Anda di halaman 1dari 6

Nama : Vallencia

NPM : 1806215774
Tanggal : Selasa, 10 September 2019

1. Syarat yang seharusnya dipenuhi apabila suatu negara menggunakan self assessment
system dalam sistem pemungutan pajak.
Self Assessment System adalah sistem dalam pemungutan pajak yang memberikan
wewenang, kepercayaan serta tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung
sendiri, membayar dan juga melaporkan sendiri besaran pajak yang seharusnya dibayar
(Waluyo, 2011). Dengan demikian maka sangat diperlukan kepatuhan dari Wajib Pajak
atau yang dikenal dengan istilah tax compliance dalam menyukseskan penerapan self
assessment system.
Okello dari IMF (2014) menjelaskan bahwa dalam menerapkan self assessment
system sebuah negara harus memenuhi tujuh syarat atau kondisi yang diantaranya adalah:
a. Clear and simple tax laws
Wajib pajak dalam self assessment system menghitung sendiri besaran pajak
terhutang yang seharusnya dibayar. Dengan demikian maka pertama-tama wajib pajak
tersebut tentu harus mengetahui bagaimana hukum pajak yang berlaku dan bagaimana
prosedur pembayarannya. Oleh karena itu, peraturan pajak harus dibuat dengan jelas dan
sesederhana mungkin supaya wajib pajak dapat memahaminya secara tepat serta mudah.
Prosedur yang mudah dalam mengurus administrasi juga perlu diperhatikan untuk
mengurangi cost of compliance yang ditanggung oleh wajib pajak.

b. Good service to taxpayers


Pelayanan yang baik kepada wajib pajak berarti bersifat service-oriented terhadap
wajib pajak dengan memberikan bantuan secara optimal dan informasi yang diperlukan
untuk memenuhi kewajiban para wajib pajak. Wajib pajak diberikan pelayanan informasi
yang sejelas-jelasnya tentang kapan dan di mana mereka harus membayar, perubahan
undang-undang, alur prosedur pelaporan serta pembayaran. Bahkan dalam administrasi
pajak modern pelayanan yang diberikan sudah berupa penyediaan seminar publik,
website, dan sebagainya.

c. Simple filing and payment procedures


Prosedur pemberkasan dan pembayaran yang sederhana misalnya seperti dengan
formulir pajak yang memiliki instruksi dapat dipahami dan mudah dimengerti bagaimana
cara melengkapinya. Kemudian juga pilihan pembayaran yang lebih banyak seperti dapat
melalui e-banking atau m-banking.
d. Effective collection enforcement
Penegakan pengumpulan yang efektif yang dimaksud adalah melakukan
pengumpulan pajak secara cepat dan mengupayakan agar wajib pajak membayar sebelum
jatuh tempo.
e. Selective risk-based audit
Audit berbasis risiko yang selektif dimaksudkan bahwa kantor pajak harus
memiliki sumber daya audit yang memadai untuk meminimalisir dan mendeteksi
ketidakpatuhan secara efektif. Dengan demikian maka wajib pajak akan lebih sadar dan
tahu bahwa jika mereka melakukan kesalahan dengan tidak mematuhi undang-undang
perpajakan maka mereka akan mendapat risiko terdeteksi ketidakpatuhan.

f. Fairly applied interest and penalties


Bunga dan hukuman yang diterapkan secara adil supaya wajib pajak
meningkatkan kewaspadaannya dalam mempersiapkan laporan pajak. Bunga dan
hukuman yang diberlakukan juga tidak boleh terlalu lunak atau tidak realistis. Hukuman
diberikan kepada wajib pajak sebagai sanksi melanggar hukum sementara bunga
dikenakan karena wajib pajak telat melakukan pembayaran.

g. Fair and timely dispute resolution


Resolusi perselisihan yang adil dan tepat waktu berarti sekalipun administrasi
fiskal memiliki hak untuk memberikan sanksi kepada wajib pajak yang tidak patuh tetapi
juga harus memberikan akses kepada wajib pajak untuk melakukan proses banding. Saat
wajib pajak tidak setuju dengan hasil audit, maka wajib pajak memiliki akses ke proses
penyelesaian untuk melindungi hak-hak mereka melalui banding. Proses tersebut
diupayakan sederhana, transparan, netral, dan meliputi: administrasi independen dalam
proses banding; pengadilan khusus yang menangani saat wajib pajak tidak puas dengan
hasil audit dan harus memiliki para profesional yang memenuhi syarat yang biasanya
disebut sebagai yusdisial; dan proses peradilan untuk menyelesaikan sengketa hukum dan
memastikan keadilan secara prosedural.

