TEORI TENTANG ETIKA DAN
PERKEMBANGANNYA
3.1 Beberapa Teori Etika
Sebelum membahas berbagai teori etika yang ada, terlebih dahulu
perlu dipahami apa yang dimaksud dengan teori dan apa hubungan teori
dengan ilmu. Suatu pengetahuan tentang objek baru bisa dianggap
sebagai disiplin ilmu bila pengetahuan tersebut telah dilengkapi dengan
seperangkat teori tentang suatu objek yang dikaji. Jadi teori merupakan
tulang punggung suatu ilmu.
Ilmu pada dasarnya adalah kumpulan pengetahuan yang bersifat
menjelaskan berbagai gejala alam (dan sosial) yang memungkinkan
manusia melakukan serangkaian tindakan untuk menguasai gejala
tersebut berdasarkan penjelasan yang ada, sedangkan teori adalah
pengetahuan ilmiah yang mencakup penjelasan mengenai suatu faktor
tertentu dari sebuah disiplin keilmuan (Suriasumantri, 2000). Fungsi
teori dan ilmu pengetahuan adalah untuk menjelaskan, meramalkan dan
mengontrol. Umpamanya dalam ilmu Fisika dikenal teori gravitasi. Teori
ini menjelaskan mengapa setiap benda kalau dilemparkan ke atas pada
akhinya akan jatuh kembali ke bumi.Teori ini juga mampu menjelaskan
pergerakan planet‐planet di alam semesta raya. Hal ini disebabkan oleh
gaya gravitasi. Contoh lain dalam ilmu ekonomi dikenal misalnya teori
harga. Teori ini menjelaskan bagaimana proses terbentuknya harga
barang dan jasa di pasar dalam sistem ekonomi pasar, yaitu melalui
proses pertemuan kekuatan hukum permintaan(demand) dan hukum
penawaran (Supply). Melalui pemahaman tentang teori harga dan sistem
32
ekonomi pasar, pemerintah dapat memanfaatkan pengetahuan ini untuk
menjelaskan mengapa terjadi kenaikan harga barang, atau meramalkan
apakah akan terjadi kenaikan atau penurunan harga jenis barang
tertentu, atau pemerintah dapat membuat kebijakan/ tindakan untuk
mengendalikan /mengontrol harga barang.
Etika sebagai disiplin ilmu berhubungan dengan kajian secara
kritis tentang adat kebiasaan, nilai‐nilai dan norma‐norma perilaku
manusia yang dianggap baik atau tidak baik. Sebagai ilmu , Etika belum
semapan ilmu fisika atau ilmu ekonomi. Dalam etika masih dijumpai
banyak teori‐teori yang mencoba untuk menjelaskan suatu tindakan,
sifat atau objek perilaku yang sama dari sudut pandang, atau perspektif
yang berlainan. Sebagaimana dikatakan oleh Pescheke SVD (2003)
pelbagai teori etika muncul, antara lain karena adanya perbedaan
perspektif dan penafsiran tentang apa yang menjadi tujuan akhir hidup
umat manusia. Di samping itu sifat teori dalam ilmu Etika masih lebih
banyak untuk menjelaskan sesuatu, belum sampai pada tahap untuk
meramalkan, apalagi untuk mengontrol suatu tindakan, atau perilaku.
Banyaknya teori etika yang berkembang nampak cukup
membingungkan; padahal sifat teori yang semakin sederhana dan
semakin mengkerucut menuju ke suatu teori tunggal yang mampu
menjelaskan suatu gejala secara komprehensif, justru semakin
menunjukkan kemapanan disiplin ilmu yang bersangkutan. Untuk
memperoleh pemahaman tentang berbagai teori etika yang berkembang,
berikut ini diuraikan secara garis besar beberapa teori yang
berpengaruh.
1. Egoisme
Rachels (2004) memperkenalkan dua konsep yang berhubungan
dengan egoisme, yaitu : egoisme psikologis dan egoisme etis. Kedua
33
konsep ini nampak mirip karena keduanya menggunakan istilah egoisme,
namun sebenarnya keduanya mempunyai pengertian yang berbeda.
Egoisme psikologis adalah suatu teori yang menjelaskan bahwa
semua tindakan manusia dimotivasi oleh kepentingan berkutat diri
(selfish). Menurut teori ini, orang boleh saja yakin bahwa ada tindakan
mereka yang bersifat luhur, atau ada orang yang suka berkorban, namun
menurut teori ini semua tindakan yang terkesan luhur dan/atau
tindakan yang suka berkorban tersebut hanyalah ilusi. Pada
kenyataannya, setiap orang hanya peduli pada dirinya sendiri. Jadi
menurut paham teori ini, tidak ada tindakan yang sesungguhnya bersifat
altruisme. Altruisme adalah suatu tindakan yang peduli pada atau
mengutamakan kepentingan orang lain dengan mengorbankan
kepentingan dirinya. Para penganut paham ini misalnya meragukan
tindakan Ibu Theresia apakah bersifat altruisme. Bukankah tindakan ibu
Theresia sebenarnya dilandasi oleh keinginan masuk surga? Jadi
keinginan masuk surga ini juga sebenarnya merupakan tindakan
berkutat diri.
Rachels sendiri juga menjelaskan paham egoisme etis yang
sebenarnya pengertiannya sering dikacaukan dengan paham egoisme
psikologis. Egoisme etis adalah tindakan yang dilandasi oleh kepentingan
diri (self interest). Bila saya belajar sampai larut malam agar bisa lulus
ujian, atau saya bekerja keras agar memperoleh penghasilan yang lebih
besar, atau saya mandi agar badan saya bersih maka semua tindakan
saya ini dapat dikatakan dilandasi oleh kepentingan diri, namun tidak
dapat dianggap sebagai tindakan berkutat diri. Jadi yang membedakan
tindakan berkutat diri (egoisme psikologis) dengan tindakan untuk
kepentingan diri (egoisme etis) adalah pada akibatnya terhadap orang
lain.
