Anda di halaman 1dari 8

DIA

Oleh:Farhan Maulana Riziq

Udara pagi ini terasa begitu sejuk. Para orang tua berlomba-lomba untuk beribadah.
Begitu juga dengan aku yang sedang berjalan menuju ke Masjid yang tidak berjarak jauh dari
rumahku. Suatu pemandangan yang indah di mana saat para manusia yang lain sibuk dengan
tidur atau urusan lainnya, aku dan para jamaah Masjid ini sibuk menambah pahala dan mencari
ke Ridho’anNya.

Salah satu alasan aku sholat Subuh berjamaah di Masjid adalah karena dia. Ya, dia yang
sering kutatap diam-diam. Istilah zaman sekarang adalah “suka dalam diam”. Terdengar klise
namun, inilah kebenarannya. Lagipula aku adalah remaja yang baru mengenal rasa suka bahkan
aku saja tidak mengetahui perbedaan antara rasa suka dengan kagum.

Jujur aku suka melihat dia yang lebih mengutamakan ibadahnya, aku tahu dia sekarang
adalah seorang mahasiswa di sebuah Kampus Swasta di kota Palembang ini. Pertama kali aku
melihatnya adalah saat dia membaca Al – Qur’an di dalam Masjid. Aku jatuh hati saat
mendengar suara merdunya melantunkan ayat-ayat suci Al – Qur’an. Terdengar sangat indah dan
membuat hati tenang. Perasaan ini datang karena ketidaksengajaaan, aku saat itu hanya kagum
pada pemilik suara itu.

Setelah selesai menunaikan sholat aku pun berjalan pulang ke rumah. Di jalan keluar dari
Masjid aku berpapasan dengannya. Dia tersenyum dan aku pun tersenyum membalasnya.
Senang, bahagia semua rasa bercampur aduk saat mengetahui orang yang kita suka tersenyum
ramah seperti itu. Ya Tuhan, jangan buat perasaan ini membuat aku nantinya lupa diri padaMu.
Selama perjalanan ke rumah hatiku diliputi rasa bahagia, sesuatu hal yang
membahagiakan. Selama 17 tahun sudah aku hidup, baru kali ini aku merasa suka kepada laki-
laki yang bukan mahramku mungkin jika Ayah sampai tahu aku akan diberi ceramah tentang
cara menjaga pandangan dan hati.

‘Bukan muhrim. Bukan muhrim.’ Kalimat itu terasa terngiang-ngiang di otakku. Sebuah
peringatan yang membuat aku sadar dan sedikit merasa tidak nyaman. Ya, tidak nyaman. Dia
bukan siapa-siapa tapi mengapa aku memikirkannya sampai seperti ini. Aku yang sibuk
memikirkannya belum tentu dia memikirkan aku.

“Ira apa yang sedang kamu renungkan sampai-sampai tidak mendengarkan Ibu berbicara
di depan.” Aku terkejut dan tersenyum canggung karena ketahuan melamun oleh guru.
Memalukan, batinku.
“Maaf.” Aku berharap senyum anehku tidak membuat Ibu Yasmin malah semakin kesal.
Untungnya beliau hanya mengangguk-ngangguk tanpa berbicara, beliau pun berjalan ke depan.
Aku saat ini berada di sekolah dengan jumlah pelajar yang tidak bisa dikatakan banyak ataupun
sedikit. Sekolah ini nyaman dan sejuk.

Aku dikenal sebagai siswi yang pendiam dan terkesan tidak punya semangat hidup
karena ekspresi wajahku yang kalau dilihat seperti lesu. Itu karena mereka hanya bisa menilai
dari luar tanpa mengetahui bagaimana perangai asliku.

