1.2 Tujuan
1. Mengetahui dan mengidentifikasi tentang Cost of Illness
2. Mengetahui tentang diabetes melitus
3. Mampu membedakan klasifikasi diabetes melitus
4. Dapat menjelaskan analisis biaya penyakit DM
5. Dapat memberi manfaat berupa efisiensi biaya bagi pasien DM
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.1 Definisi
Diabetes melitus adalah penyakit autoimun kronis yang disebabkan oleh gangguan pengaturan
gula darah. Itu sebabnya kenapa diabetes juga sering disebut sebagai penyakit gula atau
kencing manis.
Gangguan gula darah dapat disebabkan oleh berbagai hal yang meliputi:
Kurangnya produksi insulin oleh pankreas
Kurangnya respon tubuh terhadap insulin
Adanya pengaruh hormon lain yang menghambat kinerja insulin
Jika penyakit ini tidak diobati dengan perawatan yang tepat, maka dapat menyebabkan
berbagai komplikasi yang berbahaya, bahkan bisa mengancam nyawa penderitanya.
2.1.2 Klasifikasi diabetes melitus
Diabetes Melitus umumnya diklasifikasikan menjadi 4 kategori dengan penyebab yang berbeda-
beda:
1. Diabetes Melitus Tipe 1 Disebut sebagai “Diabetes Melitus yang Tergantung pada
Insulin”. Diabetes tipe 1 adalah gangguan autoimun yang menyebabkan sistem
ketahanan menyerang dan merusak sel-sel yang memproduksi hormon insulin,
sehingga pankreas tidak dapat memproduksi hormon tersebut. Hal ini akan
mengakibatkan tubuh kekurangan insulin dan meningkatkan kadar glukosa darah.
Kondisi ini umumnya menyerang pasien di bawah usia 40 tahun, terutama pada masa
remaja. Biasanya gejala penyakit ini lebih cepat terdeteksi pada usia yang lebih muda,
terutama pada masa kanak-kanak atau remaja.
Penyebab pasti diabetes tipe 1 tidak diketahui. Namun, para ahli menduga bahwa
kondisi ini disebabkan karena sistem kekebalan tubuh Anda menyerang dan
menghancurkan sel-sel pankreas yang bertugas untuk menghasilkan hormon insulin.
Hormon insulin membuat glukosa lebih mudah untuk diserap oleh sel-sel tubuh
sehingga menurunkan kadar gula dalam aliran darah. Namun, jika Anda mengalami
gangguan fungsi pankreas, maka produksi insulin juga akan terganggu. Akibatnya,
tubuh tidak dapat menghasilkan hormon insulin dengan cukup, sehingga kadar gula
dalam darah akan terus meningkat.
2. Diabetes Melitus Tipe 2 Disebut “Diabetes Melitus yang Tidak Tergantung pada
Insulin”, yang mewakili lebih dari 90% kasus diabetes melitus didunia. Terkait dengan
faktor pola makan yang tidak sehat, obesitas, dan kurangnya olahraga.
Tidak seperti diabetes tipe 1, penderita tipe 2 tetap memproduksi insulin tapi tidak
mencukupi. Penyebab persis mengapa muncul tipe 2 belum pasti, tapi para ahli
percaya bahwa kombinasi faktor genetik dan lingkungan berperan dalam memicu
terjadinya penyakit gula ini. Penyakit kencing manis disebabkan karena lemak, hati,
dan sel-sel otot di tubuh Anda tidak merespon insulin dengan benar. Dalam dunia
medis, kondisi ini disebut dengan resistensi insulin.
Resistensi insulin sendiri membuat sel tidak bisa menerima gula darah untuk kemudian
diolah menjadi energi. Hal ini kemudian membuat tubuh menganggap bahwa ia sedang
kekurangan gula sehingga memecah glikogen kembali.
Pada akhirnya, gula akan terus menumpuk di dalam darah dan terjadilah kadar gula
darah tinggi yang disebut dengan hiperglikemia.
