Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejarah pemungutan pajak mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan negara baik di bidang kenegaraan maupun di bidang sosial dan
ekonomi. Pada mulanya pajak bukan merupakan suatu pemungutan, tetapi hanya merupakan
pemberian sukarela oleh rakyat kepada raja dalam memelihara kepentingan negara, seperti
menjaga keamanan Negara terhadap serangan musuh dari luar, membuat jalan untuk umum,
membiayai pegawai kerajaan dan sebagainya. Bagi penduduk yang tidak melakukan
penyetoran dalam bentuk natura maka ia diwajibkan melakukan pekerjaan – pekerjaan untuk
kepentingan umum untuk beberapa hari lamanya dalam satu tahun. Orang-orang yang
memiliki status sosial yang tinggi termasuk orang – orang yang kaya, dapat membebaskan diri
dari kewajiban melakukan pekerjaan untuk kepentingan umum tadi, dengan cara membayar
uang ganti rugi.

Pajak bukan istilah asing bagi bangsa Indonesia, bahkan kata itu telah menjadi istilah
baku dalam bahasa Indonesia. Istilah Pajak baru muncul pada abad ke 19 di Pulau Jawa, yaitu
pada saat Pulau Jawa dijajah oleh Pemerintahan Kolonial Inggris tahun 1811 – 1816. Pada
waktu itu diadakan pungutan landrente yang diciptakan oleh Thomas Stafford Raffles, Letnan
Gubernur yang diangkat oleh Lord Minto Gubernur Jenderal Inggris di India. Pada tahun
1813 dikeluarkanlah Peraturan Landrente Stelsel bahwa jumlah uang yang harus dibayar oleh
pemilik tanah itu tiap tahunnya hampir sama besarnya.

Penduduk menamakan pembayaran landrente itu pajeg atau duwit pajeg yang berasal
dari kata bahasa jawa ajeg, artinya tetap. Jadi, duwit pajeg atau pajeg diartikan sebagai jumlah
uang tetap yang harus dibayar dalam jumlah yang sama tiap tahunnya.

Pajak diartikan sebagai pungutan yang dilakukan oleh Pemerintah berdasarkan


peraturan perundang-undangan, yang hasilnya dipergunakan untuk pembiayaan pengeluaran
umum Pemerintah, yang balas jasanya tidak secara langsung diberikan kepada pembayarnya,
sedangkan pelaksanaannya di mana perlu dapat dipaksaakan.

Pajak merupakan salah satu bentuk pendapatan Negara yang menyumbang persentase
terbesar dibandingkan dengan sektor – sektor pendapatan lainnya. Oleh karena itu,
keberhasilan suatu Negara dalam mengumpulkan pajak dari warga negaranya akan
menimbulkan stabilitas ekonomi dari negara yang bersangkutan. Namun pada kenyataannya,
warga negara yang melaksanakan kewajibannya sebagai Wajib Pajak masih kurang sehingga
pemerintah selalu berperan aktif dalam pemungutan pajak tersebut melalui berbagai program
atau rencana kerja yang diantaranya adalah Sunset Policy.

1
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah
a. Apa saja asas dan dasar dalam pemungutan pajak?
b. Bagaimana sistem dalam pemungutan pajak?

C. Tujuan
Adapun tujuan penulisan dalam makalah ini adalah
a. Untuk mengetahui asas-asas dan dasar dalam pemungutan pajak.
b. Untuk mengetahui sistem dalam mengetahui pajak.
c. Memenuhi tugas kelompok yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah hukum
dagang dan pajak

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Asas Pemungutan pajak


1. Asas Pemungutan Pajak Menurut Pendapat Para Ahli

Untuk dapat mencapai tujuan dari pemungutan pajak, beberapa ahli yang
mengemukakan tentang asas pemungutan pajak, antara lain:

a) Menurut Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations dengan ajaran yang terkenal
"The Four Maxims", asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut.

 Asas Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan):


pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan
kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak
diskriminatif terhadap wajib pajak.

 Asas Certainty (asas kepastian hukum): semua pungutan pajak harus


berdasarkan UU, sehingga bagi yang melanggar akan dapat dikenai sanksi
hukum.

 Asas Convinience of Payment (asas pemungutan pajak yang tepat waktu atau
asas kesenangan): pajak harus dipungut pada saat yang tepat bagi wajib pajak
(saat yang paling baik), misalnya disaat wajib pajak baru menerima
penghasilannya atau disaat wajib pajak menerima hadiah.

