Oleh:
INTAN KISWANDARI 19153020021
INTAN RAHMASARI 19153020022
MELY KURNIA NINGSIH 19153020030
NUR ITA ARUMSARI 19153020035
NUR IMAMAH 19153020034
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Banyak pasangan yang mengalami kesulitan mendapatkan anak rela melakukan apa saja.
Termasuk melakukan bayi tabung,atau bahkan mencari ibu pengganti alias sewa rahim atau
surrogate mother atau ibu tumpang.Sewa rahim yaitu menggunakan rahim wanita lain untuk
mengandungkan benih wanita (ovum) yang telah disenyawakan dengan benih lelaki (sperma)
(pasangan suami istri) dan janin itu dikandung oleh wanita tersebut sehingga dilahirkan.Pasangan
suami istri membayar sejumlah uang kepada ibu tumpangan atau syarikat yang menguruskan
kerja mencari ibu tumpang yang sanggup mengandugkan anak percantuman benih mereka dan
dengan syarat ibu tumpang akan menyerahkan anak tersebut setelah dilahirkan atau pada masa
yang telah dijanjikan.
Saat ini surrogate mother atau yang biasa disebut dengan sewa rahim ini telah marak
didunia bahkan isu sewa rahim telah sampai di indonesia.Banyaknya pasangan suami istri yang
menginginkan keturunan namun belum juga dikaruniai keturunan.Hal ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor diantaranya kondisi rahim yang kurang sehat,suami tidak bisa mengeksresikan
sperma ,kondisi rahim yang tidak memungkinkan untuk hamil,faktor usia,serta di era globalisasi
ini wanita cenderung mementingkan karir.perkembangan sains dan teknologi berpengaruh juga
pada cara manusia mengembangkan keturunannya,sehingga bila kita perhatikan sekarang ada
dua cara manusia melangsungkan dan memperoleh keturunannya.pertama,dilakukan melalui
hubungan langsung antar lawan jenis.kedua,dapat dilakukan dengan cara memanfaatkan
tekhnologi berupa inseminasi buatan.ilmu dan tekhnologi berupa inseminasi buatan.ilmu dan
tekhnologi sekarang sangat canggih tapi sedikit sekali perhatian diberikan kepada studi mengenai
masalah-masalah etisnya.
B.LATAR BELAKANG
C.RUMUSAN MASALAH
2
D.TUJUAN MASALAH
E.MANFAAT
1.Meningkatkan pengetahuan tentang masalah etik yang terjadi serta pemecahan masalah
tersebut.
2.Diharapkan dengan makalah ini dapat di kembangkan ilmu atau cara baru untuk mengatasi
masalah etik tersebut sehingga rtidak terjadi di indonesia.
3
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena rahmat
dan karunianya kami dapat menyelesaikan makalah etika undang-undang kesehatan dengan baik
meskipun banyak kekurangan didalamnya.Dan juga kami berterima kasih pada Dosen
pembimbing mata kuliah Etika Hukum Ngudia Husada yang telah memberikan tugas ini kepada
kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenaietika undang –undang kesehatan.Kami juga menyadari sepenuhnya
bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu,
kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di
masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun.
i
DAFTAR ISI
BAB I
BAB II
Penyusun
ii
I. Bayi Tabung
A. Pengertian Bayi Tabung
Bayi tabung atau dalam bahasa kedokteran disebut In Vitro Fertilization (IVF)
adalah suatu upaya memperoleh kehamilan dengan jalan mempertemukan sel sperma dan
sel telur dalam suatu wadah khusus.Awal berkembangnya teknik ini bermula dari
ditemukannya teknik pengawetan sperma. Sperma bisa bertahan hidup lama bila
dibungkus dalam gliserol yang dibenamkan dalam cairan nitrogen pada temperatur -321
derajat fahrenheit. Pada kondisi normal, pertemuan ini berlangsung di dalam saluran
tuba. Dalam proses bayi tabung proses ini berlangsung di laboratorium dan dilaksanakan
oleh tenaga medis sampai menghasilkan suatu embrio dan di iplementasikkan ke dalam
rahim wanita yang mengikuti program bayi tabung tersebut. Embrio ini juga dapat
disimpan dalam bentuk beku (cryopreserved) dan dapat digunakan kelak jika dibutuhkan.
Bayi tabung merupakan pilihan untuk memperoleh keturunan bagi ibu-ibu yang memiliki
gangguan pada saluran tubanya. Pada kondisi normal, sel telur yang telah matang akan
dilepaskan oleh indung telur (ovarium) menuju saluran tuba (tuba fallopi) untuk
selanjutnya menunggu sel sperma yang akan membuahi sel telur tersebut tersebut. Dalam
bayi tabung proses ini terjadi dalam tabung dan setelah terjadi pembuahan (embrio) maka
segera di iplementasikan ke rahim wanita tersebut dan akan terjadi kehamilan seperti
kehamilan normal.
Program bayi tabung pada dasarnya adalah prosedur pengambilan sel telur matang
dari wanita lalu dipertemukan dengan sperma pasangan agar terjadi pembuahan di luar
tubuh.Pertemuan keduanya terjadi di suatu cawan petri. Setelah sel telur dibuahi dan
menjadi embrio, embrio ini dimasukkan ke dalam rahim ibu untuk berkembang menjadi
bayi yang sempurna di sana. Program bayi tabung lebih kompleks prosedurnya dibanding
inseminasi buatan. Sedangkan inseminasi buatan adalah prosedur pemilihan sperma
terbaik hasil ejakulasi dengan cara pencucian sperma. Sperma yang sudah terpilih dilepas
ke dalam mulut rahim melalui bantuan kateter. Setelah itu, terserah bagaimana cara
sperma mencapai sel telur di tuba falopi. Dua minggu setelah proses inseminasi buatan
dilakukan, pasien harus datang untuk diperiksa untuk mengetahui keberhasilan prosedur
ini.
2
B. Syarat – Syarat Yang Harus Dipenuhi Untuk Program Bayi Tabung
1. Telah dilakukan pengelolaan infertilitas selengkapnya.
2. Terdapat indikasi yang sangat jelas.
3. Memahami seluk beluk prosedur konsepsi buatan secara umum
4. Mampu membiayai prosedur bayi tabung ini
1) Pasangan suami istri yang sudah menikah 1 tahun atau lebih dan usia istri
haruslah dibawah 42 tahun dan mengikuti proses pemeriksaan fertilitas atau
kesuburan
2) Melakukan konseling tentang program fertilisasi in vitro mengenai prosedur,
biaya, kemungkinan dari terjadinya keberhasilan atau kegagalan dan juga adanya
suatu komplikasi, siap biaya dan siap untuk hamil, melahirkan dan memelihara
bayinya.
3) Jika ada faktor kesuburan, untuk wanita biasanya usia yang paling ideal adalah
antara usia 30-35 tahun. Ini berarti, bahwa umur-umur ini presentase peluang
dari berhasilnya program bayi tabung akan lebih tinggi dibandingkan oleh usia
wanita yang lebih tua sekitar 36-40 tahun.
Ada beberapa Faktor- faktor yang sering menyebabkan kegagalan Bayi Tabung yaitu:
Keberhasilan masih belum mencapai 100 %, Di Rumah Sakit Harapan Kita, tingkat
keberhasilannya 50 %, sedangkan di RSCM sebesar 30-40 %
3
C. Bayi Tabung Dari Sudut Pandang Etika
Program bayi tabung pada dasarnya tidak sesuai dengan budaya dan tradisi
ketimuran kita. Sebagian agamawan menolak adanya fertilisasi in vitro pada manusia,
sebab mereka berasumsi bahwa kegiatan tersebut termasuk Intervensi terhadap “karya
Illahi”. Dalam artian, mereka yang melakukakan hal tersebut berarti ikut campur dalam
hal penciptaan yang tentunya itu menjadi hak prioregatif Tuhan. Padahal semestinya hal
tersebut bersifat natural, bayi itu terlahir melalui proses alamiah yaitu melalui hubungan
seksual antara suami-istri yang sah menurut agama.
Dalam DUHAM dikatakan semua orang dilahirkan bebas dengan martabat yang
setara.Pengakuan hak-hak manusia telah diatur di dunia international, salah satunya
tentang hak reproduksi.
Dalam kasus ini, meskipun keputusan inseminasi buatan dengan donor sperma
dari laki-laki yang bukan suami wanita tersebut adalah hak dari pasangan suami istri
tersebut, namun harus dipertimbangkan secara hukum, baik hukum perdata, hukum
pidana, hukum agama, hukum kesehatan serta etika (moral) ketimuran yang berlaku di
Indonesia .
4
saat ini belum ada penyelesainnya di indonesia,perlu segera di bentuk peraturan
perundang-undangan yang secara khusus mengatur penerapan tekhnologi fertilisasi-in-
vitro transfer embrio ini pada manusia mengenai hal-hal apakah yang dapat dibenarkan
dan hal-hal apakah yang dilarang.
