Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perkembangan Pendengaran Pada Anak


2.1.1 Perkembangan Auditorik.
Perkembangan auditorik pada manusia sangat erat kaitannya
dengan perkembangan otak. Neuron di dalam korteks mengalami
proses pematangan dalam waktu 3 tahun pertama kehidupan, dan
masa 12 bulan pertama kehidupan terjadi perkembangan otak yang
sangat cepat. Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas upaya untuk
melakukan deteksi gangguan pendengran harus dilakukan sedini
mungkin agar habilitasi pendengaran sudah dapat dimulai pada saat
perkembangan otak berlangsung.

Anatomi sistem pendengaran

2
3

Indera pendengar merupakan salah satu alat panca indera untuk


mendengar. Bagian-bagian telinga terdiri dari :
1. Telinga Luar

Aurikula (daun telinga) menampung gelombang suara datang


dari luar masuk ke dalam telinga. Meatus akustikus eksterna (liang
telinga) merupakan saluran penghubung aurikula dengan membrane
timpani panjangnya + 2,5 cm terdiri dari tulang rawan dan tulang
keras, saluran ini mengandung rambut, kelenjar sebasea dan kelenjar
keringat, khususnya menghasilkan sekret-sekret berbentuk serumen.
Membran timpani merupakan antara telinga luar dan telinga tengah
terdapat selaput gendang telinga.
2. Telinga Tengah
Kavum timpani merupakan rongga di dalam tulang temporalis
terdapat 3 buah tulang pendengaran yang terdiri dari maleus, inkus
dan stapes yang melekat pada bagian dalam membrane timpani dan
bagian dasar tulang stapes membuka pada fenestra ovalis. Antrum
timpani merupakan rongga tidak teratur yang agak luas terletak di
bagian bawah samping dari kavum timpani. Antrum timpani dilapisi
oleh mukosa merupakan lanjutan dari lapisan mukosa kavum timpani,
rongga ini berhubungan dengan beberapa rongga kecil yang disebut
sellula mastoid yang terdapat di belakang bawah antrum di dalam
tulang temporalis. Tuba auditiva eustaki merupakan saluran tulang
4

rawan yang panjangnya + 3,7 cm berjalan miring ke bawah agak ke


depan, dilapisi oleh lapisan mukosa.
3. Telinga Dalam
Terletak pada bagian tulang keras pylorus temporalis, terdapat
reseptor pendengaran dan alat pendengar ini disebut labirin.Labirin
osseous merupakan serangkaian saluran bawah dikelilingi oleh cairan
dinamakan perilimfe. Labirin osseous terdiri dari :
a. Vestibulum
b. Koklea
c. Kanalis semi sirkularis
Fisiologi Pendengaran
5

Ditimbulkan oleh getaran atmosfer yang dikenal gelombang


suara dimana kecepatan dan volumenya berbeda-beda. Gelombang
suara bergerak melalui rongga telinga luar yang menyebabkan
membran timpani bergetar, getaran-getaran tersebut diteruskan
menuju inkus dan stapes melalui maleus yang terkait pada membrane
itu. Karena getaran yang timbul setiap tulang itu sendiri maka tulang
akan memperbesar getaran yang kemudian disalurkan ke fenestra
vestibuler menuju perilimfe. Getaran perilimfe dialihkan melalui
membrane menuju endolimfe dalam saluran koklea dan rangsangan
mencapai ujung-ujung akhir saraf dalam organ korti selanjutnya
dihantarkan menuju otak. Perasaan pendengaran ditafsirkan otak
sebagai suara yang enak atau tidak.
2.1.2 Perkembangan Auditorik Prenatal
Telah diteliti bahwa koklea mencapai fungsi normal seperti
orang dewasa setelahusia gestasi 20 minggu. Pada masa tersebut janin
dalam kandungan telah dapatm memberikan respons terhadap suara
yang ada disekitarnya, namun reaksi janin masih bersifat refleks
seperti refleks Moro,terhentinya aktifitas(cessaciation reflex) danauro
palpebral. Kuczwara dkk (1984) membuktikan respons terhadap suara
berupa refleks auropalpebral yang konsisten pada janin normal usia
24-25 minggu.

