui saluran vena kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk
suatu tromboflebitis septik. (Herawati, 2004)
2. kelainan intracranial

a. Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah


meningitis akut, infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar
sepanjang saluran vena atau langsung dari sinus yang berdekatan,
seperti lewat dinding posterior sinus frontalis atau melalui lamina
kribriformis di dekat sistem sel udara ethmoidalis.
b. Abses dura, adalah kumpulan pus di antara dura dan tabula interna
kranium, sering kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul
lambat, sehingga pasien hanya mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus
yang terkumpul mampu menimbulkan tekanan intra kranial.
c. Abses subdural adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid
atau permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura,
yaitu nyeri kepala yang membandel dan demam tinggi dengan tanda-
tanda rangsangan meningen. Gejala utama tidak timbul sebelum
tekanan intrakranial meningkat atau sebelum abses memecah kedalam
ruang subarachnoid.
d. Abses otak, setelah sistem vena dalam mukoperiosteum sinus
terinfeksi, maka dapat terjadi perluasan metastatik secara hematogen
ke dalam otak. Namun, abses otak biasanya terjadi melalui
tromboflebitis yang meluas secara langsung. Dengan demikian, lokasi
abses yang lazim adalah pada ujung vena yang pecah, meluas
menembus dura dan arachnoid hingga ke perbatasan antara substansia
alba dan grisea korteks seebri.
3. kelainan tulang
Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang
frontalis adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat berat.
Gejala sistemik berupa malaise, demam, dan menggigil. Pembengkakan di atas
alis mata juga lazim terjadi dan bertambah hebat bila terbentuk abses
subperiosteal, dalam hal mana terbentuk edema supraorbita dan mata menjadi
tertutup.Timbul fluktuasi dan tulang menjadi sangat nyeri tekan. Radiogram
dapat memperlihatkan erosi batas-batas tulang dan hilangnya septa intrasinus
dalam sinus yang keruh. (Rosenfeld, 2007)

4. mukokel

Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam
sinus, Kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut
sebagai kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya. Dalam sinus frontalis,
ethmoidalis dan sfenoidalis, kista ini dapat membesar dan melalui atrofi tekanan,
mengikis struktur sekitarnya. Kista ini dapat bermanifestasi sebagai
pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat menggeser mata ke
lateral. Dalam sinus sfenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan gangguan
penglihatan dengan menekan saraf didekatnya (Hilger, 1997).

5. piokel

Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan


mukokel meskipun lebih akut dan lebih berat. Prinsip terapi adalah eksplorasi
sinus secara bedah untuk mengangkat semua mukosa yang terinfeksi dan
memastikan drainase yang baik atau obliterasi sinus. (Brook, 2012)

Anda mungkin juga menyukai