Anda di halaman 1dari 16

PERADABAN MUSLIM PADA MASA KEBANGKITAN (1900-2000)

( Telaah Tentang Munculnya Ormas Nahdlatul Ulama )

Dhea Musdhalifa
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
Musdhalifadhea@gmail.com

Abstrak
NU adalah sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia. Organisasi ini berdiri pada 31
Januari 1926 dan bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi. Kemunculan Nahdlatul
Ulama yang paling mendasar adalah untuk melindungi paham dan praktik keagamaan.
Perkembangan kontemporer pemikiran keagamaan (Islam) dalam komunitas NU
menunjukkan fenomena yang menarik, terutama yang digalang kader mudanya. Mereka
mempunyai gagasan keagamaan progresif dalam merespons modernitas dengan
menggunakan basis pengetahuan tradisional yang mereka miliki setelah dipersentuhkan
dengan pengetahuan baru dan berbagai khazanah modern. Metode penelitian, penelitian ini
menggunakan pendekata Pengumpulan data yang digunakan adalah library research atau
penelitian kepustakaan; metode pengumpulan data yang digunakan ialah metode berupa
buku, jurnal, artikel dan lainnya. Tujuan dari tulisan ini untuk yaitu agar mengetahui
mengamalkan ajaran Islam menurut faham Ahlussunnah wal Jama’ah, mengadakan hubungan
antar ulama yang semadzhab, memeriksa kitab-kitab sebelum dipakai untuk mengajar supaya
diketahui apakah kitab itu termasuk kitab ahl sunnah waal jamaah atau kitab-kitab bid’ah.
Hasil penelitian, Nahdlatul Ulama sebagai jami’iyah diniyah adalah wadah para ulama dan
pengikut-pengikutnya, dengan tujuan memelihara,melestarikan,mengembangkan ajaran islam
yang berhaluan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Kata Kunci : Nahdlatul Ulama , Perkembangan,

1
A. PENDAHULUAN

Nahdlatul Ulama merupakan organisasi keagamaan, ke-Islaman organisasi ini

dirintis para kiai yang berpaham Ahlussunnah Wal Jama’ah, sebagai wadah usaha

mempersatukan diri dan menyatukan langkah dalam tugas memelihara, melestarikan,

mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam dengan merujuk salah satu imam

madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) serta berkidmat kepada bangsa,1

Negara dan umat islam. Nahdlatul Ulama merupakan organisasi terbesar di Indonesia,

dan mempunyai peran strategis dalam membentuk struktur sosial yang ideal.

Struktur organisasi Nahdlatul Ulama terdiri dari para kiai yang merupakan

simbiosis ulama, kiai merupakan sentral figur dalam kehidupan masyarakat.

Menghadapi problem yang menghimpit masyarakat, seperti kemiskinan kebodohan,

imperialisme budaya dan kesewenang-wenangan penguasa, ulama harus tampil

digarda depan. Sangat naif jika ulama hanya bertugas memberi contoh dalam ritual-

ritual keagamaan semata. Sebab esensi ibadah adalah mencakup dua dimensi, yaitu,

dimensi ubudiyah, hubungan individu dengan tuhan, dan dimensi mu’amalah,

hubungan manusia dengan manusia yang lain (sosial), jadi keduanya harus berjalan

secara simultan tanpa menyisihkan salah satunya, menyisihkan salah satu dimensi,

berarti suatu kepincangan dalam memahami nilai-nilai Tuhan. Ulama adalah pewaris

nabi, warasatul anbiya’ wal mursalin, maka yang bertanggungjawab digarda depan

dalam mengemban misi kenabian adalah para ulama.

