Antikoagulan Pada Hemodialisis1 PDF
Antikoagulan Pada Hemodialisis1 PDF
PENDAHULUAN
1
Pada keadaan dimana antikoagulasi merupakan kontra indikasi
bagi pasien misalnya paska operasi, pasien dengan perdarahan aktif ,
seperti perdarahan gastrointestinal, dapat diupayakan pemberian
heparin dengan berat molekul rendah.(3)
Gagal ginjal terminal berhubungan dengan peningkatan insiden
perdarahan dari berbagai tempat, khususnya pasien yang menjalani
operasi. Hemodialisis akan memperbaiki abnormal hemostatik pada
uremia tapi heparinisasi selama prosedur hemodialisis meningkatkan
resiko perdarahan. Resiko perdarahan dapat diminimalkan dengan
menggunakan peritoneal dialisis atau dengan cara alternatif mencegah
pembekuaan pada sirkulasi ektrakorporeal selama hemodialisis, yaitu
dengan pemberian heparinisasi minimal, pemberian dialisis bebas
heparin , dengan pemakaian antikoagulasi Low Molecular Weight Heparin
(LMWH), dan pemakaian antikoagulan regional citrate.(4)
Komplikasi perdarahan sering diantara pasien hemodialisis.
Pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir cendrung terdapat kelainan
koagulasi. Pasien yang menjalankan hemodialisis meningkatkan resiko
perdarahan sistemik, yang disebabkan disfungsi faktor pembekuan,
sehingga menurunkan beberapa faktor pembekuan termasuk faktor II,
IX, X, XII, antikoagulan heparin selama hemodialisis dan juga pasien
dengan gagal ginjal tahap akhir cendrung terjadi perkembangan
trombosis.(5)
Tujuan penulisan tinjauan kepustakaan ini adalah agar
hemodialisis dapat berjalan lancar tanpa komplikasi trombosis maupun
perdarahan terutama pasien yang beresiko untuk terjadinya perdarahan
selama menjalankan prosedur hemodialisis.
2
BAB II
ANTIKOAGULAN PADA HEMODIALISIS
3
2.1. Antikoagulasi rutin
4
Antikoagulan (sodium heparinate atau heparin dan Low Molecular
Weight Heparin mutlak diperlukan selama prosedur hemodialisis untuk
mencegah bekuan darah pada sirkuit ektrakorporeal. Pada pasien
beresiko perdarahan sebaiknya digunakan anti koagulan LMWH.
Antikoagulan LMWH ini dapat menghambat aktivitas faktor Xa tanpa
pemeriksaan waktu perdarahan dan waktu pembekuan.(3)
Teknik heparinisasi
1. Discontinous heparinization
Teknik heparinisasi ini cukup sederhana, sering dilaksanakan
dilapangan. Takaran awal (loading dose) 1000-2000 IU heparin
kedalam arterial line segera setelah konektor dihubungkan
dengan dializer. Pada pertengahan sesi hemodialisis (Mid
dialysis) diberikan lagi 1000-2000 IU heparin. Jumlah takaran
total antara 4000-5000 IU heparin.
2. Continous heparinazation
Teknik heparinisasi ini menggunakan infusion pump. Takaran
awal (loading dose) cukup 1000-2000 IU heparin, dilanjutkan
takaran pemeliharaan 500-1000 IU heparin perjam. Jumlah
takaran total 4000-5000 IU heparin.
3. Teknik modifikasi heparinisasi.
Indikasi pada pasien dengan resiko perdarahan seperti :
Gastritis erosif
Hematom subdural
Perikarditis
Trombositopeni dan trombopati
Paska operasi
Beberapa teknik modifikasi heparinisasi seperti heparinisasi
regional, free heparinization, LMWH, atau pemberian antitrombotik.
5
Heparinisasi regional jarang dilakukan khusus di Indonesia,
karena tidak tersedia dipasaran protamin sulfat sebagai antidotum
heparin, sulit ditentukan takarannya dan bahaya reaksi syok
anafilaktik.
Heparinisasi dengan dosis rendah, manfaat sebagai antikoagulan
kurang efektif dan tidak menjamin resiko perdarahan dari sumber
internal seperti gastritis erosif dan hematom subdural. Obat-obatan
sebagai antitrombotik kuat seperti citrate tidak menjamin dapat
mencegah kemungkinan perdarahan dan pembentukan bekuan pada
dializer.
