Anda di halaman 1dari 18

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hiperglikemia adalah suatu kondisi medik berupa peningkatan kadar gula dalam
darah melebihi batas normal dan merupakan salah satu tanda khas penyakit diabetes
melitus (DM), meskipun juga mungkin didapatkan pada beberapa keadaan yang lain. WHO
memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000
menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030, sedangkan Badan Federasi Diabetes
Internasional (IDF) pada tahun 2009 memperkirakan kenaikan jumlah penyandang diabetes
melitus dari 7,0 juta menjadi 12,0 juta pada tahun 2030. Berdasarkan data Badan Pusat
Statistik Indonesia tahun 2003, diperkirakan penduduk Indonesia yang berusia di atas 29
tahun sebanyak 133 juta jiwa. Dengan mengacu pada pola pertambahan penduduk, maka
diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta penduduk yang berusia di atas 20
tahun. Laporan ini menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang DM sebanyak 2-3
kali lipat pada tahun 2035 sedangkan Badan Federasi Diabetes Internasional (IDF)
memprediksi adanya kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 9,1 juta pada
tahun 2014 menjadi 14,1 juta pada tahun 2035 (PERKENI, 2015).
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menyebutkan bahwa prevalensi DM yang
terdiagnosis oleh dokter tertinggi terdapat di Yogyakarta (2,6%), DKI Jakarta (2,5%),
Sulawesi Utara (2,4%) dan Kalimantan Timur (2,3%) (Kementrian Kesehatan RI, 2013).
Menurut International Diabetes Federation (IDF) (2014) bahwa pada tahun 2012
menjelaskan bahwa di Indonesia biaya perawatan pasien DM hanya sekitar USD 80,22 per-
pasien DM/tahun, sedangkan di negara-negara berkembang lainnya biaya perawatan kasus
DM sekitar USD 50-2.000 per pasien DM/tahun dan di negara-negara maju biaya berobat
mencapai USD 1.500-9.000 per pasien DM/tahun. Rendahnya biaya penanganan pasien DM
di Indonesia berkaitan dengan belum intensifnya pengelolaan pasien DM.
Pengeluaran biaya kesehatan terkait dengan usia pasien yang didiagnosis diabetes
memberikan estimasi biaya yang besar ditiap tahunnya. Menurut Maskari dkk., (2010)
terdapat pengaruh yang signifikan antara usia dengan biaya medis langsung diabetes
melitus. Penelitian ini menjelaskan bahwa biaya meningkat dengan bertambahnya usia,
durasi diabetes dan lebih tinggi pada pasien yang diobati dengan insulin dibandingkan
dengan pasien yang dirawat dengan hipoglikemik oral atau dengan kontrol diet.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Zahtamal dkk., (2007) terdapat
hubungan yang bermakna antara umur dengan kejadian DM. Faktor risiko terjadinya DM
pada usia < 45 tahun dan 45 tahun adalah lebih kurang 1:6 dengan asumsi sekitar 84% kasus
DM, diabetes melitus dapat dicegah dengan memperhatikan faktor risiko umur, karena DM
merupakan penyakit yang terjadi akibat penurunan fungsi organ tubuh (degeneratif)
terutama gangguan organ pankreas dalam menghasilkan hormon insulin, sehingga DM akan
meningkat kasusnya sejalan dengan bertambahnya umur serta komplikasinya
mengakibatkan meningkatnya jumlah biaya perawatan untuk pasien DM.
Kejadian komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler pada pasien diabetes melitus juga
mempengaruhi biaya perawatan kesehatan yang dialami pada pasien diabetes.Menurut
Javanbakht dkk., (2011) komponen terbesar dari pengeluaran medis dikaitkan dengan
komplikasi diabetes adalah penyakit kardiovaskular (42,3% dari total biaya komplikasi),
nefropati (23%) dan komplikasi mata (14%). Selain terkait komplikasi, biaya perawatan yang
dialami pasien dengan DM Tipe 1 dan pasien dengan DM Tipe 2 memiliki perbedaan biaya
pengeluaran tahunan terkait jenis tipe DM pada pasien diabetes, penelitian yang dilakukan
Colagiuri dkk., (2002) menyatakan adanya perbedaan biaya tahunan total untuk orang
dengan diabetes tipe 2 di Australia yaitu sekitar AUD 6.000.000.000 dan diperkirakan biaya
tahunan total untuk orang dengan diabetes tipe 1 sekitar AUD 570.000.000.
Estimasi biaya penyakit (Cost of Illness (COI)) merupakan elemen penting dalam proses
pengambilan keputusan penyakit kronis seperti DM, karena dapat mengevaluasi besarnya
biaya dari suatu penyakit dan dapat menggambarkan penyakit yang membutuhkan
peningkatan alokasi sumber daya untuk pencegahan penyakit atau terapi (Andayani, 2013),
maka diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui besarnya biaya dari penyakit DM,
sehingga dapat digunakan sebagai pertimbangan perencanaan pembiayaan kesehatan yang
terkait dengan efektivitas pengobatan dan efisiensi biaya bagi pasien.

