Bab 1 Dan 2 Dan Sudah Diedit
Bab 1 Dan 2 Dan Sudah Diedit
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
CHF ( Congestive Heart Failure ) merupakan salah satu masalah
kesehatan dalam system kardiovaskular, yang angka kejadiannya terus
meningkat. Menurut data dari WHO dilaporkan bahwa ada sekitar 3000
warga Amerika menderita CHF. Menurut American Heart Association (
AHA ) tahun 2012 dilaporkan bahwa ada 5,7 juta penduduk Amerika
Serikat yang menderita gagal jantung ( Padila, 2012 ).
Penderita gagal jantung atau CHF di Indonesia pada tahun 2012
menurut data dari Departemen Kesehatan mencapai 14.449 jiwa penderita
yang menjalani rawat inap di rumah sakit. Pada tahun 2012 di Jawa Tengah
terdapat 520 penderita CHF dan menjalani rawat inap. Selain itu, penyakit
yang paling sering memerlukan perawatan ulang di rumah sakit adalah
gagal jantung ( readmission ), walaupun pengobatan dengan rawat jalan
telah diberikan secara optimal. Hal serupa juga dibenarkan oleh
Rubeinstein ( 2007 ) bahwa sekitar 44 % pasien Medicare yang dirawat
dengan diagnosis CHF akan dirawat kembali pada6 bulan kemudian.
Pada umumnya CHF diderita lansia yang berusia lebih dari 50 tahun,
CHF merupakan alasan yang paling umum bagi lansia untuk dirawat di
rumah sakit ( usia 65 – 75 tahun mencapai persentase sekitar 75 % pasien
yang dirawat dengan CHF ). Resiko kematian yang diakibatkan oleh CHF
adalah sekitar 5-10 % per tahun pada kasus gagal jantung ringan, dan
meningkat menjadi 30-40% pada gagal jantung berat. Menurut penelitian,
sebagian besar lansia yang didiagnosis menderita CHF tidak dapat hidup
lebih dari 5 tahun ( Kowalak, 2011 ).
Berdasarkan uraian diatas kami tertarik mengadakan seminar
kegawatdaruratan tentang CHF untuk memenuhi tugas Praktik Praklinik
Keperawatan 3 dengan judul “Asuhan Keperawatan pada Tn.A dengan
diagnosa medis CHF di IGD RSUD dr. Doris Sylvanus Palangkaraya.
1
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Congestive Hearth Failure (CHF)
2.1.1 Definisi
Congestive Heart Failure (CHF) adalah suatu kondisi dimana jantung
mengalami kegagalan dalam memompa darah guna mencukupi kebutuhan sel-sel
tubuh akan nutrien dan oksigen secara adekuat. Hal ini mengakibatkan
peregangan ruang jantung (dilatasi) guna menampung darah lebih banyak untuk
dipompakan ke seluruh tubuh atau mengakibatkan otot jantung kaku dan
menebal.Jantung hanya mampu memompa darah untuk waktu yang singkat dan
dinding otot jantung yang melemah tidak mampu memompa dengan kuat.Sebagai
akibatnya, ginjal sering merespons dengan menahan air dan garam. Hal ini akan
mengakibatkan bendungan cairan dalam beberapa organ tubuh seperti tangan,
kaki, paru, atau organ lainnya sehingga tubuh klien menjadi bengkak (congestive).
Gagal jantung kongestif (CHF) adalah suatu keadaan patofisiologis berupa
kelainan fungsi jantung sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan/ kemampuannya hanya ada kalau
disertai peninggian volume diastolik secara abnormal (Mansjoer dan Triyanti,
2015:434).
Gagal jantung mengacu pada kumpulan tanda dan geajala yang
diakibatkan oleh ketidakmampuan jantung untuk memompakan cukup darah
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh (Tambayong, 2001:86).
2.1.2 Klasifikasi
Grade gagal jantung menurut New York Heart Association, terbagi dalam
4 kelainan fungsional:
I. Timbul sesak pada aktifitas fisik berat
II. Timbul sesak pada aktifitas fisik sedang
III. Timbul sesak pada aktifitas fisik ringan
IV. Timbul sesak pada aktifitas fisik sangat ringan / istirahat
4
5
2.1.3 Etiologi
2.1.3.1 Kelainan otot jantung
Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung,
disebabkan menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari penyebab
kelainan fungsi otot jantung mencakup ateroslerosis koroner, hipertensi arterial
dan penyakit degeneratif atau inflamasi
2.1.3.2 Aterosklerosis koroner
Aterosklerosis koronermengakibatkan disfungsi miokardium karena
terganggunya aliran darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat
penumpukan asam laktat). Infark miokardium (kematian sel jantung) biasanya
mendahului terjadinya gagal jantung. Peradangan dan penyakit miokardium
degeneratif berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi yang secara
langsung merusak serabut jantung menyebabkan kontraktilitas menurun.
