Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

Leukemia merupakan penyakit keganasan sel darah yang berasal dari


sumsum tulang, ditandai oleh proliferasi sel-sel darah putih, dengan manifestasi
adanya sel-sel abnormal dalam darah tepi. Pada leukemia leukosit dalam darah
berproliferasi secara tidak teratur, tidak terkendali dan fungsinya menjadi tidak
normal. Oleh karena proses tersebut, fungsi-fungsi lain dari sel darah normal juga
terganggu hingga menimbulkan gejala leukemia yang dikenal dalam klinik.1,2
Leukemia dapat diklasifikasikan berdasarkan perjalanan alamiah
penyakitnya dan berdasarkan tipe sel predominan yang terlibat. Berdasarkan
perjalanan alamiah penyakitnya leukemia dibedakan menjadi leukemia akut dan
kronis. Leukemia akut mencapai 97% dari semua leukemia pada anak sementara
leukemia kronik hanya ditemukan sekitar 3%. Leukemia akut merupakan
leukemia dengan perjalanan klinis yang cepat dan tanpa pengobatan penderita
rata-rata meninggal dalam 2 sampai 4 bulan. Leukemia akut terdiri dari 2 tipe
yaitu leukemia limfoblastik akut (LLA) yang merupakan 82% dari semua
leukemia akut dan leukemia mieloblastik akut (LMA) yang ditemukan mencapai
18%. Di RSU Dr. Sardjito LLA ditemukan sebanyak 79%, LMA 9% dan sisanya
leukemia kronik, sementara itu di RSU Dr. Soetomo pada tahun 2002 LLA
ditemukan sebanyak 88%, LMA 8% dan 4% leukemia kronik.1,6
Penyebab leukemia sampai saat ini sebagian besar belum diketahui dengan
pasti. Namun demikian, pada penelitian mengenai proses leukemogenesis pada
binatang percobaan ditemukan bahwa penyebab leukemia mempunyai
kemampuan melakukan modifikasi nukleus DNA dan kemampuan ini meningkat
bila terdapat suatu kondisi genetik tertentu seperti translokasi, amplifikasi, dan
mutasi onkogen seluler. Kondisi-kondisi tertentu seperti cacat genetik, radiasi
ionik, infeksi virus atau bakteri, kondisi perinatal dan paparan bidang
elektomagnetik, benzene, pestisida dan produk minyak bumi dikaitkan dengan
peningkatan risiko terjadinya leukemia terutama pada anak-anak.1,3
Di Negara berkembang, diagnosis leukemia harus dipastikan dengan
aspirasi sumsum tulang (BMA) secara morfologis, imunofenotip dan karakter
genetik. Pada leukemia akut, penting untuk membedakan LLA dengan LMA
karena akan sangat menentukan jenis terapi dan prognosis penderita. Walaupun
dewasa ini pengobatan leukemia telah menunjukkan hasil yang sangat baik
terutama untuk LLA, tidak jarang ditemukan kasus gawat darurat leukemia
dengan komplikasi infeksi, perdarahan atau disfungsi organ yang terjadi akibat
leukostasis. Hal ini menunjukkan bahwa diagnosis dini leukemia sangat penting
dilakukan.1,6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi

Leukemia merupakan keganasan hematologik yang terjadi akibat proses


neoplastik yang disertai gangguan diferensiasi (maturation arrest) pada berbagai
tingkatan sel induk hemopoetik sehingga terjadi ekspansi progresif dari kelompok
(clone) sel ganas tersebut dalam sumsum tulang, yang kemudian beredar secara
sistemik. Leukemia akut merupakan leukemia dengan perjalanan klinis yang cepat
dan dibagi atas leukemia limfoblastik akut (LLA) dan leukemia mieloblastik akut
(LMA).6
Leukemia limfoblastik akut adalah keganasan klonal dari sel-sel prekursor
limfoid. Lebih dari 80% kasus, sel-sel ganas berasal dari limfosit B dan sisanya
berasal dari sel T. Sementara itu, leukemia mieloblastik akut adalah suatu
penyakit yang ditandai dengan transformasi neoplastik dan gangguan diferensiasi
sel-sel progenitor dari seri myeloid.3

II.2 Epidemiologi

Leukemia akut merupakan keganasan yang paling sering ditemukan pada


anak, yaitu mencapai 30-40% dari seluruh keganasan dan merupakan 97% dari
semua leukemia pada anak. Insidens rata-rata leukemia akut yaitu 4-4,5
kasus/tahun/100.000 anak dibawah usia 15 tahun dan lebih banyak ditemukan
pada anak kulit putih dibandingkan anak kulit hitam.1
Di negara berkembang, leukemia limfoblastik akut (LLA) merupakan 82%
dari seluruh kasus leukemia akut pada anak dengan insidensi tertinggi pada usia 3-
5 tahun dan lebih banyak ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan.
Sementara itu, leukemia mieloblastik akut (LMA) lebih sering ditemukan pada
dewasa dan berjumlah 18% dari seluruh kasus leukemia akut pada anak dengan
insidensi yang tetap dari lahir hingga usia 10 tahun, meningkat sedikit pada masa
remaja. Pada leukemia akut, rasio laki-laki dan perempuan adalah 1,15 untuk LLA
dan mendekati 1 untuk LMA.1
Di Jepang, leukemia akut mencapai 4/100.000 anak, dan diperkirakan tiap
tahun terjadi 1000 kasus baru. Sedangkan di Jakarta pada tahun 1994 insidennya
mencapai 2,76/100.000 anak usia 1-4 tahun. Pada tahun 1996 didapatkan 5-6
pasien leukemia baru setiap bulannya di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta,
sementara itu di RSU Dr. Soetomo sepanjang tahun 2002 dijumpai 70 kasus
leukemia baru.1
Sementara itu Insiden leukemia mieloid akut (AML) pada orang dewasa
adalah kurang lebih 3,7 per 100.000 orang pertahun dan angka kejadian yang
disesuaikan menurut umur lebih tinggi pada pria dibandingkan pada wanita (4.6
versus 3.0). Insiden AML meningkat sesuai umur, yaitu 1,9 pada individu <65
tahun dan 18,6 pada mereka yang berusia >65. Sebuah peningkatan yang
signifikan pada insiden AML telah terjadi selama 10 tahun terakhir.

II.3 Etiologi

Penyebab leukemia sebagian besar belum diketahui, namun terdapat


beberapa kondisi yang dikaitkan dengan peningkatan risiko terjadinya leukemia
pada anak-anak, yaitu cacat genetik, radiasi ionik, infeksi virus atau bakteri,
kondisi perinatal dan paparan bidang elektomagnetik, benzene, pestisida dan
produk minyak bumi.1,3,4
1. Cacat genetik. Anak-anak dengan cacat genetik (Trisomi 21, sindrom
Bloom, anemia Fanconi dan ataksia telangiektasi) mempunyai resiko lebih tinggi
untuk menderita leukemia. Pasien dengan sindrom down mempunyai resiko 10
sampai 18 kali lebih tinggi untuk terkena leukemia baik LLA maupun LMA.
2. Radiasi ionik. Radiasi dosis tinggi merupakan leukemogenik, seperti
dilaporkan di Hiroshima dan Nagasaki sesudah ledakan bom atom. Meskipun
demikian paparan radiasi dosis tinggi in utero secara signifikan tidak mengarah
pada peningkatan insidens leukemia, demikian juga halnya dengan radiasi dosis
rendah. Namun hal ini masih menjadi perdebatan. Pemeriksaan X-ray abdomen
selama trimester I kehamilan menunjukkan peningkatan kasus LLA sebanyak 5
kali.
3. Infeksi virus atau bakteri. Hipotesis yang menarik saat ini mengenai etiologi
leukemia pada anak-anak adalah peranan infeksi virus dan atau bakteri seperti
disebutkan Greaves (Greaves, Alexander 1993). Ia mempercayai ada 2 langkah
mutasi pada sistem imun. Pertama selama kehamilan atau awal masa bayi dan
kedua selama tahun pertama kehidupan sebagai konsekuensi dari respons terhadap
infeksi pada umumnya.
4. Kondisi perinatal. Beberapa kondisi perinatal merupakan faktor resiko
terjadinya leukemia pada anak, seperti yang dilaporkan Cnattingius dkk (1995).
Faktor-faktor tersebut adalah penyakit ginjal pada ibu, penggunaan suplemen
oksigen, asfiksia, berat badan lahir > 4.500 gram, dan hipertensi saat hamil.
Sedangkan Shu dkk (1996) melaporkan bahwa ibu hamil yang menkonsumsi
alkohol meningkatkan resiko terjadinya leukemia pada bayi, terutama LMA.
5. Paparan elektomagnetik. Kontroversi tentang paparan bidang
elektromagnetik masih tetap ada. Beberapa studi tidak menemukan peningkatan,
tetapi studi terbaru menunjukkan peningkatan 2 kali diantara anak-anak yang
tinggal di jalur listrik tegangan tinggi, namun tidak signifikan karena jumlah anak
yang terpapar sedikit.
6. Paparan benzene. Paparan dengan benzene kadar tinggi dapat menyebabkan
aplasi sumsum tulang, kerusakan kromosom dan leukemia. Paparan benzene ini
meningkatkan resiko LLA maupun LMA.
7. Paparan pestisida dan produk minyak bumi. Paparan terhadap pestisida dan
produk minyak bumi pada masa paternal/maternal menunjukkkan peningkatan
resiko leukemia pada keturunannya.