Salah satu aturan tentang bayi tabung terdapat dalam pasal 16 UU No. 23 Tahun 1992
tentang kesehatan yangberbunyi:
Ayat 1
Kehamilan di luar cara alami dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir untuk membantu
suami istri mendapatketurunan
Ayat 2
Upaya kehamilan di luar cara alami sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 hanya dapat
dilaksanakan oleh pasangansuami istri yang sah, dengan ketentuan:Dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu
Ayat 3
Ketentuan mengenai persyaratan penyelenggaraan kehamilan diluar cara alami
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan ayat (2) ditentukan dengan P.P
Contoh:
Keputusan menjalani program In Vitro Fertilisation (IVF) atau lebih dikenal dengan
istilah bayi tabung, menjadi satu-satunya harapan Christin untuk mendapatkan
momongan. Oleh karena itu, dia tidak mau melakukan setengah hati. Apalagi mengingat
biayanya yang tidak murah.Bermodalkan nekat dan doa, tahun 2015 lalu, Christin dan
suami terbang ke Penang, Malaysia, untuk memulai program. Mereka menjatuhkan
pilihan pada klinik Loh Guan Lye. Klinik ini memang dikenal memiliki reputasi baik
untuk urusan bayi tabung.
5
II. Intra Uterine Insemination (IUI)
A. Pengertian Inseminasi
Secara sederhana, inseminasi (buatan) adalah proses penempatan sperma dalam
organ reproduksi wanita dengan tujuan untuk mendapatkan kehamilan. Ini harus
dilakukan pada masa paling subur dari seorang wanita, yakni sekitar 24-48 jam sebelum
ovulasi terjadi.Inseminasi buatan yang paling populer digunakan
adalah IUI atau Intra Uterine Insemination. IUI merupakan proses fertility
treatment yang melibatkan air mani yang dicuci dan kemudian ditransfer ke dalam rahim
wanita dengan menggunakan jarum suntik khusus. Cara ini merupakan cara yang paling
umum dan biasanya berhasil.
B. Jenis-jenis Inseminasi
Selain IUI, ada juga beberapa proses inseminasi lain yang perlu kita ketahui:
1. Intravaginal Insemination (IVI)
Yaitu jenis inseminasi yang paling sederhana, dan melibatkan penempatan
sperma ke dalam vagina wanita.Idealnya, sperma harus ditempatkan sedekat
mungkin dengan leher rahim.Metode inseminasi ini dapat digunakan bila
menggunakan sperma donor, dan ketika tidak ada masalah dengan kesuburan
wanita.Namun, tingkat keberhasilan IVI tidak sesukses IUI, dan ini merupakan
proses inseminasi yang tidak umum.
2. Intracervical Insemination (ICI)
Dengan proses ICI, sperma ditempatkan secara langsung di dalam leher rahim.
Sperma tidak perlu dicuci, seperti dengan IUI, karena air mani tidak langsung
ditempatkan di dalam rahim. ICI lebih umum daripada IVI, tapi masih belum sebaik
IUI dari prosentase keberhasilannya.Dan lagi, biaya inseminasi dengan ICI biasanya
lebih rendah daripada IUI karena sperma tidak perlu dicuci.
3. Intratubal Insemination (ITI)
Proses ITI merupakan penempatan sperma yang tidak dicuci langsung ke tuba
fallopi seorang wanita.Sperma dapat dipindahkan ke tabung melalui kateter khusus
yang berlangsung melalui leher rahim, naik melalui rahim, dan masuk ke saluran
tuba.Metode lainnya dari ITI adalah dengan operasi laparoskopi.Sayangnya,
inseminasi melalui ITI memiliki resiko lebih besar untuk infeksi dan trauma, dan ada
6
perdebatan dikalangan ahli tentang kefektifannya daripada IUI biasa.Karena sifatnya
invasif, biaya ITI lebih tinggi, dan tingkat keberhasilannya tidak pasti.
Dengan adanya proses inseminasi ini, banyak pasangan yang akhirnya berhasil
memiliki buah hati. Namun, sering kali kemajuan teknologi ini disalahgunakan.Yang
paling populer adalah dengan adanya donor sperma, terutama bagi kalangan lesbian
atau penganut kebebasan hidup.
C. Pandangan Agama terhadap Inseminasi
1. Pandangan Agama Islam
Inseminasi pada dasarnya bersifat netral. Namun kenetralan tersebut bisa
berubah sesuai dengan hal-hal yang mengiringi dilakukannya inseminasi. Jadi,
meskipun memiliki daya guna tinggi, terapan sains modern juga sangat rentan
terhadap penyalahgunaan dan kesalahan etika bila dilakukan oleh orang yang tidak
beragama, tidak beriman dan tidak beretika sehingga sangat potensial berdampak
negatif dan fatal, sehingga hal tersebut menjadi sebuah kejahatan. Oleh karena itu,
kaedah dan ketentuan syariah patut dijadikan sebagai pemandu etika dalam
penggunaan teknologi ini, sebab penggunaan dan penerapan teknologi belum tentu
sesuai menurut agama, etika dan hukum yang berlaku di masyarakat.
Seorang pakar kesehatan New Age dan pemimpin redaksi jurnal Integratif
Medicine, DR. Andrew Weil sangat merasa resah dan mengkhawatirkan penggunaan
inovasi teknologi kedokteran tidak pada tempatnya yang biasanya terlambat untuk
memahami konsekuensi etis dan sosial yang ditimbulkannya. Oleh karena itu, Dr.
Arthur Leonard Caplan, Direktur Center for Bioethics dan Guru Besar Bioethics di
University of Pennsylvania menganjurkan pentingnya komitmen etika biologi dalam
praktek teknologi kedokteran apa yang disebut sebagai bioetika. Menurut John
Naisbitt dalam High Tech - High Touch (1999) bioetika bermula sebagai bidang
spesialisasi pada 1960–an sebagai tanggapan atas tantangan yang belum pernah ada,
yang diciptakan oleh kemajuan di bidang teknologi pendukung kehidupan dan
teknologi reproduksi.
7
Masalah inseminasi buatan ini menurut pandangan Islam termasuk
masalah Kontemporer, karena tidak terdapat hukumnya secara spesifik di dalam al-
Qur’an dan al-Sunnah bahkan dalam kajian fiqh klasik sekalipun. Karena itu, kalau
masalah ini hendak dikaji menurut hukum islam maka harus dikaji dengan memakai
metode ijtihad yang lazimnya dipakai oleh para ahli ijtihad (mujtahid), agar dapat
ditemukan hukumnya yang sesuai dengan prinsip dan jiwa al-Qur’an dan al-Sunnah
yang merupakan sumber pokok hukum Islam. Namun, kajian masalah inseminasi
buatan ini seyogyanya menggunakan pendekatan multi disipliner, tentunya oleh para
ulama dan cendekiawan muslim dari berbagai disiplin ilmu yang relevan, agar dapat
diperoleh kesimpulan hukum yang benar-benar proporsional dan mendasar. Misalnya
ahli kedokteran, peternakan, biologi, hukum, agama dan etika.
Menurut Mahmud Syaltut penghamilan buatan (jika menggunakan sperma
donor) adalah pelanggaran yang tercela dan dosa besar, setara dengan zina, karena
memasukkan mani’ orang lain ke dalam rahim perempuan tanpa ada hubungan nikah
secara syara’, yang dilindungi hukum syara’.
Hal senada juga disampaikan oleh Yusuf Al-Qardlawi. Beliau menyatakan
bahwa Islam mengharamkan pencakokan sperma apabila pencakokan itu bukan dari
sperma suami.
Dengan demikian, dapat dikatakan hukum inseminasi buatan dan bayi tabung
pada manusia harus diklasifikasikan persoalannya secara jelas.Bila dilakukan dengan
sperma atau ovum suami isteri sendiri, maka hal ini dibolehkan, asal keadaan suami
isteri tersebut benar-benar memerlukan inseminasi buatan untuk membantu
memperoleh keturunan. Hal ini sesuai dengan kaidah ‘al-hajaatu tanzilu manzilah
al dharurah’ (hajat atau kebutuhan yang sangat mendesak diperlakukan seperti
keadaan darurat).
