Anda di halaman 1dari 76

BERLIAN UNTUK IBU DAN BAPAK

RENI RUKMAWATI, S.Pd

i
BERLIAN UNTUK IBU DAN BAPAK

Penulis: Reni Rukmawati, S.Pd

Penyuntingan Naskah: Shinta Yuni Maerulia,


S.Pd dan Miftachul Jannah, S.Pd

Tahun: 2019

ii
PERSEMBAHAN

Sujud syukur kusembahkan kepadaMu Ya Allah, Tuhan


Yang Maha Agung dan Maha Tinggi. Atas takdirMu saya bisa
menjadi pribadi yang berpikir, berilmu, berilmu, beriman, dan
bersabar. Semoga keberhasilan ini menjadi salah satu langkah
awal untuk menjadi motivasi bagi oranglain.

Ku persembahkan novel ini untuk Ibu dan Bapak yang tak


pernah jenuh mengalirkan air mata di setiap do’a dalam setiap
langkahku.

Untuk teman-teman perjuangan dalam mngembankan


tugas, mengabdi, dan pengajar.

Untuk teman-teman yang sudah membantu penggarapan


novel ini.

Saya mengucapkan banyak terimakasih.

Salam,

Reni Rukmawati, S.Pd

iii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur bagi Allah karena berkat


rahmat dan karunia-Nya, kami bisa menyelesaikan novel ini
dalam waktu yang telah ditentukan. Novel ini bertujuan untuk
menceritakan sebuah pengorbanan orangtua yang luar biasa
kepada anaknya. Diharapkan pembaca dapat mengambil sisi
positif dari novel yang berjudul “Berlian Untuk Ibu”.

Penulis juga menyadari jika di dalam penulisan baik


kata maupun kalimat dalam novel kami mempunyai
kekurangan, akan tetapi penulis meyakini bahwa novel ini
akan memberi sebuah manfaat bagi setiap pembaca.

Lamongan, 2019

Reni Rukmawati, S.Pd

iv
Daftar Isi

Sahabat Terbaik
Piala Berlapis Cinta
Keinginan Yang Mustahil
Renungan Hati
Senyuman Terakhir
Beratnya Untuk Iklhas
Kekecawaan Yang Mendalam
Rahasia Ibu
Tulusnya Kasih Ibu
Berlian Untuk Ibu Dan Bapak

v
1
Mentari pagi menampakkan cahaya yang indah,

kupandangi bunga-bunga di tepi jalan yang kemarin masih

kuncup sekarang sudah mekar, kupu-kupu pun menari

kegirangan diatasnya. Ku langkahkan kaki sambil

memandangi merenka hingga tak kusadari bel masuk sekolah

telah berbunyi. Akupun berlari menuju pintu gerbang sekolah

yang akan ditutup satpam.

“Pak jangan ditutup dulu Pak..!” teriakku pada Pak

satpam.

“Hanna kamu selalu saja dating terlambat”.

“Maaf Pak tadi jalannya macet”. Jawabku sambil

bergurau.

“Kamu ini kan jalan kaki, macet dimananya Hanna?

Banyak alasan kamu ini, udah masuk sana!”

“Makasih Pak”.

Aku memang sering terlambat kesekolah, karena aku

harus membantu Ibu menyiapkan dagangan kuenya dulu

untuk dijual. Aku juga harus menitipkan kue-kue Ibu ke


2
warung-warung terdekat, makanya aku telut terus dech.

Walaupun sering diomel satpam dan Guru tapi aku senang

bisa sedikit meringankan beban Ibu.

Kulangkahkan kaki ke dalam kelas untung saja Ibu

Guru belum datang, jadi untuk hari ini aku aman tidak

dihukum seperti biasanya berdiri berdiri di pojok kelas.

“Hay Hanna, hari ini kamu lolos dari hukuman, karena

Ibu Guru untung saja belum dating”. Kata Citra sambil

menepuk punggungku dari belakang.

“Iyah Alhamdulillah, tapi kok tumben ya Bu Ana

belum datang, Bu Ana kan Guru paling disiplin. Tidak

biasanya Bu Ana terlambat begini”.

“Tidak usah dipikirin, yang penting itu kamu selamat

dari hukumannya. Jantungku tiap pagi itu berdebar mikirin

kamu yang hobbynya telat. Aku kasihan sama kamu Hanna

karena setiap hari harus berdiri dipojok kelas, menulispun

harus berdiri,” Kata Citra dengan raut wajah sedih.

3
“So sweet, makasih ya sudah mikirin aku”. Kataku

sambil memeluknya. Citra adalah sahabatku sejak kecil. Dari

SD,SMP, dan sekarang SMA kita selalu bersama.

“Teman-teman aku baru dari kantor Guru karena ada

rapat mendadak jam pertama kita free”. Kata Rio ketua kelas

kita.

“Yeah.. ini baru siiip…” sahut anak-anak satu kelas.

Dapat free satu pelajaran bagaikan menang lotre

puluhan juta. Semuanya bahagia banget apalagi seharusnya

jam pertama hari ini diisi Bu Ana yang super duper killer

dalam mata pelajaran Matematika.

“Ayo Hanna kita sarapan dulu ke kantin, pasti kamu

belum sarapankan?” Ajak Citra.

“Belum sih, tapi aku lagi diet”.

“Diet? Nggak salah tuh? Badan cungkring kayak gini

diet?” Tanya dengan nada tinggi. Aku hanya cengar-cengir

mendengarnya mendengarnya.

4
“Badan kamu ini 90% tulang belulang semuanya

Hanna, dagingnya Cuma 10%, bahkan kalau dibandingkan

sama kambing, kamu mah kalah jauh,” Kata Citra bercanda.

“Apa? Kamu bandingin dagingku sama kambing?

Awas kamu yaa.”.

Citra berlari sambil terus tertawa mengejekku. Aku

tahu dia begitu agar aku mau diajak sarapan bersamanya. Dia

memang sahabatku yang paling bisa membuatklu tertawa.

Sampai di kantin kami duduk berdua di sudut kantin

smabil menunggu pesanan bakso dan es teh.

“Kemarin mama dapat arisan jadi uang sakuku

bertambah, aku traktir kamu hari ini”.

“Tiap hari kan memang kamu yang selalu traktir aku

Citra. Maafin aku ya selalu ngrepotin kamu terus”.

“Kapan aku traktir kamu Hanna? Baru kali ini ali

traktir kamu bakso. Biasanya kamu Cuma makan roti atau

minum es the doank. Aku suruh kamu pesan nasi atau bakso

5
nggak mau. Kamu sahabat aku Hanna dan nggak ada kata

ngrepotin untuk persahabatan kita.’

“Makasih ya Citra, untuk semuanya”.

“Sama-sama Hanna, seharusnya aku yang berterima

kasih sama kamu, karena berkat kamu yang mau ngajarin aku

belajar di rumah, sekarang nilai pelajran aku bagus-bagus”.

Citra dia memang sahabat terbaik yang selalu ada

untukku. Walau dia anak orang kaya tapi dia dan keluarganya

selalu baik kepadaku. Tak pernah ia membedakan aku dengan

anak-anak yang lain, malah dia membuat aku teristimewa

dibandingkan yang lain. She is my best friend.

6
7
Tak terasa jam pertama telah usai. Bel masuk pun

berbunyi. Namun tiba-tiba terdengar pengumuman.

“Kepada seluruh siswa dimohon untuk segera

berkumpul di Aula. Ada pengumuman penting dari Kepala

Sekolah”.

“Ada apa ya Hanna?” Tanya Citra penuh penasaran,

aku hanya menggelengkan kepala, setelah itu aku dan Citra

segera beranjak dari tempat duduk dan segera ikut berkumpul

bersama siswa yang lain di Aula Sekolah.

Masuk kedalam ruangan wow suasananya seperti

disebuah pasar yang ramai sekali. Mereka memiliki

pertanyaan yang sama kenapa mendadak siswa siswi

dikumpulkan di Aula? Dan sebenarnya akupun mempunyai

pertanyaan yang sama dengan mereka.