2.1.3 Perkembangan Wicara

Bersamaan dengan proses maturasi fungsi auditorik,


berlangsung pulakemampuan bicara. Kemahiran wicara danberbahasa
pada seseorang hanya dapattercapai jika input sensorik (auditorik)
danmoptorik dalam keadaan norma.

Awal dari proses belajar bicara terjadipada saat lahir. Sulit


dipastikan usia absoluttahapan perkembangan bicara, namun
padaumumnya akan mengikuti ntahapan sebagaiseperti terlihat pada
tabel 1.

Perkembangan bicara erat kaitannya dengan tahap


perkembangan mendengar,oleh karenanya dengan memahami tahap
6

perkembangan bicara dapat diperkirakanadanya gangguan


pendengaran. Berdasarkan kenyataan tersebut beberapa hal berikut ini
perlu mendapat perhatian terhadap kemungkinan adanya gangguan
pendengaran pada bayi dan anak (tabel 2).
7

Tabel 2. Perkiraan adanya gangguan pendengaran pada bayi dan


anak

Usia Kemampuan Bicara


12 Bulan Belum dapat mengoceh
18 Bulan Tidak dapat menyebutkan 1 kata
yang mempunyai arti
24 Bulan Perbendaharaankata kurang dari
10 kata
30 Bulan Belum dapat merangkai 2 kata

2.2 Gangguan Pendengaran Pada Anak


Proses belajar mendengar bagi bayi dan anak sangat kompleks
dan bervariasi karena menyangkut aspek tumbuh kembang,
perkembangan embriologi, anatomi, fisiologi, neurologi, dan
audiologi. Pada sisi lain pemeriksaan diharapkan dapat mendeteksi
gangguan pendengaran pada kelompok usia ini sedini mungkin.
Gangguan pendengaran pada bayi dan anak kadang kadang
disertai keterbelakngan mental, gangguan emosional maupun afasia
perkembangan. Umumnya seorang bayi atau anak yang mengalami
gangguan pendengaran, lebih dahulu diketahui keluarganya sebagai
pasien yang terlambat bicara (delayed speech).
Gangguan pendengaran dibedakan menjadi tuli sebagian
(hearing impaired) dan tuli total (deaf). Tuli sebagian (hearing
impaired) adalah keadaan fungsi pendengaran berkurang namun masih
dapat dimanfaatkan untuk berkomunikasi dengan atau tanpa bantuan
alat bantu dengar, sedangkan tuli total (deaf) adalah keadaan fungsi
pendengaran yang sedemikian terganggunya sehingga tidak dapat
berkomunikasi sekalipun mendapat perkerasan bunyi (amplikasi).

2.2.1 Penyebab Gangguan Pendengaran Pada Bayi/Anak


Menurut buku ajar ilmu kesehatan ‘Telinga Hidung
Tenggorokan Kepala Dan Leher” edisi ketujuh, Fakultas Kedokteran
Indonesia, Penyebab gangguan pendengaran pada bayi dan anak
8

dibedakan berdasarkan saat terjadinya gangguan pendengaran yaitu


pada masa pranatal, perinatal dan postnatal.

A. Masa pranatal
1). Genetik Heriditer
2). Non Genetik seperti gangguan atau kelainan pada masa
kehamilan, kelainan struktur anatomik dan kekurangan zat gizi.

Selama kehamilan, periode yang paling penting adalah timester


pertama sehingga setiap gangguan atau kelainan yang terjadi pada
masa tersebut dapat menyebabkan ketulian pada bayi. Infeksi bakteri
maupun virus pada ibu hamil seperti toksoplasmosis, rubella,
cytomegalovirus, herpes, sipilis dapat berakibat buruk pada
pendengaran bayi yang akan dilahirkan.
Beberapa jenis obat ototoksik dan terotogenik berpotensi
mengganggu proses organogenesis dan merusak sel-sel rambut koklea
seperti salisilat, kina, neomisin, dihidro streptomisin, gentamisin,
barbiturat, thalidomide dll.
Selain itu malformasi struktur anatomi telinga seperti atresia
liang telinga dan aplasia koklea juga kan menyebabkan ketulian.

