Anda di halaman 1dari 6

Kumparan Logo

USER STORY

Muhamad Alief Raflie

13 Mei 2018 23:56 WIB

Bisnis

Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia

Ilustrasi Islam

Perjalanan Islam (Foto: en.wikipedia.org)

Berbicara tentang sejarah, pada umumnya generasi-generasi muda kita ini masih kurang sadar akan
sejarah dan sampai beranggapan bahwa sejarah itu tidaklah penting. Nyatanya, negara kita yang
mayoritas beragama Islam tak bisa dilepaskan dari sejarah. Islam muncul di Indonesia tidak secara cuma-
cuma, melainkan melalui proses yang cukup panjang.

Secara terminologis, sejarah diangkat dari bahasa Arab, syajaratun yang berarti pohon. Secara
terminologis saja, kata ini sudah menggambarkan pendekatan ilmu sejarah yang lebih analogis; karena
memberikan gambaran pertumbuhan peradaban manusia dengan “pohon”, yang tubuh dari biji kecil
menjadi pohon yang besar, rindang, dan berkesinambungan. Oleh karena itu, untuk dapat menangkap
pelajaran, maksud atau pesan-pesan sejarah di dalamnya, kita memerlukan kemampuan untuk
menangkap pesan-pesan yang tersirat sebagai ibarat.

Indonesia merupakan negara kesatuan dengan masyarakat yang mayoritas beragama Islam (muslim), dan
merupakan negara dengan mayoritas terbesar ummat muslim di dunia. Berdasarkan data dari Sensus
Penduduk pada tahun 2010 menunjukkan bahwa 87,18 % atau 207 juta jiwa dari total 238 juta jiwa
penduduk Indonesia beragama Islam. Walaupun Islam adalah agama mayoritas, tetapi negara kita ini
tidak berasaskan Islam.
Pada tulisan ini, saya akan membahas seputar sejarah bagaimana agama islam bisa masuk dan
berkembang di Indonesia sampai saat ini.

Terdapat tiga teori tentang masuknya agama Islam ke Indonesia yakni Teori Gujarat, Teori Makkah, dan
Teori Persia. Ketiga teori tersebut, saling mengemukakan perspektif kapan masuknya Islam, asal negara,
penyebar atau pembawa Islam ke Indonesia.

Ketiga teori ini pun sebenarnya tidak membicarakan masuknya agama Islam ke tiap pulau-pulau di
Indonesia, melainkan hanya menganalisis masuknya agama Islam ke Sumatera dan Jawa, karena kedua
wilayah ini merupakan sampel untuk wilayah Indonesia lainnya. Dengan kata lain, masuknya agama Islam
ke pulau tersebut menentukan perkembangan Islam ke pulau lainnya. Berikut ini adalah ketiga teori
tersebut:

Teori Gujarat mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia berasal dari Gujarat pada abad
ke-7 H atau abad ke-13 M. Gujarat ini terletak di India bagian barat, berdekatan dengan Laut Arab.

Tokoh yang menyosialisasikan teori ini kebanyakan adalah sarjana dari Belanda. Sarjana pertama yang
mengemukakan teori ini adalah J. Pijnapel dari Universitas Leiden pada abad ke-19. Menurutnya, orang-
orang Arab bermazhab Syafei telah bermukim di Gujarat dan Malabar sejak awal Hijriyyah (abad ke7
Masehi), namun yang menyebarkan Islam ke Indonesia menurut Pijnapel bukanlah dari orang Arab
langsung, melainkan pedagang Gujarat yang telah memeluk Islam dan berdagang ke dunia timur,
termasuk Indonesia.

Dalam perkembangan selanjutnya, teori Pijnapel ini diamini dan disebarkan oleh seorang orientalis
terkemuka Belanda, Snouck Hurgronje. Menurutnya, Islam telah lebih dulu berkembang di kota-kota
pelabuhan Anak Benua India.

Orang-orang Gujarat telah lebih awal membuka hubungan dagang dengan Indonesia dibanding dengan
pedagang Arab. Dalam pandangan Hurgronje, kedatangan orang Arab terjadi pada masa berikutnya.
Orang-orang Arab yang datang ini kebanyakan adalah keturunan Nabi Muhammad yang menggunakan
gelar “sayid” atau “syarif ” di depan namanya.
Teori Gujarat kemudian juga dikembangkan oleh J.P. Moquetta (1912) yang memberikan argumentasi
dengan batu nisan Sultan Malik Al-Saleh yang wafat pada tanggal 17 Dzulhijjah 831 H/1297 M di Pasai,
Aceh. Menurutnya, batu nisan di Pasai dan makam Maulanan Malik Ibrahim yang wafat tahun 1419 di
Gresik, Jawa Timur, memiliki bentuk yang sama dengan nisan yang terdapat di Kambay, Gujarat.