II.4 Klasifikasi Morfologik

Berdasarkan morfologi sel dan pengecatan sitokimia, gabungan ahli


hematologi Amerika, Perancis dan Inggris pada tahun 1976 menetapkan
klasifikasi LMA yang terdiri dari 8 subtipe. Klasifikasi ini dikenal dengan nama
klasifikasi FAB (France, American and British) dan sampai saat ini masih
menjadi diagnosis dasar LMA. Klasifikasi morfologik menurut FAB adalah
seperti berikut :1,4
M-0 Leukemia mielositik akut dengan diferensiasi minimal
M-1 Leukemia mielositik akut tanpa maturasi
M-2 Leukemia mielositik akut dengan maturasi
M-3 Leukemia promielositik hipergranuler
M-4 Leukemia mielomonositik akut
M-5 Leukemia monositik akut
M-6 Leukemia eritroblastik (eritroleukemia)
M-7 Leukemia megakariositik akut
Sementara itu, untuk LLA, penelitian yang dilakukan pada leukemia
limfoblastik akut menunjukkan bahwa sebagian besar LLA mempunyai
homogenitas pada fenotip permukaan sel blas dari setiap pasien. Hal ini memberi
dugaan bahwa populasi sel leukemia itu berasal dari sel tunggal. Oleh karena
homogenitas itu maka dibuat klasifikasi LLA secara morfologik untuk lebih
memudahkan pemakaiannya dalam klinik, klasifikasi LLA menurut FAB adalah
sebagai berikut:1
L-1 Terdiri dari sel-sel limfoblas kecil serupa, dengan kromatin homogeni,
anak inti umumnya tidak tampak dan sitoplasma sempit
L-2 Pada jenis ini sel limfoblas lebih besar tetapi ukurannya bervariasi,
kromatin lebih kasar dengan satu atau lebih anak inti
L-3 Terdiri dari sel limfoblas besar, homogeni dengan kromatin berbercak,
banyak ditemukan anak inti serta sitoplasma yang basofilik dan bervakuolisasi
Gambar 1. Klasifikasi LLA secara morfologik menurut FAB (French, American,
British). Kiri atas gambaran morfologi L1. Kanan atas gambaran morfologi L2.
Bawah gambaran morfologi L3.

II.4 Patofisiologi

Leukemia sebenarnya merupakan istilah untuk beberapa jenis penyakit yang


berbeda dengan manifestasi patofisiologis yang berbeda pula. Mulai dari yang
berat dengan penekanan sumsum tulang yang berat pula seperti pada leukemia
akut sampai kepada penyakit dengan perjalanan yang lambat dan gejala yang
ringan seperti pada leukemia kronik. Pada dasarnya patofisiologi berbagai macam
leukemia akut mempunyai kemiripan tetapi sangat berbeda dengan leukemia
kronik.1,6
Sel-sel darah berkembang di dalam sumsum tulang yang disebut stem sel
yang berkembang menjadi berbagai macam sel darah yang memiliki fungsi yang
berbeda-beda. Sel stem akan berkembang menjadi sel stem myeloid ataupun
limfoid. Sel stem mieloid berkembang menjadi mieloid blast yang dapat
berkembang menjadi sel darah merah, platelet, atau menjadi beberapa jenis sel
darah putih. Sementara sel stem limfoid akan berkembang menjadi limfoid blast
yang akan berkembang menjadi beberapa tipe sel darah putih seperti sel B atau sel
T.1,5
Penelitian morfologik dan kinetika sel menunjukkan bahwa pada leukemia
akut terjadi hambatan pada proses diferensiasi sel-sel seri myeloid maupun
limfoid yang terhenti pada sel-sel muda (blast) dengan akibat terjadi akumulasi
blast di sumsum tulang. Akumulasi blast di dalam sumsum tulang akan
menyebabkan gangguan hematopoesis normal dan pada giliran akan
mengakibatkan sindrom kegagalan sumsum tulang (bone marrow failure
syndrome). Sel-sel blast yang terbentuk juga mempunyai kemampuan untuk
migrasi keluar sumsum tulang dan berinfiltrasi ke organ-organ lain sehingga
menimbulkan organomegali. Keadaan hiperkatabolik terjadi karena katabolisme
sel yang meningkat.1,3,4

II.5 Gambaran Klinis

Presentasi klinis leukemia akut sangat bervariasi. Pada umumnya gejala


klinis menggambarkan kegagalan sumsum tulang atau keterlibatan ekstrameduler
oleh sel leukemia. Gejala pertama biasanya non spesifik dan meliputi anoreksia,
iritabel dan letargi. Mungkin ada riwayat infeksi virus atau eksantem dan
penderita seperti tidak mengalami kesembuhan sempurna. Leukemia akut
memperlihatkan gambaran klinis sebagai berikut:1,3,5,6
1. Onset mendadak. Sebagian besar pasien datang dalam 3 bulan setelah onset
gejala. Kira-kira 66% anak dengan LLA mempunyai gejala dan tanda penyakitnya
kurang dari 4 minggu pada waktu diagnosis.
2. Gejala berkaitan dengan depresi sumsum tulang normal. Gejala tersebut
mencakup rasa mudah lelah, letargi, pusing dan sesak yang terutama karena
anemia; demam yang mencerminkan infeksi akibat tidak adanya leukosit matang;
dan perdarahan (ptekie, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi) akibat
trombositopenia.
3. Nyeri tekan dan nyeri pada tulang. Hal ini terjadi akibat ekspansi sumsum
tulang disertai infiltrasi subperiosteum. Gejala ini lebih sering ditemuka pada
LLA dibandingkan LMA.
4. Limfadenopati, splenomegali, dan hepatomegali. Ketiganya mencerminkan
penyebaran sel leukemia; keadaan tersebut terjadi pada semua leukemia akut,
tetapi lebih mencolok pada LLA. Pada LLA, limfadenopati biasanya nyata dan
splenomegali dijumpai pada lebih kurang 66% kasus namun hepatomegali jarang
ditemukan. Sementara pada LMA, hepatoslenomegali sering ditemukan dan
limfadenopati mungkin ada. Hipertrofi gingival atau pembengkakan kelenjar
parotis terkadang ditemukan pada LMA.
5. Manifestasi susunan saraf pusat. Keadaan tersebut mencakup nyeri kepala,
muntah dan kelumpuhan saraf akibat penyebarab ke meningen. Kondisi ini lebih
sering ditemukan pada LLA daripada LMA.
6. Keadaan hiperkatabolik. Keadaan ini ditandai dengan kaheksia, keringat
malam dan hiperurisemia.

II.6 Diagnosis

Gejala klinis dan pemeriksaan darah lengkap dapat dipakai untuk


menegakkan diagnosis leukemia. Namun untuk memastikannya harus dilakukan
pemeriksaan aspirasi sumsum tulang dan dilengkapi dengan pemeriksaan
radiografi dada, cairan serebrospinal dan beberapa pemeriksaan penunjang yang
lain. Cara ini dapat mendiagnosis sekitar 90% kasus, sedangkan sisanya
memerlukan pemeriksaan lebih lanjut, yaitu sitokimia, imunologi, sitogenetika
dan biologi molekuler.1,2

Leukemia Limfoblastik Akut

Pada pemeriksaan darah lengkap leukemia limfoblastik akut didapatkan


anemia, kelainan jumlah hitung jenis leukosit dan trombositopenia. Anemia
hampir selalu ada, namun hanya kira-kira 25% mempunyai Hb 6 g%. Jumlah
leukosit dapat normal, meningkat atau menurun pada saat diagnosis.
Hiperleukositosis (>100.000/mm3) terjadi pada kira-kira 15% pasien dan dapat
melebihi 200.000/mm3. Sekitar 50% penderita dengan hitung leukosit kurang dari
10.000/mm3 dan sekitar 20% memiliki hitung leukosit lebih besar dari
50.000/mm3. Kebanyakan penderita juga trombositopenia, tetapi kira-kira 25%
mempunyai trombosit 100.000/mm3. Diagnosis leukemia dikesankan oleh adanya
sel blas pada preparat apus darah tepi tetapi dipastikan dengan pemeriksaan
sumsum tulang. Pada apus sumsum tulang tampak hiperseluler dengan limfoblas
yang sangat banyak.1,2
Berdasarkan protokol WK-ALL dan protokol Nasional (protokol Jakarta),
pasien LLA dimasukkan dalam kategori risiko tinggi bila jumlah leukosit >
50.000/ul, ada massa mediastinum, ditemukan leukemia susunan saraf pusat (SSP)
serta jumlah sel blas total setelah 1 minggu diterapi dengan deksametason lebih
dari 1000/mm3. Massa mediastinum tampak pada radiografi dada. Untuk
menentukan adanya leukemia SSP arus dilakukan aspirasi cairan serebrospinal
(pungsi lumbal) dan dilakukan pemeriksaan sitologi.1

Leukemia Mieloblastik Akut

Kadang-kadang diagnosis LMA diawali dengan prolonged preleukemia,


biasanya ditunjukkan adanya kekurangan kekurangan produksi sel darah yang
normal sehingga terjadi anemia refrakter, neutropenia atau trombositopenia.
Pemeriksaan sumsum tulang tidak menunjukkan leukemia, tetapi ada perubahan
morfologi yang jelas. Kondisi ini sering mengarah pada sindrom mielodiplastik
(MDS) dan mempunyai klasifikasi FAB sendiri. Biasanya sumsum tulang
menunjukkan hiperseluler, kadang-kadang hipoplastik yang kemudian
berkembang menjadi leukemia akut.1,4
Pada LMA, hasil pemeriksaan darah menunjukkan adanya anemia,
trombositopenia dan leukositosis. Kadar hemoglobin sekitar 7.0 sampai 8.5 g/dl,
jumlah trombosit umumnya <50.000/ul dan jumlah leukositnya sekitar 24.000/ul.
Sekitar 20% pasien jumlah leukositnya >100.000/ul.1

