Anda di halaman 1dari 27

JURNAL

SEJARAH MUNCULNYA ALIRAN ISLAM

“Untuk memenuhi mata kuliah ilmu kalam”

Pada Program Studi Tarbiyah, Fakultas Agama Islam

Universitas Islam “45” Bekasi

Dosen Pembimbing :

Bapak Abdul Ghofur. MA., M.Ud.

Disusun oleh :

Sugeng Tri Siswoyo ( NPM : 41182911170121 )

Wulan Lestari ( NPM : 41182911170128 )

Sriyani ( NPM : 41182911170120 )

Email Pengirim :

Sugengtrisiswoyo7@gmail.com

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM “45” BEKASI


2018
ABSTRAK

According to the context, have been born and grown some strands of islamic teology. most
of these streams still exist and embraced by muslims in various parts of the world and most
of the others in the form of intitutions have been run over by the time, in spite of the
aspects of his teachings are still practiced by many muslims. two large flow, which is
sunny and shiite muslims polarized teologies institutionalized world, still has adherents are
out of the mainstream teachings anyway, and adheres to the teachings of other schools,
such as : Khawarij, Syiah, Murjiah, Muktazilah, Asy'ariyah, Maturidiyah, Ahlussunah wal
Jamaah, Jabbariyah, dan Kadariah

Kata kunci : sejarah, teologi, aliran islam.

Sesuai konteksnya, telah lahir dan tumbuh beberapa alur teologi islam. sebagian besar
aliran ini masih ada dan dia telah lahir dan tumbuh menjadi beberapa alur teologi islami.
Sebagian besar aliran ini masih ada dan dianut oleh kaum muslim di berbagai belahan
dunia dan sebagian besar lainnya dalam bentuk intitusi telah dilindas oleh waktu, kendati
aspek ajarannya masih dipraktekkan oleh banyak muslim. dua aliran besar, yaitu aliran
sunny dan golongan islam syiah terpolarisasi teologi yang dilembagakan dunia, masih
memiliki penganut dan keluar dari ajaran yang umum lainya, dan menganut ajaran-ajaran
dari pendidikan lain, seperti: Khawarij, Syiah, Murjiah, Muktazilah, Asy'ariyah,
Maturidiyah, Ahlussunah wal Jamaah, Jabbariyah, dan Kadariah

Kata kunci : sejarah, teologi, aliran islam.


BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Di dalam al-Qur’an terdapat ayat yang Qathi’ (pasti, yang tidak mungkin lagi
dimasuki oleh daya nalar manusia, seperti kewajiban melakukan shalat, wajib puasa, zakat
dan haji. Kemudian ada lagi ayat-ayat yang zhanni (dugaan,memungkinkan beberapa
pengertian dan penafsiran). Dari ayat-ayat yang bersifat zhanni ini timbul berbagai macam
pendapat dan aliran dalam Islam.

Dari interpretasi yang berbeda terhadap ayat-ayat yang zhanni, kemudian muncul
berbagai macam aliran pemikiran Islam. Ini bermula ketika Nabi Muhammad SAW wafat.
Di zaman Nabi pemetaan pemikiran belum terjadi karena Nabi menjadi sumber rujukan
tunggal dalam memahami ayat-ayat tersebut.

Sekarang kita kenal berbagai macam pemikiran atau aliran-aliran pemikiran dalam
Islam. Hal tersebut sedikit menjelimet dan membuat kaum muslimin sedikit bingung
dalam pmenyaksikan realitas yang ada. Terlebih dalam persoalan siapa yang benar dan
siapa yang salah? Maka dari itu, siapa yang akan diikuti menjadi persoalan yang lebih
rumit lagi.

Namun hal yang terpenting yang harus digaris bawahi sumber mereka satu yaitu al-
Qur’an dan as-Sunnah. Sedang realitas yang ada meman benar adanya bahwa Allah SWT
menurunkan ayat yang sifatnya zhanni lebih banyak daripada ayat yang sifatnya Qhat’i.
Agar daya nalar yang dimiliki oleh manusia berkembang.

Dan kami di sini ingin mengatakan perbedaan tersebut janganlah dianggap sebagai
sebuah masalah, terlebih mengatakan hal itu adalah ‘aib. Tidak perlu bingung, dan
menjadikannya sebagai beban yang memberatkan kehidupan kita. Yang terpenting
mengikuti ajaran yang telah diyakini dengan sebaik mungkin. Dengan landasan fitrah yang
menjadi neraca.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Munculnya Aliran dalam Islam

Ketika Rasulullah mulai menyiarkan ajaran-ajaran islam yang beliau terima dari Allah
di Mekkah, kota ini mempunyai sistem kemasyarakatan yang terletak di bawah pimpinan
suku bangsa Quraisy. Sistem pemerintahan kala itu dijalankan melalui majelis yang
anggotanya terdiri atas kepala-kepala suku yang dipilih menurut kekayaan dan pengaruh
mereka dalam masyarakat.

Pada pertengahan abad ke-6 M, jalan dagang Timur-Barat berpindah dari Teluk Persia–
Euphrat di Utara dan Laut Merah – Perlembahan Neil di Selatan, ke Yaman – Hijaz Syiria.
Peperangan yang senantiasa terjadi antara kerajaan Byzantin dan Persia membuat jalan
Utara tak selamat dan tak menguntungkan bagi dagang.Dengan pindahnya perjalanan
dagang Timur-Barat ke Semenanjung Arabia, Mekah yang terletak di tengah-tengah garis
perjalanan dagang itu, menjadi kota dagang

Kekuasaan sebenarnya terletak di tangan kaum pedagang tinggi ,akan tetapi pada saat
Nabi SAW diangkat sebagai pemimpin, beliau mendapat perlawanan dari kelompok-
kelompok pedagang yang mempunyai solidaritas kuat demi menjaga kepentingan
bisnisnya. Akhirnya, Nabi SAW bersama para pengikutnya terpaksa meninggalkan
Makkah dan pergi (hijrah) ke Yatsrib (sekarang bernama Madinah) pada tahun 622 M.
Keadaan yang demikian ini berbeda dengan yang ada di kota Yatsrib. Kota ini bukanlah
kota pedagang, tetapi kota petani. Masyarakatnya tidak homogen, tetapi terdiri dari bangsa
Arab dan bangsa Yahud. bangsa Arabnya tersusun dari dua suku bangsa, al-Khazraj dan al-
‘Aus.

Ketika masih di Makkah, Nabi SAW hanya menjadi pemimpin agama. Setelah hijrah
ke Madinah, beliau memegang fungsi ganda, yaitu sebagai pemimpin agama dan kepala
pemerintahan. Di sinilah awal mula terbentuk sistem pemerintahan Islam pertama, yakni
dengan berdirinya negara Islam Madinah.
Dari sejarah ringkas tadi dapat di ambil kesimpulan bahwa ketika Nabi masih di Mekah
hanya mempunyai fungsi kepala agama, dan tak mempunyai fungsi kepala pemerintahan,
karena kekuasaan politik yang ada di sana belum dapat dijatuhkan pada waktu itu.

Ketika Nabi SAW wafat pada 632 M, daerah kekuasaan Madinah tak sebatas pada kota
itu saja, tetapi meliputi seluruh Semenanjung Arabia. Negara Islam pada waktu itu,
sebagaimana digambarkan oleh William Montgomery Watt dalam bukunya yang bertajuk
Muhammad Prophet and Statesman, sudah merupakan komunitas berkumpulnya suku-suku
bangsa Arab. Mereka menjalin persekutuan dengan Muhammad SAW dan masyarakat
Madinah dalam berbagai bentuk. Jadi tidak mengherankan kalau masyarakat Madinah pada
waktu wafatnya Nabi Muhammad sibuk memikirkan pengganti beliau untuk mengepalai
Negara yang baru lahir itu, sehingga penguburan Nabi merupakan soal kedua bagi mereka.

