Anda di halaman 1dari 24

MODUL 3 

  TEORI TENTANG ETIKA DAN 
PERKEMBANGANNYA 
 

3.1   Beberapa Teori Etika 
Sebelum membahas berbagai teori etika yang ada, terlebih dahulu 
perlu dipahami apa yang dimaksud dengan teori dan apa hubungan teori 
dengan  ilmu.  Suatu  pengetahuan  tentang  objek  baru  bisa  dianggap 
sebagai disiplin ilmu bila pengetahuan tersebut telah dilengkapi dengan 
seperangkat teori tentang suatu objek yang dikaji. Jadi teori merupakan 
tulang punggung suatu ilmu.  
Ilmu  pada  dasarnya  adalah  kumpulan  pengetahuan  yang  bersifat 
menjelaskan  berbagai  gejala  alam  (dan  sosial)  yang  memungkinkan 
manusia  melakukan  serangkaian  tindakan  untuk  menguasai  gejala 
tersebut  berdasarkan  penjelasan  yang  ada,  sedangkan  teori  adalah 
pengetahuan  ilmiah  yang  mencakup  penjelasan  mengenai  suatu  faktor 
tertentu  dari  sebuah  disiplin  keilmuan  (Suriasumantri,  2000).  Fungsi 
teori dan ilmu pengetahuan adalah untuk menjelaskan, meramalkan dan 
mengontrol. Umpamanya dalam ilmu Fisika dikenal teori gravitasi. Teori 
ini  menjelaskan  mengapa  setiap  benda  kalau  dilemparkan  ke  atas  pada 
akhinya akan jatuh kembali ke bumi.Teori ini juga mampu menjelaskan 
pergerakan planet‐planet di alam semesta raya. Hal ini disebabkan oleh 
gaya  gravitasi.  Contoh  lain  dalam  ilmu  ekonomi  dikenal  misalnya  teori 
harga.  Teori  ini  menjelaskan  bagaimana  proses  terbentuknya  harga 
barang  dan  jasa  di  pasar  dalam  sistem  ekonomi  pasar,  yaitu  melalui 
proses  pertemuan  kekuatan  hukum  permintaan(demand)  dan  hukum 
penawaran (Supply). Melalui pemahaman tentang teori harga dan sistem 
32
ekonomi pasar, pemerintah dapat memanfaatkan pengetahuan ini untuk 
menjelaskan  mengapa terjadi  kenaikan  harga  barang, atau  meramalkan 
apakah  akan  terjadi  kenaikan  atau  penurunan  harga  jenis  barang 
tertentu,  atau  pemerintah  dapat  membuat  kebijakan/  tindakan  untuk 
mengendalikan /mengontrol  harga barang. 
Etika  sebagai  disiplin  ilmu  berhubungan  dengan  kajian  secara 
kritis  tentang  adat  kebiasaan,  nilai‐nilai  dan  norma‐norma  perilaku 
manusia yang dianggap baik atau tidak baik. Sebagai ilmu , Etika belum 
semapan  ilmu  fisika  atau  ilmu  ekonomi.  Dalam  etika  masih  dijumpai 
banyak  teori‐teori  yang  mencoba  untuk  menjelaskan  suatu  tindakan, 
sifat atau objek perilaku yang sama dari sudut pandang, atau perspektif 
yang  berlainan.  Sebagaimana  dikatakan  oleh  Pescheke  SVD  (2003) 
pelbagai  teori  etika  muncul,  antara  lain  karena  adanya  perbedaan 
perspektif dan penafsiran tentang apa yang menjadi tujuan akhir hidup 
umat  manusia.  Di  samping  itu  sifat  teori  dalam  ilmu  Etika  masih  lebih 
banyak  untuk  menjelaskan  sesuatu,  belum  sampai  pada  tahap  untuk 
meramalkan, apalagi untuk mengontrol suatu tindakan, atau perilaku.  
Banyaknya  teori  etika  yang  berkembang  nampak  cukup 
membingungkan;  padahal  sifat  teori  yang  semakin  sederhana  dan 
semakin  mengkerucut  menuju    ke  suatu  teori  tunggal  yang  mampu 
menjelaskan  suatu  gejala  secara  komprehensif,  justru  semakin 
menunjukkan  kemapanan  disiplin  ilmu  yang  bersangkutan.  Untuk 
memperoleh pemahaman tentang berbagai teori etika yang berkembang, 
berikut  ini  diuraikan  secara  garis  besar  beberapa  teori  yang 
berpengaruh. 
 
1. Egoisme 
Rachels  (2004)  memperkenalkan  dua  konsep  yang  berhubungan 
dengan  egoisme,  yaitu  :  egoisme  psikologis  dan  egoisme  etis.  Kedua 
33
konsep ini nampak mirip karena keduanya menggunakan istilah egoisme, 
namun sebenarnya keduanya mempunyai pengertian yang berbeda.  
Egoisme  psikologis  adalah  suatu  teori    yang  menjelaskan  bahwa 
semua  tindakan  manusia  dimotivasi  oleh  kepentingan  berkutat  diri 
(selfish).  Menurut  teori  ini,  orang  boleh  saja  yakin  bahwa  ada  tindakan 
mereka yang bersifat luhur, atau ada orang yang suka berkorban, namun 
menurut  teori  ini  semua  tindakan  yang  terkesan  luhur  dan/atau 
tindakan  yang  suka  berkorban  tersebut  hanyalah  ilusi.  Pada 
kenyataannya,  setiap  orang  hanya  peduli  pada  dirinya  sendiri.  Jadi 
menurut paham teori ini, tidak ada  tindakan yang sesungguhnya bersifat 
altruisme.  Altruisme  adalah  suatu  tindakan  yang  peduli  pada  atau 
mengutamakan  kepentingan  orang  lain  dengan  mengorbankan 
kepentingan  dirinya.  Para  penganut  paham  ini  misalnya  meragukan 
tindakan Ibu Theresia apakah bersifat altruisme. Bukankah tindakan ibu 
Theresia  sebenarnya  dilandasi  oleh  keinginan  masuk  surga?  Jadi 
keinginan  masuk  surga  ini  juga  sebenarnya  merupakan  tindakan 
berkutat diri. 
Rachels  sendiri  juga  menjelaskan  paham  egoisme  etis  yang 
sebenarnya  pengertiannya  sering  dikacaukan  dengan  paham  egoisme 
psikologis. Egoisme etis adalah tindakan yang dilandasi oleh kepentingan 
diri  (self  interest).  Bila  saya  belajar  sampai  larut  malam  agar  bisa  lulus 
ujian, atau saya bekerja keras agar memperoleh penghasilan yang lebih 
besar,  atau  saya  mandi  agar  badan  saya  bersih  maka  semua  tindakan 
saya  ini  dapat  dikatakan  dilandasi  oleh    kepentingan  diri,  namun  tidak 
dapat  dianggap  sebagai  tindakan  berkutat  diri.  Jadi  yang  membedakan 
tindakan  berkutat  diri  (egoisme  psikologis)  dengan  tindakan  untuk 
kepentingan  diri  (egoisme  etis)  adalah  pada  akibatnya  terhadap  orang 
lain. 