 Asas Efficiency (asas efisien atau asas ekonomis): biaya pemungutan pajak
diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya pemungutan pajak
lebih besar dari hasil pemungutan pajak.

b) Menurut W.J. Langen, asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut:

 Asas daya pikul: besar kecilnya pajak yang dipungut harus berdasarkan besar
kecilnya penghasilan wajib pajak. Semakin tinggi penghasilan maka semakin
tinggi pajak yang dibebankan.

 Asas manfaat: pajak yang dipungut oleh negara harus digunakan untuk
kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk kepentingan umum.

 Asas kesejahteraan: pajak yang dipungut oleh negara digunakan untuk


meningkatkan kesejahteraan rakyat.

 Asas kesamaan: dalam kondisi yang sama antara wajib pajak yang satu
dengan yang lain harus dikenakan pajak dalam jumlah yang sama
(diperlakukan sama).

3
 Asas beban yang sekecil-kecilnya: pemungutan pajak diusahakan sekecil-
kecilnya (serendah-rendahnya) jika dibandingkan dengan nilai obyek pajak
sehingga tidak memberatkan para wajib pajak.

c) Menurut Adolf Wagner, asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut:

 Asas politik finansial: pajak yang dipungut negara jumlahnya memadai


sehingga dapat membiayai atau mendorong semua kegiatan negara.

 Asas ekonomi: penentuan obyek pajak harus tepat, misalnya: pajak


pendapatan, pajak untuk barang-barang mewah

 Asas keadilan: pungutan pajak berlaku secara umum tanpa diskriminasi, untuk
kondisi yang sama diperlakukan sama pula.

 Asas administrasi: menyangkut masalah kepastian perpajakan (kapan, dimana


harus membayar pajak), keluwesan penagihan (bagaimana cara membayarnya)
dan besarnya biaya pajak.

 Asas yuridis: segala pungutan pajak harus berdasarkan Undang-Undang.

2. Asas Pengenaan Pajak

Agar negara dapat mengenakan pajak kepada warganya atau kepada orang pribadi atau
badan lain yang bukan warganya, tetapi mempunyai keterkaitan dengan negara tersebut, tentu
saja harus ada ketentuan-ketentuan yang mengaturnya. Sebagai contoh di Indonesia, secara
tegas dinyatakan dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa segala pajak
untuk keuangan negara ditetapkan berdasarkan undang-undang. Untuk dapat menyusun suatu
undang-undang perpajakan, diperlukan asas-asas atau dasar-dasar yang akan dijadikan
landasan oleh negara untuk mengenakan pajak.

Terdapat beberapa asas yang dapat dipakai oleh negara sebagai asas dalam
menentukan wewenangnya untuk mengenakan pajak, khususnya untuk pengenaan pajak
penghasilan. Asas utama yang paling sering digunakan oleh negara sebagai landasan untuk
mengenakan pajak adalah:

1. Asas domisili atau disebut juga asas kependudukan (domicile/residence principle):


berdasarkan asas ini negara akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang
diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan, apabila untuk kepentingan
perpajakan, orang pribadi tersebut merupakan penduduk (resident) atau berdomisili di
negara itu atau apabila badan yang bersangkutan berkedudukan di negara itu. Dalam
kaitan ini, tidak dipersoalkan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak itu
berasal. Itulah sebabnya bagi negara yang menganut asas ini, dalam sistem pengenaan
pajak terhadap penduduk-nya akan menggabungkan asas domisili (kependudukan)
dengan konsep pengenaan pajak atas penghasilan baik yang diperoleh di negara itu
maupun penghasilan yang diperoleh di luar negeri (world-wide income concept).

4
2. Asas sumber: Negara yang menganut asas sumber akan mengenakan pajak atas suatu
penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan hanya apabila
penghasilan yang akan dikenakan pajak itu diperoleh atau diterima oleh orang pribadi
atau badan yang bersangkutan dari sumber-sumber yang berada di negara itu. Dalam
asas ini, tidak menjadi persoalan mengenai siapa dan apa status dari orang atau badan
yang memperoleh penghasilan tersebut sebab yang menjadi landasan penge¬naan
pajak adalah objek pajak yang timbul atau berasal dari negara itu. Contoh: Tenaga
kerja asing bekerja di Indonesia maka dari penghasilan yang didapat di Indonesia akan
dikenakan pajak oleh pemerintah Indonesia.