1
Slamet Effendi Yusuf, Mengukuhkan Tradisi Memodemisasi Organisasi, h. 19

2
Tujuan didirikannya Nu adalah untuk memelihara, melestarikan,

mengembangkan dan mengamalkan ajaran islam yang berhaluan Ahlussunah Wal

Jama’ah dengan menganut salah satu mahzab empat (Hanafi, Hambali, Syafi’I dan

maliki) serta memperstukan langkah para ulama’ beserta pengikut-pengikutnya dan

melakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan

masyarakat, kemajuan bangsa dan ketinggian harkat serta martabat manusia.

1. Di bidang agama mengupayakan terlaksananya ajaran Islam yang

menganut faham Ahlusunnah Wal Jamaah dan menurut salah satu mazhab

empat dalam masyarakat dengan melaksanakan dakwah Islamiyah dan

Amar Ma'ruf Nahi Munkar.

2. Di bidang pendidikan, pengajaran dan kebudayaan mengupayakan

terwujudnya penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran serta

pengembangan kebudayaan yang sesuai dengan ajaran Islam untuk

membina umat agar menjadi muslim yang taqwa dan berbudi luhur,

berpengetahuan luas dan terampil serta berguna bagi agama, bangsa dan

negara.

3. Di bidang sosial, mengupayakan terwujudnya pembangunan ekonomi

untuk pemerataan kesempatan berusaha dan menikmati hasil-hasil

pembangunan, dengan pengutamakan tumbuh dan berkembangnya

ekonomi kerakyatan.

4. Mengembangkan usaha-usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat

banyak guna terwujudnya Khaira Ummah.

Sejarah perkembangan NU secara luas bisa dibagi dalam tiga fase:10

periode awal sebagai organisasi sosial keagamaan, periode kedua ketika ia

berfungsi selain sebagai organisasi sosial keagamaan, juga berfungsi

3
sebagai partai politik atau menjadi unsur formal dari sebuah partai, dan

terakhir kembali ke aktivitas-aktivitas sosial keagamaan. Seperti

penjelasan sebelumnya bahwa NU didirikan sebagai jam'iyah diniyah atau

organisasi keagamaan, konstitusi awalnya menyatakan bahwa organisasi

akan berkhidmat pada kegiatan-kegiatan keagamaan, sosial, pendidikan

dan ekonomi, diantaranya meningkatkan komunikasi antarulama,

memperbaiki mutu sekolah-sekolah Islam, menyeleksi kitab-kitab yang

dipelajari di pesantren dan mendirikan badan-badan untuk membantu

kegiatan pertanian dan perdagangan umat Islam.

Untuk itu kehadiran NU memiliki peranan yang penting untuk

Indonesia di antaranya melakukan perubahan-perubahan dalam sikap dan

pandangan dunia banyak kalangan Muslim, khususnya dalam beradaptasi

dengan tantangan-tantangan modernisasi. Peranan ini terkadang

disalahpahami oleh para pengamat. Mereka melihat NU sebagai

penghubung, antara negara modern dan masyarakat tradisional. Clifford

Geertz, misalnya menempatkan kiai NU sebagai "makelar budaya". Tetapi

penggunaan istilah ini, juga dengan pemahaman suatu proses di mana

"makelar budaya" melakukan seleksi mana budaya yang bisa diterima dan

mana yang harus ditolak mengimplikasikan seolah "para makelar budaya"

itu sendiri tidak memiliki pandangan dan pendekatan-pendekatan yang

orisinil. Pandangan tentang peranan kiai pesantren ini, yang tercatat

sebagai salah satu eleman terpenting dalam kepemimpinan NU, telah

dibantah oleh hasil penelitian Hiroko Horikhosi. Hasil studinya mengenai

fungsi sosial kiai di Jawa Barat menunjukkan bahwa daya dorong

4
perubahan itu datang dari dalam inti pemikiran agama, yang mengiring

interaksi yang panjang dengan modernisasi itu sendiri.