34
Tindakan berkutat diri mengabaikan atau merugikan kepentingan orang 
lain,  sedangkan  tindakan  mementingkan  diri  tidak  selalu  merugikan 
kepentingan orang lain. Membeli minyak tanah sebanyak satu liter untuk 
keperluan masak adalah tindakan untuk kepentingan diri tetapi membeli 
minyak  tanah  sebanyak  satu  tangki  mobil  dengan  tujuan  bisa  dijual 
kembali dengan keuntungan tinggi disebut tindakan berkutat diri karena 
akibat tindakan ini sangat merugikan banyak ibu rumah tangga yang lain 
karena  ibu‐ibu  rumah  tangga  lainnya  sulit  memperoleh  minyak  tanah, 
atau kalaupun memperolehnya harus membayar dengan harga tinggi. 
Dengan perbedaan pemahaman seperti di atas jelas bahwa paham 
egoisme  psikologis  dilandasi  oleh  ketamakan  sehingga  tidak  dapat 
dikatakan  tindakan  tersebut  bersifat  etis.  Namun  marilah  dibahas 
apakah  egoisme  etis  dapat  dianggap  sebagai  teori  etis?  Sebelum 
menjawab  hal  ini  marilah  dirangkum  terlebih  dahulu  pokok‐pokok 
pandangan egoisme etis ini (Rachels,2004). 
a. Egoisme  etis  tidak  mengatakan  bahwa  orang  harus  membela 
kepentingannya sendiri maupun kepentingan orang lain. 
b. Egoisme  etis  hanya  berkeyakinan  bahwa  satu‐satunya  tugas 
adalah membela kepentingan diri 
c. Namun  egoisme  etis  juga  tidak  mengatakan  bahwa  anda  harus 
menghindari tindakan untuk  menolong orang lain. 
d. Bisa  jadi  kepentingan  orang  lain    bertautan  dengan  kepentingan 
diri sehingga dalam menolong orang lain sebenarnya juga dalam 
rangka memenuhi kepentingan diri. 
e. Inti  dari  paham  egoisme  etis    adalah  bahwa  kalau  ada  tindakan 
yang menguntungkan orang lain maka keuntungan bagi orang lain 
ini    bukanlah  alasan  yang  membuat  tindakan  itu  benar.  Yang 
membuat tindakan itu benar adalah kenyataan bahwa tindakan itu 
menguntungkan diri sendiri.      
35
 
Terhadap  paham/  teori  egoisme  etis  ini  menimbulkan  banyak 
dukungan dan sekaligus juga kritikan 
Alasan yang mendukung teori egoisme etis, antara lain: 
a. Argumen  bahwa  altruisme  menghancurkan  diri  sendiri. 
Mempedulikan  orang  lain  merupakan  gangguan  offensif  bagi 
kepentingan  sendiri,  cinta  kasih  kepada  orang  lain  juga  akan 
merendahkan martabat dan kehormatan orang tersebut. 
b. Pandangan  tentang  kepentingan  diri  paling  sesuai  dengan 
moralitas  akal  sehat.  Semua  tindakan  pada  akhirnya  dapat 
dijelaskan  dari  prinsip  fundamental  kepentingan  diri.  Misalnya 
kewajiban  untuk  tidak  berbohong  sebenarnya  berangkat  dari 
kepentingan  diri.  Kalau  kita  sendiri  sering  berbohong  kepada 
orang lain maka orang lain juga akan berbohong kepada kita yang 
pada gilirannya tentu berakibat merugikan diri sendiri. 
 Alasan yang menentang teori egoisme etis antara lain: 
a. Egoisme  etis  tidak  mampu  memecahkan  konflik‐konflik 
kepentingan.  Kita  memerlukan  aturan  moral  karena  dalam 
kenyataannya sering kali dijumpai kepentingan‐kepentingan yang 
bertabrakan. 
b. Egoisme  etis  bersifat  sewenang‐wenang.  Misalnya  dalam  suatu 
keadaan dimana kepentinganku, atau agamaku, atau sukuku, atau 
negaraku  berbeda  dengan  kepentingannya,  atau  agamanya,  atau 
sukunya,  atau  negaranya,  maka  menurut  paham  ini  tentu  yang 
diutamakan  adalah  kepentinganku,  atau  agamaku,  atau  sukuku, 
atau  negaraku.  Bila  hal  ini  terjadi  apakah  tindakan  ini  dapat 
diterima? Egoisme etis dapat dijadikan sebagai pembenaran akan 
timbulnya rasisme seperti yang pernah terjadi dengan Nazi Hitler, 
atau politik apartheid, yang pernah terjadi di Afrika Selatan. 
36
 
Munculnya paham egoisme etis memberikan landasan yang sangat 
kuat  bagi  munculnya  paham  ekonomi  kapitalis  dalam  ilmu  ekonomi. 
Paham  ekonomi  kapitalis  ini  dipelopori  oleh  Adam  Smith.  Adam  Smith 
berpandangan  bahwa  kekayaan  suatu  Negara  akan  tumbuh  maksimal 
bila  setiap  individu  (  warganya,  rakyatnya)  diberi  kebebasan  untuk 
mengejar  kepentingan  (kekayaan)  nya  sendiri  masing‐masing.  Pada 
awalnya paham ini hanya dianut oleh Negara‐negara Barat, namun  kini 
hampir  semua  Negara  di  dunia  telah  dipengaruhi  oleh  sistem  ekonomi 
kapitalis ini. 
 
