Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK


DENGAN ACUTE LYMPHOBLASTIC LEUKIMIA

Disusun oleh :
Nabila Pasha Amelia

PROGRAM PROFESI NERS XXXVIII


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJAJARAN
2019
I. Definisi

Leukemia berasal dari bahasa yunani yaitu leukos (putih) dan haima (darah). Leukemia
adalah jenis kanker yang mempengaruhi sumsum tulang dan jaringan getah bening. Semua
kanker bermula di sel, yang membuat darah dan jaringan lainnya. Biasanya, sel-sel akan tumbuh
dan membelah diri untuk membentuk sel-sel baru yang dibutuhkan tubuh. Saat sel-sel semakin
tua, sel-sel tersebut akan mati dan sel-sel baru akan menggantikannya. Tetapi terkadang proses
yang teratur ini berjalan menyimpang, sel-sel baru ini terbentuk meski tubuh tidak
membutuhkannya, dan sel-sel lama tidak mati seperti seharusnya. Kejanggalan ini disebut
leukemia, di mana sumsum tulang menghasilkan sel-sel darah putih secara abnormal yang
akhirnya mendesak sel-sel lain.
Leukemia adalah kanker dari salah satu jenis sel darah putih di sumsum tulang belakang,
yang menyebabkan proliferasi salah satu jenis darah putih dengan menyingkirkan jenis sel lain
(Corwin, 2008). Leukemia merupakan penyakit klonal, yang berarti satu sel kanker abnormal
berproliferasi tanpa terkendali, menghasilkan sekelompok sel anak yang abnormal. Sel-sel ini
menghambat sel darah lain di sumsum tulang untuk berkembang secara normal, sehingga mereka
tertimbun di sumsum tulang. Karena faktor-faktor ini, leukemia disebut gangguan akumulasi
sekaligus gangguan klonal. Pada akhirnya, sel-sel leukemia mengambil alih sumsum tulang,
sehingga menurunkan kadar sel-sel nonleukemik di dalam darah yang merupakan penyebab
berbagai gejala umum leukemia (Corwin, 2008).

II. Etiologi

a) Genetik

Adanya Penyimpangan Kromosom. Insidensi leukemia meningkat pada penderita kelainan


kongenital, diantaranya pada sindroma Down, sindroma Bloom, Fanconi’s Anemia, Sindroma
Wiskott-Aldrich, Sindroma Ellis van Creveld, sindroma Kleinfelter, D-Trisomy Sindrome,
Sindroma von Reckinghausen, dan Neurofibromatosis.
Kelainan-kelainan kongenital ini dikaitkan erat dengan adanya perubahan informasi gen,
misalnya pada kromosom 21 atau C-group Trisomy, atau pola kromosom yang tidak stabil,
seperti pada aneuploidy .
1. Saudara kandung
Dilaporkan adanya resiko leukemia akut yang tinggi pada kembar identik dimana kasus-
kasus leukemia akut terjadi pada tahun pertama kelahiran. Hal ini berlaku juga pada
keluarga dengan insidensi leukemia yang sangat tinggi.
2. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan di ketahui dapat menyebabkan kerusakan kromosom,
misalnya : radiasi, bahan kimia, dan obat-obatan yang dihubungkan dengan insiden yang
meningkat pada leukemia akut, khususnya ANLL.
b) Virus.

Dalam banyak percobaan telah didapatkan fakta bahwa RNA virus menyebabkan leukemia pada
hewan termasuk primata . Penelitian pada manusia menemukan adanya RNA dependent DNA
polimerase pada sel-sel leukemia tapi tidak ditemukan pada sel-sel normal dan enzim ini berasal
dari virus tipe C yang merupakan virus RNA yang menyebabkan leukemia pada hewan. Salah
satu virus yang terbukti dapat menyebabkan leukemia pada manusia adalah Human T-Cell
Leukemia . Jenis leukemia yang ditimbulkan adalah Acute T- Cell Leukemia . Virus ini
ditemukan oleh Takatsuki dkk.
c) Bahan Kimia dan Obat-obatan

Paparan kronis dari bahan kimia ( misal : benzen ) dihubungkan dengan peningkatan insidensi
leukemia akut, misalnya pada tukang sepatu yang sering terpapar benzen. Selain benzen
beberapa bahan lain dihubungkan dengan resiko tinggi dari AML, antara lain : produk – produk
minyak, cat, ethylene oxide, herbisida, pestisida, dan ladang elektromagnetik.
Sedangkan dari obat-obatan, obat anti neoplastik ( misalnya : alkilator dan inhibitor topoisomere
II) dapat mengakibatkan penyimpangan kromosom yang menyebabkan AML. Kloramfenikol,
fenilbutazon, dan methoxypsoralen dilaporkan menyebabkan kegagalan sumsum tulang yang
lambat laun menjadi AML.
d) Radiasi

