Anda di halaman 1dari 8

RESENSI NOVEL

Keluarga Gerilya Oleh Pramoedya Ananta Toer

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Intelektual

(AKBK1702)

Dosen Pengampu:

Dra. Hj. Rochgiyanti, M. Si, M. Pd

Oleh:

Kristin Imanuel NIM. 1710111210011

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

BANJARMASIN

2019
Judul Buku : Keluarga Gerilya.
Nama Pengarang : Pramoedya Ananta Toer.
Nama Penerbit : Pembangunan Djakarta.
Tebal Buku : 239 Halaman.
Tahun Terbit : 1955.

Identitas Pengarang
Pramoedya Ananta Toer lahir pada tanggal 6 Februari 1925 di daerah
Blora yang terletak di Jawa Tengah. Ayahnya bernama Mastoer Imam Badjoeri
yang bekerja sebagai seorang guru di sebuah sekolah swasta dan ibunya bernama
Saidah bekerja sebagai seorang penghulu di daerah Rembang.

Nama asli dari Pramoedya adalah Pramoedya Ananta Mastoer namun


lama kelamaan orang lebih mengenalnya sebagai Pramoedya Ananta Toer atau
biasa dipanggil Pram. Beliau mulai bersekolah di Sekolah Institut Boedi Utomo di
Blora di bawah bimbingan ayahnya yang bekerja sebagai guru disana namun
tercatat bahwa Pramoedya beberapa kali tidak naik kelas. Tamat dari Boedi utomo,
ia kemudian bersekolah di Sekolah Teknik Radio Surabaya selama 1,5 tahun di
1940 hingga 1941. Pada tahun 1942, Pramoedya kemudian berangkat ke Jakarta
dan bekerja sebagai tukang ketik di Kantor berita Jepang bernama ‘Domei’ pada
saat masa kependudukan jepang di Indonesia. Sambil bekerja, Pramoedya juga
mengikuti pendidikan di Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hajar
Dewantara antara tahun 1942 higga 1943. Selanjutnya di tahun 1944 hingga 1945,
ia mengikuti sebuah kursus Stenografi dan kemudian melanjutkan pendidikannya
di Sekolah Tinggi Islam Jakarta pada tahun 1945. Kemudian memasuki masa
pasca kemerdekaan Indonesia tepatnya pada tahun 1946, Pramoedya Ananta Toer
mengikuti pelatihan militer Tentara Keamanan Rakyat dan bergabung dengan
Resimen 6 dengan pangkat letnan dua dan ditugaskan di Cikampek dan kemudian
kembali ke Jakarta pada tahun 1947. Pramoedya Ananta Toer kemudian ditangkap
Belanda pada tanggal 22 juli 1947 dengan tuduhan menyimpan dokumen
pemberontakan melawan Belanda yang kembali ke Indonesia untuk berkuasa. Ia
kemudian di jatuhi hukuman penjara dan kemudian dipenjarakan di pulau Edam
dan kemudian dipindahkan ke penjara di daerah Bukit Duri hingga tahun 1949 dan
selama masa penahanannya tersebut, ia lebih banyak menulis buku dan cerpen.
Keluar dari penjara, Pramoedya Ananta Toer kemudian bekerja sebagai seorang
redaktur di Balai Pustaka Jakarta antara tahun 1950 hingga 1951, dan di tahun
berikutnya ia kemudian mendirikan Literary and Fitures Agency Duta hingga
tahun 1954. Ia bahkan sempat ke Belanda mengikuti program pertukaran budaya
dan tinggal disana beberapa bulan. Tidak lama kemudian ia pulang ke Indonesia
dan menjadi anggota Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang dikenal sebagai
organisasi kebudayaan berhaluan kiri. Kemudian pada tahun 1958, Pramoedya
Ananta Toer didaulat menjadi pimpinan pusat Lekra (Lembaga Kesenian Jakarta)
yang bernaung di bawah Partai Komunis Indonesia pimpinan D.N Aidit.
Jabatannya sebagai pimpinan pusat Lekra membuat banyak seniman menjadi
berseberangan pendapat dengan Pramoedya Ananta Toer terutama para seniman
yang menentang aliran komunis di Indonesia. Di tahun 1962, Pramoedya Ananta
Toer kemudian bekerja sebagai seorang dosen sastra di Universitas Res Republica.
Ia juga menjadi Dosen Akademi Jurnalistik Dr. Abdul Rivai dan juga berprofesi
sebagai redaktur majalah Lentera. Memasuki tahun 1960an, PKI semakin gencar
memperluas pengaruhnya hingga kemudian terjadi gejolak politik dimana Partai
Komunis Indonesia (PKI) melakukan pemberontakan yang terkenal dengan nama
G30S/PKI dan terjadi pergantian kekuasaan dari Ir. Soekarno ke Soeharto.
Dibawah pemerintahan Soeharto, penumpasan PKI dilakukan. Hal ini kemudian
membuat organisasi-organisasi yang berada di bawah PKI ketika seperti Lekra
yang dipimpin oleh Pramoedya menjadi terancam. Meskipun sudah masuk masa
tua, Pramoedya Ananta Toer tetap aktif menulis walaupun ia gemar merokok.
Hingga kemudian ia terbaring di rumah sakit pada awal 2006 akibat penyakit
diabetes, sesak nafas dan jantungnya yag melemah. Hingga kemudian ia keluar
lagi. Namun kembali masuk rumah sakit ketika kondisinya makin memburuk
akibat panyakit radang paru-paru. Hingga pada tanggal 30 april 2006, Pramoedya
Ananta Toer akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya dan meninggal di usia 81
tahun. Pemakamannya banyak dihadiri oleh masyarakat dan juga para tokoh
terkenal seperti wakil presiden ketika itu Jusuf Kalla. Pramoedya Ananta Toer
kemudian dimakamkan di TPU Karet Bivak, Jakarta. Beliau diketahui memiliki
seorang istri bernama Maemunah Thamrin yang kemudian memberinya lima orang
anak dan kemudian Pramoedya juga memiliki sembilan orang cucu. Istrinya
meninggal pada bulan januari tahun 2011 dan dimakamkan di tempat yang sama
dengan Pramoedya Ananta Toer yaitu di TPU Karet Bivak.

