ISLAM
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
BAROZI
NIM : 204043203073
ISLAM
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Islam (SHI)
Oleh:
BAROJI
NIM : 2040 43203073
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
PANITIA UJIAN
Khaliq penggenggam setiap jiwa, yang menjadikan diri ini tetap tegar dalam setiap
ikhtiar dalam melanjutkan penulisan skripsi ini hingga selesai. Dengan segena keridhoan-
Nya, penulis senantasa mendapat kemudahan baik dari segi teknis, materi, tenaga, waktu
maupun pikiran.
Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Rasul yang
merentas jalan cahaya di masa jahiliyah yang senantiasa gigih berjuang dan tidak pernah
Selama penyusuan skripsi ini, tidak ada sedikit kesulitan dan hambatan yang
dialami penulis. Penulis menyadari skrpsi ini bukanlah suatu ukuran atau acuan dalam
penyusunan karya ilmiah, tetapi masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu,
saran dan kritik yang bersifat membantu selalu penulis harapkan demi perbaikan dan
Suksesnya penulisan skripsi ini bukan semata-mata atas usaha penulis pribadi
namun juga karena bimbingan, bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena
itu, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :
1. prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH,. MA,. MM. Selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. Djawahir Huzziey,. SH,. MA. Dan Drs,.H. Ahmad Yani, MAg sebagai Ketua
dan Sekretaris Kordinator Teknis Program Non Reguler Fakultas Syariah dan
Hukum
3. Dr. Jaenal Arifin dan Dedy Nursamsi selaku pembimbing dalam penyusunan
skripsi ini, beliau dengan sabar melayani, membantu dan meluangkan waktunya
untuk penulis
4. bapak kepala dan staf perpustakaan fakultas syariah dan hukum yang telah
pengumpulan data.
5. rekan – rekan yang telah memotivasi dan membantu dalam menelesaikan skripsi
ini.
6. kepada semua pihak yang telah mendukung dan membantu hingga terselesainnya
skripsi ini.
Kepada para pihak di atas, penulis mendo’akan semoga amal baik dan
perbaikan serta bimbingan, untuk itu penyusun mengharapkan saran dan kritik guna
untuk mendekati kesempurnaan di masa yang akan datang. Dan semua kekeliruan dan
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
(Sepakat)………………….…………………………………………..…15
1. Al-Qur’an………………………………………………..………….17
2. Sunnah (Hadist)……………………………………….…………....22
(Pertentangan)…………………………………………..….………..….36
1 Ijma ………………………………………………….…………….27
2 Qiyas…………………………………………………..…………....31
3 Istihsan……………………………………………………..……….35
4 Maslahah Mursalah……………………………………………..…..37
5 ‘Urf………………………………………………………………….38
BAB III : PENDAPAT IMAM SYAFI’I DAN IMAM JA’FAR TENTANG
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………………..76
B. Saran-saran ……………………..…………………………………....78
BAB I
PENDAHULUAN
Bangsa Arab sebelum Islam adalah komunitas tradisional atau suku-suku yang
dipimpin oleh kepala keluarga atau sesepuh. Mereka saling mengenal, mengetahui asal-
usul dan kebiasaan sosial masing-masing, inilah yang disebut masyarakat tatap muka.
kerajaan. Contoh terbaik dari jenis peradaban seperti kerajaan Umayyah dan Abbasiyah.
naskah tentang filsafat logika, etimologi, karya sastra dari berbagai penjuru dan bahkan
Dengan masuknya karya-karya dari luar ke dunia Islam maka sedikit demi sedikit
perkembangan dunia Islam mulai terlihat, hal ini tidak bisa dipungkiri. Masyarakat mulai
menggunakan logika sebagai alat untuk mencari suatu hukum yang memang belum ada
dalam nash, dan bentuk argumen yang terpenting dikelompokkan dalam Qiyas tentu
Anologi, yang merupakan pola dasar dari semua argumen hukum, dalam pikiran sebagian
teolog dan fuqaha, menjadi pola dasar dari semua argumen logis.2
Berpikir atau berfilsafat penting sekali dalam mempelajari agama, oleh karena itu
1
A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukun Allah (Syariah), (Jakarta: PT. Raja
Grapindo Persada, 2002), Cet, Pertama, h.96.
2
Wael B. Hallq, Sejarah Teori Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2001), Cet,
Kedua, h.122.
dapat pula mengadakan macam-macam cara atau metode untuk menghindarkan diri
telah berusaha meningkatkan penerjemahan yang sistematis dan menentukan dengan cara
mendirikan Bait Al-Hikmah, yaitu suatu lembaga tempat diadakannya penerjemahan dan
penelitian yang lengkap, dengan perpustakaan yang menyimpan buku-buku karya para
ilmuwan.
Plato, Platinus karangan dalam ilmu kedokteran dan ilmu pengetahuan lainnya dibaca
oleh para ulama-ulama yang tersebar, tidak hanya di Baghdad tetapi di seluruh wilayah
kekuasaan Islam. Dalam bidang filsafat muncullah para filosof seperti Ibnu Sina, Al-
Kindi, Al-Razi, Al-Farabi, dan Ibnu Rasyid, pemikiran filsafat Yunani, yang
mempengaruhi pemikiran mereka adalah yang berasal dari pemikiran Aristoteles, Plato.3
dalam bahasa Arab, maka filsafat Yunani, menjadi tidak asing lagi di kalangan para
ulama maupun di kalangan para akademisi muslim. Dengan bahasa lain, tradisi filsafat
Yunani banyak memberikan pengaruh dalam cabang-cabang keilmuan islam dan adanya
unsur-unsur Yunani ini bukan berarti semua hukum Islam itu merupakan hasil adopsi dari
Yunani, melainkan hanya beberapa sisi saja, yaitu unsur-unsur yang tidak didapatkan
secara tegas dalam sumber hukum islam (Al-Qur’an dan As-Sunnah), dan itupun bila
tidak bertentangan dengan semangat Islam, seperti konsep qiyas yang berada dalam ushul
fiqih.
3
Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, (Dirasah Islamiyah IV), (Jakarta: PT.Raja
Grapindo Persada, 2001), Cet. Kelima, h.53.
Qiyas secara umum diartikan sebagai analogi baik menganalogikan kepada
hukum, alam ataupun kepada benda-benda lainnya, dengan diartikannya qiyas sebagai
analogi sehingga :
1) Keempat aliran hukum (Islam) sepakat bahwa semua masalah yang tidak
disimpulkan dari apa yang telah didasarkan pada tiga otoritas ini dengan
nash asli ke dalam proses yang digunakan pada suatu kasus tertentu dengan
memakai illat umum, yang tidak dapat diketahui jika hanya dengan
2) Al-Mazani mengatakan bahwa para ahli fiqh pada zaman Rasulullah SAW,
merupakan dugaan dan terkaan murni, dan karena jumlah keseluruhan apa
yang telah diterima oleh Nabi, dan para Imam memadai untuk tanggung jawab
4
Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis Studi Perbandingan
System Hukum Islam, (Yogyakarta: PT.Tiara Wacana), h.107.
5
Ibnu Qayyim Al-jauziyyh, Panduan Hukum Islam, (Jakarta: PT. Pustaka Azzam, 2000), Cet,
Pertama, h.169.
semua, perujukan pada analogi dilarang keras. 6 Jadi di sini aliran Syi’ah tidak
Definisi di atas menunjukan kepada fakta bahwa ada dua golongan yang berbeda
dalam menentukan atau menetapan (isthinbat) sumber hukum Islam setelah ijma, yang
satu menggunakan Qiyas sebagai sumber hukum Islam dan yang satu lagi melarang
Kata Isthinbat berasal dari bahasa Arab, fi’il madinya nabatha artinya keluar,
sedangkan fi’il amarnya adalah istimbat mengikuti wajan istap’ala yang mengandung arti
berdasarkan ijtihad.
Fiqih Islam bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadist, namun memahami maksud-
maksud yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis itu berbeda-beda, dan
disamping itu tentunya para Imam Mazhab berbeda-beda juga kemampuan dan
Selain itu tolak ukur mempunyai corak dan bentuk yang berbeda-beda sesuai
dengan prinsip-prinsip profesi, ilmu, dan kaidahnya. Misalnya, tolak ukur para ahli fiqih
tidak serupa dengan tolak ukur para dokter, tolak ukur para ahli astronomi berbeda
dengan tolak ukur ahli nahwu dan ahli ilmu kalam, serta tolak ukur ahli filsafat dan
mantiq tidak sama dengan tolak ukur tukang debat, demikian pula tolak ukur mereka
6
Murtadha Murthahhari, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, (Jakarta: PT. Pustaka Zahra, 2003), Cet,
Pertama, h.18.
7
A. Warson Munawir, Kamus Al-Munawir Arab Indonesia, (Surabaya: PT. Pustaka Progresif,
1997), Edisi II, Cet Keempat Belas h. 1379
orientasi ilmiah masing-masing, walaupun obyek kajian mereka sama, maka akan tetap
terjadi perbedaan diantara mereka karena masing-masing berpikir dengan metode ilmiah
yang berbeda.8
mereka berpikir.
Begitulah para fukaha pada masa yang lampau apabila terdapat perbedaan
pendapat diantara mereka dalam suatu masalah dan tidak mungkin mempertemukan
semua pendapat itu, maka tiap-tiap orang berpegang pada pendapatnya masing-masing
dan selalu menghormati pendapat orang lain, dengan tanggapan kemungkinan pendapat
yang dikiranya benar itu salah dan kemungkinan pendapat yang dikiranya salah itu
benar. 9 Seperti perbedaan pendapat tentang metode (cara) yang digunakan dalam
penggalian hukum Islam walau mereka (fuqaha) sepakat bahwa Al-Qur’an dan Al-Hadist
sebagai sumber hukum Islam yang paling utama. Akan tetapi, dalam perkembangannya,
terdapat perbedaan pendapat antara aliran Sunni dan Syi’ah dalam menentukan sumber
Mazdhab Syi’ah. Ulama Mazdhab Sunni mendudukkan Qiyas pada urutan ketiga setelah
Al-Qur’an, dan Al-Hadis, sedangkan Ulama Mazdhab Syi’ah setelah Al-Hadist ditempati
dengan akal. Untuk itu, Dengan adanya ungkapan di atas maka penulis merasa perlu
sekali untuk membahas serta meneliti tentang pengaruh akal dalam menentukan sumber
hukum Islam yang sangat berbeda antara Imam Syafi’i dan Imam Ja’far, keduanya dari
8
Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, (Jakarta: PT. Logos,
1996), Cet pertama, h.2-3.
9
.M. Asywadie Syukur,Lc, Perbandingan Mazhab, (Surabaya: PT. Bima Ilmu, 1994), h.44.
aliran yang berbeda, Imam As-Syafi’i itu dari aliran Sunni sedangkan Imam Ja’far Ash-
Siddiq itu dari aliran Syi’ah, serta bagaimana konsep akal yang digunakan oleh kedua
imam tersebut .