Hubungan yang erat antara radiasi dan leukemia ( ANLL ) ditemukan pada pasien-pasien
anxylosing spondilitis yang mendapat terapi radiasi, dan pada kasus lain : seperti peningkatan
insidensi leukemia pada penduduk Jepang yang selamat dari ledakan bom atom. Peningkatan
resiko leukemia ditemui juga pada pasien yang mendapat terapi radiasi, misalnya: pembesaran
thymic, para pekerja yang terekspos radiasi dan para radiologis .
e) Leukemia Sekunder

Leukemia yang terjadi setelah perawatan atas penyakit malignansi lain disebut Secondary Acute
Leukemia ( SAL ) atau treatment related leukemia. Termasuk diantaranya penyakit Hodgin,
limphoma, myeloma, dan kanker payudara.
Hal ini disebabkan karena obat-obatan yang digunakan termasuk golongan imunosupresif selain
menyebabkan dapat menyebabkan kerusakan DNA

III. Klasifikasi

Klasifikasi leukemia dapat dibedakan berdasarkan jenis sel (limfositik atau


mielositik) dan perjalan penyakit (akut atau kronik).
1. Leukemia Akut
Leukemia Akut dapat dibagi menjadi dua kategori umum, leukemia mieloid akut (AML)
dan leukemia limfoblastik akut (AAL). Pasien biasanya mengalami riwayat penurunan
berat badan yang cepat, memar, perdarahan, pucat, lelah, dan infeksi berulang di mulut
dan tenggorokan. Hitung darah lengkap sering kali menunjukkan anemia dan
trombositopenia. Hitung sel darah putih dapat meningkat atau sangat rendah. Perdarahan
di area vital, akumulasi leukosit dalam organ vital.
a. Leukemia Mieloid Akut
AML jarang terjadi pada anak dan insidennya meningkat seiring pertambahan usia.
AML sekunder kadang terlihat pada orang yang diobati dengan kemoterapi sitotoksik
atau radioterapi.
b. Leukemia Limfoblastik Akut
ALL adalah bentuk keganasan hematologisyang umum terjadi pada anak. Akan tetapi,
ALL terjadi pada orang dewasa, dengan peningkatan insidens seiring pertambahan usia.
Banyak tanda dan gejala ALL yang mirip dengan AML serta sebagian besar
menyebabkan kegagalan sumsum tulang. Pasien juga mengalami manifestasi spesifik
ynag meliputi pembesaran nodus limfe (limfadenopati), hati, dan limpa (
hepatosplenomegali),serta infiltrasi pada sistem saraf pusat.
2. Leukemia Mieloid Kronik
CML adalah gangguan sel benih yang disebabkan produksi tidak beraturan dari sel darah
putih mieloid. CML dapat mengenai semua kelompok usia, namun terutama berusia
antara 40 dan 60 tahun.
3. Leukemia Limfosit Kronik
CLL adalah gangguan proliferatif limfosit. Sel ini terakumulasi di darah, sumsum
tulang, nodus limfe dan limfa.CLL adalah kasus di jumpai pada individu berusia di atas
50 tahun.

IV. Patofisiologi dan Pathway

Manifestasi klinis penderita leukemia akut disebabkan adanya penggantian sel pada sumsum
tulang oleh sel leukemik , menyebabkan gangguan produksi sel darah merah. Depresi produksi
platelet yang menyebabkan purpura dan kecenderungan terjadinya perdarahan .
Kegagalan mekanisme pertahanan selular karena penggantian sel darah putih oleh sel
leukemik, yang menyebabkan tingginya kemungkinan untuk infeksi . Infiltrasi sel-sel leukemik
ke organ-organ vital seperti liver dan limpa oleh sel-sel leukemik yang dapat menyebabkan
pembesaran dari organ-organ tersebut. Sedangkan pada penderita Leukemia itu sendiri
disebabkan oleh :
a. Normalnya tulang marrow diganti dengan tumor yang malignan, imaturnya sel blast.
Adanya proliferasi sel blast, produksi eritrosit dan platelet terganggu sehingga akan
menimbulkan anemia dan trombositipenia.
b. Sistem retikuloendotelial akan terpengaruh dan menyebabkan gangguan sistem
pertahanan tubuh dan mudah mengalami infeksi
c. Manifestasi akan tampak pada gambaran gagalnya bone marrow dan infiltrasi organ,
sistem saraf pusat. Gangguan pada nutrisi dan metabolisme. Depresi sumsum tulang yang
akan berdampak pada penurunan lekosit, eritrosit, faktor pembekuan dan peningkatan
tekanan jaringan.
d. Adanya infiltrasi pada ekstra medular akan berakibat terjadinya pembesaran hati,
limfe,nodus limfe, dan nyeri persendian.
V. Manifestasi Klinis

