Anda di halaman 1dari 12

HAK MENGUASAI DARI NEGARA

DOSEN PEBIMBING

Nurwigati, S.H., M.Hum.

DISUSUN OLEH

Anas Zuhud Hidayatullah (20180610084)

Salsabila Safa Aurelia Anny (20180610116)

Muhammad Fatah Nafi (20180610274)

Muhammad Reza Cakrawira (20180610330)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


A. Pendahuluan
A.1. Latar Belakang
Istilah konstitusi mengandung makna dan pengertian yang lebih luas daripada
Undang-Undang Dasar, karena konstitusi mencakup hukum dasar yang tertulis (Undang-
Undang Dasar) dan hukum dasar yang tidak tertulis (konvensi). UUD 1945 adalah hukum
dasar yang tertulis. Dari pengertian sebagai hukum ini, UUD 1945 adalah bersifat
mengikat bagi pemerintah, setiap lembaga negara dan lembaga masyarakat, setiap warga
negara Indonesia di mana saja berada, serta setiap penduduk yang ada di wilayah negara
Republik Indonesia.
Sebagai hukum dasar, UUD 1945 merupakan sumber hukum. Pelaksana setiap
produk hukum seperti UUPA, Peraturan Pemerintah, dan Keputusan Pemerintah
harus berdasarkan dan bersumber kepada aturan yang lebih tinggi yang pada akhirnya
dapat dipertanggungjawabkan pada ketentuan UUD 1945.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1950 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria atau yang biasa disebut Undang-Undang Pokok Agraria adalah undang-undang
yang mengatur tentang dasar-dasar dan ketentuan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan sumber daya agraria nasional di Indonesia. Hal itu mencakup dasar-dasar dan
ketentuan-ketentuan pokok, hak-hak atas tanah, air dan ruang angkasa serta pendaftaran
tanah, ketentuan-ketentuan pidana dan ketentuan peralihan. Undang-undang tersebut
adalah sebagai pelaksanaan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
UUPA sendiri secara empiris-sosiologis sudah berlaku efektif sejak awal
pembuatan pada 24 September 1960 sampai sekarang. Berarti setelah lima belas tahun
merdeka dan sesudah berusaha selama kurang lebih dua belas tahun, Bangsa Indonesia
untuk pertama kalinya mempunyai dasar perundang-undangan untuk menyusun lebih
lanjut Hukum Agraria/Hukum Tanah Nasional sebagai perwujudan Pancasila serta
berdasarkan Undang Undang Dasar Proklamasi, UUD 1945.
Dalam Memori Penjelasan, ketentuan ini digolongkan pada ketentuan dasar
nasional hukum agraria yang baru. Hak menguasai dari Negara itu tidak saja didasarkan
atas ketentuan pasal 1 dimana Negara dianggap sebagai organisasi kekuasaan rakyat,
sebagai alat bangsa, tetapi dicarikan juga dasar hukumnya pada ketentuan pasal 33
ayat 3 Undang-Undang Dasar.
Kemudian pada Pasal 33 ayat (3) yang berbunyi “Bumi, air dan kekayaan alam
yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.” diatur mengenai hak menguasai oleh negara. Seperti yang
akan kita bahas dalam makalah ini.

B.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana implementasi Pasal 33 ayat (3) mengenai Hak Menguasai dari


Negara?
2. Bagaimana seharusnya memaknai pemahaman terhadap konsep Pasal 3
ayar (3) UUD1945?
B. Pembahasan
B.1. Hak Menguasai dari Negara
Dirumuskannya prinsip Hak Menguasai dari Negara (HMN) sesungguhnya
dimaksudkan untuk menghapus dan mengganti azas Domein Verklaring yang diberlakukan
di Hindia Belanda (Indonesia) pada zaman colonial Belanda berdasarkan Pasal 1 Agrarisch
Besluit yang diundangkan dalam S.187G-118.
Konsep Hak Menguasai Negara (HMN) memang diperkenalkan melalui Pasal 33
ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa Bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Di dalam penjelasannya menyatakan bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat
sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Yang lima belas tahun kemudian akhirnya diundangkan dalam Undang-Undang
Pokok Agrari yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 dibuat pada tanggal 24
September 1960 dalam undang-undang ini konsep hak menguasai negara diperinci dan
diperluas pengertiannya.