2. Evaluasilah keberadaan syarat tersebut di Indonesia satu per satu, apakah sudah
terpenuhi? Bagaimanakah perbaikan yang harus dilakukan?
Pada mulanya di Indonesia menggunakan official assessment system di mana
segala sesuatu dilakukan oleh aparatur perpajakan dimulai dari menghitung laporan serta
menentukan besaran pajak semua menjadi wewenang fiskus. Kemudian, setelah
reformasi perpajakan pada tahun 1983 dikeluarkanlah peraturan Undang-Undang Nomor
6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Pada undang-
undang tersebut kemudian diberlakukanlah sistem pemungutan pajak berupa self
assessment system.
Self Assessment System secara sederhana adalah sistem yang memberikan
kepercayaan bagi wajib pajak untuk mengurus pajaknya sendiri dari mengisi laporan
hingga membayar pajak. Dalam penerapan sistem tersebut maka sudah dipaparkan di
nomor 1 mengenai tujuh syarat atau kondisi yang harus dipenuhi oleh negara Indonesia
agar berhasil dalam pelaksanaannya yang terdiri dari: clear and simple tax laws, good
service to taxpayers, simple filing and payment procedures, effective collection
enforcement, selective risk-based audit, fairly applied interest and penalties, dan fair and
timely dispute resolution. Oleh karena itu akan dianalisis mengenai apakah Indonesia
sudah memenuhi syarat-syarat tersebut dalam melaksanakan self assessment system.
Mengenai syarat pertama yaitu kejelasan dan kesederhanaan hukum pajak di
Indonesia masih dipertanyakan. Namun kasusnya seringkali walaupun sudah terdapat
banyak penjelasan mengenai kebijakan perpajakan di Indonesia akan tetapi masih
ditemukan banyak peraturan perpajakan yang multitafsir dan masih ada yang tumpang
tindih. Peraturan yang tumpang tindih misalnya terkait pengungkapan ketidakbenaran
pengisian SPT (Surat Pemberitahuan) dalam Pasal 8 ayat 4 Undang-Undang No.16 Tahun
2009 KUP dan Pasal 8 ayat 1 Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2011. Dalam UU KUP
wajib pajak diizinkan untuk melakukan pengakuan ketidakbenaran pengisian SPT
walaupun fiskus sudah melaksanakan pemeriksaan asalkan belum mengeluarkan SKP.
Sementara PP menjelaskan bahwa pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT dapat
dilakukan sebelum SPHP (Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan). Artinya terjadi
ketidaksesuaian peraturan dalam masalah batas waktu pengungkapan.
Syarat kedua yaitu pelayanan yang baik terhadap wajib pajak telah diupayakan
dan dioptimalisasi oleh negara Indonesia. Contoh sederhananya adalah pelayanan pajak
menghadirkan kemudahan bagi masyarakat dalam melaporkan SPT melalui e-filling, e-
billing, dan e-faktur. Dengan hadirnya pelayanan berbasis teknologi elektronik tidak serta
merta menghilangkan eksistensi dari KPP karena KPP tetap menyediakan pelayanan
berupa customer service secara tatap muka maupun melalui telepon untuk menjawab
kebutuhan masyarakat terkait tanggung jawabnya dalam melaporkan pajak.
KPP (Kantor Pelayanan Pajak) mempunyai program pelayanan guna
mengedukasi masyarakat misalnya melalui tax goes to campus atau tax goes to school
sehingga generasi muda semakin peduli dengan kewajibannya nanti sebagai warga negara
yang berintegritas. Beberapa kali DJP juga menyediakan seminar-seminar publik, artikel
pajak, dan LAKIN (laporan kinerja Direktorat Jenderal Pajak) berupa laporan yang dapat
diakses publik mengenai alokasi pajak dan sebagainya. Pelayanan lainnya yang juga
dilakukan oleh DJP di luar kantor juga tersedia seperti Mall Pelayanan Publik, Kiosk
Pajak serta mobile tax unit yang dapat berupa mobil, gerai, dan pojok pajak. Mobile tax
unit menyediakan layanan berupa edukasi, penyuluhan, penyediaan materi, pembuatan e-
fin dan e-filling, pengaduan pajak hingga pembayaran pajak. Good service to taxpayers
tidak hanya berbicara tentang jenis pelayanan yang diberikan kepada masyarakat tetapi