“Perhatian semuanya, Kepala Sekolah akan

mengumumkan sesuatu kepada kalian semua, jadi harap

tenang”. Kata Bu Anna di atas mimbar Aula.

8
Suasana kini menjadi hening seperti kuburan. Hening,

sunyi, sepi, taka da suara sama sekali. Kepala Sekolah pun

berdiri di atas mimbar Aula dan menyampaikan sambutannya.

Disela-sela sambutannya tiba-tiba Beliau memanggil namaku.

“Ananda Hanna Aurora dimohon maju ke atas mimbar”.

Semua mata tertuju kepadaku, jantungku yang tadinya

tak bersuara kini menjadi mengalahkan suara drumband bass.

Tanda tanya besar bejejer di atas kepalaku. “Apa salahku?

Apakah aku akan dikeluarkan dari sekolah karena setiap hari

selalu terlambat masuk kelas? Apakah bulan ini aku lupa

bayar iuran Sekolah?”

Pertanyaan demi pertanyaan muncul. Tanda Tanya

besar itu mengelilingi kepalaku. Kini langkah kakiku terhenti

tepat di samping Kepala Sekolah.

“Hanna, kamu ingat dua bulan yang lalu kamu

mengirimkan sebuah novel kesalah satu situs online? Disitu

kamu mencantumkan nama Sekolah juga, itu benar?” Tanya

Kepala Sekolah.
9
“Iya Pak, maafkan saya karena tidak izin terlebih

dahulu dari pihak Sekolah saat mengirimkan naskah. Saya

benar-benar meminta maaf Pak, saya lupa dan tidak sengaja

Pak”. Kataku menjelaskan dengan sekujur badan yang

gemetar, ini mungkin hari terakhir di Sekolah, pikirku.

“Selamat Hanna, kamu menang dalam perlombaan itu

dan mendapatkan piagam khusus dari pihak yang

bersangkutan”.

Aku yang semula menundukkan kepala, kuangkat

kepalaku ke depan dan menatap Kepala Sekolah serta

kutanyakan lagi, “Sungguh Pak?” Kepala Sekolah

menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.

“Bapak mewakili dari pihak sSekolah mengucapkan

selamat untuk kamu Hanna, kami bangga sekali padamu.

Walaupun sering telat masuk kelas, tapi kamu yang

berprestasi.

Aku benar-benar tidak menyangka kalau bisa menang,

karena itu kali pertama aku membuat novel. Bapak Kepala


10
Sekolah memberikan piagam padaku dan berkata, “Hanna,

hari ini kamu tidak hanya mendapat piagam tetapi dua piagam

sekaligus, karena tadi pagi Bapak mendapat informasi bahwa

kamu menang Olimpiade Matematika tingkat Provinsi.

Selamat Hanna. Dengan piagam ini kamu bisa melanjutkan ke

Universitas yang kamu inginkan nanti”.

Akupun menerima dua piagam itu dan mendapatkan

piala besar dari Olimpiade Matematika. Bapak Kepala

Sekolah memberi motivasi pada seluruh siswa siswi agar

suatu hari nanti mereka juga bisa menjadi siswa yang

berprestasi dapat membanggakan.

Aku turun dari atas mimbar Aula sambil membawa

penghargaan yang aku dapat tadi. Semua siswa siswi yang

tadinya memandangku sinis, kini mereka tersenyum dan

menghampiriku untuk mengucapkan selamat. Ingi rasanya

aku berteriak

11
“Horreee… I can I’m tried and I’m success” aku ingin

terbang sambil menari dan bernyanyi, untuk merayakan

kemenanganku hari ini.

Aku ingin pulang cepat dan memberikan piagam

piagam serta piala ini untuk Ibu dan Bapakku di rumah.

Hadiah ini untuk mereka karena sesungguhnya yang aku

dapatkan itu motivasi dari Bapak dan Ibu. Mereka yang lebih

berhak atas penghargaan ini. Tulusnya Cinta mereka yang

mampu membuatku terus berjuang melawan arusnya

persaingan kehidupan.

Piala yang akan aku dapatkan ini adalah piala berlapis

cinta yang khusus aku balut untuk Ibu dan Bapak.

“Ibu, Bapak perjuangan kalian untuk memberikan

pendidikan yang terbaik buat aku selama ini tidak akan sia-

sia”. Kuucapkan dalam hati.

12
13
Bel pulang sekolah akhirnya berbunyi, buru-buru ku

langkahkan kakiku biar bisa cepat sampai di rumah. Terlihat

matahari tampak tersenyum sambil memancarkan sinarnya.

Angina berhembus lembut mengelilingiku seakan

mengajakku buat ikut menari bersama mereka. Aku terus

menelusuri jalan sambil kupancarkan senyum manisku pada

dunia dan berteriak, “I can, I’m tried, and I’m Succes”.

Sebab aku ingin membuktikan pada semua temanku

dan juga terutama tetanggaku bahwa meskipun aku dari

keluarga yang kurang mampu, namun aku memiliki prestasi

yang bisa dibanggakan, dan suatu hari nanti aku akan menjadi

orang yang sukses.

Huduuuh.. Tiba-tiba suasana disekelilingku jadi gelap

gulita bagai akn ada petir menyambar, halilintar menghadang

dan angin puting beliung menghempaskan segala lamunanku

karena ada sosok besar berdiri tepat didepanku yang membuat

langkah kakiku terhenti seketika.

14
“Hay anak miskin, apa yang kau bawa itu?” Tanyanya

dengan wajah sinis sembari melototkan matanya yang

membuat bulu kuduku berdiri. Sebenarnya beliau itu adalah

tetanggaku namanya Tante Tutik. Kerjaanya setiap hari itu

menghinaku dan keluargaku namun aku tak

menghiraukannya.

“Ini piala dari sekolah Tante, hari ini aku menang

Olimpiade Matematika”. Jawabku sambil tersenyum.

“Baru dapat benda gitu saja bangga, lihat nich anak

Tante!” Kata Tante Tutik sambil menggandeng anaknya yang

bernama Rina.

“Rina punya segalanya, kalung emas, cincin emas,

gelang emas, dan juga makanan bergizi. Tidak kayak kamu,

baju sobek semua, kumel, makanan tiap hari cuma air putih

doing, tidak ada gizinya. Walau otak pintar tapi kalau terlahir

miskin ya selamnya akan tetap miskin”. Kata Tante Tutik

sambil memamerkan emas peraknya itu yang melilit dileher,

tngan dan kakinya. Aku hanya diam dan berlalu mendengar


15
semua itu, karena semua celotehannya sudah tak asing lagi

ditelingaku sebab semua itu juga sudah menjadi makanan

pokok setiap hari buar aku. Malahan semua kata-katanya itu

memberi aku motivasi agar aku harus terus berusaha supaya

suatu hari nanti aku isa jadi orang yang sukses tapi tidak

sombong tentunya.

Tiba didepan pintu rumahku, terdengar suar Ibu yang

sedang merengek pada Bapak.

“Pak belikan ya Pak?!” Pinta Ibu pada Bapak,

“Tapi itu pasti sangat mahal sekali Bu, uang kita tidak

cukup untuk bisa membelinya,” Jawab Bapak lesu. Akupun

jadi penasaran apa sebenarnya yang diminta Ibu pada Bapak.

Akupun menempelkan telingaku pada pintu untuk mencari

tahu apa yang sebenarnya mereka bicarakan.

“Pokonya Bapak harus bekerja lebih keras lagi Pak,

biar Ibu bisa beli kalung emas itu!” Kata Ibu sambil merayu

Bapak. Aku jadi kaget mendengar permintaan Ibu, tanda

Tanya besar melayang diatas kepalaku.


16
“Kenapa Ibu tiba-tiba minta kalung emas pada

Bapak?” Pikirku dalam hati. Bahkan terselip dibenakku ini

pasti gara-gara Ibu terpengaruh kata-kata Tante Tutik yang

selalu memamerkan emas peraknya itu. Tak piker panjang

lagi aku langsung membuka pintu sambil mengucapkan

salam.