Sebaliknya, kalau inseminasi buatan itu dilakukan dengan bantuan donor
sperma dan ovum, maka diharamkan dan hukumnya sama dengan zina. Sebagai
akibat hukumnya, anak hasil inseminasi itu tidak sah dan nasabnya hanya
berhubungan dengan ibu yang melahirkannya. Dalil-dalil syar’i yang dapat dijadikan
landasan menetapkan hukum haram inseminasi buatan dengan donor ialah, pertama:
8
Artinya: Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut
mereka dari daratan dan lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan
kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk
yang Telah kami ciptakan. (QS. Al- Isra’ 70)
Ayat tersebut menunjukkan bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai
makhluk yang mempunyai kelebihan/keistimewaan sehingga melebihi makhluk-
makhluk Tuhan lainnya. Dan Tuhan sendiri berkenan memuliakan manusia, maka
sudah seharusnya manusia bisa menghormati martabatnya sendiri serta menghormati
martabat sesama manusia. Pemuliaan manusia bukan hanya dari sisi fisik, namun sisi
keturunan pun Allah bedakan dengan makhluk lain. Sehingga inseminasi buatan
dengan donor itu pada hakikatnya dapat merendahkan harkat manusia sejajar dengan
tumbuh-tumbuhan dan hewan yang diinseminasi.
Kedua; hadits Nabi Saw yang mengatakan, “tidak halal bagi seseorang yang
beriman kepada Allah dan hari akhir menyiramkan airnya (sperma) pada tanaman
orang lain (istri orang lain).” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan dipandang Shahih oleh
Ibnu Hibban).
Berdasarkan hadits tersebut para ulama sepakat mengharamkan seseorang
melakukan hubungan seksual dengan wanita hamil dari istri orang lain. Tetapi
mereka berbeda pendapat apakah sah atau tidak mengawini wanita hamil.Menurut
Abu Hanifah boleh, asalkan tidak melakukan senggama sebelum kandungannya
lahir.Sedangkan Zufar tidak membolehkan.Pada saat para imam mazhab masih
hidup, masalah inseminasi buatan belum timbul.Karena itu, kita tidak bisa
memperoleh fatwa hukumnya dari mereka.
Hadits ini juga dapat dijadikan dalil untuk mengharamkan inseminasi buatan
pada manusia dengan donor sperma dan/atau ovum, karena kata maa’ dalam bahasa
Arab bisa berarti air hujan atau air secara umum, seperti dalam Surat Thaha:53.
Juga bisa berarti benda cair atau sperma seperti dalam Surat An-Nur:45 dan Al-
Thariq:6.
9
Dalil lain untuk syarat kehalalan inseminasi buatan bagi manusia harus
berasal dari sperma dan ovum pasangan yang sah menurut syariah adalah kaidah
hukum fiqih yang mengatakan “dar’ul mafsadah muqaddam ‘ala jalbil
mashlahah” (menghindari mafsadah atau mudharat harus didahulukan daripada
mencari atau menarik maslahah/kebaikan).
Sebagaimana kita ketahui bahwa inseminasi buatan pada manusia dengan
donor sperma dan/atau ovum lebih banyak mendatangkan mudharat (dampak
negatif) daripada maslahah (dampak positif).Maslahah yang dibawa inseminasi
buatan ialah membantu suami-isteri yang mandul, baik keduanya maupun salah
satunya, untuk mendapatkan keturunan atau yang mengalami gangguan pembuahan
normal. Namun mudharat dan mafsadahnya jauh lebih besar (jika menggunakan
donor), antara lain berupa:
1. Percampuran nasab, padahal Islam sangat menjaga kesucian/kehormatan
kelamin dan kemurnian nasab, karena nasab itu ada kaitannya dengan
kemahraman dan kewarisan.
2. Bertentangan dengan sunnatullah atau hukum alam.
3. Inseminasi pada hakikatnya sama dengan prostitusi, karena terjadi percampuran
sperma pria dengan ovum wanita tanpa perkawinan yang sah.
4. Kehadiran anak hasil inseminasi bisa menjadi sumber konflik dalam rumah
tanggal.
5. Anak hasil inseminasi lebih banyak unsur negatifnya daripada anak adopsi.
6. Bayi tabung lahir tanpa melalui proses kasih sayang yang alami, terutama bagi
bayi tabung lewat ibu titipan yang menyerahkan bayinya kepada pasangan
suami-isteri yang punya benihnya sesuai dengan kontrak, tidak terjalin hubungan
keibuan secara alami. (QS. Luqman:14 dan Al-Ahqaf:14).
Adapun mengenai status anak hasil inseminasi buatan dengan donor sperma dan/atau
ovum menurut hukum Islam adalah tidak sah dan statusnya sama dengan anak hasil
prostitusi atau hubungan perzinaan. Dan kalau kita bandingkan dengan bunyi pasal
42 UU Perkawinan No. 1 tahun 1974, “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan
dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah” maka tampaknya memberi
pengertian bahwa anak hasil inseminasi buatan dengan donor itu dapat dipandang
10
sebagai anak yang sah.Namun, kalau kita perhatikan pasal dan ayat lain dalam UU
Perkawinan ini, terlihat bagaimana peranan agama yang cukup dominan dalam
pengesahan sesuatu yang berkaitan dengan perkawinan.Misalnya pasal 2 ayat
1.(sahnya perkawinan), pasal 8 (f) tentang larangan perkawinan antara dua orang
karena agama melarangnya, dan lain-lain. Lagi pula negara kita tidak mengizinkan
inseminasi buatan dengan donor sperma dan/atau ovum, karena tidak sesuai dengan
konstitusi dan hukum yang berlaku.
2. Pandangan Agama Kristen
Vatikan secara resmi tahun 1987 telah mengecam keras pembuahan buatan,
bayi tabung, ibu titipan dan seleksi jenis kelamin anak, karena dipandang tak
bermoral dan bertentangan dengan harkat manusia.
Hal ini karena beberapa alasan, di antaranya:
a. Melibatkan aborsi
b. Tidak mempertimbangkan harkat sang bayi sebagai manusia
c. Masturbasi (pengambilan sperma) selalu dianggap sebagai perbuatan dosa
d. Dilakukan di luar suami istri yang normal
e. Menghilangkan hak sang anak untuk dikandung secara normal, melalui
hubungan perkawinan suami istri.
3. Pandangan Agama Katholik
Menurut agama katolik hubungan suami istri harus mempunyai tujuan union
(persatuan suami istri) dan procreatin (terbuka untuk kemungkinan lahirnya anak).
Maka, inseminasi baik yang heterolog (melibatkan pihak ke tiga) maupan yang
homolog (antara hubungan suami istri itu sendiri) tidak sesuai dengan ajaran iman
katolik, karena dalam prosesnya meniadakan proses union (persatuan suami istri).
4. Pandangan Agama Budha
11
kualitas kehidupannya. Apabila seseorang berniat berumah tangga, maka hendaknya
ia konsekuen dan setia dengan pilihannya, melaksanakan segala tugas dan
kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Orang yang demikian ini sesungguhnya adalah
seperti seorang pertapa tetapi hidup dalam rumah tangga.Sikap ini pula yang dipuji
oleh Sang Buddha.Dengan demikian, inseminasi tidak diperbolehkan dalam agama
budha.
Inseminasi atau pembuahan secara suntik bagi umat Hindu dipandang tidak
sesuai dengan tata kehidupan agama Hindu, karena tidak melalui samskara dan
menyulitkan dalam hukum kemasyarakatan.
Undang-Undang IUI
UU No.1 tahun 1974 pasal 42-44 ketentuan UU perkawinan kedudukan anak diatur secara tegas
sebagai berikut:
Pasal 42 berbunyi : Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah.
Pasal 43 berbunyi :
*Anak yang yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya.
*Kedudukan anak tersebut ayat (1) diatas selanjutnya akan diatur dalam peraturan
pemerintah.
12
Pasal 44 berbunyi :
*Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya bilamana ia
dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina,dan anak itu akibat daripada perzinaan
tersebut.
*Pengadilan memberikan keputusan tentang sah atau tidaknya anak atas permintaan pihak
yang berkepentingan.
Pasal 250 KUHP perdata mengatakan tiap anak yang dilahirkan dalam perkawinan atau
ditumbuhkan sepanjang perkawinan memperoleh suami sebagai bapaknya.
Pasal 16 berbunyi :
*Ayat 1 : Kehamilan diluar cara alami dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir untuk
membantu suami istri mendapatkan keturunan.
*Ayat 2 : Upaya kehamilan diluar cara alami sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya
dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan hasil pembuahan
sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri
darimana ovum berasal,dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mepunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu pada sarana kesehatan terentu.
*Ayat 3 : Ketentuan mengenai persyaratan penyelenggaraan kehamilan diluar cara alami
sebagai dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Kehadiran anak dalam rumah tangga selalu dinantikan dan diharapkan oleh semua
keluarga. Dengan hadirnya anak dilingkungannya akan dirasa bisa melengkapi
kebahagiaan oleh setiap pasangan suami istri. Namun hal ini akan berbalik mana kala
salah satu pihak dalam keluarga tidak mampu memberikan keturunan. Hal ini tentu saja
akan menimbulkan keresahan yang sangat beralasan, karena kehadiran anak seperti
merupakan suatu keharusan dan kebanggaan dalam keluarga.