Free heparinization sering dilakukan dilapangan karena mudah,
praktis, cukup dengan garam fisiologi NaCl 0,9 %. Garam fisiologis
sebanyak 100 ml setiap 30-45 menit dipakai sebagai rinsing (flushing)
kedalam sirkuit Ektrakorporeal disertai peningkatan ultrafiltration rate
untuk mencegah bahaya overhydration.(7)
6
Hiperkoagulasi dapat menyebabkan :
Pada saat fibrin melapisi dinding lumen kapiler, distribusi nutrien
dan oksigen keotot, syaraf, tulang dan organ lainnya akan
mengalami hambatan.
Fibrin yang melapisi lumen kapiler menyebabkan darah lebih
pekat.
Pemompaan darah yang pekat lebih berat.
Sel endotel yang ada dilumen kapiler merupakan sumber
heparans, the bodys natural blood thinners. Pada saat fibrin
melapisi sel ini , heparans tidak dapat keluar sehingga
mengurangi kemampuan tubuh untuk melarutkan fibrin.
Insiden trombosis arteri dan vena pada pasien gagal ginjal kronik
cendrung meningkat (10-40 %). Beberapa penelitian memeriksa aktifitas
hemostasis diantaranya kadar fibrinopeptide A di plasma yang berasal
dari pemecahan fibrin oleh trombin dan diperkirakan sebagai penyebab
terjadinya koagulasi yang berlebihan pada pasien gagal ginjal kronik
yang asimtomatik, mengapa hal ini terjadi masih belum jelas.(8)
Beberapa kelainan hemostasis yang terjadi antara lain
menurunnya kadar Anti Trombin III (AT-III) oleh karena urinary losses,
peningkatan aktifitas trombosit dan terdapatnya high molecular weight
fibrinogen didalam sirkulasi. Kemungkinan lain adalah immune mediated
injury pada glomerulus mengakibatkan terjadinya peningkatan aktifitas
prokoagulan dan hal ini dapat berakibat secara sistemik.(3)
Karen Kaufman tahun 2003 mengatakan hiperhomosistein dapat
merangsang terjadinya hiperkoagulasi darah dan beresiko terjadi
trombosis. Peningkatan kadar homosistein pada gagal ginjal kronik
sejalan dengan penurunan fungsi ginjal dan semakin meningkat pada
gagal ginjal terminal.(8)
7
Beberapa penelitian melaporkan hiperhomosistein terdapat pada
75-100 % pasien dialisis dan 67% pada pasien peritoneal dialisis.
Sebaliknya prevalensi homosistein lebih rendah (46,4%) pada
insufisiensi ginjal kronik ringan yang belum membutuhkan dialisis.
Diagnosis adanya kelainan hiperkoagulasi dapat ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan fisik, medical history dan pemeriksaan darah.
Anamnesa yang akurat akan sangat membantu menentukan gejala dan
kemungkinan penyebabnya. Pemeriksaan darah dapat dilakukan untuk
melihat faktor-faktor pembekuan, trombosit dan AT-III.
Ada dua aspek terapi hiperkoagulasi pada gagal ginjal kronik
yaitu antikoagulan profilak dan pengobatan penyakit dasarnya. Pasien
yang sudah mengalami trombosis dapat diberikan antikoagulan heparin
dan dilanjutkan dengan warfarin. Regimen ini dapat mengurangi
frekuensi terjadinya trombus dan dapat merangsang rekanalisasi pada
pembuluh darah yang telah mengalami penyumbatan karena trombus.
Hiperkoagulasi merupakan masalah serius yang dapat
mengancam jiwa. Keadaan hiperkoagulasi harus selalu diwaspadai
karena dapat menyebabkan penderita jatuh dalam keadaan stroke.
Infark miokard, deep vein trombosis dan keadaan lain yang dapat
mengancam jiwa.(8)
Prognosis pasien dengan hiperkoagulasi bervariasi tergantung
berat ringannya pembekuan dan trombosis. Bila tidak terdeteksi dan
tidak terdeteksi dengan baik trombosis bisa berkembang menjadi
recurrent trombosis dan emboli paru yang merupakan keadaan yang
sangat buruk.(8)
8
BAB III
ANTI KOAGULAN PADA PASIEN BERESIKO PERDARAHAN
9
Tabel 1. Pemberian heparin pada pasien beresiko perdarahan.
a. Heparinisasi minimal
Pemberian heparin secara ketat dilakukan pada pasien beresiko sedang
untuk mengalami perdarahan.
