Anda di halaman 1dari 19

Definisi

Erupsi obat adalah respon abnormal seseorang terhadap bahan obat atau
metabolitnya yang terjadi selama atau setelah pemberian obat.

Epidemiologi
Belum didapatkan angka kejadian yang pasti terhadap kasus erupsi alergi
obat, tetapi berdasarkan data yang berasal dari rumah sakit, studi epidemiologi, uji
klinis terapeutik obat dan laporan dari dokter, diperkirakan kejadian alergi obat
adalah 2% dari total pemakaian obat-obatan atau sebesar 15-20% dari keseluruhan
efek samping pemakaian obat-obatan. .Angka kejadian erupsi obat di Klinik Alergi
Imunologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM tahun 2009 adalah sebesar
0,07 % dengan manifestasi terbanyak pada kulit. Insiden erupsi obat pada pasien
anak yang menjalani rawat inap berkisar antara 0,5 – 4,51 % pada beberapa
penelitian dan pada pasien anak yang menjalani rawat jalan adalah antara 0,7-2,7%.
Hasil survei prospektif sistematik yang dilakukan oleh Boston Collaborative
Drug Surveillance Program menunjukkan bahwa reaksi kulit yang timbul terhadap
pemberian obat adalah sekitar 2,7% dari 48.000 pasien yang dirawat pada bagian
penyakit dalam dari tahun 1989 sampai 2008. Sekitar 3% seluruh pasien yang
dirawat di rumah sakit ternyata mengalami erupsi kulit setelah mengkonsumsi obat-
obatan.

Faktor Risiko
Faktor-faktor yang memperbesar risiko timbulnya erupsi obat adalah:
a. Jenis kelamin
Wanita mempunyai risiko untuk mengalami gangguan ini jauh lebih tinggi
jika dibandingkan dengan pria. Walaupun demikian, belum ada satupun ahli yang
mampu menjelaskan mekanisme ini.
b. Sistem imunitas
Erupsi alergi obat lebih mudah terjadi pada seseorang yang mengalami
penurunan sistem imun. Pada penderita AIDS misalnya, penggunaan obat
sulfametoksazol justru meningkatkan risiko timbulnya erupsi eksantematosa 10
sampai 50 kali dibandingkan dengan populasi normal.
c. Usia

1
Alergi obat dapat terjadi pada semua golongan umur terutama pada
anak-anak dan orang dewasa. Pada anak-anak mungkin disebabkan karena
perkembangan sistem immunologi yang belum sempurna. Sebaliknya, pada
orang dewasa disebabkan karena lebih seringnya orang dewasa berkontak
dengan bahan antigenik. Umur yang lebih tua akan memperlambat munculnya
onset erupsi obat tetapi menimbulkan mortalitas yang lebih tinggi bila terkena
reaksi yang berat.
d. Dosis
Pemberian obat yang intermiten dengan dosis tinggi akan memudahkan
timbulnya sensitisasi. Tetapi jika sudah melalui fase induksi, dosis yang sangat
kecil sekalipun sudah dapat menimbulkan reaksi alergi. Semakin sering obat
digunakan, semakin besar pula kemungkinan timbulnya reaksi alergi pada
penderita yang peka.
e. Infeksi dan keganasan
Mortalitas tinggi lainnya juga ditemukan pada penderita erupsi obat berat
yang disertai dengan keganasan.
f. Atopik
Faktor risiko yang bersifat atopi ini masih dalam perdebatan.
g. Reaksi Obat Sebelumnya
Hipersensitivitas terhadap obat tidak sama dalam jangka waktu yang
tidak terbatas. Pasien dengan riwayat hipersensitivitas mempunya tendensi lebih
tinggi untuk terjadinya sensitivitas terhadap obat baru.
Etiologi
Untuk dapat mengetahui obat yang menyebabkan erupsi perlu dilakukan
anamnesis yang cermat. Namun, hal ini sulit dilakukan karena satu obat dapat
menimbulkan berbagai macam erupsi, dan sebaliknya, satu erupsi dapat disebabkan
oleh berbagai macam obat. Selain itu, erupsi obat obat pada anak-anak memiliki
manifestasi klinis yang mirip seperti gangguan kulit yang disebabkan oleh virus atau
bakteri.3
Suatu obat dikatakan definitif sebagai agen kausatif erupsi obat apabila
memenuhi beberapa kriteria, yakni : terdapat urutan temporal yang wajar
ditemukannya kadar obat di dalam cairam tubuh, diikuti suatu respon terhadap obat
tersebut, terjadi perbaikan setelah penghentian obat, dan reaksi muncul kembali
setelah pajanan ulang.