5
PEMBAHASAN

1. Sejarah Berdirinya Nahdlatul Ulama’

Nahdlatul Ulama lahir pada tanggal 31 Januari 1926 sebagai reprensentatif

dari ulama tradisionalis, dengan haluan ideologi ahlus sunnah waljamaah tokoh-tokoh

yang ikut berperan diantaranya K.H. Hasyim Asy’ari. K.H. Wahab Hasbullah dan

para ulama pada masa itu pada saat kegiatan reformasi mulai berkembang luas, ulama

belum begitu terorganisasi namun mereka sudah saling mempunyai hubungan yang

sangat kuat. Perayaan pesta seperti haul, ulang tahun wafatnya seorang kiai, secara

berkala mengumpulkan para kiai, masyarakat sekitar ataupun para bekas murid

pesantren mereka yang kini tersebar luas diseluruh nusantara.2

Berdirinya Nahdlatul Ulama tak bisa dilepaskan dengan upaya

mempertahankan ajaran ahlus sunnah wal jamaah (aswaja). Ajaran ini bersumber dari

Al-qur’an, Sunnah, Ijma’(keputusan-keputusan para ulama’sebelumnya). Dan Qiyas

(kasus-kasus yang ada dalam cerita alQur’an dan Hadits) seperti yang dikutip oleh

Marijan dari K.H. Mustofa Bisri ada tiga substansi, yaitu (1) dalam bidang-bidang

hukum-hukum Islam menganut salah satu ajaran dari empat madzhab (Hanafi, Maliki,

Syafi’I, dan Hanbali), yang dalam praktiknya para Kyai NU menganut kuat madzhab

Syafi’I. (2) dalam soal tauhid (ketuhanan), menganut ajaran Imam Abu Hasan Al-

Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidzi. (3) dalam bidang tasawuf, menganut

dasar-dasar ajaran Imam Abu Qosim AlJunaidi.3

2
Masykur Hasyim, Merakit Negeri Berserakan, (Surabaya: Yayasan 95, 2002) h. 66
3
Laode Ida, NU Muda, (Jakarta: Erlangga, 2004) h. 7

6
Ada banyak faktor yang melatar belakangi berdirinya NU. Di antara faktor itu

adalah perkembangan dan pembaharuan pemikiran Islam yang menghendaki

pelarangan segala bentuk amaliah kaum Sunni. Sebuah pemikiran agar umat Islam

kembali pada ajaran Islam "murni", yaitu dengan cara umat islam melepaskan diri dari

sistem bermadzhab. Bagi para kiai pesantren, pembaruan pemikiran keagamaan

sejatinya tetap merupakan suatu keniscayaan, namun tetap tidak dengan

meninggalkan tradisi keilmuan para ulama terdahulu yang masih relevan. Untuk itu,

Jam'iyah Nahdlatul Ulama cukup mendesak untuk segera didirikan.

Untuk menegaskan prinsip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasjim

Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga

merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian

diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga

NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.

Sedangkan tujuan dari organisasi ini yaitu mengamalkan ajaran Islam menurut

faham Ahlussunnah wal Jama’ah, mengadakan hubungan antar ulama yang

semadzhab, memeriksa kitab-kitab sebelum dipakai untuk mengajar supaya diketahui

apakah kitab itu termasuk kitab ahl sunnah waal jamaah atau kitab-kitab bid’ah,

menyiarkan agama Islam berdasarkan pada satu madzhab tertentu dengan jalan apa

saja yang baik, berikhtiar memperbanyak madrasah, memperhatikan hal-hal yang

berhubungan dengan masjid, pondok pesantren dan juga hal ihwal anak yatim dan

fakir miskin, dan yang terakhir mendirikan badan-badan untuk memajukan urusan

pertanian, perniagaan dan perusahaan-perusahaan yang tidak dilarang oleh syariat

islam. 4

4
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Nahdlatul Ulama (Jakarta: Sekretariat Jenderal Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama,, h. 7.