Bagi penulis ini semua adalah sebagai upaya pengetahuan dan perkembangan
dalam bidang ilmu serta hukum yang dipakai oleh kedua imam tersebut yang memang
alirannya berbeda.
1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka masalah pokok yang hendak diteliti dan dibahas
dalam skripsi ini adalah bagaimana jalan yang ditempuh oleh Imam Syafi’i ketika
masalah tersebut tidak ada dalam nash, sunnah, sedangkan bagaimana pula dengan Imam
Ja’far ?
Dengan melihat dua pandangan yang berbeda antara Imam Syafi’i dengan Imam
Ja’far tentang akal maka akan timbul beberapa pembatasan masalah yang akan diteliti
b. Akal dalam isthimbat (penetapan) hukum islam menurut Imam Syafi’i dan
Imam Ja’far
2. Perumusan Masalah
b. Apa sajakah dalil yang di gunakan Imam Syafi’i dan Imam ja’far dalam
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat untuk
menyelesaikan Program Studi Strata 1 pada Fakultas Syariah dan Hukum, sedangkan
tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
b. Mengetahui persamaan dan perbedaan dalil yang digunakan oleh Imam Syafi’i
dan imam Ja’fa dalam pengunaan akal untuk isthimbat (penetapan) Hukm
Islam.
2. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, penelitian ini diharapkan dapat
D. Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah deskriptif analisis. Data
yang terkumpul kemudian diklasifikasikan sesuai dengan tema-tema yang akan dibahas,
serta data-data tersebut dipaparkan secara sistematis dan dilengkapi dengan analisis,
Terhadap data kualitatif dalam hal ini dilakukan dalam hal data yang berupa informasi,
uraian dalam bahasa prosa kemudian dikaitkan dengan data lainnya untuk mendapat
kejelasan terhadap suatu kebenaran atau sebaliknya, sehingga dapat memperoleh suatu
gambaran baru atau menguatkan suatu gambaran yang sudah ada dan juga sebaliknya. 10
dokumentasi yakni dengan cara mengumpulkan dokumen yang telah ada serta memiliki
pada penulisan skripsi ini. Berupa Al-Qur’an, Hadist, dan Kitab-kitab, adapun
10
P. Joko Subagya, Metodologi Penelitian Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta,
1990), h.106.
Abi Abdullah Muhammad Ibn Idris Assyafi’i, Al-Umm, Muhammad bin Idris
Abu Nasir Nail , Hasyiatul Bajuri karangan Syah Ibrahim Al-Bajuri, Latoipul
Sedangkan buku yang diambil dari imam Jafar adalah Ja’far Shadiq Sang
Maha Guru karangan The Ahlul Bayt Word Asembly, Pengantar Ilmu-ilmu
atau pendukung dari bahan primer dan dapat membantu, menganalisa dan
bahan sekunder dan primer untuk memberikan deskripsi yang lebih rinci
Karena bertitik tolak pada penelitian yang bersifat literatur, maka sumber data
dalam penulisan skripsi ini sepenuhnya didasarkan pada riset kepustakaan (library
research). Yaitu pengumpulan data-data diperoleh dengan merujuk pada karya-karya yang
dengan objek penelitian, maka selanjutnya adalah dilakukan analisis terhadap data yang
diperoleh tersebut.
penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Penelitian akal sudah menjadi tema umum yang mudah ditemukan, namun untuk
tema yang berkenaan dengan pengaruh akal terhadap istimbat hukum belum penulis
temukan akan tetapi untuk bahan rujukan penulis, ada beberapa skripsi yang membahas
tentang akal :
2. Metode Ijtihad Imam Malik dan Imam Daud Ad-Dhahiri, Suatu Perbandingan
Terhadap Konsep Qiyas Imam Malik dan Konsep Dalil Imam Ad-Dhahiri.
Dari judul-judul skripsi di atas dapat disimpulkan bahwa, para ulama syi’ah itu
menolak adanya konsep qiyas walaupun ada sebagian ulama yang menggunakan konsep
qiyas dalam pengambilan istimbat hukum islam, dan disini penulis menyimpulkan bahwa
ulama Syi’ah itu menolak qiyas karena melihat dari suara mayoritas dan mereka tidak
menjadikan qiyas sebagai landasan hukum sebab mereka beranggapan qiyas itu bersifat
zanni (prasangka) maka dari itu qiyas tidak bisa dijadikan landasan hukum.
Qiyas menurut mazhab Sunnni dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan
hukum islam dan mempunyai peranan penting dalam mengistimbatkan hukum islam.
Akan tetapi mengambil metode qiyas setelah dida lam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak
ditemukan suatu hukum yang jelas. Dasar hukum yang mereka gunakan berdasarkan
kepada ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah serta pendapat berbagai sahabat Rasulullah SAW.
Pengaruh dari kedua golongan tersebut sangat berbeda akan tetapi pengaruh dari
pemikirannya mempunyai peranan yang sangat besar dan jelas serta dapat
fuqaha itu berbeda dalam menggunakan metodenya yang berkisar pada permasalahan
atau suatu kejadian yang tidak terdapat dalam nash, salah satunya metode Qiyas yang
tapi disinilah letak permasalahannya : seperti Imam Malik ketika tidak terdapat dalam
nash dan sunnah beliau menggunakan Qiyas sebagai metode ijtihadnya, sedangkan Imam
Dalil akal adalah salah satu metode ijtihad yang digunakan Imam Ja’far dan
dijadikan sebagai sumber hukum islam setelah ijma, keberadaanya merupakan sebuah
F. Sistematika Penulisan
maka penulis membagi pembahasan skripsi ini menjadi lima Bab, yang setiap babnya
sistematika penulisan.
Bab II : Bab ini berisi tentang tinjauan sumber hukum islam menurut Imam Syafi’i
Bab III : Pada bab ini penulis akan membahas mengenai biografi Imam Syafi’ dan
Imam Ja’far, . Pendapat Imam Malik dan Imam Ja’far Dalam Peran Akal
Bab IV : Pada bab ini penulis akan membahas mengenai Analisa Terhadap Dalil-dalil
Yang Digunakan oleh Imam Syafi’i dan Imam Ja’far Serta Persamaan dan
Bab V : Pada bab terakhir ini akan diuraikan kesimpulan dari permasalahan yang
Pada uraian ini, penulis akan mencoba menguraikan tentang kajian usul fiqh yang
mengajarkan, perintah-perintah dan metode penyimpulan hukum syariat yang tepat dan
valid dari sumber-sumber yang sahih. Sekarang penulis akan mempelajari apa sumber-
sumber itu, dan berapa banyak sumber-sumber itu, serta apakah semua mazhab dan aliran
dalam islam mempunyai pandangan yang sama tentang masing-masing detail sumber-
sumber hukum Islam itu atau apakah mereka mempunyai pandangan yang berlainan. Jika
memang ada perbedaan-perbedaan pendapat, para ulama terdahulu itu merasa bahagia
dengan adanya perbedaan pendapat, karena berbeda dalam kesatuan, sesuatu ummat akan
maju, pikirannya akan berkembang dan ajaran agamanya akan tetap up to date serta dapat
Oleh karena itu, para ulama terdahulu telah mengungkapkan sikap dan pikirannya
terhadap masalah ikhtilaafaatun fiqhiyatun ini. Berikut ini penulis kutipkan diantaranya:
(Abi Na’iim,)
bagi seorang faqqih untuk menggiring umat, guna memilih suatu mazdhab,
186)
seraya menjelaskan masing-masing sumber itu, yang kedua sumber-sumber hukum Islam
yang ikhtilaf. Adapun sumber hukum Islam yang ithifak (disepakati) adalah :
1. Al-qur’an
Al-qur’an merupakan sumber hukum Islam yang primer pertama ataupun dalil
fiqh yang paling agung dan utama, ia adalah kitab Allah atau kumpulan firman Allah
yang tidak datang kepadanya kebatilan. baik dari depan ataupun dari belakang. 12
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam, bagi muslim Al-Qur’an merupakan
firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW yang sangat berharga
bagi umat Islam hingga saat ini, di dalamnya terkandung petunjuk dan pedoman bagi
umat manusia dan mencapai kebahagian hidup baik di dunia maupun di akhirat.
11
Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh Muqaaran, (Jakarta: Erlangga 1989), h.40.
12
Saifudin Nur,, Ilmu Fiqh (Suatu Pengantar Komprehensif Kepada Hukum Islam), (Bandung:
Tafakur,2007). h.39.
Al-Qur’an adalah sumber hukum yang sekaligus sebagai dalil hukum yang utama
dan pertama terdapat dalam wahyu Allah SWT, yaitu kitab suci Al-Qur’an nama dari Al-
a. Al-Kitab, artinya buku atau tulisan arti itu untuk mengingatkan kaum
atau dihapal bacaannya diluar kepala. atau bacaan yang mulia, sebagaimana
(: )اﻟﻘﯿﺎﻣﺔ
Qiyamah : 17-18).
Al-Furqan, artinya pemisah atau pembeda, arti ini mengingatkan supaya dalam mencari
garis pemisah antara kebenaran dan kebathilan, yang baik dan buruk
13
[a] Al-Qur’an yang sebagiannya, di masa itu, masih terkandung di Al-lauhil mahfuzh
haruslah dari padanya atau mempunyai rujukan padanya, sebagaimana
( )اﻟﻔﺮﻗﺎن
Artinya : “Maha banyak kebaikan (Tuhan) yang telah turunkan Al-Fur’qan (b)
Furqan. 25 : 1)14
rujukan padanya.
menurut para ulama nama lain terhadap Al-Qur’an antara lain Al-Mubin, Al-
dalam bahasa Arab, riwayatnya mutawatir. Oleh karena itu terjemahan Al-Qur’an tidak
14
(b) Al-Fur’qan : Pembeda, maksud disini adalah Al-Qur’an.
(c) kalimah ia, menunjukkan kepada Nabi, atau Al_Fur’qan
disebut Al-Qur’an dan orang yang mengingatkannya baik secara keseluruhan maupun
bagian rinciannya, dipandang kafir.15 Dan para ulama memberi definisi tentang al-Qur’an
yang mengandung mu’jizat di turunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dalam bahasa
Arab yang diriwayatkan secara mutawatir, terdapat dalam mushaf dan membacanya
merupakan ibadah, yang dimulai dari surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-
Nas.16
Dia (Al-Qur’an) merupakan sendi fundamental dan rujukan pertama bagi semua
dalil dan hukum syari’at, merupakan undang-undang dasar, sumber dari segala sumber
dan dasar dari semua dasar, hal ini sudah menjadi kesepakatan para ulama Islam. Jadi
sudah jelas bahwa para ulama sudah sepakat bahwa Al-Qur’an adalah sumber hukum
islam yang tertinggi dan tidak ada lagi di atasnya. Dan dalam kandungan atau isi Al-
Qur’an itu sendiri ada yang bersifat qhat’y dan ada yang bersifat zhonny.
