Anda di halaman 1dari 56

lAbdul Wahab Hasbullah

Kiai Haji
Abdul Wahab Hasbullah

Nama dan Gelar

Semua Gelar

Gelar Kiai Haji


(Islam/Sosial)

Nama

Nama Abdul Wahab Hasbullah

Kelahirannya

Tanggal lahir (M) 31


Bulan lahir (M) Maret

Tahun lahir (M) 1888

Tempat lahir Jombang

Negara lahir Jombang, Jawa Timur, Hindia


(penguasa wilayah) Belanda

Nama ayah KH. Hasbulloh Said

Nama ibu Nyai Latifah

Agama, Identitas, Kebangsaan

Agama Islam

Etnis (Suku bangsa)

Etnis Jawa
(Suku bangsa)

Kebangsaan Indonesia

Kewarganegaraan

Kewarganegaraan Indonesia

KembangkanDakwah, Ketokohan & Pengaruh

KembangkanPenghargaan
KembangkanPernikahan & Keluarga

KembangkanKewafatan

Bantuan kotak info

Kiai Haji Abdul Wahab Hasbullah (lahir di Jombang, 31 Maret 1888 – meninggal 29
Desember 1971 pada umur 83 tahun) adalah seorang ulama pendiri Nahdatul Ulama. KH Abdul
Wahab Hasbullah adalah seorang ulama yang berpandangan modern, dakwahnya dimulai dengan
mendirikan media massa atau surat kabar, yaitu harian umum “Soeara Nahdlatul Oelama” atau
Soeara NO dan Berita Nahdlatul Ulama. Ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia oleh
Presiden Joko Widodo pada tanggal 7 November 2014[1].
Beliau adalah pengarang syair "Ya Lal Wathon" yang banyak dinyanyikan dikalangan Nahdliyyin,
lagu Ya Lal Wathon di karangnya pada tahun 1934. KH Maimun Zubair mengatakan bahwa syair
tersebut adalah syair yang beliau dengar, peroleh, dan di nyanyikan saat masa mudanya di
Rembang. Dahulu syair Ya Lal Wathon ini dilantangkan setiap hendak memulai kegiatan belajar
oleh para santri.[Tim Sejarah Tambakberas, Tambakberas: Menelisik Sejarah, Memetik Uswah. 2017 1]
Lirik Syubbanul Wathon (Cinta Tanah Air) – Yaa Lal Wathon – Hubbul Wathon Minal Iman Karya:
KH. Abdul Wahab Chasbullah (1934) (Ijazah KH. Maemon Zubair Tahun 2012) ‫ط ْن‬َ ‫طن يا َ لَ ْل َو‬
َ ‫ط ْن يا َ لَ ْل َو‬
َ ‫يا َ لَ ْل َو‬
Ya Lal Wathon Ya Lal Wathon Ya Lal Wathon
‫ان‬ َ ‫حُبُّ ْال َو‬Hubbul Wathon minal Iman
ْ ‫ط ْن مِ نَ اْ ِإلي َم‬
‫ َوالَت َ ُك ْن مِ نَ ا ْلحِ ْرما َ ْن‬Wala Takun minal Hirman
َ ‫ضوا أ َ ْه َل ْال َو‬
‫ط ْن‬ ُ ‫اِ ْن َه‬Inhadlu Alal Wathon
‫اِندُون ْيسِيا َ بِالَدى‬Indonesia Biladi
َ ‫ع ْنوا َنُ ْالفَخَاما‬
ُ َ‫أ َ ْنت‬Anta ‘Unwanul Fakhoma
َ ‫ ُك ُّل َم ْن يَأْتِيْكَ يَ ْوما‬Kullu May Ya’tika Yauma
‫طامِ حا ً يَ ْلقَ حِ ما َ ًما‬
َ Thomihay Yalqo Himama
Pusaka Hati Wahai Tanah Airku Cintamu dalam Imanku Jangan Halangkan Nasibmu Bangkitlah Hai
Bangsaku Pusaka Hati Wahai Tanah Airku Cintamu dalam Imanku Jangan Halangkan Nasibmu
Bangkitlah Hai Bangsaku
Indonesia Negeriku Engkau Panji Martabatku Siapa Datang Mengancammu Kan Binasa di bawah
durimu[2]

Daftar isi

 1Keluarga
 2Pendidikan
 3Aktivitas di Nahdatul Ulama
 4Pelopor Kebebasan Berpikir
 5Seorang Inspirator GP Ansor
 6Pranala luar
 7Referensi

Keluarga[sunting | sunting sumber]


Ayah KH Abdul Wahab Hasbullah adalah KH Hasbulloh Said, Pengasuh Pesantren Tambakberas
Jombang Jawa Timur, sedangkan Ibundanya bernama Nyai Latifah.

Pendidikan[sunting | sunting sumber]


Ia juga seorang pelopor dalam membuka forum diskusi antar ulama, baik di lingkungan
NU, Muhammadiyah dan organisasi lainnya. Ia belajar di Pesantren Langitan Tuban, Pesantren
Mojosari Nganjuk, Pesantren Tawangsari Sepanjang, belajar pada Syaikhona R. Muhammad
Kholil Bangkalan, Madura, dan Pesantren Tebuireng Jombang di bawah asuhan Hadratusy Syaikh
KH. M. Hasyim Asy‘ari. Disamping itu, Kyai Wahab juga merantau ke Mekkah untuk berguru kepada
Syaikh Mahfudz at-Tirmasi dan Syaikh Al-Yamani dengan hasil nilai istimewa.

Aktivitas di Nahdatul Ulama[sunting | sunting sumber]


KH. Abdul Wahab Hasbulloh merupakan bapak Pendiri NU Selain itu juga pernah menjadi Panglima
Laskar Mujahidin (Hizbullah) ketika melawan penjajah Jepang. Ia juga tercatat sebagai anggota
DPA bersama Ki Hajar Dewantoro. Tahun 1914 mendirikan kursus bernama “Tashwirul Afkar”.
Tahun 1916 mendirikan Organisasi Pemuda Islam bernama Nahdlatul Wathan, kemudian
pada 1926 menjadi Ketua Tim Komite Hijaz. KH. Abdul Wahab Hasbulloh juga seorang pencetus
dasar-dasar kepemimpinan dalam organisasi NU dengan adanya dua badan, Syuriyah dan
Tanfidziyah sebagai usaha pemersatu kalangan Tua dengan Muda.

Pelopor Kebebasan Berpikir[sunting | sunting sumber]


KH. A. Wahab Hasbullah adalah pelopor kebebasan berpikir di kalangan Umat Islam Indonesia,
khususnya di lingkungan nahdhiyyin. KH. A. Wahab Hasbullah merupakan seorang ulama besar
Indonesia. Ia merupakan seorang ulama yang menekankan pentingnya kebebasan dalam
keberagamaan terutama kebebasan berpikir dan berpendapat. Untuk itu kyai Abdul Wahab
Hasbullah membentuk kelompok diskusi Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran)
di Surabaya pada 1914.
Mula-mula kelompok ini mengadakan kegiatan dengan peserta yang terbatas. Tetapi berkat prinsip
kebebasan berpikir dan berpendapat yang diterapkan dan topik-topik yang dibicarakan mempunyai
jangkauan kemasyarakatan yang luas, dalam waktu singkat kelompok ini menjadi sangat populer
dan menarik perhatian di kalangan pemuda. Banyak tokoh Islam dari berbagai kalangan bertemu
dalam forum itu untuk memperdebatkan dan memecahkan permasalahan pelik yang dianggap
penting.[butuh rujukan]
Tashwirul Afkar tidak hanya menghimpun kaum ulama pesantren. Ia juga menjadi ajang komunikasi
dan forum saling tukar informasi antar tokoh nasional sekaligus jembatan bagi komunikasi antara
generasi muda dan generasi tua. Karena sifat rekrutmennya yang lebih mementingkan progresivitas
berpikir dan bertindak, maka jelas pula kelompok diskusi ini juga menjadi forum pengkaderan bagi
kaum muda yang gandrung pada pemikiran keilmuan dan dunia politik.[butuh rujukan]
Bersamaan dengan itu, dari rumahnya di Kertopaten, Surabaya, Kyai Abdul Wahab Hasbullah
bersama KH. Mas Mansur menghimpun sejumlah ulama dalam organisasi Nahdlatul
Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang mendapatkan kedudukan badan hukumnya pada 1916. Dari
organisasi inilah Kyai Abdul Wahab Hasbullah mendapat kepercayaan dan dukungan penuh dari
ulama pesantren yang kurang-lebih sealiran dengannya. Di antara ulama yang berhimpun itu adalah
Kyai Bisri Syansuri (Denanyar Jombang), Kyai Abdul Halim, (Leimunding Cirebon), Kyai Alwi Abdul
Aziz, Kyai Ma’shum (Lasem) dan Kyai Cholil (Kasingan Rembang). Kebebasan berpikir dan
berpendapat yang dipelopori Kyai Wahab Hasbullah dengan membentuk Tashwirul Afkar
merupakan warisan terpentingnya kepada kaum muslimin Indonesia. Kyai Wahab telah
mencontohkan kepada generasi penerusnya bahwa prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat
dapat dijalankan dalam nuansa keberagamaan yang kental. Prinsip kebebasan berpikir dan
berpendapat tidak akan mengurangi ruh spiritualisme umat beragama dan kadar keimanan seorang
muslim. Dengan prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat, kaum muslim justru akan mampu
memecahkan problem sosial kemasyarakatan dengan pisau analisis keislaman.[butuh rujukan]
Pernah suatu ketika Kyai Wahab didatangi seseorang yang meminta fatwa tentang Qurban yang
sebelumnya orang itu datang kepada Kyai Bisri Syansuri. “Bahwa menurut hukum Fiqih berqurban
seekor sapi itu pahalanya hanya untuk tujuh orang saja”, terang Kyai Bisri. Akan tetapi Si Fulan
yang bertanya tadi berharap anaknya yang masih kecil bisa terakomodir juga. Tentu saja jawaban
Kyai Bisri tidak memuaskan baginya, karena anaknya yang kedelapan tidak bisa ikut menikmati
pahala Qurban. Kemudian oleh Kyai Wahab dicarikan solusi yang logis bagi Si Fulan tadi. “Untuk
anakmu yang kecil tadi belikan seekor kambing untuk dijadikan lompatan ke punggung sapi”, seru
kyai Wahab.[butuh rujukan]
Dari sekelumit cerita di atas tadi, kita mengetahui dengan jelas bahwa seni berdakwah di
masyarakat itu memerlukan cakrawala pemikiran yang luas dan luwes. Kyai Wahab menggunakan
kaidah Ushuliyyah “Maa laa yudraku kulluh, laa yutraku julluh”, Apa yang tidak bisa diharapkan
semuanya janganlah ditinggal sama sekali. Di sinilah peranan Ushul Fiqih terasa sangat dominan
dari Fiqih sendiri.[butuh rujukan]