2.1.3.3 Hipertensi Sistemik atau pulmunal (peningkatan after load)
Meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan
hipertrofi serabut otot jantung.
2.1.3.4 Peradangan dan penyakit myocardium degeneratif
Berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung
merusak serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas menurun.
2.1.3.5 Penyakit jantung lain
Terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang sebenarnya, yang secara
langsung mempengaruhi jantung. Mekanisme biasanya terlibat mencakup
gangguan aliran darah yang masuk jantung (stenosis katub semiluner),
ketidakmampuan jantung untuk mengisi darah (tamponade, pericardium,
perikarditif konstriktif atau stenosis AV), peningkatan mendadak after load
2.1.3.6 Faktor sistemik
Terdapat sejumlah besar factor yang berperan dalam perkembangan dan
beratnya gagal jantung. Meningkatnya laju metabolisme (missal : demam,
tirotoksikosis). Hipoksia dan anemi juga dapat menurunkan suplai oksigen ke
jantung. Asidosis respiratorik atau metabolic dan abnormalita elektronik dapat
menurunkan kontraktilitas jantung.
6
2.1.4 Patofisiologi
Fungsi jantung sebagai sebuah pompa diindikasikan oleh kemampuannya
untuk memenuhi suplai darah yang adekuat keseluruh bagian tubuh, baik dalam
keadaan istirahat maupun saat mengalami stress fisiologis (Kasron, 2015:58).
Mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung meliputi keadaan-
keadaan :
2.1.4.1 Prelood (beban awal)
Jumlah darah yang mengisi jantung berbanding langsung dengan tekanan
yang ditimbulkan oleh panjangnya regangan serabut jantung.
2.1.4.2 Kontraktilitas
Perubahan kekuatan kontriksi berkaitan dengan panjangnya regangan
serabut jantung.
2.1.4.3 Afterlood (beban akhir)
Besarnya tekanan ventrikel yang harus dihasilkan untuk memompa darah
melawan tekanan yang diperlukan oleh tekanan arteri (Kasron, 2015:59).
Pada keadaan gagal jantung, bila salah satu/lebih dari keadaan di atas
terganggu, menyebabkan curah jantung menurun, meliputi keadaan yang
menyebabkan prelood meningkat contoh regurgitasi aorta, cacat septum ventrikel.
Menyebabkan afterlood meningkat yaitu pada keadaan stenosis aorta dan
hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark
miokardium dan kelainan otot jantung (Kasron, 2015:59).
Adapun mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi menurunnya
kemampuan kontraktilitas jantung, sehingga darah yang di pompa pada setiap
kontriksi menurun dan menyebabkan penurunan darah keseluruh tubuh. Apabila
suplai darah kurang ke ginjal akan mempengaruhi mekanisme pelepasan renin-
angiotensin dan akhirnya terbentuk angiotensin II mengakibatkan terangsangnya
sekresi aldosteron dan menyebabkan retensi natrium dan air, perubahan tersebut
meningkatkan cairan ektra-intravaskuler sehingga terjadi ketidakseimbangan
volume cairan dan tekanan selanjutnya terjadi edema. Edema perifer terjadi akibat
penimbunan cairan dalam ruang interstial. Proses ini timbul masalah seperti
nokturia dimana berkurangnya vasokontriksi ginjal pada waktu istirahat dan juga
redistribusi cairan dan absorpsi pada waktu berbaring. Gagal jantung berlanjut
7
2.1.5. WOC
9
4) Anoreksia dan mual, terjadi akibat pembesaran vena dan statis vena
dalam rongga abdomen
5) Nokturia
6) Kelemahan
2.1.7. Komplikasi
1) Syok kardiogenik
2) Episode tromboemboli karena pembentukan bekuan vena karena stasis
darah.
3) Efusi dan temponade perikardium
4) Toksisitas digitalis akibat pemakaian obat digitalis.
2.1.9. Penatalaksanaan
2.1.9.1. Kelas I: Non Farmakologi, meliputi diet rendah garam, batasi
cairan, menurunkan BB, menghindari alcohol, rokok, aktivitas fisik, dan
manajemen stress.
2.1.9.2. Kelas II, III: terapi pengobatan meliputi: diuretik, vasodilator, ace
inhibitor, digitalis, dopamineroik, dan oksigen.
