Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

1..1LATAR BELAKANG

Adanya penyakit atau kelainan pada gigi dan mulut akan mempengaruhi

kesehatan secara umum, walaupun tidak berdampak secara langsung

menyebabkan kematian.1 Kesehatan mulut dapat mempengaruhi kondisi

kesehatan umum yang tentunya akan berdampak pada kualitas hidup secara

signifikan atau masalah kesehatan mulut akan mempengaruhi kualitas kehidupan

manusia.2

Penyakit gigi dan mulut pada kualitas hidup merupakan bidang penelitian

yang menilai fungsi psikologis, sosial dan konsekuensi ekonomi karena

kelainan/gangguan mulut. Hampir semua penelitian memfokuskan pada kondisi

hilangnya gigi, kerusakan/cacat kraniofasial sejak lahir, nyeri pada wajah dan

kanker mulut. Pengaruh kesehatan mulut pada kualitas hidup individu

mencerminkan norma sosial yang kompleks, nilai-nilai budaya, kepercayaan dan

tradisi.1

Dampak psikologis dan sosial dari suatu penyakit dalam kehidupan

sehari-hari penting untuk kita pahami. Setiap penyakit yang dapat mengganggu

aktivitas kehidupan sehari-hari mungkin memiliki efek buruk pada kualitas umum

1
kehidupan. Oleh karena itu, gagasan yang berhubungan dengan kualitas hidup

dalam kaitannya dengan kesehatan gigi dan mulut mulut atau biasa disebut Oral

Hygiene Related – Quality Of Life (OHRQOL) adalah produk dari banyak

observasi dan penelitian tentang dampak penyakit mulut pada berbagai aspek

kehidupan.3

Pada usia sekolah (13-15 tahun) banyak dipengaruhi oleh kelainan dalam

rongga mulut, yang kesemuanya dapat mempengaruhi fungsi, kesejahteraan, dan

kualitas hidupnya. Penyakit yang sering ditemukan pada usia ini yaitu karies gigi

dan kelainan maloklusi.4

Akibat yang ditimbulkan maloklusi bukan hanya mengganggu rasa sakit

fisik saja bahkan perkembangan psikologis dan sosial yang secara keseluruhannya

menganggu terhadap kualitas hidup remaja. Maloklusi adalah bentuk oklusi gigi

yang menyimpang dari normal. Oklusi adalah hubungan kontak antara gigi geligi

bawah dengan gigi atas waktu mulut ditutup. Oklusi dikatakan normal, jika

susunan gigi dalam lengkung geligi teratur baik serta terdapat hubungan yang

harmonis antara gigi atas dengan gigi bawah, hubungan seimbang antara gigi,

tulang rahang terhadap tulang tengkorak dan otot sekitarnya yang dapat

memberikan keseimbangan fungsional sehingga memberikan estetika yang baik.5

Jumlah gigi manusia yang normal adalah 20 gigi sulung dan 32 gigi tetap,

tetapi dapat dijumpai jumlah yang lebih atau kurang dari jumlah tersebut.

2
Kelainan jumlah gigi adalah dijumpainya gigi yang berlebih karena benih berlebih

atau penyebab lain. Kekurangan jumlah gigi disebabkan karena benih gigi yang

tidak ada atau kurang.6

Perkembangan gigi-geligi melalui proses kompleks yang disebut juga

odontogenesis, dalam mekanisme pembentukan gigi terbagi dalam tahap

morfologi dan fase fisiologis. Jika pada prosesnya tidak berjalan dengan baik

maka dapat menyebabkan abnormalitas pertumbuhan pada gigi baik itu kelebihan

gigi atau kekurangan gigi (supernumerary teeth atau agenesis).7

Supernumerary teeth dan agenesis gigi adalah kelainan gigi yang paling

umum di dapatkan pada anak. Gigi supernumerary atau hyperdontia didefinisikan

sebagai keberadaan jumlah berlebihan gigi dalam kaitannya dengan rumus gigi

normal.8 Sedangkan agenesis adalah tidak dibentuknya atau tidak tumbuhnya

benih gigi.9

Kemungkinan agenesis sering ditemukan pada gigi yang berkembang

terakhir dari setiap kelas morfologi gigi, yakni insisivus lateral, premolar dua, dan

molar tiga. Besarnya efek agenesis satu atau beberapa gigi tergantung kepada

keadaan berjejalnya geligi setelah semua gigi erupsi. Hal ini dapat menimbulkan

masalah estetis dan mempengaruhi psikologis anak.9 Begitupula dengan

3
supernumerary teeth akibatnya dapat menyebabkan malposisi yang menyebabkan

ketidak nyamanan anak dalam pengunyahan dan krowded bahkan biasa juga

diastema, hal ini tentunya menimbulkan masalah estetik dan mempengaruhi

psikologis pada anak.5

Gangguan psikologis pada anak sangat erat kaitannya dengan kualitas

hidup anak tersebut. Karena seperti yang di jelaskan oleh Anonim, 1980 sit, Chen

dkk., 1997 bahwa kualitas hidup berhubungan dengan kepuasan kebutuhan

manusia untuk tumbuh, sejahtera, kebebasan dan kenyamanan dalam hubungan

dan pekerjaan. Kualitas hidup mengacu pada kemampuan pasien untuk dapat

menikmati aktivitas kehidupan yang normal.1

Olehnya itu untuk mengetahui lebih dalam mengenai sejauh mana kelainan

Supernumerary teeth dan Agenesis dapat mempengaruhi kualitas hidup pada anak,

peneliti melakukan kegiatan penelitian ini untuk menambah wawasan, data, serta

bahan acuan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut tentang masalah ini.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang penelitian dari penelitian ini, maka masalah

yang ingin diteliti oleh peneliti adalah bagaimana dampak psikologis dan kualitas

hidup antara anak yang menderita agenesis dengan supernumerary teeth.