Tidak ada keraguan bahwa Al-Qur’an adalah sumber hukum dan peraturan islam
yang pertama. Tentu saja, ayat-ayat atau surah-surah dalam Al-Qur’an tidak terbatas pada
hukum dan peraturan. Dalam Al-Qur’an, ratusan jenis permasalahan telah dimasukkan.
Al-Quran turun dalam dua periode, yaitu pertama periode Makkah sebelum
Rasulah hijrah ke Madinah dan ayat yang diturunkan pada periode ini dikenal dengan
ayat-ayat Makkiyah, dan periode kedua setelah Rasulah hijrah ke Madinah yang dikenal
dengan ayat-ayat Madaniyah, ayat-ayat di Makkah pada umumnya yang menjadi inti
meluruskan keyakinan umat di masa Jahiliyah dan menanamkan ajaran tauhid. Mengapa
15
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam (Permasalahan dan Fleksibilitasnya), (Jakarta: Sinar
Grafika, 1995), cet, I, h.9-10.
16
Suparman Usman, Hukum Islam (Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata
Hukum Indonesia), (Jakarta: Gaya Media Pratama). h.38.
ajaran akidah yang harus lebih dahulu ditanamkan, tanpa itu syariat islam belum akan
Artinya : “Dan tidak Kami utus sebelummuseorang Rasul melainkan kami wahyukan
()اﻻﻧﺒﯿﺎء
Untuk sampai kepada akidah yang benar ayat-ayat Makkiyah mendorong umat
manusia untuk menggunakan akal yang sehat untuk memikirkan alam nyata disekitarnya
Artinya : “maka tidaklah mau mereka melihat kepada onta, bagaimana dijadikan ? dan
2. Sunnah
Sunnah adalah sumber hukum islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Sebagian para
ulama berpendapat bahwa ada empat istilah di pandang dari segi bahasa :
Keempat istilah diatas adalah sinonim, mempunyai arti yang sama, yaitu, ucapan
perbuatan, dan pernyataan (taqrir) yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW.
a) Kalau hadist adalah khusus menyangkut ucapan, perbuatan dan taqrir Nabi
b) Kalau hadits adalah sesuata yang datang dari Nabi muhammad SAW, maka
17
Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana prenada Medi Group, 2005), Cet, II.
h.81-82.
c) Atsar adalah sama dengan khabar dalam pengertian seperti di atas itu, tetapi
ada pula pendapat yang menyatakan atsar sebagai sesuatu yang datang dari
kalangan sahabat.18
Adalah : Pengertian secara etimologis, dapat ditemukan dalam sabda Rasulullah SAW,
sebagai berikut :
ﻋَﻦْ اﻟﻤُﻨْﺬِرِ ﺑْﻦِ ﺟَﺮِﯾْﺮٍﻋَﻦْ اَﺑِﯿْﮫِ ﻗَﺎلَ ﻗَﺎلَ رَﺳُﻮْلَ اﷲُ ﺻَﻠﻲ اﷲُ ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَﺳَﻠّ َﻢ
ْوﻣَﻦْ ﺳَﻦﱠ ﻓِﻲْ اﻻِﺳْﻼِمِ ﺳُﻨﱠﺔً ﺣَﺴَﻨَﺔً ﻓَﻠَﮫُ اَﺟْﺮُھَﺎ وَاَﺟْﺮُﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﺑِﮭَﺎ ﺑَﻌْﺪَهُ ﻣِﻦْ ﻏَﯿْﺮِ اَن
ﯾَﻨْﻘَﺺَ ﻣِﻦْ اُﺟُﻮْرِھِﻢْ ﺷَﯿْﺊٌ وَﻣَﻦْ ﺳَﻦﱠ ﻓِﻲ اﻻِﺳْﻼَمِ ﺳُﻨﱠﺔً ﺳَﯿﱢﺌَﺔً ﻛﺎَنَ ﻋَﻠَﯿْﮫِ وِزْرُھَﺎ
وَوِزْرُﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﺑِﮭَﺎ ﻣِﻦْ ﺑَﻌْﺪِهِ ﻣِﻦْ ﻏِﯿْﺮِ اَنْ ﯾَﻨْﻘَﺺَ ﻣِﻦْ اَوْزَارِھِﻢْ ﺷَﯿْﺊٌ )ﺻﺤﺢ
19
(ﻣﺴﻠﻢ
Artinya : Barang siapa yang membiasakan sesuatu yang baik, maka ia menerima
pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan sesudahnya, dan
barang siapa yang membiasakan sesuatu yang buruk, maka ia menanggung
dosanya dan dosa orang-orang yang mengikuti sesudahnya. (HR. Muslim)
Secara terminilogis (dalam istilah syari’ah), sunnah dapat dilihat dari tiga bidang
ilmu, yaitu dari ilmu hadits, ilmu fiqh, dan ilmu ushul fiqh.
ﻣَﺎ اُﺿِﯿْﻒَ ﻟِﻠﻨﱠﺒِﻲِّ ﺻَﻠِﻲ اﷲُ ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَﺳَﻠﱠﻢْ ﻗَﻮْﻻً اَوْ ﻓِﻌْﻼً اَوْﺗَﻘْﺮِﯾْﺮًا اَوْﻧَﺤْﻮَھَﺎ
18
Ardani, Qur’an-hadits, (Jakarta, Depertemen Agama RI, 1986) h. 31
19
Ibnu Abdullah Muhammad bin Yadiz, Sunan Ibn Mazah, (Bairut, Darul Fikr, 1990/1415) h. 80
Lihat juga : Soheh Muslim, Sirkatun Nur Ass’a, Zuz awal, h. 407
Artinya : Seluruh yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik perkataan,
himmah).
Sunnah menurut ahli Ushul Fiqh adalah ”segala yang diriwayatkan dari Nabi
Muhammad SAW berupa perbuatan, perkataan, dan ketetapan yang berkaitan dengan
hukum”.
dikemukakan para ulama ushul fiqh di atas, juga dimaksudkan salah satu hukum taklifi,
yang mengandung pengertian “perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan
Mengenai definisi sunnah ini, telah menjadi kesepakatan para ulama bahwa tidak
ada perbedaan pendapat dan tidak ada ulama yang menentangnya dan sunnah itu selain
menjadi sumber hukum islam setelah al-Qur’an sunnahpun mempunyai fungsi terhadap
al-Qur’an.
Baitullah, telah ditunjukkan oleh ayat-ayat al-qur’an lalu dikuatkan lagi oleh
Sunnah Rasul.
20
Suparman Usman, Hukum Islam (Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata
Hukum Indonesia), (Jakarta: Gaya Media Pratama). h.44-45.
- Sunnah berfungsi sebagai penjelas atau bayan, memerinci yang mujmal dan
yang mengkhususkan yang umum, seperti tata cara shalat, wasiat dengan
sepertiga harta, beberapa barang yang wajib dizakati disebutkan dalam sunnah.
( )اﻧﺤﻞ
- Sunnah terkadang memberi hukum sendiri yang tidak terdapat secara eksplisit
ْﻋَﻦْ أَﺑِﻲْ ھُﺮَﯾْﺮَةَ ﻋَﻦْ اﻟﻨﱠﺒِﻲﱠ ﺻَﻠﱠﻲ اﷲُ ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَﺳﻠﱠﻢَ ﻗَﺎلَ ﻛُﻞﱡ ذِيْ ﻧَﺎبِ ﻣِﻦ
(اﻟﺴَﺒﱠﺎعِ ﻓَﺄَﻛْﻠُﮫُ ﺣَﺮَامٌ )رَوَاهُ اﻟﻨَﺴَﺎﺋِﻲ
Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, bersabda semua jenis binatang buruan
yang mempunyai taring dan burung yang mempunyai cakar, maka hukum
Semua hukum-hukum yang terdapat dalam sunnah pada dasar dan pokoknya
terdapat dalam Al-Qur’an, oleh karena itu tidak mungkin terjadi pertentangan antara
dikarenakan sunnah sendiri itu untuk menjelaskan Al-Qur’an seperti terdapat dalam
hukum positif bahwa itu semua harus hierarki artinya hukum atau landasan yang kedua
itu tidak boleh keluar dari yang pertama dan disipun sudah menunjukan bahwa sunnah
tidak keluar dari Al-Qur’an. Namun disini ada perbuatan-perbuatan Rasul yang khusus
baginya dalam arti perbuatannya (Rasul) tidak boleh dilakukan oleh umatnya, seperti
beristeri lebih dari empat yang tidak bisa dijadikan landasan atau dasar hukum.
penulis akan menguraikan sumber-sumber hukum Islam yang ikhtilaf diantaranya adalah:
1. Ijma
Lafad ijma pengertian menurut bahasa ialah azm (cita-cita) seperti dalam firman
Allah SWT :
21
Saifudin Nur, Ilmu Fiqh (Suatu Pengantar Komprehensif Kepada Hukum Islam), (Bandung:
Tafakur,2007). h.42.
Lihat juga, Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana prenada Medi Group, 2005),
Cet, II. h.124-125.
(اﻟﺢ )ﯾﻮﻧﺲ............
Artinya : Tetapkanlah urusan kamu dan sekutu-sekutu kamu, (QS. Yunus. 10:71)
mujtahidin di antara ummat islam pada suatu massa setelah kewafatan Rasulallah SAW,
Maka apabila terjadi suatu kejadian dan diharapkan kepada semua mujtahid
ummat islam pada waktu terjadinya, dan mereka sepakat atas suatu hukum mengenai hal
itu, maka kesepakatan mereka itu disebut ijma, dan dianggaplah ijma mereka atas suatu
Sedangkan menurut Muhammad Abu Zahrah, dalam buku Satria Efendi yang
berjudul Usul Fiqh, mengatakan bahwa ijma adalah sah dijadikan sebagai dalil hukum.
sehingga dapat dianggap sebagai ijma yang mengikat umat islam. Menurut mazhab
22
Abdul Wahab Khalap, Kaidah-Kaidah Hukum Islam(Ilmu Ushul Fiqh), (Jakarta: PT. Raja
Grapindo Persada), Cetakan Keenam, h.63-64.
23
Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada Medi Group, 2005), Cet, II.
h.125.
Definisi di atas sudah jelas bahwa ijma adalah kesepakatan dengan suara bulat
dari para ulama muslim (ulama mujtahid). Dengan disepakatinya ijma sebagia sumber
hukum islam yang ketiga setelah sunnah, berarti ijma merupakan suatu hukum yang kuat
dalam sistem hukum islam dan mungkinkah dalam kontek sekarang ijma terjadi?