Membedakan Leukemia Limfoblastik Akut dan Leukemia Mieloblastik Akut

Membedakan ALL dengan AML merupakan langkah yang harus dilakukan


pada setiap leukemia akut, karena akan sangat menentukan jenis terapi dan
prognosis penderita. gambaran morfologi sel blas pada apus darah tepi atau
sumsum tulang kadang-kadang tidak dapat membedakan LLA maupun LMA
sehingga perlu dilakukan pemeriksaan sitokimia. Pewarnaan Sudan Black dan
mieloperoksidase akan memberikan hasil yang positif pada AML namun negatif
pada ALL. Mieloperoksidase merupakan enzim sitoplasmik yang ditemukan pada
granula primer dari prekursor granulositik, yang dapat dideteksi pada sel blas
LMA. Umunya sitoplasma limfoblas mengandung agregat bahan aktif PAS
(Periodic acid-Schiff) berukuran besar, sedangkan mieloblas sering positif
peroksidase. 3,6

Tabel 1. Perbedaan ALL dan AML

Leukemia Mieloblastik
Pembanding Leukemia Limfositik Akut
Akut
Morfologi  Mieloblas
 Limfoblas
 Kromatin : lebih halus
 Kromatin : bergumpal
 Nukleoli : lebih
 Nukleoli : lebih samar,
prominent, lebih
lebih sedikit
sbanyak
 Auer Rod : negatif
 Auer Rod : positif
 Sel pengiring : limfosit
 Sel pengiring : netrofil
Sitokimia
a. Mieloperoksidase – +
b. Sudan Black – +
c. Esterase non – +
Spesifik Kasar + (Monositik)
d. PAS + + (Halus)
e. Acid Phosphatase – + (M7)
f. Platelet Peroxsidase
Enzim
a. TdT + –
b. Serum Lysozime – + (Monositik)

Imunofenotipe

II.7 Penatalaksanaan

Penanganan leukemia meliputi penanganan suportif dan kuratif. Penanganan


suportif meliputi pengobatan penyakit lain yang menyertai leukemia dan
pengobatan komplikasi antara lain berupa pemberian transfusi darah/trombosit,
pemberian antibiotik, pemberian obat untuk meningkatkan granulosit, obat anti
jamur, pemberian nutrisi yang baik dan pendekatan aspek psikososial.1

Penatalaksanaan Leukemia Limfoblastik Akut

Pada penatalaksanaan LLA, terapi kuratif bertujuan untuk menyembuhkan


leukemianya berupa kemoterapi yang meliputi induksi remisi, intensifikasi,
profilaksis susunan saraf pusat dan rumatan. Klasifikasi risiko normal atau risiko
tinggi, menentukan protokol kemoterpai. Saat ini di Indonesia sudah ada 2
protokol pengobatan yang lazim digunakan untuk pasien LLA yaitu protokol
Nasional (Jakarta) dan protokol WK-ALL 2000.1
Terapi induksi berlangsung 4-6 minggu dengan dasar 3-4 obat yang berbeda
(deksametason, vinkristin, L-asparaginase dan atau antrasiklin). Kemungkinan
hasil yang dapat dicapai remisi komplit, remisi parsial atau gagal. Intensifikasi
merupakan kemoterapi intensif tambahan setelah remisi komplit dan untuk
profilaksis leukemia pada susunan saraf pusat. Hasil yang diharapkan adalah
tercapainya perpanjangan remisi dan meningkatkan kesembuhan. Pada pasien
risiko sedang dan tinggi, induksi diintensifkan guna memperbaiki kualitas remisi.
Lebih dari 95% pasien akan mendapatkan remisi pada fase ini. Terapi SSP yaitu
secara langsung diberikan melalui injeksi intratekal dengan obat metotreksat,
sering dikombinasi dengan infuse berulang metotreksat dosis sedang (500 mg/m2)
atau dosis tinggi pusat pengobatan (3-5 gr/m2). Di beberapa pasien risiko tinggi
dengan umur > 5 tahun mungkin lebih efektif dengan memberikan radiasi cranial
(18-24 Gy) disamping pemakaian kemoterapi sistemik dosis tinggi.1
Terapi lanjutan rumatan dengan menggunakan obat merkaptopurin tiap hari
dan metotreksat sekali seminggu, secara oral dengan sitostatika lain selama
perawatan tahun pertama. Lamanya terapi rumatan ini pada kebanyakan studi
adalah 2 sampai 2,5 tahun dan tidak ada keuntungan jika perawatan sampai
dengan 3 tahun. Dosis sitostatika secara individual dipantau dengan melihat
leukosit dan atau monitor konsentrasi obat selama terapi rumatan.1
Pasien dinyatakan remisi komplit apabila tidak ada keluhan dan bebas gejala
klinis leukemia, pada aspirasi sumsum tulang didapatkan jumlah sel blas < 5%
dari sel berinti, hemoglobin > 12g/dl tanpa transfusi, jumlah leukosit > 3000/ul
dengan hitung jenis leukosit normal, jumlah granulosit > 2000/ul, jumlah
trombosit > 100.000/ul dan pemeriksaan cairan serebrospinal normal.1
Dengan terapi intensif modern, remisi akan tercapai pada 98% pasien
sedangkan 2-3% dari pasien anak akan meninggal dalam CCR (Continuous
Complete Remission) dan 25-30% akan kambuh. Sebab utama kegagalan terapi
adalah kambuhnya penyakit. Relaps sumsum tulang yang terjadi (dalam 18 bulan
sesudah diagnosis) memperburuk prognosis (10-20% long-term survival)
sementara relap yang terjadi kemudian setelah penghentian terapi mempunyai
prognosis lebih baik, khususnya relap testis dimana long-term survival 50-60%.
Terapi relaps harus lebih agresif untuk mengatasi resitensi obat.1
Transplantasi sumsum tulang mungkin memberikan kesempatan untuk
sembuh, khususnya bagi anak-anak dengan leukemia sel-T yang setelah relaps
mempunyai prognosis yang buruk dengan terapi sitostatika konvensional.1
Penatalaksanaan Leukemia Mieloblastik Akut

Tiga puluh tahun yang lalu, hampir setiap anak dengan LMA meninggal dan
tidak ada kelompok yang teridentifikasi. Saat ini gambaran survival hidup lebih
dari 40% dilaporkan pada banyak studi. Perubahan terjadi pada tahun 70-an
dengan dikenalnya sitarabin (Ara-C) dan antrasiklin. Dengan kombinasi obat yang
berbeda, remisi bisa berpengaruh pada 75-85% anak, namun terapi lebih lanjut
kebanyakan anak-anak relaps dalam 1 tahun. Remisi mungkin terjadi dalam 2-3
minggu setelah terapi dimulai tetapi juga memerlukan beberapa rangkaian
kemoterapi. Penderita yang tidak berespon terhadap terapi induksi merupakan
calon untuk transplantasi allogenik.1,2
Kualitas remisi harus diperbaiki dengan terapi konsolidasi intensif, namun
intensitas remisi juga bisa mempengaruhi hasil yang tidak berharga dari tipe terapi
konsolidasi yang digunakan. Tiga metode terapi konsolidasi adalah kemoterapi
sendiri, transplantasi sumsum tulang autologus, atau transplantasi alogenik dari
HLA yang identik. Saat ini nampaknya transplantasi sumsum tulang autologus
menunjukkan hasil baik, namun transplantasi alogenik dari donor dengan HLA
yang identik masih merupakan yang terbaik untuk kesembuhan.1
Pada pasien dewasa, tatalaksana LMA pada pasien yang baru didiagnosis
AML umumnya sama yaitu terdiri dari fase induksi dan penatalaksanaan
postremisi. Tujuan utama pengobatan adalah tercapainya remisi lengkap. Sekali
diperoleh remisi lengkap, selanjutnya terapi pasti dapat membuat pasien bertahan
lama dan mencapai penyembuhan. Terapi induksi awal dan terapi postremisi
seringkali dipilih berdasarkan usia. Pengaruh terapi secara intensif menggunakan
agen kemoterapi tradisional seperti sitarabin antrasiklins pada pasien usia muda
(<60 tahun) menunjukkan peningkatan penyembuhan AML. Pada pasien yang
lebih tua, keuntungan diberikan pengobatan yang teratur masih kontroversial.
Gambar 2. Algoritma terapi baru AML untuk semua bentuk AML kecuali APL,
terapi standar termasuk infus sitrabin selama 7 hari (100-200 mg/m2 per hari)
dan daunorubisin selama 3 hari (60 mg/m2 per hari) atau idarubisin (12-13 mg/
m2 per hari) dengan atau tanpa etoposid selama 3 hari. Pasien yang menjalani
terapi post remisi konsolidasi, termasuk yang mendapatkan sitarabin dosis tinggi,
SCT, kombinasi kemoterapi dengan SCT alogenik atau terapi baru berdasarkan
prediksi risiko kambuh (risiko terapi). Pasien dengan APL biasanya menerima
tretinoin bersama-sama dengan kemoterapi antrasiklin untuk induksi remisi dan
kemudian kemoterapi konsolidasi (danorubisisn) diikuti oleh tretinoin
maintenance dengan atau tanpa kemoterapi. Peran sitarabin pada induksi APL
dan konsolidasi masih kontroversial.