4
1.3 TUJUAN

Berdasarkan rumusan masalah, tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui dampak psikologis dan kualitas hidup antara anak yang menderita

agenesis dengan supernumerary teeth.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 SUPERNUMERARY TEETH

Hiperdonsia atau supernumerary teeth didefinisikan sebagai berlebihnya

jumlah gigi pada individu tertentu, yaitu melebihi jumlah gigi normal dari 20 gigi

sulung atau 32 gigi permanen. Leco Berrocal mengemukakan bahwa

supernumerary teeth berasal dari lamina gigi, karena penyimpangan embriogenik

selama pengembangan wajah, dan dengan proliferasi berlebihan sisa-sisa epitel

dari lamina gigi yang disebabkan oleh tekanan dari gigi permanen.

Faktor-faktor lain seperti mutasi DNA, termasuk anomali maksilofasial

seperti bibir sumbing dan langit-langit, displasia cleidocranial dan sindrom

5
Gardner’s dapat menimbulkan supernumerary teeth. Menurut yusof

supernumerary teeth sangat umum ditemukan karena adanya pengaruh syndrom

dan sangat jarang ditemukan tanpa adanya pengaruh syndrom.

Etiologi supernumerary teeth mungkin sebagian oleh faktor genetik seperti

gigi supernumerary yang lebih umum ditemukan pada keluarga dari individu yang

terkena daripada populasi masyarakat umum, namun pola warisan yang

ditunjukkan tidak mengikuti prinsip-prinsip Mendel. Faktor lingkungan juga harus

diperhatikan dalam etiologi gigi supernumerary, seperti Shapira dan Kuftinec

mengusulkan hyperproductivity dari lamina gigi dan dikotomi benih gigi sebagai

faktor etiologi, yang telah didukung oleh percobaan in vitro.10

Becker, Bimstein dan Shteyer melaporkan beberapa kasus, anterior dan

posterior, rahang atas dan bawah gigi supernumerary yang terdeteksi dalam 12

tahun. Beberapa supernumerary berada di daerah caninus-premolar. Ini mungkin

merupakan contoh perkembangan gigi post permanen. Paramolars dan

parapremolars juga tampaknya cocok dengan model pengembangan gigi post

permanen dengan aktivitas lamina gigi lanjutan.10

Supernumerary teeth, atau hperdonsia, dapat bermanifestasi dalam setiap

wilayah lengkungan gigi. Beberapa gigi supernumerary yang tidak berhubungan

dengan sindrom apapun sangat jarang, pada individu-individu supernumerary

teeth sering ditemukan di daerah premolar. Beberapa hiperdonsia dapat dikaitkan

6
dengan sindrom Gardner, sindrom Fabry-Ander-son, sindrom Ehlers-Danlos,

fistula wajah atau displasia cleidocranial.8

Kasus yang melibatkan satu atau dua gigi supernumerary paling sering

melibatkan anterior rahang atas, diikuti oleh premolar mandibula region. Apabila

jumlah supernumerary teeth berjumlah lebih dari 5 gigi, maka paling sering

terjadi pada region premolar rahang bawah. supernumerary tunggal terjadi pada 76

hingga 86 persen kasus, supernumerary ganda dalam 12 sampai 23 persen dari

kasus.10

Pengaruh gigi supernumerary pada perkembangan gigi sangat bervariasi.

mungkin saja tidak ada pengaruh yang terlihat pada gambaran radiografi gigi

ataupun setelah gigi erupsi. Gigi berjejal mungkin jelas karena jumlah gigi yang

erupsi.11 Supernumerary teeth dapat menyebabkan gangguan lokal yang berbeda,

termasuk retensi gigi primer dan erupsi tertunda gigi permanen, letusan ektopik,

perpindahan gigi dan kista folikel, antara perubahan lain yang membutuhkan

intervensi bedah atau ortodontik.8

Akibat yang ditimbulkan tergantung pada posisi yang berlebih, dapat

berupa; malposisi, krowded, tidak erupsinya gigi tetangga, persistensi gigi sulung,

terlambatnya erupsi gigi insisivus sentralis tetap, rotasi, diastema, impaksi, resobsi

akar dan hilangnya vitalitas. Pembentukan kista dan masalah estetis juga dapat

dijumpai. Diagnosa awal dari anomali ini sangat perlu untuk menghindari

kerusakan yang lebih parah, gigi berlebih ini dapat didiagnosa dengan

7
pemeriksaan radiografi, juga dengan tanda-tanda klinis yang dapat menimbulkan

keadaan patologis. Tanda-tanda klinis gigi berlebih ini antara lain terhambatnya

erupsi gigi sulung, terhambatnya erupsi gigi pengganti, perubahan hubungan

aksial dengan gigi tetangga dan rotasi gigi insisivus tetap.6

Berdasarkan lokasinya gigi berlebih dapat dibagi yaitu :

a. Mesiodens

Lokasinya di dekat garis median diantara kedua gigi insisivus sentralis

terutama pada gigi tetap rahang atas. Jika gigi ini erupsi biasanya

ditemukan di palatal atau diantara gigi-gigi insisivus sentralis dan paling

sering menyebabkan susunan yang tidak teratur dari gigi-gigi insisivus

sentralis. Gigi ini dapat juga tidak erupsi sehingga menyebabkan erupsi

gigi insisivus satu tetap terlambat, malposisi atau resobsi akar gigi-gigi

insisivus didekatnya

Gambar 2.1 Gambar 2.2

Gambar 2.1 dan 2.2 : Mesiodens-Gambaran klinis terlihat erupsi gigi di antara gigi Incisivus
Centralis

b. Laterodens

Laterodens berada di daerah interproksimal atau bukal dari gigi-gigi

selain insisivus sentralis.