Leukemia akut memperlihatkan gejala klinis yang mencolok. Leukemia kronis


berkembang secara lambat dan mungkin hanya memperlihatkan sedikit gejala sampai
stadium lanjut.
1. Kepucatan dan rasa lelah akibat anemia
2. Infeksi berulang akibat penurunan sel darah putih
3. Perdarahan dan memar akibat trombositopenia dan gangguan koagulasi
4. Nyeri tulang akibat penumpukan sel di sumsum tulang, yang menyebabkan peningkatan
tekanan dan kematian sel. Tidak seperti nyeri yang semakin mingkat, nyeri tulang
berhubungan dengan leukemia biasanya bersifat progresif.
5. Penurunan berat karena berkurangnya nafsu makan dan peningkatan konsumsi kalori
oleh sel-sel neoplastik.
6. Limfadenopati, spinomegali, dan hepatomegali akibat infiltrasi sel leukemik ke organ-
organ limfoid dapat terjadi.
7. Gejala system saraf pusat dapat terjadi.

Gejala leukemia akut biasanya terjadi setelah beberapa minggu dan dapat dibedakan
menjadi tiga tipe:
1. Gejala kegagalan sumsum tulang merupakan manifestasi keluhan yang paling umum.
Leukemia menekan fungsi sumsum tulang, menyebabkan kombinasi dari anemia,
leucopenia (jumlah sel darah putih rendah), dan trombositopenia (jumlah trombosit
rendah). Gejala yang tipikal adalah lelah dan sesak napas (akibat anemia), infeksi bakteri
(akibat leucopenia), dan perdarahan (akibat trombositopenia dan terkadang akibat
koagulasi intravascular diseminata (DIC). Pada pemeriksaan fisis ditemukan kulit yang
pucat, beberapa memar, dan perdarahan. Demam menunjukkan adanya infeksi,
walaupun pada beberapa kasus, demam dapat disebabkan oleh leukemia itu sendiri.
Namun, cukup berbahaya apabila kita menganggap bahwa demam yang terjadi
merupakan akibat leukemia itu sendiri.
2. Gejala sistemik berupa malaise, penurunan berat badan, berkeringat, dan anoreksia
cukup sering terjadi.
3. Gejala local, terkadang pasien datang dengan gejala atau tanda infiltrasi leukemia di
kulit, gusi, atau system saraf pusat. (Corwin, 2009)