2
Tabel 1. Pola Reaksi Klinis dan Obat Tersangka
Tabel 1.
Eksantema Erupsi Linchenoid :

Ampisilin, Penisilin Anti malaria


Phenilbutazone Beta blockers
Sulfonamid Chlorpropamide
Phenitoin Methyl dopa
Karbamazepin Penisilamin
Gold Phenilbutazone
Streptomisin.
Allopurinol

Eritema multiforme and Steven

Johnson Syndrome:
Trimetoprim
Penisilin
Griseofulvin
Tetrasiklin
NSAID

Anticonvulsant
Tokxicepidermal necrolysis Acneform eruptions :

Allopurinol Corticosteroids
Aspirin Anabolic steroids
Penicillin Androgens (in female)
Phenytoin Oral contraceptives
Iodides and bromides
Lithium
Sulfasalazine

Isoniazid

Patofisiologi (Pathway terlampir)


Erupsi obat terjadi melalui dua mekanisme, yaitu mekanisme imunologis dan
mekanisme non imunologis. Umumnya erupsi obat timbul karena reaksi
hipersensitivitas berdasarkan mekanisme imunologis. Obat dan metabolit obat
berfungsi sebagai hapten, yang menginduksi antibodi humoral. Reaksi ini juga dapat
terjadi melalui mekanisme non imunologis yang disebabkan karena toksisitas obat,
over dosis, interaksi antar obat dan perubahan dalam metabolisme.

3
Tabel 2. Reaksi imunologis dan non imunologis6

Tipe Contoh
Imunologis
Reaksi tipe I (IgE-mediated) Anafilaksis akibat antibiotik ß-laktam
Reaksi tipe II (sitotoksik) Anemia hemolitik akibat penisilin
Reaksi tipe III (kompleks imun) Serum sickness akibat globulin anti-
timosit
Reaksi tipe IV (delayed, cell-mediated)
Dermatitis kontak akibat antihistamin
Aktivasi sel T spesifik topikal
Fas/fas ligand-induced apoptosis Morbiliform rash akibat sulfonamid
Steven-Johnson syndrome
Lain-lain Toxic epidermal necrolysis
Drug-induced lupus like syndrome
Sindrom hipersensitivitas antikonvulsan
Non imunologis
Dapat diprediksi
Efek samping farmakologis Mulut kering karena antihistamin
Efek samping farmakologis sekunder Thrush akibat antibiotik
Toksisitas obat Hepatotoksik akibat metotreksat
Interaksi obat Kejang akibat teofilin ketika
mengkonsumsi eritromisin
Overdosis obat
Kejang akibat overdosis lidokain
Tidak dapat diprediksi
Pseudo alergi
Reaksi anafilaksis akibat radiokontras
Idiosinkrasi
Anemia hemolitik pada pasien dengan
Intoleran defisiensi G6PD setelah terapi primakuin
Tinitus setelah pemberian aspirin dosis
rendah

a. Mekanisme Imunologis
Tipe I (Reaksi anafilaksis)
Mekanisme ini paling banyak ditemukan. Yang berperan ialah Ig E yang
mempunyai afinitas yang tinggi terhadap mastosit dan basofil. Pajanan pertama dari
obat tidak menimbulkan reaksi. Tetapi bila dilakukan pemberian kembali obat yang
sama, maka obat tersebut akan dianggap sebagai antigen yang akan merangsang
pelepasan bermacam-macam mediator seperti histamin, serotonin, bradikinin,
heparin dan SRSA. Mediator yang dilepaskan ini akan menimbulkan bermacam-
macam efek, misalnya urtikaria. Reaksi anafilaksis yang paling ditakutkan adalah
timbulnya syok.
Tipe II (Reaksi Autotoksik)

4
Adanya ikatan antara Ig G dan Ig M dengan antigen yang melekat pada sel.
Aktivasi sistem komplemen ini akan memacu sejumlah reaksi yang berakhir dengan
lisis.
Tipe III (Reaksi Kompleks Imun)
Antibodi yang berikatan dengan antigen akan membentuk kompleks antigen
antibodi. Kompleks antigen antibodi ini mengendap pada salah satu tempat dalam
jaringan tubuh mengakibatkan reaksi radang. Aktivasi sistem komplemen
merangsang pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Sebagai akibatnya, akan
terjadi kerusakan jaringan.