3. Asas kebangsaan atau asas nasionalitas atau disebut juga asas kewarganegaraan
(nationality/citizenship principle): Dalam asas ini, yang menjadi landasan pengenaan
pajak adalah status kewarganegaraan dari orang atau badan yang memperoleh
penghasilan. Berdasarkan asas ini, tidaklah menjadi persoalan dari mana penghasilan
yang akan dikenakan pajak berasal. Seperti halnya dalam asas domisili, sistem
pengenaan pajak berdasarkan asas nasionalitas ini dilakukan dengan cara
menggabungkan asas nasionalitas dengan konsep pengenaan pajak atas world wide
income.

Terdapat beberapa perbedaan prinsipil antara asas domisili atau kependudukan dan
asas nasionalitas atau kewarganegaraan di satu pihak, dengan asas sumber di pihak lainnya.
Pertama, pada kedua asas yang disebut pertama, kriteria yang dijadikan landasan kewenangan
negara untuk mengenakan pajak adalah status subjek yang akan dikenakan pajak, yaitu
apakah yang bersangkutan berstatus sebagai penduduk atau berdomisili (dalam asas domisili)
atau berstatus sebagai warga negara (dalam asas nasionalitas). Di sini, asal muasal
penghasilan yang menjadi objek pajak tidaklah begitu penting. Sementara itu, pada asas
sumber, yang menjadi landasannya adalah status objeknya, yaitu apakah objek yang akan
dikenakan pajak bersumber dari negara itu atau tidak. Status dari orang atau badan yang
memperoleh atau menerima penghasilan tidak begitu penting. Kedua, pada kedua asas yang
disebut pertama, pajak akan dikenakan terhadap penghasilan yang diperoleh di mana saja
(world-wide income), sedangkan pada asas sumber, penghasilan yang dapat dikenakan pajak
hanya terbatas pada penghasilan-penghasilan yang diperoleh dari sumber-sumber yang ada di
negara yang bersangkutan.

Kebanyakan negara, tidak hanya mengadopsi salah satu asas saja, tetapi mengadopsi
lebih dari satu asas, bisa gabungan asas domisili dengan asas sumber, gabungan asas
nasionalitas dengan asas sumber, bahkan bisa gabungan ketiganya sekaligus.

Indonesia, dari ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 7


Tahun 1983 sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1994, khususnya yang mengatur mengenai subjek pajak dan objek pajak, dapat disimpulkan
bahwa Indonesia menganut asas domisili dan asas sumber sekaligus dalam sistem
perpajakannya. Indonesia juga menganut asas kewarganegaraan yang parsial, yaitu khusus
dalam ketentuan yang mengatur mengenai pengecualian subjek pajak untuk orang pribadi.

5
Berkenaan mengenai pengenaan pajak, pajak mempunyai falsafah. Falsafah pajak ini lebih
lanjut lagi berdasarkan falsafah negara yaitu pancasila. Pasal 23 UUD 1945, merupakan dasar hukum
pemungutan pajak yang berbunyi “segala pajak-pajak untuk kegunaan kas negara berdasarkan undang-
undang” walaupun pasal 23 (2) UUD 1945, merupakan dasar hukum pemungutan pajak, namun pada
dasarnya dalam ketentuan ini tersirat Falsafah Pajak. Pajak harus berdasar undang-undang karena
dapat diibaratkan pajak adalah menyayat daging diri kita sendiri. Pajak tidak memerikan imbalan yang
secara langsung dapat dinikmati, atau dapat dikatakan pajak tidak memberikan imbalan.

B. Sistem Pemungutan Pajak


Ada beberapa cara untuk memungut pajak yang disebut sebagai stelsel atau sistem,
yang dalam hal ini dibedakan berdasarkan beberapa cara, sebagai berikut:

1) Menurut Waktu Pemungutan

Menurut waktu pemungutannya, pajak dapat dibedakan menjadi dua, Pertama,


voorheffing yaitu pemungutan pajak yang dilakukan pada awal tahun pajak. Kedua, naheffing
yaitu pemungutan pajak yang dilakukan pada akhir tahun pajak.

2) Menurut Dasar Penetapan Pajak

Menurut dasar penetapan pajaknya, dikenal 3 (tiga) stelsel/ sistem sebagai berikut.