Seorang Inspirator GP Ansor[sunting | sunting sumber]


Dari catatan sejarah berdirinya GP Ansor dilahirkan dari rahim Nahdlatul Ulama (NU). Berawal dari
perbedaan antara tokoh tradisional dan tokoh modernis yang muncul di tubuh Nahdlatul Wathan,
organisasi keagamaan yang bergerak di bidang pendidikan Islam, pembinaan mubaligh dan
pembinaan kader. KH. Abdul Wahab Hasbullah, tokoh tradisional dan KH. Mas Mansyur yang
berhaluan modernis, akhirnya menempuh arus gerakan yang berbeda justru saat tengah tumbuhnya
semangat untuk mendirikan organisasi kepemudaan Islam. Dua tahun setelah perpecahan itu, pada
1924 para pemuda yang mendukung KH. Abdul wshab hasbulloh –yang kemudian menjadi pendiri
NU– membentuk wadah dengan nama Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air).[butuh rujukan]
Organisasi inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Gerakan Pemuda Ansor setelah sebelumnya
mengalami perubahan nama seperti Persatuan Pemuda NU (PPNU), Pemuda NU (PNU), dan
Anshoru Nahdlatul Oelama (ANO).[butuh rujukan]
Nama Ansor ini merupakan saran KH. Abdul Wahab Hasbullah —ulama besar sekaligus guru besar
kaum muda saat itu, yang diambil dari nama kehormatan yang diberikan Nabi Muhammad SAW
kepada penduduk Madinah yang telah berjasa dalam perjuangan membela dan menegakkan agama
Allah. Dengan demikian ANO dimaksudkan dapat mengambil hikmah serta tauladan terhadap sikap,
perilaku dan semangat perjuangan para sahabat Nabi yang mendapat predikat Ansor tersebut.
Gerakan ANO harus senantiasa mengacu pada nilai-nilai dasar sahabat Ansor, yakni sebagi
penolong, pejuang dan bahkan pelopor dalam menyiarkan, menegakkan dan membentengi ajaran
Islam.
Meski ANO dinyatakan sebagai bagian dari NU, secara formal organisatoris belum tercantum dalam
struktur organisasi NU. Baru pada Muktamar NU ke-9 di Banyuwangi, tepatnya pada tanggal 10
Muharram 1353 H atau 24 April 1934, ANO diterima dan disahkan sebagai bagian (departemen)
pemuda NU. Dimasukkannya ANO sebagai salah satu departemen dalam struktur kelembagaan NU
berkat perjuangan kiai-kiai muda seperti KH. Machfudz Siddiq, KH. A. Wahid Hasyim, KH. Dachlan
Diponegoro
Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian

Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya


dapat dipastikan. Mohon bantu kami untuk mengembangkan artikel
ini dengan cara menambahkan rujukan ke sumber tepercaya. Pernyataan tak
bersumber bisa saja dipertentangkan dan dihapus.
Cari sumber: "Diponegoro" – berita · surat kabar · buku · cendekiawan · JSTOR (Pelajari cara
dan kapan saatnya untuk menghapus pesan templat ini)

Pangeran Diponegoro

Bendara Pangeran Harya Dipanegara

Lukisan Pangeran Diponegoro

 Pahlawan Nasional Indonesia


Dikenal atas
 Panglima perang Jawa

Lahir Bendara Raden Mas Antawirya

11 November 1785
Kraton Yogyakarta, Yogyakarta

Wafat 8 Januari 1855 (umur 69)


Makassar, Sulawesi Selatan

Pemakaman Kampung Melayu, Wajo, Makassar, Sulawesi Selatan

Wangsa Mataram

Ayah Sultan Hamengkubuwana III


Ibu R.A. Mangkarawati

Pasangan Raden Ajeng Ratu Ratna Ningsih

Agama Islam

Bendara Pangeran Harya Dipanegara (lebih dikenal dengan nama Diponegoro, lahir
di Ngayogyakarta Hadiningrat, 11 November 1785 – meninggal di Makassar, Hindia Belanda, 8
Januari 1855 pada umur 69 tahun) adalah salah seorang pahlawan nasional Republik Indonesia.
Pangeran Diponegoro terkenal karena memimpin Perang Diponegoro/Perang Jawa (1825-1830)
melawan pemerintah Hindia Belanda. Perang tersebut tercatat sebagai perang dengan korban
paling besar dalam sejarah Indonesia.

Daftar isi

 1Asal usul Diponegoro


 2Perang Diponegoro (1825-1830)
o 2.1Periode-periode penting
 3Kehidupan pribadi
 4Penghargaan sebagai Pahlawan
 5Daftar pustaka
 6Referensi
 7Pranala luar

Asal usul Diponegoro[sunting | sunting sumber]


Pangeran Diponegoro adalah putra sulung dari Sultan Hamengkubuwana III, raja ketiga
di Kesultanan Yogyakarta. Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dengan
nama Mustahar dari seorang selir bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri
selir) yang berasal dari Pacitan. Semasa kecilnya, Pangeran Diponegoro bernama Bendara Raden
Mas Antawirya.[1]
Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan ayahnya,
Sultan Hamengkubuwana III, untuk mengangkatnya menjadi raja. Ia menolak mengingat ibunya
bukanlah permaisuri. Diponegoro setidaknya menikah dengan 9 wanita dalam hidupnya, yaitu:

 B.R.A. Retna Madubrangta puteri kedua Kyai Gedhe Dhadhapan;


 R.A. Supadmi yang kemudian diberi nama R.A. Retnakusuma, putri Raden Tumenggung
Natawijaya III, Bupati Panolan, Jipang;
 R.A. Retnadewati seorang putri Kyai di wilayah Selatan Jogjakarta;
 R.Ay. Citrawati, puteri Raden Tumenggung Rangga Parwirasentika dengan salah satu isteri
selir;
 R.A. Maduretno, putri Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Ratu Maduretna (putri HB II), jadi
R.A Maduretna saudara seayah dengan Sentot Prawiradirdja, tetapi lain ibu;
 R.Ay. Ratnaningsih putri Raden Tumenggung Sumaprawira, bupati Jipang Kepadhangan;
 R.A. Retnakumala putri Kyahi Guru Kasongan;
 R.Ay. Ratnaningrum putri Pangeran Penengah atau Dipawiyana II.
 Syarifah Fathimah Wajo putri Datuk Husain (Wanita dari Wajo, Makassar), makamnya ada di
Makassar. Syarifah Fathimah ini nasab lengkapnya adalah Syarifah Fathimah Wajo binti Datuk
Husain bin Datuk Ahmad bin Datuk Abdullah bin Datuk Thahir bin Datuk Thayyib bin Datuk
Ibrahim bin Datuk Qasim bin Datuk Muhammad bin Datuk Nakhoda Ali bin Husain Jamaluddin
Asghar bin Husain Jamaluddin Akbar.
Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka tinggal
di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari Sultan Hamengkubuwana I, Gusti
Kangjeng Ratu Tegalrejo, daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak
kepemimpinan Sultan Hamengkubuwana V (1822). Ketika itu, Diponegoro menjadi salah satu
anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan
pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danureja bersama Residen Belanda. Cara perwalian
seperti itu tidak disetujuinya.

Perang Diponegoro (1825-1830)[sunting | sunting sumber]


Artikel utama: Perang Jawa
Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di
desa Tegalrejo. Saat itu, ia memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai
adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.
Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan
rakyat. Atas saran GPH Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan
membuat markas di sebuah gua yang bernama Gua Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan
bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "perang
sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu.
Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di
Gua Selarong. Kyai Mojo yang lahir di Desa Mojo di wilayah Pajang, dekat Kota Surakarta tertarik
berjuang bersama Pangeran Diponegoro karena Pangeran Diponegoro ingin mendirikan kerajaan
yang berlandaskan Islam. Kyai Mojo dikenal sebagai ulama besar yang sebenarnya masih memiliki
hubungan kekerabatan dengan Diponegoro. Ibu Kyai Mojo, R.A. Mursilah, adalah saudara
perempuan dari Sultan Hamengkubuwana III.[2] Akan tetapi, Kyai Mojo yang aslinya bernama Muslim
Mochamad Khalifah semenjak lahir tidak mencicipi kemewahan gaya hidup keluarga istana. Jalinan
persaudaraan Diponegoro dan Kyai Mojo kian erat setelah Kyai Mojo menikah dengan janda
Pangeran Mangkubumi yang merupakan paman dari Diponegoro. Tak heran, Diponegoro
memanggil Kyai Mojo dengan sebutan "paman" meski relasi keduanya adalah saudara sepupu.[3]

Diponegoro, c.1830.