1.2 Tujuan
1. Mengetahui dan mengidentifikasi tentang Cost of Illness
2. Mengetahui tentang diabetes melitus
3. Mampu membedakan klasifikasi diabetes melitus
4. Dapat menjelaskan analisis biaya penyakit DM
5. Dapat memberi manfaat berupa efisiensi biaya bagi pasien DM
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Diabetes Melitus

2.1.1 Definisi

Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit gangguan metabolisme kronik


yang ditandai dengan glukosa darah yang meningkat (hiperglikemia) akibat ketidakseimbangan
suplai dan kebutuhan akan insulin dalam tubuh. Insulin berguna untuk memfasilitasi masuknya
glukosa dalam sel yang dapat digunakan untuk metabolisme dan pertumbuhan sel. Ketika kita
mengonsumsi karbohidrat (termasuk gula, pati, dll), bahan-bahan tersebut dicerna setelah itu
dipecah menjadi dekstrosa dan menjadi glukosa setelah diserap oleh usus kecil ke dalam sistem
peredaran darah. Pankreas mengeluarkan insulin, yang membantu glukosa masuk ke dalam sel
untuk digunakan oleh tubuh. kadar glukosa meningkat bila sekresi insulin tidak mencukupi atau
tubuh tidak bisa menggunakan insulin yang dihasilkan. Hiperglikemia bisa mengakibatkan
gangguan metabolisme lemak dan protein, penghancuran berbagai macam sistem tubuh dan
organ, termasuk kardoivaskular, retina, saraf dan ginjal dalam jangka waktu yang lama (Bickley,
2009).

Kadar glukosa darah


Regulasi glukosa normal Puasa : < 5,6 mmol/L
Glukosa puasa terganggu Puasa : ≥ 5,6 - < 7 mmol/L ;
2 jam setelah makan : < 7,8 mmol/L
Toleransi glukosa terganggu Puasa : < 7 mmol/L ;
2 jam setelah makan : ≥ 7,8 – 11,1 mmol/L
Diabetes melitus Puasa : ≥ 7 mmol/L atau
2 jam setelah makan : ≥ 11,1 mmol/L
Tabel 2.1 Standar glukosa darah

Diabetes melitus adalah penyakit autoimun kronis yang disebabkan oleh gangguan pengaturan
gula darah. Itu sebabnya kenapa diabetes juga sering disebut sebagai penyakit gula atau
kencing manis.
Gangguan gula darah dapat disebabkan oleh berbagai hal yang meliputi:
 Kurangnya produksi insulin oleh pankreas
 Kurangnya respon tubuh terhadap insulin
 Adanya pengaruh hormon lain yang menghambat kinerja insulin
Jika penyakit ini tidak diobati dengan perawatan yang tepat, maka dapat menyebabkan
berbagai komplikasi yang berbahaya, bahkan bisa mengancam nyawa penderitanya.
2.1.2 Klasifikasi diabetes melitus

Diabetes Melitus umumnya diklasifikasikan menjadi 4 kategori dengan penyebab yang berbeda-
beda:

1. Diabetes Melitus Tipe 1 Disebut sebagai “Diabetes Melitus yang Tergantung pada
Insulin”. Diabetes tipe 1 adalah gangguan autoimun yang menyebabkan sistem
ketahanan menyerang dan merusak sel-sel yang memproduksi hormon insulin,
sehingga pankreas tidak dapat memproduksi hormon tersebut. Hal ini akan
mengakibatkan tubuh kekurangan insulin dan meningkatkan kadar glukosa darah.
Kondisi ini umumnya menyerang pasien di bawah usia 40 tahun, terutama pada masa
remaja. Biasanya gejala penyakit ini lebih cepat terdeteksi pada usia yang lebih muda,
terutama pada masa kanak-kanak atau remaja.
Penyebab pasti diabetes tipe 1 tidak diketahui. Namun, para ahli menduga bahwa
kondisi ini disebabkan karena sistem kekebalan tubuh Anda menyerang dan
menghancurkan sel-sel pankreas yang bertugas untuk menghasilkan hormon insulin.
Hormon insulin membuat glukosa lebih mudah untuk diserap oleh sel-sel tubuh
sehingga menurunkan kadar gula dalam aliran darah. Namun, jika Anda mengalami
gangguan fungsi pankreas, maka produksi insulin juga akan terganggu. Akibatnya,
tubuh tidak dapat menghasilkan hormon insulin dengan cukup, sehingga kadar gula
dalam darah akan terus meningkat.

2. Diabetes Melitus Tipe 2 Disebut “Diabetes Melitus yang Tidak Tergantung pada
Insulin”, yang mewakili lebih dari 90% kasus diabetes melitus didunia. Terkait dengan
faktor pola makan yang tidak sehat, obesitas, dan kurangnya olahraga.
Tidak seperti diabetes tipe 1, penderita tipe 2 tetap memproduksi insulin tapi tidak
mencukupi. Penyebab persis mengapa muncul tipe 2 belum pasti, tapi para ahli
percaya bahwa kombinasi faktor genetik dan lingkungan berperan dalam memicu
terjadinya penyakit gula ini. Penyakit kencing manis disebabkan karena lemak, hati,
dan sel-sel otot di tubuh Anda tidak merespon insulin dengan benar. Dalam dunia
medis, kondisi ini disebut dengan resistensi insulin.
Resistensi insulin sendiri membuat sel tidak bisa menerima gula darah untuk kemudian
diolah menjadi energi. Hal ini kemudian membuat tubuh menganggap bahwa ia sedang
kekurangan gula sehingga memecah glikogen kembali.
Pada akhirnya, gula akan terus menumpuk di dalam darah dan terjadilah kadar gula
darah tinggi yang disebut dengan hiperglikemia.

3. Diabetes gestational adalah penyakit kencing manis yang hanya terjadi pada wanita
hamil. Selama kehamilan, plasenta akan menghasilkan sejumlah hormon untuk
mendukung kehamilan Anda. Sayangnya, hormon-hormon yang dihasilkan akan
membuat sel-sel di dalam tubuh jadi resisten terhadap insulin dan pankreas tidak
selalu dapat memproduksi insulin ekstra untuk mengatasi resistensi tersebut.
Akibatnya, gula darah menumpuk di dalam darah dan menyebabkan diabetes
gestasional.
Penyakit ini dapat menyebabkan masalah pada ibu maupun bayinya jika tidak diobati.
Namun jika ditangani dengan cepat dan baik, kondisi ini biasanya sembuh total setelah
melahirkan. Studi dalam beberapa tahun terakhir ini menunjukkan bahwa wanita yang
pernah mengalami diabetes melitus gestasional memiliki tingkat risiko yang lebih
tinggi untuk mengidap penyakit diabetes melitus tipe II, sehingga wanita tersebut
harus lebih memerhatikan pola makan yang sehat demi mengurangi risiko tersebut.
4. Diabetes insipidus : Diabetes insipidus adalah kondisi berbeda yang disebabkan oleh
ketidakmampuan ginjal untuk menyimpan air.
Penyakit ini biasanya diakibatkan hasil dari sindrom genetik, operasi, efek samping
obat-obatan, kekurangan gizi, infeksi, dan penyakit lainnya. Kondisi ini jarang terjadi
dan dapat diobati.