34
Tindakan berkutat diri mengabaikan atau merugikan kepentingan orang
lain, sedangkan tindakan mementingkan diri tidak selalu merugikan
kepentingan orang lain. Membeli minyak tanah sebanyak satu liter untuk
keperluan masak adalah tindakan untuk kepentingan diri tetapi membeli
minyak tanah sebanyak satu tangki mobil dengan tujuan bisa dijual
kembali dengan keuntungan tinggi disebut tindakan berkutat diri karena
akibat tindakan ini sangat merugikan banyak ibu rumah tangga yang lain
karena ibu‐ibu rumah tangga lainnya sulit memperoleh minyak tanah,
atau kalaupun memperolehnya harus membayar dengan harga tinggi.
Dengan perbedaan pemahaman seperti di atas jelas bahwa paham
egoisme psikologis dilandasi oleh ketamakan sehingga tidak dapat
dikatakan tindakan tersebut bersifat etis. Namun marilah dibahas
apakah egoisme etis dapat dianggap sebagai teori etis? Sebelum
menjawab hal ini marilah dirangkum terlebih dahulu pokok‐pokok
pandangan egoisme etis ini (Rachels,2004).
a. Egoisme etis tidak mengatakan bahwa orang harus membela
kepentingannya sendiri maupun kepentingan orang lain.
b. Egoisme etis hanya berkeyakinan bahwa satu‐satunya tugas
adalah membela kepentingan diri
c. Namun egoisme etis juga tidak mengatakan bahwa anda harus
menghindari tindakan untuk menolong orang lain.
d. Bisa jadi kepentingan orang lain bertautan dengan kepentingan
diri sehingga dalam menolong orang lain sebenarnya juga dalam
rangka memenuhi kepentingan diri.
e. Inti dari paham egoisme etis adalah bahwa kalau ada tindakan
yang menguntungkan orang lain maka keuntungan bagi orang lain
ini bukanlah alasan yang membuat tindakan itu benar. Yang
membuat tindakan itu benar adalah kenyataan bahwa tindakan itu
menguntungkan diri sendiri.
35
Terhadap paham/ teori egoisme etis ini menimbulkan banyak
dukungan dan sekaligus juga kritikan
Alasan yang mendukung teori egoisme etis, antara lain:
a. Argumen bahwa altruisme menghancurkan diri sendiri.
Mempedulikan orang lain merupakan gangguan offensif bagi
kepentingan sendiri, cinta kasih kepada orang lain juga akan
merendahkan martabat dan kehormatan orang tersebut.
b. Pandangan tentang kepentingan diri paling sesuai dengan
moralitas akal sehat. Semua tindakan pada akhirnya dapat
dijelaskan dari prinsip fundamental kepentingan diri. Misalnya
kewajiban untuk tidak berbohong sebenarnya berangkat dari
kepentingan diri. Kalau kita sendiri sering berbohong kepada
orang lain maka orang lain juga akan berbohong kepada kita yang
pada gilirannya tentu berakibat merugikan diri sendiri.
Alasan yang menentang teori egoisme etis antara lain:
a. Egoisme etis tidak mampu memecahkan konflik‐konflik
kepentingan. Kita memerlukan aturan moral karena dalam
kenyataannya sering kali dijumpai kepentingan‐kepentingan yang
bertabrakan.
b. Egoisme etis bersifat sewenang‐wenang. Misalnya dalam suatu
keadaan dimana kepentinganku, atau agamaku, atau sukuku, atau
negaraku berbeda dengan kepentingannya, atau agamanya, atau
sukunya, atau negaranya, maka menurut paham ini tentu yang
diutamakan adalah kepentinganku, atau agamaku, atau sukuku,
atau negaraku. Bila hal ini terjadi apakah tindakan ini dapat
diterima? Egoisme etis dapat dijadikan sebagai pembenaran akan
timbulnya rasisme seperti yang pernah terjadi dengan Nazi Hitler,
atau politik apartheid, yang pernah terjadi di Afrika Selatan.
36
Munculnya paham egoisme etis memberikan landasan yang sangat
kuat bagi munculnya paham ekonomi kapitalis dalam ilmu ekonomi.
Paham ekonomi kapitalis ini dipelopori oleh Adam Smith. Adam Smith
berpandangan bahwa kekayaan suatu Negara akan tumbuh maksimal
bila setiap individu ( warganya, rakyatnya) diberi kebebasan untuk
mengejar kepentingan (kekayaan) nya sendiri masing‐masing. Pada
awalnya paham ini hanya dianut oleh Negara‐negara Barat, namun kini
hampir semua Negara di dunia telah dipengaruhi oleh sistem ekonomi
kapitalis ini.
2. Utilitarianisme
Utilitarianisme sebagai teori etika dipelopori oleh David Hume
(1711‐1776), kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Jeremy
Bentham (1748‐1832) dan Jonh Stuart Mill(1806‐1873) (Rachels,2004).
Bentham sebagai pendukung utama paham ini mengatakan bahwa
moralitas tidak lain adalah suatu upaya untuk sedapat mungkin
memperoleh kebahagiaan di dunia ini. Ia menolak paham bahwa
moralitas berhubungan dengan tindakan menyenangkan hati Allah, atau
bukan soal kesetiaan pada aturan‐aturan abstrak. Ia mengatakan bahwa
setiap kali kita dihadapkan pada pilihan‐pilihan di antara alternatif yang
ada, kita harus mengambil satu pilihan yang mempunyai konsekuensi
yang secara menyeluruh paling baik bagi setiap orang yang terlibat di
dalamnya(Rachels, 2004).
Utilitarianisme berasal dari kata Latin utilis, kemudian menjadi
kata Inggris utility yang berarti “bermanfaat” (Bertens, 2000). Menurut
teori ini suatu tindakan dapat dikatakan baik jika membawa manfaat
bagi sebanyak mungkin anggota masyarakat, atau dengan istilah yang
sangat terkenal: “the greatest happiness of the greatest numbers”. Jadi
37
ukuran baik tidaknya suatu tindakan dilihat dari akibat, konsekuensi,
atau tujuan dari tindakan itu, yaitu apakah memberi manfaat atau tidak.