8
Gambar 2.3 Gambar 2.4

Gambar 2.3 dan 2.4 : Laterodens-Gambaran klinis terlihat gigi erupsi di daerah interproksimal
gigi di daerah posterior sekitar molar satu dan anterior sekitar insisivus lateral.

c. Distomolar

Lokasinya di sebelah distal gigi molar tiga.

Gambar 2.5 Gambar 2.6

Gambar 2.5 dan 2.6 : Distomolar-Gambaran klinis terlihat gigi erupsi di sebelah distal molar tiga.

2.2 AGENESIS

Agenesis adalah tidak dibentuknya atau tidak tumbuhnya benih gigi.

Agenesis dapat mengenai satu atau beberapa gigi, bahkan dapat mengenai seluruh

gigi dan dapat terjadi pada gigi sulung maupun gigi tetap. Hipodonsia adalah tidak

terdapatnya satu atau beberapa gigi, oligodonsia adalah tidak adanya sejumlah

gigi, biasanya lebih dari enam gigi dan umumnya dihubungkan dengan sindroma

spesifik dan atau kelainan abnormal yang berat, sedangkan anodonsia merupakan

bentuk ekstrim dari oligodonsia yang menunjukkan tidak adanya seluruh gigi.

9
Gambar 2.7 : Hipodonsia-Pada gambaran klinis terlihat
kehilangan satu gigi.

Gambar 2.8 : Oligodonsia-Pada gambaran klinis terlihat


kehilangan lebih dari enam gigi.

Gambar 2.9 :
Anodontia-Pada
gambaran klinis terlihat kehilangan seluruh gigi

10
Gigi yang biasa mengalami agenesis adalah gigi yang berkembang terakhir

dari setiap kelas morfologi gigi, yakni insisivus lateral, premolar dua dan molar

tiga. Penelitian Davis yang dilakukan di Hongkong, menemukan agenesis

insisivus rahang bawah sebanyak 6,9%. Pada 24 penelitian meta-analisis yang

melibatkan 112.000 subjek, ditemukan agenesis insisivus sentral rahang bawah

sebanyak 3,5%.

Etiologi agenesis dapat berupa factor genetik maupun lingkungan. Factor

genetik disini memegang peranan penting. Beberapa pola pewarisan yang

dikemukakan literatur yaitu autosomal dominan dengan penetrasi tidak sempurna,

resesif, atau pewarisan pola x-link. Apabila salah satu orang tua memiliki satu

atau lebih agenesis gigi, maka kemungkinan anaknya memiliki kelainan yang

sama meningkat. Pada anggota keluarga yang dikenai sering menunjukkan variasi

dalam lokasi, sisi dan jumlah ggigi yang terkena.

Faktor lingkungan yang mempengaruhi terjadinya agenesis berupa, adanya

obstruksi atau kerusakan dental lainnya, penyakit sistemik, penyakit infeksi

(tuberkolosis, rubela), trauma waktu lahir, obat-obatan (thalidomide) serta

perawatan kemoterapi dan radiasi.9,11

Anodonsia mempunyai dampak terhadap perkembangan psikologis karena

adanya penyimpangan estetis yang ditimbulkannya dan menyebabkan gangguan

pada fungsi pengunyahan dan bicara. Hipodonsia dapat menimbulkan masalah

11
estetis dan diastema. Besarnya efek agenesis satu atau beberapa gigi tergantung

kepada keadaan berjejalnya geligi setelah semua gigi erupsi.9

2.3 KUALITAS HIDUP

Sehat pada umumnya dinyatakan menurut model medis atau model

patologis, yaitu tidak adanya penyakit (disease). Pengukuran status kesehatan

menurut konsep ini didasarkan pada penyimpangan dari kondisi sehat, jadi yang

diukur sebenarnya adalah keadaan sakit. Twaddle (1979) menambahkan dimensi

sosial, yaitu illness suatu fenomena subjektif seperti rasa sakit, lemah, pusing, dan

gejala lain yang menyebabkan ketidaknyamanan. Sickness menyangkut

kemampuan menjalankan peranan sosial sehari-hari. Konsep illness dan sickness

dipengaruhi budaya lokal, sedangkan disease adalah konsep yang digunakan oleh

petugas kesehatan.

WHO menyarankan agar status kesehatan penduduk diukur dalam tiga hal,

yaitu :

a. melihat ada tidaknya kelainan patofisiologis.

b. Mengukur fungsi.

c. Penilaian individu atas kesehatannya.

Dengan demikian untuk menggambarkan status kesehatan gigi dan mulut

haruslah mencakup ada tidaknya penyakit, bagaimana status fungsi fisik

12
(pengunyahan), fungsi psikis (rasa malu), fungsi sosial (peranan sosial

sehari-hari), dan kepuasan terhadap kesehatannya.12

World Health Organization (WHO) mendefenisikan kualitas hidup sebagai

persepsi seseorang dalam konteks budaya dan norma yang sesuai dengan tempat

hidup orang tersebut serta berkaitan dengan tujuan, harapan, standar dan

kepedulian selama hidupnya.13

Kesehatan dalam kaitannya kualitas hidup adalah konsep multi dimensi

yang merujuk pada keadaan fisik pasien, psikologis, dan kesejahteraan sosial.14

Dampak penyakit mulut pada individu dan masyarakat ditengarai makin

meningkat. Namun, secara konvensional penilaian kesehatan mulut hanya

berhubungan dengan status fisik saja dan hanya menggambarkan penilaian klinik

tentang kesehatan mulut secara obyektif. Kedokteran gigi secara tradisional hanya

menggunakan indeks klinik yang spesifik (mis. jumlah gigi yang ada, hilangnya

perlekatan periodonsium) untuk menilai dampak masalah kesehatan mulut.2

Mereka tidak memasukkan penilaian diri tentang status kesehatan

mulutnya dalam arti dampak personal, sosial dan psikologis yang merupakan

dimensi dari kualitas hidup. Dampak kesehatan mulut, penyakit gigi dan mulut

pada kualitas hidup merupakan bidang penelitian yang relatif baru yang menilai

fungsi psikologis, sosial dan konsekuensi ekonomi karena kelainan/gangguan

mulut. Hampir semua penelitian memfokuskan pada kondisi hilangnya gigi,

13
kerusakan/ cacat kraniofasial sejak lahir, oral-facial pain dan kanker mulut.

