Anda di halaman 1dari 26

KONFLIK DAN INTEGRASI SOSIAL

MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi kelengkapan tugas
Pada mata kuliah Sosiologi Hukum
Dosen Pengajar :
DR. AHMAD FAIQ, MH

Disusun oleh :
ROBI’ATUL ADAWIYAH /173200018
MUJIBU DA WAT /163500019
Prodi :
Hukum Ekonomi Syariah

SEKOLAH TINGGI AL-AQIDAH AL-HASIMIYYAH


Jl. Kayumanis Barat No.99 Matraman Jakarta Timur
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah tuhan semesta alam ini yang masih memberikan kami
kesempatan untuk bias menyusun makalah tugas pasca presentasi ini. Tidak lupa juga
shalawat serta salam kita junjungkan ke nabi besar kita Nabi Muhammad SAW, karena
atas berkatnyalah kita terbebas dari jaman jahiliyah ke jaman terang- benderang ini.

Pertama-tama saya ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada dosen pembimbing


mata kuliah Sosiologi Hukum, Bapak Dr. Ahmad Faiq, MH berkat beliau saya dipercaya
untuk menyampaikan materi serta menyusun makalah tentang, Konflik dan Integrasi
Sosial.

Dalam makalah ini akan membahas tentang Konflik dan Integrasi Sosial sebagai contoh
bagi pengaturan masyarakat khususnya yang ada di Indonesia. Semoga makalah ini
bermanfaat untuk memberikan kontribusi kepada mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah
sebagai bekal melakukan pemahaman atau pedoman bagaimana peranan Negara dalam
menerapkan Hukum.

Dan tentunya makalah ini masih sangat jauh dari sempurna. Untuk itu kepada dosen
pembimbing saya minta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah di masa yang
akan datang.

Jakarta, Oktober 2019

Penyusun
BAB I
PEDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Konflik menjadi fenomena yang paling sering muncul karena konflik selalu
menjadi bagian hidup manusia yang bersosial dan berpolitik serta menjadi
pendorong dalam dinamika dan perubahan sosial-politik (Kornblum, 2003: 294).
Konflik memiliki dampak positif dan dampak negatif, dampak positif dari konflik
sosial adalah konflik tersebut memfasilitasi tercapainya rekonsiliasi atas berbagai
kepentingan. Kebanyakan konflik tidak berakhir dengan kemenangan disalah satu
pihak dan kekalahan dipihak lainnya. Konflik yang terjadi di Indonesia, ada juga
yang dapat diselesaikan dengan baik hingga berdampak baik bagi kemajuan dan
perubahan masyarakat, akan tetapi ada beberapa konflik justru berdampak negative
hingga mengakibatkan timbulnya kerusakan, menciptakan ketidak stabilan, ketidak
harmonisan, dan ketidakamanan, bahkan sampai mengakibatkan jatuhya korban
jiwa. Dewasa ini konflik sering terjadi diberbagai elemen masyarakat. Hal demikian
dikarenakan berbagai latar belakang kebudayaan dan status sosial ekonomi.

1.2 Tujuan.

Adapun tujuan dari pembahasan makalah ini adalah untuk :


1. Memahami Konsep tentang Konflik dan Integrasi sosial.
2. Memahami Konflik dan Kekerasan.
3. Memahami Macam-macam Konflik.
4. Memahami Teori Konflik Sosial.
5. Memahami Teori Konflik Menurut Marx..
6. Memahami Teori Konflik Menurut Dahrendorf.
7. Memahami Teori Konflik Menurut Jonathan Turner.
8. Memahami Teori Konflik Menurut Lewis Coser.
9. Memahami Teori Konflik Menurut C.Wright Mills.
10. Memahami Faktor-faktor terjadinya Integrasi Sosial.

1.3 Ruang lingkup materi.

Konflik atau pertentangan mempunyai hubungan erat dengan proses integrasi.


Hubungan ini disebabkan karena proses integrasi adalah sekaligus suatu proses
disorganisasi dan disintegrasi. Makin tinggi konflik atu pertentangan intra kelompok
makin besar gaya sentripetalnya, makin kecil derajat integrasi kelompok. Konflik
atau pertentangan mengenal beberapa fase, yaitu fase disorganisasi dan fase
disintegrasi. Karena suatu kelompok sosial selalu dipengaruhi oleh beberapa faktor,
maka pertentangan akan berkisar pada penyesuaian diri ataupun penolakan dari
faktor-faktor sosial tersebut. Disorganisasi sebagai taraf kehidupan sosial yang
mendahului disintegrasi mungkin terjadi karena karena umpan terjadi perbedaan
faham tentang tujuan kelompok sosialnya, tentang norma-norma sosialnya, tentang
tindakan dalam masyarakat, apabila sanksi terhadap perubahan ataupun perbedaan
terhadap sistem norma,system tindakan ataupun system tindakan kelompok tidak
ketat, maka dengan sendirinya langkah pertama menuju ke disintegrasi telah terjadi.
Dengan demikian maka disorganisasi terjadi apabila perbedaan atau jarak antara
tujuan sosial dan pelaksanaan terlalu besar
BAB II

