Anda di halaman 1dari 34

TUGAS TAMBAHAN UJIAN

DISUSUN OLEH :

Irna Aprillia I4061172044

DOSEN PEMBIMBING KEPANITERAAN KLINIK :

dr. Lucky Sutanto, Sp. OG

KEPANITERAAN KLINIK OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

RUMAH SAKIT TINGKAT II KARTIKA HUSADA

PROGRAM PROFESI DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

PERIODE 12 AGUSTUS – 19 OKTOBER 2019


Perdarahan Pasca Persalinan (PPP)
Definisi PPP adalah perdarahan yang melebihi 500 ml setelah bayi lahir. Pada umumnya
bila terdapat perdarahan yang yang lebih dari normal, apalagi telah menyeabkan perubahan tanda
vital (seperti keadaan menurun, pucat limbung, berkeringat dingin, sesak napas, serta tensi < 90
mmHg dn nadi 100x/menit) maka pengaruh haru segera dilakukan. PPP bukanlah suatu
diagnosis akan tetapi suatu kejadian yang harus dicari kausalnya. Misalnya PPP karena atonia
uteri, ribekan jalan lahir, sisa plasenta, atau oleh karena gangguan pembekuan darah. Sifat
perdarahan pada PPP bisa banyak, bergumpal-gumpal sampai menyebabkan syok atau terus
merembes sedikit demi sedikit tanpa henti.
Kausalnya dibedakan atas:
1. Perdarahan dari tempat implantasi plasenta
a. Hipotoni sampai atonia uteri
 Akibat anestesi
 Distensi berlebihan (gemeli, anak besar, hidramnion)
 Partus lama, partus kasep
 Partus presipitarus/partus terlalu cepat
 Persalinan karena induksi oksitosin
 Multiparitas
 Korioamnionitis
 Pernah atonia sebelumnya
b. Sisa plasenta
 Kotiledon atau selaput ketuban tersisa
 Plasenta susenturiata
 Plasenta akreta, inkreta, perkreta
c. Perdarahan karena robekan
 Episiotomi yang melebar
 Robekan pada perineum, vagina, dan serviks
 Ruptur uteri
d. Gangguan koagulasi
 Jarang terjadi tetapi bisa memperburuk keadaan di atas, misalnya pada kasus
trombofilia, sindroma HELLP, preeklampsia, solusio plasenta, kematian janin dalam
kandungan, dan emboli air ketuban.
Berdasarkan saat terjadinya PPP dapat dibagi menjadi PPP primer, yang terjadi dalam 24
jam pertama dan biasanya disebabkan oleh atonia uteri, berbagai robekan jalan lahir dan sisa
sebagian plasenta. Dalam kasus yang jarang, bisa karena inversio uteri. PPP sekunder yang
terjadi setelah 24 jam persalinan, biasanya oleh karena sisa plasenta.
Jumlah perdarahan yang diperkirakan terjadi sering hanya 50% dari jumlah darah yang
hilang. Perdarahan yang aktif dan merembes terus dalam waktu lama saat melakukan prosedur
tindakan juga bisa menyebabkan PPP. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemeriksaan Hb dan
hematokrit untuk memperkirakan jumlah perdarahan yang terjadi saat persalinan dibandingkan
dengan keadaan prapersalinan.
Referensi:
Prawiroharjo S. Ilmu Kebidanan. Edisi 5. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo;
2016.

Klasifikasi Hipertensi pada Kehamilan


1. Hipertensi gestasional, diagnosis ditegakkan pada wanita dengan tekanan darah mencapai
≥140/90 mmHg, muncul pertama kali setelah pertengahan kehamilan tetapi tidak ditemukan
adanya proteinuria.
2. Preeklampsi hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai proteinuria.
3. Hipertensi kronik hipertensi yang timbul sebelum kehamilan dan menetap sampai
pascapersalinan.
4. Superimpose preeklampsi adalah hipertensi kronik disertai tanda-tanda proteinuria.
5. Eklampsia adalah preeklampsia yang disertai dengan kejang-kejang dan atau koma.
Referensi:
Prawiroharjo S. Ilmu Kebidanan. Edisi 5. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo;
2016.
Penanganan Persalinan Sungsang
Untuk menentukan cara persalinan pada presentasi bokong diperlukan pertimbangan berdasarkan
ada tidaknya kontraindikasi persalinan vaginal, umur kehamilan, taksiran berat janin, dan
persetujuan pasien. Percobaan persalinan vaginal tidak dilakukan apabila didapatkan
kontraidikasi persalinan vaginal bagi ibu atau janin, presentasi kaki (dan variannya),
hiperekstensi kepala janin, berat bayi > 3.600 gram, tidak adanya informed consent, tidak adanya
petugas yag berpengalaman melakukan pertolongan.

Prosedur Melahirkan Bokong dan Kaki (dan Kepala secara spontan)


1. Biarkan persalinan berlangsung dengan sendirinya (tanpa intervensi apa pun) hingga bokong
tampak di vulva.
2. Pastikan bahwa pembukaan sudah benar-benar lengkap sebelum memperkenankan ibu
mengejan.
3. Perhatikan hingga bokong membuka vulva.
4. Lakukan episiotomi bila perlu (pada perineum yang cukup elastis dengan introitus yang
sudah lebar, episiotomi mungkin tidak diperlukan). Gunakan anestesi lokal sebelumnya.
5. Biarkan bokong lahir, bila tali pusat sudah tampak kendorkan. Perhatikan hingga tampak
tulang skapula janin mulai tampak di vulva. Awas jangan melakukan tarikan atau tindakan
apa pun pada tahap ini.
6. Dengan lembut peganglah bokong dengan cara kedua ibu jari penolong sejajar sumbu
panggul, sedang jari-jari yang lain memegang belakang pinggul janin.
7. Tanpa melakukan tarikan, angkatlah kaki, bokong, dan badan janin dengan kedua tangan
penolong disesuaikan dengan sumbu panggul ibu sehingga berturut-turut lahir perut, dada,
bahu dan lengan, dagu, mulut, dan seluruh kepala.
8. Bila pada langkah no.7 tidak ada kemajuan dan/atau tungkai tidak lahir secara spontan, maka
lahirkan kaki satu per satu dengan cara berikut:
 Dengan jari telunjuk dan jari tengah di belakang paha sebagai bidai lakukan eksorotasi
paha sampai tungkai lahir.
9. Tentukan posisi lengan janin dengan cara merabanya di depan dada, di atas kepala, atau di
belakang leher.
10. Selanjutnya lakukan langkah melahirkan lengan dan kepala spontan.
Prosedur Melahirkan Lengan di Depan Dada
1. Biarkan bahu dan lengan anterior lahir sendirinya dengan cara bokong ditarik kea rah
berlawanan (posterior). Bila tidak bisa lahir spontan, keluarkan lengan dengan cara
mengusap lengan atas janin menggunakan 2 jari penolong berfungsi sebagai bidai. Perhatikan
cara melakukan yang benar untuk menghindari fraktur lengan atas.
2. Angkatlah bokong janin kea rah perut ibu untuk melahirkan bahu dan lengan posterior.
Teknik yang serupa dengan melahirkan bahu dan lengan anterior dapat dipakai bila bahu dan
lengan posterior tidak dapat lahir secara spontan. Apabila kesulitan dalam melahirkan bahu
dan lengan anterior, maka dilahirkan dahulu bahu dan lengan posteriornya.

Prosedur Melahirkan Lengan di Atas Kepala atau di Belakang Leher (Manuver Lovset)
1. Pegang janin pada pinggulnya (perhatikan cara pegang yang benar.
2. Putarlah badan bayi setengah lingkaran dengan arah putaran mengupayakan punggung yang
berada di atas (anterior).
3. Sambil melakukan gerakan memutar, lakukan traksi ke bawah sehingga lengan posterior
berubah menjadi anterior, dan melahirkannya dengan menggunakan dua jari penolong di
lengan atas bayi.
4. Putar kembali badan janin kea rat berlawanan (punggung tetapi berada di atas) sambil
melakukn traksi kea rah bawah. Dengan demikian, lengan yang awalnya adalah anterior
kembali lagi kea rah bawah. Dengan demikian, lengan yang awalnya adalah anterior kembali
lagi ke posisi anterior untuk dilahirkan dengan cara yang sama.

Prosedur Melahirkan Kepala (Manuver Mauriceau-Smellie-Veit)


Pastikan tidak ada lilitan tali pusat di leher janin. Kalau ada, tali pusat dipotong dulu di dekat
pusar janin.
1. Janin dalam posisi telungkup menghadap ke bawah, letakkan tubuhnya di tangan dan lengan
penolong sehingga kaki janin berada di kiri kanan tangan tersebut (atau bila janin belum
dalam posisi telungkup, gunakan tangan yang menghadap wajah janin).
2. Tempatkan jari telunjuk dan jari manis di tulang pipi janin.
3. Gunakan tangan yang lain untuk memegang bahu dari awah punggung dan dipergunakan
untuk melakukan traksi.
4. Buatlah kapala janin fleksi dengan cara menekan tulang pipi janin kea rah dadanya.
5. Bila belum terjadi putar paksi dalam, peolong melakukan gerakan putar paksi dengan tetap
menjaga kepala tetap fleksi dan traksi pada bahu mengikuti arah sumbu panggul.
6. Bila sudah terjadi putar paksi dalam, lakukan traksi ke bawah dengan mempertahankan fleksi
kepala janin, dan mintalah asisten untuk menekan daerah suprasimfisis.
7. Setelah suboksiput lahir di bawah simfisis, badan janin sedikit demi sedikit dielevasi ke atas
(kea arah perut ibu) dengan suboksiput sebagai hipomoklion. Berturut-turut akan lahir dagu,
mulut, dan seluruh kepala.