Selain Kyai Mojo, perjuangan Diponegoro juga didukung oleh Sunan Pakubuwono VI dan Raden
Tumenggung Prawiradigdaya Bupati Gagatan. Meski demikian, pengaruh dukungan Kyai Mojo
terhadap perjuangan Diponegoro begitu kuat karena ia memiliki banyak pengikut dari berbagai
lapisan masyarakat. Kyai Mojo yang dikenal sebagai ulama penegak ajaran Islam ini bercita-cita,
tanah Jawa dipimpin oleh pemimpin yang mendasarkan hukumnya pada syariat Islam. Semangat
memerangi Belanda yang merupakan musuh Islam dijadikan taktik Perang Suci. Oleh sebab itu,
kekuatan Dipenogoro kian mendapat dukungan terutama dari tokoh-tokoh agama yang berafiliasi
dengan Kyai Mojo.[4] Menurut Peter Carey (2016) dalam Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro
1785-1855 disebutkan bahwa sebanyak 112 kyai, 31 haji, serta 15 syekh dan puluhan penghulu
berhasil diajak bergabung.
Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden.
Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun
dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap
Diponegoro, hingga akhirnya ditangkap pada 1830.
Perang Diponegoro merupakan perang terbuka dengan pengerahan pasukan-
pasukan infanteri, kavaleri, dan artileri—yang sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan
dalam pertempuran frontal—di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. Front pertempuran
terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya
sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya
wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur logistik
dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh kilang
mesiu dibangun di hutan-hutan dan dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus
sementara peperangan berkencamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan
menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun stategi perang. Informasi mengenai
kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama; karena
taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.
Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan; para
senopati menyadari sekali untuk bekerja sama dengan alam sebagai “senjata” tak terkalahkan. Bila
musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan berbagai usaha untuk gencatan senjata
dan berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat.
Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan “musuh yang tak tampak” melemahkan moral
dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan senjata terjadi,
Belanda akan mengkonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan provokator mereka
bergerak di desa dan kota; menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga
para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang di bawah komando pangeran
Diponegoro. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.
Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu; suatu hal yang
belum pernah terjadi ketika itu, ketika suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan
sebagian Jawa timur dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang
pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode
perang terbuka (open warfare), maupun metode perang gerilya (guerilla warfare) yang dilaksanakan
melalui taktik hit and run dan penghadangan. Ini bukan sebuah perang suku, melainkan suatu
perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktikkan.
Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat saraf (psy-war) melalui insinuasi dan tekanan-
tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam
pertempuran; dan kegiatan telik sandi (spionase) dengan kedua belah pihak saling memata-matai
dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.
Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan
sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Maja, pemimpin
spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima
utamanya Sentot Alibasya menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830,
Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran
Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya
dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian
dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.
Perang melawan penjajah lalu dilanjutkan oleh para putra Pangeran Diponegoro: Ki Sodewa atau
Bagus Singlon, Dipaningrat, Dipanegara Anom, Pangeran Joned yang terus-menerus melakukan
perlawanan walaupun harus berakhir tragis. Empat putra Pangeran Diponegoro dibuang ke Ambon,
sementara Pangeran Joned terbunuh dalam peperangan, begitu juga Ki Sodewa.
Berakhirnya Perang Jawa yang merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini
banyak memakan korban di pihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan
Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Sehingga setelah perang ini jumlah penduduk
Ngayogyakarta menyusut separuhnya. Mengingat bagi sebagian kalangan dalam Kraton
Ngayogyakarta, Pangeran Diponegoro dianggap pemberontak, sehingga konon anak cucunya tidak
diperbolehkan lagi masuk ke Kraton, sampai kemudian Sri Sultan Hamengkubuwana IX memberi
amnesti bagi keturunan Diponegoro, dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang
dipunyai Diponegoro kala itu. Kini anak cucu Diponegoro dapat bebas masuk Kraton, terutama
untuk mengurus silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir.
Periode-periode penting[sunting | sunting sumber]

Penyerahan Pangeran Diponegoro kepada Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock tanggal 28 Maret 1830
yang mengakhiri Perang Diponegoro (1825-1830), karya Nicolaas Pieneman.

 20 Februari 1830 Pangeran Diponegoro dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo


Kamal, Bagelen (sekarang masuk wilayah Kabupaten Purworejo). Cleerens mengusulkan agar
Kangjeng Pangeran dan pengikutnya berdiam dulu di Menoreh sambil menunggu kedatangan
Letnan Gubernur Jenderal Markus de Kock dari Batavia, Hindia Belanda.
 28 Maret 1830 Pangeran Diponegoro menemui Jenderal de Kock di Magelang. De Kock
memaksa mengadakan perundingan dan mendesak Dipanegara agar menghentikan perang.
Permintaan itu ditolak Dipanegara. Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan teliti.
Hari itu juga Dipanegara ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke
Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5
April.
 11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum Fatahillah).
Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den Bosch.
 30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Dipanegara, Raden Ayu Retnaningsih,
Tumenggung Dipasana dan istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertaleksana, Banteng
Wereng, dan Nyai Sotaruna akan dibuang ke Manado.
 3 Mei 1830 Dipanegara dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan
ditawan di benteng Amsterdam.
 1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan.
 8 Januari 1855 Diponegoro wafat dan dimakamkan di Makassar, tepatnya di Jalan Diponegoro,
Kelurahan Melayu, Kecamatan Wajo, sekitar empat kilometer sebelah utara pusat Kota
Makassar.
Dalam perjuangannya, Pangeran Diponegoro dibantu oleh putranya bernama Bagus Singlon atau Ki
Sodewa. Ki Sodewa melakukan peperangan di wilayah Kulonprogo dan Bagelen.

Kehidupan pribadi[sunting | sunting sumber]

Lokasi makam Pangeran Diponegoro di Makassar, Sulawesi Selatan.

Setidaknya Pangeran Diponegoro mempunyai 12 putra dan 10 orang putri, yang keturunannya
semuanya kini hidup tersebar di seluruh dunia, termasuk Jawa, Madura, Sulawesi,
dan Maluku bahkan di Australia, Serbia, Jerman, Belanda, dan Arab Saudi.

Penghargaan sebagai Pahlawan[sunting | sunting sumber]

Mata uang kertas Rp100,00 bergambar Pangeran Diponegoro, diterbitkan tahun 1952 setelah kemerdekaan.

Sebagai penghargaan atas jasa Diponegoro dalam melawan penjajahan. Di beberapa kota besar
Indonesia terdapat Jalan Pangeran Diponegoro. Kota Semarang sendiri juga memberikan apresiasi
agar nama Pangeran Diponegoro akan senantiasa hidup. Nama-nama tempat yang menggunakan
namanya antara lain Stadion Diponegoro, Jalan Pangeran Diponegoro, Universitas
Diponegoro (Undip), maupun Kodam IV/Diponegoro. Juga ada beberapa patung yang dibuat,
patung Diponegoro di Undip Pleburan, patung Diponegoro di Kodam IV/Diponegoro serta di pintu
masuk Undip Tembalang.

Mata uang kertas Rp1.000,00 bergambar Pangeran Diponegoro, diterbitkan tahun 1975 setelah kemerdekaan.
Pemerintah Republik Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soekarno pada tanggal 8
Januari 1955 pernah menyelenggarakan Haul Nasional memperingati 100 tahun wafatnya Pangeran
Diponegoro, sedangkan pengakuan sebagai Pahlawan Nasional diperoleh Pangeran Diponegoro
pada tanggal 6 November 1973 melalui Keppres No.87/TK/1973.
Penghargaan tertinggi justru diberikan oleh Dunia, pada 21 Juni 2013, UNESCO menetapkan Babad
Diponegoro sebagai Warisan Ingatan Dunia (Memory of the World). Babad Diponegoro merupakan
naskah klasik yang dibuat sendiri oleh Pangeran Diponegoro ketika diasingkan di Manado, Sulawesi
Utara, pada 1832-1833. Babad ini bercerita mengenai kisah hidup Pangeran Diponegoro yang
memiliki nama asli Raden Mas Antawirya.[5][6]
Selain itu, untuk mengenang jasa Pangeran Diponegoro dalam memperjuangkan kemerdekaan,
didirikanlah Museum Monumen Pangeran Diponegoro atau yang lebih dikenal dengan sebutan
"Sasana Wiratama" di Tegalrejo, Yogyakarta, yang menempati bekas kediaman Pangeran
Diponegoro.

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]


 Carey, P.B.R. (1981). Babad Dipanagara: an account of the outbreak of the Java War (1825-
30): the Surakarta court version of the Babad Dipanagara. Kuala Lumpur: Printed for the Council
of the M.B.R.A.S. by Art Printing Works. Monograph (Royal Asiatic Society of Great Britain and
Ireland. Malaysian Branch); no.9
 Sagimun, M.D. (1976). Pangeran Diponegoro: Pahlawan Nasional. Jakarta: Proyek Biografi
Pahlawan Nasional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
 Yamin, M. (1950). Sedjarah Peperangan Diponegoro: Pahlawan Kemerdekaan Indonesia.
Jakarta: Pembangunan.

Referensi[sunting | sunting sumber]


1. ^ Raditya, Iswara N. "Intrik Keraton dan Misteri Kematian Sultan Hamengkubuwana IV". tirto.id.
Diakses tanggal 2017-12-06.
2. ^ Heru., Basuki, (2007). Dakwah dinasti Mataram dalam Perang Diponegoro, Kyai Mojo & Perang
Sabil Sentot Ali Basah (edisi ke-Cet. 1). Yogyakarta: Samodra
Ilmu. ISBN 9786028014014. OCLC 302187891.
3. ^ 1947-, Babcock, Tim G., (1989). Kampung Jawa Tondano : religion and cultural identity.
Yogyakarta, Indonesia: Gadjah Mada University Press. ISBN 9789794201206. OCLC 21212549.
4. ^ R.,, Carey, P. B.; Bambang,, Murtianto,; Gramedia, PT. Takdir : riwayat Pangeran Diponogoro,
1785-1855. Jakarta. ISBN 9789797097998. OCLC 883389465.
5. ^ (Indonesia) Indonesia.travel: Babad Diponegoro dan Negarakertagama Masuk Memory of The
World UNESCO
6. ^ Informasi dari situs web UNESCO mengenai Babad Mataram
Hasjim Asy'ari
(Dialihkan dari Hasyim Asy'ari)

Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian

Sumber referensi dari artikel atau bagian ini belum dipastikan dan mungkin
isinya tidak benar.
Tolong diperiksa, dan lakukan modifikasi serta tambahkan sumber yang
benar pada bagian yang diperlukan.