Sepeninggal Nabi SAW inilah timbul persoalan di Madinah, yaitu siapa pengganti
beliau untuk mengepalai negara yang baru lahir itu. Dari sinilah, mulai bermunculan
berbagai pandangan umat Islam. Sejarah meriwayatkan bahwa Abu Bakar as-Siddiq-lah
yang disetujui oleh umat Islam ketika itu untuk menjadi pengganti Nabi SAW dalam
mengepalai Madinah. Selanjutnya, Abu Bakar digantikan oleh Umar bin Khattab.
Kemudian, Umar digantikan oleh Usman bin Affan
‘Umar Ibn Khattabb adalah sahabat Nabi yang bergairah kepada al-Qur’an dan lebih
teguh berpegang kepadanya, yang oleh Nabi semasa hidupnya pernah disebut sebagai
orang yang paling mungkin menjadi utusan Tuhan, seandainya Nabi sendiri bukan Rasul
pungkasan. Khalifah kedua ini oleh mayoritas umat islam disepakati sebagai orang
beriman yang paling berhasil. Namun keadaan gemilang masa ‘Umar itu tak berlangsung
lama.
‘Utsman bin Affan penggantinya selaku khalifah ketiga, sekalipun banyak
mempunyai kelebihan dan jasa di bidang lain, namun dalam kepemimpinan dicatat sebagai
orang yang lemah. Karena kelemahan itu, ‘Utsman agaknya tidak berdaya menghadapi
desakan-desakan kelompok tertentu dari kalangan Bani Umayyah, yang ingin
meningkatkan pengaruh dan memperbesar peranan mereka sendiri dalam masyarakat islam
yang baru tumbuh dan berkembang itu.

Setelah ‘Utsman bin Affan wafat, ‘Ali sebagai calon terkuat, menjadi khalifah yang ke-4,
tetapi ia segera mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi
khalifah. Dan juga Ali terpilih sebagai pengganti Utsman itu tidak mendapat suara bulat,
ada kelompok tertentu yang tidak setuju atas pengangkatan Ali dan menuduh bahwa Ali
terlibat atau setidak-tidaknya membiyarkan komplotan pembunuh ‘Utsman. Kelompok ini
kemudian dikenal dengan golongan Syi’ah.

Di masa pemerintahan khalifah keempat ini, perang secara fisik beberapa kali terjadi
antara pasukan Ali bin Abi Thalib melawan para penentangnya. Peristiwa-peristiwa ini
telah menyebabkan terkoyaknya persatuan dan kesatuan umat. Sejarah mencatat, paling
tidak, dua perang besar pada masa ini, yaitu Perang Jamal (Perang Unta) yang terjadi
antara Ali dan Aisyah yang dibantu Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah serta
Perang Siffin yang berlangsung antara pasukan Ali melawan tentara Muawiyah bin Abu
Sufyan.

Faktor penyulut Perang Jamal ini disebabkan oleh yang Ali tidak mau menghukum
para pembunuh Usman. Ali sebenarnya ingin sekali menghindari perang dan
menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun, ajakan tersebut ditolak oleh Aisyah,
Zubair, dan Talhah. Zubair dan Talhah terbunuh ketika hendak melarikan diri, sedangkan
Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.

Bersamaan dengan itu, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Ali semasa


memerintah juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari gubernur di Damaskus,
Muawiyah bin Abu Sufyan, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi di masa
pemerintahan Khalifah Usman yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan.
Sebagaimana halnya Thalhah dan Zubair, ia tak mau mengakui Ali sebagai khalifah. Ia
menuntut kepada Ali supaya menghukum pembunuh-pembunuh ‘Utsman, bahkan ia
menuduh Ali turut campur dalam soal pembunuhan itu. Dan pula Ali tidak mengambil
tindakan keras terhadap pemberontak-pemberontak itu, bahkan Muhammad Ibn Abi Bakr
diangkat menjadi Gubernur Mesir.

Dalam pertempuran yang terjadi antara kedua golongan ini di shiffin, tentara Ali
dapat mendesak tentara muawiyah sehingga tentaranya yang ikut perang tersebut akhirnya
kabur. Tetapi tangan kanan mu’awiyah ‘Amr ibn al-Ash yang terkenal sebagai orang licik,
minta berdamai dengan mengangkatkan al-Qur’an ke atas. Qurra’ yang ada dipihak Ali
mendesak Ali supaya menerima tawaran itu dan dengan demikian dicarilah perdamaian
dengan mengadakan Arbitrase. Sebagai pengantara diangkat dua orang : ‘Amr bin Ash dari
pihak Mu’awiyah dan Abu Musa al- Asyari dari pihak Ali.
Dengan adanya arbitrase ini kedudukannya telah naik menjadi Khalifah yang tidak
resmi. Tidak mengherankan kalau putusan ini ditolak Ali dan tak mau meletakkan
jabatannya, sampai ia mati terbunuh ditahun 661 M.
Sikap Ali yang menerima tipu muslihat Amr bin ash untuk mengadakan arbitrase,
sungguh pun dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh sebagian dari tentaranya.
Mereka berpendapat bahwa hal serupa itu tidak dapat diputuskan oleh arbitrase manusia.
Putusan hanya datang dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam
Al-quran. La-hukma illa lillah ( tidak ada hukum selain dari hukum Allah). Atau La
hakama illa Allah . Bahkan mereka memandang bahwa Ali telah melakukan kesalahan
fatal, oleh karenanya mereka meninggalkan barisannya.

Perselisihan yang terjadi antara Ali dan para penentangnya pun menimbulkan aliran-
aliran keagamaan dalam Islam, seperti : Khawarij, Syiah, Murjiah, Muktazilah, Asy'ariyah,
Maturidiyah, Ahlussunah wal Jamaah, Jabbariyah, dan Kadariah

1. AL- KHAWARIJ
Secara etimologi kata khawarij berasal dari bahasa Arab, yaitu kharaja yang
berarti keluar, mucul, timbul atau memberontak. Berdasarkan pengertian etimologi
ini pula, khawarij berarti setiap muslim yang ingin keluar dari kesatuan umat
Islam.[1]
Adapun khawarij dalam terminology ilmu kalam adalah suatu
sekte/kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan
barisan karena ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase
(tahkim), dalam perang siffin pada tahun 37 H/657 M, dengan kelompok bughat
(pemberontak) Muawiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan khilafah.[2]
Kelompok ini keluar dan memisahkan diri dari Ali karena memandang Ali
bersalah dan berbuat dosa, mereka melawan Ali. Ia pun menghadapi dua musuh:
Muawiyah dan Khawarij. Mulanya Ali berkonsentrasi untuk menghancurkan
Khawarij, tetapi setelah mereka kalah, tentara Ali kelabakan meneruskan
pertempuran dengan Muawiyah. Muawiyah tetap berkuasa di Damaskus. Setelah
Ali Ibn Abi Thalib wafat Muawiyah dengan mudah memperoleh pengakuan
sebagai Khalifah pada tahun 661M dan mendirikan Dinasti Umayah. Dari
persoalan-persoalan politik di atas akhirnya beranjak membawa kepada muculnya
persoalan-persoalan teologi. Timbullah persoalan KAFIR MENGKAFIRKAN jd
siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir dalam arti siapa yang tetap dalam Islam
dan siapa yang sudah keluar dari Islam.
Pada aras selanjutnya Khawarij pun pecah menjadi beberapa sekte/bagian.
Konsep kafir turut pula mengalami perubahan. Yang dipandang kafir bukan lagi
hanya orang yang tidak menentukan hukum dengan al-Qur’an, tetapi yang berbuat
dosa besar, yaitu murtakib al-kaba’ir atau capital sinners, juga dipandang kafir.
Persoalan berbuat dosa inilah yang kemudian turut andil besar dalam pertumbuhan
teologi selanjutnya. Paling tidak ada tiga aliran teologi dalam Islam. Pertama aliran
Khawarij yang mengatakan bahwa orang berdosa besar adalah kafir, dalam arti
keluar dari Islam atau murtad, oleh karenanya wajib dibunuh.

2. SYIAH
Istilah Syi'ah berasal dari kata Bahasa Arab ‫ شيعة‬Syī`ah. Bentuk tunggal
dari kata ini adalah Syī`ī ‫شيعي‬. "Syi'ah" adalah bentuk pendek dari kalimat
bersejarah Syi`ah `Ali ‫ علي شيعة‬artinya "pengikut Ali", yang berkenaan tentang
Q.S. Al-Bayyinah ayat khoirulbariyyah, saat turunnya ayat itu Nabi SAW bersabda:
"Wahai Ali, kamu dan pengikutmu adalah orang-orang yang beruntung" (ya Ali
anta wa syi'atuka humulfaaizun)[1]
Syi'ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan pengikut
seseorang. Selain itu juga bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu
perkara.Adapun menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang menyatakan
bahwa Ali bin Abi Thalib sangat utama di antara para sahabat dan lebih berhak
untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak
cucunya sepeninggal beliau.[2] Syi'ah, dalam sejarahnya mengalami beberapa
pergeseran. Seiring dengan bergulirnya waktu, Syi'ah mengalami perpecahan
sebagaimana Sunni juga mengalami perpecahan mazhab.