Sinopsis

Keluarga Gerilya adalah karya fiksi Pram, sebuah novel, yang


berkisah tentang keluarga Amilah, seorang janda dan anak-anaknya yang hidup di
zaman revolusi. Tokoh utamanya, Saaman, adalah seorang tukang becak yang
menjadi tulang punggung keluarganya. Dulunya Saaman adalah seorang pegawai
Kementerian Kemakmuran. Saaman mempunyai enam saudara, dua di antaranya,
Tjanimin dan Kartimin adalah prajurit gerilya. Amilah sendiri dikenal sebagai
perempuan simpanan di tangsi KNIL. Dia mulai kehilangan akalnya saat Saaman
tiba-tiba ditangkap oleh militer Belanda. Setiap hari dia marah-marah, mencaci,
histeris juga melamun, mencari-cari anaknya. Masa revolusi yang sulit
digambarkan jelas lewat kehidupan yang dijalani oleh keluarga Amilah.
Bagaimana mereka harus berjuang untuk hidup di tengah kemiskinan dan kondisi
keamanan yang tidak menentu. Novel “Keluarga Gerilya” ditulis saat Pram berada
di penjara Bukit Duri pada tahun 1949. Konflik batin para tokohnya, terutama
yang dialami oleh Saaman digambarkan dengan baik oleh Pram. Cerita yang
digambarkan dalam tiga hari tiga malam ini membuat novel ini begitu padat dalam
setiap fragmennya. Kehidupan sulit keluarga Amilah semakin menjadi. Tjanimin
dan Kartimin gugur di medan perang revolusi, Saaman sendiri pada akhirnya
gugur di depan regu tembak. Adik perempuannya, Salamah, diperdaya dan
diperkosa oleh seorang sersan. Tragedi keluarga Amilah terus berlanjut. Rumah
mereka kebakaran karena dibakar oleh Amilah dan Amilah sendiri kemudian
menjadi gila.