Tabel 2.2 Perbedaan ciri-ciri dari DM Tipe 1 dan 2 :

Ciri-ciri Tipe 1 Tipe 2


 Nama lain  Insulin dependent  Insulin dependent diabetes
diabetes melitus melitus (NIDDM)
(IDDM), junvenile  Baisanya terjadi setelah
 Umur kejadian diabetes umur 30 tahun, tetapi dapat
 Umumnya terjadi terjadi pada masa anak-
sebelum usia 30 tahun, anak
tetapi dapat terjadi  Sampai dengan 90%
 Insiden pada semua umur  Mungkin asimtomatik,
 Tipe kejadian  Kurang dari 10% kejadian perlahan, tubuh
 Biasanya berat, dengan beradaptasi terhadap
cepat terjadi keadaan hiperglikemia
hiperglikemia  Dibawah normal, normal
 Produksi insulin atau diatas normal
 Sedikit atau tidak ada  85% obesitas, dapat pula
 Berat badan saat terjadi berat badan ideal
kejadian  Ideal atau kurus  Resisten terhadap ketosis,
dapat terjadi jika disertai
infeksi atau stres
 Ketosis  Mudah terjadi ketosis,  Jarang terjadi, manifestasi
jarang terjadi jika ringan dari hiperglikemia
terkontrol  Penting dan utama
 Manifestasi  Poliuria, polidipsia,  Penting dan utama
polyphagia, kelemahan  20-30 % pasien
 Managemen diet  Penting dan utama membutuhkan insulin
 Managemen aktivitas  Penting dan utama  Efektif
 Pemberian insulin  Tergantung insulin
untuk
 Pemberian agen oral mempertahankan
hipoglikemik hidup
 Tidak efektif

2.1.3 Gejala diabetes melitus

Beberapa pasien diabetes melitus mungkin mengalami gejala-gejala berikut dalam tahap
awal penyakit ini :

a. Sering kencing/miksi atau meningkatnya frekuensi buang air kecil (poliuria)


Adanya hiperglikemia menyebabkan sebagian glukosa dikeluarkan oleh ginjal bersama
urin karena keterbatasan kemampuan filtrasi ginjal dan kemampuan reabsorpsi dari
tubulus ginjal.
b. Meningkatnya rasa haus (polidipsia)
Banyaknya miksi menyebabkan tubuh kekurangan cairan (dehidrasi), hal ini merangsang
pusat haus yang mengakibatkan peningkatan rasa haus.
c. Meningkatnya rasa lapar (polipagia)
Meningkatnya katabolisme, pemecahan glikogen untuk energi menyebabkan cadangan
energi berkurang, keadaan ini menstimulasi pusat lapar.

d. Penurunan berat badan


Hal ini disebabkan karena tubuh kehilangan banyak cairan, glikogen dan cadangan
trigliserida serta massa otot.
e. Kelainan pada mata, penglihatan kabur
Pada kondisi kronis, keadaan hiperglikemia menyebabkan aliran darah menjadi lambat,
sirkulasi ke vaskuler tidak lancar, termasuk pada mata yang dapat merusak retina serta
kekeruhan pada lensa.
f. Kulit gatal, infeksi kulit, gatal-gatal disekitar penis dan vagina.
Peningkatan glukosa darah mengakibatkan penumpukan pula pada kulit sehingga
menjadi gatal, jamur dan bekteri mudah menyerang kulit.
g. Ketonuria
Ketika glukosa tidak lagi digunakan untuk energi, maka akan digunakan asam lemak
untuk energi, asam lemak akan dipecah menjadi keton yang kemudian berada pada
darah dan dikeluarkan melalui ginjal
h. Kelemahan dan keletihan
Kurangnya cadangan energi, adanya kelaparan sel, kehilangan potassium menjadi akibat
pasien mudah lelah dan letih.

Beberapa pasien mungkin tidak mengalami gejala-gejala di atas sama sekali, sehingga
pemeriksaan kesehatan secara rutin dianjurkan untuk menghindari penundaan tindakan
medis yang diperlukan.

2.1.4 Faktor risiko diabetes melitus


a. Usia diatas 45 tahun, DM tipe 2 jarang terjadi pada usia muda
b. Obesitas, berat badan lebih dari 120% dari berat badan ideal
c. Riwayat adanya ganggun toleransi glukosa (IGT) atau gangguan glukosa puasa (IFG)
d. Hipertensi lebih dari 140/90 mmHg atau hiperlipidemia, kolesterol atau trigkiserida lebih
dari 150 mg/dl
e. Riwayat gestasional DM atau riwayat melahirkan diatas 4 kg

2.1.5 Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan
glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan
plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas
dasar adanya glukosuria. Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria
DM digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi : toleransi glukosa terganggu
(TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT) : Hasil pemeriksaan glukosa plasma puasa antara 100-
125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam <140 mg/dl;
Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) : Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 -jam setelah TTGO
antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100 mg/dl.
Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan HbA1c yang
menunjukkan angka 5,7-6,4%.
Tabel 2.3 Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis daibetes dan
prediabetes.
HbA1c (%) Glukosa darah Glukosa darah 2 jam
puasa (mg/dL) setelah TTGO (mg/dL)
Diabetes ≥ 6,5 ≥ 126 mg/dL ≥ 200 mg/dL
Prediabetes 5,7-6,4 100-125 140 -199
Normal < 5,7 < 100 < 400