Berbagai upaya pun akan ditempuh untuk mendapatkan anak. Mulai dari
konsultasi pada pihak yang dianggap ahli untuk memecahkan masalahnya hingga mencari
alternatif apapun seperti adopsi, berobat, terapi kesehatan reproduksi dan menggunakan
teknologi kedokteran yang bisa mendatangkan anak sebagai buah hati. Jika sekian usaha
13
telah dilalui tanpa hasil, tak jarang kehidupan rumah tangga akan rapuh yang pada
akhirnya menyebabkan poligami atau bisa berujung pada perceraian.
Sekarang ini sudah muncul berbagai penemuan teknologi di bidang rekayasa
genetika yang dapat di gunakan untuk mengatasi kendala-kendala dan menolong suami
istri yang tidak bisa menurunkan anak. Rekayasa ini ditandai dengan munculnya
inseminasi buatan seperti Bayi Tabung, Bank Sperma, atau Kotak Ajaib yang mampu
menyimpan sperma dan ovum sebagaimana layaknya rahim asli.
Munculnya ide surrogate mother ini disebabkan karena istri tidak dapat
mengandung karena kerusakan pada rahimnya atau istri sejak lahir tidak punya rahim,
atau bahkan istri ingin mempertahankan tubuh yang atletis, mengingat ia adalah seorang
wanita karier. Pada masa yang akan datang persoalan surrogate mother akan mengalami
perkembangan yang pesat. Hal ini akan disenangi oleh istri-istri yang mementingkan
karier daripada tugas sebagai ibu rumah tangga yang pada akhirnya akan mengarah ke
komersialisasi rahim. Perbuatan ini sudah menyalahi kodrat sebagai manusia dimana
Tuhan telah memberikan organ tubuh yang lengkap akan tetapi manusia tidak
mensyukuri nikmat yang diberikan oleh Tuhan kepadanya, Surrogate mother apabila
ditinjau dari segi teknologi dan ekonomi tidak menimbulkan masalah, tetapi tidaklah
demikian jika kita meninjaunya dari segi hukum. Hukum positif yang mengatur tentang
surrogate mother secara khusus di Indonesia belum ada, namun apabila kita
menggunakan cara berpikir argumentum a contrario maka kita dapat menerapkan
Pasal 1548, 1320, dan 1338 KUHPerdata. Pasal 1548 KUHPerdata berbunyi:
“Sewa-menyewa ialah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan
dirinya kepada pihak lainnya kenikmatan suatu barang, selama waktu tertentu dan dengan
pembayaran suatu harga, dan pihak yang tersebut belakangan disanggupi
pembayarannya”. Berdasarkan Pasal 1548 KUHPerdata di atas, maka yang dijadikan
objek dalam sewa-menyewa adalah barang yang dapat memberikan kenikmatan bagi para
pihak selama waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga.Dalam hal ini apakah
rahim seorang perempuan dapat dijadikan dianggap suatu barang/ sebagai objek
sewamenyewa atau tidak.Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis menggunakan
ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata untuk melihat apakah syarat-syarat dalam
sewamenyewa (perjanjian) rahim ini terpenuhi atau tidak.Di dalam Pasal 1320
14
KUHPerdata telah diatur tentang syarat-syarat sahnya perjanjian.Bila syarat pertama dan
kedua (subyektif) tidak terpenuhi, maka perjanjian itu dapat dibatalkan (vernietigbaar),
sedangkan kalau syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi
hukum (nullandvoid).Di Indonesia sendiri bila dipandang dari segi etika, pembuatan bayi
tabung tidak melanggar, tapi dengan syarat sperma dan ovum berasal dari pasangan yang
sah. Jangan sampai sperma berasal dari bank sperma, atau ovum dari pendonor.
Sementara untuk kasus, sperma dan ovum berasal dari suami-istri tapi ditanamkan dalam
rahim wanita lain alias pinjam rahim, masih banyak yang mempertentangkan. Bagi yang
setuju mengatakan bahwa si wanita itu bisa dianalogikan sebagai ibu susu karena si bayi
di beri makan oleh pemilik rahim. Tapi sebagian yang menentang mengatakan bahwa hal
tersebut termasuk zina karena telah menanamkan gamet dalam rahim yang bukan
muhrimnya. Tetapi sebenarnya UU Kesehatan no. 36 tahun 2009, pasal 127 ditegaskan
bahwa Kehamilan diluar cara alami dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir untuk
membantu suami istri mendapat keturunan, tetapi upaya kehamilan tersebut hanya dapat
dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah yaitu: hasil pembuahan sperma dan ovum
harus berasal dari pasangan suami istri tersebut, untuk kemudian ditanamkan dalam rahim
si istri. Jadi untuk saat ini wacana Surrogates Mother di Indonesia tidak begitu saja dapat
dibenarkan.
Walaupun persoalan sewa-menyewa rahim pada KUHPerdata belum ada, tetapi
undang-undang sendiri memberikan kebebasan kepada para pihak untuk menentukan isi
perjanjian, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang
berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya”. Kebebasan itu meliputi: (1) kebebasan untuk mengadakan
perjanjian dengan siapa pun; (2) kebebasan untuk menetapkan isinya; (3) perlakuan dan
syarat sesuai kehendak; (4) bebas untuk menentukan bentuk perjanjiannya; (5) bebas
untuk memilih ketentuan undang-undang yang mana yang ia mau. Olehnya itu perjanjian
sewa-menyewa rahim secara hukum dapat dikatakan sah, karena telah memenuhi
syaratsyarat yang ditentukan dalam undang-undang
15
Supaya perjanjian antara surrogate mother dan orang tua genetis mempunyai
kekuatan mengikat, maka sebaiknya dibuatkan perjanjian tersebut di muka dan di
hadapan Notaris. Adapun isi perjanjian tersebut berupa
a. Kesediaan ibu pengganti untuk menerima inseminasi buatan;
b. Kesediaan ibu pengganti untuk memberi nama kepada anak/ bayi yang
diperoleh dari orang tua genetis.
c. Kesediaan ibu pengganti untuk menyerahkan anak/ bayi kepada orang tua
genetis segera setelah melahirkannya;
d. Kesediaan ibu pengganti untuk membantu penuh dalam penyelesaian prosedur-
prosedur hukum keluarga berkaitan dengan status hukum yang diinginkan dan
perubahan nama keluarga anaknya;
e. Kesediaan ibu pengganti untuk menerima anak/ bayi segera setelah lahir;
f. Kesediaan orang tua genetis membayar segala biaya selama masa kehamilan
dan biaya kelahirannya;
g. Kesediaan orang tua genetis untuk memberikan uang jasa kepada ibu pengganti
Untuk pemilihan jenis kelaminpun sebenarnya secara teknis dapat dilakukan pada
inseminasi buatan ini.Dengan melakukan pemisahan kromosom X dan Y, baru kemudian
dilakukan pembuahan in-vitro sesuai dengan jenis kelamin yang diinginkan.
Banyak masalah norma dan etik dalam teknologi ini yang jadi perdebatan banyak
pihak, tetapi untuk pandangan profesi kedokteran mungkin dapat mengarah kesimpulan
dari “Perspektif Etika dalam Perkembangan Teknologi Kedokteran” yang disampaikan
oleh dr. Mochamad Anwar, SpOG dalam Seminar Nasional Continuing Medical Education
yang diselenggarakan di Auditorium FK UGM tanggal 10 Januari 2009, dimana aspek
etika haruslah menjadi pegangan bagi setiap dokter, ahli biologi kedokteran serta para
peneliti di bidang rekayasa genetika, yang didasarkan pada Deklarasi Helsinki antara lain:
16
ditugaskan untuk mempertimbangkan, memberi komentar dan kalau perlu
bimbingan.
3) Penelitian biomedik pada manusia hanya boleh dikerjakan oleh orang-orang
dengan kualifikasi keilmuan yang cukup dan diawasi oleh tenaga medis yang
kompeten.
4) Dalam protokol riset selalu harus dicantumkan pernyataan tentang norma etika
yang dilaksanakan dan telah sesuai dengan prinsip-prinsip deklarasi Helsinki.
Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan
ditanamkan dalam rahim istridarimana ovum itu berasalPemerintah Indonesia telah
mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang menyinggung masalah ini.
DalamUndang-Undang No. 23 /1992 tenang Kesehatan, pada pasal 16 disebutkan, hasil
pembuahan sperma dan sel telurdi luar cara alami dari suami atau istri yang bersangkutan
harus ditanamkan dalam rahim istri dari mana sel telur ituberasal. Hal ini menjawab
pertanyaan tentang kemungkinan dilakukannya pendonoran embrio. Jika mengacu
padaUU No.23/1992 tentang Kesehatan, upaya pendonoran jelas tidak mungkin.