“Asslamu’alaikum…”

“Wa’alaikumsalam,” Jawab Ibu dan Bapak serempak.

“Bapak sama Ibu lagi ngomongin apa?” Tanyaku

penasaran.

“Kamu sudah pulang Hanna? Waah kamu pasti jadi

juara lagi ya di Sekolah? Bapak bangga sama kamu Nak,”

Kata Bapak sambil mengelus kepalaku tanpa manjawab

pertanyaanku tadi, dan sekali lagi aku mengulangi

pertanyaanku,

“Lagi ngomongin apa sih Pak?”

17
“Tidak lagi ngomongin apa-apa kok, sini biar Ibu

simpan piala kamu,” Sahut Ibu sambil menaruh pialaku di

dalam sebuah lemari berjejer dengan piala-pialaku yang lain.

“Bapak balik kerja dulu ya Nak, jam istirahatnya

sudah habiz nich”. Kata Bapak. Aku hanya menganggukkan

kepalaku, setelah itu masuk kedalam kamar. Kurebahkan

tubuhku diatas kasur, namun tanda Tanya diatas kepaluku

masih mengusik fikiranku. Kenapa Ibu meminta sesuatu yang

mustahil bagi Bapak? Sebab buat makan tiap hari saja belum

tentu ada, karena Bapak hanya seorang kuli panggul di Pasar,

upah yang beliau dapat tidak pasti, bahkan terkadang tidak

dapat sama sekali kalau Pasar lagi sepi. Dan sangat mustahil

sekali kalu harus beli kalung emas yang harganya sangat

mahal itu. Sungguh permintaan yang mustahil untuk bisa

diwujudkan.

18
19
Malam ini rasanya mataku berat sekali untuk bisa aku

pejamkan. Aku terus saja memikirkan permintaan Ibu pada

Bapak yang membuat oatak dan hatiku jadi tek bisa sinkron.

Akupun membuka pintu kamarku dan mencoba mencari

ketengan diluar rumah.

Sampai didepan teras rumah kudapati Bapak yang

tengah duduk bersandar dikursi sembari manatap ribuan

intang di langit. Ku lihat wajahnya kali ini terlihat pucat. Ada

sebuah beban yang nampak dibola matanya.

“Bapak kok belum tidur?” Tanyaku yang seketika itu

menggugah lamunan Bapak. Dan Bapak malah balik bertanya

padaku,

“Hanna? Kenapa kamu disini? Kok belum tidur?”

“Hanna lagi tidak bisa tidur og Pak, Bapak lagi mikirin

apa kok ngelamun disini malam-malam? Awas kesambet

loch..!”

“Lagi mikirin kamu,”

20
“Jangan bohong dech Pak, Bapak pasti lagi mikirin

permintaan Ibu yang tadi siang itu kan?”

“Tidak kok, Bapak cuma lagi mikirin kanu saja

Hanna…”

“Bapak, Hanna cuma mau bilang sama sama Bapak

kalau jangan terlalu difikirin permintaan Ibu itu”.

“Bapak tidak mikirin itu Hanna”. Bapak selalu saja

mengelak, akupun tahu Bapak seperti itu biar aku tidak terlalu

kwatir dengan hal itu.

“Hanna yakin Pak, Ibu seperti itu pasti gara-gara Tante

Tutik yang selalu saja memamerkan emas peraknya itu pada

Ibu, makanya sekarang Ibu jadi terhasut”.

“Huust, jangan su’udhzon itu tidak baik. Allah tidak

suka sama orang yang suka buruk sangka”. Aku

menundukkan kepalaku dan Bapak mengusap kepalaku

sambil berkata,

“Hanna teruslah berprestasi, teruslah menjadi

kabanggakan untuk Bapak dan Ibu. Bapak yakin suatu saat


21
nanti kamu pasti bisa mewujudkan semua keinginan Bapak

dan Ibu”.

Bulan dan bintang tampak tenang seolah ikut

mendengarkan semua nasehat Bapak. Angina malampun

berhembus lembut menemaniku hanyut dalam perkataan

Bapak yang penuh dengan Cinta dan harapan. Malam ini

beliau mencurahkan renungan hatinya, ia mengucapkan

banyak sekali kalimat yang isa menginspirasi setiap langkah

hidupku.

“Hanna, banyak orang pintar di dunia namun bila

meraka tidak bisa menghargai dan menghormati orang lain

terutama orang tuanya maka semua yang dimilikinya akan

menjadi sia-sia”.

“Hanna janji akan selalu berbakti pada Ibu dan

Bapak”.

“Hanna bnyak juga orang yang sukse disekeliling kita,

namun bila ia tidak bisa mengendalikan kesombongannya,

maka apa yang ia dapat akan menjadi penyebab dari


22
kehancurannya”. Aku menatap mata Bapak disertai dengan

anggukan kepalaku dan tersenyum padanya tanda bahwa aku

setuju dan mengerti atas segala ucapannya. Setelah itu Bapak

melanjutkan nasehatnya.

“Hanna, saat hatimu terpuruk dan merasa masalah

yang kamu hadapi itu sangat berat seakan kamu akan tersesat

dalam kegelapan yang tanpa arah, ingatlah selalu pada Allah

maka Allah akan memberikan cahaya terang pada langkamu

yang akan membawamu pada jalan yang seharusnya memang

kamu tempuh”.

“Terima kasih Bapak, Hanna akan selalu mengingat

dan menjalankan semua nasehat Bapak.

“Hanna sebenarnya Bapak punya angan-angan

membangun rumah yang layak untuk keluarga kecil kita,

namun sampai saat ini Bapak belum bisa mewujudkannya,

bagaimana mungkin bisa bahkan untuk makan setiap hari saja

susah,” kata Bapak dan kulihat kedua matanya mulai berkaca-

kaca, namun sebelum ada setetes air jatuh Bapak langsung


23
mengusap matanya. Bapak lalu melanjutkan lagi kalimatnya

kembali.

“Tapi Bapak tak mau mengeluhkannya, bagi Bapak

bisa selalu berkumpul dengan kalian berdua itu sudah

kebahagian yang luar biasa bagi Bapak. Bapak juga yakin

kalau sekarang Bapak belum bisa mewujudkan keinginan

Bapak, InsyaAllah suatu hari nanti kamu bisa memberikan

apa yang Bapak dan Ibu inginkan”.

Aku lalu memeluk Bapak erat, pelukan hangat dari

seorang Ayah bagaikan pelukan Tuhan yang melindungiku.

Nasehatnya yang penuh makna membuatku damai. Segala

beban dipundaknya dan rasa lelah karena seharian bekerja tak

pernah ia perlihatkan, selalu tawa canda dan senyuman yang

ia tunjukkan padaku, bahkan ia selalu membanggakan

tubuhnya yang kurus itu kata Bapak,” Tubuh Bapak memang

kurus tapi didalamnya ada otot kawat tulang besi loch.”

Tak terasa malampun semakin larut. Bapak

mengajakku masuk kedalam rumah dan menyuruhku untuk


24
beristirahat. Aku rebahkan tubuhku, masih terngiang

ditelingaku kata-kata Bapak yang menyejukkan hati. Harapan

demi harapan ia curahkan, banyak sekali impian yang harus

aku wujudkan demi kebahagiaaan Bapak dan Ibu. Malam ini

menjadi renungan hati Bapak yang didalamnya terukir impian

dan harapan agar suatu hari nanti aku mampu menghadapi

dunia yang penuh dengan fatamorgana. Hidup memang selalu

berdampingan dengan cobaan dan tantangan. Tapi Bapak

selalu berkata semua itu pasti bisa kita lalui dengan terus

tawakkal, berdoa dan berusaha, maka Allah akan

mempermudah segala urusan kita.

25
26
Bulan kini telah beristirahat dikegelapan malam.

Muncullah cahaya yang terbit diufuk timur, sang mentari

mulai muncul membawa senyum hangat pada alam semesta.