Itulah sebabnya paham ini juga disebut paham teleologis (asal kata
Yunani telos yang berarti tujuan)(Bertens,2000).
Beda paham utilitarianisme dengan paham egoisme etis terletak
pada siapa yang memperoleh manfaat. Egoisme etis melihat dari sudut
pandang kepentingan individu, sedangkan paham utilitarianisme melihat
dari sudut kepentingan banyak orang (kepentingan bersama,
kepentingan masyarakat).
Dari uraian di atas maka paham utilitarianisme dapat diringkas
sebagai berikut: (1) tindakan harus dinilai benar atau salah hanya dari
konsekuensinya (akibat, tujuan, atau hasilnya), (2) dalam mengukur
akibatnya, satu‐satunya yang penting hanyalah jumlah kebahagiaan atau
jumlah ketidak bahagiaan, (3) kesejahteraan setiap orang sama
pentingnya.
Teori ini mendapat dukungan luas karena mengkaitkan moralitas
dengan kepentingan orang banyak dan kelestarian alam.Teori ini juga
memperoleh pijakannya dalam ilmu ekonomi dan manajemen dengan
diperkenalkannya konsep cost and benefit dan paham stakeholders.
Uraian terhadap paham cost and benefit dan paham stakeholders ini akan
diberikan pada pembahasan bab berikutnya. Walaupun paham ini
mendapat dukungan luas namun tidak urung juga memperoleh kritikan
tajam. Beberapa kritik yang dilontarkan terhadap paham ini antara lain:
(1) sebagaimana paham egoisme, paham ini juga hanya menekankan
tujuan manfaat/kebahagiaan duniawi dan mengabaikan aspek
rohani(spiritual), (2) mengorbankan prinsip keadilan dan hak individu,
hak minoritas demi keuntungan sebagian besar(mayoritas) orang.
Contoh kasus dalam pembebasan tanah untuk pembangunan jalan tol.
Demi alasan untuk kepentingan sebagian besar masyarakat, pemerintah
38
atau pengelola jalan tol dapat saja memberikan ganti rugi paksa( dengan
harga di bawah harga pasar) kepada para pemilik tanah yang terkena
jalur jalan tol tersebut. Demi kepentingan yang lebih besar, terkadang
sering demi alasan untuk kepentingan nasional, pemerintah dibenarkan
untuk melanggar rasa keadilan atau mengorbankan hak individu pemilik
tanah yang tanahnya digusur untuk pembangunan jalan tol tersebut.
Contoh serupa, misalnya demi kepentingan keamanan nasional,
pemerintah dibenarkan melakukan penembakan misterius terhadap
para penjahat tanpa memberikan kesempatan kepada para penjahat
tersebut membela diri melalui proses peradilan yang transparan dan
adil. Akan banyak kasus yang serupa yang dapat dijadikan alasan
pembenaran bagi pejabat/ otoritas untuk melakukan tindakan tidak adil
atau tindakan melanggar hak individu/minoritas asal sebagian
besar(majoritas) orang memperolah manfaat.
3. Deontologi
Istilah deontolgi berasal dari kata Yunani deon yang berarti
kewajiban(Bertens, 2000). Paham ini dipelopori oleh Immanuel
Kant(1724‐1804) dan kembali mendapat dukungan dari filosof abad ke‐
20, Anscombe dan suaminya Peter Geach(Rachels,2004).
Paradigma teori deontolgi sangat berbeda dengan paham egoisme
dan utilitarianisme yang sudah dibahas. Kedua teori yang disebut
belakangan ini, yaitu teori egoisme dan utilitarianisme sama‐sama
menilai baik buruknya suatu tindakan dari akibat, konsekuensi, atau
tujuan dari tindakan tersebut. Bila akibat dari suatu tindakan
memberikan manfaat entah untuk seseorang secara individu(egoisme),
atau untuk sebanyak‐banyaknya kelompok masyarakat (utilitarianisme)
maka tindakan itu dikatakan etis. Sebaliknya jika akibat suatu tindakan
merugikan individu atau sebagian besar kelompok masyarakat maka
39
tindakan tersebut dikatakan tidak etis. Teori yang menilai suatu
tindakan berdasarkan hasil, konsekuensi atau tujuan dari tindakan
tersebut sering juga disebut teori teleologi.
Sangat berbeda dengan paham teleologist yang menilai etis
tidaknya suatu tindakan berdasarkan hasil, tujuan, atau konsekuensi
dari tindakan tersebut, paham deontologist justru mengatakan bahwa
etis tidaknya suatu tindakan tidak ada kaitannya sama sekali dengan
tujuan,atau konsekuensi atau akibat dari tindakan tersebut. Konsekuensi
suatu tindakan tidak boleh menjadi pertimbangan untuk menilai etis
tidaknya suatu tindakan. Perbuatan tidak pernah menjadi baik karena
hasilnya baik. Hasil baik tidak pernah membenarkan suatu tindakan
melainkan hanya karena kita wajib melaksanakan tindakan tersebut
demi kewajiban itu sendiri. Contoh kisah terkenal Robinhood yang
merampok kekayaan orang‐orang kaya dan hasilnya dibagikan kepada
rakyat miskin. Tujuan tindakan Robinhood sangat mulia, yaitu
membantu orang miskin. Namun alasan membantu orang miskin ini
tidak serta merta membenarkan tindakan merampok tersebut.