Untuk masalah inseminasi buatan melalui metode Bayi Tabung yang selama ini
dinilai sebagai penemuan sains yang membawa kemaslahatan besar bagi manusia,
terutama bagi suami istri yang tidak dapat memperoleh anak dengan pembuahan secara
alami telah ditemukan metode baru dengan pembuahan diluar rahim atau yang dikenal
dengan sebutan In VitroFertilization (IVF). In Vitro Fertilization (IVF) adalah
penyatuan/pembuahan benih laki-laki terhadap benih wanita pada suatu cawan petri (di
laboratorium), yang mana setelah terjadinya penyatuan tersebut (zygote), akan
diimplantasikan atau ditanam kembali di rahim wanita yang mempunyai
benih tersebut.
Masalah inseminasi buatan menurut pandangan Islam termasuk masalah
kontemporer ijtihadiyah. Karena tidak terdapat hukumnya secara spesifik dalam Al
Qur’an dan As Sunnah bahkan dalam kajian fikih klasik sekalipun.3 Oleh karena itu,
masalah ini perlu dikaji dengan memakai metode ijtihad yang dipakai oleh ahli ijtihad
(mujtahidin) agar dapat ditemukan hukumnya yang sesuai dengan prinsip dan jiwa Al
Qur’an dan As Sunnah yang merupakan sumber pokok hukum Islam. Setelah kasus
insemninasi buatan ini mengemuka dengan hebat akhirnya para ulama dan cendekiawan
17
muslim sepakat membolehkannya, selama sperma dan ovum yang diproses itu berasal
dari suami istri yang sah, bukan sebaliknya.4 Namun, persoalan ini akan menjadi rumit
setelah beralih pada penyewaan rahim atau peminjaman rahim yang sering disebut
sebagai Surrogate Mother, yakni penitipan sperma dan ovum dari sepasang suami istri ke
dalam rahim wanita lain untuk dapat membesarkan zigot atau embrio sampai si bayi lahir.
Penerapan bayi tabung dengan meminjam rahim orang lain atau yang biasa
dikenal dengan Surrogate Mother awalnya terjadi karena sesuatu hal dari pihak istri tidak
bisa mengandung, seperti terkena penyakit atau kecacatan yang mengakibatkan wanita
tidak mempunyai harapan untuk mengandung atau bisa juga karena rahim wanita tersebut
diangkat karena pembedahan.5 Oleh sebab itu, peran si istri sebagai seorang ibu yang
berfungsi mengandung dan melahirkan dialihkan pada wanita lain dengan imbalan materi
maupun suka rela. Selain itu ada juga karena alasan kosmetika dan estetika, wanita ingin
punya anak tetapi tidak mau atau khawatir tubuhnya akan cacat dan jelek setelah
melahirkan demi menjaga kecantikan tubuhnya.
Dengan adanya trobosan baru seperti ini yang dianggap sebagai solusi bagi
sebagian kalangan yang ingin mendambakan seorang anak bukan berarti akan
memecahkan masalah. Justru akan menimbulkan masalah baru bagi maslahat umat
terutama bagi status anak yang dilahirkan. Seperti kasus yang tejadi di Afrika, pernah
terjadi di mana ibu pemilik rahim (ibu penghamil) tidak mau menyerahkan bayinya
kepada ibu genetisnya, bahkan ada juga terjadi kasus seorang nenek menjadi penghamil
cucunya (janin anaknya yang tidak bisa mengandung.7 Sedangkan di India juga pernah
terjadi dimana seorang kerabat mengandung janin dari saudara wanitanya.
Jika ditinjau dari hukum Islam, proses penitipan janin melalui Rahim wanita lain
tentu akan menyebabkan permasalahan hukum, antara lain mengenai pandangan hukum
Islam terhadap perbuatan penitipan janin dan status hukum anak yang dilahirkan dari
penitipan janin tersebut, seperti mengacaukan status nasab anak yang dilahirkan dan
penetapan siapa yang menjadi ibu yang sesungguhnya. Apakah wanita yang mengandung
hingga melahirkan atau wanita yang menitipkan janin dalam hal ini adalah wanita si
pemilik ovum. Selain itu juga akan menimbulkan kerancuan hubungan keperdataan
antara anak dengan ibu yang mengandung dengan ibu pemilik rahim. Walaupun
sebenarnya jika anak telah dilahirkan dari ibu pemilik rahim, apakah anak itu bisa
18
dinasabkan dengan ibu tersebut padahal ovum ang menjadi bakal janin berasal dari orang
lain? Begitu juga sebaliknya, apakah anak tersebut dinasabkan pada ibu genetis (pemilik
ovum sebenarnya) padahal anak tersebut dilahirkan dari rahim wanita lain? Jika nasab
dihubungkan dengan ayah (pemilik sperma yang disatukan dengan ovum istri yang sah),
bagaimana hubungan nasab anak tersebut dengan ayah (pemilik sperma)?Apakah status
anak tersebut digolongkan sebagai anak hasil zina, yang berarti tidak mempunyai
hubungan keperdataan dengan si ayah (pemilik sperma yang di satukan dengan ovum istri
yang sah)?Ataukah si anak dinasabkan kepada ayah pemilik sperma tersebut, padahal
antara si ayah tersebut tidak mempunyai ikatan perkawinan dengan wanita yang disewa
rahimnya?Masalah ini sangat menarik sekali untuk dikaji karena tidak ditemukan dalam
kajian fikih klasik dan menjadi perdebatan di kalangan ulama kontemporer.
Diskursus mengenai penetapan status anak atau dengan kata lain orang yang
paling berhak atas anak terdapat perbedaan di kalangan ulama. Diantaranya, pertama,
anak dinasabkan kepada si ibu pemilik benih, salah satu yang mendukung pendapat ini
adalah DR. Yusuf Qardhawi.Kedua, menurut sebagian besar para ulama dan pengkaji,9
anak dinasabkan kepada wanita yang mengandung dan melahirkannya. Sedangkan jika
dinasabkan dari jalur bapak para ulama juga berbeda pendapat, ada yang berpendapat
bahwa anak tersebut tidak mempunyai hubungan apapun dengan orang pemilik benih
(ayah pemilik sperma) dan yang kedua berpendapat bahwa anak dinasabkan kepada
orang pemilik benih (sperma).
Berangkat dari latar belakang di atas inilah penulis ingin mengkaji lebih dalam
tentang bagaimanakah penetapan status anak yang dilahirkan melalui Surrogate Mother
(sewa rahim). Oleh karena itu penulis inginmendsikripsikannya dalam sebuah skripsi
dengan judul : “TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP NASAB ANAK YANG
DILAHIRKAN MELALUI SURROGATE MOTHER.”
Contoh:
Bayi bernama Gammy, ia adalah hasil surrogacy di Thailand. Gammy merupakan bayi
perempuan hasil sewa rahim dari pasangan asal Australia, Wendy dan David Farnell
19
IV. Adopsi
A. Pengertian
secara Etimologi pengangkatan anak disebut juga dengan istilah lain yaitu adopsi.
Adopsi berasal dari kata “adoptie” (bahasa Belanda) yang artinya pengangkatan
seorang anak untuk dijadikan sebagai anak sendiri. Sedangkan menurut bahasa
Inggris yaitu “adoption” yang berarti pengangkatan anak atau mengangkat anak.
Shanty Dellyana, SH. dalam buku “Wanita dan Anak di Mata Hukum” bahwa
: Pengangkatan anak adalah suatu tindakan mengambil anak orang lain untuk
dipelihara dan diperlakukan sebagai anak kandung sendiri, berdasarkan ketentuan-
ketentuan yang disepakati bersama dan sah menurut hukum yang berlaku di
masyarakat yang bersangkutan (Shanty Dellyana, 1988:21).
20
Djaja S. Meliala, SH. dalam buku “Pengangkatan Anak (Adopsi) di
Indonesia”, bahwa: Adopsi atau pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum
yang memberi kedudukan kepada seorang anak orang lain yang sama seperti seorang
anak yang sah (Djaja S. Meliala, 1982:3).
Adopsi menurut bahasa berasal dari bahasa inggris “adoption”, yang berarti
pengangkatan anak atau pemungutan sehingga sering dikatakan “adoption of child”
yang artinya pengangkatan atau pemungutan anak.
Kata adopsi ini dimaksudkan oleh ahli bangsa arab dengan istilah attabanni yang
dimaksudkan mengangkat anak. Sedangkan dalam kamus Munjid diartikan “ ittihadzahu
ibnan” yaitu menjadikannya sebagai anak.