Pengaruh kesehatan mulut pada kualitas hidup individu mencerminkan norma

sosial yang kompleks, nilai-nilai budaya, kepercayaan dan tradisi.2

Terdapat banyak penelitian mengenai pengukuran kualitas hidup dan

dampak psikologis dalam kaitannya dengan kesehatan gigi dan mulut (Oral

Health Related Quality of Life). Salah satu instrumen yang paling sering

digunakan adalah Oral Health Impact Profile (OHIP). Oral Health Impact Profile

ini terdiri dari tujuh dimensi dalam empat belas pertanyaan:

1. Keterbatasan fungsi,

2. rasa sakit fisik,

3. ketidaknyamanan psikis,

4. ketidakmampuan fisik,

5. ketidakmampuan psikis,

6. ketidakmampuan sosial, dan

7. handikap

Jawaban dinilai menggunakan skala Likert dengan evaluasi tipe 5 poin:

1. Tidak pernah = 0;

14
2. Jarang = 1,

3. Kadang-kadang = 2;

4. Berulang = 3;

5. Selalu = 4.

Dampak atas kualitas hidup dapat diukur melalui jumlah nilai ordinal dari 14

item dan / atau diambil dari dua item dalam masing-masing tujuh dimensi. Skor

yang lebih tinggi menunjukkan kualitas yang merupakan dampak akibat kelainan

pada gigi dan mulut yang nantinya akan mempengaruhi kualitas hidup dan

psikologis.14

Berdasarkan teori Blum, status kesehatan gigi dan mulut seseorang atau

masyarakat dipengaruhi oleh empat faktor penting yaitu keturunan, lingkungan

(fisik maupun sosial budaya), perilaku, dan pelayanan kesehatan. Dari keempat

faktor tersebut, perilaku memegang peranan yang penting dalam mempengaruhi

status kesehatan gigi dan mulut. Di samping mempengaruhi status kesehatan gigi

dan mulut secara langsung, perilaku dapat juga mempengaruhi faktor lingkungan

dan pelayanan kesehatan.15

15
BAB III

KERANGKA KONSEP

3.1. KERANGKA KONSEP

16
KETERANGAN :

VARIABEL YANG DITELITI

VARIABEL YANG TIDAK DITELITI

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 JENIS PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian observasional deskriptif.

4.2 DESAIN PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan desain penelitian scross-sectional untuk

mengumpulkan data-data kualitas hidup dan dampak psikologis dengan

pengisian kuisioner Oral Hygiene Impact-Profile 14 (OHI-P 14).

4.3 LOKASI PENELITIAN

Lokasi penelitian dilakukan di Kota Makassar, Sulawesi Selatan bertempat

di :

17
1. SMP Muhammadiyah 2 Makassar Kec. Ujung tanah

2. SMP Negeri 4 Makassar Kec. Tallo

3. SMP Negeri 10 Makassar Kec. Bontoala

4. SMP Negeri 5 Makassar Kec. Wajo

5. SMP Baji Minasa Kec. Mariso

6. SMP YP PGRI 3 Kec. Mamajang

7. SMP Perguruan Islam Ke. Ujung Tanah

8. SMP Cokroaminoto Makassar Kec. Makassar

9. SMP Hadijah Kec. Tamalate

10. SMP Rama Sejahtera Kec. Panakkukang

11. SMP Negeri 13 Makassar Kec. Rappocini

12. SMP Islam Athira Bukit Baruga Kec. Manggala

13. SMP Cokroaminoto Tamalanrea Kec. Tamalanrea

14. SMP Negeri 31 Makassar Kec. Biringkanaya

4.4 WAKTU PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan bulan Maret-Juli 2013

18
4.5 POPULASI PENELITIAN

Populasi penelitian yang digunakan adalah seluruh siswa-siswi yang hadir

pada saat screening di Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang telah

ditetapkan.

4.6 SAMPLE PENELITIAN

Siswa - siswi usia 13-15 Tahun yang memiliki kelainan supernumerary

teeth dan agenesis di Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang telah

ditetapkan.

4.7 METODE PENGAMBILAN SAMPEL

Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling

yaitu pemilihan sampel berdasarkan kriteria inklusi dan ekslusi.

14.2 KRITERIA SAMPEL

4.8.1 Kriteria Inklusi

1. Siswa-siswi SMP di Makassar yang telah ditentukan dan

memiliki kelainan agenesis atau supernumerary teeth yang

19
bersedia dan berpartisipasi untuk diwawancarai serta ingin

mengisi kuisioner dalam penelitian.

2. Pada laki-laki dan perempuan.

3. Pada usia 13-15 tahun.

4.8.2 Kriteria Ekslusi

1. Siswa-siswi SMP di Makassar yang telah ditentukan dan

memiliki kelainan agenesis atau supernumerary teeth yang

menolak dan tidak berpartisipasi untuk diwawancarai dan

mengisi kuisioner.