Pembahasan

2.1 Konsep tentang Konflik dan Integrasi Sosial


Konflik merupakan gejala sosial yang serba hadir dalam kehidupan sosial,
sehingga konflik bersifat inheren, artinya konflik akan senantiasa dalam ruangg dan
waktu, dimana saja dan kapan saja. Istilah konflik secara etimologis berasal dari
bahasa latin “con” yang berarti bersama den “fligere” yang berarti beraturan atau
tabrakan. Dengan demikian konflik dalam kehidupan sosial berarti benturan
kepentingan, keinginann, pendapat dan lain-lain. Yang paling tidak melibatkan dua
pihak atau lebih. Didalam internasional Encyclopaedia of the social Vol diuraikan
mengenai pengertian konflik dari aspek antropologi yakni ditimbulkan sebagai
akibat persaingan antara paling tidak dua pihak, dimana tiap pihak dapat berupa
perorangan, keluarga, kelompok kekerabatan, satu komunitas atau mungkin satu
lapisan kelas sosial pendukung ideologi tertentu, satu organisasi politik, satu suku
bangsa atau satu pemeluk agama tertentu. Demikian pihak-pihak yang dapat terlibat
dalam konflik meliputi banyak macam benyuk dan ukurannya. Selain itu dapata
pula dipahami bahwa pengertian konflik secara antropologi tersebut tidak berdiri
sendiri, melainkan secara bersama-sama dengan pengertian konflik menurut aspek-
aspek lain yang semuanya itu turut ambil bagian dalam memunculkan konflik sosial
dalam kehidupan kolektif manusia (chang 2001).
Integrasi berasal dari bahasa inggris “integrasion” yang berarti kesempurnaan
atau keseluruhan. Integrasi sosial dimaknai sebagai proses penyesuaian di antara
unsur-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan masyarakat yang memiliki
keserasian fungsi. Integrasi sebagai salah satu proses dan hasil kehidupan sosial
merupakan alat yang bertujuan untuk mengadakan suatu keadaan kebudayaan yang
homogen. Apabila homogenitas tercapai maka kelangsungan hidup kelompok
banyak-sedikit terjamin.
Integrasi berhasil apabila :
a). Anggota masyarakat merasa bahwa mereka berhasil mengisi kebutuhan satu
sama lain.
b). Apabila tercapai semacam konsensus mengenai norma-norma nilai-nilai sosial.
c). Apabila norma-norma cukup lama adalah “tetap” atau konsisten atau tidak
berubah-ubah.
2.2 Konflik dan Kekerasan.

A. KONFLIK
Kata konflik berasal dari bahasa Latin yaitu configere yang artinya saling
memukul. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), konflik
diartikan sebagai percekcokan, perselisihan, pertentangan. Definisi
konflik menurut sosiologis adalah suatu proses sosial antara dua orang atau
lebih (atau juga kelompok) yang berusaha menyingkirkan pihak lain dengan
cara menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya.
B. Kekerasan
Secara etimologis, kekerasan merupakan terjemahan dari
kata violence yang artinya kekuasaan atau berkuasa. kata violence, berasal dari
bahasa Latin yaitu violentia yang berarti force (kekerasan). Secara
terminologi, kekerasan (violent) didefinisikan sebagai perilaku pihak yang
terlibat konflik yang bisa melukai lawan konflik untuk memenangkan konflik.

2.3 Macam – macam Konflik.

A. Konflik gender
Istilah gender buka merucuk pada aspek jenis kelamin dimana laki-laki
ditunjukan dengan identitas diri dan dimana laki-laki memiliki alat kelamin
yang berbeda dengan perempuan, akan tetapi gender akan lebih berorientasi
pada aspek sosiokultural. Gender lebih memperhatikan pada aspek status dan
peranan manusia dilihat dari jenis kelamin. Disalam struktur masyarakat
tradisional istilah gender tidak memunculkan persoalan yang berpangkal tolak
pada status dan peranan. Artinya status antara laki-laki dan perempuan slalu
diposisikan dalam kelompok inferior diterimanya sebagai adikodrati. Akan
tetapi didalam struktur masyarakat modern istilah gender menjadi
permasalahan yang cukup penting, terutama isu-isu emansipasi yang
diluncurkan oleh kaum perempuan menjadi pembahasan yang penting didalam
kehidupan sosial.
B. Konflik sosial dan antar suku
Istilah ras sering kali di identikkan dengan perbedaan warna kulit
manusia, diantaranya ada sebagian kelompok manusia yang berkulit putih,
sawo matang, dan hitam. Selain konflik rasial ada pula konflik antar etnis
yang berdampak pada lenyapnya suatu negara Yugoslafia sebagai salah satu
negara dikawasan eropa timur yang hancur pada dekade 90-an mengalami
kehancuran akibat pertentangan antar etnis. Kini Yugoslafia tinggal catatan
sejarah, negara tersebut terpecah belah menjadi tiga negara atas dasar etnis,
yaitu etnis serbia, etnis muslim bosnia, dan croatia. Selain itu berbagai
peristiwa dramatis di negeri kita akhir-akhir ini banyak konflik antar etnis
yang setiap saat jika tidak ditangani secara bijak tidak menutup kemungkinan
akan berdampak disintegrasi bangsa.