B. Syarat-Syarat Adopsi
21
Dalam hal melakukan pengangkatan anak atau adopsi anak akan membahas
mengenai adoptan, adoptandus, perbuatan hukum dan status anak angkat menjadi anak
kandung yang didasari pada Staatsblad 1917 Nomor 129, Surat Edaran Mahkamah
Agung (SEMA) Nomor 6 Tahun 1983, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang perlindungan anak beserta peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan
Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 yang terbagi menjadi :
C. Persyaratan mengenai adoptan atau orang yang boleh mengangkat anak didalam
Staatsblad 1917 Nomor 129 diatur didalam Pasal 5 adalah sebagai berikut:
1. Seorang laki-laki beristri atau telah pernah beristeri yang tidak mempunyai
keturunan laki-laki yang sah dalam garis laki-laki, baik keturunan karena kelahiran
maupun keturunan karena pengangkatan anak, maka bolehlah ia mengangkat
seorang anak laki-laki sebagai anak nya.
2. Bahwa anak demikian tersebut harus dilakukan oleh seorang lakilaki tersebut
bersama-sama dengan isterinya atau jika dilakukannya setelah perkawinannya
dibubarkan oleh dia sendiri.
3. Perempuan janda yang tidak kawin lagi, yang oleh suaminya telah meninggal
tersebut tidak meninggalkan seorang keturunan, menurut Pasal 5 ayat 3, dapat
mengangkat seorang laki-laki sebagai anaknya.
22
menyimpulkan bahwa pasal 5 tersebut mengatur mengenai persyaratan
pengangkatan anak dengan kategori suami dan istri masih dalam ruang lingkup
perkawinan yang sah, suami dan istri telah bercerai dan dalam keadaan apabila
seorang istri yang ditinggal suaminya karena meninggal (janda).
23
4. Dalam keadaan mampu ekonomi berdasarkan surat keterangan dari pejabat yang
berwenang, serendah-rendahnya lurah/kepala desa setempat;
5. Berkelakuan baik berdasarkan surat keterangan dari Kepolisian Republik Indonesia;
6. Dalam keadaan sehat jasmani dan rohani berdasarkan surat keterangan dokter
pemerintah;
7. Mengajukan pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak sematamata untuk
kepentingan kesejahteraan anak.
Pasal 1 : *Ayat 1 anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan
keluarga orang tua,wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas
perawatan,pendidikan dan membesarkan anak tersebut kedalam lingkungan keluarga
orang tua angkatnyaberdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan.
*Ayat 3 orang tua adalah ayah dan atau ibu kandung atau dan ayahdan atau ibu tiri
atau ayah dan atau ibu angkat.
*Ayat 4 orang tua angkat adalah orang yang diberi kekuasaan untuk
merawat,mendidik dan membesarkan anak berdasarkan peraturan perundang-
undangan dan adat kebiasaan.
*Ayat 5 lembaga pengasuhan anak adalah lenbaga atau organisasi sosial atau
yayasan yang berbadan hukum yang menyelenggarakan pengasuhan anak terlantar
dan telah mendapat izin dari menteri untuk melakasanakan proses pengangkatan
anak.
24
*Ayat 6 masyarakat adalah perseorangan,keluarga,kelompok dan organisasi sosial
dan atau organisasi kemasyarakatan.
*Ayat 7 pekerja sosial adalah pegawai negeri sipil atau orang yang ditunjuk oleh
lembaga pngasuhan yang memiliki kompetensi pekerjaan sosial dalam pengangkatan
anak.
*Ayat 8 instansi sosial adalah instansi yang tugasnya mencakup bidang sosial baik di
pusat maupun di daerah.
Pasal 2 : pengangkatan anak bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan anak dan perlindungan anak yang dilaksanakan
berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 3 : *Ayat 1 calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang di anut oleh calon
anak angkat.
*Angkat 2 dalam hal asal usul anak tidak di ketahui maka agama anak di sesuaikan
dengan agama mayoritas.
Pasal 4 : pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan sarah antara anak yang di angkat
dengan orang tua kandungnya.
Pasal 5 : pengangkatan anak WNI oleh WNA hanya dapat di lakukan sebagai upaya terakhir.
Pasal 6 : *Ayat 1 orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal
Pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan.
25
Pengangkatan anak atau adopsi memiliki definisi yang bermacammacam antara
lain, definisi pengangkatan anak atau adopsi menurut Ensiklopedia Bebas merupakan
tindakan mengadopsi; diadopsi. Mengangkat anak atau adopsi adalah untuk
mengambil ke dalam keluarga seseorang (anak dari orang tua lain), terutama akibat
perbuatan hukum formal. Hal ini juga dapat berarti tindakan hukum mengasumsikan
orangtua seorang anak yang bukan milik sendiri.
26
antara orangtua asuh dengan anak asuh. Untuk mengatasi masalah keberagaman
hukum yang berlaku tersebut dalam ruang lingkup hukum perdata di Indonesia
termasuk masalah pengangkatan anak atau adopsi anak.
E. peraturan yang mengatur mengenai masalah pengangkatan anak atau adopsi anak
seperti :
1. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 1979 tentang
Pengangkatan Anak tanggal 7 April 1979. Dalam SEMA tersebut tidak terdapat
mengenai definisi pengangkatan anak secara rinci hanya saja mengatur mengenai
prosedur pengangkatan anak;
2. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 1979
tanggal 7 April 1979 tentang Pengangkatan Anak tanggal 22 November 1983.
SEMA ini merupakan lanjutan dari Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)
Nomor 2 Tahun 1979 yang isinya berupa penyempurnaan dari prosedur
pengangkatan anak di SEMA sebelumnya, sehingga tidak diatur pula mengenai
pengertian pengangkatan anak;
3. Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor:41/HUK/KEP/VII/1984
tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak tanggal 14 Juni
1984. Bahwa dalam keputusan menteri sosial tidak terdapat pengertian
pengangkatan anak dan hanya ada kumpulan petunjuk untuk melaksanakan
perizinan pengangkatan anak yang mana syarat-syarat pengangkatan anak harus
dipenuhi;
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tanggal 22
Oktober 2002. Dalam Undang-Undang ini juga 16 tidak terdapat pengertian
pengangkatan anak, namun yang diatur dalam Undang-Undang ini adalah tujuan
pengangkatan anak dan pemenuhan hak-hak sebagai anak angkat;
5. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas undang-undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak tanggal 17 Oktober 2014.
Dalam Undang-Undang ini tidak terdapat pengertian pengangkatan anak, namun
Undang-Undang ini membahas tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2003 yang mana perubahan tersebut terdiri atas pelengkapi isi pasal dan
27
menambahkan isi pasal yang mana terdiri dari tujuan pengangkatan anak, pihak-
pihak pengangkatan anak, dan mengenai pelaksanaan pengangkatan anak;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan
Anak, yang berlaku sejak tanggal 3 Oktober 2007. Dalam aturan ini pengangkatan
anak didefinisikan sebagai suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang
anak dari lingkungan kekuasaan orangtua, wali yang sah, atau orang lain yang
bertanggungjawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke
dalam lingkungan keluarga orangtua angkat;
7. SEMA Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Anak tanggal 8 Februari 2005
setelah terjadinya bencana alam gempa bumi dan gelombang Tsunami yang
melanda Aceh dan Nias. SEMA ini hanya mengatur tentang pengangkatan anak
saat setelah terjadinyabencana alam gempa bumi dan gelombang Tsunami yang
melanda Aceh dan Nias, dan tidak mengatur tentang definisi pengangkatan anak;
8. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dimana dalam Pasal 49 huruf a,
angka 20 mengatur bahwa Pengadilan Agama berwenang mengeluarkan
penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan
Hukum Islam, namun untuk definisi pengangkatan anak tidak dijelaskan dalam
aturan ini;
9. Penetapan pengangkatan anak berdasarkan kompilasi hukum islam, dalam
penetapan tersebut tidak terdapat pengertian pengangkatan anak, tapi hanya
mengatur tentang anak angkat dan hak-hak anak angkat;
10. Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap.
F. Persyaratan mengenai adoptan diatur lebih lanjut didalam Peraturan Pemerintah
Nomor 54 Tahun 2007 dalam Pasal 13 disebutkan bahwa calon orangtua angkat harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Sehat jasmani dan rohani;
b. Berumur paling rendah 30 tahun dan paling tinggi 55 tahun;
c. Beragama sama dengan agama calon anak angkat;
d. Berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan;
28
e. Berstatus menikah paling singkat 5 tahun;
f. Tidak merupakan pasangan sejenis;
g. Tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak
h. Dalam keadaan mampu ekonomi dan social
i. Memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orangtua atau wali anak;
j. Membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan
terbaik bagi anak, kesejahteraan, dan perlindungan anak;
k. Adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat
l. Telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 bulan, sejak izin pengasuhan
diberikan;
m. Memperoleh izin Menteri dan/atau kepala instansi sosial
G. Pengertian Pembatalan Pengangkatan Anak
a. Karena berangkat dari faktor yuridis, yaitu masalah yang timbul karena berkenaan
dengan akibat hukumnya dari pengangkatan anak itu sendiri;
b. Berkenaan dengan faktor sosial, yaitu yang mengangkat sosial efeknya dari
perbuatan adopsi atau pengangkatan anak itu sendiri
c. Tinjauan terhadap masalah yang timbul karena berkenaan dengan faktor
psikologis.