7
2. Dinamika Nahdlatul ‘Ulama

Prinsip- prinsip dasar yang dicanangkan Nahdlatul Ulama (NU) telah

diterjemahkan dalam perilaku kongkrit. NU banyak mengambil kepeloporan dalam

sejarah bangsa Indonesia. Hal itu menunjukkan bahwa organisasi ini hidup secara

dinamis dan response terhadapan perkembangan zaman. Prestasi Nu antara lain :

a. Menghidupkan kembali gerakan pribumisasi islam, sebagaimana

diwariskan oleh para walisongo dan pendahulunya.

b. Mempelopori perjuangan kebebasan bermadzab di Mekah,

sehingga umat Islam sedunia bias menjalankan ibadah sesuai

dengan madzhab masing-masing.

c. Mempelopori berdirinya Majlis Islam A’ala Indonesia (MIAI)

tahun 1937, yang kemudian ikut memperjuangkan tuntutan

Indonesia berparlemen.

d. Memeobilisasi perlawanan fisik terhadap kekuatan imperialis

melalui resolusi jihad yang dikeluarkan pada tanggal 22 Oktober

1945.

e. Mempelopori gerakan islam kultural dan penguatan civil society di

Indonesia sepanjang decade 90-an.

Tujuan organisasi masyarakat ini ialah menegakkan ajaran islam menurut paham

Ahlussunah Waljama’ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

1. Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa

persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.

8
2. Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-

nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur,

berpengetahuan luas.

3. Di bidang sosial-budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan

yang sesuai dengan nilai ke-Islaman dan kemanusiaan.

4. Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati

hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.

5. Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas.5

3. Paham Keagamaan Nahdlatul Ulama

Sejak awal berdirinya NU bahwa ia merupakan penganut Ahlussunah Wal

Jamaah, sebuah paham keagamaan yang terispirasi sabda nabi. “Demi zat diri

Muhammad berada ditangan-Nya, sungguh umatku akan bercerai berai menjadi 73

firqah. Satu masuk surga dan yang 72 masuk neraka. Nabi ditanya: siapakah yang

masuk surga itu, ya, Rasul? Nabi menjawab: Ahlussunah Wal Jamaah”.

KH. Siradjuddin, Penulis I’tiqad Ahlussunah Wal Jamaah menjelaskan definisi

secara harfiah Ahlussunah Wal Jamaah berarti penganut sunnah Nabi Muhammad dan

Jamaah (sahabat-sahabat). Secara ringkas berarti segolongan pengikuti sunnah (jejak)

Rasulullah Saw yang di dalam melaksanakan ajaran-ajarannya beliau berjalan di atas

garis yang dipraktikkan oleh Jamaah (sahabat Nabi).6

K.H. Bisri Mustofa, seorang Ulama asal Rembang mengartikan Ahlussunah

Wal Jamaah sebagai paham yang berpegang teguh kepada tradisi sebagai berikut.7

5
Siddiqoh,Sejarah Kelahiran Nahdlatul Ulama. Academia.edu
6
Siradjuddin ‘Abbas, I’itiqad Ahlussunah Wal Jamaah,(Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1983), hal, 16
7
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiayi, (Jakarta: LP3ES, 1982), hal,
153

9
a) Dalam bidang hukum-hukum Islam (fikih) menganut salah satu ajaran

dari empat madzab: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Dalam

praktikkannya para kiai merupakan penganut kuat mazhab Syafi’i.

b) Dalam soal-soal tauhid, menganut ajaran-ajaran Imam Abu Hasan Al-

Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al Maturudi.

c) Dalam bidang tasawuf, menganut dasar-dasar ajaran Imam Abu Qosim

Al Junaidi Al Baghdadi yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan

syariat.