Untuk memahami lebih lanjut tentang paham deontologi ini,
sebaiknya dipahami terlebih dahulu dua konsep penting yang
dikemukakan oleh Kant, yaitu: konsep imperative hipotetis dan
imperative kategoris. Imperatif hipotetis adalah perintah‐perintah
(ought) yang bersifat khusus yang harus diikuti jika seseorang
mempunyai keinginan yang relevan. Perhatikan misalnya contoh‐contoh
berikut ini:
a. Kalau anda ingin menjadi sarjana akuntansi maka anda harus
(ought) memasuki Fakultas Ekonomi –Jurusan Akuntansi
b. Kalau anda ingin menjadi pemain bola yang berhasil, maka anda
harus rajin latihan sepak bola.
c. Kalau anda ingin berhasil dalam studi anda harus rajin belajar
40
d. Dan seterusnya.
Dari beberapa contoh di atas jelas sekali bahwa kekuatan yang mengikat
dari kata harus, atau wajib tergantung pada keinginan yang relevan.
Kalau anda tidak menginginkan sesuatu hasil dari suatu tindakan maka
anda tidak wajib atau tidak harus melaksanakan tindakan tersebut.
Tindakan yang dilandasi oleh perintah‐perintah yang bersifat hipotetis
ini banyak sekali dijumpai dalam kehidupan sehari‐hari, namun
tindakan‐tindakan ini tidak serta merta dapat diartikan sebagai
keharusan moral.
Imperatif kategoris adalah kewajiban moral yang mewajibkan kita
begitu saja tanpa syarat apapun. Dalam hal ini kewajiban moral bersifat
mutlak tanpa ada pengecualian apapun, tanpa dikaitkan dengan
keinginan atau tujuan apapun. Bertens (2004) menyebutnya sebagai:Du
sollst(Engkau harus begitu saja).Peschke SVD sendiri(2003)
merumuskan etika Kant :”Bertindaklah sedemikian rupa sehingga
prinsip kehendakmu sekaligus dapat menjadi prinsip pemberian hukum
umum.” Ini berarti bahwa pedoman yang mengatur perilaku moral
manusia harus dapat menjadi hukum universal dan bahwa manusia
hendaknya berperilaku sebagaimana ia menginginkan orang lain juga
berperilaku yang sama.
Kant berpandangan bahwa kewajiban moral harus dilaksanakan
demi kewajiban itu sendiri; bukan karena keinginan untuk memperoleh
tujuan kebahagiaan, atau bukan juga karena kewajiban moral itu
diperintahkan oleh Tuhan (Allah). Moralitas hendaknya bersifat otonom,
dan harus berpusat pada pengertian manusia berdasarkan akal sehat
yang dimiliki manusia itu sendiri. Dengan kata lain kewajiban moralitas
mutlak itu bersifat rasional. Sebagai salah satu contoh, tindakan jujur
dapat dikategorikan sebagai kewajiban moral yang bersifat universal
kapanpun dan di manapun. Alasan rasionalnya dapat diberikan sebagai
41
berikut. Dengan berbagai keterbatasan (fisik) manusia maka untuk dapat
hidup aman manusia memerlukan kerjasama dan hubungan dengan
manusia lain. Itulah sebabnya sejak zaman dahulu, manusia selalu ingin
hidup berkelompok; oleh karena itu manusia disebut mahluk sosial.
Dalam hidup bermasyarakat diperlukan landasan kepercayaan satu
dengan lainnya dan untuk menanamkan kepercayaan tersebut
diperlukan kejujuran dari semua anggota kelompok. Bila satu anggota
kelompok bertindak tidak jujur maka jangan diharapkan anggota
kelompok lainnya akan bertindak jujur, dan bila tidak ada kejujuran
sesama anggota kelompok jangan harap ada kepercayaan di antara
anggota kelompok tersebut dan bila tidak ada kepercayaan maka
kelompok masyarakat tidak akan dapat terbentuk. Dengan landasan
pemikiran yang rasional seperti ini maka setiap manusia, kalau ingin
hidup dalam satu kelompok, menyadari dan mengakui pentingnya
tindakan jujur tersebut. Itulah sebabnya tindakan jujur dapat
dimasukkan sebagai kewajiban moral bersifat universal.
Dengan dasar pemikiran yang sama dapat dijelaskan bahwa
beberapa tindakan seperti: membunuh, mencuri, dan beberapa jenis
tindakan lainnya dapat dikategorikan sebagai imperative katagoris, atau
keharusan/kewajiban moral yang bersifat universal dan mutlak.
Walaupun teori ini tidak lagi mengkaitkan kriteria kebaikan moral
dengan tujuan dari tindakan sebagaimana teori egoisme dan
utilitarianisme, namun tak urung teori ini juga mendapat kritikan tajam
terutama dari kaum agamawan. Kant mencoba membangun teorinya
hanya berlandaskan pemikiran rasional, berangkat dari asumsi bahwa
karena manusia bermartabat maka setiap perlakuan manusia terhadap
manusia lainnya harus dilandasi oleh kewajiban moral universal, tidak
ada tujuan lain selain mematuhi kewajiban moral demi kewajiban itu
sendiri. Sama dengan sebagian besar filosof lainnya ia tidak mencoba
42
memahami ada tujuan tertinggi yang ingin dicapai oleh umat manusia
sebagaimana diyakini oleh kaum agamawan, yaitu kebahagiaan rohani,
kebahagiaan di luar yang berkaitan dengan hal‐hal yang bersifat duniawi
yang diperoleh bila mengikuti aturan‐aturan moral yang bersumber dari
Tuhan, Allah, kekuatan tak terbatas atau apapun namanya yang
melukiskan ada kekuatan tak terbatas di luar kemampuan dan pikiran
manusia yang mengatur seluruh alam semesta beserta isinya.