Tipe IV (Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat)


Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersensitasi mengadakan
reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat karena baru timbul 12-
48 jam setelah pajanan terhadap antigen.
b. Mekanisme Non Imunologis
Reaksi "Pseudo-allergic" menstimulasi reaksi alergi yang bersifat antibody-
dependent. Salah satu obat yang dapat menimbulkannya adalah aspirin dan kontras
media. Teori yang ada menyatakan bahwa ada satu atau lebih mekanisme yang
terlibat; pelepasan mediator sel mast dengan cara langsung, aktivasi langsung dari
sistem komplemen, atau pengaruh langsung pada metabolisme enzim asam
arachidonat sel.
Efek kedua, diakibatkan proses farmakologis obat terhadap tubuh yang dapat
menimbulkan gangguan seperti alopesia yang timbul karena penggunaan
kemoterapi anti kanker. Penggunaan obat-obatan tertentu secara progresif ditimbun
di bawah kulit, dalam jangka waktu yang lama akan mengakibatkan gangguan lain
seperti hiperpigmentasi generalisata diffuse.
c. Unknown Mechanisms
Selain dua mekanisme diatas, masih terdapat mekanisme lain yang belum
dapat dijelaskan.
2.6 Perjalanan Penyakit
Penggolongan alergi obat dapat didasarkan pada selang waktu timbulnya
gejala-gejala alergi sesudah pemberian obat sebagai berikut:
Tabel 3. Pengelompokan erupsi yang timbul berdasarkan waktu

Segera Cepat Lambat Sangat lambat


Urtikaria Urtikaria Urtikaria Anemia hemolitik
Hipotensi Erupsi morbiliformis Eksantema Trombositopenia
Asma Edema laring Serum Granulositopenia
Edema laring Sindroma Steven-Johnson

5
sickness Gagal ginjal akut
Drug fever Sindroma lupus
Cholestatic jaundice

Reaksi alergik yang segera (immediate), terjadi dalam beberapa menit dan
ditandai dengan urtikaria, hipotensi dan syok. Bila reaksi itu membahayakan jiwa
maka disebut syok anafilaksis. Reaksi yang cepat (accelerated) timbul dari 1 sampai
72 jam sesudah pernberian obat dan kebanyakan bermanifestasi sebagai urtikaria.
Kadang-kadang berupa rash morbilliform atau edema laring. Reaksi yang lambat
(late) timbul lebih dari 3 hari. Diperkirakan reaksi jenis cepat dan lambat ini
ditimbulkan oleh antibodi IgG, tetapi beberapa reaksi hemolitik dan eksantema
dihubungkan dengan antibodi IgM.
2.7 Manifestasi Klinis
Perlu diketahui bahwa erupsi alergi obat yang timbul akan mempunyai
kemiripan dengan gangguan kulit lain pada umumnya, gangguan itu diantaranya;
a. Urtikaria
Kelainan kulit terdiri atas urtika yang tampak eritem disertai edema akibat
tertimbunnya serum dan disertai rasa gatal. Bila dermis bagian dalam dan jaringan
subkutan mengalami edema, maka timbul reaksi yang disebut angioedema.
Angioedema ini biasanya unilateral dan nonpruritus, dapat hilang dalam jangka
waktu 1-2 jam. Tetapi kadang dapat bertahan selama dua sampai lima hari.
Pelepasan mediator inflamasi dari suatu aktifasi yang bersifat non imunologis juga
dapat menimbulkan reaksi urtikaria. Urtikaria dan angioedema sangat berhubungan
dengan Ig-E sebagai suatu respon cepat terhadap penisilin maupun antibiotik
lainnya. Obat lain misalnya angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dalam
jangka waktu satu jam juga dapat menimbulkan urtikaria.
Gambar 1. Urtikaria yang disebabkan oleh penggunaan penisilin5