Aku buka jendela kamarku dan kulihat bunga yang kemarin

masih kuncup sekarang tengah menyerbakkan bau harumnya

kepenjuru dunia dan memamerkan kecantikannya yang alami

itu. Kupu-kupu dan kumbang berkumpul merayakan

mekarnya sang ratu bunga. Daunnya yang hijaupun

menambah segarnya pemandangan membuat siapapun yang

melihatnya akan terasa hilang segala gunda dihatinya.

“Hanna, ayo bangun nanti kamu terlambat lagi ke

Sekolah,” Teriak Ibu yang membuyarkan segala lamunanku.

“Iya Bu,” Sahutku

Setelah selesai menyiapkan peralatan sekolah dang

anti seragam sekolah. Aku keluar dari kamar, terlihat Ibu

sedang sibuk menata kue-kuenya yang akan dititipkan ke

warung. Ku lihat Bapak sedang duduk bersandar dikusi

27
dengan menceguk segelas air putih. Nampak wajah Bapak

hari ini sangat pucat.

“Bapak lagi tidak enak badan hari ini?” tanyaku pada

Bapak.

“Tidak Hanna Bapak sehat kok,”

“Kalau Bapak kurang sehat, lebih baik hari ini Bapak

tidak usah berangkat kerja dulu Pak. Bapak istirahat saja di

rumah!” Kataku dengan nada cemas.

“Bapak tidak apa-apa Hanna, mamti juga kalau sudah

kumpul sama teman-temannya di Pasar pasti lelahnya juga

hilang kok, iya kan Pak?” Sahut Ibu menyela pembicaraanku

sama Bapak.

“Benar kata Ibu kamu, Bapak tidak apa-apa kok,

karena Bapak ini kan otot kawat tulang besi ha..ha..ha,” kata

Bapak mulai bercanda.

Akupun tersenyum saat Bapak tertawa dengan

candaannya itu. Melihat Bapak masih bisa bercanda dan

tertawa seperti itu rasa cemas pun hilang. Senyuman Bapak


28
mengalihkan duniaku, senyuman dan tawa candanya itu

sangatlah berarti bagi ku. Beban dan lelahnya tak pernah

sekalipun ia tunjukkan padaku.

Pagi ini seperti biasannya aku berangkat sekolah

bareng sama Bapak, karena arah pasar dan sekolahku

kebetulan searah. Setiap pagi Bapak juga membantu aku

membawakan kue dagangan Ibu untuk dititipkan ke warung.

Disepanjang perjalanan Bapak mengeluarkan berbagai jurus

candaan yang salalu bisa membuatku tertawa dibuatnya.

Tak terasa kitapun sudah ada dibelokkan Pasar. Bapak

belok kekiri untuk bekerja di Pasar dan aku lurus kedepan

untuk pergi ke Sekolah. Aku berpamitan dengan Bapak

sambil mencium tangannya. Senyuman Bapak memberi

semangat padaku, kemudian Ia pun berjalan belok menuju

pasar. Aku masih berdiri melihat langkah kaki Bapak.

Sebenarnya aku sangat kuatir dengan kondisi Bapak hari ini,

sebab sampai sekarang wajahnya masih terlihat pucat.

29
Disetengah perjalanannya Bapak membalikkan

badannya dan menatapku dari kejauhan. Bapak melambaikan

tangannya sambil tersenyum kembali padaku, ia mengangkat

tangan kanannya dan menekuknya sambil berteriak,”

SEMANGAAAT!!!”

Aku pun mengikuti gerakan tangan Bapak dan

berteriak,”SEMANGAT!”, ku lanjutkan langkah kakiku lurus

menuju sekolah.

Siangpun tiba, bel pulang sekolah berbunyi. Seharian

ini aku jadi tidak konsen menerima pelajaran, fikiranku tertuju

pada Bapak. Rasa kuatit menghantuiku, kecemasan yang

berlebihan menghampiriku. Ingin rasanya aku berfikir positif

namun fikiran negative terus-terusan mendahului.

Aku berlari dan terus berlari, akan ku jumpai Bapak di

pasar. Sampai di Pasar tak ku lihat Bapak dimanapun.

“Mungkin Bapak sudah pulang,” fikirku dalam hati.

Akhirnya ku putuskan untuk segera pulang. Namun setelah

30
sampai di rumah aku mencari Bapak disetiap sudut rumah tapi

tak ku temukan juga.

“Ada apa Hanna?” Tanya Ibu yang sedang melihatku

kebingungan.

“Bapak dimana Bu?”

“Bapak dari tadi belum pulang Hanna, mungkin hari

ini pasar lagi ramai”.

“Tapi tadi aku cari Bapak di Pasar kok tidak ada Bu?”

“Mungkin Bapak lagi bantu orang mengangkat barang

atau mengirim barang ke rumahnya”.

Mungkin benar yang dikatakan Ibu, akupun masuk

kedalam kamar dan segera mengganti bajuku.

Matahari mulai tenggelam, langit biru mulai merubah

warnanya. Kecemasankumulai bertambah saat bulan mulai

muncul diatas langit, namun Bapak masih belum pulang juga.

Terlihat Ibu sedang mondar-mandir di teras rumah, ada

kecemasan yang sama seperti yang aku raskan diraut wajah

Ibu.
31
“Tumben Bapak jam segini belum pulang, padahal

biasanya sore sudah pulang,” kata Ibu dengan wajah yang

amat cemas.

Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara memanggil

nama Ibu, “Bu, Bu Sari… suami Ibu ada di rumah sakit

sekarang, asmanya kambuh,” kata orang itu dengan suara

terengah-engah. Aku dan Ibu mendengar kabar itu sangatlah

kaget. Ibu langsung pergi ke rumah sakit namun aku disuruh

Ibu jaga rumah saja.

Malam semakin gelap, angina berhembus kencang

bagai aka nada badai menerjang. Langit hitam yang semula

diam tiba-tiba menyorotkan petit yang bertubi-tubi menambah

kegelisahan dalam hatiku.. Mataku tak bisa aku pejamkan

karena sampai sekarang masihbelum ada kabar apaupun

tentang Bapak. Aku hanya bisa berdoa semoga Allah segera

mengangkat penyakit Bapak, sehingga Bapak bisa cepat

pulang ke rumah.

32
Tak beberapa lama kemudian dari kejauhan terdengar

suara sirine Ambulance, semakin lama semakin dekat

suaranya, hingga aku sdari Ambulance itu berhenti tepat

didepan rumahku. Aku langsung membuka pintu rumahku,

dan betapa kagetnya aku saat sebuah keranda dikeluarkan dari

Ambulance dan diatasnya terbaring Bapak yang sedang

tertidur pulas. Ku pandangi wajahnya, dalam tidur pulasnya

itu Bapak masih tersenyum. Selamat jalan Bapak aku tak akan

membangunkanmu dalam mimpimu saat ini, karena

senyumanmu membuktikan bahwa sekarang kau telah

bahagia bersama mimpi-mimpi indahmu.

Tak ada bulan dan bintang dimalam ini, yang

terdengar sekarang hanya petir yang terus saja menyambar

sampai kerelung hatiku. Hujan mengguyur seisi alam seakan

ikut menangis mengiringi kepergian Bapak. Aku masih tak

menduga bahwa senyumannya yang memberi semangat tadi

pagi itu padaku adalah senyuman terakhir Bapak. Wahai

33
Bapak untuk segala lelah, semoga Allah hadiahmu Surga yang

indah.

34
35
Tiga hari semenjak kepergian Bapak, jalan hidupku

jadi sangat berubah. Setiap pagi saat berangkat ke Sekolah

kutelusuri jalan sendiri tanpa Bapak yang menemaniku. Jalan

yang kemarin aku lalui bersama Bapak saat beliau masih ada

walau kemarin penuh dengan polusi udara namun dapat aku

lalui tanpa ada satupun debu menempel ditubuhku. Sebab

berjalan dengan beliau itu aku tak mengenal waktu karena

setiap perjalanan kita hanya ada tawa canda, sehingga

membuat aku dan Bapak tak menghiraukan asap dan debu

yang menyelimuti bumi. Namun lain halnya dengan hari-

hariku saat ini, begitu terasa sangat hampa, debu dan asap

kendaraan membuat dadaku sesak, sulit sekali untukku bisa

bernafas.