Hak menguasai dari Negara tidak menghapuskan atau memperlemah hak milik
yang dipunyai oleh orang (yang dalam hal ini warga negara Indonesia). Hak milik tetap
merupakan hak terkuat dan terpenuh, tetapi tidak juga bersifat mutlak, artinya hak milik
tidak memberi wewenang kepada yang empunya hak untuk melakukan apa saja semaunya
sendiri atas tanah yang dimilikinya. Sebagai pemegang hak menguasai, yang dipersamakan
dengan hak ulayat dari seluruh rakyat Indonesia, Negara Indonesia mempunyai
kewenangan-kewenangan tertentu atas tanah yang dihaki oleh orang maupun badan
hokum, termasuk hak milik. Kewenangan Negara tersebut tertuang didalam pasal 2 UUPA
yang selengkapnya berbunyi:

(1) Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-hal
sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk
kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai
oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
(2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi
wewenang untuk :

a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan


pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi, air dan ruang angkasa,
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang
angkasa.
Bunyi pasal 33 Ayat 3 UUD 1945juga merupakan acuan untuk mengolah sumber
daya alam indonesia untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal ini di
implementasikan oleh lembaga eksekutif selaku penyelaenggara negara, pasal-pasal dalam
undang-undang dasar mutlak harus di implementasikan oleh seluruh elemen negara bukan
hanya Eksekutif, Legislatif, Yudikatif, masyarakat dan pihak swasta dan investorpun harus
menigimplemntasikan nila-nilai yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Negara Indonesia mempunyai Sumber Daya Alam (SDA) dari Sabang sampai
Merauke yang melimpah. Sumber Daya alam dari minyak mentah, batu mulia, logam
mulai, dan kekayaan nabati yang melimpah. Dewasa ini, sumber daya dimanfaatkan oleh
berbagai oknum atau perusahaan, tetapi oknum tersebut hanya memanfaatkan Sumber
Daya untuk kepentingan diri sendiri, tidak untk kepentingan 5ocial5. Selain di ambil hanya
untuk kepentingan pribadi, terkadang, dia juga tidak memperhatikan kelestarian alam
setelah ia melakukan eksploitasi alam.
Dalam beberapa undang-undang tentang pengaturan sumber daya alam di
Indonesia, salah satu pertimbangan yang selalu muncul adalah dasar pengelolaan sumber
daya alam yang merujuk pada Pasal 33 ayat (3) UUD RI 1945 yaitu “Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Walaupun selalu muncul dalam bab menimbang,
namun frasa tentang sebesar-besar kemakmuran rakyat ini memerlukan implementasi yang
lebih konkret. Salah satu bapak pendiri bangsa kita yaitu Hatta pernah menyampaikan
bahwa “kemakmuran rakyat-sentris” yaitu mendahulukan tercapainya kemakmuran rakyat
banyak. Segala eksplorasi dan eksploitasi segala kekayaan alam kita- minyak, gas bumi,
timah dan sebagainya; baik yang onshoremaupun offshore, di atas pantai maupun lepas-
pantai boleh saja dikerjakan oleh swasta, 6ocia Negara belum berdaya sepenuhnya; namun
kesemuanya itu harus “dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat” dan sekali-kali
tidak untuk kemakmuran dan kemewahan minoritas elita atasan dan berkuasa”.
Meskipun sudah disampaikan demikian, namun dalam perjalanannya masih banyak
regulasi di Indonesia yang dianggap belum dapat mengemban amanat untuk mewujudkan
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pada tahun 2010 Mahkamah Konstitusi mengeluarkan
keputusan terkait dengan uji materiil atas Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir. Keputusan ini dapat dikatakan telah memberikan sedikit
tafsir atas kandungan yang dimaksud dalam “sebesar-besar kemakmuran rakyat” yang
diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Dalam salah satu pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa
kalimat “sebesar-besar kemakmuran rakyat” harus dimaknai dalam empat tolok ukur yaitu:
1. Kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat
2. Pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat
3. Partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam
4. Penghormatan terhadap hak rakyat secara turun temurun dalam memanfaatkan sumber
daya alam.
Atas dasar pertimbangan tersebut maka Mahkamah Konstitusi telah menempatkan
rakyat secara kolektif telah memberikan mandatnya kepada Negara untuk membuat
kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan
(bestuursdaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan
(toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Orientasi dalam mewujudkan keadilan 6ocial perlu diarahkan pada tiga hal yang
merupakan satu kesatuan yang utuh, yaitu:
1) mewujudkan keadilan 6ocial;
2) meningkatkan efisiensi dan pertumbuhan ekonomi;
3) pelestarian lingkungan dan pola penggunaan tanah yang berkelanjutan.