Mengenai kemunculan syi’ah dalam sejarah terdapat perbedaan dikalangan


ahli. Menurut Abu Zahrah, syi’ah mulai muncul pasda masa akhir pemerintahan
Usman bin Affan kemudian tumbuh dan berkembang pada masa pewmerintahan
Ali bin Abi Thalib, adapun menurut Watt, syi’ah baru benar-benar. Muncul ketika
berlangsung peperangan antara Ali dan Mu’awiyah yang dikenal dengan perang
Shiffin. Dalam peperangan ini, sebagai respon atas penerimaan Ali terhadap
arbritase yang ditawarkan Mu’awiyah. Pasukan Ali diceritakan terpecah menjadi
dua. Satu kelompok mendukung sikap Ali (Syi’ah) dan kelompok mendak sikap Ali
(Khawarij).[5]
Kalangan syi’ah sendiri berpendapat bahwa kemunculan syi’ah berkaitan
dengn masalah penganti (Khilafah) Nabi SAW. Mereka menlak kekhalifahan Abu
Bakar, Umar bin Khathtab, dan Usman bin Affan karena dalam pandangan mereka
hanya Ali bin Abi Thalib yang berhak mengantikan Nabi SAW. Kepemimpinan
Ali dalam pandangan syi’ah tersebut sejalan dengan isyarat-isyarat yang diberikan
Nabi SAW, pada masa hidupnya. Pada awal kenabian ketika Muhammad SAW
diperintahkan menya,paikan dakwah ke kerabatnya, yang pertama menerima adalah
Ali bin Abi Thalib. Diceritakan bahwa Nabi pada saat itu mengatakan bahwa orang
yang pertama menemui ajakannya akan menjadi penerus dan pewarisnya. Selain
itu, sepanjang kenabian Muhammad, Ali merupakan orang yang luar biasa besar.[6]
Bukti utama tentang sahnya Ali sebagai penerus Nabi adalah peristiwa
Ghadir Khumm. Diceritakan bahwa ketika kembali dari haji terakhir, dalam
perjalanan dari Mekkah ke Madinah di suatu padang pasir yang bernama Ghadir
Khumm. Nabi memilih Ali sebagai pengantinya dihadapan massa yang menyertai
beliau. Pada peristiwa itu, Nabi tidak hanya menetapkan Ali sebagai pemimpin
umum umat (walyat-i ‘ammali), tetapi juga menjadikan Ali sebagaimana Nabi
sendiri, sebagai pelindung (wali) mereka. Namun realitasnya berbicara lain.[8]
Berlawanan dengan harpan mereka, ketika nabi wafat dan jasadnya belum
dikuburkan, ada kelompok lain yang pergi ke masjid untuk menentukan pemimpin
yang baru karena hilangnya pemimpin yang secara tiba-tiba, sedangkan anggota
keluarga nabi dan beberapa sahabat masih sibuk dengan persiapan upacara
pemakaman Nabi. Kelompok inilah yang kemudian menjadai mayoritas bertindak
lebih jauh dan dengan sangat tergesa-gesa memilih pemimpin yang baru dengan
alasan kesejahteraan umat dann memcahkan masalah mereka saat itu. Mereka
melakukan itu tanpa berunding dahulu dengan ahlul bait, kerabat, atau pun sahabat
yang pada saat itu masih mengurusi pemakaman. Mereka tidak memberi tahu
sedikitpun. Dengan demikian, kawan-kawan Ali dihdapkan pada suatu hal yang
sudah tak bias berubah lagi (faith accomply).[9]
Karena kenyataan itulah muncul suatu sikap dari kalangan kaum muslimin
yang menentang kekhalifahan dan kaum mayoritas dalam masalah-masalah
kepercayaan tertentu. Mereka tetap berpendapat bahwa pengganti nabi dan
penguasa keagamaan yang sah adalah Ali. Mereka yakin bahwa semua masalah
kerohanian dan agama harus merujuk kepadanya dan mengajak masyarakat
mengikutinya. Kaum inilah yang disebut dengan kaum Syi’ah. Namun lebih dari
pada itu, seperti yang dikatakan Nasr, sebab utama munculnya Syi’ah terletak pada
kenyataan bahwa kemungkinan ini ada dalam wahyu islam sendiri, sehingga mesti
diwujudkan.
Berkitan dengan teologi, mereka mempunyai lima rukun iman, yakni tauhid
(kepercayaan kepada kenabian), Nubuwwah (Percaya kepada kenabian), Ma’ad
(kepercyaan akan adanya hidup diakhirat), imamah (kepercayaan terhadap adanya
imamah yang merupakan ahl-al bait), dan adl (keadaan ilahi). Dalam Ensiklopedi
Islam Indonesia ditulis bahwa perbedaan antara sunni dan syi’ah terletak pada
doktrin imamah. Meskipun mempunyai landasan keimanan yang sama, syi’ah tidak
dapat mempertahankan kesatuannya. Dalam perjalanan sejrah, kelompok ini
akhirnya tepecah menjadi beberapa sekte. Perpecahan ini terutama dipicu oleh
masalah doktrin imamah. Diantara sekte-sekte syi’ah itu adalah Itsna Asy’ariyah,
Sab’iyah. Zaidiyah, dan Ghullat.