1.3 JUMLAH SAMPEL

Jumlah sampel pada penelitian ini berjumlah dua agenesis dan dua puluh dua

Supernumerary teeth.

1.4 VARIABEL PENELITIAN

20
Variable yang berkaitan pada penelitian ini yaitu

1.4.1 Variabel Independen (resiko/sebab) :

 Agenesis

 Supernumerary teeth

1.4.2 Variabel Dependen (efek) :

 Kualitas Hidup dan Dampak Psikologis

1.4.3 Variabel kendali :

 Usia

1..5DEFINISI OPERASIONAL

1. Supernumerary teeth adalah adanya gigi yang tumbuh berlebih

selain dari pada gigi permanen. Kebanyakan tumbuh di daerah

anterior (mesiodens), para molar, maupun parapremolar.

2. Agenesis adalah adanya gigi permanen yang tidak tumbuh pada

atau telah melewati waktu erupsinya yang dibuktikan dengan

foto rontgen panoramik.

3. Kualitas hidup merupakan ada tidaknya rasa sakit dan

ketidaknyamanan psikologis, ketidakmampuan fisik, psikologis

21
dan sosial serta kecacatan dan keterbatasan fungsional, yang

dinilai dengan menggunakan indeks OHIP-14

3.6 ALAT YANG DIGUNAKAN

1. Kuisioner OHI-P (14)

2. Alat tulis : untuk mencatat data.

2.7 DATA PENELITIAN

2.7.1 Jenis Data : Data primer.

2.7.2 Pengelolahan Data : Data diolah dengan menggunakan program komputer

SPSS 16.0

2.7.3 Teknik penyajian data : Data disajikan dalam bentuk tabel

2.8 KRITERIA PENILAIAN DAMPAK KESEHATAN GIGI DAN

MULUT

Untuk pengukuran digunakan indeks OHIP-14 (Oral Hygiene Impact

Profile-14) yang mengukur dimensi kualitas hidup dan dampak psikologis yang

berhubungan dengan kesehatan mulut, berisi 14 aspek pertanyaan mengenai :

1. Kesulitan berbicara.

2. Kesulitan mengecap makanan.

22
3. Rasa sakit hebat.

4. Tidak nyaman saat makan.

5. Perasaan cemas karena masalah oral.

6. Perasaan tegang karena masalah oral.

7. Ketidakpuasan saat makan makanan tertentu.

8. Terganggu saat makan.

9. Kesulitan beristirahat.

10. Rasa malu karena masalah oral.

11. Terganggu oleh orang lain.

12. Kesulitan melakukan pekerjaan.

13. Merasa kehidupan sangat tidak puas.

14. Ketidakmampuan beraktifitas karena masalah oral.

Setiap item pertanyaan dinilai berdasarkan skala Likert yaitu :

0 = Tidak pernah

1 = Hampir tidak pernah

2 = Kadang-kadang

23
3 = Hampir sering

4 = Sangat sering

Maka, kualitas hidup dan dampak psikologis dapat dinilai berdasarkan range

(0-56) dengan ketentuan sebagai berikut:

 Baik : 0-18

 Sedang : 19-37

 Buruk : 38-56

14..9 ANALISIS DATA

Analisa data dilakukan secara deskriptif dengan membuat uraian secara

sistematis mengenai hasil penelitian, kemudian mendistribusikannya ke dalam

bentuk tabel.

4.16 JALANNYA PENELITIAN

1. Pengisian kuisioner dilakukan dengan cara wawancara terpimpin,

2. Data formulir survey dikumpulkan, kemudian dilakukan pengolahan data

menggunakan program SPSS versi 16.0 sehingga diperoleh hasil penelitian.

24
BAB IV

HASIL PENELITIAN

Pada penelitian yang dilakukan di Makassar, tepatnya di 14 Sekolah

Menengah Pertama (SMP) di Makassar yakni SMP Islam Athira Bukit Baruga,

25
SMP Muhammadiyah 2, SMP Cokroaminoto, SMP Perguruan Islam, SMP Baji

Minasa, SMP Cokroaminoto Tamalanrea, SMP Khadijah, SMP Rama Sejahterah,

SMP PGRI 3 Makassar, SMP Neg. 10 Makassar, SMP Neg. 4 Makassar, SMP

Neg. 13 Makassar, SMP Neg. 5 Makassar dan SMP Neg. 31 Makassar. Pada bulan

Maret – Juli 2013. Berjumlah 5850 anak yang di screening dan didapatkan sampel

Supernumerary teeth berjumlah 22 orang dan Agenesis berjumlah 2 orang.

Tabel 1. Prevalensi sampel berdasarkan kelainan gigi Supernumerary teeth

dan Agenesis

Kelainan Gigi Sampel (n) Persen (%)

Supernumerary teeth 22 0,38

Agenesis 2 0,03

Tidak ada Kelainan 5826 99,59

TOTAL 5850 100

Berdasarkan tabel 1, memperlihatkan data tentang jumlah kelainan gigi

Supernumerary teeth dan Agenesis pada anak pada anak usia 13-15 tahun di

Makassar dari 5850 sampel yang diperiksa didapatkan adanya anomali

Supernumerary teeth sebanyak 22 sampel (0,38%), anomali Agenesis sebanyak 2

sampel (0,03%) dan tidak terdapat anomali sebanyak 5826 sampel (99,59%)

Tabel 2. Distribusi OHIP-14 berdasarkan kelainan gigi Supernumerary teeth

26
dan Agenesis

Jumlah Sample yang menjawab


Dimensi kualitas Tidak Sangat Kadang- Sangat
Kelainan Gigi Sering
hidup pernah jarang kadang sering
(%)
(%) (%) (%) (%)
Keterbatasan fungsional
Supernumerary
22 (100) 0 (0) 0 (0) 0 (0) 0 (0)
1. Kesulitan teeth
berbicara
Agenesis 2 (100) 0 (0) 0 (0) 0 (0) 0 (0)