Contoh:
Jaimie dan Brian Dorn dari Long Island di New York, yang memiliki dua anak dari
pernikahan sebelumnya, menggunakan Instagram untuk membantu mereka menemukan
anak yang hendak diadopsi dan Ketika mereka memutuskan bahwa agen adopsi
tradisional bukan pilihan tepat, seorang teman menyarankan agar mereka mencoba adopsi
independen via iklan di Instagram
29
V. Bank Sperma
Bagi sebagian orang, ketika mendengar diskursus sains dan agama, maka yang
ada dibenak mereka adalah bentuk hubungan yang seru diantara keduanya (Bagir 2004,
X). Sebenarnya bentuk perjumpaan antara sains dan agama bukan hanya pertentangan
semata, tapi keduanya mencoba mencari formulasi posisi dimana keduanya saling
menguntungkan (symbiosis mutualism), agama tidak menegasikan sains, dan sains pun
tidak menafikan aspek moralitas agama (Borgias 2004, 1). Pola relasi keduanya masih
menjadi wacana yang terus diperbincangkan kalangan intelektual, bahkan ada yang
beranggapan jika sains dan agama merupakan dua entitas yang sama sekali berbeda, tidak
mungkin untuk dipertemukan. Keduanya memiliki ruang masing-masing, baik dari segi
objek formal-material, metode penelitian, dan kriteria kebenaran, sehingga kedua entitas
tersebut tidak saling tegursapa bahkan mereka saling menegasikan (Abdullah 2004, 3).
30
mewakili budaya literer yang menjustifikasi hitam-putih, dan mengklaim berbicara atas
nama kebenaran. Di sisi yang lain, saintis dengan pijakan rasional-empiris telah berhasil
mengubah wajah dunia hingga seperti saat ini. Persinggungan kedua budaya agamawan
dan saintis ini tidak pernah menemukan titik temu, sebab keduanya saling klaim yang
berhak menentukan kehidupan (Bagir 2005). Kemunculan bank sperma merupakan salah
satu dampak kemajuan teknologi dalam bidang kedokteran, sehingga orang dapat hanya
membelinya untuk mempunyai
Anak dengan cara inseminasi buatan (bayi tabung) yang diambil dari para pedonor
dengan dengan menafikan adanya hubungan perkawinan atau tidak, hal ini akan menjadi
kerancuan pada status dan nasab anak tersebut. Dalam terminologi fikih tidak mengenal
wacana bank sperma dan inseminasi buatan, karena epistemologi hukum Islam bersifat
bayan (al-hadlarah an-nash) yang memegang teguh teks keagamaan tanpa mau melihat
realitas objektif yang dinamis.
Karena itu, untuk menjaga kemaslahatan dan menegakkan hukum fikih, diskursus
etik antara sains dan agama dalam konteks bank sperma dan implikasinya ini tidak hanya
berhenti pada titik ini.Fikih harus mampu merespon problem hukum kontemporer
ataspersoalan bio-teknologi medis tersebut agar agama tidak ketinggalan zaman sehingga
prinsip al-Islam shalih li kulli zaman wal makantidak hanya sebatas slogan, tetapi bisa
menempatkan Islam sebagai garda terdepan dalam membicarakan kehidupan empirik.
Dengan dasar pemikiran di atas, tulisan ini akan difokuskan pada persoalan tinjauan etika
pada bank sperma dengan berbagai implikasinya.
Dengan metode kepustakaan (library research), penelitian ini dilakukan dengan
cara membaca, menelaah, serta menganalisis bahan-bahan kepustakaan yang ada. Dengan
teknik pengumpulan data menggunakan adalah teknik dokumentasi, data yang diperoleh
terdiri dari data primer, terkait langsung dengan bank sperma sebagai bentuk wacana
antara agama dan sains; sedangkan data sekunder berkaitan dengan pemikiran orang lain
yang mengulas hal tersebut. Selanjutnya, data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan
teknik content analysis dan interpertation analysis.
31
A. Bank Sperma dan Aspek Kependudukan
Dengan demikian hukum pendirian bank sperma bisa mubah jika bertujuan
untuk memfasilitasi suami isteri yang ingin menyimpan sperma suaminya di bank
tersebut, sehingga jika suatu saat nanti terjadi hal yang dapat menghalangi kesuburan,
isteri masih bisa hamil dengan cara inseminasi yang halal. Tetapi jika tujuan pendirian
bank sperma untuk mendonorkan sperma kepada wanita yang bukan isterinya, maka
pendirian bank sperma tersebut haram, karena hal yang mendukung terhadap
32
terjadinya haram maka hukumnya haram.Selain itu, munculnya wacana bank sperma
dan konsep bayi tabung memunculkan diskursus baru terkait dengan zina.Dalam
konsep lama disebutkan, zina adalah hubungan badan tanpa adanya ikatan pernikahan
yang dihukumi tidak sah dalam agama (Illahi 2005, 27). Dalam zina juga
dimungkinkan penularan penyakit kelamin yang akan dapat menurun kepada generasi
berikutnya (Sa’iddah 2001, 8). Konsep zina yang lama perlu untuk perlu
didekonstruksi dan redefinisi zina itu sendiri, apakah bayi tabung yang
mempertemukan ovum dan sperma orang lain dapat disebut sebagai perzinaan, atau
perzinaan hanya bertemunya alat kelamin semata?.
33
1983–membolehkan KB dalam pengertian tanzim al-nasl, yaitu pengaturan jarak
kehamilan, dan bukan tahdid al-nasl. Apabila persoalan KB dikaitkan dengan
kebijakan negara, jumlah penduduk yang overpopulated, secara prinsip program ini
diarahkan untuk kesejahteraan rakyat (Heriyanto 2000, 45).
Contoh:
Dengan dana sebesar £77.000 dari Departemen Kesehatan, bank tersebut akan mulai
mencari pendonor sperma dari berbagai ras.Bank sperma itu akan dikelola oleh
National Gamete Donation Trust dan Rumah Sakit Perempuan Birmingham.Data
pemerintah Inggris menunjukkan jumlah pendonor sperma mulai meningkat sejak
2004.Namun, peningkatan permintaan lebih drastis.Problem ini diperparah oleh
kurangnya variasi pendonor.Pasokan sperma di klinik-klinik kesuburan utamanya
disuplai dari pendonor kulit putih dari Denmark dan Amerika Serikat.
Undang-undang pemerintah telah mengaturnya dalam pasal 16 UU
No.23/1992 tentang kesehatan dan peraturan menteri kesehatan No.73 tahun
1992.Peraturan itu menetapkan bahwa inseminasi buatan hanya diperbolehkan pada
suami istri yang sah secara hukum,sel sperma dan sel telur dari pasangan itulah yang
kemudian ditanamdalam rahim istri.
34
VI.Aborsi
Menurut Fact Abortion, Info Kit on Women’s Health oleh Institute For Social,
Studies anda Action, Maret 1991, dalam istilah kesehatan” aborsi didefenisikan sebagai
penghentian kehamilan setelah tertanamnya telur (ovum) yang telah dibuahi rahim
(uterus), sebelum janin (fetus) mencapai 20 minggu.
Ada dua macam aborsi, yaitu aborsi spontan dimana aborsi terjadi secara alami,
tanpa intervensi tindakan medis (aborsi spontanea), dan aborsi yang direncanakan melalui
tindakan medis dengan obat-obatan, tindakan bedah, atau tindakan lain yang
menyebabkan pendarahan lewat vagina (aborsi provokatus). (Fauzi, et.al., 2002)
Jika merujuk dari segi kedokteran atau medis, keguguran adalah pengeluaran hasil
konsepsi sebelum janin dapat hidup diluar kandungan. Untuk lebih memperjelas maka
berikut ini akan saya kemukakan defenisi para ahli tentang aborsi (Rustam Mochtar,
1998)
a. Eastman: Aborsi adalah keadaan terputusnya suatu kehamilan dimana fetus belum
sanggup berdiri sendiri di luar uterus. Belum sanggup diartikan apabila fetus itu
beratnya terletak antara 400 – 1000 gr atau kehamilan kurang dari 28 minggu
b. Jeffcoat: Aborsi yaitu pengeluaran dari hasil konsepsi sebelum 28 minggu, yaitu
fetus belum viable by law
c. Holmer: Aborsi yaitu terputusnya kehamilan sebelum minggu ke-16 dimana
plasentasi belum selesai.