1. Stelsel/Sistem Fiktif (Anggapan)


Dalam sistem fiktif ini, pemungutan pajak didasarkan pada suatu fiksi hukum
atau anggapan tertentu, karena itu dalam sistem ini memakai cara pemungutan pajak
voorheffing. Sistem ini sebenarnya kurang sesuai dengan keadaan sesungguhnya,
walaupun dasarnya adalah anggapan, namun anggapan ini tidak serta merta ngawur
dan sembarangan. Oleh karena itu, dasar yang dipergunakan sebagai pegangan adalah
keadaan yang mendekati sebenarnya, yaitu dengan memakai cara menganggap bahwa
penghasilan yang diterima seseorang wajib pajak sama besarnya untuk setiap tahun
pajak. Dengan demikian, begitu tahun pajak sudah berakhir dan dapat diketahui
besarnya penghasilan wajib pajak yang bersangkutan, maka sudah dapat ditentukan
pajak untuk tahun berikutnya. Misalnya gaji, upah honorarium tetap, pensiun, bunga,
hasil sewa (tanah dan bangunan) dan sebagainya, dianggap sama besar dengan 12 kali
sumber tetap.
Dalam sistem fiktif ini, penghasilan tetap yang baru diperoleh setelah awal
tahun pajak yang bersangkutan atau kenaikan penghasilan yang diperoleh setelah awal
tahun pajak tidak menjadi pertimbangan dalam menghitung pajaknya. Sebaliknya,
sumber penghasilan yang hilang setelah tahun pajak yang bersangkutan juga tidak
menjadi pertimbangan dalam menentukan pajaknya. Adanya kenaikan penghasilan
maupun hilangnya penghasilan baru akan diperhitungkan pada tahun pajak berikutnya.
Sistem fiktif ini digunakan dalam pengenaan pajak Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB) dan yang dijadikan dasar untuk pengenaan pajaknya adalah Nilai Jual Objek
Pajak (NJOP) pada saat yang menentukan, yaitu tanggal 1 Januari tahun yang

6
bersangkutan. Jadi, yang dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan ini adalah semua harta
tidak bergerak (Bumi dan atau Bangunan) yang sudah dimiliki pada tanggal 1 Januari
tahun yang bersangkutan. Harta kekayaan yang diperoleh atau hapus (karena musnah
atau dijual) setelah tanggal 1 Januari tidak mempengaruhi jumlah pajak yang terutang
dan baru akan diperhitungkan pada tahun pajak berikutnya. Kebaikan sistem ini adalah
pajak dapat dibayar salaam tahun berjalan tanpa menunggu pada akhir tahun,
sedangkan kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan
yang sesungguhnya sehingga nilai keadilannya kurang.

2. Stelsel/Sistem Riil (Nyata)


Dalam sistem riil/nyata ini pemungutan pajak dinyatakan atas keadaan atau
penghasilan yang nyata, yaitu penghasilan yang diterima/diperoleh sebenarnya dalam
tahun pajak yang bersangkutan. Dengan demikian, penghasilan ini baru mungkin
diketahui pada akhir tahun sehingga pajaknya baru dipungut setelah berakhirnya tahun
pajak yang bersangkutan. Hal itu berarti pemungutan pajaknya dilakukan dengan cara
naheffing (pemungutan di belakang). Kebaikan sistem ini adalah pajak yang dipungut
pada wajib pajak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sehingga nilai keadilannya
cukup tinggi, sedangkan kelemahannya adalah pajak baru dapat dipungut setelah tahun
pajak yang bersangkutan berakhir sehingga uang yang masuk ke kas negara harus
menunggu berakhirnya tahun pajak.

3. Stelsel/Sistem Campuran
Sistem campuran ini pada dasarnya merupakan kombinasi antara sistem
anggapan dan sistem nyata, sekaligus merupakan upaya untuk menghilangkan
kelemahan-kelemahan dari kedua sistem tersebut. Dalam sistem campuran ini, pada
awal tahun besarnya utang pajak yang dikenakan pada wajib pajak dihitung
berdasarkan sistem anggapan sehingga pada awalnya tahun itu sudah dapat dikenakan
surat ketetapan pajak fiktif. Setelah tahun pajak berakhir, utang pajak dikoreksi dan
disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya dengan memakai sistem nyata, pada saat
itulah dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak final. Jika besarnya pajak menurut kenyataan
lebih besar daripada pajak menurut anggapan, maka wajib pajak harus menambah,
begitu juga sebaliknya, jika lebih kecil kelebihannya dapat diminta kembali. Sistem
tersebut diterapkan dalam Pajak Penghasilan.
Kelebihan dari sistem ini adalah walaupun kurang akurat Surat Ketetapan
Pajak sudah dapat dikeluarkan pada awal tahun sehingga wajib pajak sudah dapat
mengajukan surat keberatan, uang pajak sudah dapat ditarik ke kas negara, ada koreksi
pada akhir tahun dengan mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak final. Sementara itu,
kelemahan sistem ini adalah Kantor Pelayanan Pajak untuk pengenaan pajak dalam
satu tahun harus bekerja dua kali dalam mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak (Surat
Ketetapan Pajak Rampung fiktif dan Surat Ketetapan Pajak final), yang berarti
menambah biaya, tenaga, dan waktu sehingga membebani administrasi.
Sistem ini ternyata juga kurang memuaskan sehingga harus dicari terobosan
untuk mengatasinya. Oleh karena itu, sebagai jalan keluarnya pemerintah menerapkan
sistem nyata (rill) yang disertai sistem self assessment yang didasarkan pada kejujuran