Pengertian sebagai mana dimaksud tidak mungkin terjadi lagi, kecuali pada masa
ke khalifahan Abu Bakar dan utsman, karena pada masa itu para ulama masih sedikit dan
mereka berkumpul pada suatu tempat, Sebaliknya, pada zaman sekarang para ulama dan
mujtahid telah banyak dan terpencar di seluruh pelosok bumi yang sukar sekali untuk
mengetahui bahwa mereka tahu tentang masalah yang akan di ijmakan tersebut, lagi pula
faktor-faktor yang melatarbelakangi masyarakat mereka tidak sama, hal lain yang tidak
Namun, jumhur ulama berpendapat bahwa ijma tersebut mungkin terjadi, dan
kenyataannya, ini terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar seperti haramnya minyak babi,
nenek mendapat seperenam dalam warisan, dan terhijabnya cucu laki-laki dalam
warisan. 24
Pada masa sekarang telah banyak berdiri negara-negara Islam yang berdaulat atau
suatu negara yang bukan negara Islam tetapi penduduknya mayoritas beragama Islam
penduduknya minoritas, tetapi ada peraturan atau undang-undang yang khusus bagi umat
islam. Misalnya : India, mayoritas penduduknya beragama hindu, hanya sebagian kecil
24
Alaiddin Koto, ilmu fiqh dan ushul fiqh, (Jakarta: Pt. Raja Grapindo Persada), 2004, h.80.
yang beragama Islam, tetapi diberlakukan undang-undang perkawinan khusus bagi umat
Islam. Undang-undang itu ditetapkan oleh pemetintah dan parlemen India setelah
musyawarah dengan para mujtahid kaum muslimin yang ada di India. Jika kesepakatan
para mujtahid India itu dikatakan sebagai ijma, maka ada kemungkinan akan terjadinya
ijma pada masa Khalifah Utsman sampai sekarang sekalipun ijma itu hanya dapat
Dengan demikian ijma akan terjadi kalau para mujtahid yang ada di seluruh dunia
itu dikumpulkan di suatu tempat oleh pemerintah (ulil amri) untuk mewakili negaranya
dan disitu mereka diberi hak untuk membuat undang-undang yang mengatur kepentingan
bersama.
2. Qiyas
Sebenarnya qiyas merupakan bentuk utama yang dipakai oleh para mujtahid
hukumnya tidak disebabkan oleh nash secara tegas, dalam arti para ulama melakukan
qiyas untuk menemukan suatu hukum yang belum ada dalam nash tetapi dihubungkan
Qiyas secara lugot ialah mengira-ngirakan sesuatu kepada sesuatu masalah yang
lain, sedangkan menurut istilah ialah dua asal (Al-Qur’an dan cabang) menyandarkan
sesuatu kepada sesuatu yang lain di dalam hukum, seperti menyandarkannya perasan
memabukkan. 25
Qiyas menurut ulama usul ialah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada
nashnya, dalam hukum yang telah ditetapkan oleh nash karena adanya kesamaan dua
kepada asal di dalam hukum sohih yang syar’i karena ada illat yang kumpul di dalam
mengembalikan cabang kepada asal dengan ill’at yang mengumpulkan antara asal dan
ternyata mengalami perubahan makna dan fungsi secara signifikan, sebelum adanya
pembakuan oleh Asyafi’i dan Al-Risalah, qiyas belum dalam formulasi yang baku, ia
25
Syeh Ibrahim Al-Bajury, Khosyiatul Bajury A’la Matan Sulam, (Semarang: Sarkatun Nu,r
Asia), h.58.
26
Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqh), (Jakarta: PT.Raja
Grapindo Persada, 1996), Cet Keenam. h.76.
27
Imam Syarifuddin Yahya al-Imriti, Lathoipul Isyarohj
28
Syeh Ahmad bin Muhammad Ad-Damyati, (Syarah Waroqot), (Semarang: Putra Semarang),
h.22.
masih dalam bentuknya yang bebas suatu penalaran liberal, spekulatif dan dinamis dalam
menentukan masalah. Qiyas sebagai penalaran hukum (legal reasoning) ini lazim disebut
juga dengan istilah penalaran (ra’y), ia berlaku mulai pada masa Rasulallah sebagai
As-syafi’i adalah sebagai pendiri atau pencetus qiyas karena dari beliaulah qiyas
a) Ashl, yakni sesuatu yang dinashkan hukumnya yang menjadi sandaran qiyas.
Disebut juga dengan Al-Maqis Alayh atau Al-Musyabbahbih. Ashl ini harus
berupa nash Al-Qur’an, Sunnah atau Ijma. Disamping itu ia juga harus
2. Illat hukum yang ada pada cabang harus sama dengan yang ada pada ashl.
29
Muhammad Roy, Usul Fiqh Madzhab Aristoteles, (Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2004), h.6.
c) Hukum ashl, yakni hukum syara yang dinashkan pada pokok yang kemudian
akan menjadi hukum pada cabang. Untuk hukum ashl harus memenuhi syarat-
4. Hukum ashl masih tetap berlaku, apabila sudah tidak berlaku lagi
d) Illat hukum, yakni suatu sifat yang nyata dan tertentu yang berkaitan dengan
ada dan tidak adanya hukum. Illat hukum harus memenuhi syarat-syarat
berikut :
1. Illat itu harus merupakan sifat yang nyata seperti memabukan dapat
2. Illat harus merupakan sifat tegas dalam arti dapat dipastikan wujudnya pada
cabang,
3. Illat hukum mempunyai kaitan dengan hikmah hukum, dalam arti illat
5. Illat tidak berlawanan dengan nash, jika berlawanan maka nash yang
didahulukan. 30
3. Istihsan
Dalam bahasa Arab istihsan berarti menganggap sesuatu itu baik, adapun term
yang dipakai oleh ulama ushul adalah meninggalkan hukum suatu hal atau peristiwa yang
bersandar pada dalil syara menuju kepada hukum lain yang bersandar pada dalil syara
pula, karena ada suatu dalil syara yang mengharuskan untuk meninggalkan dalil tersebut.
Dalam istihsan ada dua dalil dalam menetapkan hukum suatu hal atau peristiwa :
Misalnya : menurut qiyas, hak pengairan dan jalan lintas yang ada dalam tanah
pertanian yang diwakafkan, tidak termasuk yang diwakafkan jika tidak disebutkan
dengan jelas
Menurut qiyas jaliy itu disamakan dengan jual beli, dalam jual beli, hak jalan
lintas dan pengairan tidak termasuk dan begitu pula dalam wakaf.
30
Saifudin Nur, Ilmu Fiqh (Suatu Pengantar Komprehensif Kepada Hukum Islam), (Bandung:
Tafakur,2007), h.51-52.
Sedangkan dalam qiyas khafiy itu disamakan dengan sewa menyewa, dalam sewa
menyewa tanah pertanian hak jalan lintas dan pengairan itu termasuk karena
Misalnya : orang yang dititipi barang lalu barang tersebut hilang dengan
kelalainnya maka orang tersebut harus menggantinya. Kecuali sang ayah dititipi
b) Dasar berupa nash, seperti larangan menjual barang yang belum jelas atau tidak
ada, tetepi dalam istihsan itu diperbolehkan untuk salam (memesan) terlebih
dahulu.
c) Dasar yang berupa kebiasaan, seperti pemesanan barang, yang seharusnya tidak
sah, karena barangnya belum ada, akan tetapi menurut istihsan itu diperbolehkan.
Golongan Hanafiah istihsan dijadikan hujjah atau dalil hukum, begitu juga
menetapkan suatu hukum. Adapun Imam Syafi’i mengingkari istihsan sebagai hujjah dan
barang siapa yang beristihsan berarti ia telah mengadakan syariat sendiri, sedangkan yang
singgung syara secara jelas untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedangkan apabila
sebagai berikut :
a). Hanya berlaku dalam bidang mu’amalah, karena persoalan ibadah tidak berubah.
b). Tidak berlawanan dengan maksud syariat atau salah satu dalilnya.
c). Mashlahah ada karena kepentingan yang nyata dan diperlukan oleh masyarakat.
Imam Malik adalah seorang faqih yang paling banyak menggunakan mashlahah
kemaslahatan manusia.
meninggal.
’Urf adalah apa yang biasa dilakukan orang, baik ucapan maupun perbuatan, dengan kata
lain adalah adat kebiasaan. Seperti kebiasaan dalam ucapan walad yang biasanya
1). ’Urf yang benar (shahih), yakni adat kebiasaan yang tidak menyalahi ketentuan syara
2). ’Urf yang rusak (fasid), yakni adat kebiasaan yang berlawanan dengan ketentuan
bersifat riba.
a. Syariat Islam dalam menetapkan hukum juga mempertahankan kebiasaan yang berlaku
b. Apa yang biasa dilakukan orang, baik ucapan maupun perbuatan, menjadi pedoman
Ayahnya adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin Sa’ib
bin Abid bin Abduyazid bin Hisyam bin Muthalib bin Abdul Manaf bin Qusha bin Kilab
bin Murrah, nasabnya dengan Rasulah bertemu pada Abdu Manaf bin Qushai.
Ibunya adalah Fathimah binti Abdullah bin Hasan Husain bin Ali bin Abi Thalib.
keturunan kecuali Imam Ali bin Abi Thalib dan Imam Syafi’i, istrinya Hamidah binti
tahun 150 H, bertepatan dengan tahun dimana Imam Abu Hanifah meninggal dunia. Ia
dilahirkan di Ghazzah, wilayah Palestina pada jum’at akhir pada bulan Rajab. Tatkala
umurnya mencapai dua tahun, ibunya memindahkannya ke Hijaz dimana sebagian besar
penduduknya berasal dari Yaman, ibunya sendiri berasal dari Azdiyah. Keduanyapun
menetap disana. Namun ketika umurnya telah mencapai sepuluh tahun, ibunya
31
Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab Al-Umm, (Jakarta, Pustaka Azzam, 2005). h. 3-9
Sobhi Mahmassani, Filsafat Hukum Dalam Islam, (Bandug: PT. Al-Ma’arif, 1981), Cet, Kedua,
h.50.
Mahmud Salthut, Terjemahan Dari Kitab Muqaranatulmazdhab Fil Fiqh, (Bandung:
CV.Pustaka Setia, 2000),Cet. Kesatu h.17.
Imam Syafi’i sejak kecil hidup dalam kemiskinan. Ketika beliau diserahkan ke
bangku pendidikan, para pendidik tidak mendapatkan upah dan mereka hanya terbatas
pada pengajaran. Namun setiap kali seorang guru menajarkan sesuatu kepada murid-
muridnya, terlihat Syafi’i kecil dengan ketajaman akal yang dimilikinya sanggup
menangkap semua perkataan serta penjelasan gurunya. Setiap kali gurunya untuk
meninggalkan tempatnya, Syafi’i mengajarkan lagi apa yang didengar dan dipahaminya
kepada anak-anak yang lain, sehingga dari apa yang dilakukannya ini Syafi’i
mendapatkan upah. Setelah menginjak umur yang ketujuh, Syafi’i telah menghafal
saya duduk di majelis ulama. Saya menghafal hadits-hadits dan masalah-masalah fikih.