2.1.9.3. Kelas IV: kombinasi diuretik, digitalis, ACE inhibitor.
11
yang terjadi di masa lalu. Juga harus tanyakan adanya alergi obat, dan tanyakan
reaksi alergi apa yang timbul. Sering kali klien mengacaukan suatau alergi dengan
efek samping obat (Muttaqin, 2015:210).
4) Riwayat Keluarga
Perawat menanyakan tentang penyakit yang pernah dialami oleh keluarga,
serta bila ada anggota keluarga yang meninggal, maka penyebab kematian juga
ditanyakan. Penyakit jantung iskemik pada orang tua yang timbulnya pada usia
muda merupakan faktor resiko utama untuk penyakit jantung iskemik pada
keturunannya (Muttaqin, 2015:210).
Edema di mulai pada kaki dan tumit (edema dependen dan secara bertahap
bertambah ke atas tungkai yang pada akhirnya ke genitelia eksterna serta tubuh
bagian bawah.Edema sacral sering jarang terjadi pada klien yang berbaring
lama, karena daerah sacral menjadi daerah yang dependen. Pitting edema
adalah yang akan tetap cekung bahkan setelah penekanan ringan dengan ujung
jari (Muttaqin, 2015:212).
b) Palpasi
Oleh karena peningkatan frekuensi jantung merupakan respons awal jantung
terhadap stress, sinus takikardia mungkin dicurigai dan sering ditemukan pada
pemeriksaan klien dengan kegagalan pompa jantung. Irama lain yang
berhungan dengan kegagalan pompa meliputi : kontraksi atrium prematur,
takikardia atrium paroksimal, dan denyut ventrikel premature (Muttaqin,
2015:213).
(a) Perubahan Nadi
Pemeriksaan denyut arteri selama gagal jantung menunjukkan denyut yang
cepat dan lemah.Denyut jantung yang cepat atau takikardia, mencerminkan
respons terhadap perangsangan saraf simpatis. Penurunan yang bermakna dari
curah sekuncup dan adanya vasokonstriksi perifer mengurangi tekanan nadi
(perbedaan antara tekanan sistolik dan diastolik), sehingga menghasilkan
denyut yang lemah atau thready pulse. hipotensi sistolik ditemukan pada gagal
jantung yang lebih berat. Imbul
Selain itu, pada gagal jantung kiri yang dapat dapat timbul pulsus alternans
(suatu perubahan kekuatan denyut arteri).Pulsus alternans menunjukkan
gangguan fungsi mekanis yang berat dengan berulangnya variasi denyut ke
denyut pada curah sekuncup (Muttaqin, 2015:213).
c) Auskultasi
Tekanan darah biasannya menurun akibat penurunan isi sekuncup.
Tanda fisik yang berkaitan dengan kegagalan ventrikel kiri dapat dikenali
dengan mudah di bagian yang meliputi : bunyi jantung ke tiga dan ke empat
(S3,S4) serta crakles pada paru-paru, S4 atau gallop atrium, mengikuti
kontraksi atrium dan terdengar paling baik dengan bel stestokep yang
ditempelkan dengan tepat pada apeks jantung (Muttaqin, 2015:215).
17
Posisi lateral kiri mungkin diperlukan untuk mendapatkan bunyi. Ini terdengar
sebelum bunyi jantung pertama (S1) dan tidak selalu tanda pasti kegagalan
kongestif, tetapi dapat menurunkan complains (peningkatan kekakuan)
miokard. Ini mungkin indikasi awal premonitori menuju kegagalan.Bunyi S4
adalah bunyi yang umum terdengar pada klien dengan infark miokardium akut
dan mungkin tidak mempunyai pronogsis bermakna, tetapi mungkin
menunjukkan kegagalan yang baru terjadi.
S3 atau gallop ventrikel adalah tanda penting dari gagal ventrikel kiri dan pada
orang dewasa hampir tidak pernah ada pada adanya penyakit jantung
signifikan. Kebanyakan dokter akan setuju bahwa tindakan terhadap gagal
kongestif diindikasikan dengan adanya tanda ini. S3 terdengar pada awal
diastolic setelah bunyi jantung kedua (S2), dan berkaitan dengan periode
pengisian ventrikel pasif yang cepat. Ini juga dapat di dengar paling baik
dengan bel stestoskop yang di letakan tepat di apeks, dengan klien pada posisi
lateral kiri dan pada akhir ekspirasi. Bunyi jantung tambahan akibat kelainan
katup biasannya di dapatkan apabila penyebab gagal jantung karena kelainan
katup (Muttaqin, 2015:215).
d) Perkusi
Batas jantung ada pergeseran yang menandakan adanya hipertrofi jantung
(kardiomegali).
