Anda di halaman 1dari 4

PROBLEMATIKA IBADAH SOSIAL DAN IBADAH RITUAL

DALAM AL-QURAN
Al-Quran adalah kitab Allah yang diturunkan kepada nabi Muhamad Saw lewat
perantara malaikat Jibril, guna menuntun umat manusia dari kegelapan menuju cahaya
terang benderang, yang telah mengantarkan umat manusia dari peradaban hidup yang
jahiliyah menuju peradaban hidup yang modern, yang penuh dengan kemajuan ilmu
pengetahuan teknologi seperti yang kita rasakan pada saat ini.

Al-Quran selain sebagai penujuk juga mengatur tingkah laku, masalah, dan tata
cara kehidupan. Kalau dicermati, ayat-ayat Al-Quran yang mengatur masalah sosial
lebih banyak dari pada ayat-ayat yang mengatur ibadah ritual, ini bisa dilihat dari
seringnya Al-Quran menggandengkan kata iman dengan amal sholeh “ kecuali orang-
orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh dan nasehat menasehati supaya
mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran” (QS.Al-
Ashr,103: 3). Hal ini tidak bisa ditarik kesimpulan bahwa ibadah sosial mengalahkan
ibadah ritual. akan tetapi, ibadah sosial adalah sebagai penyeimbang ibadah ritual agar
manusia tidak individualis dalam perjalanan hidup.

Seperti yang sering kita jumpai, dalam lingkungan bermasyarakat banyak


fenomena yang sering kita jumpai seseorang yang melakukan ibadah Haji sampai
berkali-kali yang sifatnya sunnah, sementara kehidupan sosial disekelilingnya masih
membutuhkan uluran tangan darinya. Masih banyak orang-orang miskin dan anak-anak
terlantar yang justru seharusnya lebih diperhatikan. Hal ini menimbulkan kesenjangan
antara ibadah sosial yang sifatnya lebih kuat daripada ibadah haji yang sunnah
dilakukan berkali-kali.

Dalam Al-Quran sendiri telah dijelaskan bahwa jin dan manusia diciptakan
hanya untuk beribadah kepada Allah, semua Rasul yang diutus Allah untuk mengajak
manusia beribadah kepadanya. Dalam pengertian ini Ibnu Taymiyah mendefinisikan
sebagai berikut “ sebuah kata yang menyeluruh meliputi segala yang dicintai oleh
Allah, menyangkut segala yang tampak atau tidak tampak “. Jadi ibadah tidak hanya
berdzikir, shalat dan puasa, akan tetapi membantu sesama yang membutuhkan bantuan
juga ibadah. (Mardliyah,2016, “Al-Qur`an dan Problematika Sosial”)

Dalam hal ini, pengertian ibadah adalah sama dengan pengertian syari’at Islam
yaitu : pertama, ibadah yang berupa upacara-upacara tertentu untuk mendekatkan diri
kepada Allah (hubungan vertikal atau ibadah mahdlah),seperti shalat, puasa dan
dzikir. Kedua, ibadah yang mencakup hubungan antar sesama manusia (hubungan
horizontal atau ibadah ghairu mahdlah) dalam rangka mengabdi kepada Allah.

Secara umum ibadah berati mencakup perilaku dalam semua aspek kehidupan
yang sesuai dengan ketentuan Allah SWT yang dilakukan dengan ikhlas untuk
mendapatkan ridho Allah SWT. (Hasby Ash Shiddiqy, “Falsafah Hukum Islam”,
Jakarta : Bulan Bintang, 1975, hal. 406)

Antara Ibadah Sosial dan Ibadah Ritual

Tanpa mengesampingkan ibadah mahdlah, Islam adalah agama yang


menekankan pentingnya urusan-urusan sosial. Bahkan Islam menjadikan seluruh bumi
ini sebagai masjid, tempat manusia untuk beribadah kepada Allah, baik melalui ibadah
ritual maupun sosial. Dalam hal ini kita bisa melihat bagaimana al-Qur`an dan Hadits
lebih banyak membincangkan ikhwal ibadah sosial dibanding ibadah ritual.
(Mardliyah,2016, “Al-Qur`an dan Problematika Sosial”).