Referensi:
Prawiroharjo S. Ilmu Kebidanan. Edisi 5. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo;
2016.
Syarat-syarat Pemberian MgSO4

1. Harus tersedia antidotum MgSO4 bila terjadi intoksikasi yaitu kalsium glukonas 10% = 1 g
(10% dalam 10 cc) diberikan IV 3 menit.
2. Reflex patella (+) kuat.
3. Frekuensi pernapasan > 16 kali/menit, tidak ada tanda-tanda distress napas.
Referensi:
Prawiroharjo S. Ilmu Kebidanan. Edisi 5. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo;
2016.

Plasenta Previa
Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim demikian
rupa sehingga menutupi seluruh atau sebagian dari ostium uteri internum.
Ciri yang menonjol pada plasenta previa adalah perdarahan uterus keluar melalui vagina
tanpa rasa nyeri. Perdarahan biasanya baru terjadi pada akhir trimester kedua ke atas. Perdarahan
pertama berlangsung tidak banyak dan berhenti sendiri. Perdarahan kembali terjadi tanpa sesuatu
sebab yang jelas setelah beberapa waktu kemudian, jadi berulang. Pada setiap pengulangan
terjadi perdarahan yang lebih banyak bahkan seperti mengalir. Pada plasenta letak rendah
perdarahan baru terjadi pad waktu mulai persalinan; perdarahan bisa sedikit sampai banyak mirip
pada solusio plasenta. Perdarahan diperhebat berhubung segmen bawah rahim tidak mampu
berkontraksi sekuat segmen atas rahim. Dengan demikian,perdarahan bisa berlangsung sampai
pascapersalinan.Perdarahan bisa juga bertambah disebabkan serviks dan segmen bawah rahim
pada plasenta previa lebih rapuh dan mudah mengalami robekan.
Berhubung plasenta terketak pada bagian bawah, maka pada palpasi abdomen sering
ditemui bagian terbawah janin masih tinggi di atas simfisis dengan letak janin tidak dalam letak
memanjang. Palpasi abdomen tidak membuat ibu hamil merasa nyeri dan perut tidak tegang.
Referensi:
Prawiroharjo S. Ilmu Kebidanan. Edisi 5. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo;
2016.
Solusio Plasenta
Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau seluruh permukaan maternal plasenta
dari tempat implantasinya yang normal pada lapisan desidua endometrium sebelum waktunya.
Gambaran klinik penderita solusio plasenta bervariasi sesuai dengan berat ringannya atau
luas permukaan maternal plasenta yang terlepas. Gejala dan tanda klinis yang klasik dari solusio
plasenta adalah terjadinya perdarahan yang berwarna tua keluar melalui vagina, rasa nyeri perut
dan uterus tegang terus-menerus mirip his partus prematurus. Sejumlah penderita bahkan tidak
menunjukkan tanda atau gejala klasik, gejala yang lahir mirip tanda persalinan premature saja.
Referensi:
Prawiroharjo S. Ilmu Kebidanan. Edisi 5. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo;
2016.

Sindroma HELLP
Sindroma hemolisis, elevated liver enzymes and low platelet adalah suatu komplikasi
pada preeklampsia – eklampsia berat. Kehamilan yang dikomplikasikan dengan sindroma
HELLP juga sering dikaitkan dengan keadaan – keadaan yang mengancam terjadinya kematian
ibu, termasuk DIC, oedema pulmonaris, ARF, dan berbagai komplikasi hemoragik. Insiden
terjadinya sindroma ini sebanyak 9,7 % dari kehamilan yang mengalami komplikasi
preeklampsia – eklampsia. Sindroma ini dapat muncul pada masa antepartum (70 %) dan juga
post partum (30 %). Ciri – ciri dari HELLP syndrome adalah:
 Nyeri ulu hati
 Mual dan muntah
 Sakit kepala
 Tekanan darah diastolik  110 mmHg
 Menampakkan adanya oedema
Penanganan sindroma HELLP pada dasarnya sama dengan pengobatan pada
preeklampsia – eklampsia berat, ditambah dengan pemberian kortikosteroid dosis tinggi yang
secara teoritis dapat berguna untuk :
1. Dapat meningkatkan angka keberhasilan induksi persalinan dengan memberikan temporarisasi
singkat dari status klinis maternal.
2. Dapat meningkatkan jumlah trombosit dan mempertahankannya secara konvensional agar
dapat dilakukan anestesi regional untuk persalinan vaginal maupun abdominal.
Dosis yang digunakan untuk antepartum adalah dexametasone 2 x 10 mg sampai
persalinan. Sedangkan untuk post partum adalah 2 x 10 mg sebanyak 2 kali, dilanjutkan dengan
2 x 5 mg sebanyak 2 kali, setelah itu dihentikan.
Refrensi:
Cunningham, FG et.al. Hypertensive Disorder in Pregnancy. Williams Obstetrics, 24th ed.
Prentice Hall International Inc.Appleton and Lange. Connecticut. 2014.

Versi Luar
Secara umum, versi luar dicoba sebelum persalinan pada wanita yang usia kehamilannya
mencapai 36 minggu dengan janin letak sungsang. Versi di kontraindikasikan jika persalinan
pervaginam bukan pilihan untuk dilakukan. Contohnya pada plasenta previa, kontraindikasi lain
rupture membrane, malformasi uterus, kehamilan multifetal, dan perdarahan uterus.
Versi luar sebaiknya dilakukan pada tempat yang memiliki akses yang dilengkapi dengan
emergensi sesaria. Pemeriksaan sonografi dilakukan untuk mengkonfirmasi presentasi non-
verteks, volume cairan amnion yang adekuat, mengeksklusikan kelainan pada janin, dan
mengidentifikasi letak plasenta. Monitoring dilakukan untuk menilai aktivitas denyut jantung
janin.
Gulungan janin ke depan biasanya dilakukan terlebih dahulu. Masing-masing tangan
menekuk satu kutub janin, dan bokong janin diangkat dari panggul ibu dan dipindahkan ke
lateral. Bokong diarahkan ke fundus, sedangkan kepala diarahkan ke panggul. jika gulungan ke
depan tidak berhasil, maka flip mundur akan dicoba.
Referensi:
Cunningham, FG et.al. Williams Obstetrics, 24th ed. Prentice Hall International
Inc.Appleton and Lange. Connecticut. 2014.

New Bethesda System Clasification


a. Low-grade squamous lntraepithelial lesion (low-grade SIL)
1. Cellular changes associated with HPV
2. Mild (slight) dysplasia/CIN 1
b. High-grade squamous intraepithelial lesion (high-grade SIL)"
1. Moderate dysplasia/CIN II
2. Severe dysplasia/CIN III
3. Carcinoma in situ/CIN III
c. Atypical Squamous Cells (ASC)
1. Unspecified (ASC-US)-includes uspecified and favorbenign/inflammation
2. Cannot exclude HSIL (ASC-H)
d. Atypical Glandular Cells of Uncertian Significance (AGC) AGC is broken down into
favoring endocervical, endometrial, or not otherwise specified origin or endocervical
adenocarcinoma in situ (AIS)
1. Unspecified (AGC-US)
2. Atypical glandular cells, favor neoplastic (AGC-H)

Screening untuk Ca Cervix


a. Tes Pap’s mear
b. IVA
c. Spekuloskopi
d. Cervicography
e. Tes HPV
f. Downstaging
Referensi:
1. Arif Mansjoer dkk.2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3 , Jilid 1. EGC : Jakarta
2. Aziz, M.farid .Buku Acuan ONKOLOGI GINEKOLOGI . Edisi 4 Cetakan 1. 2006.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo (BP-SP)

Vaksin Ca Cervix
Vaksin Gardasil 9 memberikan proteksi terhadap virus HPV tipe 6, 11, 16, 18, 31, 33, 45, 52,
dan 58.
Gardasil disuntikkan pada otot lengan secara intramuskular. Diberikan 2-3 kali.
 Usia 9 – 14 tahun. Gardasil 9 bisa diberikan 2 atau 3 dosis. Untuk jadwal pemberian 2 dosis,
pemberian kedua diberikan setelah 6-12 bulan setelah pemberian pertama. Jika pemberian
kedua disuntikkan kurang dari 5 bulan setelah pemberian pertama, pemberian ketiga harus
diberikan paling lambat 4 bulan setelah pemberian kedua.
Untuk jadwal pemberian 3 kali, pemberian kedua dilakukan 2 bulan setelah pemberian
pertama dan pemberian ketiga diberikan 6 bulan setelah pemberian pertama.
 Usia 15 – 45 tahun. Gardasil 9 diberikan dalam 3 dosis; pemberian kedua diberika 2 bulan
setelah bulan pertama dan pemerian ketiga 6 bulan setelah pemberian pertama.
Teori Patogenesis Preeklampsi
a. Peran Prostasiklin dan Tromboksan
Pada preeklampsia dan eklampsia didapatkan kerusakan pada endotel vaskuler, sehingga
sekresi vasodilatator prostasiklin oleh sel-sel endotelial plasenta berkurang, sedangkan pada
kehamilan normal, prostasiklin meningkat. Sekresi tromboksan oleh trombosit bertambah
sehingga timbul vasokonstriksi generalisata dan sekresi aldosteron menurun. Akibat
perubahan ini menyebabkan pengurangan perfusi plasenta sebanyak 50%, hipertensi dan
penurunan volume plasma.