C. Konflik antar umat agama


Agama tidak cukup dipahami sebagai metode hubungan penyembahan
manusia kepada tuhan serta seperangkat tata aturan kemanusiaan atas dasar
tuntutan kitab suci. Akan tetapi, perbedaan keyakinan dan atribut-atribut justru
berdampak pada segmentasi kelompok-kelompok sosial yang berdiri sendiri.
Secara sosiologis, agama selain dapat dijadikan sebagai alat perekat solidaritas
sosial, tetapi juga bisa menjadi pemicu disintegrasi sosial. Perbedaan
keyakinan penganut agama yang meyakini kebenaran ajaran agamanya, dan
menganggap keyakinan agama lain sesat telah menjadi pemicu konflik antar-
penganut agama. Bahkan didalam agama itu sendiri juga terdapat segmentasi
sektarian yang meiliki perbedaan mulai dari perbedaan dari kulit luar ajaran
agama ini hingga perbedaan secara substansial.
D. Konflik antar golongan
Konflik anatar golongan diantaranya dipicu oleh oleh satu golongan
tertentu memaksakan kehendaknya kepada kelompok lain untuk melakukan
perbuatan yang dikehendaki oleh golongan tersebut. Adapun dipihak lain,
golongan merasa terampas kebebasannya hingga melakukan perlawanan yang
tidak pernah tercapai kesepakatan dianatara golongan tersebut.

E. Konflik kepentingan
Didalam dunia politik : tiada lawan yang abadi dan tiada pula kawan
abadi, kecuali kepentingan abadi. Dengan demikian, konflik kepentingan
identik dengan konflik politik. Realitas politik selalu diwarnai oleh dua
kelompok yang memiliki kepentingan yang saling berbenturan. Berbenturan
tersebut dipicu oleh gejala satu pihak ingin merebut kekuasaan dan wewenang
di dalam masyarakat. Di pihak lain terdapat kelompok yang berusaha
mempertahankan dan mengembangkan kekuasaan dan kewenangan yang
sudah ada ditangan mereka.

F. Konflik antar pribadi


Konflik antar individu adalah konflik sosial yang melibatkan individu
didalam konflik tersebut. Konflik ini terjadi karena adanya perbedaan atau
pertentangan atau juga ketidakcocokan antara individu satu dengan individu
lainya.

G. Konflik antar kelas


Konflik yang terjadi anatar kelas sosial biasanya konflik yang bersifat
vertikal : yaitu konflik antara kelas sosial atas dan kelas sosial bawah. Konflik
ini terjadi karena kepentingan yang berbeda antara dua golongan atau kelas
sosial yang ada.
H. Konflik antarnegara/bangsa
Konflik antarnegara adalah konflik yang terjadi antara dua negara atau
lebih. Mereka memiliki perbedaan tujuan negara dan berupaya memaksakan
kehendak negaranya kepada negara lain. Konflik antarnegara biasanya dipicu
oleh faktor ideologi dan perbatasan negara. Konflik ideologi ini memicu
adanya konflik antar kawasan.

2.4 Teori Konflik Sosial.

Apa yang dimaksud dengan konflik? Dalam sosiologi, pengertian


konflik adalah suatu proses sosial antara dua individu atau kelompok sosial
dimana masing-masing pihak berusaha untuk menyingkirkan pihak lain demi
mencapai tujuannya dengan cara memberikan perlawanan yang disertai dengan
ancaman dan kekerasan.
Istilah “konflik” berasal dari bahasa Inggris, yaitu “conflict” yang artinya
pertentangan atau perselisihan. Konflik adalah proses disosiatif dalam interaksi
sosial yang terjadi ketika semua pihak dalam masyarakat ingin mencapai
tujuannya dalam waktu bersamaan.
Teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses
penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat
adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan
kondisi semula..

2.5 Teori Konflik Menurut Marx.

Teori konflik digagas oleh Karl Marx dalam studinya mengenai konflik kelas
antara borjuis dan proletar. Borjuis sebagai kelompok pemilik faktor produksi
memiliki kontrol atas sumber daya. Proletar adalah kelompok kelas pekerja yang
tidak memiliki kontrol atas sumber daya. Pembedaan kelas sosial menjadi dua
kelompok ekstrim ini muncul dalam konteks industrialisasi di Eropa Barat. Karl
Marx membuat teori yang menggambarkan eksistensi kelompok minoritas namun
memiliki kekuasaan atas sumber daya dan kelompok mayoritas yang tertindas
karena tak memiliki kuasa atas sumber daya.