Dengan demikian, maka setidaknya tersedia landasan atas apa yang dimaksud
sebagai sebesar-besar kemakmuran rakyat secara lebih konkrit lagi melalui apa yang
ditentukan dalam keputusan mahkamah konstitusi tersebut dan dapat dipergunakan sebagai
landasan untuk menyusun ketentuan terkait dengan sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Pasal 2 ayat (2) sub a UUPA tersebut memberi wewenang pada Negara untuk
mengatur bahwa tanah-tanah didaerah tertentu diperuntukkan untuk keperluan tertentu,
ketentuan untuk mendirikan pabrik diatas tanah miliknya dan bahkan untuk menentukan
bahwa daerah tertentu akan digunakan sebagai hutan kota, dan sebagainya. Sub b -nya
memberi wewenang kepada Negara untuk mengatur mengenai hak apa saja yang boleh
dipunyai orang atas tanah, sifat hak tersebut, siapa yang bisa mempunyai tanah dengan hak
tertentu, dan sebagainya. Sementara sub c memberi wewenang kepada Negara untuk
mengatur apakah suatu hak boleh dialihkan pada pihak lain, apa syarat pengalihannya,
apakah suatu hak boleh digunakan sebagai jaminan hutang, apakah orang boleh
membiarkan saja hak atas tanahnya tanpa digunakan sama sekali, dan sebagainya.

Ketiga jenis kewenangan Negara tersebut sesungguhnya merupakan kewenangan


pengaturan yang wajar dimiliki oleh Negara, meskipun dapat berakibat adanya
pembatasan-pembatasan pada orang yang memegang hak tertentu atas tanah. Pembatasan-
pembatasan yang ditentukan oleh Negara tersebut tentunya harus berdasarkan pada
kepentingan rakyat Indonesia untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dengan demikian,
hak atas tanah di Indonesia, termasuk hak milik bukan merupakan hak mutlak, yang
memberi wewenang kepada pemegang haknya untuk melakukan tindakan apa saja
semaunya sendiri atas tanah yang dihakinya tersebut. 1

B.2. Memaknai Pemahaman Konsep Pasal 33 ayat (3)

Mengenai Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945, ayat (3) menyatakan: “...Bumi, air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya digunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat...”, menegaskan bahwa posisi rakyat yang substansial (utama). Hal ini
demokrasi ekonomi memperoleh justifikasinya, yaitu bahwa: “...kepentingan masyarakat
lebih utama dari kepentingan orang-seorang...”.

1
Hadi Wahono, “Hak Menguasai Negara atas Tanah” http://hadiwahono.blogspot.com/2013/05/haqk-menguasai-
negara-atas-tanah.html diakses 14 November 2019 pukul 07:56
Demokrasi Ekonomi, yang mengutamakan kemakmuran masyarakat dan bukan
kemakmuran orang-seorang...”, artinya mengutamakan kebersamaan (mutualisme), bukan
berdasar individualisme. Pengutamaan kepentingan masyarakat ini tidak mengabaikan
hak-hak individu secara semena-mena sebagaimana dikemukakan Mohammmad Hatta
dalam Sidang BPUPKI tanggal 15 Juli 1945 tentang perlunya melindungi hak-hak
warganegara.