Kemoterapi Induksi

Regimen yang sering digunakan untuk remisi lengkap adalah regimen


induksi (untuk pasien dengan APL) terdiri dari kemoterapi kombinasi dengan
sitarabin dan antrasiklin. Sitarabin adalah antimetabolit spesifik siklus sel fase S
yang mengubah phosphorylated intraseluler menjadi triphosphate bentuk aktif
yang mengganggu sintesis DNA. Antrasiklins are DNA intercalaters. Mekanisme
kerjanya melalui penghambatan topoisomerase II, yang menyebabkan pemutusan
DNA. Sitarabin biasanya diberikan melalui infus selama tujuh hari. Terapi
antrasiklin pada umumnya terdiri dari daunorubisin intravena pada hari 1, 2, dan 3
(7 dan 3 regimen). Terapi dengan idarubisin selama 3 hari dikombinasikan dengan
sitarabin selama tujuh hari melalui infus setidaknya sama efektivitasnya bahkan
lebih baik dibandingkan daunorubisin pada pasien yang lebih muda. Penambahan
etoposide dapat meningkatkan durasi remisi lengkap. Setelah kemoterapi induksi,
sumsum tulang diperiksa untuk menentukan apakah leukemia telah dieliminasi.
Jika terdapat 5% blast dengan 20% selularitas, pasien biasanya diobati kembali
dengan sitarabin dan antrasiklin dosis yang sama seperti awal, namun masing-
masing hanya selama 5 dan 2 hari. Pasien yang gagal mencapai remisi lengkap
setelah dua program induksi harus segera dilanjutkan dengan transplantasi sel
induk alogenik (SCT) jika tersedia donor yang sesuai. Pendekatan ini hanya
diterapkan untuk pasien usia kurang dari 70 tahun dengan fungsi end-organ yang
dapat diterima.
Pada 65-75% orang dewasa dengan AML de novo dibawah usia 60 tahun
dapat mencapai remisi lengkap dengan 7 dan 3 regimen sitarabin/ daunorubisin
seperti diuraikan di atas. Dua per tiga mencapai remisi lengkap setelah terapi
tunggal, dan satu per tiga membutuhkan 2 program. Sekitar 50% pasien tidak
mencapai remisi lengkap karena tidak tahan denga obat leukemia, dan 50% tidak
mencapai remisi lengkap karena komplikasi fatal aplasia sumsum tulang atau
gangguan pemulihan sel-sel induk normal. Tingginya mortalitas akibat terapi
induksi dan frekuensi ketahanan terhadap penyakit telah diamati seiring dengan
bertambahnya usia dan pada pasien dengan gangguan hematologi sebelumnya
(MDS atau sindroma mieloproliferatif) atau kemoterapi untuk keganasan lainnya.
Berbasis regimen cytarabin dosis tinggi memiliki tingkat remisi lengkap
yang sangat tinggi setelah satu siklus terapi. Ketika diberikan dalam dosis tinggi,
sitarabin dapat masuk ke dalam sel, saturasi sitarabin menginaktivasi enzim dan
meningkatkan kadar 1-β-D arabinofuranylcytosine-triphosphate,suatu metabolit
aktif yang bermanfaat untuk DNA. Dengan demikian, sitarabin dosis tinggi dapat
meningkatkan hambatan sintesis DNA dan oleh karena itu dapat mengatasi
resistensi sitarabin dosis standar. Dalam dua penelitian acak, sitarabin dosis tinggi
dengan antrasiklin menghasilkan tingkat remisi lengkap yang sama dengan yang
dicapai regimen standar 7 dan 3. Namun durasi remisi lengkap sitarabin dosis
tinggi lebih lama dibandingkan dengan sitarabin dosis standar. Toksisitas
hematologi sitarabin dosis tinggi pada regimen induksi lebih besar dibandingkan 7
dan 3 regimen. Toksisitas sitarabin dosis tinggi meliputi myelosupresan, toksisitas
pulmonal dan kadang-kadang toksisitas serebelar ireversibel. Semua pasien yang
diterapi dengan sitarabin dosis tinggi harus diawasi secara ketat terhadap
toksisitas serebelar. Pemeriksaan serebelar lengkap harus dilakukan sebelum dosis
masing-masing diberikan, jika terbukti terdapat toksisitas serebelar maka dosis
sitarabin harus diturunkan.
Toksisitas lebih sering terjadi pada pasien yang mengalami kerusakan
ginjal dan pasien usia lebih dari 60 tahun oleh karena itu penggunaan cytarabin
dosis tinggi dibatasi pada pasien AML dengan usia tua.

Perawatan penunjang

Perawatan dilakukan untuk selama beberapa minggu mengatasi timbulnya


granulositopenia dan trombositopenia yang sangat penting untuk keberhasilan
terapi AML. Pasien dengan AML harus dirawat oleh ahli. Faktor pertumbuhan
hematopoietik rekombinan telah dimasukkan dalam uji klinis pada AML.
Percobaan ini dirancang untuk menurunkan tingkat infeksi setelah kemoterapi.
GCSF dan faktor stimulasi koloni makrofag granulosit (GM_CSF) mengurangi
waktu rata-rata pemulihan neutrofil rata-rata 5-7 hari. Cepatnya pemulihan
neutrofil bagaimanapun juga masih belum dapat diartikan bahwa infeksi telah
teratasi atau dapat mempersingkat rawat inap.Sebagian besar penelitian acak yang
dilakukan menunjukkan bahwa G-CSF dan GM-CSF gagal meningkatkan remisi
lengkap, disease-free survival, dan kemampuan hidup keseluruhan. Meskipun
reseptor G-CSF dan GM-CSF terdapat pada AML, efikasi terapi tidak
meningkatkan maupun menghambatnya. Penggunaan factor pertumbuhan sebagai
terapi penunjang pasien AML masih controversial. Terapi tersebut
direkomendasikan pada pasien usia lanjut dengan terapi yang rumit, mereka yang
menerima regimen postremisi secara intensif, pasien dengan infeksi yang tidak
terkendali, atau mereka yang berpartisipasi dalam uji klinis. Kateter multilumen
atrium kanan harus dipasang pada pasien yang baru terdiagnosis AML segera
setelah kondisinya stabil. Kateter tersebut digunakan untuk memasukkan obat
intravena dan transfuse serta untuk pengambilan darah. Perlu dipertimbangkan
memasang kateter yang dilapisi antibiotik jika risiko infeksi tinggi.
Dukungan bank darah yang adekuaat dan memadai sangat penting pada
terapi AML. Transfusi trombosit harus diberikan untuk mempertahankan hitung
trombosit >10.000-20.000/SL. Jumlah trombosit harus tetap tinggi pada pasien
demam dan selama episode perdarahan aktif atau DIC. Pasien dengan
penambahan jumlah trombosit yang sedikit post transfusi, akan lebih baik jika
diberikan trombosit dari antigen leukosit manusia (HLA) dari donor yang sesuai.
Transfusi sel darah merah harus diberikan untuk menjaga kadar hemoglobin
>80g/L (8g/dL) jika tidak terdapat perdarahan aktif, DIC atau gagal jantung
kongestif.
Produk darah leukodepletion harus digunakan untuk menghindari atau
menunda terjadinya aloimunisasi serta reaksi demam. Produk darah juga harus
diiradiasi unuk mencegah graft-versus-host disease (GVHD). Produk darah yang
tidak mengandung cytomegalovirus (CMV) . Produk darah juga harus iradiasi
untuk mencegah transfuse terkait penyakit graft-versus-host (GVHD). Pada pasien
yang akan dilakukan allogenik SCT yang cytomegalovirus (CMV) seronegatif
harus diberikan roduk darah yang tidak mengandung CMV. Produk darah
leukodepletion juga efektif diberikan untuk pasien tersebut jika produk darah
CMV negatif tidak tersedia.
Infeksi tetap merupakan komlikasi utama yang menyebabkan morbiditas
dan kematian selama kemoterapi induksi dan post remisi. Pemberian antibiotic
profilaksis jika tidak terdapat demam masih kontroversial. Nistatin oral atau
clotrimazole direkomendasikan untuk mencegah kandidiasis. Acyclovir
profilaksis efektif diberikan untuk mencegah reaktivasi infeksi herpes oral latent
pada pasien yang memiliki titer positif terhadap antibody virus herpes simpleks.
Pada kebanyakan pasien AML biasanya mengalami demam, namun infeksi hanya
terjadi pada separuh dari pasien yang demam. Secara empiris, pemberian
antibiotik spektrum luas dan antijamur di awal secara nyata dapat mengurangi
jumlah pasien yang meninggal akibat komplikasi infeksi. Regimen antibiotik
gram negatif yang adekuat perlu diberikan diawal demam pada pasien dengan
granulositopeni, termasuk pemeriksaan fisik lengkap, lokasi keluar kateter, dan
pemeriksaan perirektal, serta kultur dan radiografi untuk mencari sumber demam.
Regimen antibiotik spesifik harus didasarkan sesuai dengan peta kuman tempat
pasien dirawat. Regimen yang dapat diberikan termasuk imipenemcilastin,
penisilin semisintetik antipseudomonal, misalnya piperasilin dikombinasikan
dengan aminoglikosida, sefalosporin generasi dengan antipseudomonal, misalnya
seftazidim atau sefepim atau kombinasi ganda β-laktam (seftazidim dan
piperasilin). Aminoglikosida harus dihindari pada pasien dengan insufisiensi
ginjal. Pada pasien yang alergi dengan penisiln, aztreonam dapat digunakan untuk
menggantikan β-laktam. Aztreonam lebih baik dikombinasikan dengan
aminoglikosida atau antibiotika kuinolon dibandingkan digunakan sendiri. Secara
empiris vancomisin tidak diberikan di awal jika tidak dicurigai adanya infeksi
gram positif atau mukositis, namun harus diberikan diawal pada pasien
neutropenia dengan demam yang menetap selama tiga hari, terapi empiris
antijamur sistemik ditambahkan jika demam menetap sampai 7 hari. Efikasi
vorikonazol sama dan toksisitasnya lebih kecil dibandingkan dengan amfoterisin-
B. Pemberian caspofungin atau amfoterisin liposomal dipertimbangkan jika tidak
responsif atau tidak mentolerir terhadap terapi lini pertama. Antibakteri atau
antifungal harus dilanjutkan sampai pasien tidak neutropeni, terlepas penyebab
demam telah ditemukan.