Heparin minimal dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1. Target waktu pembekuan (clothing time/CT) sebagai dasar + 40%
2. Bolus heparin 500 unit dalam 30 menit
Lebih disukai dengan cara sbb :infus heparin konstan 250-2000 unit
/jam (biasanya 600 unit/jam, setelah bolus dikurangi atau tidak
diberikan bolus awal (750 unit dan cek ACT/ Activated Clothing Time
setelah 3 menit)
3. Monitor ACT tiap 30 menit
4. Pemberian heparin dilakukan sampai akhir dialisis
10
3.2. Pemberian antikoagulasi dengan Low Molecular Weight
heparin:
a. Enoxaparin sodium
Dosis : 0,5-1mg/kg BB, disuntikkan ke jalur arteri. Dari sirkuit
dialisis pada awal dialisis, akan cukup untuk dialisis selama 4 jam.
Bila tampak cincin vibrin tambah suntikan 0,5-1mg/kgBB
b. Nadroparin kalsium
Dosis :
BB < 50 kg : 0,3ml
BB 50-69 kg : 0,4ml
BB > 70 kg : 0,5ml
Disuntikkan ke dalam jalur arteri dari sirkuit dialisis pada awal
hemodialisis
11
Walaupun sering penggunaan warfarin pada pasien beresiko
perdarahan pada pasien hemodialisis, tetapi mekanismenya belum
diketahui. Suatu penelitian di Kanada pada pasien yang menggunakan
warfarin dengan yang tidak menggunakan warfarin atau menggunakan
heparin subkutan, resiko perdarahan rendah pada pasien yang
menggunakan warfari sehingga warfarin dipertimbangkan pada pasien
yang beresiko perdarahan.(10)
Heparin digunakan secara luas sebagai antikoagulan pada
hemodialisis untuk mencegah pembekuan dalam sirkulasi
ektrakorporeal. Rekombinan Hirudin dapat digunakan sebagai anti
koagulan pada hemodialisis bila heparin kontra indikasi, khususnya
pada pasien Heparin Induce Trombositopenia.(11)
Pasien hemodialisis dengan Atrium Fibrilasi yang mendapat
warfarin meningkatkan resiko strok. Suatu penelitian di California tahun
2003-2004 pada 1671 pasien hemodialisis dengan atrium fibrilasi yang
diterapi dengan warfarin, aspirin, clopidogrel, tanpa obat, hasil
penelitian mendapatkan bahwa pasien yang mendapat warfarin
meningkat resiko terjadinya stroke.(12)
Penelitian di Taiwan dari tahun 1991-1999 pada pasien dialisis
kronis yang datang dengan strok hemoragik akut, dari 16 pasien, 14
pasien dengan hemodialisis dan 2 orang dengan peritoneal dialisis.