Hasyim Asy'ari

Hadratussyekh
Kiai Haji
Hasyim Asy'ari

Nama dan Gelar

Semua Gelar

Gelar (Islam) Hadratussyekh

Gelar Kiai Haji

(Islam/Sosial)

Gelar Hadratussyekh

Nama

Nama Hasyim Asy'ari

Kelahirannya

Tanggal lahir (H) 24


Tanggal lahir (M) 14

Bulan lahir (H) Dzul Qa’dah

Bulan lahir (M) Februari

Tahun lahir (M) 1871

Tempat lahir Gedang

Negara lahir Gedang, Kabupaten Jombang, Jawa


(penguasa wilayah) Timur Hindia Belanda

Nama ibu Halimah

Agama, Identitas, Kebangsaan

Agama Islam

Etnis (Suku bangsa)

Etnis Jawa

(Suku bangsa)

Kebangsaan Indonesia

Kewarganegaraan

Kewarganegaraan Indonesia

KembangkanNasab

KembangkanDakwah, Ketokohan & Pengaruh


KembangkanPenghargaan

KembangkanPernikahan & Keluarga

KembangkanKewafatan

Bantuan kotak info

Kiai Haji Mohammad Hasjim Asy'arie bagian belakangnya juga sering


dieja Asy'ari atau Ashari (lahir di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, 14 Februari 1871 – meninggal
di Jombang, Jawa Timur, 21 Juli 1947 pada umur 76 tahun; 24 Dzul Qo'dah 1287 H- 3 Ramadhan
1366 H; dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang) adalah salah seorang Pahlawan Nasional
Indonesia[2] yang merupakan pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi massa Islam yang terbesar
di Indonesia. Di kalangan Nahdliyin dan ulama pesantren ia dijuluki dengan sebutan Hadratus
Syeikh yang berarti maha guru.

Daftar isi

 1Keluarga
 2Pendidikan
 3Perjuangan
 4Karya dan pemikiran
 5Referensi
 6Pranala luar

Keluarga[sunting | sunting sumber]


K.H Hasjim Asy'ari adalah putra ketiga dari 10 bersaudara [3]. Ayahnya bernama Kyai Asy'ari,
pemimpin Pondok Pesantren yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah.
Sementara kesepuluh saudaranya antara lain: Nafi'ah, Ahmad Saleh, Radiah, Hassan, Anis,
Fatanah, Maimunah, Maksum, Nahrawi dan Adnan. Berdasarkan silsilah garis keturunan ibu, K.H.
Hasjim Asy'ari memiliki garis keturunan baik dari Sultan Pajang Jaka Tingkir juga mempunyai
keturunan ke raja Hindu Majapahit, Raja Brawijaya V (Lembupeteng). Berikut silsilah berdasarkan
K.H. Hasjim Asy'ari berdasarkan garis keturanan ibu:
Hasjim Asy'ari putra Halimah putri Layyinah putri Sihah Putra Abdul
Jabar putra Ahmad putra Pangeran Sambo putra Pengeran Benowo putra Joko Tingkir (Mas
Karebet) putra Prabu Brawijaya V (Lembupeteng)[1]
Ia menikah tujuh kali dan kesemua istrinya adalah putri dari ulama. Empat istrinya bernama
Khadijah, Nafisah, Nafiqah, dan Masrurah. Salah seorang putranya, Wahid Hasyim adalah salah
satu perumus Piagam Jakarta yang kemudian menjadi Menteri Agama,[4] sedangkan
cucunya, Abdurrahman Wahid, menjadi Presiden Indonesia.
Pendidikan[sunting | sunting sumber]
K.H. Hasjim Asy'ari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman yang juga
pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Sejak usia 15 tahun, ia berkelana menimba ilmu di
berbagai pesantren, antara lain Pesantren Wonokoyo di Probolinggo,
Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantren
Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo.
Pada tahun 1892, K.H. Hasjim Asy'ari pergi menimba ilmu ke Mekah, dan berguru pada Syekh
Ahmad Khatib Minangkabau, Syekh Muhammad Mahfudz at-Tarmasi, Syekh Ahmad Amin Al-
Aththar, Syekh Ibrahim Arab, Syekh Said Yamani, Syekh Rahmaullah, Syekh Sholeh Bafadlal,
Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As-Saqqaf, dan Sayyid Husein Al-Habsyi.[5].
Di Makkah, awalnya K.H. Hasjim Asy'ari belajar di bawah bimgingan Syaikh Mafudz dari Termas
(Pacitan) yang merupakan ulama dari Indonesia pertama yang mengajar Sahih Bukhori di Makkah.
Syaikh Mafudz adalah ahli hadis dan hal ini sangat menarik minat belajar K.H. Hasjim Asy'ari
sehingga sekembalinya ke Indonesia pesantren ia sangat terkenal dalam pengajaran ilmu hadis. Ia
mendapatkan ijazah langsung dari Syaikh Mafudz untuk mengajar Sahih Bukhari, di mana Syaikh
Mahfudz merupakan pewaris terakhir dari pertalian penerima (isnad) hadis dari 23 generasi
penerima karya ini.[6]. Selain belajar hadis ia juga belajar tassawuf (sufi) dengan mendalami Tarekat
Qadiriyah dan Naqsyabandiyah.
K.H. Hasjim Asy'ari juga mempelajari fiqih madzab Syafi'i di bawah asuhan Syaikh Ahmad
Katib dari Minangkabau yang juga ahli dalam bidang astronomi (ilmu falak), matematika (ilmu hisab),
dan aljabar. Pada masa belajar pada Syaikh Ahmad Katib inilah K.H. Hasjim Asy'ari
mempelajari Tafsir Al-manar karya monumental Muhammad Abduh. Pada prinsipnya ia mengagumi
rasionalitas pemikiran Abduh akan tetapi kurang setuju dengan ejekan Abduh terhadap ulama
tradisionalis.
Gurunya yang lain adalah termasuk ulama terkenal dari Banten yang mukim di Makkah yaitu Syaikh
Nawawi al-Bantani. Sementara guru yang bukan dari Nusantara antara lain Syaikh
Shata dan Syaikh Dagistani yang merupakan ulama terkenal pada masa itu[7].

Perjuangan[sunting | sunting sumber]


Pada tahun 1899, sepulangnya dari Mekah, K.H. Hasjim Asy'ari mendirikan Pesantren Tebu Ireng,
yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20.
Pada tahun 1926, K.H Hasjim Asy'ari menjadi salah satu pemrakarsa berdirinya Nadhlatul Ulama
(NU), yang berarti kebangkitan ulama.

Karya dan pemikiran[sunting | sunting sumber]


Pemikiran K.H. Hasjim Asy'ari tentang Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah adalah "ulama dalam bidang
tafsir Al-Qur'an, sunnah Rasul, dan fiqh yang tunduk pada tradisi Rasul dan Khulafaur Rasyidin."
beliau selanjutnya menyatakan bahwa sampai sekarang ulama tersebut termasuk "mereka yang
mengikuti mazhab Maliki, Hanafi, Syafi'i, dan Hambali." Doktrin ini diterapkan dalam NU yang
menyatakan sebagai pengikut, penjaga dan penyebar faham Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah.[8]
Muslim tradisionalis juga menggunakan istilah Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah untuk membedakan
dirinya dengan Muslim modernis, walaupun yang terakhir ini juga menerima formulasi al-Ash'ari dan
al-Maturidi dalam bidang teologi. Namun, tidak seperti kaum modernis, Muslim tradisionalis
mengikuti salah satu empat mazhab sunni dan mengakui keabsahan sufi ortodoks sebagaimana
yang diajarkan oleh Junaid al-Baghdadi dan al-Ghazali.[9]
Ahl al-sunnah wa al-jama'ah dalam pandangan K.H. Hasjim Asy'ari tidak memiliki makna tunggal,
tergantung perspektif yang digunakan. Paling tidak terdapat dua perspektif yang digunakan untuk
mendefinisikan Ahl al-sunnah wa al-jama'ah, yaitu teologi dan fiqh. Namun, jika ditelusuri lebih lanjut
melalui karya-karya K.H. Hasjim Asy'ari, maka sebenarnya dapat diambil sebuah kesimpulan yaitu
Ahl al-sunnah wa al-jama'ah pada dasarnya lebih mengandaikan pola keberagaman bermadzhab
kepada generasi Muslim masa lalu yang cukup otoritatif secara religius.[10]
K.H. Hasjim Asy'ari banyak membuat tulisan dan catatan-catatan. Sekian banyak dari pemikirannya,
setidaknya ada empat kitab karangannya yang mendasar dan menggambarkan pemikirannya; kitab-
kitab tersebut antara lain:

 Risalah Ahlis-Sunnah Wal Jama'ah: Fi Hadistil Mawta wa Asyrathis-sa'ah wa baya Mafhumis-