B. Masa Perinatal
Beberapa keadaan yang dialami bayi pada saat lahir juga
merupakan faktor risiko terjadinya gangguan pendengaran/ketulian
seperti prematur,berat badan lahir rendah, hiperbilirubinrmia, asfiksia.
Umumnya ketulian yang terjadi akibat faktor pranatal dan perinatal
adalah tuli sensorineural bilateral dengan derajat ketulian berat atau
sangat berat.
C. Masa Postnatal
Adanya infeksi bakteri atau virus seperti rubela, campak,
parotis, infeksi otak, perdarahan pada telinga tengah, trauma temporal
juga dapat menyebabkan tuli saraf atau tuli konduktif.
9

Selain itu, berdasarkan penelitian pada bayi yang tuli sejak lahir
terdapat sejumlah faktor risiko yang berperan. Faktor faktor risiko
yang mungkin menyebabkan gangguan pendengaran adalah :
1. Lahir belum cukup bulan (prematur).
2. Pernah dirawat di NICU (Neonatal Intensive Care Unit).
3. Pada saat hamil, ibu mengalami infeksi TORCH
(Toksoplasma, Rubela, Sitomegalovirus, Herpes)
4. Kadar bilirubin darah yang tinggi (hiperbilirubinemia),
sehingga membutuhkan transfusi tukar.
5. Terdapat kelainan anatomi pada wajah
6. Pernah mendapat obat yang bersifat meracuni pendengaran
(ototoksik)
7. Di dalam keluarga terdapat penderita tuli sejak lahir
8. Mengalami infeksi selaput otak (meningitis).

2.2.2 Jenis-Jenis Gangguan Pendengaran


Ada tiga jenis gangguan pendengaran
1. Gangguan pendengaran konduktif
Gangguan pendengaran akibat masalah pada telinga luar
atau tengah sehingga suara tidak dapat diteruskan sepenuhnya
ke telinga bagian dalam. Gangguan pendengaran konduktif
menurunkan kekerasan suara, tetapi tidak menyebabkan distorsi
atau efek negatif terhadap kejernihan suara. Kebanyakan
gangguan pendengaran konduktif dapat diperbaiki dengan
pengobatan.
2. Gangguan pendengaran sensorineural
Gangguan pendengaran akibat kerusakan pada telinga
bagian dalam dan atau jalur ke otak. Gangguan pendengaran
senssorineural tidak hanya mengurangi kenyaringan suara,
tetapi juga dapat membuat hilangnya kejelasan memahami
pembicaraan. Kehilangan pendengaran sensorineural biasanya
permanen dan tidak dapat diperbaiki dengan pengobatan.
3. Gangguan pendengaran campuran Kombinasi keduanya
komponen konduktif dan sensorineural
10

Contoh tuli konduktif;

2.3 Identifikasi Gangguan Pendengaran Pada Bayi Dan Anak


Orang tua yang ’jeli’ akan menangkap tanda-tanda bayi/anak
yang kurang memberikan reaksi terhadap suara di sekitarnya dan akan
segera datang ke rumah sakit guna evaluasi pendengaran, tanpa
menunggu usia anak lebih besar. Pengenalan (deteksi) adanya ketulian
yang dini kemudian ditangani (intervensi) yang dini akan
meningkatkan kemampuan anak untuk berbahasa dan bebicara.
Karena pada tahun-tahun pertama kehidupan (0-3 tahun), merupakan
masa perkembangan bahasa dan bicara yang paling kritis. Penelitian
membuktikan bahwa pada masa-masa tersebut kualitas stimulasi
pendengaran berpengaruh pada perubahan-perubahan anatomis,
fisiologis dan tingkah laku yang diakibatkan oleh perkembangan
sistem pendengaran.
11