2.2 Cost Of Illness


2.2.1 Biaya
Secara definisi, biaya dipahami sebagai konsumsi atas sumber daya (nilai sumber daya
yang dikonsumsi). Konsumsi sumber daya dalam kaitannya dengan aktivitas dalam sektor
pelayanan kesehatan membutuhkan sumber daya kesehatan, sumber daya non kesehatan,
waktu caregivers informal yang diberikan oleh keluarga dan teman, penggunaan waktu pasien
dalam hubungannya dengan aktivitas mereka sendiri, juga lost production sebagai akibat dari
penyakit dan kematian (Luce et al. 1996, Drummond et al. 1997) dalam (Poulsen). Sebagai
contohnya, apakah suatu analisis dengan perspektif rumah sakit hanya memfokuskan pada
penggunaan sumber daya di rumah sakit ? Sehingga, perspektif yang terpilih untuk economic
analysis menjadi sangat penting dalam kaitannya dengan penggunaan sumber daya, sehingga
biaya, dapat diidentifikasi dan dihitung. Segala sesuatu yang tidak berkaitan dengan
penggunaan sumber daya bukan merupakan cost sehingga tidak dimasukkan dalam economic
analysis. Dalam terminologi economic analysis pengeluaran sama dengan cost, karena biasanya
berkaitan dengan budget dan tidak mengungkapkan opportunity cost untuk suatu kegiatan
(Poulsen). Inilah sebabnya kegiatan perawatan dibagi atas tiga jenis biaya : Start-up cost, Point
cost ; dan Interval cost (Edbrooke). Ongkos rata-rata untuk rawat inap seringkali tidak
memedulikan kenyataan bahwa cost biasanya bervariasi selama tinggal di rumah sakit, dimana
hari-hari terakhir seringkali menjadi yang termurah (Brooks 1996).

2.2.2 Definisi Cost of illness (COI)


Analisis Cost of Illness (COI) merupakan bentuk evaluasi ekonomi yang paling awal di
sektor pelayanan kesehatan. Studi COI dapat menggambarkan penyakit mana yang
membutuhkan peningkatan alokasi sumber daya untuk pencegahan atau terapi, tetapi
mempunyai keterbatasan dalam menjelaskan bagaimana sumber daya dialokasikan, karena
tidak dilakukan pengukuran benefit. Studi COI merupakan salah satu pendekatan yang penting
dalam ekonomi kesehatan sebagai alat untuk membuat keputusan. COI berbeda dengan
evaluasi ekonomi yang lain karena tidak membandingkan biaya dan outcome.
Selain itu, dalam studi ini dikembangkan berbagai metode, yang dapat membatasi
perbandingan dari hasil studi. Studi dapat bervariasi berdasarkan sudut pandang, sumber data
yang digunakan, kriteria biaya tidak langsung, dan kerangka waktu untuk menghitung biaya.
Studi COI yang komprehensif meliputi baik biaya langsung maupun tidak langsung. Biaya
langsung mengukur opportunity cost dari sumber daya yang digunakan untuk mengatasi
penyakit tertentu, sedangkan biaya tidak langsung mengukur nilai sumber daya yang hilang
karena penyakit tertentu. Meskipun beberapa studi juga memasukkan biaya tidak teraba
(intangible cost) dari nyeri atau sakit, biasanya pada pengukuran kualitas hidup, kategori biaya
tidak dihitung karena kesulitan menghitung biaya secara tepat.
Biaya medik langsung meliputi pengeluaran pelayanan kesehatan untuk diagnosis, terapi,
terapi pemeliharaan, dan rehabilitasi, sedangkan biaya non-medik langsung adalah sumber
daya sumber daya yang tidak terkait langsung dengan pelayanan kesehatan, misalnya
transportasi dari atau ke tempat pelayanan kesehatan, pengeluaran untuk keluarga, dan waktu
dari anggota keluarga untuk merawat pasien. Istilah biaya tidak langsung digunakan untuk
menilai produktivitas yang hilang terkait dengan penyakit atau kematian. Istilah ini tidak sama
artinya jika dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Dalam akuntasi, biaya tidak langsung
mengacu pada aktivitas tambahan atau pendukung yang dibutuhkan unit pengguna, oleh
karena itu disarankan untuk menggunakan istilah biaya produktivitas yang terkait dengan
morbiditas dan mortalitas. Studi COI dapat dilakukan dari beberapa sudut pandang yang
berbeda, dimana masing-masing sudut pandang biaya yang dihitung berbeda. Berdasarkan
sudut pandang (perspektif) tersebut dapat diukur biaya masyarakat, sistem pelayanan
kesehatan, pihak ketiga, pemerintah, atau pasien.

2.2.3 Tujuan utama COI


1. Untuk menilai beban ekonomi suatu penyakit dalam masyarakat. Hasil studi dapat
digunakan sebagai informasi tentang jumlah sumber daya yang digunakan karena
penyakit dan berdasarkan data epidemiologi morbiditas dan mortalitas dapat diketahui
peringkat penyakit berdasarkan beban ekonominya.
2. Untuk mengidentifikasi komponen biaya utama dan biaya total berdasarkan insidensi.
Hal ini dapat membantu pembuat kebijakan untuk menetapkan dan/atau membatasi :
a. Kebijakan penetapan biaya pada komponen yang memberikan porsi terbesar dari
total biaya.
b. Mengontrol implementasi nyata dari kebijakan kesehatan sebelumnya.
3. Untuk mengidentifikasi manajemen klinik dari suatu penyakit pada tingkat nasional.
Hasil evaluasi COI dapat membantu pembuat keputusan dan manajer untuk
menganalisa fungsi produksi yang digunakan untuk menghubungkan input dan/atau
pelayanan intermediate untuk mencapai output. Pedoman klinik merupakan salah satu
contoh hasil akhir pada kasus ini, dapat digunakan untuk identifikasi manajemen
penyakit terutama jika dinilai tidak efektif atau sangat beragam.