Pandangan Hasyim Asy’ari mengenai Ahl al-Sunnah wa al-

Jama’ah merupakan counter-discourse terhadap isu pembaruan Islam,

meliputi kemadhhaban, ijtihad, taqlid, sunnahdan bid’ah, sekaligus

justifikasi dan kritikterhadap keberagamaan kalangan Islam tradisional,

kedua, pandangan Hasyim dipengaruhi oleh tradisi intelektual abad

pertengahan. Pilihannya terhadap sumber-sumber otoritatif tertentu

dari generasi itu, mengukuhkan identitasnya sebagai ahl al-hadith.

Identitas ini tergambar jelas dari corak karya-karyanya. Meskipun

demikian, pemikiran Hasyim tidak bersifat replikatif, karena

mempertimbangkan relevansi rujukan karyanya terhadap konteks

sosio-relegious muslim Jawa, dan ketiga, keunikan pandangan Hasyim

justeru tercermin dari kediriannya sebagai seorang Ahli Hadith dari

kalangan pendukung pola kemadhhaban. Orisinalitas gagasan Hasyim

terletak pada konsistensinya menjaga otentisitas Islam di tengah tarik

menarik orientasi ideologi Islam modernis dan tradisionalis. Disinilah

karya Hasyim menemukan relevansi akademisnya, yakni menawarkan

dialog dan perspektif baru tentang ”Islam Otentik”. Secara teoritis

10
menganut konsep sunnisme. Pandangan Hasyim dapat diintrodusir

sebagai sunni-partikular (particular sunnism), yaitu paham Ahl al-

Sunnah wa alJama`ah yang telah berdialog dengan dinamika

keagamaan di Indonesia, khususnya dialektika Islam modernis-

tradisionalis pada awal abad ke-20.8

Dalam situs resminya yang dikutip DR. Khalimi9, NU

mengidentifikasikan paham keagamaannya dengan faham Ahlussunah

wal jama’ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara

ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum eksktrim naqli (skripturalis).

Maka dalam pemikirannya NU menjadikan Alquran, Sunah dan

menggunakan kemampuan akal serta ditambah dengan pemahaman

realitas kehidupan sosial. Cara pandang seperti ini dapat mudah

dipahami pandang keagamaan yang dianut NU. Inilah yang

membedakan umat Islam yang menamakan dirinya penganut

Ahlussunah Wal Jamaah lainnya.

Dengan cara pandang seperti ini, Zamakhsyari memandang

sebagai aspek yang menjadi dasar kekuatan dan pengaruh kuatnya NU

di tanah Air. Ajaran Islam yang dipraktikkan NU (Kiai) disesuaikan

dengan kondisi masyarakat Indonesia, berakulturasi dengan kehidupan

kultural dan sosial masyarakat Indonesia. Sementara bagi kalangan

pembaharu hal ini menjadi sasaran kritik mereka atas NU. Kekuatan

lain dalam analisis Machrus Irsyam (kolomnis politik) basis masa

(struktur sosial) yang bertumpu pada massa pondok pesantren yang

umumnya terdapat di daerah pedesaan, di mana keduanya mereka dua

8
Yudhi Fachrudin, Nahdlatul Ulama, academia.edu
9
Dr. Khalimi, MA, Ormas-ormas Islam, Jakarta: GP Press, 2010, cet. 1, hal, 330

11
kesatuan yang utuh. Dawam Raharjo menambahkan bahwa lahirnya

NU merupakan langkah pembaharuan terhadap aspirasi dan realita

sosial masyarakat ketika itu, semua itu karena landasan NU yang

dinamis dan modern.10

Sebagai konsekuensi dari ajaran Ahlussunah Wal Jamaah yang

dianut, ajaran bermazhab, maka NU menganut paham keulamaan11.

Paling tidak hal ini tercermin dari namanya, Nahdlatul Ulama yang

berarti “Kebangkitan para ulama”. Kiai Achmad Siddiq memberi

komentar perihal nama ini. Katanya, “Pemilihan nama ini, bukan

Nahdlatul Muslimin atau Nahdlatul Ummah umpamanya,

membuktikan betapa penting dan khasnya kedudukan Ulama dalam

ja’iyah Nahdlatul Ulama. Penghormatan yang amat tinggi terhadap

para Ulama ini merupakan refleksi dari tradisi berpikir yang mazhab.