4. Teori Hak
Immanuel Kant sebenarnya mengajukan dua pemikiran pokok. Di
samping teori deontologi dengan imperative kategori nya, ia juga
sebenarnya mengemukakan apa yang kemudian dikenal dengan teori
hak (right theory). Menurut teori hak ini, tindakan atau perbuatan
dianggap baik bila perbuatan atau tindakan tersebut sesuai dengan hak
asasi manusia (HAM). Namun sebagaimana dikatakan oleh
Bertens(2000) teori hak merupakan suatu aspek dari teori deontologi
(teori kewajiban), karena hak tidak dapat dipisahkan dengan kewajiban
bagaikan satu keping mata uang logam yang sama dengan dua sisi. Bila
suatu tindakan merupakan kewajiban seseorang maka sebenarnya
tindakan yang sama merupakan hak orang lain. Teori hak sebenarnya
didasarkan atas asumsi bahwa manusia mempunyai martabat dan
semua manusia mempunyai martabat yang sama.
HAM didasarkan atas beberapa sumber otoritas (Weiss,2006): hak
hukum (legal right), hak moral atau kemanusiaan(moral, human right)
dan hak kontraktual (contractual right). Hak legal adalah hak yang
didasarkan atas sistem/jurisdiksi hukum suatu Negara dan sumber
hukum tertinggi suatu Negara adalah Undang Undang Dasar Negara yang
bersangkutan. Hak legal warga Negara Amerika Serikat bersumber dari:
the Constitution and Declaration of Independence dalam bentuk: hak
43
untuk hidup, hak kebebasan, hak untuk memeperoleh kebahagiaan, dan
hak kebebasan berbicara. Hak moral dihubungkan dengan pribadi
manusia secara individu atau dalam beberapa kasus dengan kelompok
bukan dengan masyarakat dalam arti luas. Hak moral berkaitan dengan
kepentingan individu sepanjang kepentingan individu itu tidak
melanggar hak‐hak orang lain. Hak kontraktual mengikat individu‐
individu yang membuat kesepakatan/kontrak bersama dalam wujud hak
dan kewajiban masing‐masing pihak.
Teori hak atau yang sekarang lebih banyak dikenal dengan prinsip‐
prinsip HAM mulai banyak mendapat dukungan masyarakat dunia
termasuk dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Piagam PBB sendiri
merupakan salah satu sumber hukum penting untuk penegakan HAM.
Dalam piagam PBB disebutkan mengenai ketentuan umum tentang hak
dan kemerdekaan setiap orang. PBB bahkan telah mendeklarasikan
prinsip‐prinsip HAM universal pada tahun 1948, yang dikenal dengan
nama:Universal Declaration of Human Right (UDOHR). Diharapkan semua
Negara di dunia dapat menggunakan UDOHR ini sebagai dasar bagi
penegakan HAM dan pembuatan bernagai Undang Undang/Peraturan
yang berkaitan dengan penegakan HAM. Pada intinya dalam UDOHR ini
diatur antara lain hak‐hak kemanusiaan mengenai: kehidupan,
kebebasan dan keamanan, kebebasan dari penahanan, penangkapan dan
pengasingan sewenang‐wenang, hak memperoleh peradilan umum yang
bebas, independen, dan tidak memihak, kebebasan dalam mengeluarkan
pendapat, menganut agama, dan menentukan sesuatu yang baik atau
buruk menurut nuraninya, serta kebebasan untuk berkelompok secara
damai.Termasuk juga hak untuk kesejahteraan dan keamanan sosial, hak
untuk bekerja, hak untuk memperoleh pendidikan, dan hak untuk
berpartisipasi dalam kelompok seni dan kelompok ilmu pengetahuan
(Bazar Harahap & Nawangsih Sutardi,2007).
44
Indonesia sendiri juga telah mempunyai Undang Undang tentang
hak Asasi Manusia yang diatur dalam UU No.39 tahun 1999. Hak‐hak
warga Negara yang diatur dalam UU ini (Bazar Harahap & Nawangsih
Sutardi,2007), antara lain:
a. Hak untuk hidup
b. Hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan
c. Hak untuk memperoleh keadilan
d. Hak untuk kebebasan pribadi
e. Hak atas rasa aman
f. Hak atas kesejahteraan
g. Hak untuk turut serta dalam pemerintahan
h. Hak wanita
i. Hak anak
Saat ini bukan hanya pemerintah negara‐negara di dunia (melalui
piagam PBB) saja yang menaruh perhatian pada isu HAM, perusahaan‐
perusahaan multi nasional yang operasinya melintasi batas‐batas suatu
Negara, juga mulai menaruh perhatian pada isu HAM ini. Beberapa
prinsip HAM yang dijadikan acuan bagi pengelolaan perusahaan multi
nasional(PMN), antara lain (Weiss, 2006) sebagai berikut:
a. PMN harus menghormati hak semua orang untuk kehidupan,
kebebasan, keamanan dan privasi.
b. PMN harus menghormati hak semua orang atas persamaan
perlindungan hukum,atas pekerjaan, atas pilihan jenis pekerjaan,
atas kondisi kerja yang sehat dan nyaman dan perlindungan
untuk memberantas pengangguran dan diskriminasi.
c. PMN harus menghormati kebebasan semua orang atas pemikiran,
ilmu pengetahuan, agama, ekspresi dan pendapat, komunikasi,
asosiasi dan organisasi damai, dan pergerakan di setiap Negara
45
d. PMN harus mendukung suatu standar hidup untuk menunjang
kesehatan dan kesejahteraan pekerja dan keluarganya.
e. PMN harus memberikan perhatian khusus dan bantuan bagi ibu
dan anak.
Pada level perusahaan teori HAM ini banyak dirujuk untuk menilai
tindakan manajemen terhadap karyawannya apakah karyawannya telah
diperlakukan secara manusiawi sesuai dengan prinsip‐prinsip HAM yang
berlaku universal. Pada level pemerintahan dan kerjasama antar Negara,
PBB, para pemerhati HAM, organisasi‐organisasi kemanusiaan seperti
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) berfungsi sebagai penjaga HAM
(watch dog) bagi tindakan suatu pemerintah terhadap warga negara di
semua Negara‐negara di dunia, apakah berbagai kebijakan dan tindakan
pemerintahnya telah sesuai dengan prinsip‐prinsip HAM tersebut.