4. Menjelaskan variasi biaya. Pada kasus ini dapat dilakukan analisis statistik untuk
mengetahui apakah terdapat hubungan antara variasi biaya dan variabel penyakit
( misalnya keparahan), pasien (misalnya variabel demografi) atau penyelenggara
pelayanan kesehatan (misalnya rumah sakit pendidikan dibandingkan rumah sakit
daerah). Hasil penelitian ini akan membantu manajer untuk membuat perencanaan
dengan informasi yang lebih akurat untuk menentukan pelayanan ke depan. Pola dari
sumber daya yang digunakan dalam pelayanan sangat penting untuk merencanakan
pelayanan kesehatan.

Studi COI mengukur beban ekonomi dari suatu penyakit dan memperkirakan nlai
maksimum yang dapat dihemat atau diperoleh jika penyakit dapat disembuhkan.
Pengetahuan COI dapat membantu pembuat kebijakan untuk memutuskan penyakit apa yang
diprioritaskan untuk ditentukan kebijakan pelayanan kesehatan dan pencegahannya. Selain
itu, studi ini dapat menjelaskan regimen terapi mana pada suatu penyakit yang dapat
menurunkan beban penyakit tersebut. Bagi pemegang kebijakan, studi COI dapat
menggambarkan pengaruh finansial dari suatu penyakit pada program kesehatan di
masyarakat. Bagi manajer, dapat diketahui penyakit apa yang mempunyai pengaruh besar
pada biaya. Studi COI menyediakan informasi yang penting untuk cost-effectiveness analysis
dan cost benefit analysis, memberikan kerangka kerja untuk perkiraan biayanya.

2.2.4 Tipe Cost of Illness


Studi cost of illness dapat dilakukan berdasarkan data epidemiologi, yaitu pendekatan
prevalensi atau insidensi, metode yang dipilih untuk menghitung biaya, yaitu top down atau
bottom up, dan hubungan antara awal penelitian dan pengumpulan data, yaitu studi
retrospektif dan prospektif.
1. Pendekatan Prevalensi vs Insidensi
Studi COI dapat didasarkan pada prevalensi atau insidensi. Studi prevalensi mengacu
pada jumlah total dari kasus pada periode tertentu (biasanya dalam satu tahun),
sedangkan insidensi mengacu pada jumlah kasus baru yang muncul dalam periode
waktu tertentu. Pendekatan prevalensi memperkirakan biaya penyakit atau kelompok
penyakit pada semua kasus yang terjadi dalam periode satu tahun, baik biaya langsung
maupun produktivitas yang hilang. Pendekatan insidensi memperkirakan biaya seumur
hidup kasus baru dari suatu keadaan atau kelompok keadaan dalam periode tertentu.
Analisis COI yang didasarkan pada prevalensi dapat bermanfaat jika tujuan studi adalah :
a. Memberikan gambaran kepada pembuat keputusan pada suatu keadaan dimana
pengeluaran tidak sesuai dengan biaya riil. Karena terdapat perbedaan numerik
antara pendekatan prevalensi dan insidensi, tujuan dari pendekatan prevalensi lebih
baik daripada insidensi.
b. Merencanakan kebijakan cost containment, karena studi ini memberikan gambaran
kepada pembuat keputusan pengeluaran secara menyeluruh dan lebih penting lagi
komponen biaya utama.

Analisis COI yang didasarkan insidensi khususnya bermanfaat jika tujuannya adalah :
a. Penilaian terhadap pencegahan. Analisis ini memperkirakan penghematan yang dapat
diperoleh jika dilakukan tindakan pencegahan.
b. Menganalisa manajemen penyakit dari awal terjadinya penyakit sampai sembuh atau
meninggal. Pendekatan insidensi menganalisis stage atau keparahan penyakit sehingga
menggambarkan bagaimana biaya didistribusikan jika penyakit berkembang. Hal ini
dapat membangkitkan, misalnya pengembangan pedoman klinik atau terapi untuk
meningkatkan efektivitas dan efisiensi baik manajemen penyakit secara keseluruhan
dan untuk setiap tahapan dari clinical pathway.