6
b. Eritema
Kemerahan pada kulit akibat melebarnya pembuluh darah. Warna merah
akan hilang pada penekanan. Ukuran eritema dapat bermacam-macam. Jika
besarnya lentikuler maka disebut eritema morbiliformis, dan bila besarnya numular
disebut eritema skarlatiniformis.
c. Dermatitis medikamentosa
Gambaran klinisnya memberikan gambaran serupa dermatitis akut, yaitu
efloresensi yang polimorfik, membasah, berbatas tegas. Kelainan kulit menyeluruh
dan simetris.
d. Purpura
Purpura ialah perdarahan di dalam kulit berupa kemerahan pada kulit yang
tidak hilang bila ditekan. Purpura dapat timbul bersama-sama dengan eritem dan
biasanya disebabkan oleh permeabilitas kapiler yang meningkat.
e. Erupsi eksantematosa
Lebih dari 90% erupsi obat yang ditemukan berbentuk erupsi eksantematosa.
Erupsi yang muncul dapat berbentuk morbiliformis atau makulopapuler. Pada
mulanya akan terjadi perubahan yang bersifat eksantematosa pada kulit tanpa
didahului blister ataupun pustulasi. Erupsi bermula pada daerah leher dan menyebar

7
ke bagian perifer tubuh secara simetris dan hampir selalu disertai pruritus. Erupsi
baru muncul sekitar satu minggu setelah pemakaian obat dan dapat sembuh sendiri
dalam jangka waktu 7 sampai 14 hari. Pemulihan ini ditandai dengan perubahan
warna kullit dari merah terang ke warna coklat kemerahan, yang disertai dengan
adanya deskuamasi kulit.
Erupsi eksantematosa dapat disebabkan oleh banyak obat termasuk
penisilin, sulfonamid, dan obat antiepiletikum. Dari hasil data laboratorium diketahui
bahwa T sel juga ikut terlibat dalam reaksi ini karena sel T dapat menangkap jenis
obat tanpa perlu memodifikasi protein dari hapten. Jika kelainan ini timbul berkali-kali
ditempat yang sama maka disebut eksantema fikstum.
Tabel 3. Beberapa obat yang menimbulkan erupsi eksantematosa

Alopurinol
Antimikrobial: sefalosporin, penisilin, klorampenikol, eritromisin, gentamisin,
amfoterisin, obat anti tuberkulosis, asam nalidiksik, nitrofurantoin, sulfonamid
Barbiturat
Kaptopril
Karbamasepin
Furosemid
Gold salts
Lithium
Fenotiasin
Fenilbutason
Fenitoin
Tiasid

Tempat predileksi disekitar mulut, terutama di daerah bibir dan daerah penis
pada laki-laki, sehingga sering disangka penyakit kelamin. Apabila adanya residif di
tempat yang sama maka disebut dengan eksantema fikstum.
Gambar 2. Sejumlah papul berwarna pink pada daerah dada disebabkan oleh
penggunaan obat golongan sefalosporin.

8
f. Eritema nodosum
Kelainan kulit berupa eritema dan nodus-nodus yang nyeri disertai gejala
umum berupa demam, dan malaise. Tempat perdileksi ialah di regio ekstensor
tungkai bawah.
g. Eritroderma
Eritroderma pada penderita alergi obat berbeda dengan eritroderma pada
umumnya yang biasanya disertai eritem dan skuama. Pada penderita alergi obat
terlihat adanya eritema tanpa skuama, skuama justru baru akan timbul pada stadium
penyembuhan.
h. Erupsi pustuler
Ada dua jenis erupsi, pertama erupsi akneiformis dan kedua Pustulosis
Eksantematosa Generalisata Akut (PEGA). Erupsi Akneiformis dihubungkan dengan
penggunaan obat seperti iodida, bromida, ACTH, glukokortikoid, isoniazid, androgen,
litium dan actinomisin. Erupsi timbul pada daerah-daerah yang atipikal seperti
lengan dan kaki berbentuk monomorf berbentuk akne tanpa disertai komedo.
Penyakit Pustulosis Eksantema Generalisata Akut (PEGA) memberikan
gambaran pustul miliar non folikular yang eritematosa disertai purpura dan lesi

9
menyerupai lesi target. Kelainan kulit timbul bila seseorang mengalami demam tinggi
(>380C). Pustul tersebut cepat menghilang dalam jangka waktu kurang dari 7 hari
kemudian diikuti oleh deskuamasi kulit. Pada pemeriksaan histopatologis didapat
pustul intraepidermal atau subkorneal yang dapat disertai edema dermis, vaskulitis,
infiltrat polimorfonuklear perivaskuler dengan eosinofil atau nekrosis fokal sel-sel
keratinosit. Walaupun demikian, penyakit ini sangat jarang terjadi.
i. Erupsi bulosa
Erupsi bulosa ini ditemukan pada pemphigus foliaceus, fixed drug eruption
(FDE), erythema multiforme major (EM-major), SSJ dan TEN