Pada saat itu, rumah kami berada di Makkah. Keadaan saya sangat miskin, dimana saya
tidak memiliki uang untuk membeli kertas, namun saya mengambil tulang-tulang
Hakim mengeluarkan hadits dari riwayat Bahhar bin Nasr, ia berkata, “apabila
kami ingin menangis, kami mengatakan kepada sesama kami”, pergilah kepada pemuda
kahfi!” apabila kami telah sampai kepadanya, ia mulai membuka dan membaca Al-
Lihat juga : Abi Abdullah Muhammad Ibn Idris Assyafi’i, Al-Umm, (Bairut Libanon, Darul Fikr,
2009M/1429H), Zuz Awal, h. 4
Muhammad bin Idris bin Syafi’i, Al-Umm, (Darul Wafa, 2005/1426), h. 6
suara yang dimilikinya, sedemikian tingginya ia memahami Al-Qur’an sehingga banyak
Ia kemudian mulai belajar menghapal banyak hadits, untuk itu, ia turut serta
belajar pada guru-guru tafsir dan guru-guru ahli di bidang ilmu hadist. Pada masa itu
kepingan tulang yang lebar dan besar, di atas tulang belulang itulah ia menulis catatan-
mengumpulkan buangan kertas yang bagian belakangnya masih dapat digunakan untuk
Sulit baginya untuk dapat memperoleh kertas, karena itu ia lebih menghandalkan
ingatan melalui cara menghapal. Karena kebiasaan itulah As-Syafi’i memiliki daya ingat
yang amat kuat, sehingga dapat menghapal semua pelajaran yang diterima dari guru-
gurunya.32
32
Abdurrahman Asy-Syarqawi, Riwayat Sembilan Imam Fiqh, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1999),
h.383.
4. Malik bin Annas. Syafi’i pernah membaca kitab Al-Muattho’ kepada Imam
Madinah sampai Imam Malik wafat tahun 179 H, bertepatan dengan tahun
795 M.
dipeganginya, ialah :
c) Ijma dan
d) Qiyas
Thariqhat Ahlul Hadits, lantaran itu menjadilah mazhabnya tidak terlalu cenderung
33
Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab Al-Umm , (Jakarta: Pustaka Azzam, 2005). h.3-9.
kepada ahlul hadits dan tidak terlalu cenderung kepada ahlul ra’yi. Beliau menerima Al-
Qur’an, As-Sunnah, Ijma, Qiyas dan Al-Istidlal. Tetapi menolak Istihsan yang dipegang
oleh Abu Hanifah dan maslahah Mursalah yang dipegang oleh Malik. Diantara kitab As-
Syafi’i yang terpenting yang sampai kepada kita adalah : Ar Risalah, dalam bidang Ushul
Fiqh, Al Umm dalam bidang Fiqh, Mukhtaliful Hadits dan Musnad dalam bidang Hadits.
daerah lain.
diantaranya :
Libanon, Syria, Irak, Pakistan, India, Indonesia, dan Jazirah Indo Cina. Juga orang-orang
Persia dan Yaman yang sunni bermadzhab dengan madzhab As-Syafi’i sekitar 100 juta
Imam Syafi’i adalah murid Imam Malik yang paling disayang, sehingga beliau
tinggal di rumah Imam Malik dan kehidupan beliau pun dibiayai oleh Imam Malik.
Sampai beliau kembali ke Mekkah tahun 181 H, beliau dipandang sebagai penganut
mazdhab Maliki, karena selama beliau berada di Irak, Syiria, Palestina yaitu di kota
Ramlah beliau masih mengajarkan kitab muwaththa’ karangan Imam Malik. Terus beliau
mempelajari fiqh Irak sebagai bahan pengembangan mazdhab Hanafi dan beliau langsung
belajarnya kepada ulama besar yaitu Muhammad bin Hasan, dari kedua mazdhab yang
kekurangan itulah beliau langsung mengadakan analisa dan sintesa antara kedua pendapat
hukum. 35
Pokok-pokok pikiran beliau ini terbentuk setelah beliau kembali ke Mekah tahun
181 H , kemudian dikembangkan di Bagdad dan Mesir. Beliau mengarang atau menilis
34
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra,1999), h.123-125.
35
Muslim Ibrahim, M.A, Pengantar Fiqih Muqaaran, (Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama,
1991), Cet. II h. 94.
B. Biografi Imam Ja’far As-Siddiq
Ja’far Ash Shiddiq adalah Ja’far bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin
Ibunya adalah Ummu Farwah binti Al-Qasin bin Muhammad bin Abu Bakar Ash-
Siddiq, pada beliaulah terdapat perpaduan darah Nabi Muhammad SAW, dengan Abu
Dilahirkan pada hari senin 17 Rabi’ul Awwal tahun 80 Hijriah di Madinah, pada
tahun yang sama dengan kelahiran pamannya, Imam Zaid bin Ali Zainal Abidin dan
Imam Ja’far lahir dengan rumah tangga ilmu, rumah tangga yang menjadi cermin
bagi ilmu pengetahuan di kota Madinah. Semua keluarga Nabi pada masa itu menjauhi
Kakek beliau adalah Ali Zainal Abidin , ia adalah seorang imam di Madinah
sedangkan ayah beliau adalah Muhammad Al-Baqir adalah pengganti ayahnya dalam
bidang ilmu yang menjadi tumpuhan para ulama disetiap daerah. Beliau dikunjungi oleh
ulama-ulama syi’ah, ahli sunnah, ahli hadits dan ahli fiqh. Diantaranya Sufyan Ats-
Tsauri, Sufyan Ibn Uyainah dari ahli hadist, dan Abu Hanifah dari ahli fiqh. Beliau juga
dikenal sebagai seorang mufassir al-qur’an dan mufassir hadist yang menyelami hikmah-
hikmah awamir dan nawahi serta. Dengan demikian Imam Ja’far memperoleh hikmah-
hikmah ilmu yang ditangkap oleh ayahnya. Al-Baqir yang wafat pada tahun 114 hijriyah
Ibunya juga datang dari keluarga ilmu beliau adalah cucunda Abu Bakar Ash
Shiddiq yang bernama Ummul Farwah binti Al-Qassim bin Muhammad bin Abu Bakar.
Ayah tertua ja’far adalah Al-Qassim ( W. 180 H). besar dalam keadaan Ummul
dalam golongan fuqh Sab’ah (tujuh ahlu fuqh) yang mengembangkan ilmu-ilmu Madinah
kepada para ulama yang datang sesudahnya, yang kemudian ditampung oleh Imam
Malik, Al-Qasimpun terkenal sebagai seorang ahli naqad, pandai menilai riwayat dan
sannad hadist.36
Imam Ja'far Shadiq adalah Imam Keenam dalam hirarki dua belas Imam Maksum.
Panggilannya adalah Abu Abdillah dan gelarnya yang masyhur adalah As-Shadiq, Al-
Fadil dan At-Tahir. Imam Shadiq adalah putra Imam Baqir, Imam Kelima, dan ibunya
Imam Ja'far Shadiq dibesarkan oleh datuknya, Imam Zainal Abidin di Madinah
selama dua belas tahun dan dilanjutkan oleh lindungan kasih ayahandanya Imam
Setelah Syahadah ayahandanya pada tahun 114 H, Imam Ja'far Shadiq menjadi
Imam Keenam menggantikan ayahandanya, dan misi suci Islam dan bimbingan ruhani
dilimpahkan ke atas pundaknya dari Rasulullah SAW, melalui suksesi para Imam
sebelumnya.
ayahnya, yang banyak melahirkan tokoh-tokoh ulama besar islam, Ja’far adalah ulama
besar dalam banyak bidang ilmu seperti, ilmu filsafat, ilmu tasawuf, ilmu fiqh, ilmu
kimia, dan ilmu kedokteran. Beliau adalah mazhab yang keenam dari dua belas (12)
36
Mahmud Salthut, Terjemahan Dari Kitab Muqaranatulmazdhab Fil Fiqh, (Bandung:
CV.Pustaka Setia, 2000), Cet. Kesatu, h.9.
Ahli sunnah berpendapat bahwa Ja’far adalah seorang mujtahid dalam ilmu fiqh
yang mana beliau sudah mencapai ketingkat laduni, beliau dianggap sufi ahli sunnah
dikalangan syekh-syekh mereka yang besar, serta padanyalah tempat puncak pengetahuan
Imam Abu Hanifah berkata : saya tidak dapati orang yang lebih faqih dari Ja’far
bin Muhammad.37
Selanjutnya Zaid bin Ali menerangkan, bahwa Imam Ja’far banyak meninggalkan
tulisannya yang dapat membersihkan ibadat syiah, ia orang yang terpilih dalam kebajikan
mengunjungi imamah Ja’far selalu menemuinya dalam tiga hal, dalam sembahyang,
dalam puasa atau dalam membaca al-qu’an dan bahwa dia seorang yang alim, ahli ibadat
dan ahli wara’, sementara ibn Al-Muqaddam tatkala ia menceritakan keadaan Imam
Ja’far menjelaskan bahwa imam tersebut adalah orang yang sangat ahli dalam ilmu fiqh.
Katanya, bahwa Abu Hanifah pernah pada suatu hari mengemukakan empat puluh
persoalan fiqh, yang dijawabnya dengan lancar, kemudian ia berkata engkau berkata
begini, ahli Madinah berkata begitu dan kami berkata begitu pendirian yang kami
kemukakan ini. Barangkali ada orang yang mengikuti kami, ada orang yang mengikuti
37
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta, PT.Lentera Basri Tama,
1999),Cet. Keempat h. XXiii
mereka atau orang yang menyalahi kita semua. Abu Hanifah menjawab, “bukankah orang
yang dianggap alim ialah yang banyak mengetahui perselisihan (ikhtilaf) diantara
manusia.38
mendapatkan ilham, segala imunya diperoleh dengan jalan ilham, tak pernah belajar
dengan seorang, namun kenyataan sejarah membuktikan kekeliruan anggapan itu. Guru-
1) Kakeknya, Ali Zainul Abidin. Inilah guru pertamanya. Zainul Abidin wafat
ketika Ja’far berumur 14 tahun. Zainul Abidin menerima ilmu dari tokoh-
Abu Hanifah dan guru Zaid Ibn Zainul Abidin, yang selalu mengadakan
Al-Qasim meriwatkan ilmu Aisyah dan Ibnu Abbas. Al-Qasim seorang mujtahid
yang mempunyai pendapat sendiri. Wafat pada tahun 108 dikala Ja’far berumur 28 tahun,
Beberapa ulama dan imam dari kalangan ahli sunnah pernah menjadi murid Imam
Ja’far, mereka menimba ilmu dari Imam Ja’far tidak seperti seorang murid belajar kepada
38
Abubakar Aceh, Perbandingan Mazhab Syi’ah (rasionalisme dalam islam), Semarang:
CV.Ramadhani, 1980),Cet. Kedua h.108.
39
Teungku Muhammad Ash-Siddiqy, Pokok-Pokok Perbandingan Imam Mazhab, (Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), Cet. II h.392-393.
gurunya, tetapi dengan jalan mengambilnya langsung dari pemikiran-pemikirannya.