Terapi Post Remisi

Induksi remisi lengkap pertama yang tahan lama sangat penting untuk
jangka panjang kesembuhan AML. Namun tanpa terapi lanjutan biasanya pasien
akan kambuh. Sekali mengalami kekambuhan, pada umumnya hanya dapat diatasi
dengan SCT. Post remisi terapi dirancang untuk mengeradikasi sel-sel leukemia
residual untuk mencegah kekambuhan dan memperpanjang survival rate. Post
remisi terapi pada AML sering berdasarkan pada usia (lebih muda dari 55-65 dan
lebih tua dari 55-65). Pada umumnya pasien yang lebih muda diberikan
kemoterapi intensif dan SCT alogenik atau autologous. Dosis tinggi sitarabin
lebih efektif dibandingkan sitarabin dosis standar. Kanker dan leukemia kelompok
B (CALGB) misalnya, membandingkan durasi remisi lengkap secara random pada
pasien post remisi untuk empat siklus tinggi dosis sitarabin (3 g/m2, setiap 12 jam
pada hari 1, 3, dan 5), intermediet (400 mg/m2 selama 5 hari melalui infus) atau
standar (10 mg/m2 selama 5 hari hari melalui infus). Dosis tinggi sitarabin secara
nyata memperlama remisi lengkap dan meningkatkan fraksi penyembuhan pada
pasien dengan baik pada sitogenetik normal, namun tidak secara nyata berefek
pada pasien dengan kariotipe yang abnormal.

Tabel 2. Agen baru terpilih berdasarkan penelitian untuk terapi AML pada dewasa

Sekali terjadi kekambuhan, pasien jarang bisa disembuhkan dengan


mengunakan dosis standar. Pasien yang memenuhi syarat alogenik SCT harus
mendapatkan transplantasi segera pada saat pertama kali timbul tanda
kekambuhan.
Beberapa faktor yang mempengaruhi kemungkinan remisi lengkap,
lamanya dan tingat kesembuhan remisi lengkap AML. Remisi lengkap ditetapkan
dari hasil:
1. Pemeriksaan darah dan sumsum tulang. Hitung neutrofil harus > 1000/SL
dan hitung platelet > 100.000/ SL. Kadar hemoglobin tidak
dipertimbangkan dalam penentuan remisi lengkap. Sirkulasi blast harus
tidak ditemukan. Jika terdeteksi blast yang aneh pada darah selama
regenerasi sumsum tulang, maka harus dilakukan pemeriksaan selama 3
hari berturut-turut. Selularitas sumsum tulang harus >20% dengan
maturasi trilineage. Pada pasien yang menunjukkan morfologi remisi
lengkap, perlu dilakukan pemeriksaan terhadap kemungkinan penyakit
residual dengan menggunakan reverse transcriptase polymerase chain
reaction (RT-PCR) untuk mendeteksi AML-associated molecular
abnormalities dan sitogenetik metaphase lainnya atau sitogenik interfase
dengan fluorescence in situ hybridization (FISH) untuk mendeteksi AML-
associated cytogenetic aberrations.
2. Umur merupakan faktor resiko yang penting pada diagnosis. Semakin tua
umur pasien AML maka prognosisnya semakin buruk.
3. Kromosom. Pasien dengan t(15;17) 80% prognosisnya sangat baik, t(8;21)
and inv(16) 50% prognosisnya baik, pasien tanpa abnormalitas sitogenetik
34 40% cukup menunjukkan hasil hasil yang. Pasien dengan kariotipe
yang kompleks t(6;9), inv(3), atau 7 prognosisnya sangat buruk.
4. Interval gejala yang berkepanjangan, pada pasien yg menunjukkan gejala
anemia, leukopenia, dan atau thrombositopenia selama lebih dari tiga
bulan sebelum didiagnosis AML prognosisnya buruk.
5. Responsifitas terhadap kemoterapi.
II.8 Faktor Prognostik

Berdasarkan faktor prognostik maka pasien dapat digolongkan kedalam


kelompok resiko biasa dan resiko tinggi. Para ahli telah melakukan penelitian dan
membuktikan faktor prognostik itu hubungannya dengan in vitro drug resistance.

Faktor prognostik LLA adalah sebagai berikut:

1. Jumlah leukosit awal, yaitu pada saat diagnosis ditegakkan, mungkin


merupakan factor prognosis yang bermakna tinggi. Ditemukan adanya
hubungan linier antara jumlah leukosit awal dan perjalanan pasien LLA
pada anak, yaitu bahwa pasien dengan jumlah leukosit > 50.000 ul
mempunyai prognosis yang buruk.
2. Ditemukan pula adanya hubungan antara umur pasien saat diagnosis dan
hasil pengobatan. Pasien dengan umur dibawah 18 bulan atau diatas 10
tahun mempunyai prognosis lebih buruk dibandingkan dengan pasien
berumur diantara itu. Khusus pasien dibawah umur 1 tahun atau bayi
terutama dibawah 6 bulan mempunyai prognosis paling bururk. Hal ini
dikatakan karena mereka mempunyai kelainan biomolekuler tertentu.
Leukemia bayi berhubungan dengan gene re-arrangement pada kromososn
11q23 seperti t(4;11) atau t(11;19) dan jumlah leukosit yang tinggi.
3. Fenotip imunologis (immunophenotype) dari limfoblas saat diagnostic juga
mempunyai nilai prognostic. Leukemia sel-B (L3 pada klasifikasi FAB)
dengan antibody “kappa” dan “lamda” pada permukaan blas diketahui
mempunyai prognosis yang buruk. Dengan adanya protokol spesifik untuk
sel-B, prognosisnya semakin membaik. Sel-T leukemia juga mempunyai
prognosis yang jelek, dan diperlakukan sebagai resiko tinggi. Dengan terapi
intensif, sel-T leukemia murni tanpa factor prognostic buruk yang lain,
mempunyai prognosis yang sama dengan leukemia sel pre-B. LLA sel-T
diatasi dengan protokol resiko tinggi.
4. Nilai prognostic jenis kelamin telah banyak dibahas. Dari berbagai
penelitian, sebagian besar menyimpulkan bahwa anak perempuan
mempunyai prognosis yang lebih baik dari anak laki. Hal ini dikatakan
karena timbulnya relaps testis dan kejadian leukemia sel-T yang tinggi,
hiperleukositosis dan organomegali dan massa mediastinum pada anak laki-
laki. Penyebab pastinya belum diketahui, tetapi diketahui pula ada
perbedaan metabolism merkatopurin dan metotreksat.
5. Respon terhadap terapi dapat diukur dari jumlah sel blas di darah tepi
sesudah 1 minggu terapi prednisone dimulai. Adanya sisa sel blas pada
sumsum tulang pada induksi hari ke 7 atau 14 menunjukkan prognosis
buruk.
6. Kelainan jumlah kromosom juga mempengaruhi prognosis. LLA hiperploid
(> 50 kromosom) yang biasa ditemukan pada 25% kasus mempunyai
prognosis yang baik. LLA hipodiploid (3-5%) memiliki prognosis
intermediate seperti t(1;19). Translokasi t(9;22) pada 5% anak atau t(4;11)
pada bayi berhubungan dengan prognosis buruk.

Faktor prognostik LMA lebih sulit untuk diidentifikasi. Faktor-faktor tersebut


antara lain:

1. Umur saat diagnosis tidak terlalu penting seperti pada ALL. Pengalaman
beberapa peneliti menunjukkan bahwa bayi mempunyai prognosis lebih
baik.
2. Leukosit tinggi, tetapi tidak pada semua studi.
3. FAB M3 (promielositik leukemia) bereaksi pada asam retinoik, sebaiknya
diterapi dengan kombinasi vitamin dan kemoterapi.
4. Anak-anak dengan sindrom Down terdapat pada 10% kasus. Sebagian besar
merupakan faktor penting. Prognosis baik berhubungan dengan t(8;21),
t(15;17) dan inverse 16. Ploidi juga mempengaruhi prognosis.
5. Respons awal terhadap terapi.
BAB III

LAPORAN KASUS

III.1 Identitas

Identitas Pasien

Nama pasien : Tn. E


Jenis kelamin : Laki – laki
Tanggal lahir : 10 Mei 1985
Umur : 33 tahun
Alamat : Jl.Terusan Melati 001/006 Penjajap Pemangkat Sambas

Tanggal Masuk RS : 01-12-2018


Diagnosis MRS : Anemia susp. ITP
Tangggal Keluar RS : 14-12-2018
Lama perawatan : 14 hari
Keadaan saat keluar RS : Baik

III.2 Anamnesis

Keluhan Utama : Gusi berdarah

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang dengan keluhan gusi berdarah sejak 5 hari SMRS, perdarahan
sekitar 50cc / hari berbentuk gumpalan. Selain itu pasien juga mengeluhkan
timbul bercak-bercak merah di seluruh tubuh dan badan terasa lemah. Pasien
mengatakan badan terasa lemah dan letih sampai tidak mampu bangun dari tempat
tidur. Pasien juga mengeluhkan sesak yang hilang timbul dan sering muncul di
malam hari, demam (-), mual (-), muntah (-), BAB dan BAK tidak ada keluhan.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien beberapa kali dirawat di RSUD Abdul Aziz karena keluhan yang
sama sejak 1 tahun yang lalu.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada keluarga pasien yang memiliki keluhan badan terasa lemah,
pucat, demam ataupun batuk seperti pasien. Riwayat keluarga dengan batuk lama
(-), keluarga yang terkena TB (-), asma (-), penyakit keganasan (-).

Riwayat Pengobatan :

Pasien beberapa kali dirawat di RSUD Abdul Aziz dengan keluhan yang sama
dalam 1 tahun terakhir.

Riwayat Alergi :

Riwayat alergi disangkal.