VI. Pemeriksaan Penunjang

1. Hitung darah lengkap (FBC) biasanya menunjukkan gambaran anemia dan


trombositopenia. Jumlah sel darah putih yang normal biasanya berkurang dan jumlah sel
darah putih total dapat rendah, normal, atau meningkat. Apabila normal atau meningkat,
sebagian besar selnya adalah sel darah putih primitif (blas).
a. Leukemia limfoblastik akut
Pada kira-kira 50% pasien ditemukan jumlah leukosit melebihi 10.000/mm3 pada
saat didiagnosis, dan pada 20% pasien melebihi 50.000/mm3. Neutropenia (jumlah
neutrofil absolut kurang dari 500/mm3 [normalnya 1500/mm3] sering dijumpai.
Limfoblas dapat ditemukan di darah perifer, tetapi pemeriksa yang tidak
berpengalaman dapat melaporkan limfoblas tersebut sebagai limfosit atipik.
b. Leukemia nonlimfositik akut
Evaluasi laboratorium secara tipikal menunjukkan adanya neutropenia, anemia, da
trombositopenia. Jumlah leukosit bervariasi, walaupun pada saat didiagnosis kira-
kira 25% anak memiliki jumlah leukosit melebihi 100.000/mm3. Pada darah perifer
dapat ditemukan sel blas. Diagnosis pasti ditegakkan dengan dilakukan pemeriksaan
aspirat sumsum tulang, yang menunjukkan adanya sel blas lebih dari 25%. Seperti
pada leukemia limfoblastik akut, cairan spinal juga harus diperiksa untuk
menemukan bukti adanya leukemia. Mencapai 15% pasien memiliki bukti sel blas
pada cairan spinal pada saat didiagnosis.
c. Leukemia mielositik kronis
Evaluasi laboratorium secara tipikal memperlihatkan leukositosis nyata,
trombositosis, dan anemia ringan. Sumsum tulang hiperselular tetapi disertai maturasi
mieloid yang normal. Sel blas tidak banyak dijumpai. Pada kira-kira 90% kasus,
tanda sitogenik yang khas pada leukemia mielositik kronis yang terlihat adalah:
kromosom Philadelphia.
2. Pemeriksaan biokimia dapat menunjukkan adanya disfungsi ginjal, hipokalemia, dan
peningkatan kadar bilirubin.
3. Profil koagulasi dapat menunjukkan waktu protombin dan waktu tromboplastin parsial
teraktivasi (APPT) yang memanjang karena sering terjadi DIC (disseminated
intravaskular coagulation).
4. Kultur darah karena adanya risiko terjadi infeksi.
5. Foto toraks: pasien dengan ALL (acute tymphoblastic leukaemia) jalur sel T sering
memiliki massa mediastinum yang dapat dilihat pada foto toraks.
6. Golongan darah karena cepat atau lambat akan dibutuhkan transfusi darah dan
trombosit.
7. Pemeriksaan penunjang diagnosis spesifik termasuk aspirasi sumsum tulang yang
memperlihatkan limfoblas lebih dari 25%, biopsi trephine, penanda sel, serta
pemeriksaan sitogenetik untuk membedakan ALL (akut limfoblastik leukemia) dengan
AML (akut mieloblastik leukemia) secara akurat. Auer rod di sitoplasma sel blas
merupakan tanda patognomonik pada AML, namun hanya ditemukan pada 30% kasus.
Pemeriksaan penanda sel dapat membantu membedakan ALL jalur sel B atau sel T dan
juga membedakan subtipe AML yang berbeda-beda. Ini berguna bagi hematolog untuk
merancang terapi dan memperkirakan prognosis. Analisis kromosom sel leukemia
berguna untuk membedakan ALL dan AML, dan yang penting adalah dapat memberikan
informasi prognosis.
8. Cairan spinal juga perlu diperiksa karena sistem saraf pusat merupakan tempat
persembunyian penyakit ekstramedular.

VII. Penatalaksanaan

1. Kemoterapi
Terapi definitive leukemia akut adalah dengan kemoterapi sitotoksik
menggunakan kombinasi obat multiple. Obat sitotoksik bekerja dengan berbagai
mekanisme namun semuanya dapat menghancurkan sel leukemia. Tetapi dengan metode
ini beberapa sel normal juga ikut rusak dan ini menyebabkan efek samping seperti
kerontokan rambut, mual, muntah, nyeri pada mulut (akibat kerusakan pada mukosa
mulut), dan kegagalan sumsum tulang akibat matinya sel sumsum tulan. Salah satu
konsekuensi mayor dari neutropenia akibat kemoterapi adalah infeksi berat. Pasien harus
diterapi selama berbulan-bulan (AML) atau selama 2-3 tahun (ALL).
Menurut Suriadi (2006) dan Yuliani (2006), fase penatalakasanaan kemoterapi
meliputi tiga fase yaitu fase induksi, fase proflaksis, fase konsolidasi.

a. Fase Induksi
Dimulai 4-6 minggu setelah diagnose ditegakkan. Pada fase ini diberikan terapi
kortikosteroid (prednison), vincristin, dan L asparaginase. Fase induksi dinyatakan
berhasil jika tanda-tanda penyakit berkurang atau tidak ada dan dalam sumsum tulang
ditemukan jumlah sel muda kurang dari 5%.
b. Fase Profilaksis
Sistem saraf pusat, pada terapi ini diberikan metotreksat, cytarabine dan
hydrocortisone melalui intrathecal untuk mencegah invasi sel leukemia ke otak.
Terapi irradiasi cranial dilakukan hanya pada pasien leukemia yang mengalami
gangguan system saraf pusat.
c. Konsolidasi
Pada fase ini kombinasi pengobatan dilakukan untuk mempertahankan remisi dan
mengurangi jumlah sel-sel leukemia yang beredar dalam tubuh. Secara berkala,
mingguan atau bulanan dilakukan pemeriksaan darah lengkap untuk menilai respon
sumsum tulang terhadap pengobatan. Jika terjadi surpresi sumsum tulang, maka
pengobatan dihentikan sementra atau dosis obat dikurangi.