Sunnah wal Bid'ah (Paradigma Ahlussunah wal Jama'ah: Pembahasan tentang Orang-orang
Mati, Tanda-tanda Zaman, dan Penjelasan tentang Sunnah dan Bid'ah).
 Al-Nuurul Mubiin fi Mahabbati Sayyid al-Mursaliin (Cahaya yang Terang tentang Kecintaan pada
Utusan Tuhan, Muhammad SAW).
 Adab al-alim wal Muta'allim fi maa yahtaju Ilayh al-Muta'allim fi Ahwali Ta'alumihi wa maa
Ta'limihi (Etika Pengajar dan Pelajar dalam Hal-hal yang Perlu Diperhatikan oleh Pelajar Selama
Belajar).
 Al-Tibyan: fin Nahyi 'an Muqota'atil Arham wal Aqoorib wal Ikhwan (Penjelasan tentang
Larangan Memutus Tali Silaturrahmi, Tali Persaudaraan dan Tali Persahabatan)[11]
 Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyyat Nahdlatul Ulama. Dari kitab ini para pembaca akan
mendapat gambaran bagaimana pemikiran dasar dia tentang NU. Di dalamnya terdapat ayat
dan hadits serta pesan penting yang menjadi landasan awal pendirian jam’iyah NU. Boleh
dikata, kitab ini menjadi “bacaan wajib” bagi para pegiat NU.
 Risalah fi Ta’kid al-Akhdzi bi Mazhab al-A’immah al-Arba’ah. Mengikuti manhaj para imam
empat yakni Imam Syafii, Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal,
tentunya memiliki makna khusus sehingga akhirnya mengikuti jejak pendapat imam empat
tersebut dapat ditemukan jawabannya dalam kitab ini.
 Mawaidz. Adalah kitab yang bisa menjadi solusi cerdas bagi para pegiat di masyarakat. Saat
Kongres NU XI tahun 1935 di Bandung, kitab ini pernah diterbitkan secara massal. Demikian
juga Prof Buya Hamka harus menterjemah kitab ini untuk diterbitkan di majalah Panji
Masyarakat, edisi 15 Agustus 1959.
 Arba’ina Haditsan Tata’allaqu bi Mabadi’ Jam’iyyat Nahdlatul Ulama. Hidup ini tak akan lepas
dari rintangan dan tantangan. Hanya pribadi yang tangguh serta memiliki sosok yang kukuh
dalam memegang prinsiplah yang akan lulus sebagai pememang. Kitab ini berisikan 40 hadits
pilihan yang seharusnya menjadi pedoman bagi warga NU.
 Al-Tanbihat al-Wajibat liman Yushna’ al-Maulid bi al-Munkarat. Kitab ini menyajikan beberapa
hal yang harus diperhatikan saat memperingati maulidur rasul.

Referensi[sunting | sunting sumber]


1. ^ a b Akarhanaf, Kiai Hasjim Asj'ari, hal. 55 atau lihat Khuluq, L. 2000, Fajar Kebangunan Ulama
Biografi K.H. Hasyim Asy'ari, LKiS. hal. 17
2. ^ ^^^Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No.294 Tahun 1964 tanggal 17 November 1964,
Pemerintah RI menganugerahi Kyai Hasyim Asy’ari gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
3. ^ Khuluq, L. 2000, Fajar Kebangunan Ulama Biografi K.H. Hasjim Asy'ari, LKiS. hal. 18
4. ^ Khuluq 2008, hlm. 20–21
5. ^ http://www.biografiku.com/2012/10/biografi-kh-hasyim-ashari-pendiri.html
6. ^ Arifin, Kepemimpinan Kiai, hal. 72; lihat juga Anam, Pertumbuhan, hal. 60.
7. ^ Zamaksari, Tradisi Pesantren. hal. 95
8. ^ Khuluq, Lathiful. Fajar Kebangunan Ulama, Yogyakarta: LKiS, 2000, 46.
9. ^ Khuluq, Lathiful. Fajar Kebangunan Ulama, Yogyakarta: LKiS, 2000, 47.
10. ^ Khuluq, Lathiful. Fajar Kebangunan Ulama, Yogyakarta: LKiS, 2000, 49-50.
11. ^ Misrawi, Zuhairi. Hadratussaikh Hasyim Asy'ari Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan, Kompas
Media Nusantara, 2010, Hal. 17

Ki Hadjar Dewantara
(Dialihkan dari Ki Hajar Dewantara)

Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian

Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya


dapat dipastikan. Mohon bantu kami untuk mengembangkan artikel
ini dengan cara menambahkan rujukan ke sumber tepercaya. Pernyataan tak
bersumber bisa saja dipertentangkan dan dihapus.
Cari sumber: "Ki Hadjar Dewantara" – berita · surat
kabar · buku · cendekiawan · JSTOR (Pelajari cara dan kapan saatnya untuk menghapus
pesan templat ini)

Ki Hadjar Dewantara
Ki Hadjar Dewantara

Menteri Pengajaran Indonesia ke-1

Masa jabatan

2 September 1945 – 14 November 1945

Presiden Sukarno

Pendahulu Tidak ada, jabatan baru

Pengganti Todung Sutan Gunung Mulia

Informasi pribadi

Lahir 2 Mei 1889

Pakualaman, masa Hindia Belanda

Meninggal dunia 26 April 1959 (umur 69)


Yogyakarta, Indonesia
Ki Hadjar Dewantara

Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (EBI: Suwardi Suryaningrat, sejak 1922 menjadi Ki Hadjar
Dewantara, EBI: Ki Hajar Dewantara, beberapa menuliskan bunyi bahasa Jawanya dengan Ki
Hajar Dewantoro; lahir di Pakualaman, 2 Mei 1889 – meninggal di Yogyakarta, 26 April 1959 pada
umur 69 tahun;[1] selanjutnya disingkat sebagai "Soewardi" atau "KHD") adalah aktivis
pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi
kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Ia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa,
suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi untuk bisa memperoleh
hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.
Tanggal kelahirannya sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Bagian
dari semboyan ciptaannya, tut wuri handayani, menjadi slogan Kementerian Pendidikan Nasional
Indonesia. Namanya diabadikan sebagai salah sebuah nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar
Dewantara. Potret dirinya diabadikan pada uang kertas pecahan 20.000 rupiah tahun edisi 1998.[2]
Ia dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang ke-2 oleh Presiden RI, Sukarno, pada 28
November 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305 Tahun 1959, tanggal 28
November 1959).[3]

Daftar isi

 1Masa muda dan awal karier


 2Aktivitas pergerakan
 3Als ik een Nederlander was
 4Dalam pengasingan
 5Taman Siswa
 6Pengabdian pada masa Indonesia merdeka
 7Galeri
 8Referensi
 9Pranala luar

Masa muda dan awal karier[sunting | sunting sumber]


Soewardi berasal dari lingkungan keluarga Kadipaten Pakualaman, putra dari GPH Soerjaningrat,
dan cucu dari Pakualam III. Ia menamatkan pendidikan dasar di ELS (Sekolah Dasar
Eropa/Belanda). Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tetapi tidak
sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat
kabar, antara lain, Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja
Timoer, dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya komunikatif
dan tajam dengan semangat antikolonial.

Aktivitas pergerakan[sunting | sunting sumber]


Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Sejak
berdirinya Boedi Oetomo (BO) tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda untuk menyosialisasikan dan
menggugah kesadaran masyarakat Indonesia (terutama Jawa) pada waktu itu mengenai pentingnya
persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kongres pertama BO di Yogyakarta juga
diorganisasi olehnya.
Soewardi muda juga menjadi anggota organisasi Insulinde, suatu organisasi multietnik yang
didominasi kaum Indo yang memperjuangkan pemerintahan sendiri di Hindia Belanda, atas
pengaruh Ernest Douwes Dekker (DD). Ketika kemudian DD mendirikan Indische Partij, Soewardi
diajaknya pula.

Als ik een Nederlander was[sunting | sunting sumber]

Ki Hadjar Dewantara
(Chris Lebeau, 1919)

Sewaktu pemerintah Hindia Belanda berniat mengumpulkan sumbangan dari warga, termasuk
pribumi, untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Prancis pada tahun 1913, timbul reaksi kritis
dari kalangan nasionalis, termasuk Soewardi. Ia kemudian menulis "Een voor Allen maar Ook Allen
voor Een" atau "Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga". Namun kolom KHD yang paling
terkenal adalah "Seandainya Aku Seorang Belanda" (judul asli: "Als ik een Nederlander was"),
dimuat dalam surat kabar De Expres pimpinan DD, 13 Juli 1913. Isi artikel ini terasa pedas sekali di
kalangan pejabat Hindia Belanda. Kutipan tulisan tersebut antara lain sebagai berikut.
"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta
kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan
jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh
si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan
perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo
teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama
menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan
bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan
sedikit pun baginya".
Beberapa pejabat Belanda menyangsikan tulisan ini asli dibuat oleh Soewardi sendiri karena
gaya bahasanya yang berbeda dari tulisan-tulisannya sebelum ini. Kalaupun benar ia yang
menulis, mereka menganggap DD berperan dalam memanas-manasi Soewardi untuk menulis
dengan gaya demikian.
Akibat tulisan ini ia ditangkap atas persetujuan Gubernur Jenderal Idenburg dan akan
diasingkan ke Pulau Bangka (atas permintaan sendiri). Namun demikian kedua rekannya, DD
dan Tjipto Mangoenkoesoemo, memprotes dan akhirnya mereka bertiga diasingkan ke Belanda
(1913). Ketiga tokoh ini dikenal sebagai "Tiga Serangkai". Soewardi kala itu baru berusia 24
tahun.