3. Diabetes gestational adalah penyakit kencing manis yang hanya terjadi pada wanita
hamil. Selama kehamilan, plasenta akan menghasilkan sejumlah hormon untuk
mendukung kehamilan Anda. Sayangnya, hormon-hormon yang dihasilkan akan
membuat sel-sel di dalam tubuh jadi resisten terhadap insulin dan pankreas tidak
selalu dapat memproduksi insulin ekstra untuk mengatasi resistensi tersebut.
Akibatnya, gula darah menumpuk di dalam darah dan menyebabkan diabetes
gestasional.
Penyakit ini dapat menyebabkan masalah pada ibu maupun bayinya jika tidak diobati.
Namun jika ditangani dengan cepat dan baik, kondisi ini biasanya sembuh total setelah
melahirkan. Studi dalam beberapa tahun terakhir ini menunjukkan bahwa wanita yang
pernah mengalami diabetes melitus gestasional memiliki tingkat risiko yang lebih
tinggi untuk mengidap penyakit diabetes melitus tipe II, sehingga wanita tersebut
harus lebih memerhatikan pola makan yang sehat demi mengurangi risiko tersebut.
4. Diabetes insipidus : Diabetes insipidus adalah kondisi berbeda yang disebabkan oleh
ketidakmampuan ginjal untuk menyimpan air.
Penyakit ini biasanya diakibatkan hasil dari sindrom genetik, operasi, efek samping
obat-obatan, kekurangan gizi, infeksi, dan penyakit lainnya. Kondisi ini jarang terjadi
dan dapat diobati.
Beberapa pasien diabetes melitus mungkin mengalami gejala-gejala berikut dalam tahap
awal penyakit ini :
Beberapa pasien mungkin tidak mengalami gejala-gejala di atas sama sekali, sehingga
pemeriksaan kesehatan secara rutin dianjurkan untuk menghindari penundaan tindakan
medis yang diperlukan.
2.1.5 Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan
glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan
plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas
dasar adanya glukosuria. Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria
DM digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi : toleransi glukosa terganggu
(TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT) : Hasil pemeriksaan glukosa plasma puasa antara 100-
125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam <140 mg/dl;
Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) : Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 -jam setelah TTGO
antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100 mg/dl.
Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan HbA1c yang
menunjukkan angka 5,7-6,4%.
Tabel 2.3 Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis daibetes dan
prediabetes.
HbA1c (%) Glukosa darah Glukosa darah 2 jam
puasa (mg/dL) setelah TTGO (mg/dL)
Diabetes ≥ 6,5 ≥ 126 mg/dL ≥ 200 mg/dL
Prediabetes 5,7-6,4 100-125 140 -199
Normal < 5,7 < 100 < 400
4. Menjelaskan variasi biaya. Pada kasus ini dapat dilakukan analisis statistik untuk
mengetahui apakah terdapat hubungan antara variasi biaya dan variabel penyakit
( misalnya keparahan), pasien (misalnya variabel demografi) atau penyelenggara
pelayanan kesehatan (misalnya rumah sakit pendidikan dibandingkan rumah sakit
daerah). Hasil penelitian ini akan membantu manajer untuk membuat perencanaan
dengan informasi yang lebih akurat untuk menentukan pelayanan ke depan. Pola dari
sumber daya yang digunakan dalam pelayanan sangat penting untuk merencanakan
pelayanan kesehatan.
Studi COI mengukur beban ekonomi dari suatu penyakit dan memperkirakan nlai
maksimum yang dapat dihemat atau diperoleh jika penyakit dapat disembuhkan.