b. Peran Faktor Imunologis


Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama karena pada kehamilan pertama
terjadi pembentukan blocking antibodies terhadap antigen plasenta tidak sempurna sehingga
timbul respons imun yang tidak menguntungkan terhadap Histikompatibilitas Plasenta. Pada
preeklampsia terjadi kompleks imun humoral dan aktivasi komplemen. Hal ini dapat diikuti
dengan terjadinya pembentukan proteinuria.

c. Peran Faktor Genetik


Menurut Chesley dan Cooper (1986) bahwa Preeklampsia/eklampsia bersifat diturunkan
melalui gen resesif tunggal. Beberapa bukti yang menunjukkan peran faktor genetik pada
kejadian Preeklampsia-Eklampsia antara lain:
a)Preeklampsia hanya terjadi pada manusia.
b)Terdapatnya kecendrungan meningkatnya frekuensi Preeklampsia-Eklampsia pada anak-
anak dari ibu yang menderita Preeklampsia-Eklampsia.

d. Iskemik dari uterus.


Sperof (1973) menyatakan bahwa dasar terjadinya Preeklampsia adalah iskemik
uteroplasentar,sehingga terjadi ketidakseimbangan antara massa plasenta yang meningkat
dengan aliran perfusi sirkulasi darah plasenta yang berkurang. Disfungsi plasenta juga
ditemukan pada preeklampsia, sehingga terjadi penurunan kadar 1 α-25 (OH)2 dan Human
Placental Lagtogen (HPL), akibatnya terjadi penurunan absorpsi kalsium dari saluran cerna.
Untuk mempertahankan penyediaan kalsium pada janin, terjadi perangsangan kelenjar
paratiroid yang mengekskresi paratiroid hormon (PTH) disertai penurunan kadar kalsitonin
yang mengakibatkan peningkatan absorpsi kalsium tulang yang dibawa melalui sirkulasi ke
dalam intra sel. Peningkatan kadar kalsium intra sel mengakibatkan peningkatan kontraksi
pembuluh darah, sehingga terjadi peningkatan tekanan darah.
Pada preekslampsia terjadi perubahan arus darah di uterus, koriodesidua dan plasenta
adalah patofisiologi yang terpenting pada preeklampsia, dan merupakan faktor yang
menentukan hasil akhir kehamilan. Perubahan aliran darah uterus dan plasenta menyebabkan
terjadi iskemia uteroplasenter, menyebabkan ketidakseimbangan antara massa plasenta yang
meningkat dengan aliran perfusi darah sirkulasi yang berkurang. Selain itu hipoperfusi uterus
menjadi rangsangan produksi renin di uteroplasenta, yang mengakibatkan vasokonstriksi
vaskular daerah itu. Renin juga meningkatkan kepekaan vaskular terhadap zat-zat
vasokonstriktor lain (angiotensin, aldosteron) sehingga terjadi tonus pembuluh darah yang
lebih tinggi. Oleh karena gangguan sirkulasi uteroplasenter ini, terjadi penurunan suplai
oksigen dan nutrisi ke janin. Akibatnya terjadi gangguan pertumbuhan janin sampai hipoksia
dan kematian janin.

e. Disfungsi dan aktivasi dari endotelial.


Kerusakan sel endotel vaskuler maternal memiliki peranan penting dalam pathogenesis
terjadinya preeklampsia. Fibronektin dilepaskan oleh sel endotel yang mengalami kerusakan
dan meningkat secara signifikan dalam darah wanita hamil dengan preeklampsia. Kenaikan
kadar fibronektin sudah dimulai pada trimester pertama kehamilan dan kadar fibronektin akan
meningkat sesuai dengan kemajuan kehamilan.
Jika endotel mengalami gangguan oleh berbagai hal seperti shear stress hemodinamik,
stress oksidatif maupun paparan dengan sitokin inflamasi dan hiperkolesterolemia, maka
fungsi pengatur menjadi abnormal dan disebut disfungsi endotel. Pada keadaan ini terjadi
ketidakseimbangan substansi vasoaktif sehingga dapat terjadi hipertensi. Disfungsi endotel
juga menyebabkan permeabilitas vaskular meningkat sehingga menyebabkan edema dan
proteinuria. Jika terjadi disfungsi endotel maka pada permukaan endotel akan diekspresikan
molekul adhesi. seperti vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1) dan intercellular cell
adhesion molecule-1 (ICAM-1). Peningkatan kadar soluble VCAM-1 ditemukan dalam
supernatant kultur sel endotel yang diinkubasi dengan serum penderita preeklampsia, tetapi
tidak dijumpai peningkatan molekul adhesi lain seperti ICAM-1 dan E-selektin. Oleh karena
itu diduga VCAM-1 mempunyai peranan pada preeklampsia.
Namun belum diketahui apakah tingginya kadar sVCAM-1 dalam serum mempunyai
hubungan dengan beratnya penyakit. Disfungsi endotel juga mengakibatkan permukaan non
trombogenik berubah menjadi trombogenik, sehingga bisa terjadi aktivasi koagulasi. Sebagai
petanda aktivasi koagulasi dapat diperiksa D-dimer, kompleks trombin-antitrombin, fragmen
protrombin 1 dan 2 atau fibrin monomer.
Referensi:
1. Hartuti Agustina, dkk. Referat Preeklampsia. Purwokerto. Universitas Jendral
Sudirman. 2011
2. Cunningham, FG et.al. Williams Obstetrics, 24th ed. Prentice Hall International
Inc.Appleton and Lange. Connecticut. 2014.