Dalam pengasingan[sunting | sunting sumber]


Soewardi, Ernest Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo (Tiga Serangkai) tahun 1914 saat
diasingkan di Negeri Belanda

Dalam pengasingan di Belanda, Soewardi aktif dalam organisasi para pelajar asal
Indonesia, Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia). Tahun 1913 dia mendirikan Indonesisch
Pers-bureau, "kantor berita Indonesia". Ini adalah penggunaan formal pertama dari istilah
"Indonesia", yang diciptakan tahun 1850 oleh ahli bahasa asal Inggeris George Windsor
Earl dan pakar hukum asal Skotlandia James Richardson Logan.
Di sinilah ia kemudian merintis cita-citanya memajukan kaum pribumi dengan belajar ilmu
pendidikan hingga memperoleh Europeesche Akta, suatu ijazah pendidikan yang bergengsi
yang kelak menjadi pijakan dalam mendirikan lembaga pendidikan yang didirikannya. Dalam
studinya ini Soewardi terpikat pada ide-ide sejumlah tokoh pendidikan Barat,
seperti Froebel dan Montessori, serta pergerakan pendidikan India, Santiniketan, oleh
keluarga Tagore. Pengaruh-pengaruh inilah yang mendasarinya dalam mengembangkan sistem
pendidikannya sendiri.

Taman Siswa[sunting | sunting sumber]


Soewardi kembali ke Indonesia pada bulan September 1919. Segera kemudian ia bergabung
dalam sekolah binaan saudaranya. Pengalaman mengajar ini kemudian digunakannya untuk
mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang ia dirikan pada tanggal 3
Juli 1922: Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa.
Saat ia genap berusia 40 tahun menurut hitungan penanggalan Jawa, ia mengganti namanya
menjadi Ki Hadjar Dewantara. Ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan
namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik
maupun jiwa.
Semboyan dalam sistem pendidikan yang dipakainya kini sangat dikenal di kalangan pendidikan
Indonesia. Secara utuh, semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi ing ngarsa sung tuladha,
ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. ("di depan memberi contoh, di tengah memberi
semangat, di belakang memberi dorongan"). Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia
pendidikan rakyat Indonesia, terlebih di sekolah-sekolah Perguruan Tamansiswa.

Pengabdian pada masa Indonesia merdeka[sunting | sunting sumber]


Patung Ki Hajar Dewantara

Dalam kabinet pertama Republik Indonesia, KHD diangkat menjadi Menteri Pengajaran
Indonesia (posnya disebut sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan) yang
pertama. Pada tahun 1957 ia mendapat gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa,
Dr.H.C.) dari universitas tertua Indonesia, Universitas Gadjah Mada. Atas jasa-jasanya dalam
merintis pendidikan umum, ia dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan
hari kelahirannya dijadikan Hari Pendidikan Nasional (Surat Keputusan Presiden RI no. 305
tahun 1959, tanggal 28 November 1959).
Ia meninggal dunia di Yogyakarta tanggal 26 April 1959 dan dimakamkan di Taman Wijaya
Brata.

Galeri[sunting | sunting sumber]


Wikimedia Commons
memiliki media
mengenai Ki Hajar
Dewantara.

Potret di Mimbar Umum 18 Oktober 1949

Pemakaman Ki Hajar Dewantara


Ki Hajar Dewantara dengan Sukarno

Ki Hajar Dewantara sedang menulis

Referensi[sunting | sunting sumber]


1. ^ Ini adalah versi Perguruan Tamansiswa dan Kepustakaan Presiden Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia, tokohindonesia.com menyebutkan 28 April 1959 sebagai tanggal wafat.
2. ^ Uang Kertas Bank Indonesia Pecahan: Rp. 20.000,-, Bank Indonesia, diakses tanggal 26 April
2011.
3. ^ "DAFTAR NAMA PAHLAWAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA"

Soekarno
(Dialihkan dari Sukarno)

Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian

Dr.(H.C) Ir. H.
Soekarno
Presiden Indonesia ke-1

Masa jabatan

18 Agustus 1945 – 12 Maret 1967

Perdana Menteri Daftar[tampilkan]

Wakil Presiden Mohammad Hatta (1945–1956)

Pendahulu Tidak ada, jabatan baru

Pengganti Soeharto

Perdana Menteri Indonesia ke-11

Masa jabatan

9 Juli 1959 – 25 Juli 1966

Pendahulu Djuanda Kartawidjaja

Pengganti Soeharto
(Ketua Presidium Kabinet)

Informasi pribadi

Lahir Koesno Sosrodihardjo

6 Juni 1901

Surabaya, Jawa Timur, Hindia Belanda

Meninggal dunia 21 Juni 1970 (umur 69)

Jakarta

Kebangsaan Indonesia

Partai politik Partai Nasional Indonesia (1927–1931)

Pasangan Oetari (1921–1923)

Inggit Garnasih (1923–1943)

Fatmawati (1943–1956)

Hartini (1953–1970)

Kartini Manoppo (1959–1968)

Ratna Sari Dewi (1962–1970)

Haryati (1963–1966)

Yurike Sanger (1964–1968)

Heldy Djafar (1966–1969)

Anak Dari Inggit[tampilkan]

Dari Fatmawati[tampilkan]

Dari Hartini[tampilkan]

Dari Ratna[tampilkan]

Dari Haryati[tampilkan]

Dari Kartini Manoppo[tampilkan]

 Soekemi Sosrodihardjo
Orang tua
 Ida Ayu Nyoman Rai
Profesi Insinyur
Politikus

Tanda tangan

Pidato Soekarno pada


peringatan Maulud Nabi
Muhammad S.A.W

MENU

0:00
Pidato Soekarno pada
peringatan Maulud Nabi
Muhammad S.A.W

Bermasalah memainkan berkas ini?


Lihat bantuan media.

Soekarno di Konferensi Asia-Afrika

Dr.(H.C.) Ir. H. Soekarno1 (ER, EYD: Sukarno, nama lahir: Koesno Sosrodihardjo) (lahir
di Surabaya, Jawa Timur, 6 Juni 1901 – meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970 pada umur 69 tahun)[note
1][note 2]
adalah Presiden pertama Republik Indonesia yang menjabat pada periode 1945–1967.[5] Ia
:11, 81

memainkan peranan penting dalam memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda.[6] :26-

32
Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama dengan Mohammad Hatta) yang terjadi
pada tanggal 17 Agustus 1945. Soekarno adalah yang pertama kali mencetuskan konsep
mengenai Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dan ia sendiri yang menamainya.[6]
Soekarno menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966 Supersemar yang kontroversial, yang
isinya —berdasarkan versi yang dikeluarkan Markas Besar Angkatan Darat— menugaskan Letnan
Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan menjaga keamanan negara dan institusi
kepresidenan.[6] Supersemar menjadi dasar Letnan Jenderal Soeharto untuk membubarkan Partai
Komunis Indonesia (PKI) dan mengganti anggota-anggotanya yang duduk di parlemen.[6] Setelah
pertanggungjawabannya ditolak Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada sidang
umum ke empat tahun 1967, Soekarno diberhentikan dari jabatannya sebagai presiden pada Sidang
Istimewa MPRS pada tahun yang sama dan Soeharto menggantikannya sebagai pejabat Presiden
Republik Indonesia.[6]
Daftar isi

 1Nama
o 1.1Achmed Soekarno
 2Kehidupan
o 2.1Masa kecil dan remaja
o 2.2Sebagai arsitek
 2.2.1Pekerjaan
 2.2.2Pengaruh terhadap karya arsitektur
o 2.3Silsilah keluarga
 3Kiprah politik
o 3.1Masa pergerakan nasional
o 3.2Masa penjajahan Jepang
o 3.3Masa Perang Revolusi
o 3.4Masa kemerdekaan
o 3.5Masa marabahaya
 3.5.1Granat Cikini
 3.5.2Penembakan Istana Presiden
 3.5.3Pencegatan Rajamandala
 3.5.4Granat Makassar
 3.5.5Penembakan Idul Adha
 3.5.6Penembakan mortir Kahar Muzakar
 3.5.7Granat Cimanggis
 3.5.8Upaya pembunuhan karakter
o 3.6Masa embargo negara Adi Kuasa
o 3.7Masa keterpurukan
 4Sakit hingga meninggal
 5Peninggalan
 6Penghargaan
o 6.1Gelar Doctor Honoris Causa
o 6.2Lain-lain
 7Karya tulis
 8Pidato
 9Budaya populer
o 9.1Buku
o 9.2Lagu
o 9.3Film, televisi, dan panggung pertunjukan
 10Catatan
 11Galeri
 12Referensi
 13Lihat pula
 14Pranala luar

Nama
Ketika dilahirkan, Soekarno diberikan nama Kusno oleh orangtuanya.[5] Namun karena ia sering
sakit maka ketika berumur sebelas tahun namanya diubah menjadi Soekarno oleh ayahnya.[5][7]
:35-

Nama tersebut diambil dari seorang panglima perang dalam kisah Bharata
36

Yudha yaitu Karna.[5][7] Nama "Karna" menjadi "Karno" karena dalam bahasa Jawa huruf "a" berubah
menjadi "o" sedangkan awalan "su" memiliki arti "baik".[7]
Di kemudian hari ketika menjadi presiden, ejaan nama Soekarno diganti olehnya sendiri
menjadi Sukarno karena menurutnya nama tersebut menggunakan ejaan penjajah (Belanda)[7] . Ia :32

tetap menggunakan nama Soekarno dalam tanda tangannya karena tanda tangan tersebut adalah
tanda tangan yang tercantum dalam Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang tidak boleh
diubah, selain itu tidak mudah untuk mengubah tanda tangan setelah berumur 50 tahun[7] . Sebutan
:32

akrab untuk Soekarno adalah Bung Karno.


Achmed Soekarno
Di beberapa negara Barat, nama Soekarno kadang-kadang ditulis Achmed Soekarno. Hal ini terjadi
karena ketika Soekarno pertama kali berkunjung ke Amerika Serikat, sejumlah wartawan bertanya-
tanya, "Siapa nama kecil Soekarno?"[butuh rujukan] karena mereka tidak mengerti kebiasaan sebagian
masyarakat di Indonesia yang hanya menggunakan satu nama saja atau tidak memiliki nama
keluarga.
Soekarno menyebutkan bahwa nama Achmed didapatnya ketika menunaikan ibadah haji.[8] Dalam
beberapa versi lain,[butuh rujukan] disebutkan pemberian nama Achmed di depan nama Soekarno,
dilakukan oleh para diplomat muslim asal Indonesia yang sedang melakukan misi luar negeri dalam
upaya untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan negara Indonesia oleh negara-negara Arab.
Dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (terjemahan Syamsu Hadi. Ed. Rev.
2011. Yogyakarta: Media Pressindo, dan Yayasan Bung Karno, ISBN 979-911-032-7-9) halaman 32
dijelaskan bahwa namanya hanya "Sukarno" saja, karena dalam masyarakat Indonesia bukan hal
yang tidak biasa memiliki nama yang terdiri satu kata.