Riwayat sosial ekonomi dan lingkungan:

Pasien bekerja sebagai buruh di perkebunan kelapa sawit. Riwayat merokok


(+) sebelum menikah dan berhenti sejak 1 tahun terakhir. Riwayat konsumsi
alkohol (-).

III.3 Pemeriksaan Fisik (Tanggal 03-12-2018)

Kesan umum : Tampak Sakit Sedang


Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4V5M6
TB : 155cm
BB : 67kg
BMI : 27,9kg/m2
Kesan Gizi : Gizi berlebih

Vital Sign

Tekanan darah : 100/60 mmHg


Nadi : 127 x/menit, isi dan tegangan kuat, irama teratur
Pernapasan : 28 x/menit, teratur tipe torakoabdominal
Temperature : 36,5 oC
Saturasi O2 : 96%
Status Generalis :
Kepala dan Leher :
1. Bentuk : Normocephalic
2. Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterus (+/+), pupil
isokor, refleks pupil (+/+), edema palpebra (-/-)
3. THT
Telinga : Struktur dan ukuran telinga normal, otorhea (-)
Hidung : Napas cuping hidung (-), rinorhea (-)
Tenggorok : Faring hiperemis (-), tonsil tidak membesar
4. Mulut : Bibir sianosis (-), lidah dan mukosa mulut normal,
struktur gigi atas dan bawah normal, palatum normal
5. Leher : Pembesaran KGB superficial leher bagian servikal,
mastoideal dan parotideal (-), Pembesaran KGB Supraklavikula (-),
Pembesaran KGB aksiler (-)

Thorax :
 Inspeksi : Retraksi intercostal (-), pergerakan dinding dada simetris
 Palpasi : Gerakan dinding dada simetris, fremitus vokal sama
antara kiri dan kanan
 Perkusi :
Pulmo : Sonor pada kedua lapang paru
Cor : Batas atas : SIC 2
Batas bawah : SIC 4
Batas Kanan: Garis Parasternal kanan
Batas kiri : Garis axilla anterior sinistra
 Auskultasi:
Pulmo : SND Vesikuler (+/+) , Ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Cor : S1S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen :
 Inspeksi : Massa (-), distensi (-)
 Auskultasi : BU (+) Normal
 Perkusi : Timpani
 Palpasi : Supel, nyeri tekan (-),

Anggota Gerak:
Tungkai Atas Tungkai Bawah
Kanan Kiri Kanan Kiri
Akral hangat + + + +
Edema - - - -
Pucat - - - -
Kelainan bentuk - - - -
Pembengkakan - - - -
Sendi
Pembesaran KGB
Aksiler - - - -
Axilla - - - -
Inguinal - - - -

Kulit : Ikterus (-), pustula (-), petekie (+), purpura (+)

Urogenital : flank mass (-), Nyeri tekan (-), nyeri ketok CVA (-); genital tidak
dilakukan pemeriksaan

Vertebrae : tidak tampak kelainan

III.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium
Darah Lengkap (02 – 12 – 2018)
Hemoglobin : 4,5 g/dl (N = (L) 13,2-17,3 g/dl)
Leukosit : 11.720 /µl (N = (L) 3.800-10.600 /µl)
Trombosit : 0 /µl (N = 150.000-440.000 /µl)
Hematokrit : 11,7% (N = (L) 40-52%)
Eritrosit : 1,50x106/µl (N = (L) 4,4-5,9x106/µl)
Pemeriksaan kimia klinik (02 – 12 – 2018)
SGOT/AST : 63 U/L (N = < 40)
SGPT/ALT : 37 U/L (N = < 41)
Ureum : 28 mg/dl (N = 10-50)
Kreatinin : 0,97 mg/dl (N = (L) 0,62 – 1,10)
Morfologi Darah Tepi (03 – 12 – 2018)
 Kesan eritrosit : Mikrositik hipokromik, anisopoikilositosis (+), sferosit
(+), fragmentosit (+), ovalosit (+), Ditemukan NRBC 5/100 WBC
 Kesan leukosit : Jumlah meningkat, neutropenia (+), limfosit atipik (+),
Hitung jenis (Bas/Eos/Batang/Seg/Lim/Mono): 0/0/2/3/12/0, ditemukan sel
blast 83%
 Kesan trombosit : Jumlah menurun, morfologi normal
 Kesimpulan : Anemia mikrositik hipokrom dengan leukositosis,
neutropenia, dan trombositopenia. (Bisitopenia). Ditemukan NRBC 5/100
WBC. Ditemukan sel blast 83%
 Kesan : Sesuai leukemia akut, susp. AML (Acute Myeloid
Leukemia) M2, dd : ALL (Acute Lymphoblastic Leukemia)

III.5 Resume

 Pasien laki-laki, berusia 33 tahun, status gizi baik, perawakan normal, datang
dengan keluhan gusi berdarah sejak 5 hari SMRS, perdarahan sekitar 50cc /
hari dan badan terasa lemas. Pasien mengeluhkan badan terasa lemah
sepanjang hari, tampak pucat dan tidak mampu untuk bangun dari tempat
tidur. Pasien juga mengeluhkan sesak hilang timbul, muncul terutama di
malam hari. Sebelumnya pasien pernah di rawat di RSUD Abdul Aziz
beberapa kali karena keluhan yang sama 1 tahun terakhir. Didapatkan
keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis, N
:127x/menit, RR: 28x/menit, T: 36,5 ºC, CRT <2 detik. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan konjungtiva anemis +/+, tidak terdapat pembesaran KGB,
Thorax, Pulmo, Cor, Abdomen dan Extremitas dalam batas normal.
Pemeriksaan penunjang Gambaran darah tepi ditemukan kesan Anemia
mikrositik hipokrom dengan leukositosis, neutropenia, dan trombositopenia.
(Bisitopenia). Ditemukan NRBC 5/100 WBC. Ditemukan sel blast 83%.

III.6 Diagnosis Kerja


 Anemia derajat berat hipokromik mikrositer e.c Suspect AML (Acute
Myeloid Leukemia) M2

III.7 Diagnosis Banding


 ALL (Acute Lymphoblastic Leukemia)

III.8 Rencana Awal Terapi


 O2 2-3 lpm
 IVFD NaCl 0,9% 20 tpm (makro)
 Inj. Ranitidin 1 amp / 12 jam
 Inj. Metilprednisolon 62,5mg / 8 jam
 Inj. As. Tranexamat 1 amp / 8 jam
 Inj. Vit K 1 amp / 24 jam
 Tranfusi WBC 1 kolf / 12 jam

Rumus Perhitungan Kebutuhan Transfusi :

Hb normal – Hb pasien = hasil

Hasil x BB pasien x jenis darah

Dalam kasus ini akan dilakukan transfusi WBC maka :

9 – 4,5 = 5,5

5,5 x 67 x 6

= 1809 cc (WBC) atau 904,5 cc (PRC)