Dalam paham Demokrasi Ekonomi, maka rakyat secara bersama memiliki


kedaulatan ekonomi. Ekonomi rakyat (grassroots economy) memegang peran dominan dan
menjadi tumpuan ekonomi nasional.

Dalam perkembangannya Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945 mengalami


perubahan dengan amandemen Undang Undang Dasar pada tahun 2002. Dalam naskah/
teks asli Undang Undang Dasar 1945, Pasal 33 tersebut dituangkan pada Bab XIV dengan
judul Kesejahteraan Sosial, sedangkan berdasarkan hasil Amandemen pada tahun 2002,
Pasal 33 dituangkan pada Bab XIV dengan mengalami perubahan judul menjadi
Perekonomian Indonesia dan Kesejahteraan Sosial.18

Bunyi ketentuan Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945, hasil amandemen tahun
2002 adalah sebagai berikut:

1) Perekonomian di susun sebagai sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas


kekeluargaan.
2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh Negara.
3) Bumi,danairdankekayaanalamyangterkandungdidalamnyadikuasai oleh Negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
4) Perekonomian Nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efesiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional.
5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-
undang.
Pengertian Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945 sebagaimana dijelaskan oleh
Mohammad Hatta, apabila diperhatikan benar-benar semangat Undang Undang Dasar
Negara Indonesia, ternyatalah bahwa pembangunan ekonomi nasional terutama harus
dilaksanakan dengan dua cara. Pertama, pembangunan yang besar dikerjakan oleh
Pemerintah atau dipercayakan kepada badan, badan hukum yang tertentu di bawah
penguasaan atau penguasaan pemerintah. Pedomannya mencapai “... sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Kedua, pembangunan yang kecil-kecil dan sedang besarnya
dikerjakan oleh rakyat secara koperasi. Koperasi dapat berkembang berangsur-angsur
dari kecil, sedang, menjadi besar dari pertukangan atau kerajinan menjadi industri.

Di antara medan yang dua ini, usaha Pemerintah dan koperasi, sementara waktu
masih luas medan usaha bagi inisiatif partikelir dengan berbagai bentuk perusahaan
sendiri. Dengan berkembangnya perusahaan negara, kelak yang berdasarkan prinsip
komersial yang sehat serta memenuhi segala tuntutan peri-kemanusiaan dan jaminan
sosial terhadap pekerjaannya, serta dengan berkembangnya koperasi, medan ketiga ini

Makna Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pembangunan Hukum


Ekonomi Indonesia akan semakin kurang luasnya. Hilang sama sekalipun tidak.
Surutnya berangsur-angsur, jangan hendaknya karena peraturan Pemerintah yang
sewenang-wenang dengan berdasarkan dogma, melainkan karena kelebihan
perusahaan Pemerintah dan koperasi.

Juga dipertegas lagi dengan menyatakan: “...bahwa Pasal 33 Undang Undang


Dasar 1945 memandang koperasi sebagai sokoguru ekonomi Indonesia. Apabila
koperasi mulai berkembang dari bawah kemudian berangsur-angsur meningkat ke atas,
Pemerintah membangun dari atas, melaksanakan yang besar dan menyelenggarakan
berbagai macam produksi yang menguasai hidup orang banyak...”.