Masing-masing kelas memiliki kepentingan yang saling bertentangan. Kaum


borjuis ingin mempertahankan kekuasaannya dan mengakumulasi kekayaannya,
sedangkan kaum proletar ingin kekuasaan dan kekayaan didistribusikan secara
merata.
Tatanan sosial yang berbentuk kesenjangan ini secara ideologis dipertahankan
oleh kaum borjuis melalui penciptaan kesepakatan atau konsesus. Konsesus yang
dimaksud berupa nilai-nilai, harapan dan kondisi yang ditentukan oleh kaum
borjuis. Sebagai contoh, seorang pekerja harus bekerja keras dan loyal pada bosnya
agar bisa sukses. Loyalitas dan kerja keras merupakan nilai yang disepakati atau
konsesus. Produksi kesepakatan semacam itu terjadi pada level ’supratruktur’ atau
pada tataran ideologis, menurut Karl Marx. Marx berpikir bahwa kondisi sosial
ekonomi yang tercipta atas dasar konsesus tersebut merugikan bagi kelas proletar.
Akibatnya, akan muncul kesadaran kelas dikalangan kaum proletar bahwa mereka
terekspliotasi. Kekayaan justru disedot oleh kuasa kaum borjuis yang kapitalistik.
Kesadaran kelas ini akan memicu terjadinya revolusi.
Basis teori konflik yang dicetus Marx mengalami evolusi seiring
perkembangan zaman. Beberapa intelektual melihat teori konflik Karl Marx tidak
hanya dapat beroperasi pada strukur ekonomi semata namun juga kultural.
Antonio Gramsci melihat terjadinya hegemoni kultural yang dilakukan oleh
minoritas berkuasa. Intelektual dari The Frankfurt School seperti Max Horkheimer
dan Theodor Adorno melihat bagaimana budaya massa berkontibusi pada
terciptanya dan bertahannya hegemoni kultural. Budaya massa, menurutnya,
diproduksi oleh kaum kapitalis untuk meredam kesadaran kelas mayoritas
sehingga tidak terjadi perlawanan. Melalui kultur, masyarakat didesain menjadi
masyarakat konsumsi yang secara ekonomis menguntungkan kaum kapitalis.
Teori konflik banyak menginspirasi munculnya gerakan sosial akar rumput
yang melakukan perlawanan di berbagai aspek, salah satunya adalah feminisme.
Gerakan feminisme terispirasi oleh teori konflik untuk melihat bahwa relasi
gender dan seksual sebenarnya merupakan relasi eksploitatif. Kemunculan awal
feminisme, misalnya, melihat laki-laki sebagai kelas dominan yang
mengekspoitasi perempuan melalui kekuatan ideologis dan nilai-nilai bahwa
domestik adalah wilayah perempuan dan publik adalah wilayah laki-laki.
Feminisme awal menganggap domestifikasi sebagai kekangan atas kebebasan
yang menjadi hak setiap individu. Selain feminisme, gerakan lain yang terinsirasi
dari teori konflik diantaranya teori postkolonialisme, teori sistem dunia, teori
poststrukturalisme, dan lain sebagainya.

2.6 Teori Konflik Menurut Dahrendorf.

Teori konflik Ralf Dahrendorf muncul sebagai reaksi atas teori fungsionalisme
struktural yang kurang memperhatikan fenomena konflik dalam masyarakat. Teori
Konflik adalah suatu perspektif yang memandang masyarakat sebagai sistem sosial
yang terdiri atas kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda dimana ada suatu
usaha untuk menaklukkan komponen yang lain guna memenuhi kepentingan
lainnya atau memproleh kepentingan sebesar-besarnya.