Kehidupan
Masa kecil dan remaja

Rumah masa kecil Bung Karno

Soekarno dilahirkan dengan seorang ayah yang bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya
yaitu Ida Ayu Nyoman Rai.[5] Keduanya bertemu ketika Raden Soekemi yang merupakan seorang
guru ditempatkan di Sekolah Dasar Pribumi di Singaraja, Bali.[5] Nyoman Rai merupakan keturunan
bangsawan dari Bali dan beragama Hindu, sedangkan Raden Soekemi sendiri
beragama Islam.[5] Mereka telah memiliki seorang putri yang bernama Sukarmini sebelum Soekarno
lahir.[9] Ketika kecil Soekarno tinggal bersama kakeknya, Raden Hardjokromo di Tulung
:4-6, 247-251

Agung, Jawa Timur.[5]


Ia bersekolah pertama kali di Tulung Agung hingga akhirnya ia pindah ke Mojokerto, mengikuti
orangtuanya yang ditugaskan di kota tersebut.[5] Di Mojokerto, ayahnya memasukan Soekarno
ke Eerste Inlandse School, sekolah tempat ia bekerja.[9] Kemudian pada Juni 1911 Soekarno
dipindahkan ke Europeesche Lagere School (ELS) untuk memudahkannya diterima di Hogere
Burger School (HBS).[5] Pada tahun 1915, Soekarno telah menyelesaikan pendidikannya di ELS dan
berhasil melanjutkan ke HBS di Surabaya, Jawa Timur.[5] Ia dapat diterima di HBS atas bantuan
seorang kawan bapaknya yang bernama H.O.S. Tjokroaminoto.[5] Tjokroaminoto bahkan memberi
tempat tinggal bagi Soekarno di pondokan kediamannya.[5] Di Surabaya, Soekarno banyak bertemu
dengan para pemimpin Sarekat Islam, organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu,
seperti Alimin, Musso, Darsono, Haji Agus Salim, dan Abdul Muis.[5] Soekarno kemudian aktif dalam
kegiatan organisasi pemuda Tri Koro Dharmo yang dibentuk sebagai organisasi dari Budi
Utomo.[5] Nama organisasi tersebut kemudian ia ganti menjadi Jong Java (Pemuda Jawa)
pada 1918.[5] Selain itu, Soekarno juga aktif menulis di harian "Oetoesan Hindia" yang dipimpin oleh
Tjokroaminoto.[9]

Soekarno sewaktu menjadi siswa HBS Soerabaja

Soekarno bersama mahasiswa pribumi TH Bandung tahun 1923. Baris belakang dari kiri ke kanan: M.
Anwari, Soetedjo, Soetojo, Soekarno, R. Soemani, Soetono/Soetoto(?), R. M. Koesoemaningrat, Djokoasmo,
Marsito. Duduk di depan: Soetono/Soetoto(?), M. Hoedioro, Katamso.

Tamat HBS Soerabaja bulan Juli 1921[10], bersama Djoko Asmo rekan satu angkatan di HBS,
Soekarno melanjutkan ke Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB)
di Bandung dengan mengambil jurusan teknik sipil pada tahun 1921,[1] setelah dua bulan dia
:38

meninggalkan kuliah, tetapi pada tahun 1922 mendaftar kembali[1] dan tamat pada
:38

tahun 1926.[11] Soekarno dinyatakan lulus ujian insinyur pada tanggal 25 Mei 1926 dan pada Dies
Natalis ke-6 TH Bandung tanggal 3 Juli 1926 dia diwisuda bersama delapan
belas insinyur lainnya.[1] Prof. Jacob Clay selaku ketua fakultas pada saat itu
:37

menyatakan "Terutama penting peristiwa itu bagi kita karena ada di antaranya 3 orang insinyur
orang Jawa".[1] Mereka adalah Soekarno, Anwari, dan Soetedjo,[12] selain itu ada seorang lagi dari
:37 :167

Minahasa yaitu Johannes Alexander Henricus Ondang.[12] :167

Saat di Bandung, Soekarno tinggal di kediaman Haji Sanusi yang merupakan anggota Sarekat
Islam dan sahabat karib Tjokroaminoto.[5] Di sana ia berinteraksi dengan Ki Hajar Dewantara, Tjipto
Mangunkusumo, dan Dr. Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi National
Indische Partij.
Sebagai arsitek
Bung Karno adalah presiden pertama Indonesia yang juga dikenal sebagai arsitek alumni
dari Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB) di Bandung dengan mengambil
jurusan teknik sipil dan tamat pada tahun 1926. [note 3] [note 4] [13]
Pekerjaan

 Ir. Soekarno pada tahun 1926 mendirikan biro insinyur bersama Ir. Anwari, banyak mengerjakan
rancang bangun bangunan. Selanjutnya bersama Ir. Rooseno juga merancang dan membangun
rumah-rumah dan jenis bangunan lainnya.
 Ketika dibuang di Bengkulu menyempatkan merancang beberapa rumah dan merenovasi total
masjid Jami' di tengah kota.[14]
Pengaruh terhadap karya arsitektur
Semasa menjabat sebagai presiden, ada beberapa karya arsitektur yang dipengaruhi atau
dicetuskan oleh Soekarno. Juga perjalanan secara maraton dari bulan Mei sampai Juli pada
tahun 1956 ke negara-negara Amerika Serikat, Kanada, Italia, Jerman Barat, dan Swiss. Membuat
cakrawala alam pikir Soekarno semakin kaya dalam menata Indonesia secara holistik dan
menampilkannya sebagai negara yang baru merdeka.[15]
Soekarno membidik Jakarta sebagai wajah (muka) Indonesia terkait beberapa kegiatan berskala
internasional yang diadakan di kota itu, namun juga merencanakan sebuah kota sejak awal yang
diharapkan sebagai pusat pemerintahan pada masa datang. Beberapa karya dipengaruhi oleh
Soekarno atau atas perintah dan koordinasinya dengan beberapa arsitek seperti Frederich
Silaban dan R.M. Soedarsono, dibantu beberapa arsitek junior untuk visualisasi. Beberapa desain
arsitektural juga dibuat melalui sayembara.[16]

 Masjid Istiqlal 1951


 Monumen Nasional 1960
 Gedung Conefo [16]
 Gedung Sarinah [16]
 Wisma Nusantara [16]
 Hotel Indonesia 1962 [17]
 Tugu Selamat Datang[17]
 Monumen Pembebasan Irian Barat[17]
 Patung Dirgantara[17]
 Tahun 1955 Ir. Soekarno menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan sebagai seorang arsitek,
Soekarno tergerak memberikan sumbangan ide arsitektural kepada pemerintah Arab Saudi agar
membuat bangunan untuk melakukan sa’i menjadi dua jalur dalam bangunan dua lantai.
Pemerintah Arab Saudi akhirnya melakukan renovasi Masjidil Haram secara besar-besaran
pada tahun 1966, termasuk pembuatan lantai bertingkat bagi umat yang
melaksanakan sa’i menjadi dua jalur dan lantai bertingkat untuk melakukan tawaf [13]
 Rancangan skema Tata Ruang Kota Palangkaraya yang diresmikan pada tahun 1957 [13]

Silsilah keluarga
Kembangkan
Konten yang diperluas

Kiprah politik
Artikel atau bagian artikel ini tidak memiliki referensi atau sumber
tepercaya sehingga isinya tidak bisa dipastikan. Bantu perbaiki artikel
ini dengan menambahkan referensi yang layak. Tulisan tanpa sumber dapat
dipertanyakan dan dihapus sewaktu-waktu oleh Pengurus.

Pergantian tampuk pimpinan


pemerintahan Indonesia.

Soekarno tampil pertama kali pada kulit muka majalah Time tanggal 23 Desember 1946 Vol. XLVIII No. 26,
ilustrasi karya Boris Chaliapin untuk media asal Amerika tersebut