Dengan jujur mereka mengakui ketinggian ilmu dan martabatnya sebagai ulama puncak
pada zamannya dan sebagai ulama dari Ahlul Bait Rasulullah saw, hal itu dinyatakan
terus terang oleh Syekh Sulayman didalam Al-Yanabi dan oleh Imam An-Nawawi di
dalam Ahdzib Al-Asma Wa Al-Lughot. Bahkan soal mengambil ilmu dari Imam Ja’far
oleh mereka dipandang sebagai kehormatan dan fadhilah, yaitu sebagaimana yang
C. Pendapat Imam Syafi’i dan Imam Ja’far Ash-Siddiq Dalam Peran Akal
Mendudukan akal pada posisi yang penting, karena melihat fungsinya sebagai alat
untuk menyikap hikmah, dan dasar-dasar hukum – illat al-hukm-serta maksud dan tujuan
hukum (maqasid al-ahkam), akan mempunyai pengaruh besar dalam proses pengambilan
dan penetapan (al-istinbat) dan penetapan (at-tatboiq) hukum dari sumber-sumber wahyu
(nash) al-Qur’an dan Sunnah. Walaupun akal tidak dianggap sebagai sumber hukum yang
berdiri sendiri, melainkan, masih punya kaitan yang erat dengan sumber hukum lain.
kemampuannya dalam melihat serta memahami secara cermat, baik itu hikmah-hikmah,
dasar-dasar hukum, serta maksud hukum itu ditetapkan. Yang menurut syi’ah hal itu
harus selalu berada pada bingkai upaya memelihara dan menciptakan kemaslahatan dan
mencegah kemafsadatan.40
40
Jaenal Aripin, Ma, Rasionalitas Dalam Hukum Syi’ah Imamiyah, (Jakarta: UIN Press, 2009),
h.124.
Oleh karena itu, untuk mengetahui sejauh mana tingkat pengaruh akal terhadap
proses pengambilan dan penetapan hukum islam, maka pengukurannya adalah dari :
Penggunaan akal yang liberal telah memberikan lahan subur bagi berkembangnya
mendapatkan jawaban yang berbeda di tempat yang berbeda pula. Ibn Muqaffa
menceritakan bahwa perbedaan pendapat tentang hukum telah menimbulkan situasi yang
sangat kacau, sehingga sesuatu yang dianggap halal di Hirah, bisa menjadi sesuatu yang
haram di Kufah, bahkan lebih dari itu, suatu kasus hukum bisa dianggap halal dan haram
disuatu daerah.
Berdasarkan fenomena ini, maka disuatu sisi, penggunaan akal akan memberikan
karena tidak adanya kesepakatan dan kepastian hukum. Hal inilah yang mendorong
beberapa ulama untuk menciptakan kesatuan hukum dan membatasi pengunaan akal
(ra’y). salah satu dari beberapa ulama tersebut yang berhasil melakukan pembatasan
penggunaan ra’y (akal) adalah Muhammad bin Idris al-Syafi’i dengan menggunakan
metode qiyasnya.
hukum awal. Dan baginya ijtihad atau penalaran hukum yang sah dan boleh dilakukan
seseorang boleh melakukan qiyas, yaitu menguasai bahasa arab dan unsur-unsurnya,
seperti nahwu, shorof, dan balaghah, mengetahui ajaran-ajaran al-qur’an, seperti etika
qur’ani, nasikh mansukh, dan lafad umum atau khusus, mendalami al-sunnah,
benar dan akal sehat. Dengan adanya syarat-syarat ini, maka pengalaman qiyas menjadi
sempit, karena seseorang mujtahid yang akan mengamalkan qiyas harus memenuhi
syarat-syarat yang cukup berat. Lebih dari itu, metode qiyas yang dimaksud oleh As-
Syafi’i, terbatas hanya untuk menyingkapkan hukum yang secara praktis ada di dalam
nash. Baginya, nash adalah “teks yang hanya mengandung satu arti” atau ‘teks yang
penafsirannya adalah teks itu sendiri”. Disini jelas tidak ada peran ra’y dalam
demikian sesuatu yang tidak ada nashnya tidak beleh mendapatkan penafsiran dari ra’y,
sementara menurut syafi’i tidak satupun peristiwa yang terjadi pada seseorang, kecuali
terdapat dalil petunjuk tentang peristiwa tersebut dalam nash al-qur’an dan sunnah.
Dengan demikian akal tidak mendapat peran independen sama sekali dalam andil
memutuskan suatu hukum. Ini artinya konsep qiyas menurut As-Syafi’i hanyalah upaya
untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya sudah ada dalam nash, sehingga secara tidak
langsung, ia membatasi peran akal mujtahid pengguna qiyas dalam mengetahui dalil-dalil
Pada masa itu terdapat permusuhan antara ahli hadist dan ahli ra’y yang saling
menggunakan al-hadist saja dalam menggali hukum tanpa peran ra’y sama sekali, dan
juga sebaliknya, al-ra’y hanya menggunakan ra’y saja dalam menggali hukum tanpa
Dengan adanya pertentangan dari kutub itu, maka timbullah suatu ketidak
harmonisan dalam arti perselisihan antara ahli hadist dan ahli ra’y sehingga terjadilah
Berdasarkan kedua kutub ekstrim yang saling bertentangan ini, lantas As-Syafi’i
mencari jalan tengah, yaitu dengan teori qiyasnya, bahwa peran akal masih tetap
difungsikan, namun tidak bebas seperti halnya penggunaan ra’y, tetapi diarahkan sesuai
dengan nash agama, seakan As-Syafi’i telah menjadi aliran moderat, yang mencoba
kegoncangan, turutama bagi mereka yang tidak setuju atau tidak mengakui dengan
adanya qiyas.
dan penerapan dari sumber-sumber wahyu (nash) al-Qur’an dan la-Hadist, walaupun akal
tidak dianggap sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri, melainkan masih punya
hukum-hukum agama atau fiqh. Dari zaman Nabi sampai sekarang ini Qur’an itu
41
Muhammad Roy, Ushul Fiqh Madzhab Aristoteles, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004),
h.41-45.
yang ada dalam al-qur’an itu dianggap sudah lengkap mengenai ibadat, mua’malah,
perorangan, pidana dan perdata yang tidak kurang dari lima ratus ayat, semuanya, dapat
satu sumber yang tidak diragu-ragui lagi akan kebenarannya, ia hampir tidak berbeda
dengan al-Qur’an42
1. Untuk menentukan mana yang bagus dan mana yang buruk, yang baik
Mereka menetapkan akal menjadi hakim dalam menentukan hal-hal yang baik dan
hal-hal yang buruk, mengingat bahwa hal-hal itu ada yang baik zatnya, dan ada yang
buruk zatnya.
dikerjakan. Segala yang dilarang akal harus ditinggalkan. Dalam pada itu, bukan akal
42
Abubakar Aceh, Perbandingan Mazhab Syi’ah Rasionalisme Dalam Islam, (Semarang: CV.
Ramadhani, 1980), Cet. Kedua h.197-198.
sendiri yang menyuruh dan melarang. Akal hanya menyikap perintah Allah dan larangan
Allah.
I) Tidak ada suatu urusan, melainkan ada hukum Allah padanya. Maka jika ada
nash, nash itulah yang menyingkap hukum Allah. Jika tidak ada nash,
II) Allah menyuruh kita berilmu, melarang kita bersikap bodoh. Allah menyuruh
kita berilmu, adalah untuk mengetahui sifat-sifat perbuatan, baik atau buruk.
Kalau ada nash, atau ijma hendaklah dipergunakan akal untuk mengetahui
hukum itu.
III) Allah menyuruh kita berlaku adil dan ihsan, Rasulullah tidak pernah berbuat
Di kalangan ulama syiah filosof dan fuqaha akal dipandang sebagai sumber
pengetahuan yang sangat signifikan. Mereka menyadari fakta bahwa akal adalah sebuah
Dalam pandangan syi’ah akal adalah ’sesuatu yang dapat melihat apa yang
tersembunyi dan mengungkapkan apa yang tidak diketahui’ karena itu, cahaya tidak
dapat dipisahkan darinya, sebab cahaya sesuatu yang menghapuskan kegelapan. Beliau
mengungkapkan bahwa, sifat-sifat akal itu berkaitan dan selaras dengan sifat para Rasul.
43
Teungku muammad hasbiash shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, (Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra, 1997),h.58.
Karena dalam al-Qur’an berulang kali dinyatakan bahwa fungsi para Rasul sebagai
karena menurut ulama syi’ah, akal adalah hujjah. Dalam kapasitasnya sebagai hujjjah
Allah, akal dapat dijadikan sebagai alat untuk memahami hukum-hukum syari’at, dimana
hukum syari’at itu mempunyai hikmah (illat) dan tujuan (maqashid al-hukm) secara
Dalam hubungannya dengan ini, akal mempunyai dua fungsi : sebagai penyikap
Fungsi pertama : sebagai penyikap al-hukm. Akal merupakan suatu paktor dan
satu-satunya alat yang bisa menyikap sandaran, hikmah dan sebab-sebab hukum. Dengan
alasan bahwa, terkadang sandaran dan sebab-sebab hukum itu mengalami perubahan.
Fungsi kedua : sebagai penyikap tujuan hukum (maqashid al-hukm). Akal dalam
pandangan Syi’ah bisa menyikap sekaligus mengetahui tujuan dan maksud diturunkan
dengan kata lain, hukum-hukum islam itu mempunyai kaitan erat dengan maslahat dan
mafsadat yang konkret (al-nafs al-amriyyah) yang ditunjukan untuk kepentingan umat
islam.
dan penetapan hukum, maka pengukurannya adalah dengan melihat kepada hasil
penetapan hukum itu sendiri, dengan difokuskan kepada dasar-dasar dan maksud atau
Oleh karena wilayah kajian akal dalam pandangan syi’ah tertuju pada bidang
hukum mua’malah, maka doktrin hukum (hasil penetapan hukum mazhab syi’ah) yang
akan dijadikan sampel untuk mengukur seberapa besar pengaruhnya akal tersebut, adalah
bidang, mua’malah. Salah satu hukum yang masuk dalam kategori ini adalah tentang
hubungan kekeluargaan) yang secara khusus ditujukan pada persoalan nikah mut’ah. 44
44
Jaenal Arifin, Diskursus Akal Dalam Pemikiran Hukum Syi’ah, (Jauhar, Vol, II, 2001), h. 45-48.
BAB IV
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah dalil-dalil hukum, mereka berselisih
tentang apa sajakah yang absah untuk dijadika sebagai dalil hukum, kalau diamati dengan
teliti akan tampak sebagian besar perbedaan pendapat ini disebabkan perbedaan definisi
terminologi bukanlah salah satu penyebab terjadinya perbedaan pendapat ini, karena ada
hal-hal lainnya yang juga turut berperan bagi timbulnya perbedaan pendapat ini.