Studi COI yang didasarkan pada prevalensi lebih sering dilakukan karena data yang
diperlukan lebih sedikit dan asumsi yang digunakan lebih kecil dibandingkan dengan insidensi.
Data yang diperlukan cukup data satu tahun dan tidak diperlukan asumsi mengenai survival
rate dan lama sakit. Lifetime cost dapat dihitung dari biaya per tahun, asumsi steady state
insidensi penyakit, perkembangan penyakit, survival rate, dan terapi; tetapi perkiraannya
mungkin tidak tepat seperti jika digunakan data riil dari terapi (data longitudinal) pada penyakit
tersebut karena kemungkinan dilakukan perubahan terapi. Metode khusus untuk menghitung
lifetime cost menggunakan data biaya per tahun berbeda, pendekatan dasar untuk masing-
masing metode adalah menggunakan data satu tahun sebagai cross section dari bagaimana
biaya didistribusikan berdasarkan umur. Asumsinya adalah biaya secara cross sectional pada
usia yang berbeda menggambarkan perkembangan dari penyakit. Metode ini dapat digunakan
untuk memperkirakan perbedaan biaya karena adanya penyakit dan tanpa penyakit
berdasarkan usia. Metode ini menggambarkan tambahan per person cost berdasarkan usia,
yang dapat digabungkan dengan data jumlah pasien dengan penyakit yang diperkirakan survive
pada masing-masing usia untuk memperkirakan lifetime cost. Metode lain untuk
memperkirakan lifetime cost adalah dengan mengalikan data biaya per unit dalam 1 tahun
dengan opini ahli mengenai kurun waktu penyakit. Metode yang ketiga adalah menggunakan
data presentase biaya pada tahun pertama untuk memperkirakan lifetime cost total.
Studi COI khususnya berguna untuk mengukur penghematan potensial dari kasus yang bisa
dicegah dari suatu penyakit. Lebih jauh lagi dapat digunakan sebagai data untuk melakukan
analisis efektivitas-biaya, analisis cost-benefit atau analisis pencegahan penyakit. Untuk
penyakit akut dimana hanya biaya dalam satu tahun yang dihitung, maka pendekatan
berdasarkan prevalensi dan insidensi akan memberikan hasil yang sama. Untuk penyakit kronis
dimana biaya bisa lebih dari satu tahun, maka studi yang didasarkan pada insidensi
memberikan informasi lebih mengenai biaya dari kasus yang bisa dicegah. Studi berdasarkan
prevalensi dapat dilakukan untuk penyakit kronis, tetapi perlu interpretasi sebagai gambaran
dari biaya dalam satu tahun, daripada biaya yang dapat dihemat jika semua kasus penyakit
dapat dicegah.

2. Pendekatan Top Down vs Bottom-up


.Perbedaan lain antara kedua pendekatan di atas adalah bahwa pada pendekatan
insidensi analisis dilakukan secara bottom up, meliputi semua biaya penyakit selama hidup.
Data yang diperlukan lebih detail dibandingkan pendekatan prevalensi. Pendekatan prevalensi
dilakukan secara top down, mengalokasikan total biaya untuk masing-masing kategori penyakit
secara umum. Pada pendekatann bottom up, perkiraan biaya dapat dibagi menjadi 2 langkah.
Langkah pertama, adalah memperkirakan jumlah input yang diperlukan dan langkan kedua
adalah memperkirakan unit cost dari input yang digunakan. Biaya diperhitungkan dengan
mengalikan unit cost dengan jumlahnya. Data yang diperlukan akan bervariasi, tergantung dari
cakupan penelitian. Pada studi yang komprehensif, biasanya dilakukan survei secara nasional
sehingga dapat disajikan data yang sesungguhnya dari sumber daya yang digunakan. COI top
down dapat menyebabkan alokasi biaya kurang tepat, pertama disebabkan pengeluaran biaya
pelayanan kesehatan nasional bisa lebih rendah atau lebih tinggi dari biaya langsung total.
Kedua, eksklusi dari kategori biaya tidak dipertimbangkan (misalnya biaya transportasi atau
pelayanan informal), sehingga akan menyebabkan bias karena perkiraan biaya berdasarkan
kategori penyakit, kategori penyakit yang berbeda dapat menyebabkan perbedaan biaya non
medik. Ketiga, biaya total menggambarkan diagnosis primer. Hal ini akan menyebabkan
masalah jika pasien mengalami multiple diagnosis.

3. Cost of Illness Prospektif vs Retrospektif


COI dapat dilakukan secara prosfektif dan retrospektif tergantung dari hubungan antara
waktu penelitian dilakukan dan pengumpulan data. Pada studi COI retrospektif, saat studi
dilakukan, semua kejadian yang relevan sudah terjadi. Proses pengumpulan data mengacu pada
data yang sudah ada, sedangkan pada studi SOI prospektif kejadian yang relevan belum terjadi
saat penelitian dilakukan. Proses pengumpulan data dilakukan dengan mengikuti pasien setiap
waktu. COI berdasarkan prevalensi maupun insidensi dapat dilakukan secara prospektif atau
retrospektif. Kelebihan dari COI retrospektif adalah lebih murah dan waktu yang diperlukan
lebih pendek dibandingkan dengan prospektif karena data yang diperlukan sudah tersedia saat
penelitian dilakukan. Desain retrospektif lebih efisien terutama untuk penelitian pada penyakit
yang durasinya panjang dan memerlukan waktu beberapa tahun untuk mencapai end point nya.
COI retrospektif bisa dilakukan jika data yang diperlukan tersedia. Sebaliknya, pada COI
prospektif, peneliti dapat merancang sistem pengumpulan data yang diperlukan. Data penyakit
dan penggunaan sumber daya pelayanan kesehatan dapat diperoleh data yang lengkap untuk
setiap intervensi yang dilakukan. Kedua, kepada pasien dapat diberikan buku harian untuk
mendapatkan data biaya yang belum tercatat oleh organisasi pelayanan kesehatan. Dengan
cara ini dengan mudah dapat dilakukan pengukuran biaya non medik langsung, seperti biaya
transportasi. Perkiraan waktu tidak bekerja bisa diperkirakan dengan lebih tepat. Namun
demikian, jika penyakit memerlukan waktu yang sangat lama untuk mencapai end point
misalnya penyakit hepatitis C yang memerlukan waktu terapi 30 sampai 40 tahun maka kalau
dilakukan COI prospektif akan memerlukan biaya yang mahal dan waktu yang sangat lama.
Pada kasus ini, COI retrospektif lebih efisien untuk mengukur beban penyakit.