35
Secara umum, aborsi dapat dibagi dalam dua macam, yaitu pengguguran spontan
(spontanueous aborsi) dan pengguguran buatan atau sengaja (aborsi provocatus),
meskipun secara terminologi banyak macam aborsi yang bisa dijelaskan (C.B.
Kusmaryanto, 2002), menguraikan berbagai macam aborsi, yang terdiri dari:
36
Dalam ilmu kedokteran aborsi dibagi atas dua golongan (Taber Ben-zion, 1994) :
37
6. Aborsi terinfeksi
Yaitu aborsi yang disertai infeksi organ genital.
7. Missed Abortion
Yaitu aborsi yang embrio atas janinnya meninggal.Dalam uterus sebelum umur
kehamilan lengkap 20 minggu tetapi hasil konsepsi tertahan dalam uterus selama
8 minggu atau lebih.
8. Aborsi septik
Yaitu aborsi yang terinfeksi dengan penyebaran mikroorganisme dari produknya
ke dalam sirkulasi sistematik ibu.
b. Aborsi Provokatus
Yaitu aborsi yang disengaja, yang dilakukan dengan maksud dan pertimbangan
tertentu baik dengan memakai obat-obatan atau alat karena kandungan tidak
dikehendaki. Aborsi provocatus terdiri dari (Ediwarman, 1996) :
1. Provocatus therapeutics/ aborsi medicalis
Yaitu aborsi yang terjadi karena perbuatan manusia.Dapat terjadi baik karena di
dorong oleh alasan medis, misalnya karena wanita yang hamil menderita suatu
penyakit. Aborsi provokatus dapat juga dilakukan pada saat kritis untuk
menolong jiwa si ibu, kehamilan perlu diakhiri, umpamanya pada kehamilan di
luar kandungan, sakit jantung yang parah, penyakit TBC yang parah, tekanan
darah tinggi, kanker payudara, kanker leher rahim. Indikasi untuk melakukan
aborsi provokatus therapeuticum sedikit-dikitnya harus ditentukan oleh dua
orang dokter spesialis, seorang dari ahli kebidanan dan seorang lagi dari ahli
penyakit dalam atau seorang ahli penyakit jantung
2. Aborsi provokatus criminalis
Inilah aborsi yang dilakukan dengan sengaja, baik oleh si ibu maupun oleh orang
lain dengan persetujuan si ibu hamil. Hal ini dilakukan dengan alasan-alasan
tertentu, misalnya malu mengandung karena hamil di luar nikah. Aborsi ini
biasanya dilakukan demi kepentingan pelaku, baik itu dari wanita yang
mengaborsikan kandungannya ataupun orang yang melakukan aborsi seperti
dokter secara medis ataupun dilakukan oleh dukun beranak yang hanya akan
mencari keuntungan materi saja
38
Perilaku Aborsi
1. Pengertian
Menurut Fatmawati (2007) Perilaku-perilaku yang muncul pada wanita yang
melakukan perilaku aborsi pranikah antara lain: lebih menutup diri dari lingkungan
keluarga dan masyarakat, mencari klinik aborsi, mencari obat penggugur kandungan,
memakai pakaian yang lebih longgar, loncat-loncat, minum jamu peluntur atau jamu
telat bulan, makan nanas muda, minum jamu, pergi ke dukun, minum obat ginekosid/
cytotec.
2. Faktor pendorong melakukan aborsi
Menurut Sarlito (2000) faktor yang mendorong timbulnya aborsi adalah:
a. Faktor ekonomi, jika tidak aborsi
b. Anak terlalu banyak, penghasilan suami terbatas, dan sebagainya (khususnya
ibu-ibu peserta KB yang mengalami kegagalan kontrasepsi).
c. PHK (Putus Hubungan Kerja) Misal: Pramugari, Buruh.
d. Belum bekerja (buat yang masih sekolah atau kuliah)
3. Faktor sosial (khusus untuk kehamilan pranikah), jika tidak aborsi:
a. Putus sekolah atau kuliah
b. Malu pada keluarga dan tetangga
c. Siapa yang akan mengasuh bayi
d. Terputus atau terganggu karir atau masa depan
4. Kondisi Pra Aborsi
Sarlito (2000), menyatakan bahwa kondisi psikologis perempuan pra aborsi
diantaranya adalah takut atau cemas, kebingungan sehingga menunda-nunda
persoalan, membutuhkan perlindungan tetapi lelaki yang berbuat pada umumnya
tidak mau dan tidak mampu bertanggungjawab, membutuhkan informasi tetapi tidak
tahu harus bertanya kepada siapa (masyarakat mentabukan seks, apalagi aborsi dari
semua yang belum menikah, khususnya perempuan). Pada saat sudah terdesak
akhirnya nekat mencari bantuan yang paling terjangkau (dekat, murah dan
mudah).Tindakan nekat ini tidak didukung oleh pengetahuan yang cukup bisa sangat
berbahaya, dukun atau para medik atau dokter yang tidak bertanggungjawab,
komplikasi yang tidak segera ditolong, infeksi karena tidak diperiksa ulang.
39
5. Akibat Melakukan Aborsi
Kondisi psikologis pasca aborsi diantaranya adalah munculnya penyangkalan,
perempuan tak mau memikirkan atau membicarakan hal itu lagi, menjadikan rahasia
pribadi, menjadi tertutup, takut didekati, munculnya perasan tertekan.
Wanita yang melakukan aborsi diam-diam, setelah proses aborsi biasanya akan
mengalami Post Abortion Syndrome (PAS) atau sering juga disebut Post Traumatic
Stress Syndrome. Gejala yang sering muncul adalah depresi, kehilangan kepercayaan
diri, merusak diri sendiri, mengalami gangguan fungsi seksual, bermasalah dalam
berhubungan dengan kawan, perubahan kepribadian yang mencolok, serangan
kecemasan, perasaan bersalah dan penyesalan yang teramat dalam.Mereka juga
sering menangis berkepanjangan, sulit tidur, sering bermimpi buruk, sulit
konsentrasi, selalu teringat masa lalu, kehilangan ketertarikan untuk beraktivitas, dan
sulit merasa dekat dengan anak-anak yang lahir kemudian.
Pada saat melakukan aborsi dan setelah melakukan aborsi ada beberapa resiko yang
akan dihadapi seorang wanita, seperti yang dijelaskan dalam buku “Facts of Life”
yang ditulis oleh Brian Clowes, Phd yaitu:
a. Kematian mendadak karena pendarahan hebat
b. Kematian mendadak karena pembiusan yang gagal
c. Kematian secara lambat akibat infeksi serius disekitar kandungan
d. Rahim yang sobek (Uterine Perforation)
e. Kerusakan leher rahim (Cervical Lacerations) yang akan menyebabkan cacat
pada anak berikutnya
f. Kanker payudara (karena ketidakseimbangan hormon estrogen pada wanita)
g. Kanker indung telur (Ovarian Cancer)
h. Kanker leher rahim (Cervical Cancer)
i. Kanker hati (Liver Cancer)
j. Kelainan pada placenta / ari-ari (Placenta Previa) yang akan menyebabkan cacat
pada anak berikutnya dan pendarahan hebat pada saat kehamilan berikutnya
k. Menjadi mandul/tidak mampu memiliki keturunan lagi (Ectopic Pregnancy)
l. Infeksi rongga panggul (Pelvic Inflammatory Disease)
m. Infeksi pada lapisan rahim (Endometriosis)
40
Proses aborsi bukan saja suatu proses yang memiliki resiko tinggi dari segi kesehatan
dan keselamatan seorang wanita secara fisik, tetapi juga memiliki dampak yang
sangat hebat terhadap keadaan mental seorang wanita.
Pada dasarnya seorang wanita yang melakukan aborsi akan mengalami hal-hal
seperti berikut ini:
41
tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun.Pasal 472 Ayat 1 :
Dokter,bidan,paramedis atau apoteker yang membantu melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam pasal 470 dan pasal 471 pidana dapat ditambah 1/3 (satu
per tiga).Ayat 2 : Dokter,bidan,paramedis atau apoteker yang melakukan tindak pidana
tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 86 huruf a dan
huruf f.Ayat 3 : Dokter yang melakukan pengguguran kandungan karena indikasi
kedaruratan medis atau terhadap korban perkosaan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan,tindak pidana.
42
DAFTAR PUSTAKA
Mulyasari, Santi. 2019. Undang-Undang Dan Kontroversi Mengenai Bayi Tabung.
Mibtadin, 2016.Mencari Formulasi Baru antara Agama dan Sains: Refleksi Etis atas Kasus
Bank Sperma, LP2M IAIN Surakarta
Ratna S Dewi,….,Bab II Aborsi, Perguruan Tinggi Unimus
Wijaya, Nyoman Angga Pandu, Surrogate Mother Menurut Hukum Di Indonesia, Fakultas
Hukum Universitas Udayana
43