Teori konflik sebagian berkembang sebagai reaksi terhadap fungsionalisme


struktural dan akibat berbagai kritik, yang berasal dari sumber lain seperti teori
Marxian dan pemikiran konflik sosial dari Simmel. Salah satu kontribusi utama
teori konflik adalah meletakan landasan untuk teori-teori yang lebih memanfaatkan
pemikiran Marx. Masalah mendasar dalam teori konflik adalah teori itu tidak
pernah berhasil memisahkan dirinya dari akar struktural-fungsionalnya. Teori
konflik Ralf Dahrendorf menarik perhatian para ahli sosiologi Amerika Serikat
sejak diterbitkannya buku “Class and Class Conflict in Industrial Society”, pada
tahun 1959.
Asumsi Ralf tentang masyarakat ialah bahwa setiap masyarakat setiap saat
tunduk pada proses perubahan, dan pertikaian serta konflik ada dalam sistem sosial
juga berbagai elemen kemasyarakatan memberikan kontribusi bagi disintegrasi dan
perubahan. Suatu bentuk keteraturan dalam masyarakat berasal dari pemaksaan
terhadap anggotanya oleh mereka yang memiliki kekuasaan, sehingga ia
menekankan tentang peran kekuasaan dalam mempertahankan ketertiban dalam
masyarakat. Bagi Dahrendorf, masyarakat memiliki dua wajah, yakni konflik dan
konsesus yang dikenal dengan teori konflik dialektika. Dengan demikian diusulkan
agar teori sosiologi dibagi menjadi dua bagian yakni teori konflik dan teori
konsesus. Teori konflik harus menguji konflik kepentingan dan penggunaan
kekerasan yang mengikat masyarakat sedangkan teori konsesus harus menguji nilai
integrasi dalam masyarakat. Bagi Ralf, masyarakat tidak akan ada tanpa konsesus
dan konflik. Masyarakat disatukan oleh ketidakbebasan yang dipaksakan. Dengan
demikian, posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan
otoritas terhadap posisi yang lain.
Fakta kehidupan sosial ini yang mengarahkan Dahrendorf kepada tesis
sentralnya bahwa perbedaan distribusi ‘otoritas” selalu menjadi faktor yang
menentukan konflik sosial sistematis. Hubungan Otoritas dan Konflik Sosial Ralf
Dahrendorf berpendapat bahwa posisi yang ada dalam masyarakat memiliki
otoritas atau kekuasaan dengan intensitas yang berbeda-beda. Otoritas tidak
terletak dalam diri individu, tetapi dalam posisi, sehingga tidak bersifat statis. Jadi,
seseorang bisa saja berkuasa atau memiliki otoritas dalam lingkungan tertentu dan
tidak mempunyai kuasa atau otoritas tertentu pada lingkungan lainnya. Sehingga
seseorang yang berada dalam posisi subordinat dalam kelompok tertentu, mungkin
saja menempati posisi superordinat pada kelompok yang lain.
Kekuasaan atau otoritas mengandung dua unsur yaitu penguasa (orang yang
berkuasa) dan orang yang dikuasai atau dengan kata lain atasan dan bawahan.
Kelompok dibedakan atas tiga tipe antara lain :
1. Kelompok Semu (quasi group)
2. Kelompok Kepentingan (manifes)
3. Kelompok Konflik
Kelompok semu adalah sejumlah pemegang posisi dengan kepentingan yang
sama tetapi belum menyadari keberadaannya, dan kelompok ini juga termasuk
dalam tipe kelompok kedua, yakni kelompok kepentingan dan karena kepentingan
inilah melahirkan kelompok ketiga yakni kelompok konflik sosial. Sehingga dalam
kelompok akan terdapat dalam dua perkumpulan yakni kelompok yang berkuasa
(atasan) dan kelompok yang dibawahi (bawahan). Kedua kelompok ini mempunyai
kepentingan berbeda. Bahkan, menurut Ralf, mereka dipersatukan oleh
kepentingan yang sama. Mereka yang berada pada kelompok atas (penguasa) ingin
tetap mempertahankan status quo sedangkan mereka berada di bawah (yang
dikuasai atau bawahan ingin supaya ada perubahan. Dahrendorf mengakui
pentingnya konflik mengacu dari pemikiran Lewis Coser dimana hubungan konflik
dan perubahan ialah konflik berfungsi untuk menciptakan perubahan dan
perkembangan. Jika konflik itu intensif, maka perubahan akan bersifat radikal,
sebaliknya jika konflik berupa kekerasan, maka akan terjadi perubahan struktural
secara tiba-tiba. Menurut Dahrendorf, Adanya status sosial didalam masyarakat
(sumber konflik yaitu: Adanya benturan kaya-miskin, pejabat-pegawai rendah,
majikan-buruh) kepentingan (buruh dan majikan, antar kelompok,antar partai dan
antar Adanya dominasi Adanya ketidakadilan atau diskriminasi. agama).
kekuasaan (penguasa dan dikuasai).
Dahrendorf menawarkan suatu variabel penting yang mempengaruhi derajat
kekerasan dalam konflik kelas/kelompok ialah tingkat dimana konflik itu diterima
secara eksplisit dan diatur. Salah satu fungsi konflik atau konsekuensi konflik
utama adalah menimbulkan perubahan struktural sosial khususnya yang berkaitan
dengan struktur otoritas, maka Dahrendorf membedakan tiga tipe perubahan
Perubahan keseluruhan personel didalam posisi struktural yakni: Perubahan
sebagian personel dalam posisi dominasi. Penggabungan kepentingan-kepentingan
kelas subordinat dalam kebijaksanaan kelas yang berkuasa. Perubahan sistem
sosial ini menyebabkan juga perubahan-perubahan lain didalam masyarakat antara
lain Munculnya kelas, Dekomposisi tenaga kerja, Dekomposisi modal: menengah
baru Analisis Dahrendorf berbeda dengan teori Marx, yang membagi masyarakat
dalam kelas borjuis dan proletar sedangkan bagi Dahrendorf, terdiri atas kaum
pemilik modal, kaum eksklusif dan tenaga kerja. Hal ini membuat perbedaan
terhadap bentuk-bentuk konflik, dimana Dahrendorf menganggap bahwa bentuk
konflik terjadi karena adanya kelompok yang berkuasa atau dominasi (domination)
dan yang dikuasai (submission), maka jelas ada dua sistem kelas sosial yaitu
mereka yang berperan serta dalam struktur kekuasaan melalui penguasaan dan
mereka yang tidak berpartisipasi melalui penundukan.
Sedangkan Marx berasumsi bahwa satu-satunya konflik adalah konflik kelas
yang terjadi karena adanya pertentangan antara kaum pemilik sarana produksi
dengan kaum buruh. Dahrendorf memandang manusia sebagai makhluk abstrak
dan artifisial yang dikenal dengan sebutan “homo sociologious” dengan itu
memiliki dua gambaran tentang manusia yakni citra moral dan citra ilmiah. Citra
moral adalah gambaran manusia sebagai makhluk yang unik, integral, dan bebas.
Citra ilmiah ialah gambaran manusia sebagai makhluk dengan sekumpulan peranan
yang beragam yang sudah ditentukan sebelumnya. Asumsi Dahrendorf, manusia
adalah gambaran citra ilmiah sebab sosiologi tidak menjelaskan citra moral, maka
manusia berperilaku sesuai peranannya maka peranan yang ditentukan oleh posisi
sosial seseorang di dalam masyarakat, hal inilah masyarakat yang menolong
membentuk manusia, tetapi pada tingkat tertentu manusia membentuk masyarakat.
Sebagai homo sosiologis, manusia diberikan kebebasan untuk menentukan perilaku
yang sesuai dengan peran dan posisi sosialnya tetapi di sisi lain dibatasi juga oleh
peran dan posisi sosialnya di dalam kehidupan bermasyarakat.
Jadi ada perilaku yang ditentukan dan perilaku yang otonom, maka keduanya
harus seimbang. Salah satu karya besar Dahrendorf “Class and class Conflict in
Industrial Society” dapat dipahami pemikiran Dahrendorf dimana asumsinya
bahwa teori fungsionalisme struktural tradisional mengalami kegagalan karena
teori ini tidak mampu untuk memahami masalah perubahan sosial, terutama
menganilisis masalah konflik. Dahrendorf mengemukakan teorinya dengan
melakukan kritik dan modifikasi atas pemikiran Karl Marx, yang berasumsi bahwa
kapitalisme, pemilikandan kontrol atas sarana-sarana produksi berada di tangan
individu-individu yang sama, yang sering disebut kaum borjuis dan kaum
proletariat.
Teori konflik dipahami melalui suatu pemahaman bahwa masyarakat
memiliki dua wajah karena setiap masyarakat kapan saja tunduk pada perubahan,
sehingga asumsinya bahwa perubahan sosial ada dimana-mana, selanjutnya
masyarakat juga bisa memperlihatkan perpecahan dan konflik pada saat tertentu
dan juga memberikan kontribusi bagi disintegrasi dan perubahan, karena
masyarakat didasarkan pada paksaan dari beberapa anggotanya atas orang lain.