Moquetta akhirnya berkesimpulan bahwa batu nisan tersebut diimpor dari Gujarat, atau setidaknya
dibuat oleh orang Gujarat atau orang Indonesia yang telah belajar kaligrafi khas Gujarat. Alasan lainnya
adalah kesamaan mazhab Syafi’i yang di anut masyarakat muslim di Gujarat dan Indonesia.

Dalam perkembangannya, teori Gujarat dibantah oleh banyak ahli. Bukti-bukti yang lebih akurat seperti
berita dari Arab, Persia, Turki, dan Indonesia memperkuat keterangan bahwa Islam masuk di Indonesia
bukan dibawa pedagang Gujarat.

Sejarawan Azyumardi Azra menjelaskan bahwa Gujarat dan kota-kota di anak benua India hanya tempat
persinggahan bagi pedagang Arab sebelum melanjutkan perjalanan ke Asia Tenggara dan Asia Timur.
Selain itu, pada abad XII-XIII Masehi wilayah Gujarat masih dikuasai pengaruh Hindu yang kuat.

Dari berbagai argumen teori Gujarat yang dikemukakan oleh beberapa sejarawan, ahli antropologi, dan
ahli ilmu politik, analisis mereka terlihat Hindu Sentris, karena beranggapan bahwa seluruh perubahan
sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama di Indonesia tidak mungkin terlepas dari pengaruh India.

Teori Gujarat ini tentu terdapat kelemahannya, bila dibandingkan dengan Teori Makkah. Untuk
mengetahui lebih lanjut, di bawah ini akan dibahas tentang pandangan Teori Makkah.

2. Teori Makkah

Teori Makkah mengatakan bahwa proses masuknya Islam ke Indonesia adalah langsung dari Makkah
atau Arab. Proses ini berlangsung pada abad pertama Hijriah atau abad ke-7 M. Tokoh yang
memperkenalkan teori ini adalah Haji Abdul Karim Amrullah atau HAMKA, salah seorang ulama sekaligus
sastrawan Indonesia.
Hamka mengemukakan pendapatnya ini pada tahun 1958, saat orasi yang disampaikan pada dies natalis
Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTIN) di Yogyakarta. Ia menolak seluruh anggapan para sarjana Barat
yang mengemukakan bahwa Islam datang ke Indonesia tidak langsung dari Arab. Bahan argumentasi
yang dijadikan bahan rujukan HAMKA adalah sumber lokal Indonesia dan sumber Arab.

Menurutnya, motivasi awal kedatangan orang Arab tidak dilandasi oleh nilai nilai ekonomi, melainkan
didorong oleh motivasi spirit penyebaran agama Islam. Dalam pandangan Hamka, jalur perdagangan
antara Indonesia dengan Arab telah berlangsung jauh sebelum tarikh masehi.

Dalam hal ini, teori HAMKA merupakan sanggahan terhadap Teori Gujarat yang banyak kelemahan. Ia
malah curiga terhadap prasangka-prasangka penulis orientalis Barat yang cenderung memojokkan Islam
di Indonesia.

Penulis Barat, kata HAMKA, melakukan upaya yang sangat sistematik untuk menghilangkan keyakinan
negeri-negeri Melayu tentang hubungan rohani yang mesra antara mereka dengan tanah Arab sebagai
sumber utama Islam di Indonesia dalam menimba ilmu agama.

Dalam pandangan HAMKA, orang-orang Islam di Indonesia mendapatkan Islam dari orang- orang
pertama (orang Arab), bukan dari hanya sekadar perdagangan. Pandangan HAMKA ini hampir sama
dengan Teori Sufi yang diungkapkan oleh A.H. Johns yang mengatakan bahwa para musafirlah (kaum
pengembara) yang telah melakukan islamisasi awal di Indonesia. Kaum Sufi biasanya mengembara dari
satu tempat ke tempat lainnya untuk mendirikan kumpulan atau perguruan tarekat.

Terdapat fakta menarik dalam hal pelayaran bangsa Arab yang ditulis oleh T.W. Arnold. Dinyatakan bahwa
bangsa Arab sejak abad ke-2 sebelum Masehi telah menguasai perdagangan di Ceylon. Jika kita
hubungkan dengan penjelasan kepustakaan Arab Kuno yang menyebutkan Al-Hind berarti India atau
pulau-pulau sebelah timurnya sampai ke Cina, dan Indonesia pun disebut sebagai pulau-pulau Cina,
besar kemungkinan pada abad ke-2 SM bangsa Arab telah sampai ke Indonesia.