juga mengenai attitude terhadap wajib pajak. Oleh karena itu, di KPP selalu berupaya
mengingatkan dan menanamkan sikap 5S yaitu senyum, salam, sapa, sopan, dan santun.
Simple filing and payment procedures sudah dilakukan di Indonesia dengan
menyediakan layanan berbasis elektronik untuk memudahkan masyarakat dalam
melaporkan maupun membayar pajak. Pelaporan dapat dilakukan melalui e-filling secara
real time. Masalah pembayaran juga semakin dipermudah dengan diperbolehkannya
pembayaran melalui kantor pos, m-banking, e-banking, dan ATM. Bahkan sejak 6
agustus 2019, pembayaran pajak diresmikan sudah dapat dilakukan melalui tokopedia
dalam rangka Treasury Single Account.
Pada syarat keempat yaitu penegakan hukum secara efektif dengan maksud
supaya pembayaran dilakukan sebelum jatuh tempo dan secepatnnya. Pelaksanaan
penegakan hukum di Indonesia terdapat dua cara utama yaitu pemeriksaan pajak serta
pengenaan sanksi administrasi berupa denda, bunga, kenaikan, dan sanksi tindak pidana.
Pemeriksaan pajak di Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang
KUP dalam Pasal 1 ayat 25: “Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan
mengelola data, keterangan dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan
profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan
peraturan perundang-undangan.”
Jadi walaupun wajib pajak diberikan kebebasan untuk menhitung, melaporkan, dan
membayar pajak sendiri namun tetap ada penegakan hukum (law enforcement) berupa
pemeriksaan pajak untuk menjaga kepatuhan wajib pajak. Penegakan hukum juga
diupayakan untuk mencegah wajib pajak dari melakukan tindakan tax evasion.
Penegakan hukum pajak di Indonesia nyatanya masih belum efektif seperti
dilansir oleh bisnis.com, ditjen pajak menyatakan baru 61,7% SPT tahunan 2018 yang
masuk hingga 1 April 2019 atau sebanyak 11,3 juta dari 18,3 juta SPT yang seharusnya
dilaporkan. Hal ini membuktikan bahwa masih terdapat wajib pajak yang terlambat
melaporkan SPT tahunannya dan belum efektifnya penegakan hukum yang membuat
wajib pajak melaporkan SPT tepat waktu.
Syarat berikutnya yang harus dipenuhi oleh negara Indonesia yang menerapkan
self assessment system adalah selective risk-based audit. Persyaratan tersebut
dimaksudkan agar wajib pajak lebih berwaspada dalam pelaporan SPT agar tidak terjadi
kesalahan yang melanggar peraturan perpajakan. DJP sendiri memiliki auditor pajak.
Sekretaris umum IAPI (Institut Akuntan Publik Indonesia) pada situs resminya
menyatakan bahwa ketersediaan sumber daya auditor masih kurang. Dapat terlihat dari
hasil penyampaian pelaporan pajak saja di Thailand ada 680ribu perusahaan yang
melapor tapi di Indonesia hanya 2.000 perusahaan yang melakukannya padahal
berdasarkan data dirjen pajak seharusnya ada sekitar 700 ribu. Menurut IAPI, coverage
audit ratio di Indonesia hanya 2-3.
Kemudian mengenai pemberlakuan bunga dan hukuman untuk meningkatkan tax
compliance juga diterapkan oleh Indonesia. Pengenaan bunga dan hukuman secara
substansi sudah ada dan dimaksudkan untuk meningkatkan kepatuhan pajak. Di Indonesia
sendiri sudah ada sanksi administratif terhadap wajib pajak yang melanggar peraturan.
Misalnya pada UU KUP 2007 pasal 9 ayat 2b tentang keterlambatan bayar atau setor
pajak tahunan dikenakan 2% per bulan dihitung dari waktu jatuh tempo. Selain itu,
terdapat juga UU KUP 2007 pasal 19 ayat 3 tentang kekurangan pajak karena penundaan
SPT diberikan jenis sanksi bunga sebesar 2% per bulan dari kekurangan pembayaran
dihitung dari batas akhir penyampaian SPT. Konsekuensi hukuman bagi pelanggaran
hukum pajak di Indonesia terdapat 2 jenis sanksi yaitu sanksi administrasi atau sanksi
pidana sebagaimana yang tertulis dalam UU Nomor 28 Tahun 2007 KUP. Contoh sanksi
administrasi misalnya UU KUP 2007 pasal 8 ayat 3 tentang pengungkapan
ketidakbenaran dan pelunasan sebelum penyidikan akan dikenakan denda sebesar 150%