“Akira, nanti pulang sekolah aku ke rumahmu ya.” Aku berbisik kepada teman sebangku
yaitu, Akira. Abang sepupu. Omong-omong aku adalah anak tunggal.
“Mau ngapain? Bawa kue lagi ya,” Aku mengangguk semangat.
Sesampainya aku di rumah aku langsung berganti baju dan izin kepada Ibu untuk ke
rumah Akira. Aku ingin melihatnya sekali saja. Dia bekerja paruh waktu di rumah makan yang
tidak jauh dari rumah Akira, jika begini aku merasa seperti seorang detektif.

“Jangan lama-lama ya nanti Ayah kamu marah lagi kalau kamu kelamaan.” Aku hanya
mengangguk dan mengucap salam.
Selama dalam perjalanan menuju rumah Akira aku hanya berharap kalau dia tidak sedang tidur.
Sudah menjadi kebiasaan Akira jika sepulang sekolah pasti langsung makan dan sehabisnnya
tidur. Sesampainya di rumah Akira, aku bertemu dengan dia. Ya, dia yang tidak aku ketahui
namanya sedang duduk santai di ruang tamu rumah ini. Ya Tuhan, ujian macam apa ini, lagi pula
ada hubungan apa Akira dengan dia. Jangan-jangan dia ini adalah teman Akira bermain bulu
tangkis.

Mungkin karena melihat aku yang berdiri diam di depan pintu dia merasa bingung. Dia
tersenyum kecil, “Nyari Akira ya? Dia lagi keluar sebentar buat beli raket.” Aku hanya
mengangguk dan permisi keluar. Padahal jika aku mau aku bisa saja bertanya pada Akira siapa
namanya namun, keinginan itu tidak aku laksanakan.

Canggung, senang semua terasa. Ada apa gerangan dengan diriku ini, padahal tujuan aku
kesini adalah untuk mengajak Akira ke rumah makan tempat biasa dia bekerja lalu kenapa dia
ada disini. Padahal jika aku ingin aku bisa saja duduk di sofa dan berbincang-bincang padanya.
Namun, tidak bisa. Aku malu. Aku hanya berharap agar Akira tidak lama dan belum selesai aku
berharap Akira sudah datang dengan membawa raket.

Akira tersenyum lebar dan mengajak aku untuk masuk ke dalam. Mau menolak tapi nanti
sia-sia aku kesini tapi kalau diterima nanti malah aku sendiri yang merasa malu dan canggung.
Pilihan yang sulit tapi, tidak apa-apa toh dia juga manusia kok jadi buat apa aku harus takut.
“Duduk dulu Ira, ada yang mau aku bicarakan dengan Hanan.” Aku mengangguk dan apa
tadi dia bilang, Hanan. Jadi namanya adalah Hanan dan nama lengkapku adalah Maghfirah
Haneen. Sebuah kebetulan yang membuat aku tersenyum ceria.

Entah apa yang mereka bicarakan namun, cukup lama sampai membuat aku penasaran.
Tidak mungkin bukan Akira menceritakan kalau aku menyukai Hanan. Kalau itu sampai terjadi
akan sangat memalukan.

“Ira, aku pamit pulang dulu ya,” Aku terkejut saat dia menyebut namaku. Dari mana dia
tahu namaku, pasti dari Akira. Dia mengucap kalimat itu tanpa menatapku dan tanpa mengucap
salam, hei yang benar saja.
“Ira jadi nggak ke rumah makan? Aku lapar nih.” Aku mendelik mendengar kata-kata yang
keluar dari mulutnya. Melihat aku yang diam saja dia malah menatapku dengan tatapan bertanya,
“Jadi nggak? Kalau enggak jadi aku sendiri aja deh kesana.”
“Yaudah, tapi kamu yang bayar ya. Aku nggak bawa uang.” Dia hanya mengangguk lalu dia
berkata, “Kenapa gak jadi bawa kue malah ngajak ke rumah makan?” Aku pun menjawab, “Tadi
sudah kubilang di sms kenapa gak jadi, kebiasaan deh pelupa.” Akira hanya mengangguk dan
kami berdua pun menuju ke rumah makan dengan menggunakan kendaraan masing-masing.