2. Utilitarianisme 
Utilitarianisme  sebagai  teori  etika  dipelopori  oleh  David  Hume 
(1711‐1776),  kemudian  dikembangkan  lebih  lanjut  oleh  Jeremy 
Bentham (1748‐1832) dan Jonh Stuart Mill(1806‐1873) (Rachels,2004). 
Bentham  sebagai  pendukung  utama  paham  ini  mengatakan  bahwa 
moralitas  tidak  lain  adalah  suatu  upaya  untuk  sedapat  mungkin 
memperoleh  kebahagiaan  di  dunia  ini.  Ia  menolak  paham  bahwa 
moralitas berhubungan dengan tindakan menyenangkan hati Allah, atau 
bukan soal kesetiaan pada aturan‐aturan abstrak. Ia mengatakan bahwa 
setiap kali kita dihadapkan pada pilihan‐pilihan di antara alternatif yang 
ada,  kita  harus  mengambil  satu  pilihan  yang  mempunyai  konsekuensi 
yang  secara  menyeluruh  paling  baik  bagi  setiap  orang  yang  terlibat  di 
dalamnya(Rachels, 2004). 
Utilitarianisme  berasal  dari  kata  Latin  utilis,  kemudian  menjadi 
kata  Inggris  utility  yang  berarti  “bermanfaat”  (Bertens,  2000).  Menurut 
teori  ini  suatu  tindakan  dapat  dikatakan  baik  jika  membawa  manfaat 
bagi  sebanyak  mungkin  anggota  masyarakat,  atau  dengan  istilah  yang 
sangat  terkenal:  “­­the  greatest  happiness  of  the  greatest  numbers”.  Jadi 
37
ukuran  baik  tidaknya  suatu  tindakan  dilihat  dari  akibat,  konsekuensi, 
atau tujuan dari tindakan itu, yaitu apakah memberi manfaat atau tidak. 
Itulah  sebabnya  paham  ini  juga  disebut  paham  teleologis  (asal  kata 
Yunani telos yang berarti tujuan)(Bertens,2000). 
Beda  paham  utilitarianisme  dengan  paham  egoisme  etis  terletak 
pada  siapa  yang  memperoleh  manfaat.  Egoisme  etis  melihat  dari  sudut 
pandang kepentingan individu, sedangkan paham utilitarianisme melihat 
dari  sudut  kepentingan  banyak  orang  (kepentingan  bersama, 
kepentingan masyarakat). 
Dari  uraian  di  atas  maka  paham  utilitarianisme  dapat  diringkas 
sebagai  berikut:  (1)  tindakan  harus  dinilai  benar  atau  salah  hanya  dari 
konsekuensinya  (akibat,  tujuan,  atau  hasilnya),  (2)  dalam  mengukur 
akibatnya, satu‐satunya yang penting hanyalah jumlah kebahagiaan atau 
jumlah  ketidak  bahagiaan,  (3)  kesejahteraan  setiap  orang  sama 
pentingnya.   
Teori  ini  mendapat  dukungan  luas  karena  mengkaitkan  moralitas 
dengan  kepentingan  orang  banyak  dan  kelestarian  alam.Teori  ini  juga 
memperoleh  pijakannya  dalam  ilmu  ekonomi  dan  manajemen  dengan 
diperkenalkannya  konsep  cost  and  benefit  dan  paham  stakeholders. 
Uraian terhadap paham cost and benefit dan paham stakeholders ini akan 
diberikan  pada  pembahasan  bab  berikutnya.  Walaupun  paham  ini 
mendapat dukungan luas namun tidak urung juga memperoleh kritikan 
tajam. Beberapa kritik yang dilontarkan terhadap paham ini antara lain: 
(1)  sebagaimana  paham  egoisme,  paham  ini  juga  hanya  menekankan 
tujuan  manfaat/kebahagiaan  duniawi  dan  mengabaikan  aspek 
rohani(spiritual),  (2)  mengorbankan  prinsip  keadilan  dan  hak  individu, 
hak  minoritas  demi  keuntungan  sebagian  besar(mayoritas)  orang. 
Contoh  kasus  dalam  pembebasan  tanah  untuk  pembangunan  jalan  tol. 
Demi alasan untuk kepentingan sebagian besar masyarakat, pemerintah 
38
atau pengelola jalan tol dapat saja memberikan ganti rugi paksa( dengan 
harga  di  bawah  harga  pasar)  kepada  para  pemilik  tanah  yang  terkena 
jalur  jalan  tol  tersebut.  Demi  kepentingan  yang  lebih  besar,  terkadang 
sering demi alasan untuk kepentingan nasional, pemerintah dibenarkan 
untuk melanggar rasa keadilan atau mengorbankan hak individu pemilik 
tanah  yang  tanahnya  digusur  untuk  pembangunan  jalan  tol  tersebut. 
Contoh  serupa,  misalnya  demi  kepentingan  keamanan  nasional, 
pemerintah  dibenarkan  melakukan  penembakan  misterius  terhadap 
para  penjahat  tanpa  memberikan  kesempatan  kepada  para  penjahat 
tersebut  membela  diri  melalui    proses  peradilan  yang  transparan  dan 
adil.  Akan  banyak  kasus  yang  serupa  yang  dapat  dijadikan  alasan 
pembenaran bagi pejabat/ otoritas untuk melakukan tindakan tidak adil 
atau  tindakan  melanggar  hak  individu/minoritas  asal  sebagian 
besar(majoritas) orang memperolah manfaat.   
 