 Pemphigus.
Obat yang dapat menyebabkannya adalah golongan penisilin dan
golongan thiol. Drug-induced bullous pemphigoid dapat terlihat dalam
beberapa bentuk. Dimulai dari urtikaria hingga terbentuk bulla yang luas
dengan melibatkan kavitas mukosa mulut, dapat juga berupa beberapa bulla
dalam ukuran sedang atau berupa plak dan nodul yang disertai skar dan
bulla. Gangguan ini dapat muncul kembali pada 35-50 persen kasus sebagai
pemphigus foliaceus.
 Fixed Drug Eruption (FDE).
Lesi baru akan timbul satu minggu sampai dua minggu setelah
paparan pertama kali dan akan diikuti timbul lesi berikutnya dalam jangka
waktu 24 jam. FDE ini akan terlihat sebagai makula yang soliter, eritematosa
dan berwarna merah terang dan dapat berakhir menjadi suatu plak
edematosa. Lesi biasanya akan muncul di daerah bibir, wajah, tangan, kaki
dan genitalia. Apabila penderita memakan obat yang sama, maka FDE akan
muncul kembali ditempat yang sama. Histologisnya, FDE serupa dengan
erythema multiformis yang ditandai dengan adanya limfosit di dermal-
epidermal junction dan perubahan degeneratif dari epitel yang disertai
diskeratosis. FDE kronis memberikan gambaran acanthosis, hiperkeratosis,
dan hipergranulosis dan dapat ditemukan eosinofil dan neutrofil. Terdapat
peningkatan jumlah sel T helper dan sel T supresor pada tempat lesi.2,3,7
Gambar 3. Makula erimatosa yang berbatas tegas di daerah lengan pada
penderita FDE5

10
 Eritema multiformis merupakan erupsi mendadak dan rekuren pada kulit
dan/atau selaput lendir dengan tanda khas berupa lesi iris (target lesion).

Gambar 4. Eritema Multiformis5

 Sindrom Stevens-Johnson (ektodermosis erosiva pluriorifisialis, sindrom


mukokutaneaokular, eritema multiformis tipe Hebra, eritema multiforme
mayor, eritema bulosa maligna) adalah sindrom kelainan kulit berupa
eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput

11
lendir orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai
buruk.3,7
 Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) adalah penyakit kulit akut dan berat
dengan gejala khas berupa epidermolisis yang menyeluruh, disertai kelainan
pada selaput lendir di orifisium genitalia eksterna dan mata. Kelainan pada
kulit dimulai dengan eritema generalisata kemudian timbul banyak vesikel
dan disertai purpura di wajah, ekstremitas, dan badan. Kelainan pada kulit
dapat disertai kelainan pada bibir dan selaput lendir mulut berupa erosi dan
ekskoriasi. Lesi kulit dimulai dengan makula dan papul eritematosa kecil
(morbiliformis) disertai bula lunak (flaccid) yang dengan cepat meluas dan
bergabung. Pada NET yang penting ialah terjadinya epidermolisis, yaitu
epidermis terlepas dari dasarnya dengan gambaran klinisnya menyerupai
luka bakar.2,3
Adanya epidermolisis menyebabkan tanda Nikolsky positif pada kulit
yang eritematosa, yaitu jika kulit ditekan dan digeser maka kulit akan
terkelupas. Epidermolisis mudah dilihat pada tempat yang sering terkena
tekanan, yakni punggung, aksila, dan bokong. Pada sebagian pasien
kelainan kulit hanya berupa epidermolisis dan purpura tanpa disertai erosi,
vesikel, dan bula. Pada NET, kuku dapat terlepas dan dapat terjadi
bronkopneumonia. Kadang-kadang dapat terjadi perdarahan di traktus
gastrointestinal. Umumnya NET terjadi pada orang dewasa. NET merupakan
penyakit berat dan sering menyebabkan kematian karena gangguan
keseimbangan cairan/elektrolit atau sepsis.7