5. Teori Keutamaan (Virtue Theory)
Teori keutamaan sebenarnya telah lahir sejak zaman dahulu
didasarkan atas pemikiran Aristoteles(384‐322 SM) yang sempat
tenggelam, namun sekarang ini kembali mendapat momentumnya.
Berbeda dengan teori teleology dan deontologi yang keduanya sama‐
sama menyoroti moralitas berangkat dari suatu tindakan, teori
keutamaan berangkat dari manusianya (Bertens,2000). Teori keutamaan
tidak menanyakan: tindakan mana yang etis dan tindakan mana yang
tidak etis? Bila ini ditanyakan pada penganut paham egoisme maka
jawabannya adalah: Tindakan disebut etis bila mampu memenuhi
kepentingan individu (selfinterest) dan tindakan disebut tidak etis bila
tidak mampu memenuhi kepentingan individu yang bersangkutan. Bila
ini ditanyakan kepada para penganut paham utilitarianisme maka
tindakan disebut etis bila mampu memberikan manfaat/kegunaan
sebanyak‐banyaknya bagi sebanyak mungkin anggota masyarakat,dan
46
tindakan disebut tidak etis bila akibatnya lebih banyak merugikan
sebagian besar anggota masyarakat.
Tidak seperti kedua paham teori di atas, dasar pemikiran teori
keutamaan sangat berbeda. Teori ini tidak lagi mempertanyakan
tindakan tetapi berangkat dari pertanyaan: Sifat‐sifat atau karakter yang
bagaimana yang harus dimiliki oleh seseorang agar bisa disebut sebagai
manusia utama, dan sifat‐sifat atau karakter yang bagaimana yang
mencerminkan manusia hina. Dengan demikian karakter/sifat utama
dapat didefinisikan sebagai disposisi sifat/watak yang telah melekat
pada/atau telah dimiliki oleh seseorang dan memungkinkan dia untuk
selalu bertingkah laku baik secara moral. Mereka yang selalu melakukan
tingkah laku buruk secara moral disebut manusia hina. Bertens (2000)
memberikan beberapa contoh sifat‐siat keutamaan, antara lain:
kebijaksanaan, keadilan, dan kerendahan hati, sedangkan untuk pelaku
bisnis antara lain:kejujuran, kewajaran(fairness), kepercayaan dan
keuletan.
Dalam ilmu psikologi, karakter merupakan disposisi sifat/watak
seseorang. Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya, karakter
seseorang ditentukan oleh kebiasaannya, kebiasaannya dibentuk dari
tindakannya yang berulang‐ulang dan tindakannya yang berulang‐ulang
ditentukan oleh‐ tujuan/makna hidupnya dan makna hidupnya
ditentukan oleh pola/paradigma berpikirnya. Berdasarkan asumsi ini
maka sebenarnya teori keutamaan bukan merupakan teori yang berdiri
sendiri terpisah dari teori etika tindakan (deontologi, telelologi), karena
sifat keutamaan bersumber dari tindakan berulang‐ulang. Hubungan
antar berbagai teori ini akan dijelaskan pada pembahasan berikutnya.
47
6. Teori Etika Teonom
Sampai di sini telah dibahas beberapa teori etika yang
berpengaruh, mulai dari etika egoisme, dan utilitarianisme (keduanya
sering disebut teori teleology, konsekuensi, atau tujuan), deontologi dan
teori hak (teori kewajiban dan hak) dan teori keutamaan (teori karakter,
virtue theory). Walaupun teori‐teori ini nampak berbeda karena sudat
pandang yang berbeda, namun kesemuanya mempunyai kesamaan, yaitu
bahwa (1) moralitas hanya dikaji berdasarkan proses penalaran (akal )
manusia tanpa ada yang mengakui, atau mengkaitkannya dengan
kekuatan tak terbatas (Tuhan), (2) oleh karenanya kriteria baik
buruknya perilaku manusia hanya dikaitkan dengan tujuan
kebahagiaan/kenikmatan yang bersifat duniawi. Termasuk etika Kant
yang walaupun Kant mencoba mengungkapkan bahwa ada kewajiban
moral yang bersifat mutlak, namun ia mengatakan bahwa manusia harus
mengikuti kewajiban moral mutlak tersebut demi kewajiban itu sendiri,
bukan karena adanya tujuan, apalagi dikaitkan dengan hal‐hal yang
bersifat ilahi.
Peschke SVD (2003) mengkritik berbagai paham/aliran teori etika,
yang telah ada terutama yang telah diungkapkan oleh para pemikir/
etikawan Barat seperti diungkapkan di atas. Keterbatasan dari teori‐
teori yang ada adalah: (1) mereka tidak mengakui adanya kekuatan tak
terbatas (Tuhan) yang ada dibelakang semua hakikat keberadaan alam
semesta ini dan oleh karena itu, (2) mereka keliru menafsirkan tujuan
hidup manusia hanya untuk memperoleh kebahagiaan/kenikmatan yang
bersifat duniawi saja.
Sebagaimana diakui oleh semua penganut agama di dunia bahwa
ada tujuan akhir, tujuan tertinggi umat manusia selain yang bersifat
duniawi, yaitu untuk memperoleh kebahagiaan sorgawi, kebahagiaan
yang bersifat rohaniah melampaui semua hal yang bersifat duniawi.Teori
48
etika teonom yang dilandasi oleh filsafat Kristen (sebenarnya semua
agama mempunyai filsafat etika yang serupa) mengatakan bahwa
karakter moral manusia ditentukan secara hakiki oleh hubungannya
dengan kehendak Allah. Perilaku manusia dianggap baik secara moral
jika sepadan dengan kehendak Allah, perilaku dianggap tidak baik bila
tidak mengikuti aturan‐aturan/perintah Allah sebagaimana telah
dituangkan dalam kitab suci.