Penatalaksanaan medis dalam pemberian kemoterapi dan radioterapi:


1. Prednison untuk efek antiinflamasi
2. Vinkristin (oncovin) untuk antineoplastik yang menghambat pembelahan sel selama
metaphase
3. Asparaginase untuk menurunkan kadar asparagin (asam amino untuk pertumbuhan
tumor)
4. Metotreksat sebagai antimetabolik untuk menghalangi metabolism asam folat sebagai
zat untuk sintesis nucleoprotein yang diperlukan yang diperlukan sel-sel yang cepat
membelah
5. Sitarabin untuk menginduksi remisi pada pasien dengan leukemia granulositik yang
menekan sumsum tulang yang kuat.
6. Alopurinol sebagai penghambat produksi asam urat dengan menghambat reaksi
biokimia.
7. Siklofosfamid sebagai antitumor kuat.
8. Daurnorubisin sebagai penghambat pembelahan sel selama pengobatan leukemia akut
(Hidayat, Aziz. 2008)
2. Transplantasi sumsum tulang
Ini merupakan pilihan terapi lain setelah kemoterapi dosis tinggi dan radioterapi
pada beberapa pasien leukemia akut. Transplantasi dapat bersifat autolog, yaitu sel
sumsum tulang diambil sebelum pasien menerima terapi dosis tinggi, disimpan, dan
kemudian diinfusikan kembali. Selain itu, dapat juga bersifat alogenik, yaitu sumsum
tulang berasal dari donor yang cocok HLA-nya. Kemoterapi dengan dosis sangat tinggi
akan membunuh sumsum tulang penderita dan hal tersebut tidak dapat pulih kembali.
Sumsum tulang pasien yang diinfusikan kembali akan mengembalikan fungsi sumsum
tulang pasien tersebut. Pasien yang menerima transplantasi alogenik memiliki risiko
rekurensi yag lebih rendah dibandingkan dengan pasien yang menerima transplantasi
autolog, karena sel tumor yang terinfusi kembali dapat menimbulkan relaps. Pada
transplantasi alogenik memiliki risiko rekurensi yang lebih rendah dibandingkan dengan
pasien yang menerima transplantsi autolog, karena sel tumor yang terinfusi kembali dapat
menimbulkan relaps. Pada transplantasi alogenik, terdapat bukti kuat yang menunjukan
bahwa sumsum yang ditransplantasikan akan berefek antitumor yang kuat karena limfosit
T yang tertransplantasi. Penelitian-penelitian baru menunjukan bahwa transplantasi
alogenik menggunakan terapi dosis rendah dapat dilakukan dan memiliki kemungkinan
sembuh akibat mechanism imunologis.

3. Resusitasi
Pasien yang baru didiagnosis leukemia akut biasanya berada dalam keadaan sakit
berat dan renta terhadap infeksi berat dan atau perdarahan. Prioritas utamanya adalah
resusitasi menggunakan antibiotic dosis tinggi intravena untuk melawan infeksi, transfusi
trombosit atau plasma beku segar (fresh frozen plasma) utuk mengatasi anemia.
Penggunaan antibiotic dalam situasi ini adalah tindakan yang tepat walaupun demam
yang terjadi ternyata merupakan akibat dari penyakit itu sendiri dan bukan akibat infeksi.
Lebih mudah menghentikan pemberian antibiotic daripada menyelamatkan pasien dengan
syok dan septicemia yang telah diberikan tanpa terapi antibiotik.

VIII. Komplikasi

a. Nyeri tulang (terutama pada tulang belakang atau tulang rusuk)


b. Pengeroposan tulang sehingga tulang mudah patah.
c. Anemia
d. Infeksi bakteri berulang
e. Gagal ginjal