3. MURJI'AH
Kata Murji’ah berasal dari kata bahasa Arab arja’a, yarji’u, yang berarti
menunda atau menangguhkan. Salah satu aliran teologi Islam yang muncul pada
abad pertama Hijriyah. Pendirinya tidak diketahui dengan pasti, tetapi Syahristani
menyebutkan dalam bukunya Al-Milal wa an-Nihal (buku tentang perbandingan
agama serta sekte-sekte keagamaan dan filsafat) bahwa orang pertama yang
membawa paham Murji’ah adalah Gailan ad-Dimasyqi.
Aliran ini disebut Murji’ah karena dalam prinsipnya mereka menunda
penyelesaian persoalan konflik politik antara Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin
Abi Sufyan dan Khawarij ke hari perhitungan di akhirat nanti. Karena itu mereka
tidak ingin mengeluarkan pendapat tentang siapa yang benar dan siapa yang
dianggap kafir diantara ketiga golongan yang tengah bertikai tersebut. Menurut
pendapat lain, mereka disebut Murji’ah karena mereka menyatakan bahwa orang
yang berdosa besar tetap mukmin selama masih beriman kepada Allah SWT dan
rasul-Nya. Adapun dosa besar orang tersebut ditunda penyelesaiannya di akhirat.
Maksudnya, kelak di akhirat baru ditentukan hukuman baginya.
Persoalan yang memicu Murji’ah untuk menjadi golongan teologi tersendiri
berkaitan dengan penilaian mereka terhadap pelaku dosa besar. Menurut penganut
paham Murji’ah, manusia tidak berhak dan tidak berwenang untuk menghakimi
seorang mukmin yang melakukan dosa besar, apakah mereka akan masuk neraka
atau masuk surga. Masalah ini mereka serahkan kepada keadilan Tuhan kelak.
Dengan kata lain mereka menunda penilaian itu sampai hari pembalasan tiba.
Paham kaum Murji’ah mengenai dosa besar berimplikasi pada masalah
keimanan seseorang. Bagi kalangan Murji’ah, orang beriman yang melakukan dosa
besar tetap dapat disebut orang mukmin, dan perbuatan dosa besar tidak
mempengaruhi kadar keimanan. Alasannya, keimanan merupakan keyakinan hati
seseorang dan tidak berkaitan dengan perkataan ataupun perbuatan. Selama
seseorang masih memiliki keimanan didalam hatinya, apapun perbuatan atau
perkataannya, maka ia tetap dapat disebut seorang mukmin, bukan kafir. Murji’ah
mengacu kepada segolongan sahabat Nabi SAW, antara lain Abdullah bin Umar,
Sa’ad bin Abi Waqqas, dan Imran bin Husin yang tidak mau melibatkan diri dalam
pertentangan politik antara Usman bin Affan (khalifah ke-3; w. 656) dan Ali bin
Abi Thalib (khalifah ke-4; w. 661).
Pandangan aliran murji’ah tentang setatus pelaku dosa besar dapat ditelusuri
dari definisi iman yang dirumuskan oleh mereka. Secara garis besar, sebagaimana
telah dijelaskan sub sekte Khawarij dapat dikategorikan dalam dua kategori:
ekstrim dan moderat. Harun nasution berpendapat bahwa sub sekte murji’ah yang
ekstrim dan mereka yang berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu.
Adapun ucapan dan perbuatan tidak selamanya merupakan refleksi dari apa yang
ada di dalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang
menyimpang dari kaidah agama tidak berarti telah menggeser atau merusak
keimanannya. Bahkan keimanannya masih sempurna dimata Tuhan. Adapun
murji’ah moderat ialah mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah
menjadi kafir. Meskipun disiksa dineraka, ia tidak kekal didalamnya, bergantung
pada ukuran dosar yang dilakukannya. Masih terbuka kemungkinan bahwa Tuhan
akan mengampuni dosanya sehingga ia bebas dari siksa neraca.Yang menegaskan
bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap mukmin, bukan kafir. Soal dosa yang
dilakukannya, diserahkan pada Allah untuk mengampuni atau tidak.
4. MU'TAZILAH
Mu’tazilah, secara etimologis bermakna: orang-orang yang memisahkan
diri. Sebutan ini mempunyai suatu kronologi yang tidak bisa dipisahkan dengan
sosok Al-Hasan Al-Bashri, salah seorang imam di kalangan tabi’in. Asy-Syihristani
berkata: (Suatu hari) datanglah seorang laki-laki kepada Al-Hasan Al-Bashri seraya
berkata: “Wahai imam dalam agama, telah muncul di zaman kita ini kelompok
yang mengkafirkan pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik). Dan dosa tersebut
diyakini sebagai suatu kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama,
mereka adalah kaum Khawarij. Sedangkan kelompok yang lainnya sangat toleran
terhadap pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik), dan dosa tersebut tidak
berpengaruh terhadap keimanan. Karena dalam madzhab mereka, suatu amalan
bukanlah rukun dari keimanan dan kemaksiatan tidak berpengaruh terhadap
keimanan sebagaimana ketaatan tidak berpengaruh terhadap kekafiran, mereka
adalah Murji’ah umat ini. Bagaimanakah pendapatmu dalam permasalahan ini agar
kami bisa menjadikannya sebagai prinsip (dalam beragama)?”
Al-Hasan Al-Bashri pun berpikir sejenak dalam permasalahan tersebut.
Sebelum beliau menjawab, tiba-tiba dengan lancangnya Washil bin Atha’
berseloroh: “Menurutku pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, namun ia juga
tidak kafir, bahkan ia berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan, tidak
mukmin dan juga tidak kafir.” Lalu ia berdiri dan duduk menyendiri di salah satu
tiang masjid sambil tetap menyatakan pendapatnya tersebut kepada murid-murid
ِ ‫”اِ ْعتَزَ َل َعنَّا َو‬
Hasan Al-Bashri lainnya. Maka Al-Hasan Al-Bashri berkata: “ ‫اصل‬
“Washil telah memisahkan diri dari kita”, maka disebutlah dia dan para
pengikutnya dengan sebutan Mu’tazilah. Pertanyaan itu pun akhirnya dijawab oleh
Al-Hasan Al-Bashri dengan jawaban Ahlussunnah Wal Jamaah: “Sesungguhnya
pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik) adalah seorang mukmin yang tidak
sempurna imannya. Karena keimanannya, ia masih disebut mukmin dan karena
dosa besarnya ia disebut fasiq (dan keimanannya pun menjadi tidak sempurna).”
Versi lain dikemukakan oleh Al-Baghdadi. Ia mengatakan bahwa Wasil dan
temannya,Amr bin Ubaid bin Bab, diusir oleh Hasan Al Basri dari majelisnya
karena adanya pertikaian diantara mereka tentang masalah qadar dan orang yang
berdosa besar.Keduanya menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan berpendapat
bahwa orang yang berdosa besar itu tidak mukmin dan tidak pula kafir. Oleh karena
itu golongan ini dinamakan Mu’tazilah.
Versi lain dikemukakan Tasy Kubra Zadah yang menyatakan bahwa
Qatadah bin Da’mah pada suatu hari masuk mesjid Basrah dan bergabung dengan
majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya adalah majlis Hasan Al Basri. Setelah
mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan majelis Hasan Al Basri, ia berdiri dan
meninggalkan tempat sambil berkata,“ini kaum Mu’tazilah.” Sejak itulah kaum
tersebut dinamakan Mu’tazilah. Al-Mas’udi memberikan keterangan tentang asal-
usul kemunculan Mu’tazilah tanpa menyangkut-pautkan dengan peristiwa antara
Washil dan Hasan Al Basri. Mereka diberi nama Mu’tazilah, katanya, karena
berpendapat bahwa orang yang berdosa bukanlah mukmin dan bukan pula kafir,
tetapi menduduki tempat diantara kafir dan mukmin (al-manzilah bain al-
manzilatain). Aliran ini lebih bersifat rasional bahkan liberal dalam beragama.
Aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional dan cenderung liberal ini mendapat
tantangan keras dari kelompok tradisonal Islam, terutama golongan Hambali,
pengikut mazhab Ibn Hambal. Sepeninggal al-Ma’mun pada masa Dinasti
Abbasiyah tahun 833 M., syi’ar Mu’tazilah berkurang, bahkan berujung pada
dibatalkannya sebagai mazhab resmi negara oleh Khalifah al-Mutawakil pada tahun
856 M.
Perlawanan terhadap Mu’tazilah pun tetap berlangsung. Mereka (yang
menentang) kemudian membentuk aliran teologi tradisional yang digagas oleh
Abual-Hasan al-Asy’ari (935 M) yang semula seorang Mu’tazilah. Aliran ini lebih
dikenal dengan al-Asy’ariah. Di Samarkand muncul pula penentang Mu’tazilah
yang dimotori oleh Abu Mansur Muhammad al-Maturidi (w.944 M). aliran ini
dikenal dengan teologi al-Maturidiah. Aliran ini tidak setradisional al-Asy’ariah
tetapi juga tidak seliberal Mu’tazilah. Dalam perkembangannya aliran Asy’ariah
dan Maturidiah inilah yang kemudian menjelma menjadi paham Ahli Sunnah wa
al-Jama’ah sebagaimana banyak dianut muslim Nusantara khususnya NU.
Menurut aliran Mu’tazilah Pertentangan paham antara kaum Mu’tazilah dan
kaum asy’ariyah dalam masalah ini berkisar sekitar persoalan apakah Tuhan
mempunyai sifat atau tidak. Jika Tuhan mempunyai sifat-sifat itu mestilah kekal
seperti halnya dengan zat Tuhan. Tegasnya, kekalnya sifat-sifat akan membawa
kepada paham banyak yang kekal (ta’addud al-qudama’ atau poltiplicity of
eternals). Dan ini selanjutnya membawa pula kepada paham syirik atau polyteisme.
Suatu hal yang tak dapat diterima dalam teologi. kaum Mu’tazilah mencoba
menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai
sifat. Ini berarti bahwa Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, tidak mempunyai
kekuatan dan sebagainya. Tuhan tetap mengetahui dan sebagainya bukanlah sifat
dalam arti kata sebenarnya. Arti “Tuhan mengetahui dengan perantara pengetahuan
dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri.