3. Deontologi 
Istilah  deontolgi  berasal  dari  kata  Yunani  deon  yang  berarti 
kewajiban(Bertens,  2000).  Paham  ini  dipelopori  oleh  Immanuel 
Kant(1724‐1804) dan kembali mendapat dukungan dari filosof abad ke‐
20, Anscombe dan suaminya Peter Geach(Rachels,2004).  
Paradigma  teori  deontolgi  sangat  berbeda  dengan  paham  egoisme 
dan  utilitarianisme  yang  sudah  dibahas.  Kedua  teori  yang  disebut 
belakangan  ini,  yaitu  teori  egoisme  dan  utilitarianisme  sama‐sama 
menilai  baik  buruknya  suatu  tindakan  dari  akibat,  konsekuensi,  atau 
tujuan  dari  tindakan  tersebut.  Bila  akibat  dari  suatu  tindakan 
memberikan  manfaat  entah  untuk  seseorang  secara  individu(egoisme), 
atau untuk sebanyak‐banyaknya kelompok masyarakat (utilitarianisme) 
maka tindakan itu dikatakan etis. Sebaliknya jika akibat suatu  tindakan 
merugikan  individu  atau  sebagian  besar  kelompok  masyarakat  maka 
39
tindakan  tersebut  dikatakan  tidak  etis.  Teori  yang  menilai  suatu 
tindakan  berdasarkan  hasil,  konsekuensi  atau  tujuan  dari  tindakan 
tersebut sering juga disebut teori teleologi.  
Sangat  berbeda  dengan  paham  teleologist  yang  menilai  etis 
tidaknya  suatu  tindakan  berdasarkan  hasil,  tujuan,  atau  konsekuensi 
dari  tindakan  tersebut,  paham  deontologist  justru  mengatakan  bahwa 
etis  tidaknya  suatu  tindakan  tidak  ada  kaitannya  sama  sekali  dengan 
tujuan,atau konsekuensi atau akibat dari tindakan tersebut. Konsekuensi 
suatu  tindakan  tidak  boleh  menjadi  pertimbangan  untuk  menilai  etis 
tidaknya  suatu  tindakan.  Perbuatan  tidak  pernah  menjadi  baik  karena 
hasilnya  baik.  Hasil  baik  tidak  pernah  membenarkan  suatu  tindakan 
melainkan  hanya  karena  kita  wajib  melaksanakan  tindakan  tersebut 
demi  kewajiban  itu  sendiri.  Contoh  kisah  terkenal  Robinhood  yang 
merampok  kekayaan  orang‐orang  kaya  dan  hasilnya  dibagikan  kepada 
rakyat  miskin.  Tujuan  tindakan  Robinhood    sangat  mulia,  yaitu 
membantu  orang  miskin.  Namun    alasan  membantu  orang  miskin  ini 
tidak serta merta membenarkan tindakan merampok tersebut.  
Untuk  memahami  lebih  lanjut  tentang  paham  deontologi  ini, 
sebaiknya  dipahami  terlebih  dahulu  dua  konsep  penting  yang 
dikemukakan  oleh  Kant,  yaitu:  konsep  imperative  hipotetis  dan 
imperative  kategoris.  Imperatif  hipotetis  adalah  perintah‐perintah 
(ought)  yang  bersifat  khusus  yang  harus  diikuti  jika  seseorang 
mempunyai keinginan yang relevan. Perhatikan misalnya contoh‐contoh 
berikut ini: 
a. Kalau  anda  ingin  menjadi  sarjana  akuntansi  maka  anda  harus 
(ought) memasuki Fakultas Ekonomi –Jurusan Akuntansi 
b. Kalau anda ingin menjadi pemain bola yang berhasil, maka anda 
harus rajin latihan sepak bola. 
c. Kalau anda ingin berhasil dalam studi anda harus rajin belajar 
40
d. Dan seterusnya. 
Dari beberapa contoh di atas jelas sekali bahwa kekuatan yang mengikat 
dari  kata  harus,  atau  wajib  tergantung  pada  keinginan  yang  relevan. 
Kalau anda tidak menginginkan sesuatu hasil dari suatu tindakan maka 
anda  tidak  wajib  atau  tidak  harus  melaksanakan  tindakan  tersebut. 
Tindakan  yang  dilandasi  oleh  perintah‐perintah  yang  bersifat  hipotetis 
ini  banyak  sekali  dijumpai  dalam  kehidupan  sehari‐hari,  namun 
tindakan‐tindakan  ini  tidak  serta  merta  dapat  diartikan  sebagai 
keharusan moral. 
Imperatif  kategoris  adalah  kewajiban  moral  yang  mewajibkan  kita 
begitu saja tanpa syarat apapun. Dalam hal ini kewajiban moral bersifat 
mutlak  tanpa  ada  pengecualian  apapun,  tanpa  dikaitkan  dengan 
keinginan atau tujuan apapun. Bertens (2004) menyebutnya sebagai:Du 
sollst(Engkau  harus  begitu  saja).Peschke  SVD  sendiri(2003) 
merumuskan  etika  Kant  :”Bertindaklah  sedemikian  rupa  sehingga 
prinsip kehendakmu sekaligus dapat menjadi prinsip pemberian hukum 
umum.”  Ini  berarti  bahwa  pedoman  yang  mengatur  perilaku  moral 
manusia  harus  dapat  menjadi  hukum  universal  dan  bahwa  manusia 
hendaknya  berperilaku  sebagaimana  ia  menginginkan  orang  lain  juga 
berperilaku yang sama.  
Kant  berpandangan  bahwa  kewajiban  moral  harus  dilaksanakan 
demi kewajiban itu sendiri; bukan karena keinginan untuk memperoleh 
tujuan  kebahagiaan,  atau  bukan  juga  karena  kewajiban  moral  itu 
diperintahkan oleh Tuhan (Allah). Moralitas hendaknya bersifat otonom, 
dan  harus  berpusat  pada  pengertian  manusia  berdasarkan  akal  sehat 
yang dimiliki manusia itu sendiri. Dengan kata lain kewajiban moralitas 
mutlak  itu  bersifat  rasional.  Sebagai  salah  satu  contoh,  tindakan  jujur 
dapat  dikategorikan  sebagai  kewajiban  moral  yang  bersifat  universal 
kapanpun dan  di  manapun.  Alasan  rasionalnya  dapat  diberikan  sebagai 
41
berikut. Dengan berbagai keterbatasan (fisik) manusia maka untuk dapat 
hidup  aman  manusia  memerlukan  kerjasama  dan  hubungan  dengan 
manusia lain. Itulah sebabnya sejak zaman dahulu, manusia selalu ingin 
hidup  berkelompok;  oleh  karena  itu  manusia  disebut  mahluk  sosial. 
Dalam  hidup  bermasyarakat  diperlukan  landasan  kepercayaan  satu 
dengan  lainnya  dan  untuk  menanamkan  kepercayaan  tersebut 
diperlukan    kejujuran  dari  semua  anggota  kelompok.  Bila  satu  anggota 
kelompok  bertindak  tidak  jujur  maka  jangan  diharapkan  anggota 
kelompok  lainnya  akan  bertindak  jujur,  dan  bila  tidak  ada  kejujuran 
sesama  anggota  kelompok  jangan  harap  ada  kepercayaan  di  antara 
anggota  kelompok  tersebut  dan  bila  tidak  ada  kepercayaan  maka 
kelompok  masyarakat  tidak  akan  dapat  terbentuk.  Dengan  landasan 
pemikiran  yang  rasional  seperti  ini  maka  setiap  manusia,  kalau  ingin 
hidup  dalam  satu  kelompok,  menyadari  dan  mengakui  pentingnya 
tindakan  jujur  tersebut.  Itulah  sebabnya  tindakan  jujur  dapat 
dimasukkan sebagai kewajiban moral bersifat universal. 
Dengan  dasar  pemikiran  yang  sama  dapat  dijelaskan  bahwa 
beberapa  tindakan  seperti:  membunuh,  mencuri,  dan  beberapa  jenis 
tindakan lainnya dapat dikategorikan sebagai imperative katagoris, atau 
keharusan/kewajiban moral yang bersifat universal dan mutlak.  
Walaupun teori ini tidak lagi mengkaitkan kriteria kebaikan moral 
dengan  tujuan  dari  tindakan  sebagaimana  teori  egoisme  dan 
utilitarianisme, namun tak urung teori ini juga mendapat kritikan tajam 
terutama  dari  kaum  agamawan.  Kant  mencoba  membangun  teorinya 
hanya  berlandaskan  pemikiran  rasional,  berangkat  dari  asumsi  bahwa 
karena  manusia  bermartabat  maka  setiap  perlakuan  manusia  terhadap 
manusia  lainnya  harus  dilandasi  oleh  kewajiban  moral  universal,  tidak 
ada  tujuan  lain  selain  mematuhi  kewajiban  moral  demi  kewajiban  itu 
sendiri.  Sama  dengan  sebagian  besar    filosof  lainnya  ia  tidak  mencoba 
42
memahami  ada  tujuan  tertinggi  yang  ingin  dicapai  oleh  umat  manusia 
sebagaimana  diyakini  oleh  kaum  agamawan,  yaitu  kebahagiaan  rohani, 
kebahagiaan di luar yang berkaitan dengan hal‐hal yang bersifat duniawi 
yang diperoleh bila mengikuti aturan‐aturan moral yang bersumber dari 
Tuhan,  Allah,  kekuatan  tak  terbatas  atau  apapun  namanya  yang 
melukiskan  ada  kekuatan  tak  terbatas  di  luar  kemampuan  dan  pikiran 
manusia yang mengatur seluruh alam semesta beserta isinya. 
 