Distosia Bahu
Distosia terjadi karena beberapa faktor, yaitu kelainan power, passage, dan passanger :
a) Kelainan Power
Power adalah kekuatan ibu mendorong janin, yaitu kekuatan his dan kekuatan ibu dalam
mengejan. His normal yaitu his yang timbul dominan pada fundus uteri, simetris, kekuatannya
semakin lama semakin kuat dan sering serta mengalami fase relaksasi yang baik. Kelainan his
ini dapat berupa inersia uteri hipertonik atau inersia uteri hipotonik. Kontraksi uterus atau his
secara normal terjadi pada awal persalinan yakni pada kala 1, pada awal kala 1 his yang
timbul masih jarang yaitu 1 kali dalam 15 menit dengan kekuatan 20 detik, his ini semakin
lama akan timbul semakin cepat dan sering yakni interval 2 sampai 3 kali dalam 10 menit
dengan kekuatan 50 sampai 100 detik. Apabila kontraksi tidak adekuat, maka serviks tidak
akan mengalami pembukaan, sehingga pada kondisi tersebut dilakukan induksi persalinan,
dan apabila tidak ada kemajuan persalinan maka dilakukan seksio sesaria, namun pada
persalinan kala II apabila ibu mengalami kelelahan maka persalinan dilakukan dengan
menggunakan vacum ekstraksi. Persalinan kala III yaitu melahirkan plasenta, apabila plasenta
belum lahir dalam waktu 30 menit maka hal ini terjadi karena tidak ada kontraksi uterus atau
karena adanya perlengketan sehingga merangsang uterus maka di berikan pemberian induksi
dan melakukan massase uterus.
b) Kelainan Passage
Distosia karena adanya kelainan Passage yaitu karena adanya kelainan pada jalan lahir,
jalan lahir sendiri terbagi atas jalan lahir lunak dan jalan lahir keras. Jalan lahir keras atau
tulang panggul dapat berupa kelainan bentuk panggul, dan kelainan ukuran panggul.
Sedangkan jalan lahir lunak yang sering dijumpai karena adanya tumor ovarium yang
menghalangi jalan lahir dan adanya edema pada jalan lahir yang dipaksakan.
Jenis kelainan pada jalan lahir keras berupa kelainan bentuk yaitu bentuk panggul yang
tidak normal, diantaranya gynecoid, antropoid, android, dan platipeloid. Terutama pada
panggul android distosia sulit diatasi, selain itu terdapat kelainan panggul yang disertai
dengan perubahan bentuk karena pertumbuhan intrauterine yaitu panggul Naegele, robert,
split pelvis dan panggul asimilasi. Perubahan bentuk panggul juga dapat terjadi karena adanya
penyakit seperti riketsia, osteomalasia, neoplasma, fraktur, maupun penyakit pada sendi
sakroiliaka dan sendi sakrokoksigea. Penyakit tulang belakang seperti kifosis, skoliosis dan
spondilolistesis serta penyakit pada kaki seperti koksiis, luksasio koksa dan atrofi atau
kelumpuhan satu kaki merupakan termasuk penyulit dalam proses persalinan pervaginam.
c) Kelainan Passanger
Kelainan passanger merupakan kelainan pada letak, ukuran ataupun bentuk janin,
kelainan letak ini termasuk dalam kelainan presentasi dan kelainan posisi, pada kondisi
normal, kepala memasuki pintu atas panggul dengan sutura sagitalis dalam keadaan melintang
atau oblik sehingga ubun-ubun kecil berada dikanan atau dikiri lintang atau dikanan atau kiri
belakang, setelah kepala memasuki bidang tengah panggul (Hodge III), kepala akan memutar
ke depan akibat terbentur spina ischiadika sehingga ubun-ubun kecil berada didepan (putaran
paksi dalam), namun terkadang tidak terjadi putaran sehingga ubun-ubun kecil tetap berada
dibelakang atau melintang, keadaaan ini disebut dengan deep transvere arrest, oksipitalis
posterior persisten atau oksipitalis transversus persisten, keadaan ini akan mempersulit
persalinan.
Presentasi muka merupakan salah satu kelainan janin, diagnosis presentasi muka
berdasarkan pemeriksaan luar yakni dada akan teraba seperti punggung, bagian belakang
kepala berlawanan dengan bagian dada, dan daerah dada ada bagian kecil denyut jantung janin
terdengan jelas, dan berdasarkan pemeriksaan dalam umumnya teraba mata, hidung, mulut
dan dagu atau tepi orbita. Pada presentasi dahi pada umumnya merupakan kedudukan
sementara sehingga biasanya dapat menjadi presentasi belakang kepala dan presentasi muka.
Letak sungsang merupakan keadaan dimana letak janin memanjang dengan kepala
dibagian fundus uteri dan bokong dibagian bawah cavum uteri hal ini pula merupakan
penyulit dalam persalinan. Selain letak sungsang, letak lintang pula cukup sering terjadi,
presentasi ini merupakan presentasi yang tidak baik sama sekali dan tidak mungkin dilahirkan
pervaginam kecuali pada keadaan janin yang sangat kecil atau telah mati dalam waktu yang
cukup lama.
Beberapa kelainan dalam bentuk janin yaitu karena adanya pertumbuhan janin yang
berlebihan, berat neonatus pada umunya adalah 4000 gram, makrosomia atau bayi besar
apabila lebih dari 4000 gram, umumnya hal ini karena adanya faktor genetik, kehamilan
dengan diabetes mellitus, kehamilan post matur atau pada grande multipara. Hidrocephalus
pula merupakan kelainan bentuk janin, hal ini merupakan keadaan dimana cairan
serebrospinal dalam ventrikel janin berlebih sehingga kepala janin menjadi besar dan keadaan
ini dapat menyebabkan cephalo pelvic disproportion.
Referensi:
Cunningham, FG et.al. Williams Obstetrics, 24th ed. Prentice Hall International
Inc.Appleton and Lange. Connecticut. 2014.

Missed Abortion
Juga disebut gagalnya atau hilangnya pada kehamilan awal. Secara historis, istilah ini
digunakan untuk menggambarkan hasil konsepsi yang mati yang disimpan selama berhari-hari,
berminggu-minggu, atau bahkan berbulan-bulan di dalam rahim dengan serviks tertutup.
Kehamilan awal tampak normal dengan amenore, mual dan muntah, perubahan payudara, dan
pertumbuhan uterus.
Referensi:
Cunningham, FG et.al. Williams Obstetrics, 24th ed. Prentice Hall International
Inc.Appleton and Lange. Connecticut. 2014.

Mioma Uteri
Mioma Uteri adalah suatu tumor jinak, berbatas tegas, tidak berkapsul, yang berasal
dariotot polos dan jaringan ikat fibrous. Biasa juga disebut fibromioma uteri, leiomioma uteriatau
uterine fibroid. Tumor jinak ini merupakan neoplasma jinak yang paling seringditemukan pada
traktus genitalia wanita,terutama wanita usai produktif. Walaupun tidaksering, disfungsi
reproduksi yang dikaitkan dengan mioma mencakup infertilitas, abortus spontan, persalinan
prematur, dan malpresentasi.
Walaupun myoma uteri ditemukan terjadi tanpa penyebab yang pasti, namun dari hasil
penelitian Miller dan Lipschlutz dikatakan bahwa myoma uteri terjadi tergantung pada sel-sel
otot imatur yang terdapat pada “Cell Nest” yang selanjutnya dapat dirangsang terus-menerus oleh
hormon estrogen. Mioma biasanya membesar pada saat kehamilan dan mengecil setelah
menopause jarang ditemukan sebelum menarke.
Lokalisai mioma uteri:
a. Mioma intramural ; Apabila tumor itu dalam pertumbuhannya tetap tinggal dalam dinding
uterus.
b. Mioma Submukosum ; Mioma yang tumbuh ke arah kavum uteri dan menonjol dalam kavum
itu.
c. Mioma Subserosum ; Mioma yang tumbuh ke arah luar dan menonjol pada permukaan
uterus.
Terapi harus memperhatikan usia, paritas, kehamilan, konservasi fungsi reproduksi,
keadaan umum, dan gejala yang ditimbulkan. Bila kondisi pasien sangat buruk, lakukan upaya
perbaikan yang diperlkan termasuk nutrisi, suplementasi zat esensial, ataupun transfuse. Pada
keadaan gawat darurat akibat infeksi atau gejala abdominal akut, siapkan tindakan bedah gawat
darurat untuk menyelamatkan penderita. Pilihan prosedur bedah terkait dengan mioma uteri
adalah miomektomi atau histerektomi.
Referensi:
Anwarr M, Baziad A, Prabowo P, Ilmu Kandungan, Edisi 3, Jakarta: Bina Pustaka
Sarwono; 2017.

Pil Kontrasepsi
Pil kontraspsi kombinasi yang sekarang digunakan tidak berisi estrogen dan progesterone
alamiah, melainkan steroid sintetik. Ada dua jenis progesterone sintetik yang dipakai, yaitu yang
berasal dari 19 nor-testosteron, dan yang berasal dari 17 alfa-asetoksi-progesteron. Yang berasal
dari 17 alfa-asetoksi-progesteron, akhir-akhir ini di Amerika Serikat tidak dipergunakan lagi
untuk pil kontrasepsi oleh karena pada binatang percobaan (anjing) pil yang mengandung zat ini,
bila diperginakan dalam waktu yang lama, dapat menimbulkan tumor mamma. Derivate dari 19
nor-testostero yang sekarang banyak dipergunakan untuk pil kontrasepsi ialah noretinodrel,
norethindron asetat, etinodiol diasetat, dan norgestrel.
Estrogen yang banyak dipakai untuk pil kontrasepsi ialah etinil estradiol dan mestranol.
Masing-masing dari zat ini mempunyai ethynil group pada atom C 17. Dengan adanya ethynil
group pada atom C 17 ini, khasiatnya meninggi jika dimakan per oral oleh karena zat-zat tersebut
tidak mudah atau tidak seberapa cepat diubah sewaktu melalui system portal, berbeda dari
steroid alamiah. Jadi, steroid sintetik mempunyai potensi yang lebih tinggi per unit dibandingkan
dengan steroid alamiah kalau ditelah per oral.

Mekanisme Kerja
Pil-pil kontrasepsi terdiri atas komponen estrogen dan komponen progestagen, atau oleh satu dari
komponen hormon itu. Hormon steroid sintetik dalam metabolismenya sangat berbeda dengan
hormon steroid yang dikeluarkan oleh ovarium. Umumnya dapat dikatakan bahwa komponen
estrogen dalam pil menekan sekresi FSH menghalangi maturasi folikel dalam ovarium. Karena
pengaruh estrogen dari ovarium terhadap hipofisis tidak ada, maka tidak terdapat pengeluaran
LH. Pada pertengahan siklus haid kadar FSH rendah dan tidak terjadi peningkatan kadar LH,
sehingga menyebabkan ovulasi terganggu. Komponen progesteron dalam pil kombinasi
memperkuat khasiat estrogen untuk mencegah ovulasi, sehingga dalam 95-98% tidak terjadi
ovulasi. Selanjutnya, estrogen dalam dosis tinggi dapat pula mempercepat perjalanan ovum yang
akan menyulitkan terjadinya implantasi dalam endometrium dari ovum yang sudah dibuahi.
Komponen progesterone dalam pil kombinasi seperti disebut di atas memperkuat kerja estrogen
untuk mencegah ovulasi. Progesteron sendiri dalam dosis tinggi dapat menghambat ovulasi,
tetapi tidak dalam dosis rendah. Selanjutnya, progesterone mempunyai khasiat sebagai berikut:
 Lendir serviks uteri menjadi lebih kental, sehingga menghalangi penetrasi spermatozoa untuk
masuk dalam uterus
 Kapasitasi spermatozoa yang perlu untuk memasuki ovum terganggu
 Beberapa progesteron tertentu, seperti noretinodrel, mempunyai efek antiestrogenik terhadap
endometrium, sehingga menyulitkan implantasi ovum yang telah dibuahi.
Anwarr M, Baziad A, Prabowo P, Ilmu Kandungan, Edisi 3, Jakarta: Bina Pustaka
Sarwono; 2017.