BAB IV

PEMBAHASAN

Pada kasus diatas, pasien laki-laki berusia 33 tahun didiagnosis dengan


susp. Leukemia myeloid akut. Leukemia akut merupakan leukemia dengan
perjalanan klinis yang cepat dan dibagi atas leukemia limfoblastik akut (LLA) dan
leukemia myeloid akut (LMA). Leukimia Myeloid akut (LMA) adalah suatu
penyakit yang ditandai dengan transformasi neoplastik dan gangguan differensial
sel-sel progenitor dari seri mieloid. Bila tidak diobati penyakit ini akan
mengakibatkan kematian secara cepat dalam waktu beberapa minggu sampai
bulan sesudah diagnosis
Penegakkan diagnosis leukemia akut dapat dilakukan melalui anamnesis
mengenai gejala klinis, pemeriksaan fisik dan perlu beberapa pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan darah lengkap serta darah tepi dapat dipakai untuk
menegakkan diagnosis leukemia. Namun untuk memastikannya harus dilakukan
pemeriksaan aspirasi sumsum tulang, dan dilengkapi dengan pemeriksaan
radiografi dada, cairan serebrospinal, dan beberapa pemeriksaan penunjang
lainnya. Cara ini dapat mendiagnosis sekitar 90% kasus, sedangkan sisanya
memerlukan pemeriksaan lebih lanjut, yaitu sitokimia, imunologi, sitogenetika,
dan biologi molekuler.
Pada pasien ini, melalui anamnesis terdapat keluhan berupa badan pasien
yang terasa lemas, tampak pucat, sesak hilang timbul dan gusi berdarah. Tidak
didapatkan keluhan sesak, nyeri pada sendi, mual muntah, ataupun nyeri kepala.
Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan adanya pembesaran KGB leher dan
inguinal serta hepatosplenomegali. Tanda dan gejala klinis utama dari LMA
adalah adanya rasa mudah lelah, perdarahan dan infeksi yang disebabkan oleh
sindrom kegagalan sumsum tulang. Perdarahan biasanya terjadi dalam bentuk
purpura atau petekia yang sering dijumpai di ekstremitas bawah atau berupa
epistaksis, perdarahan gusi dan retina. letargi, pusing dan sesak yang terutama
karena anemia; demam yang mencerminkan infeksi akibat tidak adanya leukosit
matang; Timbulnya limfadenopati, splenomegali, dan hepatomegali
mencerminkan penyebaran sel leukemia dan invasi organ. Pada LLA,
limfadenopati biasanya nyata dan splenomegali dijumpai pada lebih kurang 66%
kasus namun hepatomegali jarang ditemukan. Sementara pada LMA,
hepatoslenomegali sering ditemukan dan limfadenopati mungkin ada. Hipertrofi
gingival atau pembengkakan kelenjar parotis terkadang ditemukan pada LMA.
Pada pasien melalui pemeriksaan penunjang didapatkan anemia
mikrositik hipokrom dengan leukositosis, neutropenia, dan trombositopenia yaitu
Hb 4,5 g/dl, leukosit 11.720/ul dan trombosit 0/ul. Pada pemeriksaan morfologi
darah tepi pasien ditemukan sel blast 83%. Pada pemeriksaan darah lengkap
leukemia limfoblastik akut umumnya didapatkan anemia, kelainan jumlah hitung
jenis leukosit dan trombositopenia. Anemia hampir selalu ada, namun hanya kira-
kira 25% mempunyai Hb 6 g/dl. Jumlah leukosit dapat normal, meningkat atau
menurun pada saat diagnosis. Hiperleukositosis (>100.000/mm3) terjadi pada kira-
kira 15% pasien dan dapat melebihi 200.000/mm3. Sekitar 50% penderita dengan
hitung leukosit kurang dari 10.000/mm3 dan sekitar 20% memiliki hitung leukosit
lebih besar dari 50.000/mm3. Kebanyakan penderita juga trombositopenia, tetapi
kira-kira 25% mempunyai trombosit 100.000/mm3.
Membedakan ALL dengan AML merupakan langkah yang harus
dilakukan pada setiap leukemia akut, karena akan sangat menentukan jenis terapi
dan prognosis penderita. gambaran morfologi sel blast pada apus darah tepi atau
sumsum tulang kadang-kadang tidak dapat membedakan LLA maupun LMA
sehingga perlu dilakukan pemeriksaan sitokimia. Pewarnaan Sudan Black dan
mieloperoksidase akan memberikan hasil yang positif pada AML namun negatif
pada ALL. Mieloperoksidase merupakan enzim sitoplasmik yang ditemukan pada
granula primer dari prekursor granulositik, yang dapat dideteksi pada sel blast
LMA. Umunya sitoplasma limfoblas mengandung agregat bahan aktif PAS
(Periodic acid-Schiff) berukuran besar, sedangkan mieloblas sering positif
peroksidase.
Penanganan leukemia meliputi penanganan suportif dan kuratif. Penanganan
suportif meliputi pengobatan penyakit lain yang menyertai leukemia dan
pengobatan komplikasi antara lain berupa pemberian transfusi darah/trombosit,
pemberian antibiotik, pemberian obat untuk meningkatkan granulosit, obat anti
jamur, pemberian nutrisi yang baik dan pendekatan aspek psikososial. Pada pasien
dilakukan transfusi darah berupa Whole Blood Cell (WBC) sebanyak 1 kolf / 12
jam hingga Hb memenuhi target (9g/dl) atau 1809cc. Pasien termasuk dalam
anemia berat karena Hb kurang dari 5 g/dl dan trombositopenia berat sehingga
perlu ditransfusi dengan WBC (3-4 ml/kg selama 3-4 jam atau 1 kolf / 12 jam)
dengan monitoring ketat.
Selanjutnya, pengobatan pasien yang baru didiagnosis AML terdiri dari dua
fase, yaitu fase induksi dan penatalaksanaan postremisi. Tujuan utama pengobatan
adalah tercapainya remisi lengkap. Sekali diperoleh remisi lengkap, selanjutnya
terapi pasti dapat membuat pasien bertahan lama dan mencapai penyembuhan.
Terapi induksi awal dan terapi postremisi seringkali dipilih berdasarkan usia.
Pengaruh terapi secara intensif menggunakan agen kemoterapi tradisional seperti
sitarabin antrasiklins pada pasien usia muda (<60 tahun) menunjukkan
peningkatan penyembuhan AML. Pada pasien yang lebih tua, keuntungan
diberikan pengobatan yang teratur masih kontroversial.
Pada pasien ini masih diperlukan pemeriksaan tambahan berupa
pemeriksaan aspirasi sumsum tulang, sitokimia ataupun imunofenotipe untuk
penegakan diagnosis pasti sebelum dilakukan penatalaksanaan. Sehingga perlu
dilakukan rujukan ke Rumah Sakit dengan fasilitas pemeriksaan tersebut.
FOLLOW UP PASIEN

03/12/2018
S: O: A: P:
Pasien datang dengan KU : TSS Anemia susp. ITP O2 2-3 lpm
keluhan gusi berdarah TD : 100/60 Trombositopenia IVFD NaCl 0,9% 20
sejak 5 hari SMRS, HR : 127 x/m tpm -
perdarahan sekitar 50 cc / RR : 28 x/m Inj. Ranitidin 1 amp/- T
hari berbentuk gumpalan, T : 36,5°C 12 jam
timbul bercak-bercak SpO2 : 96% Inj. Metilprednisolon
merah diseluruh tubuh, Mata : CA (+/+) SI (-/-) 125 mg / 12 jam
badan terasa lemah dan Leher : pemb. KGB (-), Inj. Kalnex 1 amp/ 8
letih hingga tidak mampu JVP ↑ (-) jam
bangun dari tempat tidur. Thorax : SND ves, rh (- Inj. Vit K 1 amp/ 24
Keluhan disertai sesak, /-), wh (-/-) jam
pusing (-), mual (-), S1 S2 reg, m(-), g(-) Inj. Pantoprazole 1
muntah (-), BAB dan BAK Abd : BU (+) N, NT (-) vial / 12 jam
tidak ada keluhan. Ext : Akral hangat, Tranfusi WBC 1 kolf/
RPD : keluhan sama sejak CRT < 2”, edema (-) 12jam
1 tahun yang lalu. Cek MDT, diff. count

04/12/2018
S: O: A: P:
Pasien masih merasa KU : TSS Anemia susp. ITP O2 2-3 lpm
lemah namun sudah TD : 110/70 Trombositopenia IVFD NaCl 0,9% 20
berkurang dibanding HR : 110 x/m tpm -
kemarin, sesak nafas (+) RR : 22 x/m Inj. Ranitidin 1 amp/- T
tadi malam, pusing (+), T : 36,6°C 12 jam
gusi berdarah (+), bercak- SpO2 : 97% Inj. Metilprednisolon
bercak merah (+) diseluruh Mata : CA (+/+) SI (-/-) 125 mg / 12 jam
tubuh, sudah tranfusi WBC Leher : pemb. KGB (-), Inj. Kalnex 1 amp/ 8
2 kolf JVP ↑ (-) jam
Thorax : SND ves, rh (- Inj. Vit K 1 amp/ 24
/-), wh (-/-) jam
S1 S2 reg, m(-), g(-) Inj. Pantoprazole 1
Abd : BU (+) N, NT (-) vial / 12 jam
Ext : Akral hangat, Psidii syr 3 x 2 Cth
CRT < 2”, edema (-) Kalax tab 3 x 1
Tranfusi WBC 1 kolf/
12jam

05/12/2018
S: O: A: P:
Pasien mengeluhkan gusi KU : TSS Anemia susp. ITP IVFD NaCl 0,9% 20
masih berdarah berbentuk TD : 120/70 Trombositopenia tpm
gumpalan, BAB cair HR : 96 x/m Inj. Ranitidin 1 amp/-
berwarna hitam 1x, pusing RR : 20 x/m 12 jam - T
(-), sesak nafas (-), mual (- T : 36,6°C Inj. Metilprednisolon
), muntah (-), badan masih SpO2 : 98% 125 mg / 12 jam
lemah. Mata : CA (+/+) SI (-/-) Inj. Kalnex 1 amp/ 8
Leher : pemb. KGB (-), jam
JVP ↑ (-) Inj. Vit K 1 amp/ 24
Thorax : SND ves, rh (- jam
/-), wh (-/-) Inj. Pantoprazole 1
S1 S2 reg, m(-), g(-) vial / 12 jam
Abd : BU (+) N, NT (-) Psidii syr 3 x 2 Cth
Ext : Akral hangat, Kalax tab 3 x 1
CRT < 2”, edema (-) Cek H2TL post
transfusi

06/12/2018
S: O: A: P:
Pasien mengeluhkan gusi KU : TSS Anemia susp. ITP IVFD NaCl 0,9% 20
masih berdarah berbentuk TD : 130/70 Trombositopenia tpm
gumpalan, pusing (+), HR : 112 x/m Leukemia Inj. Ranitidin 1 amp/
sesak nafas (-), mual (-), RR : 22 x/m Dispepsia 12 jam
muntah (-), badan masih T : 36,8°C Inj. Metilprednisolon-
lemah. SpO2 : 98% 125 mg / 12 jam - T
Mata : CA (+/+) SI (-/-) Inj. Kalnex 1 amp/ 8
Leher : pemb. KGB (-), jam
JVP ↑ (-) Inj. Vit K 1 amp/ 12
Thorax : SND ves, rh (- jam
/-), wh (-/-) Inj. Pantoprazole 1
S1 S2 reg, m(-), g(-) vial / 12 jam
Abd : BU (+) N, NT (-) Psidii syr 3 x 2 Cth
Ext : Akral hangat, Kalax tab 3 x 2
CRT < 2”, edema (-) Transfusi PRC 3 kolf

07/12/2018
S: O: A: P:
Pasien mengatakan tidak KU : TSS Anemia susp. ITP IVFD NaCl 0,9% 20
ada keluhan, badan tidak TD : 120/80 Trombositopenia tpm
terlalu lemah seperti HR : 97 x/m Leukemia Inj. Ranitidin 1 amp/
sebelumnya, sesak nafas (- RR : 18 x/m Dispepsia 12 jam
), jantung berdebar (-), T : 36,8°C Inj. Metilprednisolon-
pusing (-), mual (-), SpO2 : 98% 125 mg / 12 jam - T
muntah (-), demam (-), Mata : CA (+/+) SI (-/-) Inj. Kalnex 1 amp/ 8
BAB dan BAK tidak ada Leher : pemb. KGB (-), jam
keluhan. JVP ↑ (-) Inj. Vit K 1 amp/ 12
Thorax : SND ves, rh (- jam
/-), wh (-/-) Inj. Pantoprazole 1
S1 S2 reg, m(-), g(-) vial / 12 jam
Abd : BU (+) N, NT (-) Psidii syr 3 x 2 Cth
Ext : Akral hangat, Kalax tab 3 x 2
CRT < 2”, edema (-) Transfusi PRC 3 kolf