5. ALIRAN ASY’ARIYAH
Nama lengkap Al-asy’ari adalah Abu al-Hasan Ali bin Ismail bin Ishaq bin
Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-
asy’ari. Ia lahir di Bashrah pada tahun 260H/875M. Ketika berusia 40 tahun, ia
hijrah ke kota Bagdad dan wafat di sana pada tahun 324H/935M. [2]
Gerakan Al-Asy’ariah mulai pada abad ke-4. Ia terlibat dalam konflik
dengan kelompok-kelompok lain, khususnya Mu’tazilah. Dalam konflik keras ini
,al-Baqilani memberikan andil besar.ia di anggap sebagai pendiri kedua aliran
Asy’ariah. Permusuhan Ini mencapai puncaknya pada abad ke-5 H atas prakarsa
Al-kundari (456 H = 1064M), yang membela Mu’tazilah.Di khurasan ia
mengorbankan fitnah yang berl;angsung selama 10 th. Tragedi ini menyebabkan
imam al-Haramain menyinggir ke jihaz.sejumlah tokoh besar dari aliran Al-
Asy’ariah di penjarakan, termasuk al-Qusyairi (466 H=1074M)sang sufi yang
menulis risalah yang berjudul Syikayah al-Sunnah di Hikayah ma Nalahum min al-
Mihnah.
Hingga hari ini, pendapat Al-Asy’ariah masih tetap menjadi akidah Ahl al-
Sunnah. Pendapatnya sangat dekat dengan pendapat al-Maturidi yang satu saat
pernah di tentang karena persaingan dalam masalah fiqih, karena ia mewakili
orang-orang Syafi’iyah dan malikiyah mendominasi pendapat Al-Asy’ariyah.
Terhadap pelaku dosa besar, agaknya al-asy’ari, sebagai wakil ahl-as-Sunah, tidak
mengkafirkan orang-orang yang sujud ke baitullah (ahl-al-qiblah) walaupun
melakukan dosa besar, seperti berzina dan mencuri. Menurutnya, mereka masih
tetap sebagai orang yang beriman dengan keimanan yang mereka miliki, sekalipun
berbuat dosa besar. Akan tetapi jika dosa besar itu dilakukannya dengan anggapan
bahwa hal ini dibolehkan (halal) dan tidak meyakini keharamannya, ia dipandang
telah kafir.
Adapun balasan di akhirat kelak bagi pelaku dosa besar,apabila ia
meninggal dan tidak sempat bertaubat, maka menurutal-asy’ari, hal itu bergantung
pada kebijakan Tuhan Yang Maha Esa berkehendak mutlaq. Dari paparan singkat
ini, jelaslah bahwa asy’ariyah sesungguhnya mengambil posisi yang sama dengan
murji’ah, khususnya dalam pernyataan yang tidak mengkafirkan para pelaku dosa
besar.
Mengenai konsep Tuhan Kaum asy’ariyah membawa penyelesaian yang
berlawanan dengan Mu’tazilah mereka dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan
mempunyai sifat. Menurut aliran asy’ariyah sendiri tidak dapat diingkari bahwa
Tuhan mempunyai sifat, karena perbuatan-perbuatannya, di samping menyatakan
bahwa Tuhan mengetahui dan sebagainya, juga menyatakan bahwa ia mempunyai
pengetahuan, kemauan, dan daya.

6. ALIRAN MATURIDIYAH
Aliran Maturidiyah merupakan aliran teologi yang bercorak rasional-
tradisional. Nama aliran itu dinisbahkan dari nama pendirinya, Abu Mansur
Muhammad al-Maturidi. Aliran Maturidiyah adalah aliran kalam yang dinisbatkan
kepada Abu Mansur al-Maturidi yang berpijak kepada penggunaan argumentasi
dan dalil aqli kalami. Aliran Maturidiyah digolongkan dalam aliran Ahlussunnah
wal Jamaah yang bercorak rasional. Dilihat dari metode berpikir aliran
Maturidiyah, berpegang pada keputusan akal pikiran dalam hal-hal yang tidak
bertentangan dengan syara’. Sebaliknya jika hal itu bertentangan dengan syara’,
maka akal harus tunduk kepada keputusan syara’. Berdasarkan prinsip pendiri
aliran Maturidiyah mengenai penafsiran al-Quran yaitu kewajiban melakukan
penalaran akal disertai bantuan ayat-ayat dalam penafsiran al-Quran. Disalin dari :
http://www.bacaanmadani.com/2018/03/pengertian-aliran-maturidiyah-
doktrin.html
Aliran maturidiyah, baik samarkand maupun bukhara, sepakat menyatakan
bahwa pelaku dosa masih tetap sebagai mukmin karena adanya keimanan dalam
dirinya. Adapun balasan yang diperolehnya kelak di akhirat bergantung pada apa
yang dilakukannya di dunia. jika ia meninggal tanpa tobat terlebih dahulu,
keputusannya diserahkan sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT. jika
menghendaki pelaku dosa besar diampuni, ia akan memasukkan ke neraca, tetapi
tidak kekal didalamnya.
Dapat ditemukan persamaan antara al-maturidi dan alasy’ari, seperti di
dalam pendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat seperti sama’, bashor dan
sebagainya. Walaupun begitu pengertian al-maturidi tentang sifat berbeda dengan
alasy’ari. Menurut al-maturidi sifat tidak dikatakan sebagai esensinya dan bukan
pula dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itum mulazamah (ada bersama, baca:
inheren) dzat tanpa pemisah.Tampaknya paham al-maturidi, tentang makna sifat
cenderung mendekati paham Mu’tazilah. Perbedaannya almaturidi mengaku adanya
sifat-sifat sedangkan al-Mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan.

7. ALIRAN SYI’AH ZADIYAH


Kronologi muculnya aliran Syi’ah Zaidiyah, dimulai sejak peristiwa
Karbala. Dengan meninggalnya Husain pada tanggal 10 Muharram 68 H (687 M),
maka timbullah perpecahan. Mayoritas dari penganut Syi'ah, mengangkat ‘Ali Zain
al-Abidin al-Sajjad (putera Husain) sebagai imam keempat. Sementara sebagian
kecil dari mereka ada yang memilih Muhammad bin Hanafiah sebagai imam
keempat. Kelompok terakhir ini disebut dengan Kaisaniyah.
Sepeninggal imam al-Sajjad (94 H), terjadi lagi perpecahan. Ada kelompok
yang memilih Muhammad al-Baqir (putera al-Sajjad) sebagai imam kelima.
Sementara itu ada pula kelompok yang memilih Zaid al-Syahid (putera al-Sajjad
lainnya) sebagai imam kelima. Kelompok terakhir ini disebut dengan Syi’ah
Zaidiyah, karena dinisbahkan kepada Zaid bin ‘Ali bin Husain bin ‘Ali bin Abi
Thalib. Ia dilahirkan pada tahun 80 H di Madinah dan wafat pada tahun 122 H.
Pada tahun 121 H (737 M), Zaid memberontak kepada khalifah Hisyam bin
‘Abd al-Malik (dari Dinasti Bani Umayyah), dan sekelompok masyarakat yang
menyatakan bai’at kepadanya. Dalam pemberontakan tersebut, Zaid tewas di
tangan pasukan khalifah.
Dalam perjalanan selanjutnya, Syi’ah Zaidiyah selalu mengalami tekanan
dari pihak penguasa. Yahya bin Zaid yang diangkat sebagai imam keenam,
memberontak kepada Khalifah Walid bin Yazid, yang pada akhirnya tewas. Setelah
Yahya, Muhammad bin ‘Abd Allah dan Ibrahim bin ‘Abd Allah, mengangkat
senjata melawan khalifah ‘Abbasiyyah, Manshur al-Dawaniqi, yang juga terbunuh.
Untuk beberapa waktu, Syi’ah Zaidiyah mengalami kegoncangan hingga
munculnya Nazhir al-Urusy, salah seorang dari putra saudara Zaid di Khurasan.
Oleh karena dikejar-kejar oleh penguasa, maka ia lari ke Mazandran (Tibristan)
yang penduduknya belum bergama Islam. Setelah 13 tahun berdakwah, ia berhasil
menarik sebagian besar penduduknya memeluk agama Islam yang beraliran Syi‘ah
Zaidiyah. Kemudian pada tahun 301 H (913 M), dengan dukungan pengikutnya, ia
berhasil menaklukkan daerah Mazandaran dan mengangkat dirinya sebagai imam.
Menurut ‘Ali ‘Abd al-Wahid Wafi, Syi’ah Zaidiyah adalah mazhab terbesar
di Yaman Utara. Imam yang diikutinya adalah Yahya Hamid al-Din, salah seorang
khalifah yang diyakininya sebagai keturunan Zaid. Selanjutnya keimaman itu
berpindah kepada puteranya Ahmad, kemudian kepada puteranya al-Badr. Sampai
saat ini, mayoritas penduduk Yaman Utara adalah pengikut Syi’ah Zaidiyah,
terutama dari golongan terkemuka.
Penganut Syi’ah zaidiyah percaya bahwa orang yang melakukan dosa besar
akan kekal di dalam neraka, jika ia belum tobat dengan tobat yang sesungguhnya.
Dalam hal ini, Syi’ah zaidiyah memang dekat dengan Mu’tazilah. Ini bukan sesuatu
yang aneh mengingat washil bin atha’, mempunyai hubungan dengan zaid moojan
momen bahkan mengatakan bahwa zaid pernah belajar kepada washil bin atho’.