Pengetahuan COI dapat membantu pembuat kebijakan untuk memutuskan penyakit apa yang
diprioritaskan untuk ditentukan kebijakan pelayanan kesehatan dan pencegahannya. Selain
itu, studi ini dapat menjelaskan regimen terapi mana pada suatu penyakit yang dapat
menurunkan beban penyakit tersebut. Bagi pemegang kebijakan, studi COI dapat
menggambarkan pengaruh finansial dari suatu penyakit pada program kesehatan di
masyarakat. Bagi manajer, dapat diketahui penyakit apa yang mempunyai pengaruh besar
pada biaya. Studi COI menyediakan informasi yang penting untuk cost-effectiveness analysis
dan cost benefit analysis, memberikan kerangka kerja untuk perkiraan biayanya.
Analisis COI yang didasarkan insidensi khususnya bermanfaat jika tujuannya adalah :
a. Penilaian terhadap pencegahan. Analisis ini memperkirakan penghematan yang dapat
diperoleh jika dilakukan tindakan pencegahan.
b. Menganalisa manajemen penyakit dari awal terjadinya penyakit sampai sembuh atau
meninggal. Pendekatan insidensi menganalisis stage atau keparahan penyakit sehingga
menggambarkan bagaimana biaya didistribusikan jika penyakit berkembang. Hal ini
dapat membangkitkan, misalnya pengembangan pedoman klinik atau terapi untuk
meningkatkan efektivitas dan efisiensi baik manajemen penyakit secara keseluruhan
dan untuk setiap tahapan dari clinical pathway.
Studi COI yang didasarkan pada prevalensi lebih sering dilakukan karena data yang
diperlukan lebih sedikit dan asumsi yang digunakan lebih kecil dibandingkan dengan insidensi.
Data yang diperlukan cukup data satu tahun dan tidak diperlukan asumsi mengenai survival
rate dan lama sakit. Lifetime cost dapat dihitung dari biaya per tahun, asumsi steady state
insidensi penyakit, perkembangan penyakit, survival rate, dan terapi; tetapi perkiraannya
mungkin tidak tepat seperti jika digunakan data riil dari terapi (data longitudinal) pada penyakit
tersebut karena kemungkinan dilakukan perubahan terapi. Metode khusus untuk menghitung
lifetime cost menggunakan data biaya per tahun berbeda, pendekatan dasar untuk masing-
masing metode adalah menggunakan data satu tahun sebagai cross section dari bagaimana
biaya didistribusikan berdasarkan umur. Asumsinya adalah biaya secara cross sectional pada
usia yang berbeda menggambarkan perkembangan dari penyakit. Metode ini dapat digunakan
untuk memperkirakan perbedaan biaya karena adanya penyakit dan tanpa penyakit
berdasarkan usia. Metode ini menggambarkan tambahan per person cost berdasarkan usia,
yang dapat digabungkan dengan data jumlah pasien dengan penyakit yang diperkirakan survive
pada masing-masing usia untuk memperkirakan lifetime cost. Metode lain untuk
memperkirakan lifetime cost adalah dengan mengalikan data biaya per unit dalam 1 tahun
dengan opini ahli mengenai kurun waktu penyakit. Metode yang ketiga adalah menggunakan
data presentase biaya pada tahun pertama untuk memperkirakan lifetime cost total.
Studi COI khususnya berguna untuk mengukur penghematan potensial dari kasus yang bisa
dicegah dari suatu penyakit. Lebih jauh lagi dapat digunakan sebagai data untuk melakukan
analisis efektivitas-biaya, analisis cost-benefit atau analisis pencegahan penyakit. Untuk
penyakit akut dimana hanya biaya dalam satu tahun yang dihitung, maka pendekatan
berdasarkan prevalensi dan insidensi akan memberikan hasil yang sama. Untuk penyakit kronis
dimana biaya bisa lebih dari satu tahun, maka studi yang didasarkan pada insidensi
memberikan informasi lebih mengenai biaya dari kasus yang bisa dicegah. Studi berdasarkan
prevalensi dapat dilakukan untuk penyakit kronis, tetapi perlu interpretasi sebagai gambaran
dari biaya dalam satu tahun, daripada biaya yang dapat dihemat jika semua kasus penyakit
dapat dicegah.