Mola Hidatidosa
Definisi
Mola hidatidosa adalah suatu kehamilan yang berkembang tidak wajar di mana tidak ditemukan
janin dan hamper seluruh vili korialis mengalami perubahan berupa degenerasi hidropik.

 Mola hidatidosa komplet


- Perdarahan pervaginam : gejala umum dari mola komplet.
- Jaringan mola terpisah dari desidua, menyebabkan perdarahan. Uterus mungkin
membesar karena sejumlah besar darah dan cairan gelap masuk ke dalam vagina. Gejala
ini muncul pada 97% kasus.
- Hiperemesis : karena peningkatan secara ekstrem kadar hCG
- Hipertiroidisme : kira-kira 7% pasien mengalami takikardi, tremor dan kulit yang hangat.

 Mola hidatidosa parsial


- Pasien dengan mola hidatidosa parsial tidak memiliki gejala yang sama dengan mola
komplet. Pasien ini biasanya mempunyai gejala dan tanda seperti abortus inkomplet atau
missed abortion.
- Perdarahan pervaginam
- Adanya denyut jantung janin

Penyebab mola hidatidosa tidak diketahui secara pasti, namun faktor penyebabnya yang kini
telah diakui adalah :
1. Faktor ovum : ovum memang sudah patologik sehingga mati, tetapiterlambatdikeluarkan.
2. Usia ibu yang terlalu muda atau tua (36-40 tahun) beresiko 50% terkena penyakit ini.
3. Imunoselektif dari sel trofoblast
4. Keadaan sosioekonomi yang rendah
5. Paritas tinggi
6. Defisiensi vitamin A
7. Kekurangan protein
8. Infeksi virus dan factor kromosom yang belum jelas
Referensi:
Cunninngham. F.G. dkk. 2014. “Mola Hidatidosa” Penyakit Trofoblastik Gestasional
Obstetri Williams. Edisi 24. Vol 2. EGC: Jakarta.

Gangguan Haid Pada Masa Reproduksi


1. Gangguan lama dan jumlah darah haid
a. Hipermenorea (menoragia), adalah perdarahan haid dengan jumlah darah lebih banyak
dan/atau durasi lebih lama dari normal dengan siklus yang normal teratur. Secara klinis
menoragia didefinisikan dengan total jumlah darah haid lebih dari 80 ml per siklus dan
durasi haid lebih lama dari 7 hari.
b. Hipomenorea, adalah perdrahan haid dengan jumlah darah lebih sedikit dan/atau durasi
lebih pendek dari normal. Beberapa penyebab hipomenorea yaitu gangguan organic
misalnya menunjukkan bahwa tebal andometrium tipis dan perlu evaluasi lebih lanjut.

2. Gangguan siklus haid


a. Polimenorea, adalah haid dengan siklus yang lebih pendek dari normal yaitu kurang dari
21 hari. Penyebab polimenorea bermacam-macam antara lain gangguan endokrin yang
menyebabkan gangguan ovulasi, fase luteal memendek, dan kongesti ovarium karena
perdarahan.
b. Oligomenorea, adalah haid dengan siklus yang lebih panjang dari normal yaitu lebih dari
35 hari. Sering terjadi pada sindroma ovarium polikistik yang disebabkan oleh
peningkatan hormon androgen sehingga terjadi gangguan ovulasi. Pada remaja
oligomenorea dapat terjadi karena imaturitas poros hipotalamus hipofisis ovarium
endometrium.
c. Amenorea, adalah panjang siklus haid yang memanjang dari panjang siklus haid klasik
(oligomenorea) atau tidak terjadinya perdarahan haid, minimal tiga bulan berturut-turut.
3. Gangguan perdarahan di luar siklus haid
a. Menometroragia, adalah perdarahan dari vagina pada seorang wanita tanpa ada hubungan
dengan suatu siklus haid dengan interval yang tidak teratur dan jumlah perdarahan yang
banyak.

4. Gangguan lain yang berhubungan dengan haid


a. Dismenorea, adalah kondisi medis yang terjadi sewaktu haid/mestruasi yang dapat
mengganggu aktivitas dan memerlukan pengobatan yang ditandai dengan nyeri atau rasa
sakit di daerah perut maupun panggul.
b. Sindroma prahaid, adalah kumpulan gejala fisik, psikologis, dan emosi yang terkait
dengan siklus menstruasi wanita.
Referensi:
Anwarr M, Baziad A, Prabowo P, Ilmu Kandungan, Edisi 3, Jakarta: Bina Pustaka
Sarwono; 2017.

Polycistic Ovary Syndrome (PCOS)


Definisi
PCOS adalah suatu kelainan pada wanita yang ditandai dengan adanya hiperandrogenisme
dengan anovulasi kronik yang saling berhubungan dan tidak disertai dengan kelainan pada
kelenjar adrenal maupun kelenjar hipofisis.

Patofisiologi
Secara normal, kadar estrogen mencapai titik terendah pada saat seorang wanita dalam
keadaan menstruasi. Pada waktu yang bersamaan, kadar LH dan FSH mulai meningkat dan
merangsang pembentukan folikel ovarium yang mengandung ovum. Folikel yang matang
memproduksi hormon androgen seperti testosteron dan androstenedion yang akan dilepaskan ke
sirkulasi darah. Beberapa dari hormon androgen tersebut akan berikatan dengan sex hormone
binding globulin (SHBG) di dalam darah. Androgen yang berikatan ini tidak aktif dan tidak
memberikan efek pada tubuh. Sedangkan androgen bebas menjadi aktif dan berubah menjadi
hormon estrogen di jaringan lunak tubuh. Perubahan ini menyebabkan kadar estrogen meningkat,
yang mengakibatkan kadar LH dan FSH menurun. Selain itu kadar estrogen yang terus
meningkat akhirnya menyebabkan lonjakan LH yang merangsang ovum lepas dari folikel
sehingga terjadi ovulasi. Setelah ovulasi terjadi luteinisasi sempurna dan peningkatan tajam
kadar progesteron yang diikuti penurunan kadar estrogen, LH dan FSH. Progesteron akan
mencapai puncak pada hari ke tujuh sesudah ovulasi dan perlahan turun sampai terjadi
menstruasi berikutnya. Pada sindrom ovarium polikistik siklus ini terganggu. Karena adanya
peningkatan aktivitas sitokrom p-450c17 (enzim yang diperlukan untuk pembentukan androgen
ovarium) dan terjadi juga peningkatan kadar LH yang tinggi akibat sekresi gonadotropine
releasing hormone(GnRH) yang meningkat. Hal ini sehingga menyebabkan sekresi androgen
dari ovarium bertambah karena ovarium pada penderita sindrom ini lebih sensitif terhadap
stimulasi gonadotropin. Peningkatan produksi androgen menyebabkan terganggunya
perkembangan folikel sehingga tidak dapat memproduksi folikel yang matang. Hal ini
mengakibatkan berkurangnya estrogen yang dihasilkan oleh ovarium dan tidak adanya lonjakan
LH yang memicu terjadinya ovulasi.
Selain itu adanya resistensi insulin menyebabkan keadaan hiperinsulinemia yang
mengarah pada keadaan hiperandrogen, karena insulin merangsang sekresi androgen dan
menghambat sekresi SHBG hati sehingga androgen bebas meningkat. Pada sebagian kasus
diikuti dengan tanda klinis akantosis nigrikans dan obesitas tipe android.

Dampak Klinis
1. Infertilitas
2. Hipertensi dan penyakit jantung koroner
3. Diabetes mellitus
4. Masalah kulit dan hirsutisme
5. Obesitas
6. Kanker endometrium

Penatalaksanaan
Pada sindrom ovarium polikistik, perkembangan folikel dan ovulasi terganggu sehingga
terjadi infertilitas. Antiestrogen - dalam hal ini klomifen sitrat paling banyak dipakai -
merupakan pilihan pertama untuk mengindukasi ovulasi. Walaupun pemberian klomifen sitrat
dapat menyebabkan ovulasi tetapi tidak memperbesar kemungkinan terjadinya konsepsi.
Sehingga apabila pasien gagal hamil dengan terapi ini maka dicoba terapi dengan menggunakan
human menopausal gonadotropine (hMG) atau human follicle stimulating hormone (hFSH) yang
telah dimurnikan.
Pada keadaan hiperandrogenisme, hirsutisme merupakan masalah yang sering dikeluhkan
oleh pasien. Jika tidak terlalu banyak dan terlokalisasi, maka dapat lebih mudah dihilangkan
secara mekanik. Tetapi jika cara tersebut tidak efektif, dapat diberikan terapi antiandrogen. Yang
banyak dipakai adalah siprosteron asetat, yang merupakan progestin sintetik. Saat ini dengan
elektrolisis, rambut yang tumbuh berlebihan dapat dihilangkan secara permanen.
Penurunan berat badan juga perlu dilakukan oleh pasien sindrom ovarium polikistik yang
sebagian besar memang mengalami obesitas. Dengan penurunan berat badan maka siklus
menstruasi menjadi teratur, ovulasi dapat terjadi secara spontan dan dapat mengurangi kejadian
resistensi insulin.
Pada saat ini terapi alternatif yang lebih sering digunakan untuk sindrom ovarium
polikistik adalah dengan senyawa sensitisasi insulin yaitu metformin dan troglitazon. Dengan
terapi ini diharapkan sensitifitas tubuh terhadap insulin meningkat, sehingga dapat memperbaiki
kelainan hormonal yang berhubungan dengan sindrom ini. Selain itu juga dapat menurunkan
berat badan dengan cara memperbaiki metabolisme gula di perifer, meningkatkan penggunaan
glukosa oleh usus dan menekan oksidasi asam lemak.