Keterlambatan dalam diagnosis berarti pula terdapat


keterlambatan untuk memulai intervensi dan akan membawa dampak
serius dalam perkembangan selanjutnya yang dikemudian hari akan
menambah beban keluarga, masyarakat maupun negara. Orang tua
masih belum memahami masalah gangguan dengar pada anak secara
dini, kemungkinan besar karena masih adanya anggapan bahwa anak
masih belum responsif terhadap suara karena anak alias ‘cuek’,
’bandel’ atau karena faktor usia anak masih belum mengerti
bagaimana harus memberi respons terhadap stimulus suara. Anggapan
tersebut mengakibatkan tertundanya diagnosis lebih awal karena sikap
‘menunggu’ sampai usia anak dianggap mampu memberikan respons
atau dapat dilakukan tes pendengaran. Pengalaman di rumah sakit juga
cukup banyak didapati ketidak tahuan orang tua akan peranan
pendengaran sebagai dasar perkembangan bicara. Bahkan ada
beberapa orang tua yang mengemukakan kemungkinan ada masalah di
pita suara atau lidahnya yang membuat anak belum bisa berbicara.
Riwayat/anamnesa Respon Anak terhadap Rangsang Suara
Informasi dari orang tua melalui anamnesa yang cermat mengenai
respons anak terhadap rangsang suara dilingkungan sehari-hari
dirumah dan kemampuan vokalisasi dan cara pengucapan kata-kata
anak sangat membantu menilai masalah gangguan pendengaran dan
perkembangan bicara-bahasa pada anak.
1. Usia 0-4 bulan. Apakah bayi kaget kalau mendengar suara
yang sangat keras ? Apakah bayi yang sedang tidur
terbangun kalau mendengar suara keras?
2. Usia 4-7 bulan. usia 4 bulan apakah anak mulai mampu
menoleh kearah datangnya suara diluar lapangan pandang
mata? Apakah anak mulai mengoceh di usia 5-7 bulan,
sebelum usia 7 bulan apakah anak mampu menoleh langsung
ke arah sumber suara diluar lapangan pandang mata?
3. Usia 7-9 bulan. Apakah anak mampu mengeluarkan suara
dengan nada yang naik –turun atau monoton saja?
4. Usia 9-13 bulan. Apakah anak menoleh bila ada suara
dibelakangnya? Apakah anak mampu menirukan beberapa
jenis suara? Apakah anak sudah mampu mengucapkan suara
konsonan seperti ‘beh’, ‘geh’ , ‘deh’, ‘ma’
12

5. Usia 13-24 bulan. Apakah dia mendengar bila namanya


dipanggil dari ruangan lain? Apakah anak memberikan
respons dengan bervokalisasi atau bahkan datang kepada
anda? Kata-kata apa saja yang mampu diucapkan? Apakah
kwalitas suara dan cara pengucapannya normal?

2.3.1 Pemeriksaan Pendengaran Pada Bayi Dan Anak


Selain yang disebutkan di atas, untuk lebih memastikan
gangguan pendengaran pada bayi dan anak dapat dilakukan beberapa
pemeriksaan diantaranya;
a. Behavioral Observation Audiometri
Tes ini berdasarkan respon aktif pasien terhadap stimulus bunyi
dan merupakan respon yang disadari. Metode ini dapat mengetahui
seluruh sistem audiotorik termasuk pusat kognitif yang lebih tinggi.
Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada setiap tahap usia perkembangan
bayi, namun pilihan tes harus disesuaikan dengan usia bayi.
Pemeriksaan behavioral observation audiometri dibedakan menjadi 3;
1. Behavioral Reflex Audiometri
Dilakukan pengamatan respon behavioral yang bersifat
reflek sebagai reaksi terhadap stimulus bunyi. Respon
behavioral yang dapat diamati antara lain : mengejapkan
mata (auropalpebral), melebarkan mata (eye widening),
mengerutkan wajah (grimacing), berhenti menyusui, denyut
jantung meningkat, reflek moro (paling konsisten). Reflek
moro dan auropalpebral rentan terhadap habituasi.
2. Behavioral Response Audiometri
Pada bayi normal usia 5-6 bulan, stimulus akustik akan
menghasilkan pola respon khas berupa menoleh atau
menggerakkan kepala ke arah sumber bunyi di luar lapangan
pandang.
3. Play Audiometri
Pemeriksaan play audiometri meliputi teknik melatih anak
untuk mendengar stimulus bunyi disertai pengamatan respon
motorik spesifik dalam suatu aktifitas permainan.
Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada anak usia 2-4 tahun.
13

b. Timpanometri
Pemeriksaan ini diperlukan untuk menilai kondisi telinga
tengah. Gambaran timpano metri yang abnormal merupakan
petunjuk adanya gangguan pendengaran konduktif.
Timpanometri merupakan pemeriksaan pendahuluan
sebelum melakukan pemeriksaan OAE (Oto Acoustic
Emission), dan apabila terdapat gangguan pada telinga
tengah maka pemeriksaan OAE harus ditunda sampai telinga
tengah normal.
c. Audiometri Nada Murni