Supernumerary
2. Kesulitan 17 (77.3) 5 (22.7) 0 (0) 0 (0) 0 (0)
teeth
mengecap
makanan Agenesis 2 (100) 0 (0) 0 (0) 0 (0) 0 (0)

Rasa sakit pada fisik

Supernumerary
14 (63.6) 1 (4.5) 6 (27.3) 1 (4.5) 0 (0)
3. Rasa sakit teeth
hebat
Agenesis 2 (100) 0 (0) 0 (0) 0 (0) 0 (0)

Supernumerary
14 (63.6) 2 (9.1) 2 (9.1) 2 (9.1) 2 (9.1)
4. Tdk nyaman teeth
saat makan
Agenesis 2 (100) 0 (0) 0 (0) 0 (0) 0 (0)

Ketidaknyamanan Psikologis

Supernumerary
19 (86.4) 2 (9.1) 1 (4.5) 0 (0) 0 (0)
5. Merasa teeth
cemas
Agenesis 2 (100) 0 (0) 0 (0) 0 (0) 0 (0)

Supernumerary
18 (81.8) 0 (0) 4 (18.2) 0 (0) 0 (0)
6. Merasa teeth
tegang
Agenesis 2 (100) 0 (0) 0 (0) 0 (0) 0 (0)

Ketidakmampuan Fisik

7. Tdk puas Supernumerary


14 (63.3) 2 (9.1) 6 (27.3) 0 (0) 0 (0)
makan teeth
makanan
Agenesis 2 (100) 0 (0) 0 (0) 0 (0) 0 (0)
tertentu

27
Supernumerary
19 (86.4) 0 (0) 3 (13.6) 0 (0) 0 (0)
8. Terganggu teeth
saat makan
Agenesis 2 (100) 0 (0) 0 (0) 0 (0) 0 (0)

Ketidakmampuan Psikologis

Supernumerary
16 (72.7) 0 (0) 2 (9.1) 2 (9.1) 2 (9.1)
9. Kesulitan teeth
beristirahat
Agenesis 1 (50) 1 (50) 0 (0) 0 (0) 0 (0)

Supernumerary
20 (90.9) 0 (0) 1 (4.5) 1 (4.5) 0 (0)
10. Merasa teeth
malu
Agenesis 2 (100) 0 (0) 0 (0) 0 (0) 0 (0)

Keterbatasan social

Supernumerary
11. Terganggu 20 (90.9) 0 (0) 1 (4.5) 1 (4.5) 0 (0)
teeth
oleh orang
lain Agenesis 2 (100) 0 (0) 0 (0) 0 (0) 0 (0)

Supernumerary
12. Kesulitan 20 (90.9) 0 (0) 1 (4.5) 1 (4.5) 0 (0)
teeth
melakukan
pekerjaan Agenesis 2 (100) 0 (0) 0 (0) 0 (0) 0 (0)

Hambatan

13. Merasa Supernumerary


20 (90.9) 0 (0) 2 (9.1) 0 (0) 0 (0)
kehidupan teeth
sngt tdk
Agenesis 2 (100) 0 (0) 0 (0) 0 (0) 0 (0)
puas
Supernumerary
14. Ketidakma 9 (40.9) 2 (9.1) 9 (40.9) 2 (9.1) 0 (0)
teeth
mpuan
beraktifitas Agenesis 1 (50) 0 (0) 1 (50) 0 (0) 0 (0)

Tabel 2 menunjukkan distribusi OHIP-14 berdasarkan kelainan gigi

responden. Dimana terdiri dari tujuh dimensi dan dibagi menjadi 14 pertanyaan.

Setiap dimensi kualitas hidup diwakili sebanyak dua pertanyaan.

28
Pada pertanyaan tiap dimensi sangat terlihat perbedaan yang signifikan

antara penderita supernumerary teeth dengan agenesis. Untuk penderita

supernumerary teeth Pada dimensi keterbatasan fungsional untuk ‘kesulitan

berbicara’ semuanya menjawab ‘tidak pernah’ dan ‘kesulitan mengecap makanan’

paling banyak menjawab ‘tidak pernah’ dan paling sedikit menjawab ‘sangat

jarang’. Dimensi kedua yaitu rasa sakit pada fisik, untuk ‘rasa sakit sakit hebat’

dan ‘tidak nyaman saat makan’ paling banyak menjawab ‘tidak pernah’ dan paling

sedikit menjawab ‘sering’. Pada dimensi ketidaknyamanan psikologis yaitu

‘merasa cemas’ dan ‘merasa tegang’. paling banyak menjawab ‘tidak pernah’ dan

paling sedikit menjawab ‘kadang-kadang’.

Pada dimensi ‘ketidakmampuan fisik’, dari kedua pertanyaan yaitu ‘tidak

puas saat makan makanan tertentu’ dan ‘terganggu saat makan’ paling banyak

menjawab ‘tidak pernah’ dan paling sedikit menjawab ‘kadang-kadang’. Dimensi

berikutnya yaitu ‘ketidakmampuan psikologis’ dimana untuk kedua pertanyaan

paling banyak menjawab ‘tidak pernah’ dan paling sedikit menjawab ‘sering’.

Pada dimensi ‘keterbatasan sosial’ dan ‘hambatan’, untuk keduanya dimana untuk

kedua pertanyaan paling banyak menjawab ‘tidak pernah’ dan paling sedikit

menjawab ‘kadang-kadang’.