08/12/2018
S: O: A: P:
Pasien mengeluhkan badan KU : TSS Anemia susp. ITP IVFD NaCl 0,9% 20
masih terasa agak lemah, TD : 120/70 Trombositopenia tpm
sesak nafas (-), jantung HR : 88 x/m Leukemia Inj. Ranitidin 1 amp/
berdebar (-), pusing (-), RR : 18 x/m Dispepsia 12 jam
mual (-), muntah (-), T : 36,5°C Inj. Metilprednisolon-
demam (-), BAB dan BAK SpO2 : 97% 125 mg / 12 jam - T
tidak ada keluhan. Sudah Mata : CA (+/+) SI (-/-) Inj. Kalnex 1 amp/ 8
tranfusi 2 kolf WBC dan 2 Leher : pemb. KGB (-), jam
kolf PRC. JVP ↑ (-) Inj. Vit K 1 amp/ 12
Thorax : SND ves, rh (- jam
/-), wh (-/-) Inj. Pantoprazole 1
S1 S2 reg, m(-), g(-) vial / 12 jam
Abd : BU (+) N, NT (-) Psidii syr 3 x 2 Cth
Ext : Akral hangat, Kalax tab 3 x 2
CRT < 2”, edema (-) Transfusi PRC 1 kolf

10/12/2018
S: O: A: P:
Pasien mengeluhkan badan KU : TSS Anemia susp. ITP IVFD NaCl 0,9% 20
masih terasa lemah, lain- TD : 140/90 Trombositopenia tpm
lain tidak ada keluhan, HR : 88 x/m Leukemia Inj. Ranitidin 1 amp/
sesak nafas (-), jantung RR : 20 x/m Dispepsia 12 jam
berdebar (-), pusing (-), T : 36,8°C Inj. Metilprednisolon-
mual (-), muntah (-), SpO2 : 97% 125 mg / 12 jam - T
demam (-), BAB dan BAK Mata : CA (+/+) SI (-/-) Inj. Kalnex 1 amp/ 8
tidak ada keluhan. Leher : pemb. KGB (-), jam
JVP ↑ (-) Inj. Vit K 1 amp/ 12
Thorax : SND ves, rh (- jam
/-), wh (-/-) Inj. Pantoprazole 1
S1 S2 reg, m(-), g(-) vial / 12 jam
Abd : BU (+) N, NT (-) Psidii syr 3 x 2 Cth
Ext : Akral hangat, Kalax tab 3 x 2
CRT < 2”, edema (-) Transfusi PRC 1 kolf
(Cek H2TL ulang, jika
Hb < 9 transfusi
hingga Hb ≥ 9)

11/12/2018
S: O: A: P:
Pasien mengeluhkan badan KU : TSS Anemia susp. ITP IVFD NaCl 0,9% 20
masih terasa lemah, lain- TD : 140/90 Trombositopenia tpm
lain tidak ada keluhan, HR : 85 x/m Leukemia Inj. Ranitidin 1 amp/
sesak nafas (-), jantung RR : 18 x/m Dispepsia 12 jam
berdebar (-), pusing (-), T : 36,8°C Inj. Metilprednisolon-
mual (-), muntah (-), SpO2 : 98% 125 mg / 12 jam - T
demam (-), BAB dan BAK Mata : CA (+/+) SI (-/-) Inj. Kalnex 1 amp/ 8
tidak ada keluhan. Leher : pemb. KGB (-), jam
JVP ↑ (-) Inj. Vit K 1 amp/ 12
Thorax : SND ves, rh (- jam
/-), wh (-/-) Inj. Pantoprazole 1
S1 S2 reg, m(-), g(-) vial / 12 jam
Abd : BU (+) N, NT (-) Psidii syr 3 x 2 Cth
Ext : Akral hangat, Kalax tab 3 x 2
CRT < 2”, edema (-) Transfusi PRC 3 kolf
12//12/2018
S: O: A: P:
Pasien mengeluhkan badan KU : TSS Anemia susp. ITP IVFD NaCl 0,9% 20
masih terasa lemah, lain- TD : 150/90 Trombositopenia tpm
lain tidak ada keluhan, HR : 98 x/m Leukemia Inj. Ranitidin 1 amp/
sesak nafas (-), jantung RR : 18 x/m Dispepsia 12 jam
berdebar (-), pusing (-), T : 36°C Inj. Metilprednisolon-
mual (-), muntah (-), SpO2 : 98% 125 mg / 12 jam - T
demam (-), BAB dan BAK Mata : CA (-/-) SI (-/-) Inj. Kalnex 1 amp/ 8
tidak ada keluhan. Sudah Leher : pemb. KGB (-), jam
transfusi PRC 1 kolf lagi. JVP ↑ (-) Inj. Vit K 1 amp/ 12
Thorax : SND ves, rh (- jam
/-), wh (-/-) Inj. Pantoprazole 1
S1 S2 reg, m(-), g(-) vial / 12 jam
Abd : BU (+) N, NT (-) Psidii syr 3 x 2 Cth
Ext : Akral hangat, Kalax tab 3 x 2
CRT < 2”, edema (-)

13/12/2018
S: O: A: P:
Pasien mengeluhkan badan KU : TSS Anemia susp. ITP IVFD NaCl 0,9% 20
masih terasa lemah, lain- TD : 130/70 Trombositopenia tpm
lain tidak ada keluhan, HR : 90 x/m Leukemia Inj. Ranitidin 1 amp/
sesak nafas (-), jantung RR : 18 x/m Dispepsia 12 jam
berdebar (-), pusing (-), T : 36,6°C Inj. Metilprednisolon-
mual (-), muntah (-), SpO2 : 98% 125 mg / 12 jam - T
demam (-), BAB dan BAK Mata : CA (-/-) SI (-/-) Inj. Kalnex 1 amp/ 8
tidak ada keluhan. Leher : pemb. KGB (-), jam
JVP ↑ (-) Inj. Vit K 1 amp/ 12
Thorax : SND ves, rh (- jam
/-), wh (-/-) Inj. Pantoprazole 1
S1 S2 reg, m(-), g(-) vial / 12 jam
Abd : BU (+) N, NT (-) Psidii syr 3 x 2 Cth
Ext : Akral hangat, Kalax tab 3 x 2
CRT < 2”, edema (-) Cek H2TL ulang.

14/12/2018
S: O: A: P:
Pasien mengeluhkan badan KU : TSS Anemia susp. ITP IVFD NaCl 0,9% 20
masih terasa lemah, lain- TD : 130/70 Trombositopenia tpm
lain tidak ada keluhan, HR : 98 x/m Leukemia Inj. Ranitidin 1 amp/
sesak nafas (-), jantung RR : 20 x/m Dispepsia 12 jam → PO
berdebar (-), pusing (-), T : 36,7°C Inj. Metilprednisolon-
mual (-), muntah (-), SpO2 : 96% 125 mg / 12 jam → - T
demam (-), BAB dan BAK Mata : CA (-/-) SI (-/-) PO 3 x 8mg
tidak ada keluhan. Leher : pemb. KGB (-), Inj. Kalnex 1 amp/ 8
JVP ↑ (-) jam → PO
Thorax : SND ves, rh (- Inj. Vit K 1 amp/ 12
/-), wh (-/-) jam → PO
S1 S2 reg, m(-), g(-) Inj. Pantoprazole 1
Abd : BU (+) N, NT (-) vial / 12 jam → stop
Ext : Akral hangat, Psidii syr 3 x 2 Cth
CRT < 2”, edema (-) Kalax tab 3 x 2
BLPL (Hb saat ini
9,1)
DAFTAR PUSTAKA

1. Permono HB dan Ugrasena IDG. Leukemia Akut. Dalam: Permono HB,


Sutaryo, Ugrasena IDG, dkk (eds). Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak
Cetakan Kedua. Jakarta, Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia,
2006: p. 236-247.

2. Price, S A dan Wilson, L M.Patofisiologi , Konsep klinis proses-proses


penyakit . Jakarta : EGC, .2006.

3. Fauci, Anthony S.; Kasper, Dennis L. ; Longo, Dan L.; Braunwald, Eugene;
Hauser, Stephen L.; Jameson, J. Larry; Loscalzo, Joseph;. Harrison's
Principles of Internal Medicine 17th edition. USA: McGraw-hill, 2008.

4. Crist WM dan Pui CH. Leukemia. Dalam: Wahab AS, Noerhayati, Soebono
H, dkk (eds). Nelson Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Bahasa Indonesia Vol.
3. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2000: p. 1772-1777.
5. Guyton, Arthur C.; Hall, John E.;. TEXTBOOK of Medical Physiology 7 th
edition. Philadelphia, Pennsylvania: Elsevier Inc, 2006.
6. Fianza PI. Leukemia Limfoblastik Akut. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Edisi Keempat vol. 1. Jakarta: Pusat Penerbitan, Departemen Ilmu penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006: p. 728-734.
7. Kurnianda J. Leukemia Mieloblastik Akut. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Edisi Keempat vol. 1. Jakarta: Pusat Penerbitan, Departemen Ilmu penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006: p. 706-709.
8. Aster J. Sistem Hematopoietik dan Limfoid. Hartanto H, Darmaniah N,
Nanda W, dkk (eds). Robbins Buku Ajar Patologi Edisi 7 Bahasa Indonesia
Vol.2. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2007: p. 475-477, 489-491.
9. Bakta IM. Buku Ajar Hematologi Klinik Ringkas. Denpasar, UPT Penerbit
Universitas Udayana, 2001: p. 119-141.

Anda mungkin juga menyukai