Meigs Syndrome
Meigs syndrome adalah triase tumor ovarium jinak dengan asites dan efusi pleura yang muncul
setelah dilakukan tindakan reseksi pada tumor tersebut.

Asherman Syndrome
Asherman syndrome adalah terbentuknya jaringan parut pada cavum uterus. Masalah tersebut
paling sering muncul setelah pembedahan yang dilakukan pada uterus.

Sheehan Syndrome
Sheehan syndrome yang juga dikenal sebagai sindrom simmond atau nekrosis kelenjar hipofisis
postpartum, merupakan hipopituitarisme (penurunan fungsi dari kelenjar hipofisis), akibat dari
nekrosis iskemik setelah perdarahan dan syok hipovolemik selama dan setelah proses persalinan.

Hughes Syndrome
Hughes syndrome yang dikenal juga sebagai antiphospolipid syndrome (APS) merupakan
gangguan sistem imun yang menyebabkan resiko terjadinya peningkatan pembekuan darah.

Cara Mengevaluasi Panggul


Pelvimetri Luar
Cara ini dapat ditentukan secara garis besar jenis, bentuk, dan ukuran-ukuran panggul apabila
dilakukan dengan pemeriksaan dalam. Alat-alat yang dipakai antara lain : jangkar-jangkar panggul
Martin, Oseander, Collin, Boudeloque dan sebagainya. Yang diukur adalah :
 Distansia spinarum (± 24-26 cm), jarak anatar kedua spina iliaka anterior superior sinistra dan
dekstra.
 Distansia kristarum (± 28-30 cm), jarak yang terpanjang antara dua tempat yang simetris pada
krisna iliaka sinistra dan dekstra.
 Distansia oblikua eksterna (ukuran miring luar), jarak antara spina iliaka posterior sinistra dan
spina iliaka anterior superior dekstra dan dari spina iliaka posterior dekstra dan spina iliaka
anterior superior sinistra.
 Distansia intertrokanterika, jarak antara kedua trokanter mayor.
 Konjugata eksterna (Boudeloque) ± 18 cm, jarak antara bagian atas simfisis ke profesus spinosus
lumbal 5.
 Distansia tubernum (± 10,5 cm), jarak antara tuber iskii kanan dan kiri.