“Hay Hanna…” Sapa Citra saat aku memasuki

gerbang sekolah.

“Hay juga Citra,”

“Muka kamu kok masih kusut gitu sih Hanna?”

36
“Aku hanya belum bisa percaya kalau Bapak begitu

cepat meninggalkanku seperti ini”.

“Kamu jangan sedih terus donk Hanna, aku jadi ikut

sedih”.

“Bapak adalah segalanya buat aku Cit, beliau yang

setiap pagi menemaniku berangkat sekolah, Bapak juga yang

bisa buat aku tertawa setiap harinya, tapi sekarang…”

“Sekarang Bapak kamu sudah bahagia disana Hanna,

ikhlaskan Bapak kamu Hanna agar beliau bisa tenang di

Surga”.

Aku hanya terdiam mendengar nasehat Citra, dan tak

terasa air mata yang kemarin sudah terkuras habis kini tiba-

tiba keluar begitu saja membasahi pipiku. Citra memelukku

dan mencoba menenangkanku. Kemudian dia mengajakku

masuk kedalam kelas. Bel masukpun berbunyi. Jam pertama

sudah dimulai, namun aku masih belum bisa konsen untuk

menerima pelajaran kali ini.

37
Terik matahari terasa diatas ubun-ubun, pulang

sekolah Citra mengajakku kesuatu tempat. Bunga berwarna-

warni mengelilingiku, kupu-kupu lucu mengepakkan

sayapnya yang indah terbang menari diatas bunga-bunga yang

sedang mekar.

“Hanna lihat disekeliling kamu, sangat indahkan?

Akan tetapi keindahan itu hanya sementara, sebab bunga yang

mekar itu sewaktu-waktu bisa layu dan bahkan mati. Namun

penjaga taman ini tidak akan membiarkan seua tanaman

bunga ini layu, ia akan menyiram dan memupuk tanaman

bunga-bunga ini agar akarnya masih bisa tumbuh subur dan

akan menampilkan keindahannya lagi ditaman ini, jadi taman

bunga ini tidak akan menjadi gersang dan punah”.

“Apa maksud kamu Citra?”

“Maksud aku, kamu jangan biarkan hidup kamu

terpuruk dalam kesedihan terus Hanna. Kehilangan seseorang

yang kita Sayangi itu memang sangatlah menyakitkan. Tapi

tidak berarti hidup kita jadi terhenti. Terulah berjuang agar


38
kamu bisa mewujudkan keinginan Bapak kamu dan kamu bisa

menaklukkan dunia. Jangan biarkan harapan dan impian

Bapak kamu hancur begitu saja Hanna”.

Semua penjelasan Citra itu membuat aku sadar bahwa

meskipun orang yang aku sayangi telah jauh meninggalkanku,

tapi aku harus tetap berjuang untuk bisa menjaid yang terbaik

agar mampu mewujudkan segala keinginannya yang sempat

tertunda.

“Terima kasih Citra, kamu benar kalau aku seharusnya

bisa lebih semangat menjalani hidup ini walau tanpa Bapak

disisku lagi, demi mewujudkan harapan dan impiannya aku

akan bangkit dari keterpurukanku selama ini, lagi pula aku

juga yakin bahwa sebenarnya Allah tahu apa yang terbaik

untuk hidupku”.

Sekilas nampak didepan mataku ada sebuah layar

tancap besar sedang menayangkan sebuah kehidupanku pada

masa laluku bersama Bapak. Dimana pada saat itu terlihat

jelas tawa canda Bapak. Dicenel berikutnya ada pesa-pesan


39
Bapak dan juga harapan-harapannya. Senyumannya yang

penuh cinta dan kasih itu memberi aku semangat ’45.

“Hay Hanna, kok malah bengong?” Tanya Citra

menggugah lamunanku dan layar tancap yang ada didepan

mataku hilang seketika.

“Kamu benar Citra, aku harus semngat demi

mewujudkan harapan dan impian Bapak. Aku berjanji akan

jadi anak yang bisa dibanggakan,” kataku pada Citra sambil

melakukan gerakan tangan semangat.

“Aku yakin Hanna kamu pasti bisa!”

Kamipun bersama-sama melakukan gerakan tangan

yang sama dan berterian,” SEMANGAAAT!!!”

Sekarang aku menyadari bahwa tidak seharusnya aku terus-

terusan terpuruk dalam kesedihan dan melupakan nikat Allah

yang lain. Aku memang kehilangan Bapak tapi aku masih

memiliki Ibu dan juga sahabat terbaikku yaitu Citra. Walau

berat untuk ikhlas namun aku harus bisa melepasnya, karena

aku yakin Allah lebih tahu apa yang aku butuhkan dan bukan
40
apa yang aku inginkan, sebab tidak semua yang aku inginkan

itu bisa menjadi yang terbaik untukku. Akupun percaya Allah

akan mengganti dan memberikan sesuatu yang indah untuk

segala kesabaran.

41
42
Siang yang mencekam perahan mulai tenang dan

sang suryapun mulai tenggelamkearah barat. Setelah diajak

jalan-jalan Citra tadi suasana hatiku jadi lebih baik dari hari

kemarin. Saat akan sampai dirumah kulihat dari kejauhan Ibu

sedang duduk diteras rumah. Kelihatannya Ibu sedang

menungguku, tiba-tiba langkah kaki ku jadi terasa sangat

berat dan ingin rasanya aku menghindar dari Ibu. Sebab

sebenarnya semenjak kepergian Bapak aku tak lagi berkata

satu katapun pada Ibu, karena bagiku Ibulah penyebab

meninggalnya Bapak.

“Hanna dari mana saja kamu kok petang gini baru

pulang?” Tanya Ibu saat aku akan masuk kedalam rumah.

Tapi aku hanya berlalu tanpa menjawab pertanyaan Ibu. Aku

tutup pintu kamarku rapat-rapat dan kemudian menjatuhkan

tubuhku diatas kasur. Terdengar suara Ibu dari luar kamarku.

“Hanna, kenapa semenjak Bapak kamu

meninggal, kamu tidak pernah bicara sama Ibu sama sekali

Nak?”
43
Aku hanya diam di kamar tanpa menjawab pertanyaan Ibu.

Tak terasa air mata kembali mengalir dipipi. Rasa sakit dan

kecewa yang melukai hatiku tak bisa aku ungkapkan dengan

kata-kata.

“Salah Ibu apa Hanna? Jangan terus-terusan diam

dan membuat Ibu jadi bingung seperti ini Nak!” Lanjut Ibu.

Namun hati dan fikiranku masih membungkam mulutku

untuk bicara sama Ibu. Sebab lka yang aku rasakan masih

belum kering. Meninggalnya Bapak membuat jarak antara aku

dan Ibu.

Mentari pagi menyapa lembut diwajahku, tapi

sekarang aku sunguh membenci cahaya itu. Setiap hariku kini

terasa hampa dan jalankupun tanpa arah yang pasti. Pagiku

berubah tak bercahaya lagi, bahkan malampun terasa gelap

gulita tanpa ada lagi cahaya rembulan yang indah.

“Hanna, sebelum kamu berangkat sekolah srapan

dulu ya Nak, Ibu sudah masakin makanan kesukaan kamu’”

kata Ibu sambil mengetok pintu kamarku.


44
Akupun membuka pintu kamarku dan kudapati Ibu sedang

berdiri tepat didepanku. Ku langkakhkan kakiku untuk

mencoba menghindari Ibu.

“Hanna jangan diam saja sama Ibu Nak, coba

katakana sesuatu, sebenarnya apa salah Ibu?” pertanyaan Ibu

tetap sama, tapi aku hanya diam saja. Ibu meraih tanganku

namun dengan cepat aku mengibaskannya, yang membuat air

mata Ibu jadi tak terhenti mengalir. Sedih melihat Ibu seperti

itu akan tetapi rasa kecewa masih saja menguasai hatiku. Air

mata Ibu kini taka da artinya lagi bagiku. Ibu tak menyerah

mencari jawabanku, tepat dipintu Ibu menghalangiku untuk

keluar rumah.