Dalam Al-Quran dan kitab-kitab Hadits, perbandingan terbesar kedua sumber


ajaran Islam tersebut berkenaan dengan urusan muamalah. Ayat-ayat ibadah dan ayat-
ayat berkenaan kehidupan sosial adalah satu berbanding seratus. Untuk satu ayat
ibadah ada seratus ayat muamalah. Begitu juga di dalam kitab hadits. Dari dua puluh
jilid Fath al-Bari: Syarah Shahih Bukhari, hanya empat jilid berkenaan dengan urusan
ibadah. alasan lain lebih ditekankannya ibadah sosial dalam Islam ialah adanya
kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah,
maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan. Sebagaimana yang diriwayatkan
oleh Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik, Rasulullah saw. Berkata : “Aku sedang
shalat dan aku ingin memanjangkannya, tetapi aku dengar tangisnya bayi, aku
pendekkan shalatku, karena aku maklum akan kecemasan ibunya atas tangisannya itu.

Ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar dari
pada ibadah yang bersifat perorangan. Karena itu, shalat jama’ah lebih tinggi nilainya
daripada shalat yang dilakukan sendirian sebagaimana yang disebutkan dalam kitab
Hadits Bukhari dan Muslim.
Ibadah ritual (mahdhah) seperti shalat dapat dipercepat ketika dia mengetahui
ada makmum yang lemah, orang tua atau sakit. Nabi saw. bersabda: “Jika seseorang
menjadi imam shalat bagi orang lain, maka hendaklah mempercepat shalatnya, karena
di antara para makmum boleh jadi ada orang yang lemah, sakit atau tua, jika dia shalat
sendirian maka ia berhak berlama-lama” (HR. Bukhari, Muslim).
Dalam Al-Quran juga dijelaskan yaitu pada surah al-Ma’un,

“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang


menghardik anak yatim. Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka
kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. (Yaitu) orang-orang yang lalai dari
shalatnya. Orang-orang yang berbuat riya. dan enggan (menolong dengan) barang
berguna.” (QS. Al-Ma’un, 107: 1-7).

Bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal karena melanggar
pantangan tertentu, maka kafaratnya (tebusannya) ialah melakukan sesuatu yang
berhubungan dengan sosial. Bila puasa tidak mampu dilakukan, maka fidyah yang
harus dilakukan yaitu memberi makan orang miskin . Bila suami istri bercampur siang
hari di bulan ramadhan tebusannya ialah memberi makan kepada orang miskin. Dalam
Hadits Qudsi, salah satu tanda orang yang diterima shalatnya ialah menyantuni orang-
orang yang lemah, menyayangi orang miskin, anak yatim, janda dan yang mendapat
musibah.
Sebaliknya, bila orang tidak baik dalam urusan muamalah, urusan ibadah tidak
dapat menutupnya.Yang merampas hak orang lain tidak dapat menghapus dosanya
dengan shalat tahajjud. Yang berbuat dzalim tidak dapat menghapus dosanya dengan
membaca dzikir seribu kali.
Dari paparan di atas tidak sedikit pun bermaksud memandang ringan ibadah-ibadah
individual, seperti salat, zakat, puasa, haji, dan ibadah-ibadah individual lainnya.
Namun hendak nya kita bisa menempatkan ibadah sosial berada dalam proporsi yang
tepat dalam doktrin Islam. Karena itu, kalau kita sudah mampu menunaikan sebagian
besar ibadah-ibadah yang bersifat individual, maka kita juga seharusnya peduli dengan
kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan, kebatilan, dan beragam problematika sosial
yang mengundang kepedulian kita semua sebagai bentuk ibadah sosial. Maka, langkah
yang paling baik adalah menempatkannya secara proporsional.

Referensi
Al-Qur’an Al Karim
Mardliyah,2016, “Al-Qur`an dan Problematika Sosial
At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, dalam Maktabah Syamilah
Hasby Ash Shiddiqy, “Falsafah Hukum Islam”, Jakarta : Bulan Bintang, 1975,
hal. 406)

Nama: M Rifhan H
Prodi: Ilmu Alquran dan tafsir

Anda mungkin juga menyukai