Pemeriksaan Diagnostik
a. Uji in vivo
Uji kulit yang tepat dilakukan memakai bahan yang bersifat imunogenik yaitu
determinan antigen dari obat atau metabolitnya. Bahan uji kulit harus bersifat non
iritatif untuk menghindari positif palsu. Uji ini manfaatnya sangat terbatas karena baru
sedikit sekali determinan antigen obat yang sudah diketahui dan tersedia untuk uji
kulit. Dengan uji kulit hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap makro molekul:
insulin, antisera, ekstrak organ, sedang untuk mikromolekul sejauh ini hanya dapat
diidentifikasi alergi terhadap penisilin saja.
Uji provokasi dapat memastikan diagnosis alergi obat, tetapi merupakan
prosedur diagnostik terbatas karena mengandung resiko yang berbahaya yaitu

12
terjadinya anafilaksis sehingga hanya dianjurkan dilakukan ditempat yang memiliki
fasilitas dan tenaga yang memadai. Karena itu maka uji provokasi merupakan
indikasi kontra untuk alergi obat yang berat misalnya anafilaksis, sindroma Steven
Johnson, dermatitis eksfoliatif, kelainan hematology, eritema vesiko bulosa. Uji
provokasi dilakukan setelah eliminasi yang lamanya tergantung dari masa paruh
setiap obat.

b. Uji in vitro
Uji in vitro untuk alergi obat lebih lazim digunakan dalam penelitian.
Pemeriksaan yang dilakukan antara lain IgG dan IgM spesifik, uji aglutinasi dan lisis
sel darah merah, RAST, uji pelepasan histamin,uji sensitisasi jaringan (basofil/lerkosit
serta esai sitokin dan reseptor sel), sedangkan pemeriksaan rutin seperti IgE total
dan spesifik, uji Coomb’s, uji komplemen dan lain-lain bukanlah untuk konfirmasi
alergi obat.
Kesulitan yang terbesar dalam membuat diagnosis adalah untuk mengetahui
apakah benar ada hubungan antara manifestasi klinis dengan pemberian obat dan
apakah gejala klinis tersebut bukan merupakan bagian dari perjalanan penyakitnya
sendiri yang sedang diobati.

2.10 Penatalaksanaan
Dasar utama penatalaksanaan alergi obat adalah penghentian obat yang
dicurigai kemudian mengatasi gejala klinis yang timbul. Seperti pada penyakit
immunologis lainnya, pengobatan erupsi obat adalah dengan menetralkan atau
mengeluarkan obat tersebut dari dalam tubuh.
Epinephrine adalah terapi pilihan pada reaksi anafilaksis. Untuk alergi obat
jenis lainnya, dapat digunakan pengobatan simptomatik dengan antihistamin dan
kortikosteroid. Penghentian obat yang dicurigai menjadi penyebab harus dihentikan
secepat mungkin. Tetapi, pada beberapa kasus adakalanya pemeriksa dihadapkan
dua pilihan antara risiko erupsi obat dengan manfaat dari obat tersebut. 1,6
a. Penatalaksanaan Umum
• Melindungi kulit. Pemberian obat yang diduga menjadi penyebab erupsi
kulit harus dihentikan segera.1,4
• Menjaga kondisi pasien dengan selalu melakukan pengawasan untuk
mendeteksi kemungkinan timbulnya erupsi yang lebih parah atau relaps
setelah berada pada fase pemulihan. 1,4

13
• Menjaga kondisi fisik pasien termasuk asupan nutrisi dan cairan
tubuhnya. Berikan cairan via infus bila perlu. Pengaturan keseimbangan
cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak dapat
menelan akibat lesi di mulut dan tenggorok serta kesadaran dapat
menurun. Untuk itu dapat diberikan infus, misalnya berupa glukosa 5%
dan larutan Darrow.1,9
• Transfusi darah bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari;
khususnya pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus
dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg
atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik. 9

b. Penatalaksanaan Khusus
Manifestasi klinis ringan umumnya tidak memerlukan pengobatan khusus.
Untuk pruritus, urtikaria atau edema angionerotik dapat diberikan antihistamin
misalnya, diphenhidramin, loratadin atau cetirizine dan kalau kelainan cukup luas
diberikan pula adrenalin subkutan dengan dosis 0,01 mg/kg/dosis maksimum 0,3
mg/dosis.
 Diphenhidramin diberikan dengan dosis 0,5 mg/kg/dosis, 3 kali/24 jam. CTM
diberikan dengan dosis 0,09 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam.
 Setirizin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis,
1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari.
 Loratadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 2-5 tahun: 2.5
mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 10 mg/dosis, 1 kali/hari.
 Feksofenadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 6-11 tahun : 30
mg/hari, 2 kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari, 2 kali/hari atau 180mg/hari,
4kali/hari.
Bila gejala klinis sangat berat misalnya dermatitois eksfoliatif, ekrosis
epidermal toksik, sindroma Steven Johnson, vaskulitis, kelainan paru, kelainan
hematologi harus diberikan kortikosteroid serta pengobatan suportif dengan menjaga
kebutuhan cairan dan elektrolit, tranfusi, antibiotik profilaksis dan perawatan kulit
sebagaimana pada luka bakar untuk kelainan-kelainan dermatitis eksfoliatif, nekrosis
epidermal toksik dan Sindroma Steven Johnson.