8. AHLU AS SUNAH WAL JAMA’AH


Secara Bahasa (Etimologi) As-Sunnah secara bahasa berasal dari kata:
“sanna yasinnu”, dan “yasunnu sannan”, dan “masnuun” yaitu yang disunnahkan.
Sedang “sanna amr” artinya menerangkan (menjelaskan) perkara. As-Sunnah juga
mempunyai arti “at-Thariqah” (jalan/metode/pandangan hidup) dan “as-Sirah”
(perilaku) yang terpuji dan tercela.
Pengertian as-Sunnah Secara Istilah (Terminologi) Yaitu petunjuk yang
telah ditempuh oleh rasulullah SAW dan para Sahabatnya baik berkenaan dengan
ilmu, ‘aqidah, perkataan, perbuatan maupun ketetapan. As-Sunnah juga digunakan
untuk menyebut sunnah-sunnah (yang berhubungan dengan) ibadah dan ‘aqidah.
Pengertian Jama’ah Secara Bahasa (Etimologi) Jama’ah diambil dari kata
“jama’a” artinya mengumpulkan sesuatu, dengan mendekatkan sebagian dengan
sebagian lain. Seperti kalimat “jama’tuhu” (saya telah mengumpulkannya);
“fajtama’a” (maka berkumpul). Dan kata tersebut berasal dari kata “ijtima’”
(perkumpulan), ia lawan kata dari “tafarruq” (perceraian) dan juga lawan kata dari
“furqah” (perpecahan). Jama’ah adalah sekelompok orang banyak; dan dikatakan
juga sekelompok manusia yang berkumpul berdasarkan satu tujuan. Dan jama’ah
juga berarti kaum yang bersepakat dalam suatu masalah kata “sunnah” adalah
“bid’ah”.
Pengertian Jama’ah Secara Istilah (Terminologi): Yaitu kelompok kaum
muslimin pendahulu ummat dari kalangan para sahabat, tabi’in dan orang-orang
yang mengikuti jejak kebaikan mereka sampai hari kiamat; dimana mereka
berkumpul berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah dan mereka berjalan sesuai
dengan yang telah ditempuh oleh Rasulullah SAW baik secara lahir maupun bathin.

9. JABARIYAH
Kata Jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Di dalam Al-
Munjid, dijelaskan bahwa namajabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung
arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu.
Selanjutnya, kata jabara (bentuk pertama), setelah ditarik menjadi
jabariyah(dengan menambah ya nisbah), memiliki arti suatu kelompok atau aliran
(isme).Lebih lanjut Asy-Syahratsan menegaskan bahwa paham al-jabr berarti
menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan
menyandarkannya kepada Allah.
Dengan kata lain, manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan
terpaksa. Dalam bahasa Inggris, Jabariyah disebut fatalism atau predestination,
yaitu faham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari
semula oleh qadha dan qadar Tuhan.
Mengenai kemunculan faham al-jabar ini, para ahli sejarah pemikiran
mengkajinya melalui pendekatan geokultural bangsa Arab.Diantara ahli yang
dimaksud adalah Ahmad Amin.Ia menggambarkan bahwa kehidupan bangsa Arab
yang dikungkung oleh gurun pasir Sahara memberikan pengaruh besar ke dalam
cara hidup mereka. Ketergantungan mereka kepada alam Sahara yang ganas telah
memunculkan sikap penyerahan diri terhadap alam.
Lebih lanjut, Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian,
masyarakat Arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka
sesuai dengan keinginannya sendiri.Mereka merasa lemah dalam menghadapi
kesukaran-kesukaran hidup.Akhirnya, mereka banyak bergantung pada kehendak
alam.Hal ini membawa mereka kepada sikap fatalism
10. QODARIYAH
Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata qadara yang artinya
kemampuan dan kekuatan.Adapun menurut pengertian terminologi, Qadariyah
adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi
oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi
segala perbuatannya; Ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas
kehendaknya sendiri.
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat difahami bahwa Qadariyah dipakai
untuk nama suatu aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dan kekuatan
manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dalam hal ini, Harun
Nasution menegaskan bahwa kaum Qadariyah berasal dari pengertian bahwa
manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan
bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.
Latar belakang timbulnya Qadariyah ini sebagai isyarat menentang
kebijaksanaan politik Bani Umayyah yang dianggapnya kejam. Tak dapat diketahui
dengan pasti kapan faham ini timbul dalam sejarah perkembangan teologi
Islam.Tetapi menurut keterangan ahli-ahli teologi Islam, faham Qadariyah pertama
kali dikenalkan oleh Ma’bad Al-Juhani dan temannya Ghailan Al-Dimasyqi.
Keduanya memperoleh pahamnya dari orang Kristen yang masuk Islam di
Irak.Sedangkan menurut Ali Sami’ bahwa Ma’bad Al-Juhani sebagian besar
hidupnya tinggal di Madinah, kemudian menjelang akhir hayatnya baru pindah ke
Basrah.Dia adalah murid Abu Dzar Al-Ghiffari, musuh Utsman dan Bani
Umayyah.Sementara Ghailan Al-Dimasyqi adalah seorang Murji’ah yang pernah
berguru kepada Hasan ibn Muhammad ibn Hanafiyah.
Ma’bad Al-Juhani adalah seorang Tabi’i yang baik.Tetapi ia memasuki
lapangan politik dan memihak Abd Al-Rahman Ibn Al-Asy’ari, Gubernur Sajistan,
dalam menentang kekuasaan Bani Umayyah.Dalam pertempuran dengan Al-Hajjaj,
Ma’bad mati terbunuh dalam tahun 80 H.

Awalnya karena persoalan politik, lalu berlanjut pada masalah akidah dan
takdir.Aliran-aliran ini pada awalnya muncul sebagai akibat percaturan politik yang terjadi,
yaitu mengenai perbedaan pandangan dalam masalah kepemimpinan dan kekuasaan (aspek
sosial dan politik). Namun, dalam perkembangan selanjutnya, perselisihan yang muncul
mengubah sifat-sifat yang berorientasi pada politik menjadi persoalan keimanan.
''Kelompok khawarij yang akhirnya menjadi penentang Ali mengganggap bahwa
Ali tidak melaksanakan keputusan hukum bagi pihak yang memeranginya sebagaimana
ajaran Alquran. Karena itu, mereka menunduh Ali kafir dan darahnya halal,'' kata guru
besar filsafat Islam, Prof Dr Mulyadi Kartanegara, kepada Republika. Sementara itu,
kelompok yang mendukung Ali dan keturunannya (Syiah) melakukan pembelaan atas
tuduhan itu. Dari sinilah, bermunculan berbagai macam aliran keagamaan dalam bidang
teologi. Selain persoalan politik dan akidah (keimanan), muncul pula pandangan yang
berbeda mengenai Alquran (makhluk atau kalamullah), qadha dan qadar, serta sebagainya.

 Adakah dari sekian teologi yang berkembang yang masih ada sampai sekarang?

Dari sekian banyak aliran kalam (teologi) yang berkembang di masa kejayaan
peradaban Islam, seperti Syiah, Khawarij, Muktazilah, Murjiah, Kadariyah, Jabbariyah,
Asy'ariyah, Maturudiyah, dan sebagainya, hingga saat ini hanya dua aliran yang masih
memiliki banyak pengikut. Kedua aliran itu adalah Ahlussunnah wal Jamaah (biasa disebut
dengan kelompok Sunni) dan Syiah.

Penganut kedua paham ini tersebar di berbagai negara di dunia yang terdapat
komunitas Muslim. Tak jarang, dalam satu negara Muslim, terdapat dua penganut aliran
ini. Secara statistik, jumlah Muslim yang menganut paham Sunni jauh lebih banyak
dibandingkan yang menganut paham Syiah. Wikipedia menyebutkan, sekitar 90 persen
umat Muslim di dunia merupakan kaum Sunni dan sekitar 10 persen menganut aliran
Syiah.