2.7 Teori Konflik Menurut Jonathan Turner.

Teori konflik dari Jonathan Turner, dia mengemukan 3 persoalan utama


dalam teori konflikyaitu,

A. Tidak ada definisi yang jelas mengenai konflik atau apa yang bukan konflik.
B. Teori konflik dilihat mengambang karena tidak menjelaskan unit analisis secara
jelas,apakah itu konflik individu, kelompok, institusi, organisasi atau konflik
antar bangsa.
C. Teori konflik ini merupakan reaksi dari teori fungsionalisme struktural maka
sulitdipisahkan dari teori tersebut.
Turner memusatkan pada konflik sebagai suatu proses dari peristiwa-
peristiwa ataufenomena yang mengarah pada interaksi yang disertai kekerasan
antara dua pihak atau lebih danTurner juga menjelaskan konflik yang terbuka,
singkatnya adalah system sosial terdiri dari unit-unit yang saling berhubungan
satu sama lainnya dan didalamnya terdapat ketidakkeseimbanganatas pembagian
kekuasan dan kelompok-kelompok yang tidak memiliki kekuasan
mulaimempertanyakan legistimasi, pertanyaan tersebut mengubah kesadaran
untuk mengubah sistemalokasi kekuasan.
2.8 Teori Konflik Menurut Lewis Coser.

Sosiolog konflik Amerika Serikat, Lewis Coser (1913-2003),


bertitik berat pada konsekuensi-konsekuensi terjadinya konflik pada sebuah
sistem sosial secara keseluruhan. Teorinya menunjukkan kekeliruan jika
memandang konflik sebagai hal yang melulu merusak system sosial, karena
konflik juga dapat memberikan keuntungan pada masyarakat luas dimana
konflik tersebut terjadi. Konflik justru dapat membuka peluang integrasi antar ke
lompok. Coser melihat konflik sebagai mekanisme perubahan sosial dan
penyesuaian, dapat memberi peran positif, atau fungsi positif, dalam masyarakat.
Pandangan teori Coser pada dasamya usaha menjembatani teori fungsional dan
teori konflik, hal itu terlihat dari fokus perhatiannya terhadap fungsi integratif
konflik dalam sistem sosial. Coser sepakat pada fungsi konflik sosial dalam
sistem sosial, lebihkhususnya dalam hubungannya pada kelembagaan yang kaku,
perkembangan teknis, dan produktivitas, dan kemudian konsen pada hubungan
antara konflik dan perubahan sosial.Coser memberikan perhatian terhadap asal
mula konflik soslal bahwa ada keagresifan atau bermusuhan dalam diri orang,
dan dia memperhatikan bahwa dalam hubungan intim dan tertutup, antara cinta
dan rasa benci hadir. Sehingga masyarakat akan selalu mengalami situasi konflik.
Karena itu Coser membedakan dua tipe dasar konflik (Wallace&Wolf, 1986:
124), yang realistik dan non realistik. Coser sendiri banyak dipengaruhi oleh
George Simmel.
Simmel dan Coser adalah orang realis yang melihat konflik dan integrasi
sebagai dua sisi saling memperkuat atau memperlemah satu sama lain. Konflik
realistik memiliki sumber yang kongkrit atau bersifat material, seperti sengketa
sumber ekonomi atau wilayah. Jika mereka telah memperoleh sumber sengketa
itu, dan bila dapat diperoleh tanpa perkelahian, maka konflik akan segera diatasi
dengan baik.
kedua, konflik yang non realistiklah yang cenderung sulit untuk menemukan
solusi konflik atau sulitnya mencapai konsensus dan perdamaian. Bagi Coser
sangat memungkinkan bahwa konflik melahirkan kedua tipe ini sekaligus dalam
situasi konflik yang sama.

Kinloch (2005) menyebutkan asumsi dari teori Coser adalah :


a. Asumsi awal Coser adalah konflik akan cenderung meningkatkan dari
pada menurunkan penyesuaian sosial adaptasi dan memelihara batas
kelompok. Konflik bersifat fungsional dan non fungsional.
b. Konflik menurut Coser muncul ketika ada akses dari penuntut untuk
memperoleh imbalan sesuai dengan kerjanya. Konsekuensinya kemudian
ditegaskan oleh tipe dalam struktur sosial dan tipe perhatian masalah
(issue consered), semua yang mempengaruhi fungsi proses ini dalam
masyarakat umum.
c. Tipe persoalan yang menyebabkan konflik adalah persoalan yang
memperhatikan legitimasi masyarakat dan melibatkan ketidak setujuan
asumsi dasar yang cenderung menimbulkan konflik tingkat.
d. Secara umum, konflik fungsional akan memberikan dampak bagi sistem
sosial sebagai berikut : menstabilkan hubungan, memfungsikan kembali
keberadaan keseimbangan, menambah munculnya norma-norma baru,
menyediakan
mekanisme bagi penyesuaian diri yang terus menerus dari keseimbangan
kekuasaan, mengembangkan koalisi dan asosiasi baru, menurunkan isolasi
sosial, dan menyumbangkan untuk pemeliharaan garis batas kelompok.
e. Selanjutnya di bawah kondisi khusus, konflik akan menghasilkan keadaan
yang lebih stabil, fleksibel dan sistem sosiai yang terpadu. Ringkasnya,
konflik atas persoalan realistis dalam struktur sosial yang terbuka
memberikan kontribusi penyesuaian struktur yang lebih hebat,
fleksibilitas dan integrasi. Sebaliknya, konflik yang tidak realistis dalam
lingkungan yang fleksibel dan tertutup akan menimbulkan kekerasan dan
disintegrasi.
2.9 Teori Konflik Menurut C.Wright Mills.