4. Teori Hak 
Immanuel  Kant  sebenarnya  mengajukan  dua  pemikiran  pokok.  Di 
samping  teori  deontologi  dengan  imperative  kategori  nya,  ia  juga 
sebenarnya  mengemukakan  apa  yang  kemudian  dikenal  dengan  teori 
hak  (right  theory).  Menurut  teori  hak  ini,  tindakan  atau  perbuatan 
dianggap baik bila perbuatan atau tindakan tersebut sesuai dengan hak 
asasi  manusia  (HAM).  Namun  sebagaimana  dikatakan  oleh 
Bertens(2000)  teori  hak  merupakan  suatu  aspek  dari  teori  deontologi 
(teori kewajiban), karena hak tidak dapat dipisahkan dengan kewajiban 
bagaikan satu keping mata uang logam yang sama dengan dua sisi. Bila 
suatu  tindakan  merupakan  kewajiban  seseorang  maka  sebenarnya 
tindakan  yang  sama  merupakan  hak  orang  lain.  Teori  hak  sebenarnya 
didasarkan  atas  asumsi  bahwa  manusia  mempunyai  martabat  dan 
semua manusia mempunyai martabat yang sama. 
HAM didasarkan atas beberapa sumber otoritas (Weiss,2006): hak 
hukum  (legal  right),  hak  moral  atau  kemanusiaan(moral,  human  right) 
dan  hak  kontraktual  (contractual  right).  Hak  legal  adalah  hak  yang 
didasarkan  atas  sistem/jurisdiksi  hukum  suatu    Negara  dan  sumber 
hukum tertinggi suatu Negara adalah Undang Undang Dasar Negara yang 
bersangkutan. Hak legal warga Negara Amerika Serikat bersumber dari: 
the  Constitution  and  Declaration  of  Independence  dalam  bentuk:  hak 
43
untuk hidup, hak kebebasan, hak untuk memeperoleh kebahagiaan, dan 
hak  kebebasan  berbicara.  Hak  moral  dihubungkan  dengan  pribadi 
manusia  secara  individu  atau  dalam  beberapa  kasus  dengan  kelompok 
bukan dengan masyarakat dalam arti luas. Hak moral berkaitan dengan 
kepentingan  individu  sepanjang  kepentingan  individu  itu  tidak 
melanggar  hak‐hak  orang  lain.  Hak  kontraktual  mengikat  individu‐
individu yang membuat kesepakatan/kontrak bersama dalam wujud hak 
dan kewajiban masing‐masing pihak. 
Teori hak atau yang sekarang lebih banyak dikenal dengan prinsip‐
prinsip  HAM  mulai  banyak  mendapat  dukungan  masyarakat  dunia 
termasuk  dari  Perserikatan  Bangsa  Bangsa  (PBB).  Piagam  PBB  sendiri 
merupakan  salah  satu  sumber  hukum  penting  untuk  penegakan  HAM. 
Dalam  piagam  PBB  disebutkan  mengenai  ketentuan  umum  tentang  hak 
dan  kemerdekaan  setiap  orang.  PBB  bahkan  telah  mendeklarasikan 
prinsip‐prinsip  HAM  universal  pada  tahun  1948,  yang  dikenal  dengan 
nama:Universal Declaration of Human Right (UDOHR). Diharapkan semua 
Negara  di  dunia  dapat  menggunakan  UDOHR  ini  sebagai  dasar  bagi 
penegakan  HAM  dan  pembuatan  bernagai  Undang  Undang/Peraturan 
yang berkaitan dengan penegakan HAM. Pada intinya dalam  UDOHR ini 
diatur  antara  lain  hak‐hak  kemanusiaan  mengenai:  kehidupan, 
kebebasan dan keamanan, kebebasan dari penahanan, penangkapan dan 
pengasingan sewenang‐wenang, hak memperoleh peradilan umum yang 
bebas, independen, dan tidak memihak, kebebasan dalam mengeluarkan 
pendapat,  menganut  agama,  dan  menentukan  sesuatu  yang  baik  atau 
buruk  menurut  nuraninya,  serta  kebebasan  untuk  berkelompok  secara 
damai.Termasuk juga hak untuk kesejahteraan dan keamanan sosial, hak 
untuk  bekerja,  hak  untuk  memperoleh  pendidikan,  dan  hak  untuk 
berpartisipasi  dalam  kelompok  seni  dan  kelompok  ilmu  pengetahuan 
(Bazar Harahap & Nawangsih Sutardi,2007).  
44
Indonesia  sendiri  juga  telah  mempunyai  Undang  Undang  tentang 
hak  Asasi  Manusia  yang  diatur  dalam  UU  No.39  tahun  1999.  Hak‐hak 
warga  Negara  yang  diatur  dalam  UU  ini  (Bazar  Harahap  &  Nawangsih 
Sutardi,2007), antara lain: 
a. Hak untuk hidup 
b. Hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan 
c. Hak untuk memperoleh keadilan 
d. Hak untuk kebebasan pribadi 
e. Hak atas rasa aman 
f. Hak atas kesejahteraan 
g. Hak untuk turut serta dalam pemerintahan 
h. Hak wanita 
i. Hak anak 
 
Saat ini bukan hanya  pemerintah negara‐negara di dunia (melalui 
piagam  PBB)  saja  yang  menaruh  perhatian  pada  isu  HAM,  perusahaan‐
perusahaan  multi  nasional  yang  operasinya melintasi  batas‐batas suatu 
Negara,  juga  mulai  menaruh  perhatian  pada  isu  HAM  ini.  Beberapa 
prinsip  HAM  yang  dijadikan  acuan  bagi  pengelolaan  perusahaan  multi 
nasional(PMN), antara lain (Weiss, 2006) sebagai berikut: 
a. PMN  harus  menghormati  hak  semua  orang  untuk  kehidupan, 
kebebasan, keamanan dan privasi. 
b. PMN  harus  menghormati  hak  semua  orang  atas  persamaan 
perlindungan hukum,atas pekerjaan, atas pilihan jenis pekerjaan, 
atas  kondisi  kerja  yang  sehat  dan  nyaman  dan  perlindungan 
untuk memberantas pengangguran dan diskriminasi. 
c. PMN harus menghormati kebebasan semua orang atas pemikiran, 
ilmu  pengetahuan,  agama,  ekspresi  dan  pendapat,  komunikasi, 
asosiasi dan organisasi damai, dan pergerakan di setiap Negara 
45
d. PMN  harus  mendukung  suatu  standar  hidup  untuk  menunjang 
kesehatan dan kesejahteraan pekerja dan keluarganya.   
e. PMN  harus  memberikan  perhatian  khusus  dan  bantuan  bagi  ibu 
dan anak. 
Pada level perusahaan teori HAM ini banyak dirujuk untuk menilai 
tindakan manajemen terhadap karyawannya apakah karyawannya telah 
diperlakukan secara manusiawi sesuai dengan prinsip‐prinsip HAM yang 
berlaku universal. Pada level pemerintahan dan kerjasama antar Negara, 
PBB,  para  pemerhati  HAM,  organisasi‐organisasi  kemanusiaan  seperti 
Lembaga  Swadaya  Masyarakat  (LSM)  berfungsi  sebagai  penjaga  HAM 
(watch  dog)  bagi  tindakan  suatu  pemerintah  terhadap  warga  negara  di 
semua Negara‐negara di dunia, apakah berbagai kebijakan dan tindakan 
pemerintahnya telah sesuai dengan prinsip‐prinsip HAM tersebut. 
 