Hanya penyebutannya sebagai pulau-pulau Cina atau Al-Hind. Bila memang benar telah ada hubungan
antara bangsa Arab dengan Indonesia sejak abad ke-2 SM, maka bangsa Arab merupakan bangsa asing
pertama yang datang ke Nusantara.
Teori Persia mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia berasal dari daerah Persia atau
Parsi (kini Iran). Pencetus dari teori ini adalah Hoesein Djajadiningrat, sejarawan asal Banten. Dalam
memberikan argumentasinya, Hoesein lebih menitikberatkan analisisnya pada kesamaan budaya dan
tradisi yang berkembang antara masyarakat Parsi dan Indonesia.

Kesamaan budaya ini dapat dilihat pada masyarakat Islam Indonesia antara lain:

peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai sebagai hari suci kaum Syiah atas kematian Husein bin Ali,
cucu Nabi Muhammad, seperti yang berkembang dalam tradisi tabut di Pariaman di Sumatera Barat.
Istilah “tabut” (keranda) diambil dari bahasa Arab yang ditranslasi melalui bahasa Parsi.

Kedua, Tradisi lainnya adalah ajaran mistik yang banyak kesamaan, misalnya antara ajaran Syekh Siti
Jenar dari Jawa Tengah dengan ajaran sufi Al-Hallaj dari Persia. Bukan kebetulan, keduanya mati dihukum
oleh penguasa setempat karena ajaran-ajarannya dinilai bertentangan dengan ketauhidan Islam (murtad)
dan membahayakan stabilitas politik dan sosial.

Ketiga, penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja bahasa Arab, untuk tanda-tanda bunyi
harakat dalam pengajian Al-Qur’an tingkat awal. Huruf Sin yang ridak bergigi berasal dari Persia,
sedangkat Sin bergigi berasal dari Arab.

Keempat, nisan pada makam Malikus Saleh (1297) dan makam Malik Ibrahim (1419) di Gresik dipesan
dari Gujarat. Dalam hal ini, Teori Persia memiliki kesamaan mutlak dengan teori Gujarat.

Kelima, Alasan lain yang dikemukakan Hoesein yang sejalan dengan teori Moquetta, yaitu ada kesamaan
seni kaligrafi pahat pada batu-batu nisan yang dipakai di kuburan Islam awal di Indonesia. Kesamaan lain
adalah bahwa umat Islam Indonesia menganut mazhab Syafei, sama seperti kebanyak muslim di Iran.

Namun, teori ini sukar untuk diterima oleh K.H. Saifuddin Zuhri sebagai salah satu peserta seminar
(1963). Alasan yang dikemukakannya adalah jika kita berpedoman kepada masuknya agama Islam ke
Indonesia pada abad ke-7, hal ini berarti terjadi pada masa kekuasaan Khalifah Ummayah. Saat itu
kepemimpinan Islam di bidang politik, ekonomi, dan kebudayaan berada di tangan bangsa Arab,
sedangkan pusat pergerakan Islam berkisar di Makkah, Madinah, Damaskus, dan Baghdad, Jadi belum
mungkin Persia menduduki kepemimpinan dunia Islam.

Dari uraian di atas dapat kita lihat perbedaan dan persamaan ketiga teori Gujarat, Makkah, dan Persia
sebagai berikut:

Antara Teori Gujarat dan Persia terdapat kesamaan pandangan mengenai masuknya agama Islam ke
Indonesia yang berasal dari Gujarat. Perbedaannya terletak pada teori Gujarat yang melihat ajaran
agama Islam mempunyai kesamaan ajaran dengan Mistik di India, sedangkan teori Persia memandang
adanya kesamaan ajaran sufi di Indonesia dengan di Persia. Gujarat dipandangnya sebagai daerah yang
dipengaruhi oleh Persia, dan menjadi tempat singgah ajaran Syi’ah ke Indonesia.

Dalam hal memandang Gujarat sebagai tempat singgah bukan pusat, sependapat dengan Teori Makkah.
Tetapi teori Makkah memandang Gujarat sebagai tempat singgah perjalanan perdagangan laut antara
Indonesia dengan Timur Tengah, sedangkan ajaran Islam diambilnya dari Makkah atau dari Mesir.

Walaupun dari ketiga teori ini tidak dapat titik temu, namun mempunyai persamaan pandangan yakni
Islam sebagai agama yang dikembangkan di Indonesia melalu jalan damai.

Anda mungkin juga menyukai