I. PEMBAHASAN
Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat
jalandan gawat darurat (Anonim, 2009). RSUD Kota Yogyakarta adalah rumah sakit tipe B
yang mampu memberikan pelayanan medik luas dan subspesialis terbatas (Peraturan
Menteri Kesehatan RI, 2009).Sebagai rumah sakit yang melayani masyarakat serta memiliki
kelompok penderita diabetes melitus (kelompok Persadia) yang dikelola oleh RSUD Kota
Yogyakarta, maka RSUD Kota Yogyakarta cukup representatif untuk dijadikan obyek
penelitian (Rumah Sakit Umum Daerah Kota Yogyakarta, 2012). Estimasi biaya penyakit (Cost
of Illnes (COI)) merupakan elemen penting dalam proses pengambilan keputusan penyakit
kronis seperti DM, karena dapat mengevaluasi besarnya biaya dari suatu penyakit dan dapat
menggambarkan penyakit yang membutuhkan peningkatan alokasi sumber daya untuk
pencegahan penyakit atau terapi (Andayani, 2013), maka diperlukan penelitian lebih lanjut
untuk mengetahui besarnya biaya dari penyakit DM, sehingga dapat digunakan sebagai
pertimbangan perencanaan pembiayaan kesehatan yang terkait dengan efektivitas
pengobatan dan efisiensi biaya bagi pasien.
IV. Analisis Perbedaan Faktor Usia, Jumlah Komplilkasi, Tipe DM, Lama Rawat Inap dan Kelas
Perawatan terhadap Biaya Medis Langsung Pasien Rawat Jalan dan Rawat Inap
Dilakukan analisis Kruskal-wallis untuk mencari perbedaan usia, jumlah komplikasi
terhadap biaya medik langsung pasien rawat jalandan analisis Mann Whitneyuntuk mencari
perbedaan tipe DM terhadap biaya medik langsung pasien rawat jalan. Pada tabel ini,
menunjukan bahwa faktor usia tidak memiliki perbedaan yang bermakna terhadap
besarnya biaya medik langsung penyakit DM di RSUD Kota Yogyakarta yang dilihat dari nilai
p=0,725.Hal ini dikarenakan pada usia >60 tahun ditemukan banyak pasien yang
terdiagnosis diabetes tanpa komplikasi dan pada usia <45 tahun ditemukan pasien lebih
banyak yang menderita DM tipe 1, sehingga rata-rata biaya pengobatannya untuk pasien
<45 tahun dan >60 tahun menjadi tidak jauh berbeda. Pada faktor jumlah komplikasi
menunjukan adanya perbedaan yang bermakna terhadap besarnya biaya medik langsung
penyakit DM yang dilihat dari nilai p=0,004. Hal ini dikarenakan beragamnya komplikasi
yang diderita pasien, sehingga mengakibatkan besarnya biaya pengobatan untuk mengatasi
komplikasi yang terjadi.Hal ini sesuai dengan pendapat dari Ernawati dan Nasution (2012)
yang mengatakan terjadinya komplikasi akut dan kronik, juga dapat mempengaruhi biaya
dalam pengobatan dan perawatan penyakit DM dalam waktu yang tidak singkat.
Tidak ada perbedaan yang bermakna antara DM Tipe 1 dan DM Tipe 2, terhadap besarnya
biaya medik langsung pasien DM, karena nilai p yang diperoleh 0,182. Hal ini disebabkan
karena pada pasien DM tipe 2 lebih banyak ditemukan pasien dengan tanpa komplikasi
mengakibatkan biaya pengobatannya menjadi rendah, pada pasien DM tipe 1 biaya obat
yang terkait penggunaan insulin yang relatif mahal, sehingga tidak ada perbedaan biaya
yang terkait dengan tipe DM pada pasien rawat jalan. Selain komponen biaya obat,
komponen biaya pemeriksaan laboratorium pada pasien rawat jalan cukup tinggi antara
DM tipe 1 dan DM tipe 2, hal ini dikarenakan dokter selalu menyarankan pemeriksaan
laboratorium pada pasien DM rawat jalan untuk dasar penegakkan diagnosis dan
tatalaksana terapi selanjutnya sampai keadaan pasien membaik.