dikali dengan jumlah pajak yang kurang bayar, dan masih banyak contoh lainnya.
Bunga dan denda secara substansi hukumnya sudah ada tetapi dalam praktiknya
masih banyak wajib pajak yang tidak mematuhi aturan yang sudah ada. Menurut laporan
DJP di pajak.go.id menjelaskan hanya 10.589.648 dari 17.653.963 wajib pajak yang
melaporkan SPT hingga 31 Maret 2018. Selain itu kasus lainnya menurut data DJP
program tax amnesty yang dilakukan pada 1 juli 2016 hingga 31 maret 2017 di Indonesia
total harta yang dideklarasikan sebesar Rp.4.670 triliun dengan rincian aset dalam negeri
Rp.3.496 triliun, aset di luar negeri Rp.1.028 triliun, dan dana repatriasi Rp.146 triliun.
Angka-angka tersebut menunjukkan adanya ketidakpatuhan wajib pajak dalam
melaporkan aset yang dimilikinya. Walau begitu sejak adanya program tax amnesty,
tingkat kepatuhan pajak dikatakan semakin positif menurut penelitian yang dilakukan
Viega Ayu Permata Sari (2017).
Dalam hal fair and timely dispute resolution di Indonesia sudah menyediakan
pengadilan pajak untuk melaksanakan banding atas suatu sengketa antara fiskus dan
wajib pajak. Banding sendiri sebenarnya sudah diatur dalam UU No.14 tahun 2002
tentang pengadilan pajak. Pada dasarnya proses banding dilakukan dengan mengajukan
surat banding yaitu maksimal 3 bulan sejak tanggal diterimanya keputusan yang akan
dibanding.
Pada kesimpulannya hampir seluruh syarat yang ditetapkan untuk mencapai
penerapan self assessment yang berhasil, negara Indonesia secara substansi hukum sudah
dipenuhi. Selain itu, Indonesia sendiri terus berupaya untuk memenuhi persyaratan
tersebut dengan mengikuti era digitalisasi seperti menghadirkan e-filing, memudahkan
proses pembayaran, dan sebagainya. Hanya saja peraturan yang berlaku masih terdapat
kondisi multitafsir dan tumpang tindih antara suatu peraturan dengan peraturan lainnya.
Hal lainnya juga mengenai fiskus yang jumlahnya masih sedikit sehingga dalam
penegakan pelaksanaan peraturan masih ada wajib pajak yang melakukan tax evasion.
Budaya wajib pajak di Indonesia yang sudah terbiasa menghindari pajak juga menjadi
faktor dari penghambat kepatuhan pajak.
Dengan mengetahui kekurangan-kekurangan tersebut, maka sebenarnya
Indonesia perlu untuk terus mengevaluasi peraturan yang berlaku supaya tidak multitafsir
sehingga sengketa pajak dapat berkurang. Kemudian, jumlah fiskus harus ditingkatkan
untuk menegakkan peraturan pajak misalnya bekerja sama dengan IAPI dan IKPI untuk
mengembangkan edukasi perpajakan dengan harapan jumlah fiskus dapat bertambah.
Selain itu, menemukan inovasi bagaimana wajib pajak merasa diuntungkan dengan
membayar pajak. Hal ini dikarenakan, manusia adalah makhluk ekonomi yang
mempertimbangkan keuntungan dari suatu tindakan, walaupun pada dasarnya
berdasarkan pengertiannya sifat pajak adalah tidak dapat memberikan imbalan langsung
DAFTAR PUSTAKA

IAPI. “Tata Kelola Pelaporan Keuangan Harus Baik.” https://iapi.or.id/Iapi/detail/616


(10 September 2019)

Okello, Andrew. “Managing Income Tax Compliance through Self-Assessment.” IMF


Working Paper. (2014): 16.

Pajak.go.id. “Kepatuhan Meningkat Penyampaian SPT Tumbuh Double Digit.”


https://www.pajak.go.id/kepatuhan-meningkat-penyampaian-spt-tumbuh-double-digit
(11 September 2019)

Sari, Viega Ayu Permata. “Pengaruh Tax Amnesty, Pengetahuan Perpajakan, dan
Pelayanan Fiskus Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak.” Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi,
Vol. 6, No. 2. (2017): 755-757

Suwiknyo, Edi. “Kepatuhan Penyampai SPT 61,7 Persen, Wajib Pajak Diminta Lapor
Meski Terlambat.” Ekonomi Bisnis.
https://ekonomi.bisnis.com/read/20190403/259/907644/kepatuhan-penyampaian-spt-
617-persen-wp-diminta-lapor-meski-terlambat (10 September 2019)
Waluyo. Perpajakan Indonesia. Jakarta: Salemba Empat, 2011.

Anda mungkin juga menyukai