(3) B3 (Brain)
Kesadaran biasannya compos mentis, di dapatkan sianosis perifer apabila
gangguan perfusi jaringan berat. Pengkajian objektif klien : wajah meringis,
menangis, merintih, mengerang, dan menggeliat (Muttaqin, 2015:215).
(4) B4 (bladder)
Pengukuran volume keluaran urine berhubungan dengan asupan cairan, karena itu
perawat perlu memantau adanya oliguria karena merupakan tanda awal dari syok
kardiogenik.Adanya edema ekstremitas menandakan adanya retensi cairan yang
parah (Muttaqin, 2015:215).
18
(5) B5 (Bowel)
Klien biasanya didapatkan mual dan muntah, penurunan nafsu makan akibat
pembesaran vena dan stasis vena di dalam rongga abdomen, serta penurunan
berat badan (Muttaqin, 2015:215).
a) Hepatomegali
Hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen terjadi akibat
pembesaran vena di hepar merupakan manifestasi dari kegagalan jantung. Bila
proses ini berkembang, maka tekanan di pembuluh portal meningkat, sehingga
cairan terdorong keluar rongga abdomen, yaitu suatu kondisi yang dinamakan
asites. Pengumpulan cairan dalam rongga abdomen ini dapat menyebabkan
tekanan pada diafragma dan distress pernapasan (Muttaqin, 2015:216).
(6) B6 (Bone)
Hal-hal yang biasanya terjadi dan ditemukan pada pengajian B6 adalah sebagai
berikut.
a) Kulit Dingin
Gagal depan pada ventrikel kiri menimbulkan tanda-tanda berkurangnya
perfungsi keorgan-organ. Oleh karena darah di alihkan dari organ-organ non
vital demi mempetahankan perfusi ke jantung dan otak, maka manifestasi
paling dini dari gagal kedepan adalah berkurangnya perfusi organ-organ seperti
kulit dan otot-otot rangka. Kulit yang pucat dan dingin di akibatkan oleh
vasokonstraksi perifer, penurunan lebih lanjut dari curah jantung dan
meningkatnya kadar hemoglobin tereduksi mengakibatkan sianosis.
Vasokonstriksi kulit menghambat kemampuan tubuh untuk melepaskan
panas.Oleh karena itu, demam ringan dan keringat yang berlebihan dapat
ditemukan (Muttaqin, 2015:216).
b) Mudah lelah
Mudah lelah terjadi akibat curah jantung yang kurang, sehingga menghambat
jaringan dari sirkulasi normal dan oksigen serta serta menurunnya pembuangan
sisa hasil katabolisme. Juga terjadi akibat meningkatnya energi yang digunakan
untuk bernapas dan insomnia yang terjadi akibat distres pernapasan dan batuk.
Perfusi yang kurang pada otot-otot rangka menyebabkan kelemahan dan
keletihan. Gejala-gejala ini dapat ekserbasi oleh ketidakseimbangan cairan dan
19
1) Pantau pengeluaran urine, catat jumlah dan warna saat hari dimana
diuresis terjadi.
Rasional: pengeluaran urine mungkin sedikit dan pekat karena
penurunan perfusi ginjal. Posisi terlentang membantu diuresis sehingga
pengeluaran urine dapat ditingkatkan selama tirah baring.
2) Pantau/hitung keseimbangan pemasukan dan pengeluaran selama 24
jam.
Rasional: terapi diuretik dapat disebabkan oleh kehilangan cairan tiba-
tiba/berlebihan (hipovolemia) meskipun edema/asites masih ada.
3) Pertahakan duduk atau tirah baring dengan posisi semifowler selama
fase akut.
Rasional: posisi tersebut meningkatkan filtrasi ginjal dan menurunkan
produksi ADH sehingga meningkatkan diuresis.
4) Pantau TD dan CVP (bila ada).
Rasional: hipertensi dan peningkatan CVP menunjukkan kelebihan
cairan dan dapat menunjukkan terjadinya peningkatan kongesti paru,
gagal jantung.
5) Kaji bising usus, catat keluhan anoreksia, mual, distensi abdomen dan
konstipasi.
Rasional: kongesti viseral (terjadi pada GJK lanjut) dapat mengganggu
fungsi gaster/intestinal.
6) Pemberian obat sesuai indikasi (kolaborasi) : diuretik, tiazid.
Rasional: diuretik meningkatkan laju aliran urine dan dapat
menghambat reabsorpsi natrium/klorida pada tubulus ginjal. Tiazid
meningkatkan diuresis tanpa kehilangan kalium berlebihan.
7) Konsultasi dengan ahli diet.