Kendati jumlahnya tak lebih dari 20 persen, penganut Syiah ini tersebar hampir di
seluruh dunia. Yang terbesar ada di Iran dan Irak, kemudian sedikit di Afghanistan,
Pakistan, India, Lebanon, Arab Saudi, Bahrain, Kuwait, beberapa negara pecahan Uni
Soviet, beberapa negara di Eropa, dan sebagian di Amerika Serikat. Seperti halnya Syiah,
paham Sunni juga dianut oleh umat Islam di negara-negara tersebut. Tetapi, itu dalam
komposisi yang berbeda-beda antara satu negara dan negara yang lain. Paham Sunni dianut
lebih banyak umat, termasuk di Indonesia.

Di Iran yang mayoritas penduduknya adalah Muslim, 90 persen merupakan


penganut Syiah dan hanya delapan persen yang menganut aliran Ahlusunah Waljamaah.
Karena jumlahnya mayoritas, paham Syiah tidak hanya diperhitungkan sebagai aliran
teologi, tetapi juga sebagai gerakan politik di Iran.

Di Irak, 60 persen penduduk Muslimnya menganut paham Syiah dan 40 persen


merupakan Sunni. Namun, ada juga yang menyebutkan, penganut Islam Syiah di negeri
'Seribu Satu Malam' ini berkisar 60-65 persen dan penganut Suni 32-37 persen. Para
penganut Syiah di Irak merupakan orang dari suku Arab. Sementara itu, penganut Islam
Sunni adalah mereka yang berasal dari suku Arab, Kurdi, dan Turkmen.

Di negara Muslim lainnya, seperti Afghanistan, jumlah Muslim Sunni mencapai 80


persen, Syiah 19 persen, dan penganut agama lainnya satu persen. Di Sudan, 70 persen
penduduknya merupakan penganut Islam Sunni yang mayoritas bermukim di wilayah utara
Sudan. Di Mesir, 90 persen penduduknya adalah penganut Islam yang mayoritas beraliran
Suni. Sementara itu, sisanya menganut ajaran sufi lokal.

Sedangkan, masyarakat Muslim di Lebanon, selain menganut paham Sunni dan


Syiah, juga menganut paham Druze. Namun, dari 59 persen penduduk Lebanon yang
beragama Islam, tidak diketahui secara pasti berapa komposisi penganut paham Sunni,
Syiah, dan Druze.

Berbagai sumber yang ada menyebutkan bahwa komunitas Suku Kurdi (kurang dari
satu persen) yang bermukim di Lebanon, termasuk dalam kelompok Sunni. Jumlah mereka
diperkirakan antara 75 ribu hingga 100 ribu orang. Selain itu, ada pula ribuan Suku Beduin
Arab yang tinggal di wilayah Bekaa dan Wadi Khaled, yang semuanya itu menganut
paham Sunni. Kendati demikian, di beberapa negara Muslim yang mayoritas menganut
paham Sunni, seperti Indonesia dan Malaysia, penganut Syiah nyaris tidak diperhitungkan,
baik sebagai aliran teologi maupun gerakan politik.

 Siapa Ahlus Sunnah wal Jamaah?

Ketika membicarakan aliran-aliran teologi dalam Islam, ada sebuah hadis Nabi
SAW yang selalu diutarakan, ''Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Satu di
antaranya yang selamat, sedangkan lainnya menjadi golongan yang rusak. Beliau ditanya,
siapa golongan yang selamat itu? Beliau menjawab Ahlus Sunnah wal Jama'ah.'' (Hadis
riwayat Abu Daud, at-Tirmidzi, al-Hakim, dan Ahmad).
Banyak ulama berpendapat, Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah mereka yang
mengikuti semua yang berasal dari Nabi SAW, baik perkataan, perbuatan, pengakuan,
maupun hal-hal lain yang dikaitkan dengan pribadi Rasulullah SAW. Itu sebabnya aliran
ini disebut juga Ahlul Hadis was Sunnah (golongan yang berpegang pada hadis dan sunah).

Mengenai hal ini, ada beberapa alasan. Pertama, ajaran Islam mampu mengubah
lingkungan sosial dan budaya yang berimplikasi pada perubahan pandangan hidup
masyarakatnya. Kedua, dalam proses perubahan dari kondisi lama pada kondisi baru,
terjadi penghayatan terhadap ajaran Islam yang dipengaruhi oleh keadaan sosial budaya
setempat. Setiap masyarakat akan menghayati dan merespons ajaran Islam dengan cara
yang berbeda karena mereka berada di suatu masa dan lingkungan yang tidak sama.

Itulah mengapa ada Asy'ariyah yang berkembang di Irak, Maturidiyah di


Samarkand, dan Thohawiyah di Mesir. Ketiganya dianggap sebagai Ahlus Sunnah wal
Jama'ah. Pada awalnya, aliran-aliran tersebut muncul untuk merespons realitas yang
sedang dihadapi umat Islam. Ketika itu, ide-ide yang ditawarkan ulama besar adalah cara
pandang baru tentang kehidupan beragama, bukan menawarkan aliran teologi baru.

Sejarah mencatat, munculnya Asy'ariyah adalah respons terhadap kebijakan


penguasa Dinasti Abbasiyah yang menjadikan Muktazilah sebagai aliran resmi pemerintah.
Pengaruh paham Muktazilah mencapai puncaknya pada masa Khalifah Al-Ma'mun (198-
218 H/813-833 M), Al-Mu'tasim (218-228 H/833-842 M), dan Al-Wasiq (228-233 H/842-
847 M). Muktazilah terkenal mengagungkan rasionalitas yang sulit diterima oleh
masyarakat awam. Kemudian, Asy'ariyah muncul menawarkan cara pandang baru yang
lebih sederhana dan membumi. Doktrin-doktrinnya didasarkan pada sunah-sunah Nabi
SAW dan tradisi para sahabat.

Sebagai sebuah cara pandang, perbedaan dalam tubuh Asy'ariah pun muncul.
Muhammad Tholhah Hasan dalam bukunya Wawasan Umum Ahlus Sunnah wal Jamaah
menulis bahwa dalam Asy'ariyah, terdapat perbedaan-perbedaan visi.Visi Abu al-Hasan al-
Asy'ari (imam Asy'ariyah) tidak sama dengan murid-muridnya, seperti Al-Baqillani, Al-
Juwaini, Al-Ghozali, dan As-Sanusi. Padahal, mereka mengklaim dirinya penganut
Asy'ari. Demikian pula dalam mazhab fikih, terdapat perbedaan pandangan dan fatwa
antara Imam Syafi'i dan pengikut-pengikutnya, seperti An-Nawawi, Ar-Rofi'i, Al-Buthi,
Al-Qoffal, dan lain-lain.
 Akankah Dari manhaj menjadi sebuah mazhab?

Dalam perjalanan sejarahnya, Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak berhenti pada manhaj al-
fikr (cara pandang) semata, tetapi menjelma menjadi firqoh (kelompok) yang terorganisasi.
Dikatakan demikian karena Ahlus Sunnah wal Jamaah membentuk suatu doktrin dan
mempunyai pengikut yang tetap. Jika seseorang mengaku sebagai pengikut Ahlus Sunnah
wal Jamaah, yang bersangkutan harus punya ciri-ciri tertentu dalam keyakinan, sikap, dan
perilaku.Ciri-ciri itu kemudian menjadi pembeda antara penganut Ahlus Sunnah dan
penganut aliran teologi lainnya. Masalah menjadi lebih rumit tatkala aliran-aliran teologi
Ahlus Sunnah wal Jamaah sendiri punya karakter dan cirinya sendiri-sendiri.

Ada pengikut Ahlus Sunnah wal Jamaah yang disebut Ahlul Atsar, yaitu mereka yang
mengikuti Imam Ahmad bin Hambal. Mayoritas kelompok ini mengikuti pandangan-
pandangan Ibnu Taimiyah dan Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah. Ada yang disebut Al-
Asya'iroh, yang sekarang menjadi umat Muslim mayoritas di beberapa negara, termasuk
Indonesia. Ada pula kelompok Ahlus Sunnah ala Al-Maturidiyah yang terkenal dengan
penggunaan rasionalitasnya.

 manakah di antara ketiga aliran di atas yang paling benar?

jawabannya tergantung dari aliran manakah orang tersebut berasal. Jika ia orang
Indonesia, mungkin akan menjawab Al-Asya'iroh-lah yang paling absah sebagai Ahlus
Sunnah wal Jamaah.