5. Teori Keutamaan (Virtue Theory) 
Teori  keutamaan  sebenarnya  telah  lahir  sejak  zaman  dahulu 
didasarkan  atas  pemikiran  Aristoteles(384‐322  SM)  yang  sempat  
tenggelam,  namun  sekarang  ini  kembali  mendapat  momentumnya. 
Berbeda  dengan  teori  teleology  dan  deontologi  yang  keduanya  sama‐
sama  menyoroti  moralitas  berangkat  dari  suatu  tindakan,  teori 
keutamaan berangkat dari manusianya (Bertens,2000). Teori keutamaan 
tidak  menanyakan:  tindakan  mana  yang  etis  dan  tindakan  mana  yang 
tidak  etis?  Bila  ini  ditanyakan  pada  penganut  paham  egoisme  maka 
jawabannya  adalah:  Tindakan  disebut  etis  bila  mampu  memenuhi 
kepentingan  individu  (self­interest)  dan  tindakan  disebut  tidak  etis  bila 
tidak  mampu  memenuhi  kepentingan  individu  yang  bersangkutan.  Bila 
ini  ditanyakan  kepada  para  penganut  paham  utilitarianisme  maka 
tindakan  disebut  etis  bila  mampu  memberikan  manfaat/kegunaan 
sebanyak‐banyaknya  bagi  sebanyak  mungkin  anggota  masyarakat,dan 
46
tindakan  disebut  tidak  etis  bila  akibatnya  lebih  banyak  merugikan 
sebagian besar anggota masyarakat.  
Tidak  seperti  kedua  paham  teori  di  atas,  dasar  pemikiran  teori 
keutamaan  sangat  berbeda.  Teori  ini  tidak  lagi  mempertanyakan 
tindakan tetapi berangkat dari pertanyaan: Sifat‐sifat atau karakter yang 
bagaimana yang harus dimiliki oleh seseorang agar bisa disebut sebagai 
manusia  utama,  dan  sifat‐sifat  atau  karakter  yang  bagaimana  yang  
mencerminkan    manusia  hina.  Dengan  demikian  karakter/sifat  utama 
dapat  didefinisikan  sebagai    disposisi  sifat/watak  yang  telah  melekat 
pada/atau  telah  dimiliki  oleh    seseorang  dan  memungkinkan  dia  untuk 
selalu bertingkah laku baik secara moral. Mereka yang selalu melakukan 
tingkah  laku  buruk  secara  moral  disebut  manusia  hina.  Bertens  (2000) 
memberikan  beberapa  contoh  sifat‐siat  keutamaan,  antara  lain: 
kebijaksanaan,  keadilan,  dan  kerendahan  hati,  sedangkan  untuk  pelaku 
bisnis  antara  lain:kejujuran,  kewajaran(fairness),  kepercayaan  dan 
keuletan.  
Dalam  ilmu  psikologi,  karakter  merupakan  disposisi  sifat/watak 
seseorang. Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya, karakter 
seseorang  ditentukan  oleh  kebiasaannya,  kebiasaannya  dibentuk  dari 
tindakannya yang berulang‐ulang dan tindakannya yang berulang‐ulang 
ditentukan  oleh‐  tujuan/makna  hidupnya  dan  makna  hidupnya 
ditentukan  oleh  pola/paradigma  berpikirnya.  Berdasarkan  asumsi  ini 
maka sebenarnya teori keutamaan bukan merupakan teori yang berdiri 
sendiri terpisah dari teori etika tindakan (deontologi, telelologi), karena 
sifat  keutamaan  bersumber  dari  tindakan  berulang‐ulang.  Hubungan 
antar berbagai teori ini akan dijelaskan pada pembahasan berikutnya. 
 
 
 
47
6. Teori Etika Teonom 
Sampai  di  sini  telah  dibahas  beberapa  teori  etika  yang 
berpengaruh,  mulai  dari  etika  egoisme,  dan  utilitarianisme  (keduanya 
sering disebut teori teleology, konsekuensi, atau tujuan), deontologi dan 
teori hak (teori kewajiban dan hak) dan teori keutamaan (teori karakter, 
virtue  theory).  Walaupun  teori‐teori  ini  nampak  berbeda  karena  sudat 
pandang yang berbeda, namun kesemuanya mempunyai kesamaan, yaitu 
bahwa (1) moralitas hanya dikaji berdasarkan proses penalaran (akal  ) 
manusia  tanpa  ada  yang  mengakui,  atau  mengkaitkannya  dengan 
kekuatan  tak  terbatas  (Tuhan),  (2)  oleh  karenanya  kriteria  baik 
buruknya  perilaku  manusia  hanya  dikaitkan  dengan  tujuan 
kebahagiaan/kenikmatan  yang  bersifat  duniawi.  Termasuk  etika  Kant 
yang  walaupun  Kant  mencoba  mengungkapkan  bahwa  ada  kewajiban 
moral yang bersifat mutlak, namun ia mengatakan bahwa manusia harus 
mengikuti kewajiban moral mutlak tersebut demi kewajiban itu sendiri, 
bukan  karena  adanya  tujuan,  apalagi  dikaitkan  dengan  hal‐hal  yang 
bersifat ilahi. 
Peschke SVD (2003) mengkritik berbagai paham/aliran teori etika, 
yang  telah  ada  terutama  yang  telah  diungkapkan  oleh  para  pemikir/ 
etikawan  Barat  seperti  diungkapkan  di  atas.  Keterbatasan  dari  teori‐
teori yang ada adalah: (1) mereka tidak mengakui adanya kekuatan tak 
terbatas  (Tuhan)  yang  ada  dibelakang  semua  hakikat  keberadaan  alam 
semesta  ini  dan  oleh  karena  itu,  (2)  mereka  keliru  menafsirkan  tujuan 
hidup manusia hanya untuk memperoleh kebahagiaan/kenikmatan yang 
bersifat duniawi saja.  
Sebagaimana  diakui  oleh  semua  penganut  agama  di  dunia  bahwa 
ada  tujuan  akhir,  tujuan  tertinggi  umat  manusia  selain  yang  bersifat 
duniawi,  yaitu  untuk  memperoleh  kebahagiaan  sorgawi,  kebahagiaan 
yang bersifat rohaniah melampaui semua hal yang bersifat duniawi.Teori 
48
etika  teonom  yang  dilandasi  oleh  filsafat  Kristen  (sebenarnya  semua 
agama  mempunyai  filsafat  etika  yang  serupa)  mengatakan  bahwa 
karakter  moral  manusia  ditentukan  secara  hakiki  oleh  hubungannya 
dengan  kehendak  Allah.  Perilaku  manusia  dianggap  baik  secara  moral 
jika  sepadan  dengan  kehendak  Allah,  perilaku  dianggap  tidak  baik  bila 
tidak  mengikuti  aturan‐aturan/perintah  Allah  sebagaimana  telah 
dituangkan dalam kitab suci. 
Ada tiga persamaan fundamental filsafat etika semua agama: 
a. Semua  agama  mengakui  ada  tujuan  tertinggi  umat  manusia 
selain  tujuan  hidup  di  dunia.  Hindu  menyebutnya  moksha, 
Budha  menyebutnya  Nirwana,  Islam  menyebutnya  dunia 
akhirat  dan  Kristen  menyebutnya  surga.  Apapun  sebutannya, 
berarti  semua  mengakui  adanya  eksistensi  non  duniawi  yang 
menjadi tujuan akhir umat manusia. 
b. Semua  agama  mengakui  adanya  Tuhan,  Allah,  atau  apapun 
sebutannya,  semua  agama  mengakui  adanya  kekuatan  tak 
terbatas yang mengatur alam jagat raya ini. 
c. Etika  bukan  saja  diperlukan  untuk  mengatur  perilaku  hidup 
manusia di dunia, tetapi juga dan ini yang lebih penting adalah 
sebagai salah satu syarat mutlak untuk mencapai tujuan akhir, 
tujuan tertinggi umat manusia. 
d. Semua  agama  mempunyai  ajaran  moral  (etika)  yang 
bersumber dari kitab suci masing‐masing. Ada prinsip‐prinsip 
etika yang bersifat universal, bersifat mutlak yang dijumpai di 
semua  agama,  walaupun  ada  juga  yang  bersifat  spesifik,  yang 
berbeda, yang hanya ada pada agama tertentu saja. 
Setiap etika yang memperkenalkan konsep kewajiban tak bersyarat 
diperlukan  untuk  mencapai  tujuan  tertinggi  yang  bersifat  mutlak. 
Kelemahan  etika  Kant  adalah  walaupun  ia  memperkenalkan  etika 
49
kewajiban  mutlak,  tetapi  ia  mengabaikan  adanya  tujuan  mutlak,  tujuan 
tertinggi  yang  harus  dicapai  umat  manusia.  Bila  pemikiran  etika  hanya 
dikaitkan  dengan  tujuan  manusia  yang  berorientasi  duniawi  yang 
bersifat terbatas maka akan nampak bahwa ajaran moral/etika tersebut 
akan  selalu  bersifat  relatif.  Ini  logis  karena  hukum  duniawi  selalu 
didasarkan  atas  dua  sisi/kekuatan  ekstrem  yang  berlawanan:  ada 
kekuatan  positif  dan  negatif,  kekuatan  yin  dan  yang,gelap  dan  terang, 
baik dan jahat, hitam dan  putih, indah dan jelek dan sebagainya. Semua 
kehidupan  duniawi  dipengaruhi  oleh  dua  kekuatan  ini.  Hanya  bila 
moralitas  dikaitkan  dengan  tujuan  tertinggi  umat  manusia  maka 
moralitas  itu  bersifat  mutlak.  Apapun  yang  bersifat  mutlak  tidak  dapat 
diperdebatkan dengan pendekatan rasional karena semua yang bersifat 
mutlak  melampaui  tingkat  kecerdasan  rasional  yang  dimiliki  oleh 
manusia.  
Terlepas  apakah  manusia  mengakui  atau  tidak  mengakui  Tuhan, 
semua  manusia  telah  diberikan  oleh  Tuhan    potensi  kecerdasan  tak 
terbatas  (kecerdasan  hati  nurani,  intuisi,  kecerdasan  spiritual,  atau 
apapun  sebutan  lainnya)  yang  melampui  kecerdasan  rasional.  Tujuan 
tertinggi  umat  manusia  hanya  dapat  dicapai  bila  telah  memanfaatkan 
potensi kecerdasan tak terbatas ini. 