Sesampainya di rumah makan, aku dan Akira pun memesan makanan dan minuman. Aku
berusaha mencari Hanan namun, tidak aku temukan. Apa dia sudah tidak bekerja disini atau
bagaimana ya, dia kuliahnya hanya hari sabtu-minggu. Jangan heran kalau aku mengetahuinya
itu karena aku bertanya pada Akira.
“Tadi kenapa sih Hanan kaya jutek gitu sama aku dan dia dari mana tau nama aku?” Aku
bertanya sembari menatap sekeliling.
“Mungkin dia nggak suka kamu kali, dia kan orangnya sok agamis gitu jadi cewek macam-
macam kamu gini mana mau dia, Ra. Lagian dia sukanya kaya ukhty-ukhty di Instagram gitu
lho,”
“Lah memang dia tahu dari siapa kalau aku suka sama dia. Ngomong sama dia aja aku hampir
gak pernah kecuali tadi ya. Jangan-jangan kamu cerita ke dia.” Aku tiba-tiba merasa sebal
dengan Akira.
“Iya tadi aku bilang, katanya suruh kamu hapus rasa suka kamu ke dia. Dia nggak mau pacaran
katanya, haram.” Tatapan jenis apa yang sekarang aku berikan pada Akira, ini sangat
menyedihkan lagipula aku suka diam-diam bukan yang secara gamblang mengatakan kalau aku
menyukai dirinya. Aku juga tahu kalau di Islam melarang pacaran, kecuali pacaran setelah
menikah.
“Aku ngerasa ada yang janggal deh, kamu jangan-jangan sudah ngomongin aku yang buruk-
buruk ya.”
“Jangan suudzon dong, lagipula buat apa aku ngomongin kejelekkan kamu ke orang yang kamu
suka, maaf ya aku nggak sejahat itu.”
Aku jadi merasa bersalah karena sudah menuduhnya, “Maaf ya.” Kataku. Akira hanya
mengangguk tanpa berkata apa-apa, mungkin dia marah. Tidak masalah, marahnya Akira tidak
pernah melebihi 4 menit. Setelah selesai makan kami berdua pun pulang ke rumah masing-
masing.
Malam harinya setelah melakukan kewajiban aku hanya terduduk diam di depan meja
belajar. Merenungi apa saja yang telah aku lakukan hari ini, bagaimana aku bertutur kepada
orang-orang adakah kebaikan yang sudah aku lakukan. Teruntuk Hanan, aku merasa malu
padanya.

Aku tahu pacaran itu tidak diperbolehkan akan tetapi, kenapa harus berkata seperti itu
dengan Akira. Tahu kah dia kalau itu menyakiti perasaanku.

Mungkin ini yang dinamakan karma atau bagaimana ya. Salah aku juga sih yang menaruh
perasaan kepada Hanan dan lagipula kita tidak bisa mengontrol hati kita untuk suka kepada siapa
dan bagaimana rupanya. Jika hati kita sudah merasa ‘klik’ ya mau bagaimana lagi.

Untuk menghilangkan rasa gelisah ini aku pun membuka aplikasi Instagram dan tidak
sengaja aku membuka akun Instagram Akira. Ya, Akira sering menambahkan foto-foto di akun
media sosialnya karena melihat di salah satu foto Akira ada wajah Hanan otomatis saja aku
langsung membuka akun pribadi miliknya. Syukur, tidak dikunci.

Isi Instagramnya biasa saja. Tidak ada yang menampilkan wajahnya kecuali foto bersama dengan
teman-temannya. Dia banyak menambahkan foto yang berisi kata-kata dan ada satu
unggahannya yang menarik perhatianku. Foto pemandangan yang diburamkan. Dia menulis
‘tinggalkan atau halalkan.’ Foto itu baru saja diupload beberapa jam yang lalu.