B. Aliran Sesat dalam Lintas Sejarah

Aliran- aliran (yang divonis) sesat sebenarnya sudah muncul sejak masa Rasulullah
SAW, seperti munculnya nabi baru bernama Musailamah al-Kadzzab. Namun karena
Rasulullah SAW masih hidup, maka segala persoalan dapat “dirujukkan” kepada beliau
sehingga tidak berlarut-larut. Setelah Rasulullah wafat, umat Islam tidak menemukan
“tempat mengadu” sehingga bermunculan lah aliran-aliran yang beraneka ragam.
C. Sejarah Aliran-aliran di Indonesia

Kemunduran peradaban Islam yang berlangsung sejak masa penjajahan Barat,


membuat kaum Muslimin harus membangun kembali dari awal. Usaha untuk memulihkan
kembali kejayaan Islam dikenal dengan istilah pembaharuan Islam.

Gerakan pembaharuan Islam yang didengungkan oleh Pan-Islamisme Jamaluddin al-


Afghani di Mesir, pada awal abad ke 20 merambah ke negeri-negeri muslim lainnya,
termasuk ke Indonesia. Dari situlah muncul organisasi sosial-keagamaan (ormas) Islam
Sunni seperti Muhammadiyah, Sarekat Islam (SI), Persatuan Islam (Persis), dan lain
sebagainya. Sedangkan Nadlatul Ulama (NU) dianggap sebagai gerakan Sunni yang
berupaya mempertahankan tradisi Islam ala ulama salaf as-shalih. Mereka semua
merupakan ormas Islam Sunni yang—meskipun berbeda—namun tidak dianggap sesat.
Sebab, perbedaan di antara mereka hanya bersifat furu’iyyah (masalah-masalah kecil
dalam agama yang bersifat partikular/cabang, bukan masalah dasar/azas agama).

Pasca kemerdekaan Indonesia, terutama sejak tahun 1960an, mulai muncul aliran-
aliran baru yang dianggap menyimpang karena ajarannya bertentangan dengan dasar-dasar
hukum Islam (al-Qur’an dan as-Sunnah). Namun jumlahnya “hanya” sedikit sehingga tidak
menyita perhatian publik. Menurut data Depag, sejak tahun 1960an hingga akhir dekade
1990an, aliran sesat di Indonesia “hanya” berjumlah 50an.

Perkembangan cukup pesat terjadi antara akhir 2000an hingga awal 2010. Data
menyebutkan, sejak 2001 hingga 2007 saja, sedikitnya ada 250 aliran sesat di Indonesia.
Sebanyak 50 di antaranya tumbuh subur di Jawa Barat.

Yang menarik, ada aliran sesat yang hanya berkembang di satu kabupaten saja.
Misalnya di Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Sejak tahun 2001 s/d 2009, di sana terdapat 5
aliran sesat lokal, seperti Aliran Purbokayun di Desa Bendosewu, Kecamatan Talun
dengan ritual zikir perdukunan. Kemudian aliran Podo Bongso di Desa Pagerwojo,
Kecamatan Kesamben, dengan ritual salat boleh menghadap ke mana saja. Selanjutnya,
aliran tanpa nama di Desa Wonotirto dengan ritual salat menghadap ke timur dan free sex
sesama pengikut. Kemudian, aliran tanpa nama di Desa Bangsari, Kecamatan Nglegok
dengan ritual salat sambil melakukan kegiatan lain, seperti salat Jumat sambil bekerja atau
mencangkul di sawah. Ada juga aliran Safaatus Sholawat atau Dunung Urip pimpinan
Suliyani di Desa Ngembul Kecamatan Binangun, dengan ritual menyembah Jibril atau roh
kudus.

Sedangkan aliran-aliran lain yang berskala nasional dan sudah divonis sesat, baik oleh
Pemerintah maupun MUI, antara lain aliran Kalam Santriloka, Lembaga Kerasulan, Aliran
Baha’i, Aliran Al Haq, Al Qiyadah al-Islamiyah, Al Quran Hijau, Amanat Keagungan
Ilahi, Bumi Segandu, Hidup di Balik Hidup, Ingkar Sunnah, Isa Bugis, Islam Jamaah,
Islam Sejati, Jam’iyyah Islamiyah, Aliran NII, Pimpinan Juhata, Salamullah, Aliran Sayuti,
Shalat Dua Bahasa, dan sebagainya. Sedangkan Ahmadiyah dan Jaringan Islam Liberal
(JIL) hanya mendapat vonis sesat dari MUI, belum mendapat vonis/keputusan pembubaran
dari Pemerintah.
BAB 111

PENUTUP

Kesimpulan

Sejarah merekam bahwa Islam sebagai agama Universal justru mendapat tantangan
dari dirinya sendiri (Universalitas). Setiap pemeluk islam jika melihat ke dalam keluasan
aspek dan pembahasannya maka meniscayakan beragamnya pendapat dan pandangan , tak
ayalnya samudera tak bertepi, islam berusaha untuk selalu “diarungi” sejauh dan sedalam
mungkin. Maka dari itu, kita melihat banyaknya kaum muslimin baik perorangan atau
kelompok yang senantiasa berusaha sekuat mungkin untuk menemukan hakikat ajarannya
yang Universal. Tak heran jika terjadi gesekan pandangan dan perbedaan pendapat yang
mengemuka. Namun, bagi kami justru hal ini merupakan anugerah yang memperkaya
khazanah keilmuan islam.

Perbedaan yang terjadi pada ranah teologi, politik, tasawuf, hukum hingga
bangunan filsafat dan yang lainnya memberi warna dan corak tersendiri bagi dinamika
peradaban Islam. Dari pemaparan kami di atas, dapat pembaca bayangkan betapa kayanya
peradaban yang dibangun oleh Islam dan semua hal itu adalah buah hasil dari pergesekan,
perbedaan dan dialektika yang terjadi di sepanjang sejarah islam.

Terlalu naif rasanya jika kami harus menyimpulkan ( menyempitkan ) keluasan


khazanah yang dimiliki Islam. Namun, jika diizinkan kami ingin memberi catatan akhir
bagi pemaparan pembahasan kami bahwasanya jika kita tarik ke kehidupan beragama kita
saat ini, tentu kita seharusnya meneladani semangat yang diwariskan oleh para
penyambung keagungan pesan yang terkandung dalam Islam.

Saran

Akan terasa lebih arif jika umat Islam menyikapi perbedaan itu sebagai rahmat Allah
SWT. Mari, kita biarkan perbedaan-perbedaan aliran teologi dalam Islam laksana warna-
warni bunga yang mekar di tengah taman. Bukankah sebuah taman jauh lebih indah jika
ditumbuhi aneka bunga dibandingkan taman yang hanya memiliki satu macam bunga?
Tidak ada kebenaran, kecuali dari Allah SWT. Allahu a’lam bi sowaab…
DAFTAR PUSTAKA

Gholib, Achmad,Teologi dalam Perspektif Islam, UIN Press, Jakarta, 2005.

Nasution, Harun,Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,UI Press,Jakarta, 2002.

Nasution, Harun,Sejarah Pemikiran dalam Islam,PT PUSTAKA ANTARA, Jakarta,1996.

Bunyamin (dkk),Aqidah untuk Perguruan Tinggi, UHAMKA Press, Jakarta, 2012.

Dahlan, Drs. Abdul Aziz,Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam, PT. Beunebi,Cipta, Jakarta,
1987

http://www.dakwatuna.com/2008/10/1295/khawarij-dan-sifat-sifatnya/#ixzz1swVgS6cG

A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (Cet. 1; Jakarta: Pustaka Al Husna Baru: 2003),

Abd2ul Kadir bin Tahir bin Muhammad, Al-Farqu Bainal Firaq (Dar al-Kutub al-ilmiah: Beirut: )

Hamid,Jalal Muhammad Abd,Al-, Nasyiah Al-Asy’ariyah wa Tatawwaruh,Dar Al-Kitab,Beirut,1975.

http://ustadzmuis.blogspot.com/2009/02/paham-kalam-asyariyah.html#uds-search-results

Madkour, Ibrahim , Aliran dan teori filsafat islam. Bumi Aksara, Jakarta, 1995.

Muhammad Tholhah Hasan. Aswaja dalam Persepsi dan Tradisi NU

Nasution, Harun, Teologi Islam, UI Press, Jakarta, 1986.

Rozak, Abdul & Anwar, Rohison, Ilmu Kalam. CV Pustaka Setia, Bandung, 2009

Anda mungkin juga menyukai