Penokohan
1. Amilah
Amilah adaalah seorang wanita yang pernah bekerja di tangsi. Walaupun dia
menikah dengan Paijan, anak – anaknya punya ayah yang berbeda – beda.
Dari semua anaknya, dia paling menyayangi Saaman yang dianggap sempurna
oleh nya. Secara batin, dia sangat keras kepala, galak, kasar, dan terkenal suka
berkelahi, baik dengan tetangga maaupun anaknya sendiri. Perilakunya sering
merugikan orang lain, bahkan anaknya sendiri. Semenjak saaman ditangkap
oleh polisi militer dia tidak mau tidur, hanya termenung menatap pada pelita
dimeja. Untuk mencari uang, Amilah diam – diam mengambil pakaian
anaknya dan menjualnya. Namun, dengan uang itu dia hanya membeli barang
untuk Saaman saja dan bukan untuk anaknya yang lain.
2. Paijan
Paijan adalah suami Amilah dan ayah dari beberapa anak Amilah. Dia pernah
bekerja untuk Belanda selama tiga puluh tahun sehingga menduduki jabatan
kopral. Oleh karena dia bekerja untuk NICA, dia dimabukkan oleh Saaman,
Canimin, dan Kartiman sebelum cerita dimulai.
3. Saaman
Saaman adalah anak tertua dari Amilah dan Paijan. Saaman sangat disayangi
oleh keluarganya oleh karena dia bisa menghargai semua anggota keluarganya
dan bersifat sopan. Walau ia bekerja sebagai tukang becak, Saaman
sebenarnya berperang secara aktif bersama adik – adiknya. Oleh karena
keterkaitannya dengan gerilya, Saaman menjadi lebih kejam dan sinis dan
akhirnya ditangkap polisi militer.
4. Canimin
Ia adalah anak kedua dari Amilah dan Paijan. Berusia dua puluh tahun, dia
menduduki jabatan sebgai kopral dalam tentara gerilya Indonesia dan
dianggap salah satu orang yang sangat dipercaya. Namun perang membawa
penderitaan yang besar, wajahnya sudah cacat sehingga tidak ada wanita yang
mau mendekatinya. Walaupun sebenarnya hatinya lembut, ketika degan
kartiman harus bersifat kejam agar tidak dituduh bernepostisme. Ketika
kartiman terbunuh dalam razia, Canimin merasa menyesal atas segala
keburukan yang telah dia lakukan kepada adiknya.
5. Kartiman
Kartiman adalah anak ketiga dari Amilah. Oleh karena ia berkulit hitam dan
berambut keriting seperti orang ambon. Kartiman mempunyai sifat kasar, baik
dengan prajurit lain maupun dengan istrinya sendiri. Dia bekerja di bawah
kakanya. Walaupun walaupun dia sangat setia dan pintar, akhirnya ia
terbunuh saat merazia konvoi di Jakarta.
6. Salamah
Ia adalah anak Amilah dan Letnan Gedergeder. Karena ayahnya orang
Belanda, ia mempunyai hidung mancung, mata biru, rambut pirang berombak
dan berkulit putih. Ia berusia Sembilan belas tahun dan suka menangis. Ia
mempunyai seorang tunangan, yaitu Darsono. Perilaku salamah layaknya
seorang ibu. Selama tiga bulan ia menjaga adik – adiknya, memastikan
mereka mendapatkan pendidikan dan makanan serta tempat tinggal.
7. Patimah
Ia anak kelima dari Amilah dan Paijan. Ia berusia enam belas tahun, dia
sangat pintar dalam bahasa asing. Secara batin masih polos dan belum
mengerti keadaan dunia. Namun, karena keadaan finansial ia terpaksa bekerja
di pabrik.
8. Salami
Ia putri terkecil dari Amilah dan Paijan. Berusia sepuluh tahun, dia pintar
tetapi sering dapat nilai rendah karna penglihatanya kurang baik.
9. Hasan
Ia adalah anak terakhir dari Amilah dan Paijan. Berusia delapan tahun, dia
dibesarkan oleh kakak – kakanya, ia sangat mendukung kemerdekaan dan
membenci NICA, impian terbesarnya adalah menjadi jendral gerilya.
10. Sersan Kasdan
Ia adalah orang yang mengaku teman Saaman dari tangsi di Palembang. Oleh
karena pernyataannya tidak dapat dipercaya. Namun yang pastinya ia bekerja
untuk Belanda. ia suka memanfaatkan orang lain demi kepentingannya
sendiri.
11. Tukang Loak
Tukang loak adalah seorang bapak setengah tua yang datang kerumah Amilah
untuk meminta ganti rugi karena Hassan memecahkan wekker nya.

Kelemahan Buku
Kelemahan novel Keluarga Gerilya terletak pada bahasa yang digunakan,
menurut saya bahasa yg digunakan masih kurang komunikatif. Ada beberapa
kata yang belum saya mengerti pada saat membaca novel ini. Mungkin
dikarenakan gaya bahasa yg digunakan oleh pengarang adalah gaya bahasa
pada masa itu. Jadi untuk sekarang, menurut saya orang awam mungkin sulit
untuk memahami beberapa kata dalam penulisan Novel ini.
Kelebihan Buku
Walaupun seperti yang saya katakan terkait kelemahan Novel ini diatas, tapi
saya salut dengan penyampain penulis dalam Novel ini. Penulis dapat
membawa kita terlarut kepada peristiwa yang terjadi dalam peristwa Keluarga
Gerilya.

Amanat
Dari Novel Keluarga Gerilya ini kita dapat mengambil pelajaran tentang
Hidup. Dan bagaimana gambaran perjuangan anak bangsa, nasionalisme, dan
prinsip – prinsip yang dipegang teguh meskipun dalam kondisi sangat sulit.

Anda mungkin juga menyukai