Dari foto ini aku seperti bercermin pada diriku sendiri. Ya Tuhan, apa yang sudah aku
lakukan. Aku menyukai dia seakan-akan dia adalah jodohku saja padahal dia tidak menyukai
aku. Mungkin ini akibat dari aku yang suka menonton drama Korea jadi semuanya serasa bisa
saja terjadi padahal perihal perasaan tidak bisa dipaksakan dan tidak bisa diatur kalau Sang
pemilik hati sudah menetapkan dia bukan jodoh kita ya kita bisa apa.
Entah keberanian darimana aku berani mengirim pesan pribadi kepada Hanan melalui
aplikasi ini. Aku hanya ingin bertanya kenapa dia terlihat tidak ramah kepadaku tadi siang saat di
rumah Akira dan tidak lama saat aku mengirim pesan kepada Hanan, dia pun membalasnya.
Balasannya ringkas namun, membuatku bingung. Dia berkata, “Aku minta maaf kalau sudah
menaruh perasaan kepada kamu, aku tidak menyangka kalau kamu merasa risih kepadaku tapi,
satu hal yang harus kamu tahu. Aku bersyukur karena mencintai kamu karena Allah. Terima
kasih Maghfirah Haneen, kamu bahkan sudah menjadi daftar teratas di do’aku setelah ibu dan
ayahku.”

Aku menangis sejadi-jadinya. Aku tidak menyangka perasaanku dibalas dengan cara
yang sama dalam mencintainya dan ada apa gerangan dengan Akira. Kenapa anak itu berkata
bohong, aku perlu penjelasan untuk hal ini. Besok sudah hari minggu dan tidak ada waktu untuk
bertemu Akira. Ayah dan Ibu pasti akan mengajak aku untuk bertemu keluarga yang ada di
kampung.

Ponsel Akira tidak aktif. Anak ini sudah jelas menghindar. Aku mencoba
menghubunginya melalui berbagai media sosial yang ku miliki dan hasilnya nihil. Dia
menghilang bak ditelan bumi. Oh astaga, ada satu media sosial yang belum aku buka yaitu,
Facebook. Positif thinking saja dia aktif disana.

“Ira, aku minta maaf sudah berkata bohong kepada kamu dan Hanan. Maafkan aku ya,
lagipula Hanan tidak cocok untuk kamu karena dia tidak sebanding dengan keluarga kita. Oh iya,
mungkin ini terakhir kalinya aku mengirim pesan karena hari ini aku sedang dalam perjalanan ke
kota Bandung. Ibu dan Ayahku mengajak aku untuk pindah dan ya aku menerimanya, lagipula
kota ini tidak terlalu menyenangkan. Bye.”
Pesan ini dikirim 15 menit yang lalu dan sekarang dia sudah tidak aktif. Aku tidak
menyangka kalau dia bisa melakukan hal seperti ini, entah ada motif apa sampai hati dia
melakukan hal semacam ini kepada aku dan Hanan. Rasa suka kepada Hanan sekarang malah
terasa hambar, aku merasa bingung dengan diriku sendiri. Hanya Tuhan yang tahu mengapa aku
begini karena hanya Dia yang bisa membolak-balikkan hati hambaNya.

Aku bahkan tidak membalas pesan dari Hanan dan Akira. Aku merasa kecewa. Kecewa
dengan Hanan yang bisa langsung saja percaya dengan perkataan Akira tanpa mengkonfirmasi
kejelasannya kepada aku dan Akira yang bisa berkata semaunya saja. Memang benar, kita
memang tidak bisa percaya sepenuhnya kepada manusia. Seharusnya aku tidak memberitahukan
perihal perasaan ini kepada Akira dan seandainya saja aku bisa menjaga pandangan dan hati pasti
aku tidak akan menyukai Hanan.

Yang bisa aku lakukan sekarang adalah menyesal. Manusia sumbernya khilaf dan dari
kejadian ini semoga aku bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi dan semoga bisa tetap
istiqomah dalam menjalankan kewajiban maupun sunnah sesuai dengan syariat Islam

Anda mungkin juga menyukai