Teori konflik muncul menjadi sebuah cabang teoretis oleh karena


ketidaksukaan pada sosiologi fungsionalisme yang berkembang saat itu. C. Wright
Mills, sosiolog Amerika 1960-an mengecam fungsionalisme melalui kritiknya
tentang elit kekuasaan di Amerika saat itu. Perdebatan Mills dan fungsionalisme
ini pada dasamya menunjukkan bagaimana sosiologi telah berkarib dengan
ideologi. Tuduhan yang paling besar adalah uraiannya tentang karya Parsons yang
bermuatan ideologis dan menurutnya sebagian besar isinya kosong/hampa. Secara
metodologi, Mills lebih mirip dengan mazhab Frankfurt atas kritiknya pada media
massa, pemerintahan, dan militer. Salah satu contoh proposisinya yang
kontroversial adalah bahwa menurutnya di Amerika
terjadi paradoks demokrasi: bentuk pemerintahannya adalah demokrasi namun
seluruh struktur organisasinya cenderung diubah ke bentuk oligarkhi, hanya sedikit
yang memiliki kekuasaan politik.Mills melakukan riset terhadap struktur kekuasan
Amerika yang dari penelitian itu diperoleh suatu hubungan dominatif, dimana
stukrur sosial dikuasi elit dan rakyat
adalah pihak ada di bawah kontrol politisnya. Hubungan dominatif itu muncul kare
na elit berusaha memperoleh dukungan politis rakyat demi kepentingan mobilitas v
ertical mereka secara ekonomi dan politik. Elit-elit itu adalah militer, politisi, dan
para pengusaha (ekonomi). Mills menemukan bahwa mereka, para elit kekuasaan,
mempunyai kecederungan untuk kaya, baik diperoleh melalui investasi atau duduk
dalam posisi eksekutif. Satu hal penting lagi, mereka yang termasuk dalam elit
kekuasaan sering kali pindah dari satu bidang yang posisinya tinggi dalam bidang
yang lain.Kasus Amerika, Mills memberi contoh Jenderal Eisenhower yang
kemudian menjadi Presiden Eisenhower. Ada contoh lain yang diungkapkan Mills,
seperti seorang laksmana yang juga seorang bankir, seorang direktur, dan menjadi
pimpinan perusahaan ekonomi terkemuka. Elit-elit kekuasaan mempunyai
keinginan besar terhadap perkembangan diri mereka dan tentu saja
secara politis mereka membutuhkan dukungan dari rakyat. Media massa yang
mempunyai posisi dan peran strategis dalam menyampaikan isu-isu nasional
merupakan alat bagi elit kekuasaan untuk meraih dukungan itu, yaitu melalui
proses komunikasi informasi satu arah bukan dialog. Prosesitu merupakan bagian
dari doktrinisasi dan persuasi elit-elit kekuasaan. Masyarakat hanya
bersifat pasif sebagai penadah informasi elit kekuasan. Satu hal penting lainnya,
rakyat tidak cukup mengetahui realitas atau kebenaran sehingga begitu
mudahmenjadi salah satu pendukung dari isu atau informasi yang disebarkan elit
melalui mediamassa. Mills nenyebut mereka sebagai masyarakat massa
(mass society).
Masyarakat massa seperti kerbau yang dicocok hidungnya karena tidak
memiliki pengetahuan dankesadaran yang sejati tentang isi dari informasi atau isu-
isu para elit. Kita bisa menyaksikan di Indonesia elit-elit kekuasaan yang
disebutkan Mills, dari golongan politisi, militer, dan pengusaha ekonomi
mempunyai karakter dan gerakanyang serupa. Elit-elit kekuasaan di Indonesia
menciptakan hubungan dominatif antara mereka dan rakyat. Mereka juga bergerak
mencapai posisi yang tinggi ke posisi (lebih) tinggi lainnya. Pada pemilihan
presiden tahun 2004 dapat ditemukan dua orang elit dari militer berusaha mencapai
posisi yang lebih tinggi dari yang sebelumnya, yaitu presiden atau wakil presiden.
Ada dua orang calon wakil presiden yang sebelumnya merupakan elit pengusaha
dan pejabat pemerintahan. Ada juga yang dulunya hanya aktifis politik dan
bersuami pengusaha bahkan tetah menjadi presiden. Tampaknya jelas sekali
bahwa para elit kekuasaan pada saat ini tengah melakukan
pergerakan mendapatkan posisi yang lebih tinggi dari sebelumnya untuk mobilitas
vertikal secara ekonomi maupun politik. Analisis kritis Mills sesungguhnya tidak
langsung disebutkan sebagai bangunan teori konflik. Tetapi ciri-ciri penting dalam
analisisnya menunjukkan hubungan dominative dalam stuktur sosial antara
kelompok-kelompok elit yang berusaha menambah kekayaannya dengan
masyarakat. Sampai di sini, secara singkat, dapat ditemukan bahwa teori Mills
tentang elit adalah pembuktian terhadap teorinya sebagai bagian dari teori konflik
beraliran kritis.
2.10 Faktor -faktor Integrasi Sosial