Rasional: perlu memberikan diet yang dapat diterima klien yang
memenuhi kebutuhan kalori dalam pembatasan natrium.
2.2.3.4 Resiko tinggi gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan
membran kapiler-alveolus.
Tujuan: Tidak terjadi gangguan pertukaran gas
24
kriteria hasil :
1. Tidak sesak
2. Tidak ada sianosis
3. Bunyi nafas tambahan berkurang
4. TTV dalam batas normal:
S= 36,5-37,5 C
N= 60-100 x/menit
RR= 15-20 x/menit
TD= 120/80 mmHg
Intervensi:
1. Berikan posisi senyaman mungkin
Rasional: Posisi yang nyaman mempermudah klien untuk menarik nafas
Intervensi
KRITERIA HASIL:
27
1. BAK4-5x/hari
2. Bising usus 8-12x/menit
3. TTV klien normal
Suhu: 36,5ºC-37ºC, Nadi: 60-100x/menit, RR: 15-20x/menit, TD: 120/80
mmHG
Intervensi
Mandiri:
2.2.4 Implementasi
Menurut Tarwoto dan Wartonah (2015) Implementasi merupakan tidakan
yang sudah direncanakan dalam rencana perawatan.Tindakan keperawatan
mencakup tindakan mandiri (independen) dan tindakan kolaborasi.
Tindakan mandiri (independen) adalah aktivitas perawat yang didasarkan
pada kesimpulan atau keputusan sendiri dan bukan merupakan petunjuk atau
perintah dari petugas kesehatan lain. Tindakan kolaborasi adalah tindakan
didasarkan hasil keputusan bersama, seperti dokter dan petugas kesehatan lain.
Implementasi keperawatan dapat berbentuk:
1) Bentuk perawatan seperti melakukan pengkajian untuk
mengidentifikasi masalah baru atau mempertahankan masalah yang
ada.
2) Pengajaran/pendidikan kesehatan pada pasien untuk membantu
menambah pengetahuan tentang kesehatan.
3) Konseling pasien untuk memutuskan kesehatan pasien
4) Konsultasi atau berdiskusi dengan tenaga profesional kesehatan
lainnya sebagai bentuk perawatan holistik.
5) Bentuk pelaksanaan secara spesifik atau tindakan untuk memecahkan
masalah kesehatan.
6) Membantu pasien dalam melakukan kesehatan sendiri.
7) Melakukan monitoring atau pengkajian terhadap komplikasi yang
mungkin terjadi terhadap pengobatan atau penyakit yang dialami.
2.2.5 Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dalam proses keperawatan untuk dapat
menentukan keberhasilan dalam asuhan keperawatan. Evaluasi pada dasarnya
adalah membandingkan status keadaan kesehatan pasien dengan tujuan atau
kriteria hasil yang telah ditetapkan.
Tujuan dari evaluasi adalah:
1) Mengevaluasi status kesehatan pasien
2) Menentukan perkembangan tujuan perawatan
29
2.2.6.4 Sebagai data yang dibutuhkan secara administratif dan legal formal.
2.2.6.5 Memenuhi persyaratan hukum, akreditasi dan professional.
2.2.6.6 Untuk memberikan data yang berguna dalam bidang pendidikan dan
penelitian.
Komponen dokumentasi asuhan keperawatan yang konsisten harus
meliputi beberapa hal berikut ini:
1. Riwayat keperawatan yang terdiri dari masalah-masalah yang sedang
terjadi maupun yang diperkirakan akan terjadi.
2. Masalah-masalah yang aktual maupun potensial,.
3. Perencanaan serta tujuan saat ini dan yang akan datang.
4. Pemeriksaan, pengobatan dan promosi kesehatan untuk membantu
pasien mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
5. Evaluasi dari tujuan keperawatan serta modifikasi rencana tindakan
dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Secara spesifik lingkup dokumentasi asuhan keperawatan secara spesifik
antara lain:
1. Data awal pasien berupa identitas diri, keluhan yang dirasakan.
2. Riwayat keperawatan dan pemeriksaan.
3. Diagnosis keperawatan yang ditetapkan.
4. Rencana asuhan keperawatan yang terdiri dari rencana tindakan,
tujuan, rencana intervensi serta evaluasi dari tindakan keperawatan.
5. Pendidikan kepada pasien.
6. Dokumentasi parameter pemantauan dan intervensi keperawatan lain
nya.
7. Perkembangan dari hasil yang telah ditetapkan dan yang diharapkan.
8. Evaluasi perencanaan.
9. Rasionalisasi dari proses intervensi jika diperlukan.
10. Sistem rujukan.
11. Persiapan pasien pulang.