Berdasarkan beberapa pengertian yang terkandung dalam Pasal 33 Undang


Undang Dasar 1945 sebagaimana diuraikan di atas, maka pasal 33 tersebut
mengandung makna yang sangat esensial yaitu tercermin adanya demokrasi ekonomi.
Makna demokrasi ekonomi ada relevansinya dengan makna demokrasi di Indonesia.
Demokrasi dalam hal ini adalah demokrasi sosial, berdasar kebersamaan (kolektiviteit),
bukan demokrasi liberal berdasar individualisme (bukan demokrasi Barat).
Sebagaimana diusulkan Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945, bahwa
demokrasi yang dikehendaki adalah permusyawaratan yang memberi hidup, yakni
politiek-ecconomische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial.28
Rakyat Indonesia sudah lama bicara tentang kesejahteraan sosial. Kemudian
menjelaskan yang dimaksud paham Ratu Adil adalah social rechtvaardigheid (rakyat
ingin sejahtera), rakyat yang semula merasa dirinya kurang makan, kurang pakaian,
menciptakan dunia baru yang di dalamnya ada keadilan, di bawah pimpinan Ratu Adil.
Oleh karena itu yang dikehendaki oleh rakyat adalah prinsip sociale rechtvaardigheid,
yaitu bukan saja persamaan politiek, tetapi pun di atas lapangan ekonomi harus ada
persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.

Menurut konsep Mohammad Hatta, bahwa dari Pasal 33 Undang Undang Dasar
1945 merupakan sendi utama bagi politik ekonomi dan politik sosial Indonesia. Oleh
karena dari Pasal 33 tersebut tersimpul dasar ekonomi yang teratur, karena
kemiskinannya, dasar perekonomian rakyat mestilah usaha bersama dikerjakan secara
kekeluargaan.30 Mengenai demokrasi ekonomi ini tidak menghendaki adanya otokrasi
ekonomi, sebagaimana halnya dalam demokrasi politik tidak menghendaki adanya
otokrasi politik. Demokrasi politik tidak cukup mewakili rakyat berdaulat. Demokrasi
pilitik harus dilengkapi demokrasi ekonomi, karena tanpa demokrasi ekonomi, maka
akan terjadi konsentrasi kekuatan ekonomi pada satu atau beberapa kelompok yang
kemudian akan membentukkan kekuasaan ekonomi yang dapat “membeli” atau
“mengatur” kekuasaan politik”.
C. Kesimpulan
Adanya penguasaan oleh negara atas sumber-sumber agrarian adalah sebagai
konsekuensi implementasi dari Pasal 33 ayat (3) UUD1945. Dasar konsepsi ini adalah
pemberian kuasa dari bangsa Indonesia kepada Negara sebagai organisasi tertinggi dari
seluruh rakyat Indonesia. Pemberian kuasa untuk menguasai sumber daya agrarian ini
semata-mata untuk kepentingan pemberi kuasa yaitu rakyat Indonesia dengan tujuan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.
D. Daftar Pustaka

Arie Hutagalung. 2004. “Pembaruan Agraria: Antara Negara dan Pasar”. Jurnal
Analisis Sosial 9(1):9-10
Damanik, E.D. 1985, Kemakmuran Masyarakat Berasaskan Koperasi, dalam
Membangun Sistem Ekonomi Nasional: Sistem Ekonomi Dan Demokrasi Ekonomi,
Jakarta: UI Press.
Hadi Wahono. 2012. Hak Menguasai dari Negara Atas Tanah.
http://hadiwahono.blogspot.com/2013/05/haqk-menguasai-negara-atas-tanah.html diakses
pada 14 November 2019 pukul 07:56.
Mukmin Zakie. 2005. Jurnal Hukum. Vol.12(29):111-127.
Tjok Istri, dkk. "Implementasi Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 Dalam Berbagai
Perundang-undangan Tentang Sumberdaya Alam". Jurnal Magister Hukum Udayana 4.1
(2015):69-81
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Hasil Amandemen
Himpunan Risalah Sidang-sidang BPUPKI dan PPKI yang berhubungan dengan
Penyusunan UUD 1945, Sekretariat Negara RI, dalam Muhammad Yamin, Naskah
Persiapan UUD 1945 Jilid Pertama, 1959
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor: 21-22/PUUV/2007,
Selasa 25 Maret 2007, Perkara Permohonan Pengujian UU No. 20 Tahun 2002 tentang
Ketenagalistrikan terhadap UUD 1945.

Anda mungkin juga menyukai