3 Penyebab utama kematian ibu hamil di Indonesia


a. Perdarahan hebat pasca salin
b. Infeksi pasca salin
c. Tekanan darah tinggi saat kehamilan (preeklamsia/eklamsia)
Referensi:
Kementerian Kesehatan RI. 2015. Situasi Kesehatan Ibu. Pusat data dan Informasi
Kementerian Kesehatan RI.
Inkontinensia urin dan Overactive bladder
Inkontinensia adalah suatu keadaan di mana air kemih tidak dapat ditahan. Inkontinensia
merupakan sebuah gejala dan merupakan suatu kelainan dari penambahan usia. Prevalensi pada
inkontinensi urin akan meningkat sesuai dengan umur yang semakin tua. Ketidakmampuan
menahan air seni atau inkontinensia urin dapat disebabkan karena sfingter vesika urinaria yang
tidak berfungsi dengan baik. Vesika urinaria dan uretra dapat dilihat sebagai suatu kesatuan yaitu
dengan melihat arah pertumbuhan yang berasal dari jaringan sekitar sinus urogenitalis. Otot-otot
yang terdapat pada vesika tumbuh beranyaman satu sama lain menjadi sebuah lapisan dengan
serabut yang ditemukan pada dinding uretra dan disebut sebagai otot-otot uretra. Otot-otot
tersebut disebut sebagai muskulus sfingter vesisae internus atau muskulus lisosfingter. Otot
tersebut terletak di bawah lapisan jaringan yang elastis dan tebal di sebelah luar dilapisi jaringan
ikat.
Di dalam lapisan elastis yang tebal ditemukan lapisan mukosa dengan jaringan
submukosa yang spongius. Di samping muskulus sfingter vesisae internus dan lebih sedikit
mengarah ke distal sepanjang 2 cm uretra dilingkari oleh suatu lapisan otot tidak polos yang
dikenal sebagai muskulus sfingter uretra eksternus atau muskulus rabdosfingter eksternus. Otot
ini dapat meningkatkan fungsi sfingter vesika dengan menarik uretra ke arah proksimal hingga
uretra menyempit. Otot-otot polos vesika urinaria dan uretra berada di bawah pengaruh saraf
parasimpatetis dan dengan demikian berfungsi serba otonom. Muskulus rabdosfingter merupakan
sebagian dari otot-otot dasar panggul, sehingga kekuatannya dapat ditingkatkan dengan latihan-
latihan dasar panggul tertentu. Begitu pula ikut memperkuat muskulus bulbokarvenosus dan
iskiokarvenosus. Dengan muskulus rabdosfingter ini uretra dapat aktif ditutup jika vesika penuh
dan ada perasaan inginberkemih, hingga tidak terjadi inkontinensia. Jika vesika urinaria berisi
urin maka otot dinding vesika mulai diregangkan dan keinginan ingin berkemih akan disalurkan
melalui saraf sensorik ke bagian sakral sumsum tulang belakang. Rangsangan dapat disalurkan
ke bagian motorik yang kemudian dapat menimbulkan kontraksi ringan pada otot dinding vesika.
Jika vesika urinaria berisi sedikit, maka kontraksi ringan tidak menimbulkan pengeluaran
air kemih. Akan tetapi, bila vesika urinaria terus diregangkan maka muskulus destrusor
berkontraksi lebih kuat dan urin dikeluarkan.
Trauma pada persalinan merupakan penyebab utama inkontinensia urina yang fungsional.
Pada persalinan dasar panggul didorong dan diregangkan dan sebagian akan robek. Kerusakan
tersebut akan menimbulkan kelainan letak vesika. Demikian pula otot-otot sekitar dasar vesika
dan leher vesika akan mengalami cidera. Keadaan ini dapat menimbulkan inkontinensia pada
masa nifas dan akan hilang sendirinya ketika jaringan cidera sudah sembuh. Selain itu penyebab
lain dari inkontinensia adalah inkontinensia kausa serebral tanpa adanya kelainan anatomik
namun jarang ditemukan. Inkontinensia ini adalah enuresis nokturna yaitu biasa disebut sebagai
mengompol pada malam hari bila terjadi pada siang hari maka disebut sebagai enuresis diurna.
Latar belakang dari kelainan ini adalah histeri, psikosis dan kelainan mental lainnya.
Inkontinensia dibagi menjadi beberapa tingkat yaitu:
a. Tingkat I : adanya air kemih yang keluar walaupun sedikit pada waktu batuk, bersin,
tertawa ataupun bekerja berat.
b. Tingkat II : air kemih yang keluar dengan bekerja ringan, naik tangga ataupun
berjalan
c. Tingkat III : air kemih yang keluar terus menerus dan tidak tergantung dari berat
ringannya bekerja, bahkan ketika berbaring dapat mengeluarkan air kemih
Inkontinensia tingkat I dan II dapat disebut sebagai stress-incontinence. Dalam
mendiagnosis inkontinensia dapat dilakukan beberapa pemeriksaan seperti:
 Pasien diminta untuk duduk di bangku dengan membuka bagian pada dan diminta untuk
mengedan atau batuk. Jika terdapat inkontinensia fungsional dari uretra akan keluar air seni.
Jika pasien diminta membungkuk ke depan baru air seni keluar maka kerusakan terletak pada
bagian atas uretra atau leher vesika.
 Vesika urinaria diisi dengan cairan metilen biru atau indigokarmin. Pasien diberi handuk dan
diminta berjalan, batuk ataupun mengedan. Bila handuk berwarna biru atau berwarna
indigokarmin maka menunjukkan adanya inkontinensia urin
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah:
 Sistoskopi : digunakan untuk menentukan adanya radang, tumor, struktut, perubahan struktur
vesika yang mungkin dapat menimbulkan inkontinensia
 Uretrosistografi : memperlihatkan keadaan uretra, vesika urinaria dan sudut antara uretra dan
vesika untuk menemui etiologi inkontinensia
 Sfingterometri : menunjukkan bahwa tahanan dari muskulus rabdosfingter lebih tinggi
daripada muskulus lisosfingter dengan memanfaatkan elektromiografi
 Ultrasonografi
Pengobatan dapat berdasarkan dari apa yang ditemukan jika hanya menemukan uretrokel
atau sisto-uretrokel maka kolporafia anterior dengan memperkuar otot-otot di leher vesika dan
uretra mungkin sudah cukup. Bila ditemukan desensus uteri dan biasanya juga terjadi maka
operasi yang dapat dilakukan adalah operasi Manchester-Forthergill pada mana ligamentum
kardinal kanan dan kiri dihajit ke depan serviks. Dengan pengangkatan sebagian porsio dan
jahitan tersebut maka timbul suatu jaringan yang menjadi penunjang vesika dan uretra bagian
atas. Bila sama sekali tidak terjadi desensus uteri dapat dapat dilakukan operasi Marshall-
Marchetti-Krantz yang terdiri dari menggantungkan uretra ke perios simfisis pubis dan bagian
bawah vesika ke muskulus rektus abdominis. Tujuannya adalah memperbaiki sudut antara uretra
dan vesika. Bila dasar penyebab inkontinensua adalah neurogen atau mental maka pengobatan
hendaknya disesuaikan dengan apa yang ditemukan seperti spina bifida okkulata dapat
ditemukan inkontinensia. Enuresis nokturna perlu ditangani secara psikologis jika tidak terdapat
spina bifida. Dalam masa klimakterium bila keadaan jaringan telah mundur, maka kemungkinan
pemberian hormon estrogen perlu dipertimbangkan dengan pengawasan.
Overactive bladder adalah suatu gejala desakan dengan atau tampa gejala inkontinensia
urgensi yang biasanya diikuti dengan frekuensi dan nokturia. Dapat juga didefinisikan sebagain
suatu desakan kuat untuk berkemih yang disertai dengan inkontinensia urin desakan maupun
tanpa inkontinensia urin desakan. Untuk mengobati OAB ini maka meliputi terapi farmakologi
dan non-farmakologi. Terapi farmakologi yang dapat diberikan adalah pemberian obat
antimuskarinik. Untuk terapi non-farmakologi yang dapat dilakukan adalah dengan perubahan
gaya hidup serta terapi fisik dan/atau terapi perilaku (seperti melatih kandung kemih, pengaturan
jadwal berkemih dan latihan otot dasar panggul).
Referensi:
1. Anwarr M, Baziad A, Prabowo P, Ilmu Kandungan, Edisi 3, Jakarta: Bina Pustaka
Sarwono; 2017.
2. Hariwibowo R, Rahardjo HE. Pilihan Terapi pada Overactive Bladder Refrakter.
2014;Jakarta.
Inversio uteri dan Prolpas uteri
Inversio uteri adalah suatu keadaan di mana bagian atas uterus (fundus uteri) masuk ke
kavum uteri, sehingga fundus uteri sebelah dalam menonjol ke dalam kavum uteri, bahkan ke
dalam vagina dengan dinding endometrium sebelah luar. Klasifikasi inversion uterus dapat
terjadi pada masa nifas atau di luar nifas. Jika terjadi di luar masa nifas maka biasanya parsial
dan sering dihubungkan dengan adanya tumor uterus. Sementara itu, inversio yang terjadi waktu
melahirkan dan pasca persalinan dapat terjadi akut. Terdapat beberapa jenis dari inversio uteri
yaitu:
 Inversio lokal : fundus uteri menonjol sedikit ke dalam kavum uteri
 Inversio parsial : bila tonjolan fundus uteri hanya dalam kavum uteri
 Inversio inkomplit : penonjolan sampai ke kanalis servikalis
 Inversio komplit : tonjolan sudah sampai ostium uteri eksternum
 Inversio total : tonjolan sudah mencapai vagina atau keluar vagina
Penyebab dari inversio uteri biasanya terjadi pada saat kala III persalinan atau
sesudahnya. Tekanan yang dilakukan pada fundus uteri ketika uterus tidak berkontraksi baik,
tarikan pada tali pusat, hipotonia uteri dapat merupakan awal masuknya fundus uteri ke dalam
kavum uteri dan dengan adanya kontraksi yang berturut-turut, mendorong fundus yang terbalik
ke bawah. Inversio uteri dapat juga terjadi di luar persalinan, misalnya pada myoma geburt yang
sedang ditarik untuk dilahirkan.
Gejala pada inversio uteri yang terjadi akut pada akhir persalinan menimbulkan gejala
mengkhawatirkan seperti syok, nyeri keras dan perdarahan. Keadaan ini sering disebebakn dari
plasenta akreta. Pada inversio uteri yang kronik gejala yang dapat ditemukan adalah metroragia,
nyeri punggung, anemia dan banyak keputihan. Untuk mendiagnosis inversio uteri adalah
dengan menemukan gejala syok berat, perdarahan, tidak terabanya fundus uteri di bawah pusar
dan terabanya massa yang lembek di vagina. Pada inversio menahun massa yang diraba terasa
lebih keras.
Sebagai tindakan pencegahan, dalam memimpin persalinan harus selalu waspada akan
kemungkinan terjadinya inversio, misalnya pada partus presipitatus, plasenta manual, tarikan
pada tali pusat, memijat uterus yang lembek. Pada inversio uteri yang sudah terjadi sembari
mengatasi syok, dilakukan reposisi manual dalam narkose. Seluruh tangan kanan dimasukkan ke
dalam vagina, melingkari tumor dalam vagina dna telapak tangan mendorong perlahan-lahan
tomor ke atas melalui serviks yang masih terbuka. Setelah reposisi berhasil, tangan
dipertahankan sampai terasa uterus berkontraksi dan jika perlu dilakukan pemasangan tampon ke
dalam kavum uteri dan vagina. Tampon dilepas setelah 24 jam dan sebelumnya sudah diberik
uterotonika. Pada inversio uteri menahun prosedur di atas tidak dapat dilakukan karena
lingkarang kontraksi pada ostium uteri eksternum sudah mengecil dan menghalangi lewatnya
korpus uteri yang terbaik. Dalam hal ini perlu dilakukan operasi setelah infeksi diatasi. Tindakan
operatif untuk inversio uteri antara lain dapat dilakukan dengan opersai menurut Spinell, Haultin
dan Huntington. Selain itu dapat juga dilakukan histerektomi
Prolaps adalah tergelincir atau jatuhnya suatu bagian dari tempat asalnya. Prolaps
genitalis adalah penempatan yang salah organ pelvis ke dalam vagina atau melampaui lubang
vagina. Organ yang dimaksud dapat meliputi uretra, kandung kemih, usus besar dan usus kecil.
Gejala yang dapat dikeluhkan adalah kesulitan miksi, defekasi dan hubungan seksual. Penyebab
prolaps organ pelvis sulit untuk menemukan etiologinya, secara hipotesa penyebab utama adalah
persalinan pervaginam dengan bayi aterm hal tersebut disebabkan karena terjadinya kerusakan
pada fasia penyangga dan inervasi syaraf otot dasar panggul. Faktor lain seperti lemahnya
kualitas jaringan ikat, penyakit neurologik, keadaan penyakit menahun yang menyebabkan
meningkatnya tekanan inta-abdominal atau obesitas, asites, tumor pelvis, mempermudah
terjadinya prolapsus genitalis. Bila prolapsus uteri dijumpai pada nulipara. Faktor penyebabnya
adalah kelainan bawaan berupa kelemahan jaringan penunjang uterus.
Keluhan yang dapat dijumpai pada umumnya adalah perasaan yang mengganjal di vagina
atau adanya sesuatu yang menonjol di genital eksterna, rasa sakit di panggul atau pinggang dan
bisa pasien berbaring keluhan berkurang bahkan menghilang. Terdapat beberapa klasifikasi pada
prolaps uteri yaitu:
 Desensus uteri, uterus turun tetapi serviks masih di vagina
 Prolaps uteri tingkat I, uterus turun dengan serviks uteri turun paling rendah sampaii introitus
vagina
 Prolaps uteri tingkat II, sebagian besar uterus keluar dari vagina
 Prolaps uteri tingkat III atau prosidensia uteri, uterus keluar seluruhnya dari vagina disertai
dengan inversio vagina
Pemeriksaan yang dilakukan untuk mendiagnosis prolaps uteri adalah penderita dalam
posisi jongkok dan diminta untuk mengejan, kemudian dengan telunjuk menentukan apakah
porsio uteri dalam posisi normal atau sudah sampai introitus vagina atau keseluruhan serviks
sudah keluar dari vagina. Selanjutnya dalam posisi berbaring diukur panjang serviks. Panjang
serviks yang lebih panjang dari biasa dinamakan elongasio koli.
Pengobatan yang dapat dilakukan adalah tergantung derajat dari prolaps. Tindakan yang
dapat dilakukan adalah:
 Latihan otot dasar panggul (senam Kegel) yang bertujuan untuk menguatkan otot dasar
panggul
 Stimulasi otot dengan listrik. Kontraksi otot dasar panggul dapat pula ditimbulkan dengan
alat listrik. Elektrodanya dipasang pada pesarium yang dimasukkan ke dalam vagina
 Pengobatan dengan pesarium. Pengobatan bersifat paliatif yaitu menahan uterus di tempatnya
selama pemakaian pesarium.
Pesarium dapat digunakan bertahun-tahun namu harus dilakukan pengawasan secara
teratur. Jika penempatan pesarium tidak tepat atau ukuran yang tidak tepat dapat menyebabkan
perlukaan pada dinding vagina dan dapat menyebabkan ulserasi dan perdarahan. Pesarium
diindikasikan bagi yang belum siap melakukan tindakan operasi.
Prolaps uteri biasanya disertai dengan prolaps vagina. Jika dilakukan pembedahan untuk
prolpas uteri, prolaps vagina juga perlu ditangani. Untuk penangana pada prolaps uteri tindakan
yang dilakukan berdasarkan beberapa faktor seperti umur penderita, masih berkeinginan untuk
mendapatkan anak atau mempertahankan uterus, tingkatan prolapsus dan adanya keluhan. Selain
itu dapat dilakukan operasi Manchester dan histerektomi vaginal.
Referensi:
Anwarr M, Baziad A, Prabowo P, Ilmu Kandungan, Edisi 3, Jakarta: Bina Pustaka
Sarwono; 2017.