Sangat berbeda dengan penderita agenesis yang hampir semua dimensi

menjawab ‘tidak pernah’ pada semua pertanyaan, kecuali pada dimensi

‘ketidakmampuan psikologis’ pada pertanyaan ‘kesulitan beristirahat’ sebagian

29
menjawab ‘tidak pernah’ dan sebagian menjawab ‘sangat jarang’. Juga pada

dimensi ‘hambatan’ pada pertanyaan ‘ketidakmampuan beraktifitas’ sebagian

menjawab ‘tidak pernah’ dan sebagian menjawab ‘kadang-kadang.’

Tabel 3. Distribusi kualitas hidup berdasarkan kelaianan gigi dan mulut

Kualitas hidup

Kelainan
Baik Sedang Buruk
Gigi

(%) (%) (%)

Supernume
21 (95.5) 2 (4.5) 0 (0)
rary teeth

Agenesis 2 (100) 0(0) 0 (0)

Total 23 (92) 2 (8) 0 (0)

Tabel 3 distribusi kualitas hidup (OHIP-14) menunjukkan bahwa penderita

supernumerary teeth dan agenesis paling banyak memiliki kualitas hidup baik

yaitu sebanyak 21 (95.5%) orang dan 2 (100%) orang.

30
Tabel 4. Rerata OHIP-14 berdasarkan kelainan gigi dan mulut (Supernumerary

teeth dan agenesis)

Pekerjaan OHI-P P

Supernumerary teeth 6,23±5,511


0,145
Agenesis 1,50±0,707

Uji Mann-Whitney

Tabel 4 Rerata OHIP-14 berdasarkan kelainan Gigi dan Mulut

menunjukkan rentan nilai :

a. Supernumerary teeth 6,23±5,511 yaitu 0,719-11,741 yang

menunjukkan kualitas hidupnya baik.

b. Agenesis 1,50±0,707 yaitu 0,793-2.207 yang menunjukkan kualitas

hidupnya baik

Nilai rerata P menunjukkan  > 0,05 sehingga tidak ada dampak dan

pengaruh yang signifikan antara Supernumerary teeth dan agenesis terhadap

psikologis dan kualitas hidup anak usia 13-15 tahun di Kota Makassar.

31
BAB V

PEMBAHASAN

Supernumerary teeth dan agenesis adalah kelainan jumlah pertumbuhan

gigi yang menyimpang dari rumus jumlah gigi normal. Kelainan tersebut sangat

sering dijumpai pada anak usia sekolah (13-15 tahun). Kondisi demikian sangat

mempengaruhi kesehatan dalam kaitannya kualitas hidup sebagai konsep multi

dimensi yang merujuk pada keadaan fisik pasien, psikologis, dan kesejahteraan

social.

Sebagai dampak yang ditimbulkan dari supernumerary teeth dan agenesis

ialah pertumbuhan gigi yang berlebih ataupun kurang bahkan tidak tumbuh dan

keterlambatan erupsi gigi yang dapat menyebabkan kondisi tidak normal sehingga

menyebabkan kelainan susunan gigi (crowded maupun diastema) yang sangat

mempengaruhi estetis dari penderita yang berdampak pada gangguan psikologis

khususnya pada anak.4,8,9,11,14

Penelitian ini dilakukan di 14 sekolah menengah pertama di Kota

Makassar pada bulan Maret-Juli 2013. Subjek penelitian adalah anak usia 13-15

tahun yang menderita Supernumerary teeth dan Agenesis. Penelitian ini bertujuan

32
untuk melihat perbedaan kualitas hidup antara anak yang mengalami

Supernumerary teeth dan Agenesis. Sampel dalam penelitian ini terdiri dari 24

orang dengan jumlah penderita Supernumerary teeth sebanyak 22 orang dan

agenesis sebanyak 2 orang. (Tabel 1).

Pada penelitian ini, kualitas hidup yang terdiri dari 7 dimensi dengan 14

pertanyaan. Pada tabel 2 terlihat distribusi jawaban responden terhadap 14

pertanyaan yang diajukan. Secara umum, dari setiap pertanyaan dalam tiap

dimensi, baik responden supernumerary teeth maupun agenesi, umumnya

menjawab ‘tidak pernah’ dan sedikit menjawab ‘kadang-kadang’ merasa

terganggu dengan penyakit gigi yang mereka derita. Hanya dua orang saja yang

menjawab ‘sangat sering’ merasa terganggu.

Tetapi dilihat dari faktor responden yang masih usia SMP dan adanya

budaya malu yang tinggi pada masyarakat di daerah tersebut sehingga dalam

menjawab pertanyaan cenderung tidak sesuai dengan keadaan yang dialami.

Adanya penyakit oral dapat memberikan dampak pada kualitas hidup

meliputi berbagai keadaan termasuk fungsi mengunyah, makan, bicara serta

psikologis seseorang. Selanjutnya dapat memberikan dampak berupa menurunnya

interaksi sosial, rasa sejahtera, harga diri dan perasaan berguna.16

Indikator kualitas hidup dalam kaitannya dengan kesehatan mulut

menggunakan pengukuran seberapa besar masalah gigi dan mulut mempengaruhi

fungsi normal kehidupan seseorang. Penelitian oleh Biazevic et al di Brazil,

33
menggunakan instrumen oral health impact profile (OHIP) untuk meneliti kualitas

hidup dan dampak psikologis dalam kaitannya dengan kesehatan mulut

mengatakan bahwa penyakit oral berdampak terhadap kualitas hidup.16,17

Tidak ada pengaruh dan dampak yang bermakna tentang kelainan

supernumerary teeth dan agenesis terhadap kualitas hidup anak usia 13-15 tahun.