Pemeriksaan dilakukan dengan audiometer, dan hasil


pencatatannya disebut audiogram. Dapat dilakukan pada
anak usia 4 tahun yang kooperatif. Sebagai sumber suara
digunakan nada murni yaitu bunyi yang hanya terdiri dari 1
frekuensi. Pemeriksaan dilakukan pada ruang kedap suara,
dengan menilai hantaran suara melalui udara (headphone)
pada frekuensi 125, 250, 5000, 1000, 2000, 4000 dan 8000
Hz.Hantaran suara melalui tulang diperiksa dengan
memasang bone vibrator pada procesus mastoideus yang
dilakukan pada frekuensi 500, 1000, 2000, 4000 Hz.
Intensitas yang digunakan antara 10-100 dB (masing-masing
14

dengan kelipatan 10), secara bergantian pada kedua telinga.


Suara dengan intensitas terendah yang dapat di dengar
dicatat pada audiogram untuk memperoleh informasi tentang
jenis dan derajat ketulian.
d. Otoacoustic Emission (OAE)

Emisi otoakustik merupakan suara dengan intensitas rendah


yang dihasilkan pada koklea yang normal, baik secara spontan
maupun respon dari rangsang akustik. Skrining pendengaran
pada bayi-bayi dapat dilakukan dengan menggunakan alat emisi
otoakustik, karena metoda ini obyektif, aman, tidak
memerlukan prosedur yang invasif atau pengobatan sebelum
dilakukan pemeriksaan, pemeriksaannya cepat, hanya
memerlukan waktu beberapa detik sampai menit; caranya
mudah, tidak memerlukan keahlian khusus, biaya alat yang
relatif murah.
Suara yang berasal dari dunia luar di proses oleh koklea
menjadi stimulus listrik, selanjutnya dikirim ke otak melalui
saraf pendengaran. Sebagian energi bunyi itu tidak di kirim ke
saraf pendengaran melainkan kembali menuju ke liang telinga.
Pemeriksaan dilakukan di ruangan yang tenang.Pada mesin
OAE generasi terakhir nilai OAE secara otomatis akan
dikoreksi dengan noise yang terjadi selama pemeriksaan. Untuk
memperoleh hasil yang optimal diperlukan pemilihan probe/
sumbat telinga sesuai ukuran lubang telinga.
15

e. Brainstem Evoked Response Audiometry

Deteksi dini gangguan pendengaran pada anak secara


konvensional sulit dan biasanya tidak bisa dilakukan sampai
anak berumur 2 sampai 3 tahun. Namun sekarang dengan
adanya pemeriksaan Brainstem Evoked Response Auditory
(BERA), deteksi dini gangguan pendengaran sudah dapat
dilakukan sejak bayi. Pemeriksaan BERA adalah suatu
pemeriksaan elektrofisiologik yang obyektif, non invasif untuk
menilai respons sistim auditorik termasuk batang otak terhadap
bunyi, sehingga dapat diketahui ambang pendengaran maupun
letak lesi pada sistim auditorik tersebut. BERA telah terbukti
berguna dalam menentukan status pendengaran bahkan pada
pasien yang tidak kooperatif atau pasien yang masih sangat
muda. Respon terhadap stimulus auditorik berupa respon
auditory evoked potential yang sinkron direkam melalui
elektroda permukaaan (surface electrode) yang ditempel pada
kulit kepala. Respon auditory evoked potential yang berhasil
direkam kemudian diproses melalui program komputer dan
ditampilkan sebagai 5 gelombang defleksi positif (gelombang I
sampai V) yang terjadi sekitar 2-12 ms setelah stimulus
diberikan.

Anda mungkin juga menyukai