V. Analisis Perbedaan faktor Usia, Jumlah Komplikasi, tipe DM, lama rawat inap dan kelas
rawat inap terhadap Biaya Medis Langsung Pasien Rawat Inap di RSUD Kota Yogyakarta
Periode Januari- Juni 2014
Tabel ini menunjukan bahwa faktor usia tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna
terhadapbesarnya biaya medik langsung penyakit diabetes melitus di RSUD Kota Yogyakarta
yang dilihat dari nilai p=0,169. Hal ini disebabkan terdapat komplikasi baik mikrovaskuler dan
makrovaskuler pada setiap rentang usia dalam penelitian ini dan ditemukan beberapa pasien
DM rawat inap dengan usia lebih dari 60 tahun tetapi memiliki jumlah komplikasi diabetes
melitus yang sedikit atau yang didiagnosis dengan tanpa komplikasi, sehingga besar biaya
medik langsung pengobatan pasien tidak jauh berbeda dengan usia pasien dibawah 60 tahun.
Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan Maskari dkk. (2010) terdapat pengaruh
yang signifikan antara usia dengan biaya medis langsung DM. Penelitian ini menjelaskan
bahwa biaya meningkat dengan bertambahnya usia, durasi diabetes dan lebih tinggi pada
pasien yang diobati dengan insulin dibandingkan dengan pasien yang dirawat dengan
hipoglikemik oral atau dengan kontrol diet dan hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Zahtamal dkk (2007) terdapat hubungan yang bermakna antara umur dan
kejadian DM, karena DM merupakan penyakit yang terjadi akibat penurunan fungsi organ
tubuh (degeneratif) terutama gangguan organ pankreas dalam menghasilkan insulin,
sehingga DM akan meningkat kasusnya dengan sejalan dengan bertambahnya umur serta
komplikasi mengakibatkan meningkatnya jumlah biaya perawatan untuk pasien DM.
Jumlah Eps. Biaya Rata-rata
Karakteristik P
Kunjungan (Rp.)
<45 14 2.955.012
Umur 45-60 76 4.043.179 0,169
>60 68 3.487.611
Tanpa
40 1.754.921
Jumlah Komplikasi
0,000
Komplikasi 1 Komplikasi 61 3.358.504
>1 Komplikasi 57 5.451.646
DM Tipe 1 7 3.012.524
Tipe DM 0,784
DM Tipe 2 151 3.739.879
1-5 Hari 69 2.214.754
Lama Rawat
6-9 Hari 71 4.053.827 0,000
Inap
>9 Hari 18 8.064.981
ICU 6 7.362.513
VIP 17 4.733.819
Kelas Rawat
Kelas I 28 5.582.589 0,000
Inap
Kelas II 27 2.838.500
Kelas III 80 2.852.592
BAB. V
KESIMPULAN
Diketahui bahwa total biaya penyakit diabetes melitus berdasarkan perspektif rumah
sakit dalam kurun waktu enam bulan (Januari-Juni 2014) yaitu sebesar Rp. 1.203.799.389.
Adanya perbedaan yang bermakna antara jumlah komplikasi dengan biaya medik langsung
pasien, sehingga dapat digunakan rumah sakit untuk melakukan evaluasi mengenai perhitungan
biaya pelayanan medis untuk mencapai efisiensi yang tinggi dengan tetap memperhatikan mutu
pelayanan di rumah sakit terutama pada pasien rawat jalan.
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal Analisis Biaya Penyakit Diabetes Melitus Sebagai Pertimbangan Perencanaan Pembiayaan
Kesehatan