1. Persamaan
Dalil –dalil hukum yang dimaksud antara lain Al-Qur’an, Al-Sunnah, dan ijma.
berbagai dalil selain Al-Qur’an dan Al-Sunnah biasanya disebut sebagai istidlal, ijtihad,
dalam pengertian sebagai usaha optimal untuk memutuskan perkara yang tidak terdapat
Semua ulama, ahlil fiqih, mazhab dan aliran baik aliran Sunni atau Syi’ah itu
telah sepakat dan tidak ada perbedaan pendapat dalam menentukan sumber hukum islam
Dalam al-Qur’an tidak ada keraguan karena al-qur’an adalah sumber hukum dan
peraturan islam yang pertama. Tentu saja, ayat-ayat atau surah-surah dalam al-Qur’an
tidak terbatas pada hukum dan peraturan, melainkan ratusan jenis permasalahan telah
dimasukkan.
Sedangkan urutan yang kedua setelah al-Qur’an adalah as-Sunnah, dalam sunnah
inipun semua ulama sepakat bahwa sunnah dijadikan sebagai sumber hukum islam
setelah al-Qur’an.
2. Perbedaan
Perbedaan yang ada dalam sunnah yaitu tentang subyek sunnah yang menyangkut
dua hal, pertama adalah tentang apakah hanya sunnah Nabi yang mengikat atau apakah
hanya sunnah yang diriwayatkan oleh para imam yang suci juga mengikat. Kaum Sunni
hanya menganggap sunnah Nabi yang mengikat, sedangkan menurut kaum Syiah
mengacu pada perkataan, perbuatan, dan persetujuan para imam yang suci, sesuai dengan
Ulama sunni setelah ijma menggunakan qiyas sebagai sumber hukum Islam,
dalam hal ini As-Syafi’i adalah ulama yang paling getol dalam memperjuangkan otoritas
qiyas, beliau berpendapat bahwa ijtihad itu tidak lain adalah qiyas. Beliau menggunakan
qiyas dengan dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Diantara dalil-
ِArtinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika
45
Murtadha Murthahhari, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), h.13-15.
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya 46
Artinya : Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari
kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama, kamu tidak
menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-
benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah
mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-
sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka
memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan
orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran,
Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.47
Artinya : Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang
pertama. dan dia Maha mengetahui tentang segala makhluk.48
46
Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 130-133
47
Abd.Wahab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqih), (Jakarta, PT. Raja
Grapindo Persada, 1996 ), Cetakan Keenam h. 80-81
48
Sulaiman Abdullah, sumber hokum islam, (Jakarta, Sinar Grapika, 1995), Cetakan Pertama h.
90-91
49
A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah), (Jakarta, PT. Raja
Grapindo Persada, 2002) h. 97
50
Harun Nasut ion, Akal Dan Wahyu Dalam Islam, (Jakarta, UI-Press, 1986), Cetakan Kedua h.74
tidak dapat dipisahkan darinya, sebab cahaya adalah suatu yang menghapuskan
kegelapan dan ketidakjelasan. Yang juga dikaitkan dengan akal dalam literatur syi’ah
adalah sifat-sifat positif lain yang ada hubungannya dengan nama illahi cahaya, seperti
kehidupan pengetahuan, kebenaran dan kejujuran.
( )اﻟﻤﺎﺋﺪة
Artinya : Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) sembahyang,
mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. yang demikian itu adalah
Karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal. (Qs.
Al-Maidah; 58)
imam dua belas, selain yang dua belas itu mereka tiak mempergunakannya. Dari
kumpulan hadits-hadits syi’ah, yang diriwayatkan dari Imamimam syi’ah yang ma’sum
yakni :
51
Jaenal Aripin, Ma, Rasionalitas Dalam Hukum Syi’ah Imamiyah, (Jakarta: UIN Press, 2009), h.
116
“Akal (‘iqal) adalah belenggu (‘iqaal) untuk melawan kebodohan. Jiwa adalah
seperti hewan yang paling buruk. Jika ia tidak mempunyai akal, ia berkeliaran dalam
berpaling. Lalu ia berkata, demi kebesaran dan keagungan-ku, aku belum pernah
menciptakan makhluk yang lebih hebat daripadamu atau yang lebih patuh dibandingkan
dirimu. Melalui kamu aku akan memulai dan melalui kami puyla aku akan
mengembalikan. Apa yang mendukungmu akan mendapatkan pahala, dan qpa yang
52
Jaenal Aripin, Rasionalitas Dalam Hukum Syi’ah Imamiyah, (Jakarta: UIN Press, 2009), h. 116-
118.
Persamaan antara Sunni dan Syi’ah
No Persamaan Perbedaan
1 dalam sumber hukum Islam, acuan Jika dalam sunni, otoritas sumber
hukum setelah al-Qur’an dan al-
utamanya adalah Al-Qur’an
Hadist, maka otoritas selanjutnya
adalah Qiyas. Sedangkan dalam
Syi’ah, otoritas ketiga setelah Al-
Qur’an dan Hadist, otoritas ketiga
adalah akal
Ayat-ayat yang dijadikan dalil atau
landasan dalam Istimbat (penetapan)
sumber hukum islam
2 Dalam menetapkan hukum islam, Dalam Sunni, hadist merupakan
sumber hukum yang menitikberatkan
acuan kedua adalah Hadist
pada subjek ketika hadist itu turun.
Ulama hanya berhak
menginterpretasikannya. Sedangkan
dalam Syi’ah, estafet kepemimpinan
islam diteruskan oleh seorang Imam
(teologi imamiyah). Yang dalam kasus
negara Iran, dilembagakan dalam
sebuah badan hukum islam yang
disebut wilayatul faqih. Yang
dimaksud disini adalah imam yang dua
belas.
B. Analisa Komarasi dan Implikasi
1.Analisa komfarasi
Dalam islam, akal memiliki posisi yang sangat mulia, meski demikian bukan
berarti akal diberi kebebasan tanpa batas dalam memahami agama, islam memiliki aturan
untuk menetapkan akal sebagaimana mestinya. Bagaimanapun akal yang sehat akan
Akal adalah kunci untuk memahami agama, ajaran dan hukum islam. Kita tidak
dapat memahami islam tanpa mempergunakan akal. oleh karena itu Nabi Muhammad
SAW, menyatakan dengan jelas bahwa agama adalah akal, tidak ada agama bagi orang
yang tidak berakal. Jika ungkapan ini dihubungkan dengan hukum, berarti tidak ada
hukum atau hukuman bagi orang yang tidak berakal atau gila. Akal, karena itu
mempunyai kedudukan yang tinggi dalam sistem agama islam, karena akal adalah wadah
Bagaimana posisi dan peranan akal dalam ajaran islam, namun perlu ditegaskan
bahwa ia tidak boleh bergerak dan berjalan tanpa bimbingan, tanpa petunjuk. Petunjuk itu
datang dari Allah berupa wahyu yang membetulkan akal dalam geraknya. 53
Mendudukan akal pada posisi yang penting, karena melihat fungsinya sebagai alat
untuk menyikap hikmah, dan dasar-dasar hukum – illat al-hukm-serta maksud dan tujuan
hukum (maqasid al-ahkam), akan punya pengaruh besar terhadap proses pengambilan
(al-istinbat) dan penetapan (al-tatbiq) hukum dari sumber-sumber wahyu (nas) al-qur’an
dan al-hadits. Walaupun, akal tidak dianggap sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri,
melainkan masih punya kaitan yang erat dengan sumber hukum yang lain.
53
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), Cet Pertama,
h. 113.
Kendati demikian, sisi urgensitasnya akal tersebut adalah, terletak pada
kemampuannya dalam melihat serta memahami secara cermat, baik itu hikmah-hikmah,
Akal mempunyai pengaruh yang besar dalam pengambilan hukum islam, seperti
imam Syafi’i yang mempergunakan akal untuk pengambilan hukum yang melalui qiyas.
Penetapan hukum melalui metode qiyas bukanlah menetapkan hukum dari awal (itsbat
kasyf wa al-izhhar li-al-hukm) yang ada pada suatu kasus yang belum jelas hukumnya.
Penyingkapan dan penjelasan ini dilakukan melalui pembahasan mendalam dan teliti
Qiyas secara embrio telah ada semenjak zaman nabi dan sahabat, dan semakin
menemukan bentuknya yang dinamis pada masa abu hanifah, ia berbentuk penalaran
bebas, rasional, dinamis dalam menemukan hukum. Namun setelah dikodifikasikan oleh
Imam Syafi’i, konsep qiyas menjadi sesuatu yang tidak independen karena harus
yang terdiri dari premis-premis yang kongklusinya harus sesuai dengan premis
mayornya.56
Imam Syafi’i dan sebagian ulama memberlakukan qiyas dalam segala bidang
hukum syara sehingga hukum had, kaffarat, hukum-hukum yang ditentukan batasnya dan
54
Jaenal Aripin, Ma, Rasionalitas Dalam Hukum Syi’ah Imamiyah, (Jakarta: UIN Press, 2009),
h.124.
55
Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam System Hukum Islam, (Jakarta, El-SAS, 2008), Cet Pertama, h.106
56
Muhammad Roy, Ushul Fiqh Madzhab Aristoteles, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004),
Cet Pertama h.17.
hukum rakhshah, apabila syarat terpenuhi, karena dalil-dalil yang menunjukan
Ja’far Al-Sidiq mengungkapkan bahwa, sifat-sifat akal itu berkaitan dan selaras
dengan sifat para rasul. Karena dalam al-Qur’an berulang kali dinyatakan bahwa fungsi
para Rasul sebagai pembawa petunjuk (huda atau hidayah) yang merupakan sifat Illahi.
Dan dalam mikrokosmis, petunjuk itu selalu melekat pada akal, maka, akal adalah analog
Jadi, analog antara akal dengan para rasul dalam hubungannya dengan petunjuk
adalah, rasul berkapasitas sebagai pembawa petunjuk, sedangkan akal adalah sebagai alat
untuk mencerna dan memahami petunjuk tersebut. Yakni alat-alat untuk memahami
wahyukan dalam diri manusia, begitu juga hukum yang di wahyukan (syari’ah) itu pada
hakekatnya adalah akal di luar manusia……….” Pendeknya, sumber dari semua sifat
baik (al-husn) dan asal usul dari semua kesempurnaan adalah akal. 58
Kemerdekaan, otoritas, dan keabsahan akal dalam pandangan syi’ah itu lebih
Menurut riwayat-riwayat tertentu yang sangat kuat dari para imam, akal
merupakan internalisasi suara kenabian, sedangkan nabi adalah ekternalisasi akal. Dalam
57
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), Cet. Pertama, h.99.
58
Jaenal Aripin, Rasionalitas Dalam Hukum Syi’ah Imamiyah, (Jakarta: UIN Press, 2009), h.118.
fiqih syi’ah, akal dianggap sebagai salah satu diantara empat sumber hukum utama yang
sah.59
Imam ja’far shadiq berkata, tinggalkanlah qiyas dan rakyu serta apa yang
“sesungguhnya para pengguna qiyas menuntut ilmu dengan qiyas, sementara qiyas tidak
Imam ja’far shadiq menulis surat kepada pengguna rakyu dan qiyas. Kalian
mengatakan, tiada sesuatupun kecuali dapat dijangkau oleh akal dan pikiran kita,” maka
allah berpaling dari kalian sebagaimana kalian berpaling, mengabaikan dan menghinakan
kalian hingga kalian menjadi budak nafsu kalian, sementara kalian tidak merasakannya.