Prognosis perdarahan serebral pada pasien hemodialisis kronis buruk,
pasien dengan hemoglobin rendah setelah perdarahan serebral akan
memperburuk prognosis.(13)
Walaupun heparin sering digunakan sebagai antikoagulan untuk
hemodialisis, LMWH juga mempunyai manfaat yang sama. Tujuan
penelitian untuk melihat manfaat dan keamanan bolus LMWH,
enoxaparin. Dari 38 pasien dibagi dalam 2 kelompok, satu kelompok
menggunakan enoxaparin 40 mg (1 mg/kgbb), single dose, efektif dan
aman dari heparin dan komplikasi perdarahan dengan LMWH lebih
rendah dari heparin.(14)
12
Pasien dengan hemodialisis rutin, antikoagulan yang biasa
digunakan adalah heparin mencegah trombosis pada sirkuit
ektrakorporeal, walaupun dapat meningkatkan resiko perdarahan,
terutama pasien beresiko perdarahan, untuk meminimalkan resiko
perdarahan digunakan antikoagulan regional dengan citrat. (15)
13
Reginal Citrat Anticoagulan (RCA) dapat sebagai alternatif
antikoagulan heparin selama Continuous Venovenous Hemofiltrasion,
regional citrat antikoagulan tidak meningkatkan resiko perdarahan,
suatu penelitian pada 21 pasien dengan RCA, 27 pasien dengan heparin,
tidak ada perdarahan dengan RCA, sedangkan dengan heparin terjadi
perdarahan pada 10 orang.(21)
Continuous Renal Replacement Therapies (CRRT) digunakan pada
pasien critically ill, dengan gagal ginjal akut khusus dengan
hemodinamik tak stabil, pasien critically ill dengan sepsis dengan resiko
tinggi perdarahan. Heparin sering digunakan untuk CRRT karena
mudah dimonitor tapi dapat menimbulkan perdarahan, dan Heparin
Induced Trombositopenia (HIT), dicari alternatif heparin termasuk
regional heparin, LMWH, heparinoid, dan regional citrat.(22)
CRRT sering digunakan pada pasien critically ill di Canada tahun
2002-2003, regional citrat sebagai antikoagulan lebih superior pada
CRRT.(23) , karena pasien dengan critically ill meningkatkan pembekuan
dan perdarahan sehingga menjadi masalah antikoagulan untuk
CRRT.(24) CRRT tanpa antikoagulan diizinkan pada pasien yang beresiko
tinggi perdarahan.(25)
14
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. KESIMPULAN
4.2. SARAN
15
DAFTAR PUSTAKA
16
11. Muller A, Huhle G, Nowack R. Serious bleeding in a haeodialysis
patient treated with recombinant hirudin. Nephrol Dial
Transplant.2006;14:2482-2483.
12. Chan K. Warfarin use associates with increased risk for stroke in
hemodyalisis patients with atrial fibrillation. Clinical journal of the
American Society of nephrology.2009;3:30-39.
13. Pai MF. Hsu SP, Peng YS. Hemorrhagic stroke in chronic dialysis
patients. Ren Fail.2004;26:165-170.
14. Arrayed SA, Seshadri R. Use of Low Molecular Weight Heparin for
hemodyalisis; A short-torm study. Am J. Kidney Dis.2006;28:721-726.
15. Kim YG. Anticoagulation during hemodyalisis patients at high-risk of
bleeding Nephrology.2003:23-27.
16. Morgera S. Scholle C, Vossa G. Metabolic complications during regional
citrate anticoagulation in continuous venovenous hemodyalisis; single-
center experience. Nephron Clin Prac.2004;97:131-136.
17. Jankovic SM, Aleksc J, Rakovic S. Non Steroidal Antiinflamatory Drug
and risk of gastrointestinal bleeding among patients on hemodialysis.
J. nephrol.2009;22:502-507
18. Finnazzi G, Mingardi G. Oral anticoagulant therapy in hemodyalisis
patients; do the genetic outweigh the risks. Intern Emerg
Med.2009;4:375-380.
19. Dominique J. Chronic hemodyalisis without systemic heparinization; a
randomized study. Update.2009.
20. Perales S, Vazquez E, Corles G. Platelet antiaggregation and
hemorrhagic risk in hemodyalisis. Nefrologia.2002;22:456-462.
21. Betjes MG, Oesterom D, Agoteren M. Regional citrate versus heparin
anticoagulation during venovenous hemofiltration in patients at low
risk for bleeding. J.Nephrol.2007;5:602-608.
22. Tolwani AJ, Willie KM. Anticoagulation for continuous renal
replacement therapy. Semin.Dial.2009;;2:141-145.
17
23. Bagshaw SM, Laupland KB, Boiteau PJ. Is regional citrate superior to
systemic heparin anti coagulation for continuous renal replacement
therapy. J Crit Care.2005;2:155-161.
24. Tilman J. Heparin versus citrate for anticoagulation in critically ill
patient for treatment with Continuous Renal Replacement Therapies.
Nurs Crit Care.2009;14:191-199.
25. Morabito S, Guzzo I, Solazzoa. Continuous renal replacemen therapies;
anticoagulation in the critically ill at high risk of bleeding.
J.Nephrol.2003;4:566-571.
26. Lindi NA, Beasley M, Baird MF. Kidney Function Influences Warfarin
responsiveness and Hemorrhagic Complications. J.Am.Soc.Nephrol.
2009;20:1-10
18