3.2  Etika Abad Ke­Dua puluh 
Untuk  memperkaya  pemahaman  tentang  berbagai  teori  etika  dan 
pemikiran  moral  yang  berkembang,  di  samping  beberapa  paham/teori 
etika  sebagaimana  telah  diuraikan  di  depan,  maka  di  bawah  ini  juga 
disampaikan  esensi  dari  beberapa  pemikiran  moral  yang  berpengaruh 
yang  muncul  pada  abad  ke‐20.  Ringkasan  ini  diambil  dari  buku  Etika 
abad kedua puluh karangan Fransz Magnis‐Suseno (2006).  

50
 
1. Pemikiran George Edward Moore tentang Arti Kata Baik 
Kata baik adalah kunci dari moralitas, namun Moore merasa heran 
tidak  satupun  etikawan  yang  berbicara  tentang  kata  baik  tersebut. 
Seakan‐akan  hal  itu  sudah  jelas  dengan  sendirinya.  Menurut  Moore  di 
sinilah  letak  permasalahannya  sehingga  terdapat  kekacauan  dalam 
menafsirkan  kata  baik  tersebut.  Ada  banyak  penafsiran  tentang  apa  
yang  dianggap  baik.  Sebagaimana  telah  diuraikan  di  depan,  ada  yang 
menafsirkan  kata  baik  sebagai  nikmat  (kaum  hedonis),  memenuhi 
keinginan  individu  (etika  egoisme,  etika  psikologis),  memenuhi 
kepentingan  orang  banyak(etika  utilitarianisme),  memenuhi  kehendak 
Allah  (etika  teonom),  bahkan  ada  yang  mengatakan  kata  baik  tidak 
mempunyai  arti.  Ini tidak  mengherankan  karena  menurut  Moore  untuk 
menghindari  kekacauan  definisi  ini  seharusnya  dimulai  dengan 
pertanyaan paling mendasar: apakah kata baik dapat didefinisikan atau 
tidak?  Anggapan  inti    Moore  sangat  sederhana  bahwa  kata  baik  tidak 
dapat  didefinisikan,  sama  seperti  misalnya  kata  kuning  yang  tidak 
pernah  bisa  didefinisikan  lagi.  Walaupun  kita  telah  mengumpulkan 
berbagai  fakta,  benda  atau  sesuatu  yang  berwarna  kuning,  fakta  ini 
sendiri  tetap  tidak  dapat  dipakai  untuk  menyimpulkan  apa  definisi 
kuning  itu  sendiri.  Alasannya  karena  kedua  istilah  itu,  seperti  banyak 
istilah‐istilah lainnya mempunyai sifat primer, suatu kata yang tidak lagi 
terdiri dari bagian‐bagian dan oleh karena itu juga tidak dapat dianalisa, 
dan  apa  yang  tidak  dapat  dianalisa  juga  tidak  dapat  didefinisikan. 
Berdasarkan penjelasan ini maka menurut Moore, kata baik tidak dapat 
didefinisikan.  Baik  adalah  baik,  titik.  Setiap  usaha  untuk 
mendefinisikannya akan selalu menimbulkan kerancuan. 
 