2.2.5 Evaluasi biaya dalam Cost of Illness


COI diperkirakan dengan mengidentifikasi komponen biaya dan menilai dalam unit
moneter. Kategori biaya yang dihitung dalam memperkirakan biaya total dari COI adalah biaya
langsung dan produktivitas yang hilang. Metode yang digunakan untuk menghitung biaya
pelayanan adalah dengan pendekatan micro-costing atau gross-costing. Pada metode micro-
costing, biaya pelayanan dinilai dengan menjumlahkan masing-masing komponen biaya-biaya
kunjungan ke rumah sakit, maka dilakukan identifikasi , pengukuran, dan evaluasi terhadap
sumber daya seperti misalnya personel, terapi, dan test laboratorium. Dengan kata lain bahwa
micro-costing menggunakan pendekatan bottom up yaitu perhitungan komponen biaya
produksi (input) untuk mendapatkan output. Sebaliknya, dengan pendekatann gross-costing,
biaya pelayanan (misalnya kunjungan ke rumah sakit) dinilai secara top down, yaitu dengan cara
membagi total biaya pelayanan dengan jumlah total pelayanan yang dihasilkan dalam periode
waktu tertentu. Kedua pendekatan ini tujuannya adalah untuk menghitung unit cost dari
pelayanan, namun demikian tingkat ketepatan dari kedua metode tersebut sedikit berbeda.
Hasil dari pendekatan micro-costing menggambarkan biaya pelayanan yang aktual sedangkan
pendekatan gross-costing menghasilkan nilai rata-rata. Pendekatan micro-costing sangat akurat
dan merupakan gold standard untuk penilaian biaya, namun demikian pendekatan ini
memerlukan biaya yang mahal dan waktu lebih lama. Pendekatan micro-costing
direkomendasikan jika tujuan dari analisis adalah untuk menegaskan perbedaan biaya dari
suatu pelayanan kesehatan.
BAB III
HASIL PEMBAHASAN

I. PEMBAHASAN
Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat
jalandan gawat darurat (Anonim, 2009). RSUD Kota Yogyakarta adalah rumah sakit tipe B
yang mampu memberikan pelayanan medik luas dan subspesialis terbatas (Peraturan
Menteri Kesehatan RI, 2009).Sebagai rumah sakit yang melayani masyarakat serta memiliki
kelompok penderita diabetes melitus (kelompok Persadia) yang dikelola oleh RSUD Kota
Yogyakarta, maka RSUD Kota Yogyakarta cukup representatif untuk dijadikan obyek
penelitian (Rumah Sakit Umum Daerah Kota Yogyakarta, 2012). Estimasi biaya penyakit (Cost
of Illnes (COI)) merupakan elemen penting dalam proses pengambilan keputusan penyakit
kronis seperti DM, karena dapat mengevaluasi besarnya biaya dari suatu penyakit dan dapat
menggambarkan penyakit yang membutuhkan peningkatan alokasi sumber daya untuk
pencegahan penyakit atau terapi (Andayani, 2013), maka diperlukan penelitian lebih lanjut
untuk mengetahui besarnya biaya dari penyakit DM, sehingga dapat digunakan sebagai
pertimbangan perencanaan pembiayaan kesehatan yang terkait dengan efektivitas
pengobatan dan efisiensi biaya bagi pasien.

II. METODE PENELITIAN


Jenis penelitian ini menggunakan metode observasional analitik dengan pendekatan
prevalensi. Pengambilan data dilakukan secara retrospektif melalui penelusuran data pasien
di bagian rekam medik, penelusuran data biaya pengobatan pasien di bidang pengelolaan
keuangan dan pendapatan serta penelusuran biaya obat di instalasi farmasi. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui total biaya penyakit diabetes melitus berdasarkan perspektif
RSUD Kota Yogyakarta. Subyek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
seluruh pasien diabetes melitus rawat inap dan rawat jalan di RSUD Kota Yogyakarta yang
didiagnosa diabetes melitus pada periode Januari sampai Juni 2014 dan memenuhi kriteria
inklusi. Kriteria inklusi subyek penilitian ini adalah pasien diabetes melitus di RSUD Kota
Yogyakarta dengan diagnosis utama dan diagnosis sekunder dengan atau tanpa komplikasi
padaperiode Januari sampai Juni 2014, baik laki-laki maupun perempuan serta kuitansi
pembayaran biaya rumah sakit yang diketahui dan memiliki data yang lengkap untuk dapat
dihitung dengan pasti komponen biayanya.
III. Analisis Biaya Penyakit Diabetes Melitus
Hasil perhitungan ini dilihat dari perspektif rumah sakit sebagai penyedia layanan
kesehatan. Total biaya tersebut diperoleh dari penjumlahan biaya medik langsung pasien
rawat inap dan rawat jalan. Adapun hasil perhitungan total biaya penyakit DM rawat inap
maupun rawat jalan di RSUD Kota Yogyakarta periode Januari–Juni 2014 dapat dilihat pada
tabel berikut.
JUMLAH EPISODE
JENIS PASIEN RATA-RATA ( Rp.) TOTAL BIAYA ( Rp.)
KUNJUNGAN
Rawat Inap 158 3.707.654 585.809.455
Rawat Jalan 1.531 403.651 617.989.934
Jumlah 1.689 Rp. 1.203.799.389,-