IX. Asuhan Keperawatan


A. Pengkajian
Pengkajian adalah dasar utama dari proses keperawatan, pengumpulan data yang akurat dan
sistematis akan membantu penentuan status kesehatan dan pola pertahanan klien,
mengidentifikasi kekuatan dan kebutuhan klien serta merumuskan diagnosa keperawatan.
Pengkajian pada leukemia meliputi :
1. Riwayat penyakit sekarang
2. Riwayat penyakit dahulu
3. Riwayat penyakit keluarga
4. Activity Daily Living
5. Kaji adanya tanda-tanda anemia :
a. Pucat
b. Kelemahan
c. Sesak
d. Nafas cepat
6. Kaji adanya tanda-tanda leukopenia:
a. Demam
b. Infeksi
7. Kaji adanya tanda-tanda trombositopenia :
a. Ptechia
b. Purpura
c. Perdarahan membran mukosa
8. Kaji adanya tanda-tanda invasi ekstra medulola :
a. Limfadenopati
b. Hepatomegali
c. Splenomegali
9. Kaji adanya :
a. Hematuria
b. Hipertensi
c. Gagal ginjal
d. Inflamasi disekitar rectal
e. Nyeri

B. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko infeksi berhubungan dengan menurunnya sistem pertahanan tubuh.
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan akibat anemia.
3. Resiko terhadap cedera : perdarahan yang berhubungan dengan penurunan jumlah
trombosit.
4. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah.
5. Perubahan membran mukosa mulut : stomatitis yang berhubungan dengan efek samping
agen kemoterapi.
6. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan anoreksia,
malaise, mual dan muntah, efek samping kemoterapi dan atau stomatitis.
7. Nyeri yang berhubungan dengan efek fisiologis dari leukemia.
8. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pemberian agens kemoterapi, radioterapi,
imobilitas.

C. Intervensi dan Rasional


1. Resiko infeksi berhubungan dengan menurunnya sistem pertahanan tubuh
Tujuan : Agar tidak mengalami gejala-gejala infeksi
Intervensi :
 Pantau suhu dengan teliti
Rasional : untuk mendeteksi kemungkinan infeksi
 Tempatkan pasien dalam ruangan khusus
Rasional : untuk meminimalkan terpaparnya pasien dari sumber infeksi.
 Anjurkan semua pengunjung dan staff rumah sakit untuk menggunakan teknik mencuci
tangan dengan baik
Rasional : untuk meminimalkan pajanan pada organisme infektif.
 Gunakan teknik aseptik yang cermat untuk semua prosedur invasive
Rasional : untuk mencegah kontaminasi silang/menurunkan resiko infeksi
 Evaluasi keadaan pasien terhadap tempat-tempat munculnya infeksi seperti tempat
penusukan jarum, ulserasi mukosa, dan masalah gigi.
Rasional : untuk intervensi dini penanganan infeksi
 Inspeksi membran mukosa mulut. Bersihkan mulut dengan baik
Rasional : rongga mulut adalah medium yang baik untuk pertumbuhan organisme.
 Berikan periode istirahat tanpa gangguan
Rasional : menambah energi untuk penyembuhan dan regenerasi seluler.
 Berikan diet lengkap nutrisi sesuai usia
Rasional : untuk mendukung pertahanan alami tubuh.
 Berikan antibiotik sesuai ketentuan
Rasional : diberikan sebagai profilaktik atau mengobati infeksi khusus

2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan akibat anemia.


Tujuan : terjadi peningkatan toleransi aktifitas
Intervensi :
 Evaluasi laporan kelemahan, perhatikan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam
aktifitas sehari-hari
Rasional : menentukan derajat dan efek ketidakmampuan
 Berikan lingkungan tenang dan perlu istirahat tanpa gangguan.
Rasional : menghemat energi untuk aktifitas dan regenerasi seluler atau penyambungan
jaringan
 Kaji kemampuan untuk berpartisipasi pada aktifitas yang diinginkan atau dibutuhkan.
Rasional : mengidentifikasi kebutuhan individual dan membantu pemilihan intervensi.
 Berikan bantuan dalam aktifitas sehari-hari dan ambulasi
Rasional : memaksimalkan sediaan energi untuk tugas perawatan diri.

3. Resiko terhadap cedera/perdarahan yang berhubungan dengan penurunan jumlah trombosit.


Tujuan : klien tidak menunjukkan bukti-bukti perdarahan
Intervensi :
 Gunakan semua tindakan untuk mencegah perdarahan khususnya pada daerah ekimosis
Rasional : karena perdarahan memperberat kondisi pasien dengan adanya anemia
 Cegah ulserasi oral dan rectal
Rasional : karena kulit yang luka cenderung untuk berdarah
 Gunakan jarum yang kecil pada saat melakukan injeksi
Rasional : untuk mencegah perdarahan
 Menggunakan sikat gigi yang lunak dan lembut
Rasional : untuk mencegah perdarahan
 Laporkan setiap tanda-tanda perdarahan (tekanan darah menurun, denyut nadi cepat, dan
pucat)
Rasional : untuk memberikan intervensi dini dalam mengatasi perdarahan
 Hindari obat-obat yang mengandung aspirin
Rasional : karena aspirin mempengaruhi fungsi trombosit
 Ajarkan pada keluarga dan pasien untuk mengontrol perdarahan hidung
Rasional : untuk mencegah perdarahan

4. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual dan munta
Tujuan :
 Tidak terjadi kekurangan volume cairan
 Pasien tidak mengalami mual dan muntah
Intervensi :
 Berikan antiemetik awal sebelum dimulainya kemoterapi
Rasional : untuk mencegah mual dan muntah
 Berikan antiemetik secara teratur pada waktu dan program kemoterapi
Rasional : untuk mencegah episode berulang
 Kaji respon pasien terhadap anti emetic
Rasional : karena tidak ada obat antiemetik yang secara umum berhasil
 Hindari memberikan makanan yang beraroma menyengat
Rasional : bau yang menyengat dapat menimbulkan mual dan muntah
 Anjurkan makan dalam porsi kecil tapi sering
Rasional : karena jumlah kecil biasanya ditoleransi dengan baik
 Berikan cairan intravena sesuai ketentuan
Rasional : untuk mempertahankan hidrasi

5. Perubahan membran mukosa mulut : stomatitis yang berhubungan dengan efek samping agen
kemoterapi
Tujuan : pasien tidak mengalami mukositis oral
Intervensi :
 Inspeksi mulut setiap hari untuk adanya ulkus oral
Rasional : untuk mendapatkan tindakan yang segera
 Hindari mengukur suhu oral
Rasional : untuk mencegah trauma
 Gunakan sikat gigi berbulu lembut, aplikator berujung kapas, atau jari yang dibalut kasa.
Rasional : untuk menghindari trauma
 Berikan pencucian mulut yang sering dengan cairan salin normal atau tanpa larutan
bikarbonat
Rasional : untuk menuingkatkan penyembuhan
 Gunakan pelembab bibir
Rasional : untuk menjaga agar bibir tetap lembab dan mencegah pecah-pecah (fisura)
 Hindari penggunaan larutan lidokain pada anak kecil
Rasional : karena bila digunakan pada faring, dapat menekan refleks muntah yang
mengakibatkan resiko aspirasi dan dapat menyebabkan kejang
 Berikan diet cair, lembut dan lunak
Rasional : agar makanan yang masuk dapat ditoleransi pasien
 Inspeksi mulut setiap hari
Rasional : untuk mendeteksi kemungkinan infeksi
 Dorong masukan cairan dengan menggunakan sedotan
Rasional : untuk membantu melewati area nyeri
 Hindari penggunaa swab gliserin, hidrogen peroksida dan susu magnesia
Rasional : dapat mengiritasi jaringan yang luka dan dapat membusukkan gigi,
memperlambat penyembuhan dengan memecah protein dan dapat mengeringkan mukosa
 Berikan obat-obat anti infeksi sesuai ketentuan
Rasional : untuk mencegah atau mengatasi mukositis
 Berikan analgetik
Rasional : untuk mengendalikan nyeri

6. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan anoreksia, malaise,
mual dan muntah, efek samping kemoterapi dan atau stomatitis
Tujuan : pasien mendapat nutrisi yang adekuat
Intervensi :
 Dorong keluarga untuk tetap rileks pada saat pasien makan
Rasional : jelaskan bahwa hilangnya nafsu makan adalah akibat langsung dari mual dan
muntah serta kemoterapi
 Izinkan pasien memakan semua makanan yang dapat ditoleransi, rencanakan untuk
memperbaiki kualitas gizi pada saat selera makan pasien meningkat
Rasional : untuk mempertahankan nutrisi yang optimal
 Berikan makanan yang disertai suplemen nutrisi gizi, seperti susu bubuk atau suplemen
yang dijual bebas
Rasional : untuk memaksimalkan kualitas intake nutrisi
 Izinkan pasien untuk terlibat dalam persiapan dan pemilihan makanan
Rasional : untuk mendorong agar pasien mau makan
 Dorong masukan nutrisi dengan jumlah sedikit tapi sering
Rasional : karena jumlah yang kecil biasanya ditoleransi dengan baik
 Dorong pasien untuk makan diet tinggi kalori kaya nutrient
Rasional : kebutuhan jaringan metabolik ditingkatkan begitu juga cairan untuk
menghilangkan produk sisa suplemen dapat memainkan peranan penting dalam
mempertahankan masukan kalori dan protein yang adekuat
 Timbang BB, ukur TB dan ketebalan lipatan kulit trisep
Rasional : membantu dalam mengidentifikasi malnutrisi protein kalori, khususnya bila
BB dan pengukuran antropometri kurang dari normal
7. Nyeri berhubungan dengan efek fisiologis dari leukemia
Tujuan : pasien tidak mengalami nyeri atau nyeri menurun sampai tingkat yang dapat diterima
pasien
Intervensi :
 Mengkaji tingkat nyeri dengan skala 0 sampai 5
Rasional : informasi memberikan data dasar untuk mengevaluasi kebutuhan atau
keefektifan intervensi
 Jika mungkin, gunakan prosedur-prosedur (misal pemantauan suhu non invasif, alat akses
vena
Rasional : untuk meminimalkan rasa tidak aman
 Evaluasi efektifitas penghilang nyeri dengan derajat kesadaran dan sedasi
Rasional : untuk menentukan kebutuhan perubahan dosis. Waktu pemberian atau obat
 Lakukan teknik pengurangan nyeri non farmakologis yang tepat
Rasional : sebagai analgetik tambahan
 Berikan obat-obat anti nyeri secara teratur
Rasional : untuk mencegah kambuhnya nyeri

8. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pemberian agens kemoterapi, radioterapi,


imobilitas
Tujuan : pasien mempertahankan integritas kulit
Intervensi :
 Berikan perawatan kulit yang cemat, terutama di dalam mulut dan daerah perianal
Rasional : karena area ini cenderung mengalami ulserasi
 Ubah posisi dengan sering
Rasional : untuk merangsang sirkulasi dan mencegah tekanan pada kulit
 Mandikan dengan air hangat dan sabun ringan
Rasional : mempertahankan kebersihan tanpa mengiritasi kulit
 Kaji kulit yang kering terhadap efek samping terapi kanker
Rasional : efek kemerahan atau kulit kering dan pruritus, ulserasi dapat terjadi dalam area
radiasi pada beberapa agen kemoterapi
 Anjurkan pasien untuk tidak menggaruk dan menepuk kulit yang kering
Rasional : membantu mencegah friksi atau trauma kulit
 Dorong masukan kalori protein yang adekuat
Rasional : untuk mencegah keseimbangan nitrogen yang negative
 Pilih pakaian yang longgar dan lembut diatas area yang teradiasi
Rasional : untuk meminimalkan iritasi tambahan
DAFTAR PUSTAKA

Alimul Hidayat, Aziz. 2008. Pengantar Ilmu Anak untuk Pendidikan Kebidanan. Jakarta:
Salemba Medika

Bulechek, Gloria et al. 2016.Nursing Interventions Clasification (NIC) 6th edition. Singapore :
Elsevier

Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi: Buku Saku Edisi 3. Jakarta: EGC.

Handayani, Wiwik & Hariwibowo, Andi Sulistyo. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan pada
Klien dengan Gangguan Sistem Hematologi. Jakarta: Salemba Medika .

Hidayat, Aziz Alimut. 2008. Pengantar Ilmu Anak untuk Pendidikan Kebidanan. Jakarta:
Salemba Medika.

Herdman, T. Heather. 2015. Nanda International Inc. Diagnosis Keperawatan : definisi dan
klasifikasi 2015-2017 edisi 10, editor, T. Heather Herdman, Shigemi Kamitsuru; alih
Bahasa, Budi Anna Keliat et.al; editor penyelaras,

Moorhead, Sue et al. 2016. Nursing Outcomes Clasifications (NOC) 5th edition. Singapore:
Elsevier

Price, S. A., & Wilson, L. M. (2005). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. (H.
Hartanto, N. Susi, P. Wulansari, & D. A. Mahanani, Eds.) (6th ed.). EGC.

Smeltzer, C. S. (2013). Keperawatan Medikal Bedah (Handbook For Brunner & Suddarth’s of
Medical Surgical Nursing) Edisi 12. (Eka Anisa Mardela, Ed.) (12th ed.). EGC.

Wilkinson, J. M., & Ahern, N. R. (2009). Buku saku diagnosis keperawatan: Diagnosis
NANDA, intervensi NIC, Kriteria hasil NOC. In E. Wahyuningsih (Ed.) (9th ed.). Jakarta:
EGC.

Anda mungkin juga menyukai