Bagi NU bermazhab merupakan hal yang mutlak.

4. Perkembangan Nahdlatul Ulama

Perkembangan kontemporer pemikiran keagamaan (Islam) dalam komunitas

NU menunjukkan fenomena yang menarik, terutama yang digalang kader mudanya.

Mereka mempunyai gagasan keagamaan progresif dalam merespons modernitas

dengan menggunakan basis pengetahuan tradisional yang mereka miliki setelah

dipersentuhkan dengan pengetahuan baru dan berbagai khazanah modern.

Mereka tidak hanya concern dengan modernitas yang terus dikritik dan

disikapi secara hati-hati, tetapi juga melakukan revitalisasi tradisi. Proses revitalisasi

tradisi yang mereka lakukan tidak sekadar mengagung-agungkan dan mensakralkan

10
Kacung Marijan, Quo Vadis NU setelah kembali ke Khittah 1926, (Jakarta: Erlangga, 1992), cet. 1.xiii
11
Chorul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama,(Sala: Jatayu, 1985), hal, 174

12
tradisi, tetapi juga melakukan kritik secara mendalam atas tradisinya sendiri, baik

yang berkaitan dengan perilaku maupun pemikiran. Bahkan, sendi-sendi doktrinnya

sendiri seperti doktrin ahl al-sunnah wa al-jamâ’ah tidak lepas dan sasaran

kritisismenya. Pikiran dan sikap mereka secara umum jauh lebih responsif dibanding

seniornya dalam menghadapi modernitas.

Munculnya gairah barn intelektualisme NU tidak lepas dan keputusan NU

meninggalkan hiruk-pikuk kehidupan politik praktis dengan konsep kembali ke khitah

1926 pada 1984. Dengan keputusan itu, warga dan elite NU tidak lagi disibukkan

urusan-urusan politik praktis sehingga mempunyai waktu lebih banyak untuk

memperhatikan masalah pendidikan. Selah itu, terpilihnya Kyai Achmad Siddiq

sebagai Rais ‘Aam Syuriyah dan Abdurrahman Wahid sebagai Ketua Umum

Tanfiziyah PB NU pada Muktamar di Situbondo tahun 1984 mempunyai pengaruh

signifikan perkembangan pemikiran keagamaan NU.

Dalam konteks inilah, Muktamar Pemikiran Islam di NU mempunyai makna

yang strategis untuk terus menjadikan NU sebagai eksemplar gerakan intelektual,

bukan semata-mata sebagai gerakan politik.

Komunitas NU dikenal sebagai masyarakat “tradisional”. Tradisionalisme itu

di satu pihak merupakan hambatan perkembangan NU, di pihak lain hal itu sekaligus

merupakan modal sosial-intelektual dan kekuatan bagi NU. Artinya, apa pun upaya

yang dilakukan untuk “mengubah wajah NU” harus berangkat dari realitas

masyarakat NU sendiri. Tradisionalisme itu biasanya ditandai beberapa hal. Pertama,

komunitas ini sebagian besar tinggal di pedesaan, meski belakangan terjadi mobilitas

vertikal di kalangan elite pedesaan ini, terutama kalangan muda NU terpelajar.

Mereka tidak lagi tinggal di pedesaan, tetapi mulai menjadi agen-agen perubahan di

perkotaan. Meski demikian, sebagian besar warga NU tetap tinggal di pedesaan

13
dengan karakternya sendiri. Salah satu karakter pedesaan adalah kurang dinamis, sulit

melakukan perubahan, dan lebih bersifat defensif terhadap modernitas.

Kedua, NU mempunyai dasar-dasar dan kekayaan intelektual yang senantiasa

diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui lembaga pesantren.