14
 Prednison diberikan sebagai dosis awal adalah 1-2 mg/kg/hari dosis tunggal
pagi hari sampai keadaan stabil kira-kira 4 hari kemudian diturunkan sampai
0,5 mg/kg/hari, dibagi 3-4 kali/hari dalam 4-10 hari.
 Steroid parenteral yang digunakan adalah metil prednisolon atau hidrokortison
dengan dosis 4-10 mg/kg/dosis tiap 4-6 jam sampai kegawatan dilewati
disusul rumatan prednison oral.
Perawatan lokal segera dilakukan untuk mencegah perlekatan, parut atau
kontraktur. Reaksi anafilaksis harus mendapat penatalaksanaan adekwat
secepatnya. Kortikosteroid topikal diberikan untuk erupsi kulit dengan dasar reaksi
tipe IV dengan memperhatikan kaidah-kaidah yang telah ditentukan. Pemilihan
sediaan dan macam obat tergantung luasnya lesi dan tempat.
Prinsip umum penatalaksanaan erupsi obat adalah dimulai dengan
kortikosteroid potensi rendah. Krim mempunyai kelebihan lebih mudah dioles, baik
untuk lesi basah tetapi kurang melindungi kehilangan kelembaban kulit. Salep lebih
melindungi kehilangan kelembaban kulit, tetapi sering menyebabkan gatal dan
folikulitis. Sediaan semprotan digunakan pada daerah kepala dan daerah berambut
lain. Pada umumnya steroid topikal diberikan setelah mandi, tidak diberikan lebih
dari 2 kali sehari. Tidak boleh memakai potensi medium sampai tinggi untuk daerah
kulit yang tipis misalnya muka, leher, ketiak dan selangkangan.

ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian

a. Umum

Keadaan umumnya bervariasi dari sedang sampai berat. Pada kondisi yang

berat. Tergantung derajat mortilitas erupsi obat. Bila derajat 1 biasanya keadaan

umum pasien ringan, derajat 2 dan 3 berat. Keadaan berat bila terjadinya erosi dan

perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan, pseudomembran klien

mengalami kesulitan bernafas, dan bula antara 10-30% dan telah terjadi infeksi pada

kulit, Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir

seluruh tubuh, mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta

15
berwarna merah.Keadaan umum sedang biasa bila menunjukkan gejala awal, ruam,

gatal, demam, nausea.

b. Pengkajian kesadaran

Pasien dengan erupsi obat pada kondisi yang berat, kesadarannya menurun,

penderita dapat soporous sampai koma.

1) Pain : Pada psien derajat 2 lepasnya lapisan epidermis antara 10-30% . Klien

biasanya meringis saat di perintahkan dengan perintah sederhana karena adanya

kerusakan saraf perifer

2) Unresponsive : pada pasien dengan derajat 3 lepasnya lapisan epidermis lebih

dari 30%. Pasien dengan overload SJS dan TEM dalam keadaan koma

c. Riwayat Penyakit Sekarang

Klien datang dengan keadaan terdapat trias SJS yaitu terdapat bula, eritema,

dan vesikel pada mata, mukosa bibir, dan kulit.

d. Riwayat Penyakit Dahulu

Pernah terkena atau sedang menjalani pengobatan penyakit Infeksi

virus herpes simplex, danMycoplasma pneumonia, Viral: herpes simplex virus

(HSV)1 dan 2, HIV, Morbili, Coxsackie, cat-scratch fever, influenza, hepatitis B,

mumps, lymphogranuloma venereum(LGV), mononucleosis infeksiosa, Vaccinia

rickettsia dan variola. Epstein-Barr virus and enteroviruses diidentifikasi sebagai

penyebab timbulnya sindrom ini pada anak. Alergi obat secara sistemik ( misalnya

penisilin, analgetik, anti- peuritik ).

e. Riwayat Penyakit Keluarga

Bila terdapat keluarga alergi obat dan berasal dari ras krustesea

f. Tanda-tanda vital

Pengkajian terhadap adanya demam tinggi, dan adanya takikardi

16
g. Pengkajian fisik (Head toe toes)

1) Wajah

Eritema, vesikel dan bula

2) Mata

Kelopak mata : Edema dan sulit dibuka.