“Katakan sama Ibu, apa salah Ibu?” Sentak Ibu

padaku. Aku pun tak sanggup lagi menahan luka ini akhirnya

perdebatan terjadi.

“Bapak meninggal itu semua gara-gara Ibu”.

“Kenapa kamu bisa berfikiran seperti itu Hanna?”

45
“Ibu sudah terhasut dengan omongannya Tante

Tutik, makanya Ibu minta dibelikan kalung emas oleh

Bapak,” Ibu terdiam mendengar semua ucapanku, akupun

melanjutkan kalimat kekesalanku lagi pada Ibu.

“Ibu kan tahu sendiri untuk makan saja kita susah,

bahkan setiap hari kita hanya bisa mengisi perut dengan

segelas air putih untuk mengganjal rasa lapar. Tapi kenapa Ibu

malah minta Bapak belikan kalung emas?”

“Kamu salah faham Hanna”.

“Salah faham bagaimana Bu? Aku dengar sendiri

kok waktu itu Ibu minta kalung emas kepada Bapak. Dan pada

hari itu Ibu terus saja memaksa Bapak buat bekerja, padahal

Ibukan tahu sendiri kalau kondisi Bapak kurang enak badan

pada waktu itu. Tapi Ibu tetap saja menyuruh Bapak pergi

kerja”.

Air mata kamipun berlomba-lomba keluar, aku

tahu Ibu pasti terluka dengan semua yang aku katakana pada

nya, namun aku lebih kecewa sama Ibu sebab bagiku Ibu
46
sudah egois. Aku dorong Ibu yang menghalangi jalanku. Aku

segera berlari meninggalkan rumah dan membiyarkan Ibu

terpuruk dilantai sambil terus menangis.

“Hanna dengarkan penjelasan Ibu dulu Nak!”

Aku tak menghiraukan teriakan Ibu, aku berlari dengan isak

tangis yang tak kunjung berhenti. Kekecewaan yang aku

alami sungguh sangatlah dalam. Kali ini aku sangat marah

dengan Ibu karena Ibulah aku kehilangan sosok Bapak yang

begitu sangat berarti bagiku.

47
48
Pulang sekolah aku buka pintu rumahku, terasa sangat

sepi dan sunyi taka da tawacanda lagi yang meramaikan

rumah ini. Bahkan semenjak Bapak tiada Ibu juga mulai

berubah, setiap hari pulang pagi pulang malam bahkan kadang

pagi juga baru pulang. Sekarang Ibu tidak lagi jualan kue,

entah apa yang Ibu lakukan diluar sana.

Pada suatu soresaat aku menyapu teras rumah,

terdengar beberapa Ibu-ibu sedang berbisik membicarakan

sesuatu.

“Hay Hanna, dulu kamu anak tukang kue, sekarang

alih profesi nih ceritanya?” Nyinyir Tante Tutik

“Maksud Tante apa ya?”

“Ibu kamu sekarangkan sudah jadi idola semua pria,”

Sahut Tante Tutik

“Apa?” Tanyaku dengan emosi

“Ibu kamu itu sekarang jadi wanita malam”.

“Tante jangan sembarangan ya kalau bicara”.

49
“Hey anak wanita malam jangan melotot begitu sama

saya ya, semua orang juga sudah tahu kok kelakuan buruk Ibu

kamu itu, kenyataannya Ibu kamu itu sekarang sudah jadi

simpanan Om-om. Buktinya saja Ibu kamu tiap hari

kerjaannya pulang malam trus, bahkan pagi juga baru pulang.

Pasti kerjaannya sekarang itu godain suami orang. Ibu kamu

kan janda masih muda pula,” Nyinyir Tante Tutik lagi.

Mendengar semua itu aku jadi kesal, segera mungkin

aku masuk rumah dan menutup pintu. Masih terdengar Ibu-

ibu itu menggunjing Ibu, telingaku terasa panas dibuatnya.

Nyinyiran mereka itu menusuk hati, walau aku sedang marah

sama Ibu namun aku percaya kalau Ibu tidak berbuat aneh-

aneh diluar sana. Tapi keraguan mengusik fikiranku.

Malampun tiba tapi Ibu masih juga belum pulang. Aku

putuskan untuk menunggu Ibu untuk menanyakan kebenaran

yang sesungguhnya. Lama sekali aku menunggu Ibu hingga

aku tertidur pulas diatas kursi. Saat larut dalam mimpi-

mimpiku tak terasa terdengar suara adzan subuh telah


50
berkumandang. Aku membuka mataku pelan dan aku amati

sekelilingku Nampak sama sebelum aku tertidur lagi, ini

berarti Ibu masih belum pulang. Segera aku beranjak dari

kursi dan segera membasuh wajahku dengan air wudhu yang

suci, tetesan air wudhu sungguh menyejukkan hati membuat

separuh emosiku ynag tadinya mendidih sekarang mulai

berkurang. Setelah itu aku bergegas melaksanakan sholat

subuh.

Tak beberapa lama kemudian saat aku selesai sholat,

terdengar suara pintu terbuka.

“Itu pasti Ibu sudah pulang,” gumamku sambil

merapikan mukenah.

Aku langsung keluar kamar dan menghampiri Ibu. Terlihat

Ibu sedang duduk bersandar dikursi, wajahnya menunjukkan

betapa lelah dan letihnya ia hari ini. Ada rasa iba sejenak yang

mengahmpiriku. Namun seketika hlang saat terdengar suara-

suara para Ibu-ibu tadi yang terdengar lagi ditelingaku.

51
“Ibu dari mana saja kok jam segini baru pulang?”

tanyaku ketus

“Ibu kerja Nak, kebetulan hari ini Ibu lembur,” jawab

Ibu dengan nada lembur

“Kerja apa pagi gini baru pulang? Ibu bohongkan sama

aku?”

“Ibu tidak bohong Hanna, Ibu beneran kerja,”

“Kerja apa Bu?” Tanyaku sambil kutinggikan nada

bicaraku

“Ya kerja,” jawab Ibu dengan nada ragu

“Kenapa Ibu tidak jawab pertanyaaku dengan jelas,

aku tahu Ibu pasti takut kan kalau ketahuan sekarang Ibu

sudah jadi wanita malam?”

“Hanna…” bentak Ibu

Ibu yang tadinya duduk sekarang berdiri tegak menatap

mataku. Ada rasa kecewa dan juga marah terpancar

dimatanya. Namun aku tidak menghiraukannya sama sekali

sebab emosi ini telah menguasai hati dan fikiranku.


52
“Aku malu Bu sama tetangga, sekarang mereka semua

membicarakan Ibu. Mereka bilang Ibu kerjaannya sekarang

godain suami orang. Makanya Ibu jarang kelihatan dirumah,

pasti Ibu sibuk dengan pria diluar sana kan?”

Tak kusadari kata-kata yang keluar dari mulutku itu sangat

pedas dan menyinggung perasaan Ibu, Ibu sempat mengagkat

tangannya dan hampir menamparku. Tapi Ibu mampu

mngendalikan emosinya, diturunkan tangannya dan mengelus

bahuku sambil berkata,

“Percaya sama Ibu Hanna, Ibu tidak pernah berbuat

aneh-aneh diluar sana,”

“Terus Ibu kerja apa? kenapa pulang malam terus

bahkan trekadang pagi juga baru pulang”.

“Ibu kerja berangkat pagi sampai pulang pagi itu

semua Ibu lakukan hanya untuk kamu Nak”.

“Tidak usah banyak alasan, aku tidak percaya lagi

sama Ibu. Aku benci sama Ibu,” Teriakku sambil masuk

kedalam kamar. Bagiku semua jawaban Ibu itu sangat tidak


53
memuaskan. Ibu terus-terusan mengetok pintu kamarku tapi

aku tidak menghiraukannya sama sekali. Ibu hanya memberi

beribu alasan tanpa memberitahu aku apa sebenarnya yang ia

kerjakan diluar sana.