Senam Kegel
Senam kegel atau Kegel Exercise adalah sebuah kegiatan untuk meingkatkan kontraksi
dari otot pelvis yang berkontribusi mengontrol keluarnya urin dan untuk menguatkan otot dan
juga untuk mengontrol ataupun mencegah terjadinya inkontinensia. Kehamilan dan persalinan
dapat menyebabkan masalah pada pelvis dan menyebabkan kelainan seperti inkontinensia urin,
fekal dan prolaps dari organ pelvis. Senam ataupun olahraga pelvis ini efektif dalam mencegah
dan mengatasi disfungsi pada pelvis saat kehamilan dan masa setelah melahirkan. Dari beberapa
penelitian yang sudah dilakukan senam kegel juga efektif dalam mencegah dan mengatasi
prolaps uteri. Senam ini dapat dilakukan setiap hari ataupun sebanyak 1-3 kali dalam seminggu.
Referensi:
Joshi C, Mohsin Z, Joshi A. Role of postpartum Kegel exercises in the prevention and cure
of stress incontinence. Int J Reprod Contracept Obstet Gynecol. 2016;669–73.

Endometriosis
Endometriosis adalah gangguan ginekologi jinak umum yang didefinisikan sebagai
adanya jaringan kelenjar endometrium dan stroma di luar lokasi normal. Endometriosis paling
sering ditemukan pada peritoneum panggul, tetapi dapat juga ditemukan di ovarium, septum
rektovaginal, ureter, namun jarang ditemukan di vesika urinaria, perikardium, dan pleura.
Gejala klasik dari endometriosis meliputi dysmenorea, dyspareunia, dyschezia dan atau
infertilitas. Pada endometriosis yang menyerang organ usus, gejala yang biasanya timbul
meliputi perdarahan, obstruksi usus, namun jarang dengan perforasi maupun mengarah kepada
keganasan. Gejala dapat timbul pada 40% pasien, dan rasa nyeri bervariasi tergantung pada
tempat terjadinya endometriosis. Gejala yang disampaikan oleh pasien seperti nyeri perut,
distensi, diare, konstipasi, dan tenesmus.
Pemeriksaan fisik pada endometriosis dimulai dengan melakukan inspeksi pada vagina
menggunakan spekulum, yang dilanjutkan dengan pemeriksaan bimanual dan palpasi
rektovagina. Pemeriksaan bimanual dapat menilai ukuran, posisi dan mobilitas dari uterus.
Pemeriksaan rektovagina diperlukan untuk mempalpasi ligamentum sakrouterina dan septum
rektovagina untuk mencari ada atau tidaknya nodul endometriosis. Pemeriksaan saat haid dapat
meningkatkan peluang mendeteksi nodul endometriosis dan juga menilai nyeri.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan endometriosis adalah
ultrasonografi transvaginal dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) dan pemeriksaan marka
biokimiawi
Endometriosis dianggap sebagai penyakit yang bergantung pada estrogen, sehingga salah
satu pilihan pengobatan adalah dengan menekan hormon menggunakan obat-obatan untuk
mengobatinya.
Saat ini, pil kontrasepsi, progestin, GnRH agonis dan aromatase inhibitor adalah jenis
obat-obatan yang sering dipakai dalam tatalaksana medikamentosa endometriosis. Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa masing-masing obat tersebut setara dalam pengobatan
endometriosis, sehingga jenis obat yang digunakan harus mempertimbangkan preferensi pasien,
efek samping ,biaya dan ketersediaan obat tersebut.
Referensi:
Perkumpulan Obstetri Ginekologi (POGI)&Himpunan Endokrinologi-Reproduksi dan
Fertilitas Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK): Konsesus
Tatalaksana Nyeri Haid & Endometriosis .Indonesia: POGI

Endometritis

Endometritis adalah peradangan pada lapisan endometrium uterus, biasanya terjadi


sebagai suatu hasil dari infeksi bakteri patogen terutama terjadi melalui vagina dan menerobos
serviks sehingga mengkontaminasi uterus.
Radang pada endometrium uterus ini juga dapat disebabkan infeksi sekunder yang berasal
dari bagian lain tubuh sehingga dapat menyebabkan gangguan reproduksi pada hewan betina.
Penyebab lain adalah karena kelanjutan dari abnormalitas partus seperti abortus, retensio
sekundinarium, kelahiran prematur, kelahiran kembar, distokia serta perlukaan pada saat membantu
kelahiran.
Gejala klinis endometritis sering tidak jelas, walaupun dilakukan pemeriksaan transrektal
atau vaginal terutama jika peradangan bersifat akut. Endometritis kronis yang disertai dengan
penimbunan cairan (hydrometra) atau nanah (pyometra), gejalanya akan lebih jelas, terutama pada
saat induk berbaring, akan ada cairan yang keluar dari vulva yang berbentuk gumpalan nanah. Hal ini
disebabkan karena uterus yang mengandung nanah atau cairan tertekan diantara lantai kandang
dengan rumen. Gejala lain yang mungkin terlihat khususnya pada endometritis akut adalah suhu yang
meningkat disertai demam, poliuria, nafsu makan menurun, produksi susu menurun, denyut nadi
lemah, pernafasan cepat, ada rasa sakit pada uterus yang ditandai dengan sapi menengok ke
belakang,ekor sering diangkat, dan selalu merejan. Pada pemeriksaan transrektal, uterus teraba
membesar dan dindingnya agak menebal.
Choriocarcinoma
Choriocarcinoma adalah suatu jenis dari penyakit trofoblastik gestasional dimana merupakan
suatu tumor ganas yang berasal dari sel-sel sitotrofoblas serta sinsitiotrofoblas yang menginvasi
miometrium, merusak jaringan sekitarnya termasuk pembuluh darah sehingga menyebabkan
perdarahan.

Leukore
Keputihan (leukorea/fluor albus/vaginal discharge) adalah semua pengeluaran cairan dari
alat genitalia yang tidak berupa darah. Keputihan bukanlah penyakit tersendiri, tetapi merupakan
manifestasi gejala dari hampir semua penyakit kandungan. Penyebab utama keputihan harus
dicari dengan anamnesa, pemeriksaan kandungan, dan pemeriksaan laboratorium.
Klasifikasi :
1. Keputihan fisiologis
Berupa cairan jernih, tidak berbau dan tidak gatal, mengandung banyak epitel dengan
leukosit yang jarang.
2. Keputihan patologis
Cairan eksudat yang berwarna, mengandung banyak leukosit, jumlahnya
berlebihan, berbau tidak sedap, terasa gatal atau panas, sehingga seringkali menyebabkan
luka akibat garukan di daerah mulut vagina.
Keputihan yang fisiologis terjadi pada:
1. Bayi baru lahir kira-kira 10 hari, hal ini karena pengaruh hormon estrogen dan progesteron
sang ibu.
2. Masa sekitar menarche atau pertama kali datang haid.
3. Setiap wanita dewasa yang mengalami kegairahan seksual, ini berkaitan dengan kesiapan
vagina untuk menerima penetrasi saat senggama.
4. Masa sekitar ovulasi karena produksi kelenjar-kelenjar mulut rahim.Kehamilan yang
menyebabkan peningkatan suplai darah ke daerah vagina dan mulut rahim, serta penebalan
dan melunaknya selaput lendir vagina.
Patologis
Empat kondisi patologis yang umum dikaitkan dengan keputihan: bacterial vaginosis (BV),
aerobik vaginitis (AV), candidosis, dan infeksi menular seksual, trikomoniasis. Infeksi servik
oleh klamidia atau gonokokal dapat menyebabkan keputihan. Keputihan dapat disebabkan oleh
berbagai kondisi fisiologis dan patologis lainnya termasuk vaginitis atrofi, deskuamatif inflamasi
vaginitis (DIV), servisitis, dan ektopi mukoid. Masalah psikoseksual dapat muncul dengan
episode berulang keputihan. Ini perlu dipertimbangkan jika tes untuk infeksi spesifik negatif.
Banyak gejala dan tanda yang tidak spesifik dan sejumlah wanita mungkin memiliki kondisi lain
seperti dermatosis vulva atau reaksi alergi dan iritasi.

Anda mungkin juga menyukai