Konjungtiva : Konjungtivitis kataralis dan purulen

Kornea : Ulkus kornea

Reaksi cahaya : Positif

Lapang penglihatan : Penyempitan lapangan penglihatan

3) Mulut dan leher

Mukosa bibir : Bengkak, kering, warna mukosa merah

Selaput lendir : Stomatitis, afte (vesikel, bula), erosi, perdarahan

Disfagia : Ada

Lidah : Terdapat lesi

Tonsil/pharix : Meradang Ketidakmampuan menelan

4) Paru-paru

Inspeksi Bentuk dada simetris kanan dan kiri, terdapat sumbatan pada jalan napas,

klien tampak sesak, terdengar stridor saat ekspirasi/inspirasi, retraksi dinding dada,

penggunaan otot-otot pernapasan, frekuensi pernafasan > 20 x/menit, reflek bentuk

ada, pernapasan cepat dan dangkal, klien batuk.

Auskultasi Bunyi napas vesikuler, wheezing (+), Ronkhi (+)

5) Kardio vaskuler

Inspeksi edema jaringan

Palpasi frekuensi HR > 100 x/menit, irama regular/ireguler, akral dingin, kapilar

repil > 3 detik

Auskultasi Tekanan darah hipotensi, irama jantung tidak beraturan, tidak ada bunyi

jantung tambahan

17
6) Abdomen

Inspeksi : mual muntah

Auskultasi : peristaltik usus bisa menurun atau meningkat

7) Genetalia

Vagina : warna secret Anus : pelebaran vena ani/tidak

Mukosa : vesikel, bula, erosi, perdarahan, krusta berwarna merah

8) Ektermitas

Edema, tremor, rom terbatas, akral dingin

h. Pemeriksaan Diagnostik

1) Laboratorium : leukositosis atau esosinefilia

2) Histopatologi : infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel darah

merah, degenerasi lapisan basalis, nekrosis sel epidermal, spongiosis dan edema

intrasel di epidermis.

3) Imunologi : deposis IgM dan C3 serta terdapat komplek imun yang mengandung

IgG, IgM, IgA.

2. Diagnosa Keperawatan Utama yang Muncul

a) Kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan perpindahan cairan dari

intravaskuler ke dalam rongga interstisial, hilangnya cairan secara evaporasi,

rusaknya jaringan kulit akibat luka.

b) Kerusakan integritas kulit b.d lesi dan reaksi inflamasi lokal

c) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake yang tidak

adekuat respon sekunder dari kerusakan krusta pada mokosa mulut

d) Resiko tinggi infeksi b.d penurunan imunitas, dan hilangnya pertahanan barier ,

dan adanya pord de entere pada lesi

e) Nyeri b.d kerusakan jaringan lunak , erosi jaringan

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Roujeu JC, Stern R. Medical progress: severe cutaneous reactions to drugs.


N Engl J Med. 2008;6:115-127.
2. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia : Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi V. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta : 2007.
3. Cutaneous drug reactions case reports : from the world literature. Am J Clin
Dermatol. 2003;4:511-521
4. Alissa R, Segal, Kevin M, et al. Cutaneous reactions to drugs in Children.
Official Journal of The American Academy of Pediatrics. 2007:120;e1082.
5. Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume
One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America.
2003. p: 333-352
6. Casillas AM, Adverse Drug Reactions; Types and Treatment Options. In:
American Family Physician. Volume 68, Number 9. 2003. Access on: June 3,
2007. Available at: www.aafp.org/afp
7. Lee A, Thomson J. Drug-induced skin. In: Adverse Drug Reactions, 2nd ed.
Pharmaceutical Press. 2006. Access on: June 3, 2007. Available at:
http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf
8. Andrew J.M, Sun. Cutaneous Drugs Eruption.In: Hong Kong Practitioner.
Volume 15. Department of Dermatology University of Wales College of
Medicine. Cardiff CF4 4XN. U.K.. 1993. Access on: June 3, 2007. Available
at: http://sunzi1.lib.hku.hk/hkjo/view/23/2301319.pdf

19

Anda mungkin juga menyukai