Ada tiga persamaan fundamental filsafat etika semua agama:
a. Semua agama mengakui ada tujuan tertinggi umat manusia
selain tujuan hidup di dunia. Hindu menyebutnya moksha,
Budha menyebutnya Nirwana, Islam menyebutnya dunia
akhirat dan Kristen menyebutnya surga. Apapun sebutannya,
berarti semua mengakui adanya eksistensi non duniawi yang
menjadi tujuan akhir umat manusia.
b. Semua agama mengakui adanya Tuhan, Allah, atau apapun
sebutannya, semua agama mengakui adanya kekuatan tak
terbatas yang mengatur alam jagat raya ini.
c. Etika bukan saja diperlukan untuk mengatur perilaku hidup
manusia di dunia, tetapi juga dan ini yang lebih penting adalah
sebagai salah satu syarat mutlak untuk mencapai tujuan akhir,
tujuan tertinggi umat manusia.
d. Semua agama mempunyai ajaran moral (etika) yang
bersumber dari kitab suci masing‐masing. Ada prinsip‐prinsip
etika yang bersifat universal, bersifat mutlak yang dijumpai di
semua agama, walaupun ada juga yang bersifat spesifik, yang
berbeda, yang hanya ada pada agama tertentu saja.
Setiap etika yang memperkenalkan konsep kewajiban tak bersyarat
diperlukan untuk mencapai tujuan tertinggi yang bersifat mutlak.
Kelemahan etika Kant adalah walaupun ia memperkenalkan etika
49
kewajiban mutlak, tetapi ia mengabaikan adanya tujuan mutlak, tujuan
tertinggi yang harus dicapai umat manusia. Bila pemikiran etika hanya
dikaitkan dengan tujuan manusia yang berorientasi duniawi yang
bersifat terbatas maka akan nampak bahwa ajaran moral/etika tersebut
akan selalu bersifat relatif. Ini logis karena hukum duniawi selalu
didasarkan atas dua sisi/kekuatan ekstrem yang berlawanan: ada
kekuatan positif dan negatif, kekuatan yin dan yang,gelap dan terang,
baik dan jahat, hitam dan putih, indah dan jelek dan sebagainya. Semua
kehidupan duniawi dipengaruhi oleh dua kekuatan ini. Hanya bila
moralitas dikaitkan dengan tujuan tertinggi umat manusia maka
moralitas itu bersifat mutlak. Apapun yang bersifat mutlak tidak dapat
diperdebatkan dengan pendekatan rasional karena semua yang bersifat
mutlak melampaui tingkat kecerdasan rasional yang dimiliki oleh
manusia.
Terlepas apakah manusia mengakui atau tidak mengakui Tuhan,
semua manusia telah diberikan oleh Tuhan potensi kecerdasan tak
terbatas (kecerdasan hati nurani, intuisi, kecerdasan spiritual, atau
apapun sebutan lainnya) yang melampui kecerdasan rasional. Tujuan
tertinggi umat manusia hanya dapat dicapai bila telah memanfaatkan
potensi kecerdasan tak terbatas ini.
3.2 Etika Abad KeDua puluh
Untuk memperkaya pemahaman tentang berbagai teori etika dan
pemikiran moral yang berkembang, di samping beberapa paham/teori
etika sebagaimana telah diuraikan di depan, maka di bawah ini juga
disampaikan esensi dari beberapa pemikiran moral yang berpengaruh
yang muncul pada abad ke‐20. Ringkasan ini diambil dari buku Etika
abad kedua puluh karangan Fransz Magnis‐Suseno (2006).
50
1. Pemikiran George Edward Moore tentang Arti Kata Baik
Kata baik adalah kunci dari moralitas, namun Moore merasa heran
tidak satupun etikawan yang berbicara tentang kata baik tersebut.
Seakan‐akan hal itu sudah jelas dengan sendirinya. Menurut Moore di
sinilah letak permasalahannya sehingga terdapat kekacauan dalam
menafsirkan kata baik tersebut. Ada banyak penafsiran tentang apa
yang dianggap baik. Sebagaimana telah diuraikan di depan, ada yang
menafsirkan kata baik sebagai nikmat (kaum hedonis), memenuhi
keinginan individu (etika egoisme, etika psikologis), memenuhi
kepentingan orang banyak(etika utilitarianisme), memenuhi kehendak
Allah (etika teonom), bahkan ada yang mengatakan kata baik tidak
mempunyai arti. Ini tidak mengherankan karena menurut Moore untuk
menghindari kekacauan definisi ini seharusnya dimulai dengan
pertanyaan paling mendasar: apakah kata baik dapat didefinisikan atau
tidak? Anggapan inti Moore sangat sederhana bahwa kata baik tidak
dapat didefinisikan, sama seperti misalnya kata kuning yang tidak
pernah bisa didefinisikan lagi. Walaupun kita telah mengumpulkan
berbagai fakta, benda atau sesuatu yang berwarna kuning, fakta ini
sendiri tetap tidak dapat dipakai untuk menyimpulkan apa definisi
kuning itu sendiri. Alasannya karena kedua istilah itu, seperti banyak
istilah‐istilah lainnya mempunyai sifat primer, suatu kata yang tidak lagi
terdiri dari bagian‐bagian dan oleh karena itu juga tidak dapat dianalisa,
dan apa yang tidak dapat dianalisa juga tidak dapat didefinisikan.
Berdasarkan penjelasan ini maka menurut Moore, kata baik tidak dapat
didefinisikan. Baik adalah baik, titik. Setiap usaha untuk
mendefinisikannya akan selalu menimbulkan kerancuan.
51
2. Tatanan Nilai Max Scheler
Pengertian tatanan nilai Max Sheller ini telah diungkapkan pada
bab 2. Scheler sebenarnya membantah anggapan Immanuel Kant dengan
teori imperative category nya yang mengatakan bahwa hakikat moralitas
terdiri atas kehendak untuk memenuhi kewajiban demi kewajiban itu
sendiri. Kewajiban bukanlah unsur primer, melainkan mengikuti apa
yang bernilai. Manusia wajib memenuhi sesuatu demi untuk mencapai
sesuatu yang baik dan yang baik itu adalah nilai. Maka bukanlah asal
memenuhi kewajiban, melainkan tujuan merealisasi nilai‐nilai itulah inti
dari tindakan moral.