“Apa yang kau rahasiakan dariku Ibu? Kenapa kau

membuat aku semakin membencimu?” Pertanyaan demi

pertanyaan bergantian menghantuiku. Keraguanku pada Ibu

membuat aku jadi tidak lagi mengenali dan menghormati

Ibuku lagi. Rahasia yang Ibu simpan rapat-rapat itu

menjadikan jarak antara aku dan Ibu kini semakin jauh.

54
55
Hari minggu yang dulunya aku tunggu-tunggu agar

bisa menghabiskan waktu liburan bersam keluarga kini hari

itu menjadi hari yang sangat membosankan. Aku yang sedari

tadi di kamar setelah bertengkar hebat dengan Ibu, tiba-tiba

mencium bau masakan yang aku sukai. Sebenarnya cacing-

cacing diperutku sejak kemarin sudah berdemo minta makan

namun tak ku hiraukan sama sekali. Sebab aku masih kesal

dan kecewa sekali sama Ibu bahkan sekarang rasa benci itu

telah menguasai hati dan fikiranku.

“Hanna, Ibu sudah siapin sarapan kesukaan kamu. Ibu

berangkat kerja dulu ya,” Kata Ibu dari luar kamarku, tapi aku

tak menyahutnya.

“Ibu harap kamu bisa percaya sama Ibu Nak, Ibu

benar-benar tidak kerja aneh-aneh diluar sana,” lanjut Ibu.

Terdengar Ibu menutup pintu rumah, terbesit

difikiranku untuk mengikuti Ibu hari ini, mumpung sekolah

juga lagi libur. Biar aku juga bisa tahu apa yang sebenarnya

Ibu sembunyikan dariku. Akhirnya aku ikuti Ibu dari


56
belakang, aku melihat Ibu terus berjalan dan tiba-tiba berhenti

disebuah rumah. Aku melihat Ibu sedang membersihkan

rumah itu, dan juga menjeur pakaian pemilik rumah. Ada

perasaan legah saat mengetahui Ibu bekerja dirumah itu dan

tidak berbuat macam-macam seperti yang dikatakan orang-

orang. Aku terus mengintai Ibu dari kejauhan, sampai terik

matahari tepat di atas kepala, Ibu keluar dari rumah itu dan

menuju ke toilet umum. Ketika Ibu keluar dari toilet betapa

kagetnya aku saat melihat Ibu mengganti bajunya dan

memakai seragam berwarna orange. Kemudian aku melihat

Ibu berjalan lurus melewati jalan raya dan berhenti disebuah

taman. Ibu sedang bersiap dengan membawa sapu lidi

ditngannya dan mulai membersihkan taman itu. Seketika itu

tak kusadari tubuhku mulai lemas dengan semua yang aku

lihat hari ini, air mata menetes dipelupuk pipik, hatiku hancur

dan nafas ini terasa sesak karena sudah menuduh Ibu berbuat

dhzolim.

57
Hatikupun mulai percaya sama Ibu, tapi otakku yang

masih dipenuhi fikiran negatif memunculkan rasa keraguan

itu lagi. Fikiranku berkata, Ibu hanya kerja disini sampai sore,

terus kenapa malam bahkan pagi baru pulang?

Sang surya mulai tenggelam, Ibu segera berhenti dari

pekerjaannya. Aku yang masih membuntutinya bersembunyi

dibalik pohon besar. Ibu melangkahkan kakinya, sesekali Ia

berhenti membasuh keringat yang masih bercucuran

membasahi wajahnya. Nampak jelas sekali rasa lelah dan letih

yang Ibu alami saat ini. Ibu terus melanjutkan perjalanannya

dan tak beberapa lama kemudian Ibu berhenti disuatu tempat.

“Rumah sakit? Siapa yang sakit? Apa Ibu sedang

sakit?” Pikiranku jadi tidak karuan.

Aku mengikuti Ibu masuk kedalam rumah sakit,

terlihat Ia sedang bicara sesuatu dengan seorang perawat. Lalu

perawat itu meninggalkannya dan Ibu langsung masuk

kedalam ruangan. Saat aku henak menemui Ibu keruangan itu,

tiba-tiba Ibu sudah keluar dari ruangan dan mengganti


58
bajunya lagi. Semakin ingin aku maki diriku sendiri saat aku

menyaksikan Ibu yang selama ini aku hina namun dia tetap

diam dengan hinaan itu, dan Ibu yang aku sakiti hatinya

namun ia tetap sabar menghadapi aku, ternyata ia bekerja

keras selama ini. Dari sejak pagi membersihkan rumah orang,

siangnya Ibu jadi tukang sapu di taman, dan saat malam tiba

ia bekerja lagi jadi cleaning service disebuah rumah sakit. Air

mataku pun berlinang membasahi pipiku. Sungguh kejamnya

aku, yang sudah tak mempercayai Ibuku sendiri selama ini,

aku benar-benar sudah menyakiti Ibu dan menjadi anak

durhaka.

Lamunanku buyar sekejap saat aku melihat Ibu yang

sedang bersih-bersih lantai rumah sakit hampir akan jatuh

pingsan.

“Ibu…” Teriakku spontan memanggil Ibu yang

hamper roboh dan lekas aku berlari memegang tubuh Ibu yang

lemas.

59
“Hanna, kamu disini Nak?” Tanya Ibu kaget melihatku

yang tiba-tiba dating menghampiri Ibu.

“Maafkan Aku Ibu, aku sudah jahat sekali sama Ibu,

Aku sudah tidak percaya selama ini sama Ibu bahkan aku juga

telah menyakiti hati Ibu dengan semua kata-kata burukku, aku

minta maaf Bu,” kataku dengan isak tangis.

“Tidak apa-apa Nak, Ibu tidak marah kok sama kamu,”

Jawab Ibu dengan senyumannya

“Kenapa Ibu bekerja sekeras ini?”

“Semua Ibu lakukan hanya untuk kamu Han. Ini demi

memenuhi pesan terakhir Bapak kamu sebelum ia

meninggal”.

“Apa maksud Ibu?”

“Apakah kamu masih ingat setiap kali Bapak dan Ibu

mengajak kamu pergi ke pasar, langkah kakimu selalu terhenti

disebuah toko emas. Dan mata kamu fokus pada sebuah

liontin yang terpasang disalah satu manequuen. Semenjak

60
itulah Ibu dan Bapak mulai menabung untuk membeli liontin

itu”.

Akupun jadi keheranaan mengapa Ibu bisa tahu kalau

aku ingin sekali lintin itu. Ibu pun melanjutkan kalimatnya,

“Karena sebentar lagi kamu akan ulang tahun, Ibu dan

Bapak berfikiran untuk membelikan liontin itu sama kamu

sebagai hadiah. Lagi pula selama ini kamu sudah membuat

Ibu dan Bapak sangat bangga dengan semua prestasi yang

kamu dapatkan selama ini, agar kamu bisa lebih semngat

belajar Ibu dan Bapak ingin menghadiahkan liontin emas itu

buat kamu Nak”.

“Jadi kalung yang Bapak sama Ibu bicarakan waktu itu

sebenarnya buat aku? Dan bukan buat Ibu?”

“Kenapa buat Ibu? Ibu sama sekali tidak tertarik

dengan emas-emasan Nak, kamu sudah salah faham pada saat

itu Sayang”.

Aku terdiam mendengar penjelasan Ibu. Kemudian

Ibu melanjutkan ceritanya lagi,


61
“Sebenarnya Bapak ragu membelikan liontin itu

karena harganya lumayan mahal, tapi Ibu terus memberikan

semangat pada Bapak”.

“Aku memang suka lionyin itu Bu, tapi aku tidak ingin

memilikinya”.