IV. Analisis Perbedaan Faktor Usia, Jumlah Komplilkasi, Tipe DM, Lama Rawat Inap dan Kelas
Perawatan terhadap Biaya Medis Langsung Pasien Rawat Jalan dan Rawat Inap
Dilakukan analisis Kruskal-wallis untuk mencari perbedaan usia, jumlah komplikasi
terhadap biaya medik langsung pasien rawat jalandan analisis Mann Whitneyuntuk mencari
perbedaan tipe DM terhadap biaya medik langsung pasien rawat jalan. Pada tabel ini,
menunjukan bahwa faktor usia tidak memiliki perbedaan yang bermakna terhadap
besarnya biaya medik langsung penyakit DM di RSUD Kota Yogyakarta yang dilihat dari nilai
p=0,725.Hal ini dikarenakan pada usia >60 tahun ditemukan banyak pasien yang
terdiagnosis diabetes tanpa komplikasi dan pada usia <45 tahun ditemukan pasien lebih
banyak yang menderita DM tipe 1, sehingga rata-rata biaya pengobatannya untuk pasien
<45 tahun dan >60 tahun menjadi tidak jauh berbeda. Pada faktor jumlah komplikasi
menunjukan adanya perbedaan yang bermakna terhadap besarnya biaya medik langsung
penyakit DM yang dilihat dari nilai p=0,004. Hal ini dikarenakan beragamnya komplikasi
yang diderita pasien, sehingga mengakibatkan besarnya biaya pengobatan untuk mengatasi
komplikasi yang terjadi.Hal ini sesuai dengan pendapat dari Ernawati dan Nasution (2012)
yang mengatakan terjadinya komplikasi akut dan kronik, juga dapat mempengaruhi biaya
dalam pengobatan dan perawatan penyakit DM dalam waktu yang tidak singkat.
Tidak ada perbedaan yang bermakna antara DM Tipe 1 dan DM Tipe 2, terhadap besarnya
biaya medik langsung pasien DM, karena nilai p yang diperoleh 0,182. Hal ini disebabkan
karena pada pasien DM tipe 2 lebih banyak ditemukan pasien dengan tanpa komplikasi
mengakibatkan biaya pengobatannya menjadi rendah, pada pasien DM tipe 1 biaya obat
yang terkait penggunaan insulin yang relatif mahal, sehingga tidak ada perbedaan biaya
yang terkait dengan tipe DM pada pasien rawat jalan. Selain komponen biaya obat,
komponen biaya pemeriksaan laboratorium pada pasien rawat jalan cukup tinggi antara
DM tipe 1 dan DM tipe 2, hal ini dikarenakan dokter selalu menyarankan pemeriksaan
laboratorium pada pasien DM rawat jalan untuk dasar penegakkan diagnosis dan
tatalaksana terapi selanjutnya sampai keadaan pasien membaik.

Jumlah Eps. Biaya Rata-rata


Karakteristik P
Kunjungan (Rp.)
< 45 58 433.182
Umur 45-60 633 410.198 0.725
>60 840 401.323
Tanpa Komplikasi 927 388.107
Jumlah
1 Komplikasi 427 437.157 0,004
Komplikasi
>1 Komplikas 177 426.269
DM Tipe 1 78 432.141
Tipe DM 0,182
DM Tipe 2 1.453 404.807

V. Analisis Perbedaan faktor Usia, Jumlah Komplikasi, tipe DM, lama rawat inap dan kelas
rawat inap terhadap Biaya Medis Langsung Pasien Rawat Inap di RSUD Kota Yogyakarta
Periode Januari- Juni 2014
Tabel ini menunjukan bahwa faktor usia tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna
terhadapbesarnya biaya medik langsung penyakit diabetes melitus di RSUD Kota Yogyakarta
yang dilihat dari nilai p=0,169. Hal ini disebabkan terdapat komplikasi baik mikrovaskuler dan
makrovaskuler pada setiap rentang usia dalam penelitian ini dan ditemukan beberapa pasien
DM rawat inap dengan usia lebih dari 60 tahun tetapi memiliki jumlah komplikasi diabetes
melitus yang sedikit atau yang didiagnosis dengan tanpa komplikasi, sehingga besar biaya
medik langsung pengobatan pasien tidak jauh berbeda dengan usia pasien dibawah 60 tahun.
Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan Maskari dkk. (2010) terdapat pengaruh
yang signifikan antara usia dengan biaya medis langsung DM. Penelitian ini menjelaskan
bahwa biaya meningkat dengan bertambahnya usia, durasi diabetes dan lebih tinggi pada
pasien yang diobati dengan insulin dibandingkan dengan pasien yang dirawat dengan
hipoglikemik oral atau dengan kontrol diet dan hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Zahtamal dkk (2007) terdapat hubungan yang bermakna antara umur dan
kejadian DM, karena DM merupakan penyakit yang terjadi akibat penurunan fungsi organ
tubuh (degeneratif) terutama gangguan organ pankreas dalam menghasilkan insulin,
sehingga DM akan meningkat kasusnya dengan sejalan dengan bertambahnya umur serta
komplikasi mengakibatkan meningkatnya jumlah biaya perawatan untuk pasien DM.
Jumlah Eps. Biaya Rata-rata
Karakteristik P
Kunjungan (Rp.)
<45 14 2.955.012
Umur 45-60 76 4.043.179 0,169
>60 68 3.487.611
Tanpa
40 1.754.921
Jumlah Komplikasi
0,000
Komplikasi 1 Komplikasi 61 3.358.504
>1 Komplikasi 57 5.451.646
DM Tipe 1 7 3.012.524
Tipe DM 0,784
DM Tipe 2 151 3.739.879
1-5 Hari 69 2.214.754
Lama Rawat
6-9 Hari 71 4.053.827 0,000
Inap
>9 Hari 18 8.064.981
ICU 6 7.362.513
VIP 17 4.733.819
Kelas Rawat
Kelas I 28 5.582.589 0,000
Inap
Kelas II 27 2.838.500
Kelas III 80 2.852.592
BAB. V
KESIMPULAN

Diketahui bahwa total biaya penyakit diabetes melitus berdasarkan perspektif rumah
sakit dalam kurun waktu enam bulan (Januari-Juni 2014) yaitu sebesar Rp. 1.203.799.389.
Adanya perbedaan yang bermakna antara jumlah komplikasi dengan biaya medik langsung
pasien, sehingga dapat digunakan rumah sakit untuk melakukan evaluasi mengenai perhitungan
biaya pelayanan medis untuk mencapai efisiensi yang tinggi dengan tetap memperhatikan mutu
pelayanan di rumah sakit terutama pada pasien rawat jalan.
DAFTAR PUSTAKA

Jurnal Analisis Biaya Penyakit Diabetes Melitus Sebagai Pertimbangan Perencanaan Pembiayaan
Kesehatan

Anda mungkin juga menyukai