Munurut Prof. Dr. Ramlan Surbakti, ada lima faktor yang dapat mempengaruhi
kelompok masyarakat terintegrasi dalam komunitas bersama. Faktor faktor ini
diantaranya :
1. Primodial
Identitas bersama komunitas dapat terbentuk karena adanya ikatan
keaslian kedaerahan, kekerabatan, kesamaan suku, ras, tempat tinggal,
bahasa dan istiadat.
2. Sakral
Yang dimaksud sakral dalam konsep ini adalah ikatan-ikatan religius
yang dipercayai sebagai hal yang berkaitan dengan kebenaran mutlak
karena dipercayai sebagai wahyu ilahiyah. Keyakinan masyarakat yang
bersifat sakral terwujud dalam agama dan kepercayaan kepada hal-hal yang
bersifat supranatural.
3. Tokoh
Integrasi bisa tercipta manakala dalam suatu masyarakat terdapat
seorang atau beberapa tokoh pemimpin yang disegani dan dihormati karena
kepemimpinannya yang bersifat karismatik.
4. Bhineka tunggal ika
Bhineka tunggal ika dilihat sebagai pemersatu suatu bangsa yang
majemuk untuk mencapai integritas suatu bangsa. Dalam konsep ini
biasanya bangsa di dalam suatu negara terdiri atas kelompok-kelompok
atas dasar suku, agama, ras, dan antargolongan yang tersegmentasi ke
dalam kelompok-kelompok yang antara kelompok satu dan lainnya tidak
saling melengkapi akan tetapi justru lebih bersifat kompetitif.
5. Perkembangan ekonomi
Perkembangan ekonomi melahirkan pembagian kerja dan spesialisasi
pekerjaan yang mendukung kelangsungan hidup suatu fungsi sistem
ekonomi, yaitu menghasilkan barang dan jasa.
6. Homogenitas kelompok
Kemajemukan sosial selalu mengisi setiap lini kehidupan sosial hanya
tiap-tiap kehidupan sosial akan memiliki intensitas (tingkat tinggi dan
rendah) yang berbeda-beda. Integrasi antar kemajemukan sosial ini akan
tercapai jika antar elemen pembentuk struktur sosial tersebut berusaha
membentuk integritas sosial dengan menekankan kesadaran untuk
mengurangi intensitas perbedaan masing-masing elemen sosial tersebut.
7. Besar kecilnya kelompok
Jika kehidupan sosial relativ kecil, maka akan mudah mencapai integrasi
sosial dibandingkan dengan kelompok yang memiliki intensitas
perbedaanya lebih besar.
8. Mobilitas sosiogeografis
Mobilitas sosial artinya perpindahan manusia dari tempat yang satu ke
tempat yang lain dengan berbagai latar belakang tujuan. Pada umumnya
mobilitas sosial di indonesia di dominasi oleh tingginya tingakat urbanisasi,
yaitu perpindahan penduduk dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan.
9. Efektifitas dan efesiensi komunikasi
Cepat lambatnya integrasi sosial akan sangat dipegaruhi oleh tingkat
efektivitas dan efesiensi komunikasi sosial, sebab komunikasi merupakan
salah satu prasyarat terjadinya interaksi, sedangkan interaksi merupakan
prasyarat terjadinya integrasi maupun konflik sosial.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Integrasi berasal dari bahasa inggris “integrasion” yang berarti
kesempurnaan atau keseluruhan. Integrasi sosial dimaknai sebagai proses
penyesuaian di antara unsur-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan
masyarakat yang memiliki keserasian fungsi. Konflik merupakan gejala sosial
yang serba hadir dalam kehidupan sosial, sehingga konflik bersifat inheren, artinya
konflik akan senantiasa dalam ruang dan waktu, dimana saja dan kapan saja.
Istilah konflik secara etimologis berasal dari bahasa latin “con” yang berarti
bersama den “fligere” yang berarti beraturan atau tabrakan.
Macam-macam integrasi sosial : Integrasi keluarga, Integrasi kekerabatan,
Integrasi asosiasi (perkumpulan), Integrasi masyarakat, Integrasi suku bangsa, dan
Integrasi bangsa.
Macam-macam konflik sosial : Konflik gender, Konflik sosial dan antar suku,
Konflik antar umat agama, Konflik antar golongan, Konflik kepentingan, Konflik
antar pribadi, Konflik antarkelas, dan Konflik antar negara/bangsa.

Demikian makalah ini kami susun guna memenuhi tugas sosiologi. Semoga
dapat menambah wawasan dan pengetahuan kita. Kami menyadari masih banyak
kekurangan dalam makalah kami, oleh karenanya kritik dan saran untuk
penyempurnaan makalah kami. Semoga makalh ini bermanfaat dan dapat
menambah wawasan bagi kita semua. Amin.

Anda mungkin juga menyukai