“Ibu dan Bapak mengerti itu Hanna, tapi Ibu dan

Bapak tetap ingin memberikannya padamu Nak, karena

selama ini Ibu dan Bapak belum bisa buat kamu bahagia,

ambillah liontin ini Hanna, dan Ibu ucapkan selamat ulang

tahun untukmu Sayang,” kata Ibu sambil mengambil sebuah

liontin dari saku bajunya dan memberikannya padaku. Aku

buka liontin berbentuk hati itu dan ada foto Bapak sama Ibu

terpasang didalamnya. Karena terlalu larut dalam kesedihan

aku jadi lupa kalau hari ini ulang tahunku.

“Ibu bekerja keras hanya untuk membelikan liontin ini

padaku?”

“Sebelum Bapak meninggal, Bapak berpesan agar

tetap bisa membelikan liontin itu buat kamu. Kami tidak


62
selamanya selalu bersamamu Hanna, maka dari itu bila suatu

hari nanti kita tak lagi bisa disampingmu. Kamu akan

merasakan kehadiran Ibu dan Bapak setiap kali kamu lihat

liontin ini karena didalamnya ada foto Ibu dan Bapak. Selalu

pakai liontin ini dan jangan pernah melepasnya”.

Kupegang tangan ibuku erat, kucium kening Ibu dan

ku peluk tubuhnya yang bersandar dibahuku.

“Tapi tak seharusnya Ibu bekerja sekeras ini Bu,”

“Kamu kan tahu sendiri Hanna, kue yang Ibu jual

setiap hari itu untungnya tidak banyak, bahkan kita rugi setiap

hari karena kue Ibu banyak yang tidak laku. Makanya Ibu

melakukan semua kerjaan ini, tapi Ibu ikhlas menjalaninya”.

Mendengar segala ketulusan hatinya yang menyayat

hati, semakin ku peluk erat tubuh Ibu yang masih lemas tak

berdaya karena seharian kelelahan bekerja. Sungguh benar

kata para pujangga bahwa kasih Ibu tak terhingga sepanjang

masa bagai sang surya yang menyinari dunia. Wahai Ibu

cintamu tak bersyarat dan kasih sayangmu tak terbatas. Begitu


63
berat beban dipundakmu ibu, tapi tak pernah aku mendengar

engkau mengeluh. Tulusnya kasih sayangmu membuat

hidupku penuh dengan warna. Kesalahan terbesarku adalah

meninggalkanmu disaat kau membutuhkanku. Api kebencian

yang aku berikan padamu tak pernah bisa menghancurkan

cinta sucimu kepadaku. Sungguh aku menyayangimu wahai

Ibu.

64
65
Malam semakin larut, kuajak Ibu pulang kerumah.

Sampai di rumah aku papah Ibu masuk kedalam kamarnya.

Tubuhnya yang lemah dan lelah itu masih Nampak

diwajahnya. Sejenak aku berdiri di Beranda rumah,

kupandangi rembulan malam yang terlihat senyum padaku

sambil memancarkan sinarnya keseluruh penjuru dunia

ditemani ribuan bintang dilangit yang tengah menari dan

menyanyi disekelilingnya. Aku bahagia karena bulan yang

kemarin sempat redup kini telah kembali bercahaya , begitu

pula dengan kehidupanku yang sempat terbelengguh dan

tersesat dalam kegelapan, sekarang telah menemukan jalan

yang terang.

Sang surya mulai menyapa pagiku dengan sinarnya

yang indah. Cahaya yang kemarin aku benci tetap

memberikan kehangatan dipagiku. Namun kini aku tak

membencinya lagi karena yang aku inginkan sekarang adalah

Sang mentari mampu memberikan Cahaya nya yang indah itu

menyinari setiap langkah hidupku.


66
“Hanna…” panggil Ibu dari luar kamarku

“Iya Bu,” sahutku

“Ibu sudah siapkan sarapan istimewah buat kamu,”

“Kenapa Ibu repot-repot Bu, Ibu seharusnya istirahat

saja dulu,”

“Hari ini kan kamu ada lomba mewakili sekolah kamu

lagi, jadi biar nanti kamu bisa fokus lomba, perut kamu harus

diisi dulu”.

“Ibu kok tahu, kalau hari ini aku mewakili sekolah

buat lomba Matematika lagi?”

“Citra yang cerita sama Ibu waktu ketemu dijalan,”

Aku kemudian mengajak Ibu untuk sarapan bersamku.

Akhirnya kami bisa tersenyum kembali setelah semua yang

terjadi dimasa lalu. Semua kejadian memberi aku pelajaran

untuk bisa lebih menghargai dan juga menghormati orang lain

terutama orang tua.

Setelah selesai sarapan aku berpamitan sama Ibu dan

meminta doanya agar dilancarkan segala urusanku. Tiba-tiba


67
ada sebuah mobil berhenti didepan rumah, kemudian terlihat

seseorang keluar dari mobil itu, ternyata beliau adalah guru

Matematikaku yaitu Bu Ana, beliaulah yang akan

mengantarku lomba. Bu Ana berjabat tangan dengan Ibu lalu

mengajakku ikut naik mobil bersamanya.

Saat matahari mulai tenggelam, aku turun dari mobil

yang tadi mengantarku, ku panggil Ibu sambil ketok pintu

rumah,

“Assalamu’alaiku Ibu, Ibu…”

“Wa’alaikumsalam…” jawab Ibu sambil membuka

pintu.

“Ini buat Ibu, aku menang lomba lagi Bu, aku juga

mendapatkan Beasiswa di Universitas yang aku inginkan

sejak dulu Bu,”

“Selamat ya Bu, anak Ibu ini benar-benar pintar, dia

sering sekali memenangkan berbagai perlombaan, Hanna

adalah kebanggan kami karena dia sudah mengharumkan

nama sekolah, walau dia anak yang pintar tapi dia tidak pernah
68
sombong, teman-temannya di sekolah sering minta belajari

dia, tapi Hanna tidak pernah minta imbalan, itulah yang

membuat aku semakin kagum padanya”. Kata Bu Ana pada

Ibu,

“Sama-sama Bu, terima kasih sudah sabar mengajari

Hanna di sekolah”. Jawab Ibu

Kemudian Bu Ana berpamitan pulang. Ibu memeluk

aku erat dan mengajakku masuk kedalam rumah. Saat malam

tiba dan bintang dan juga bulan mulai muncul dilangit, aku

melihat Ibu sedang melamun diteras rumah, aku menyapa Ibu

dan duduk disampingnya.

“Bu, suatu hari nanti kalau aku sudah jadi orang yang

sukses aku akan membangun rumah yang besar untuk Ibu, aku

juga akan membelikan Ibu emas permata yang banyak buat

Ibu,”

“Ibu tidak menginginkan apa-apa Hanna, karena Ibu

sudah memiliki berlian yang indah”.

69
“Berlian? Mana Berliannya Bu? Kalau kita jual pasti

bisa bangun rumah sekarang,”

“Berliannya ada disamping Ibu sekarang,” kata Ibu

membuat aku jadi penasaran, aku tengak-tengok kesamping

kiri dan kanan namun tak kutemukan apa-apa.

“Tidak ada berlian disini Bu,”

“Berlian itu adalah kamu,”

“Apa?”

“Bagi Ibu dan Bapak, kamu adalah Berlian yang tak

ternilai harganya, kamu adalah kebanggan semua orang,

tetaplah bercahaya dengan semua prestasimu Hanna, jangan

pernah sombong dengan apa yang kamu miliki, jadilah anak

yang sholeha”.

“Iya Bu, aku akan selalu ingat pesan Ibu dan Bapak”.

“Lihatlah bintang disana, cahanya tak seberapa dengan

cahaya yang kau pancarkan, berlian yang kau miliki itu adalah

berlian yang sesungguhnya. Bapak kamu diatas sana pasti

sedang melihat pancaran sinarmu Nak. Ibu dan Bapak


70
berharap semoga berlian yang kami miliki ini tidak pernah

berkarat, dan akan memberikan kilauan pada siapapun yang

ada disekelilingnya”.

Semenjak itu aku berjanji akan selalu menjadi Berlian

untuk Bapak dan Ibu inginkan, dan juga berlian ini tidak akan

pernah pudar kilauannya agar tidak membuat Ibu dan Bapak

kecewa lagi.

71

Anda mungkin juga menyukai