7
wajib pajak dan kepercayaan pemerintah kepada wajib pajak. Dengan demikian,
kepada wajib pajak diberikan kebebasan dan keaktifan yang lebih besar untuk
menghitung sendiri pajak terutang.

3. Menurut yang Menetapkan Pajaknya

Menurut yang menetapkan pajaknya, maka sistem pemungutan pajak dibagi manjadi 3
(tiga), yaitu official assessment system, self assessment system, dan with holding system.

a. Official Assessment System


Official Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan
wewenang kepada pemerintah (fiskus)untuk menentukan besarnya pajak yang terutang
oleh Wajib Pajak. Ciri-cirinya :
 Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Fiskus;
 Wajib Pajak bersifat pasif;
 Utang Pajak timbul setelah dikeluarkanya Surat Ketetapan Pajak oleh Fiskus.

b. Self Assessment System


Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan
wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang
terutang. Ciri-cirinya :
 Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak
sendiri;
 Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak
yang terutang;
 Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
c. Witholding System
Witholding System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang
kepada pihak ketiga (bukan Fiskus dan bukan Wajib Pajak ) untuk menentukan
besarnya pajak yang terutang oleh WajibPajak. Cirinya wewenang menentukan
besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain Fiskus dan Wajib
Pajak

8
BAB III

PENUTUP
A. KESIMPULAN

Terdapat beberapa asas yang dapat dipakai oleh negara sebagai asas dalam
menentukan wewenangnya untuk mengenakan pajak, khususnya untuk pengenaan pajak
penghasilan. Asas utama yang paling sering digunakan oleh negara sebagai landasan untuk
mengenakan pajak adalah: Asas domisili atau disebut juga asas kependudukan
(domicile/residence principle), Asas sumber, dan Asas kebangsaan atau asas nasionalitas atau
disebut juga asas kewarganegaraan (nationality/citizenship principle).

Sistem pemungutan pajak di Indonesia baik Pajak Pusat maupun Pajak Daerah
menganut beberapa system antara lain Menurut waktu pemungutannya, pajak dapat dibedakan
menjadi dua, voorheffing dan naheffing, Menurut dasar penetapan pajaknya, dikenal 3 (tiga)
yaitu stelsel/ sistem Stelsel/Sistem Fiktif (Anggapan), Stelsel/Sistem Riil (Nyata) dan
Stelsel/Sistem Campuran dan Menurut yang Menetapkan Pajaknya Official Assessment System,
Self Assessment System, dan Witholding System.

B. SARAN

Saran yang dapat kami sampaikan:


Untuk mahasiswa :
Diharapkan kepada mahasiswa untuk mempelajari materi manajemen fasilitas pendidikan secara tekun
untuk memahami berbagai macam materi di dalamnya.
Untuk Dosen :
Diharapkan kepada Bapak Dosen untuk terus membimbing kami terutama dalam materi ini agar kami
mendapatkan ilmu yang baik.

9
DAFTAR PUSTAKA

Kansil, CST., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, edisi kedelapan, Jakarta,
Balai Pustaka, 1989.
Soemitro, Rochmat., Asas dan Dasar Perpajakan 1, edisi revisi, Bandung, PT Refika
Aditama, 2004.

http://id.wikipedia.org/wiki/Pajak

http://www.scribd.com/doc/75665831/Sistem-Pemungutan-Pajak

http://www.academia.com/doc//Sistem-Pemungutan-Pajak

10

Anda mungkin juga menyukai