Karena kekayaan itu sehingga menjadikan NU amat apresiatif terhadap pemikiran

lama meski oleh kalangan tertentu diklaim sebagai bid’ah dan khurafat. Dengan

kaidah al-muhâfazah ‘ala al-qadim al-shâlih wa al-akhzu bi al-jadId al-ashlãh

(memelihara [hazanah] lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih

baik), kekayaan intelektualisme ini terbentang mulai zaman Nabi Muhammad, zaman

klasik, pertengahan hingga zaman modern. Khazanah ini merupakan modal kultural-

intelektual yang luar biasa bagi NU untuk berdialektika dengan modernitas.

Ketiga, NU mempunyai lembaga pendidikan yang cukup mapan sebagai basis

transmisi keilmuan, yaitu pesantren. Dengan berbagai kekhasan dan subkulturnya,

pesantren terbukti mampu bertahan dalam masyarakat yang terus berubah. Meski

banyak kritik yang ditujukan kepada lembaga pendidikan tradisional ini, seperti

kepemimpinan kyai yang amat kharismatik, tidak menumbuhkan kritisisme santri,

pengajarannya tidak terprogram dan sebagainya, pesantren mempunyai kekuatannya

sendiri berupa “nilai” yang tidak dimiliki lembaga lain.12

12
Alrounnesya Ocha, Sejarah dan Pekembangan NU, Academia.edu.

14
KESIMPULAN
Nahdlatul Ulama (kebangkitan ulama atau kebangkitan cendikiawan Islam)

disingkat NU adalah sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia. Organisasi ini

berdiri pada 31 Januari 1926 dan bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi.

Awal terbentuknya merupakan hasil dari ketidak sesuaian pemikiran dengan berbagai

organisasi pada saat itu. Namun kemunculan Nahdlatul Ulama yang paling mendasar

adalah untuk melindungi paham dan praktik keagamaan mereka. Perbincangan

mengenai awal berdirinya NU selalu tidak dapat dilepaskan dari dua tokoh sentral,

yaitu K.H. Wahab Chasbullah dan K.H. Hasyim Asy’arie

NU sebagai organisasi sosial keagamaan yang menjadikan nilai-nilai tradisi

kultural sebagai basis pergerakkannya mampu eksis di tengah arus globalisasi dan

modernisasi dengan memiliki keanggotaan yang terbesar dan terbanyak di Indonesia.

Begitu juga kelembagaan-kelembagaan yang dikembangkan warga NU hal ini sebagai

wujud dari kembali ke khittahnya, menegaskan kembali peranannya yang real bagi

pengembangan masyarakat bidang keagamaan, pendidikan dan sosial kepada

masyarakat. Nahdlatul Ulama sebagai jami’iyah diniyah adalah wadah para ulama dan

pengikut-pengikutnya, dengan tujuan memelihara,melestarikan,mengembangkan

ajaran islam yang berhaluan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

15
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Marijan, Kacung, Quo Vadis NU setelah kembali ke Khittah 1926, (Jakarta: Erlangga,
1992), cet. 1

‘Abbas, Siradjuddin, I’itiqad Ahlussunah Wal Jamaah,(Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1983)

Khalimi, Ormas-ormas Islam, Jakarta: GP Press, 2010, cet. 1

Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiayi, (Jakarta:
LP3ES, 1982)
Slamet Effendi Yusuf, Mengukuhkan Tradisi Memodemisasi Organisasi, h. 19

Masykur Hasyim, Merakit Negeri Berserakan, (Surabaya: Yayasan 95, 2002) h. 66

Laode Ida, NU Muda, (Jakarta: Erlangga, 2004) h. 7

Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Nahdlatul Ulama (Jakarta: Sekretariat
Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama,, h. 7.

Chorul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama,(Sala: Jatayu, 1985), hal,
174

16

Anda mungkin juga menyukai