Nilai‐nilai itu bersifat material dan apriori. Material di sini bukan
dalam arti:ada kaitan dengan materi, tetapi sebagai lawan dari kata
formal (kedua istilah ini:material dan formal sering dipakai dalam
konteks ilmu hukum). Bersifat apriori artinya kebernilaian nilai tersebut
mendahului segala pengalaman. Untuk mengetahui apakah makanan
tertentu enak, atau tidak, memang harus dicoba dan diperoleh melalui
pengalaman: memakan langsung makanan tersebut, tetapi bahwa yang
enak, merupakan sesuatu yang positip, sebuah nilai diketahui lebih
dahulu tanpa dicoba.
Menurut Scheler, ada empat gugus nilai yang mandiri dan berbeda
satu dengan yang lain (1) nilai‐nilai sekitar enak dan tidak enak, (2)
nilai‐nilai vital, (3) nilai‐nilai rohani murni, dan (4) nilai‐nilai sekitar roh
kudus.
3. Etika Situasi Joseph Fletcher
Joseph Fletcher termasuk tokoh yang menentang adanya prinsip‐
prinsip etika yang bersifat mutlak. Ia berpendapat bahwa setiap
kewajiban moral selalu tergantung kepada situasi konkret. Sesuatu yang
dalam situasi yang sama baik dan tepat, dalam situasi lain bisa jelek dan
52
salah. Norma‐norma umum tidak pernah berlaku begitu saja karena
norma‐norma itu hanya mengikat apabila juga tuntutan situasi konkret
diperhatikan. Tanpa perhatian pada tuntutan situasi tidak dapat
diketahui apa yang wajib dilakukan. Itulah sebabnya moralitas hanya
dapat dipahami dalam situasi konkret dan situasi konkret tidak selalu
sama, karena itu etika Fletcher sering disebut etika situasi.
4. Pandangan Penuh Kasih Iris Murdoch
Iris Murdock mengamati bahwa etika paska Kant yang
memusatkan perhatiannya kepada kehendak bebas tidak mengenai
sasaran. Yang khas dari etika paska Kant menurut Murdock adalah
bahwa nilai‐nilai moral dibuang dari dunia nyata. Bukan kemampuan
otonom yang menciptakan nilai melainkan kemampuan untuk melihat
dengan penuh kasih dan adil. Hanya pandangan yang adil dan penuh
kasih menghasilkan pengertian yang betul‐ betul benar.
5. Pengelolaan Kelakuan Byrrhus Frederic Skinner
Skinner mulai dengan pengamatan bahwa dalam ilmu fisika dan
hayat manusia telah mencapai kemajuan luar biasa dalam dua ribu tahun
terakhir ini, tetapi anehnya untuk menemukan bagaimana manusia
harus bertindak, etika sekarang tidak maju jauh terhadap apa yang telah
dikemukakan oleh Plato dan Aristoteles dulu. Ia mengatakan bahwa
pendekatan filsafat tradisional dan ilmu manusia tidak memadai. Yang
diperlukan bukanlah ilmu etika tetapi sebuah teknologi kelakuan. Ia
mengacu kepada ilmu kelakuan sederhana yang dikembangkan oleh
Pavlov. Idea dasar Skinner adalah menemukan teknologi/cara
bagaimana mengubah perilaku. Apabila kita dapat merekayasa kondisi‐
kondisi kehidupan seseorang maka kita dapat merekayasa kelakuannya.
53
Mengapa pengaruh lingkungan pada kelakuan manusia tidak
diperhatikan? Menurut Skinner karena filsafat dan ilmu‐ilmu manusia
lainnya hanya memfokuskan perhatiannya pada inner state, pada
keadaan batin manusia. Yang dimaksud dengan keadaan batin di sini
adalah kesadaran manusia, pikiran, kehendak, perasaan, maksud, cita‐
cita, sasaran dan tujuan‐tujuannya dan kehendak bebas dari dalam diri
manusia itu sendiri. Intinya inner state saja tidak mampu untuk
mengubah tingkah laku, perlu ada rekayasa kondisi (luar) untuk
mengubah kelakuan manusia.
6. Prinsip Tanggungjawab Hans Jonas
Jonas mengamati bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi walaupun membawa kemajuan tetapi juga mengancam
kelanjutan umat manusia, bahkan pula kelanjutan kehidupan di bumi ini.
Etika tradisional hanya memperhatikan akibat tindakan manusia dalam
lingkungan dekat dan sesaat. Etika macam ini tidak lagi dapat
menghadapi ancaman global kehidupan manusia dan semua kehidupan
di duni ini. Oleh karena itu Jonas menekankan pentingnya dirancang
etika baru yang berfokus pada tanggung jawab.Intinya adalah kewajiban
manusia untuk bertanggungjawab atas keutuhan kondisi‐kondisi
kehidupan umat manusia di masa depan.
7. Kegagalan Etika Pencerahan Alasdair Macintyre
Macintyre mengatakan bahwa etika proyek pencerahan telah gagal
karena pencerahan atas nama rasionalitas, justru telah membuang apa
yang menjadi dasar rasionalitas setiap ajaran moral, yaitu pandangan
teleologis tentang manusia. Apa yang dimaksud oleh Macintyre adalah
pandangan dari Aristoteles sampai dengan pandangan Thomas Aquinas
bahwa manusia sebenarnya mempunyai tujuan hakiki (telos) dan bahwa
54
manusia hidup untuk mencapai tujuan itu.Moralitas lantas mudah
dipahami sebagai jalan ke tujuan hakiki tersebut. Dengan membuang
tujuan hakiki umat manusia ini dalam etika maka lantas etika menjadi
tidak rasional lagi (irasional). Oleh karena itu Macintyre menganjurkan
agar etika kembali pada paham teleologis tentang manusia.
55