Seandainnya allah meridhai pandangan dan usaha kalian dalam hal ini, sudah tentu dia
tidak akan mengutus kepada kalian seorang rasul yang menyelesaikan masalah kalian dan
2. Implikasi
terhadap teks-teks keagamaan tersebut, yang dikenal dengan istilah ijtihad. Dalam
periode awal, akal (ra’y} merupakan alat pokok ijtihad, yang mendahului pertumbuhan
prinsip qiyas dan istihsan yang lebih sistematis. Ia merupakan cara membuat keputusan
yang bijaksana dan cermat yang disinari semangat kearifan dan keadilan islam.
59
Murtadha Murthahhari, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), h.248.
60
Husain Nahrawi, Ja’far Shadiq, (Jakarta, Al-Huda, 2008), h.275-276.
Penggunaan akal (ra’y) untuk menyelesaikan kasus-kasus yang tidak diungkap
oleh nash yang tidak terelakan pada masa pembentukan islam. Selama masa tersebut,
orang-orang mengambil jalan ra’y untuk mencari jawaban atas masalah-masalah yang
baginya penalaran atau ijtihad yang sah dan boleh dilakukan oleh seorng mujtahid adalah
melakukan qiyas, yaitu : menguasai bahasa arab dan unsure-unsurnya seperti nahwu,
sorof, dan balaghah, mengetahui ajaraj-ajaran Al-Qur’an seperti etika qur’ani, dan lafad
umum atau khusus, mendalami Al-Sunnah, permasalahan yang disepakti dan diihtilafi
dan menguasai logika yang benar atau akal sehat. Dengan adanya syarat-syarat ini, maka
pengamalan qiyas menjadi sempit karena seorang mujtahid yang akan mengamalkan
qiyas harus memenuhi syarat-syarat yang cukup berat. Lebih dari itu metode qiyas yang
dimaksud oleh Al-Syafi’i terbatas hanya untuk menyingkapkan hukum yang secara
terdapat pada kasus yang memiiki nash, cara ini memerlukan kerja keras yang luar biasa
dan tidak cukup pemahaman dari lafad saja. Selanjutnya sang mujtahid mencari dan
meneliti ada tidaknya illat tersebut pada kasus yang tidak ada nashnya, apabila ternyata
ada illat itu faqih menggunakan ketentuan hukum pada dua kasus itu didasarkan keadaan
illat. Kemudian yang diari mujtahid disini adalah illat hukum yang terdapat pada nash
(hukum pokok). Selanjutnya jika illat tersebut ternyata betul terdapat pada kasus itu
adalah, satu ketentuan hukum yang terdapat pada nash menjalar pada kasus-kasus yang
Dengan demikian pendapat para jumhur ulama ushul mengatakan bahwa qiyas
bisa dijadikan sebagai metode atau sarana mengistinbatkan hukum syara. Bahkan
Sedangkan menurut Syi’ah akal adalah salah satu sumber fiqih, kita kadang
menemukan suatu hukum syriat melalui dalil nalar (akal) maksudnya adalah melalui
penyimpulan dan logika nalar, penggunaan akal sebagai alat mencari jawaban atas
masalah yang tidak terdapat dalam nash dan sunnah itu sangat sederhana dan digunakan
dalam bentuk yang paling dasar, ia tidak dibatasi dengan syarat-syarat yang begitu ketat,
sehingga akal bisa mengembangkan suatu masalah yang terjadi, misalnya hukum
mencium istri dalam keadaan puasa diqiyaskan dengan hukum berkumur-kumur bagi
A. Kesimpulan
Pada uraian sebelumnya telah di paparkan tentang pandangan sunnah dan syiah
dalam pengaruh akal terhadap istimbat hukum islam maka penulis dapat menyimpulkan
Pengaruh Akal Dalam Istimbat (penetapan) Hukum Islam Menurut Imam Syafi’i.
Penggunaan akal yang liberal telah memberikan lahan subur bagi berkembangnya
Berdasarkan fenomena ini, maka disuatu sisi, penggunaan akal akan memberikan
karena tidak adanya kesepakatan dan kepastian hukum. Hal inilah yang mendorong
Syafi’i untuk menciptakan kesatuan hukum dan membatasi pengunaan akal (ra’y). salah
satu dari beberapa ulama tersebut yang berhasil melakukan pembatasan penggunaan ra’y
(akal) adalah Muhammad bin Idris al-Syafi’i dengan menggunakan metode qiyasnya,
qiyas As-Syafi’i yang telah membatasi penggunaannya sehingga tidak lagi menjadi
independent tetapi qiyas disini mernjadi hirarki dengan al-qur’an ataupun al-hadist.
Adapun Pengaruh Akal Dalam Istimbat (penetapan) Hukum Islam Menurut Imam
Ja’far. Akal disini mempunya peranan penting dalam proses pengambilan (al-istimbat)
dan penerapan dari sumber-sumber wahyu (nash) Al-Qur’an dan Al-Hadist, walaupun
akal tidak dianggap sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri, melainkan masih punya
diterapkan akal sama dengan hukum yang di tetapkan syari’ah, dan sebaliknya hukum
yang ditetapkan oleh syari’ah itu sama dengan yang ditetapkan oleh akal, jadi hukum
syari’at adalah hukum akal dan hukum akal adalah hukum syari’at. Ungkapan itu
menunjukan bahwa tidak ada kontradiksi antara hukum temuan akal dengan hukum
syari’at. Lagi pula, tidak ada hukum syariat yang tidak bisa dipahami dan bertentangan
dengan akal. Oleh karenanya, ada kesesuaian (mulazamah) antara hukum yang diterapkan
Dalil –dalil hukum yang dimaksud antara lain Al-Qur’an, Al-Sunnah, dan ijma.
berbagai dalil selain Al-Qur’an dan Al-Sunnah biasanya disebut sebagai istidlal, ijtihad,
dalam pengertian sebagai usaha optimal untuk memutuskan perkara yang tidak terdapat
Semua ulama ahlil fiqih baik dari Sunni atau Syi’ah itu telah sepakat dan tidak
ada perbedaan pendapat dalam menentukan sumber hukum islam yang pertama dan
2. Perbedaan
Perbedaan yang ada dalam sunnah yaitu tentang subyek sunnah yang menyangkut
dua hal, pertama adalah tentang apakah hanya sunnah nabi yang mengikat atau apakah
hanya sunnah yang diriwayatkan oleh para imam yang suci juga mengikat. Kaum Sunni
hanya menganggap sunnah nabi yang mengikat, sedangkan menurut kaum Syiah
mengacu pada perkataan, perbuatan, dan persetujuan para imam yang suci, sesuai dengan
Adapun pengaruh pemikiran dari kedua mazhab sangat berbeda antara imam
syafi’I dan imam ja’far, akan tetapi pengaruh dari pemikiran dari kedua imam tersebut
mempunyai peranan yang besar dan jelas serta dapat dipertanggungjawabkan, seperti
imam Syafi’i dengan qiyasnya sementara imam ja’far dengan akalnya yang sama-sama
dapat menetapkan suatu ketetapan hukum (istimbat hukum) yang jelas dan pasti serta
dapat digunakan oleh seluruh manusia terutama umat islam, dan sebagai jawaban dari
kebingungan umat islam yang tidak begitu mengerti tentang masalah suatu hukum.
B. Saran-Saran
adalah sebagai alat dalam penetapan hukum islam saja, karena dengan menggunakan akal
itu bisa terbuka dan di qiyaskan dengan dalil-dalil yang sudah ada dalam al-qur’an dan
sunnah. Jumhur ulama berpendirian bahwa qiyas itu adalah menjadi hujjah syari’at
(sumber hukum islam) bagi hukum-hukum amal perbuatan manusia dan berada pada
tingkatan keempat setelah ijma. Dengan demikian penulis mengajak kepada pembaca
khususnya dan kepada seluruh umat islam umumnya untuk mengakui bahwasannya qiyas
itu sumber hokum islam yang keempat, bukan akal. Karena dengan menggunakan qiyas
sebagai sumber hukum maka tidak seenaknya menggunakan akal tanpa ada batasan-
batasan.
Akhirnya semoga skripsi ini dapat bermanfa’at dan positif sebagai suatu kajian
Al_Qur’an
Abu Zahrah,Imam Muhammad, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, Jakarta,
PT. Logos, 1996, Cet pertama
Al-Bajury, Syeh Ibrahim, Khosyiatul Bajury A’la Matan Sulam, Sarkatun Nur
Asia
Amin, Ma’ruf, Fatwa Dalam System Hukum Islam, Jakarta, El-SAS, 2008, Cet
Pertama
Anshari, Ending Saifudin, Ilmu, Filsafat Dan Agama, Surabaya, , Bina Ilmu,
1990,
Aripin, Jaenal, Jauhar Vol. II, No. 1, (Diskursus Akal Dalam Pemikiran Hukum
Syiah), Ciputat,2001, UIN Press,
------------, Rasionalitas Dalam Hukum Syi’ah Imamiyah, Jakarta, Uin press, 2009
Effendi, Satria, M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta, Kencana Prenada Media Group,
2005, Cet, Kedua
Hallq, Wael B, Sejarah Teori Hukum Islam, Jakarta, PT. Raja Grapindo Persada,
2001, Cet, Kedua
Hasan, Ahmad, Al-Furqan (Tafsir Qur’an), Jakarta, PT. Tinta Mas, 1962
Ibnu Abdullah Muhammad Ibn Yazid, Sunan Ibn Mazzah, Bairut, Darul Fikr,
1990/1415
Koto, Alaiddin, Ilmu Fiqh Dan Ushul Fiqh, Jakarta, pt. raja grapindo persada,
2004
Mahmassani, Sobhi, Filsafat Hukum Dalam Islam, Bandug 1981, PT. Al-Ma’arif,
Cet, Kedua
Nahrawi, Husain, Teladan Abadi Ja’far Shidiq Sang Maha Guru, Jakarta, 2008,
Al-Huda, Cet, Kesatu
Nasution, Harun, Akal Dan Wahyu Dalam Islam, Jakarta, 1986, UI Press, Cet,
Kedua
Nata, Abuddin, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, (Dirasah Islamiyah IV),
Jakarta, PT.Raja Grapindo Persada, 2001, Cet. Kelima
Nur, Saifudin, M.Ag, Ilmu Fiqh (Suatu Pengantar Komprehensif Kepada Hukum
Islam), Bandung, Tafakur,2007.
Syatibi, Moh. Kedudukan Akal Dalam Hukum Islam, Artikel Diakses Pada Tangal
17 Januari2010 dari http;//jurnal from digilib-uinsuka/
Usman, Suparman, Hukum Islam (Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam
dalam Tata Hukum
Indonesia), Jakarta, Gaya Media Pratama.
Abi Abdullah Muhammad Ibn Idris Assyafi’i, Al-Umm, (Bairut Libanon, Darul
Fikr, 2009M)