Penderita kelainan supernumerary teeth dan agenesis dalam dimensi

Ketidakmampuan psikologis dan keterbatasan social paling banyak menjawab

tidak pernah merasa malu dan merasa sulit untuk melakukan pekerjaan. Hal ini

kemungkinan disebabkan karena rendahnya tingkat pengetahuan, sosial ekonomi

dan kesadaran masyarakat termasuk kondisi normal pertumbuhan gigi dan

perhatian terhadap kesehatan gigi mulut.

34
BAB VI

PENUTUP

6.1. SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, rerata OHIP Penderita

supernumerary teeth dan agenesis yaitu 6,23±5,511 dan 1,50±0,707 dengan status

kualitas hidup baik. Nilai rerata P yaitu  > 0,05, disimpulkan bahwa tidak

terdapat dampak dan pengaruh yang signifikan tentang kelainan supernumerary

teeth dan agenesis dengan psikologis dan kualitas hidup anak usia 13-15 tahun.

6.2. SARAN

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mendukung hasil dari

penelitian ini karena adanya kemungkinan responden tidak menjawab

dengan jujur karena malu atau ingin mendapatkan hasil yang terbaik.

35
2. Diharapkan adanya kegiatan penyuluhan rutin upaya pemberian

pengetahuan khususnya tentang supernumerary teeth dan agenesis guna

peningkatan kualitas kesehatan gigi dan mulut sehingga seluruh

masyarakat dapat memiliki kesehatan gigi dan mulut yang optimal.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sriyono Niken Widyanti, Prof., drg., MDSc. Pencegahan Penyakit Gigi

dan Mulut Guna Meningkatkan Kualitas Hidup. Pidato Pengukuhan Guru

Besar pada Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada. 2009.

2. Kwan Y.L Stella, Peterson Erik Poul, Pine M Cynthia, Borutta Annerson.

Health-Promoting schools: an opportunity for oral health promotion.

Bulletin of the World Health Organization. 2005. September; 83(9).

3. Al Shamrany M. Oral Helath-related quality of life: a broader perspective.

La Revue de sante de la mediterranee orientale. 2006. Vol. 12.

4. Locker David, Jokovic Aleksandra, Tompson Bryan. Health-Related

quality of life of children aged 11 to 14 years with orofacial condition.

Cleft palate-Craniofacial Journal. 2005. May; Vol. 42 No.3.

36
5. Dewi Oktavia. Analisis hubungan maloklusi dengan kualitas hidup pada

remaja SMU kota medan tahun 2007. Tesis. 2008.

6. Kelainan gigi akibat gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Available

from :

http://www.scribd.com/doc/74333664/Kgm-427-Slide-Kelainan-Gigi-Akibat-Gan

gguan-Pertumbuhan-Dan-an. Accessed Agustus 17, 2013.

7. Shetty Pushparaja, Adyanthaya Amith, Adyanthaya Soniya, Sreelatha SV.

The prevalence of Hypodontia and Supernumerary teeth in 2469 school

children of the Indian population: an epidemiological Study. Indian J

Stomatol. 2012; 3(3):150-52.

8. Celigoklu Mevlut, Kamak Hasan, Oktay Husamettin. Prevalence and

characteristic of supernumerary teeth in a non-syndrom turkish population:

Associated pathologies and proposed treatment. Med oral patol oral cir

bucal. 2010 Jul 1;15 (4):e575-8.

9. Sungkar S, Soenawan H. Agenesis bilateral insisivus sentral rahang

bawah. M.I Kedokteran Gigi. Desember 2008; vol.23, No.4.

37
10. Simoes, F.X.P.C., Crusoe-Rebello I, Neves F.S, Oliveira-santos C,

Ciamponi A.L. & Da Silva Filho O.G. Prevalence of supernumerary teeth

in orthodontic patients from southwestern Brazil. Int. J. Odontostomat.,

2011; 5(2):199-202.

11. Polder BJ, Van’t Hof MA, Van der Linden FPGM, Kuijpers-Jagtman AM.

A meta-analysis of the prevalence of dental agenesis of permanent teeth.

Community Dent Oral Epidemiol 2004; 32: 217–26.

12. Tampobulun Situmorang N. Dampak karies gigi dan penyakit periodontal

terhadap kualitas hidup. Pidato pengukuhan jabatan guru besar tetap dalam

bidang ilmu kedokteran gigi pencegahan/kesehatan gigi masyarakat pada

Fakultas Kedokteran Gigi. Medan. 16 November 2005.

13. Division of mental health and prevention of substance abuse Worlf Health

Organization. WHOQOL Measuring Quality Of Life. The World Health

Organization Quality Of Life Instruments.

14. Papagiannopoulou V, Oulis J C, Papaioannou W, Antonogeorgos G,

Yfantopoulos J. Validation of a greek version of the oral health impact

38
profile (OHIP-14) for use among adults. Health and quality of life

outcomes. 2012; 10:7.

15. Anitasari Silvia, Rahayu Endang N. Hubungan frekuensi menyikat gigi

dengan tingkat kebersihan gigi dan mulut siswa sekolah dasar negeri di

kecamatan Palaran kotamadya Samarinda Provinsi Kalimantan Timur.

Maj. Ked. Gigi. (Dent. J.), April-Juni 2005; Vol.38, No.2: 88-90.

16. Wangsarahardja K, Dharmawan O V, Kasim E. Hubungan antara status

kesehatan mulut dan kualitas hidup pada lanjut usia. Universa Medicina.

Oktober-Desember 2007; 26(4): 186-94

17. Biazevic MGH, Michel Crosato E, Iagher F, Pooter CE, Correa SL, Grasel

CE. Impact of oral health on quality of life among the elderly population of

Joaçaba, Santa Catarina, Brazil. Braz Oral Res 2004;18(1):85-91.

39

Anda mungkin juga menyukai