 
51
2. Tatanan  Nilai Max Scheler 
Pengertian  tatanan  nilai  Max  Sheller  ini  telah  diungkapkan  pada 
bab 2. Scheler sebenarnya membantah anggapan Immanuel Kant dengan 
teori imperative category nya yang mengatakan bahwa hakikat moralitas 
terdiri  atas  kehendak  untuk  memenuhi  kewajiban  demi  kewajiban  itu 
sendiri.  Kewajiban  bukanlah  unsur  primer,  melainkan  mengikuti  apa 
yang  bernilai.  Manusia  wajib  memenuhi  sesuatu  demi  untuk  mencapai 
sesuatu  yang  baik  dan  yang  baik  itu  adalah  nilai.  Maka  bukanlah  asal 
memenuhi kewajiban, melainkan tujuan merealisasi nilai‐nilai itulah inti 
dari tindakan moral.  
Nilai‐nilai  itu  bersifat  material  dan  apriori.  Material  di  sini  bukan 
dalam  arti:ada  kaitan  dengan  materi,  tetapi  sebagai  lawan  dari  kata 
formal  (kedua  istilah  ini:material  dan  formal  sering  dipakai  dalam 
konteks ilmu hukum). Bersifat apriori artinya kebernilaian nilai tersebut 
mendahului  segala  pengalaman.  Untuk  mengetahui  apakah  makanan 
tertentu  enak,  atau  tidak,  memang  harus  dicoba  dan  diperoleh  melalui 
pengalaman:  memakan  langsung  makanan  tersebut,  tetapi  bahwa  yang 
enak,  merupakan  sesuatu  yang  positip,  sebuah  nilai  diketahui  lebih 
dahulu tanpa dicoba. 
Menurut Scheler, ada empat gugus nilai yang mandiri dan berbeda 
satu  dengan  yang  lain  (1)  nilai‐nilai  sekitar  enak  dan  tidak  enak,  (2) 
nilai‐nilai vital, (3) nilai‐nilai rohani murni, dan (4) nilai‐nilai sekitar roh 
kudus. 
 
3. Etika Situasi Joseph Fletcher 
Joseph  Fletcher  termasuk  tokoh  yang  menentang  adanya  prinsip‐
prinsip  etika  yang  bersifat  mutlak.  Ia  berpendapat  bahwa  setiap 
kewajiban moral selalu tergantung kepada situasi konkret. Sesuatu yang 
dalam situasi yang sama baik dan tepat, dalam situasi lain bisa jelek dan 
52
salah.  Norma‐norma  umum  tidak  pernah  berlaku  begitu  saja  karena 
norma‐norma  itu  hanya  mengikat  apabila  juga  tuntutan  situasi  konkret 
diperhatikan.  Tanpa  perhatian  pada  tuntutan  situasi  tidak  dapat 
diketahui  apa  yang  wajib  dilakukan.  Itulah  sebabnya  moralitas  hanya 
dapat  dipahami  dalam  situasi  konkret  dan  situasi  konkret  tidak  selalu 
sama, karena itu etika Fletcher sering disebut etika situasi. 
  
4. Pandangan Penuh Kasih Iris Murdoch 
Iris  Murdock    mengamati  bahwa  etika  paska  Kant  yang 
memusatkan  perhatiannya  kepada  kehendak  bebas  tidak  mengenai 
sasaran.  Yang  khas  dari  etika  paska  Kant  menurut  Murdock  adalah 
bahwa  nilai‐nilai  moral  dibuang  dari  dunia  nyata.  Bukan  kemampuan 
otonom  yang  menciptakan  nilai  melainkan  kemampuan  untuk  melihat 
dengan  penuh  kasih  dan  adil.  Hanya  pandangan  yang  adil  dan  penuh 
kasih menghasilkan pengertian yang betul‐ betul benar. 
 
5. Pengelolaan Kelakuan Byrrhus Frederic Skinner 
Skinner  mulai  dengan  pengamatan  bahwa  dalam  ilmu  fisika  dan 
hayat manusia telah mencapai kemajuan luar biasa dalam dua ribu tahun 
terakhir  ini,  tetapi  anehnya  untuk  menemukan  bagaimana  manusia 
harus bertindak, etika sekarang tidak maju jauh terhadap apa yang telah 
dikemukakan  oleh  Plato  dan  Aristoteles  dulu.  Ia  mengatakan  bahwa 
pendekatan  filsafat  tradisional  dan  ilmu  manusia  tidak  memadai.  Yang 
diperlukan  bukanlah  ilmu  etika  tetapi  sebuah  teknologi  kelakuan.  Ia 
mengacu  kepada  ilmu  kelakuan  sederhana  yang  dikembangkan  oleh 
Pavlov.  Idea  dasar  Skinner  adalah  menemukan  teknologi/cara 
bagaimana  mengubah  perilaku.  Apabila  kita  dapat  merekayasa  kondisi‐
kondisi kehidupan seseorang maka kita dapat merekayasa kelakuannya. 

53
Mengapa  pengaruh  lingkungan  pada  kelakuan  manusia  tidak 
diperhatikan?  Menurut  Skinner  karena  filsafat  dan  ilmu‐ilmu  manusia 
lainnya  hanya  memfokuskan  perhatiannya  pada  inner  state,  pada 
keadaan  batin  manusia.  Yang  dimaksud  dengan  keadaan  batin  di  sini 
adalah  kesadaran  manusia,  pikiran,  kehendak,  perasaan,  maksud,  cita‐
cita,  sasaran  dan  tujuan‐tujuannya  dan  kehendak  bebas  dari  dalam  diri 
manusia  itu  sendiri.  Intinya  inner  state  saja  tidak  mampu  untuk 
mengubah  tingkah  laku,  perlu  ada  rekayasa  kondisi  (luar)  untuk 
mengubah kelakuan manusia. 
 
6. Prinsip Tanggungjawab Hans Jonas 
Jonas  mengamati  bahwa  kemajuan  ilmu  pengetahuan  dan 
teknologi  walaupun  membawa  kemajuan  tetapi  juga  mengancam 
kelanjutan umat manusia, bahkan pula kelanjutan kehidupan di bumi ini. 
Etika tradisional hanya memperhatikan akibat tindakan manusia dalam 
lingkungan  dekat  dan  sesaat.  Etika  macam  ini  tidak  lagi  dapat 
menghadapi  ancaman  global  kehidupan  manusia  dan  semua  kehidupan 
di  duni  ini.  Oleh  karena  itu  Jonas  menekankan  pentingnya  dirancang 
etika baru yang berfokus pada tanggung jawab.Intinya adalah kewajiban 
manusia  untuk  bertanggungjawab  atas  keutuhan  kondisi‐kondisi 
kehidupan umat manusia di masa depan.  
 
7. Kegagalan Etika Pencerahan Alasdair Macintyre 
Macintyre mengatakan bahwa etika proyek pencerahan telah gagal 
karena  pencerahan  atas  nama  rasionalitas,  justru  telah  membuang  apa 
yang  menjadi  dasar  rasionalitas  setiap  ajaran  moral,  yaitu  pandangan 
teleologis  tentang  manusia.  Apa  yang  dimaksud  oleh  Macintyre  adalah 
pandangan dari Aristoteles sampai dengan pandangan Thomas Aquinas 
bahwa manusia sebenarnya mempunyai tujuan hakiki (telos) dan bahwa 
54
manusia  hidup  untuk  mencapai  tujuan  itu.Moralitas  lantas  mudah 
dipahami  sebagai  jalan  ke  tujuan  hakiki  tersebut.  Dengan  membuang 
tujuan  hakiki  umat  manusia  ini  dalam  etika  maka  lantas  etika  menjadi 
tidak  rasional  lagi  (irasional).  Oleh  karena  itu  Macintyre  menganjurkan 
agar etika kembali pada paham teleologis tentang manusia.   
 

55

Anda mungkin juga menyukai