Masa pergerakan nasional


Soekarno untuk pertama kalinya menjadi terkenal ketika dia menjadi anggota Jong Java cabang
Surabaya pada tahun 1915. Bagi Soekarno sifat organisasi tersebut yang Jawa-sentris dan hanya
memikirkan kebudayaan saja merupakan tantangan tersendiri. Dalam rapat pleno tahunan yang
diadakan Jong Java cabang Surabaya Soekarno menggemparkan sidang dengan berpidato
menggunakan bahasa Jawa ngoko (kasar). Sebulan kemudian dia mencetuskan perdebatan sengit
dengan menganjurkan agar surat kabar Jong Java diterbitkan dalam bahasa Melayu saja, dan
bukan dalam bahasa Belanda.[18]
Pada tahun 1926, Soekarno mendirikan Algemeene Studie Club (ASC)[note 5][20] di Bandung yang
merupakan hasil inspirasi dari Indonesische Studie Club oleh Dr. Soetomo.[5] Organisasi ini menjadi
cikal bakal Partai Nasional Indonesia yang didirikan pada tahun 1927.[11] Aktivitas Soekarno di PNI
menyebabkannya ditangkap Belanda pada tanggal 29 Desember 1929 di Yogyakarta dan esoknya
dipindahkan ke Bandung, untuk dijebloskan ke Penjara Banceuy. Pada tahun 1930 ia dipindahkan
ke Sukamiskin dan di pengadilan Landraad Bandung 18 Desember 1930 ia membacakan pledoinya
yang fenomenal Indonesia Menggugat, hingga dibebaskan kembali pada tanggal 31
Desember 1931.
Pada bulan Juli 1932, Soekarno bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo), yang merupakan
pecahan dari PNI. Soekarno kembali ditangkap pada bulan Agustus 1933, dan diasingkan ke Flores.
Di sini, Soekarno hampir dilupakan oleh tokoh-tokoh nasional. Namun semangatnya tetap membara
seperti tersirat dalam setiap suratnya kepada seorang Guru Persatuan Islam bernama Ahmad
Hasan.
Pada tahun 1938 hingga tahun 1942 Soekarno diasingkan ke Provinsi Bengkulu, ia baru kembali
bebas pada masa penjajahan Jepang pada tahun 1942.
Masa penjajahan Jepang
Pada awal masa penjajahan Jepang (1942–1945), pemerintah Jepang sempat tidak memerhatikan
tokoh-tokoh pergerakan Indonesia terutama untuk "mengamankan" keberadaannya di Indonesia. Ini
terlihat pada Gerakan 3A dengan tokohnya Shimizu dan Mr. Syamsuddin yang kurang begitu
populer.
Namun akhirnya, pemerintahan pendudukan Jepang memerhatikan dan sekaligus memanfaatkan
tokoh-tokoh Indonesia seperti Soekarno, Mohammad Hatta, dan lain-lain dalam setiap organisasi-
organisasi dan lembaga lembaga untuk menarik hati penduduk Indonesia. Disebutkan dalam
berbagai organisasi seperti Jawa Hokokai, Pusat Tenaga Rakyat (Putera), BPUPKI dan PPKI, tokoh
tokoh seperti Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, K.H. Mas Mansyur, dan lain-lainnya disebut-
sebut dan terlihat begitu aktif. Dan akhirnya tokoh-tokoh nasional bekerja sama dengan pemerintah
pendudukan Jepang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, meski ada pula yang melakukan
gerakan bawah tanah seperti Sutan Syahrir dan Amir Sjarifuddin karena menganggap Jepang
adalah fasis yang berbahaya.
Presiden Soekarno sendiri, saat pidato pembukaan menjelang pembacaan teks proklamasi
kemerdekaan, mengatakan bahwa meski sebenarnya kita bekerja sama dengan Jepang sebenarnya
kita percaya dan yakin serta mengandalkan kekuatan sendiri.
Ia aktif dalam usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, di antaranya adalah
merumuskan Pancasila, UUD 1945, dan dasar dasar pemerintahan Indonesia termasuk
merumuskan naskah proklamasi Kemerdekaan. Ia sempat dibujuk untuk menyingkir
ke Rengasdengklok.
Pada tahun 1943, Perdana Menteri Jepang Hideki Tojo mengundang tokoh Indonesia yakni
Soekarno, Mohammad Hatta, dan Ki Bagoes Hadikoesoemo ke Jepang dan diterima langsung oleh
Kaisar Hirohito. Bahkan kaisar memberikan Bintang kekaisaran (Ratna Suci) kepada tiga tokoh
Indonesia tersebut. Penganugerahan Bintang itu membuat pemerintahan pendudukan Jepang
terkejut, karena hal itu berarti bahwa ketiga tokoh Indonesia itu dianggap keluarga Kaisar Jepang
sendiri. Pada bulan Agustus 1945, ia diundang oleh Marsekal Terauchi, pimpinan Angkatan Darat
wilayah Asia Tenggara di Dalat Vietnam yang kemudian menyatakan bahwa proklamasi
kemerdekaan Indonesia adalah urusan rakyat Indonesia sendiri.
Namun keterlibatannya dalam badan-badan organisasi bentukan Jepang membuat Soekarno
dituduh oleh Belanda bekerja sama dengan Jepang, antara lain dalam kasus romusha.
Masa Perang Revolusi

Ruang tamu rumah persembunyian Bung Karno di Rengasdengklok.

Soekarno bersama tokoh-tokoh nasional mulai mempersiapkan diri menjelang Proklamasi


kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI), Panitia Kecil yang terdiri dari delapan orang (resmi), Panitia Sembilan (yang
menghasilkan Piagam Jakarta) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Soekarno-
Hatta mendirikan Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Setelah menemui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, terjadilah Peristiwa Rengasdengklok pada
tanggal 16 Agustus 1945; Soekarno dan Mohammad Hatta dibujuk oleh para pemuda untuk
menyingkir ke asrama pasukan Pembela Tanah Air (PETA) Rengasdengklok. Tokoh pemuda yang
membujuk antara lain Soekarni, Wikana, Singgih serta Chairul Saleh. Para pemuda menuntut agar
Soekarno dan Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, karena di Indonesia terjadi
kevakuman kekuasaan. Ini disebabkan karena Jepang sudah menyerah dan pasukan Sekutu belum
tiba. Namun Soekarno, Hatta dan para tokoh menolak dengan alasan menunggu kejelasan
mengenai penyerahan Jepang. Alasan lain yang berkembang adalah Soekarno menetapkan momen
tepat untuk kemerdekaan Indonesia yakni dipilihnya tanggal 17 Agustus 1945 saat itu bertepatan
dengan bulan Ramadhan, bulan suci kaum muslim yang diyakini merupakan bulan turunnya wahyu
pertama kaum muslimin kepada Nabi Muhammad SAW yakni Al Qur-an. Pada tanggal 18 Agustus
1945, Soekarno dan Mohammad Hatta diangkat oleh PPKI menjadi Presiden dan Wakil Presiden
Republik Indonesia. Pada tanggal 29 Agustus 1945 pengangkatan menjadi presiden dan wakil
presiden dikukuhkan oleh KNIP. Pada tanggal 19 September 1945 kewibawaan Soekarno dapat
menyelesaikan tanpa pertumpahan darah peristiwa Lapangan Ikada tempat 200.000 rakyat Jakarta
akan bentrok dengan pasukan Jepang yang masih bersenjata lengkap.
Pada saat kedatangan Sekutu (AFNEI) yang dipimpin oleh Letjen. Sir Phillip Christison, Christison
akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia secara de facto setelah mengadakan pertemuan dengan
Presiden Soekarno. Presiden Soekarno juga berusaha menyelesaikan krisis di Surabaya. Namun
akibat provokasi yang dilancarkan pasukan NICA (Belanda) yang membonceng Sekutu (di bawah
Inggris), meledaklah Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya dan gugurnya Brigadir
Jenderal A.W.S Mallaby.
Karena banyak provokasi di Jakarta pada waktu itu, Presiden Soekarno akhirnya memindahkan
Ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta. Diikuti wakil presiden dan pejabat tinggi
negara lainnya.
Presiden Soekarno dan Nikita Khruschev dalam sebuah pertemuan Kepala Negara

Kedudukan Presiden Soekarno menurut UUD 1945 adalah kedudukan Presiden selaku kepala
pemerintahan dan kepala negara (presidensiil/single executive). Selama revolusi kemerdekaan,
sistem pemerintahan berubah menjadi semi presidensiil atau double executive. Presiden Soekarno
sebagai Kepala Negara dan Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri/Kepala Pemerintahan. Hal itu
terjadi karena adanya maklumat wakil presiden No X, dan maklumat pemerintah bulan November
1945 tentang partai politik. Hal ini ditempuh agar Republik Indonesia dianggap negara yang lebih
demokratis.
Meski sistem pemerintahan berubah, pada saat revolusi kemerdekaan, kedudukan Presiden
Soekarno tetap paling penting, terutama dalam menghadapi Peristiwa Madiun 1948 serta saat
Agresi Militer Belanda II yang menyebabkan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta
dan sejumlah pejabat tinggi negara ditahan Belanda. Meskipun sudah ada Pemerintahan Darurat
Republik Indonesia (PDRI) dengan ketua Sjafruddin Prawiranegara, tetapi pada kenyataannya dunia
internasional dan situasi dalam negeri tetap mengakui bahwa Soekarno-Hatta adalah pemimpin
Indonesia yang sesungguhnya, hanya kebijakannya yang dapat menyelesaikan sengketa Indonesia-
Belanda.
Masa kemerdekaan

Kunjungan Presiden Soekarno ke Amerika pada 1961 yang disambut oleh Presiden John F. Kennedy

Presiden Soekarno, Presiden Osvaldo Dorticos, Fidel Castro dan Che Guevara, pada 9 Mei 1960, kunjungan
kenegaraan ke Havana, Kuba
Soekarno berbincang dengan Mao Tse-Tung, 24 November 1956, Peking, Tiongkok

Setelah Pengakuan Kedaulatan (Pemerintah Belanda menyebutkan sebagai Penyerahan


Kedaulatan), Presiden Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) dan
Mohammad Hatta diangkat sebagai perdana menteri RIS. Jabatan Presiden Republik Indonesia
diserahkan kepada Mr Assaat, yang kemudian dikenal sebagai RI Jawa-Yogya. Namun karena
tuntutan dari seluruh rakyat Indonesia yang ingin kembali ke negara kesatuan, maka pada tanggal
17 Agustus 1950, RIS kembali berubah menjadi Republik Indonesia dan Presiden Soekarno menjadi
Presiden RI. Mandat Mr Assaat sebagai pemangku jabatan Presiden RI diserahkan kembali kepada
Soekarno. Resminya kedudukan Presiden Soekarno adalah presiden konstitusional, tetapi pada
kenyataannya kebijakan pemerintah dilakukan setelah berkonsultasi dengannya.
Mitos Dwitunggal Soekarno-Hatta cukup populer dan lebih kuat di kalangan rakyat dibandingkan
terhadap kepala pemerintahan yakni perdana menteri. Jatuh bangunnya kabinet yang terkenal
sebagai "kabinet seumur jagung" membuat Presiden Soekarno kurang memercayai sistem
multipartai, bahkan menyebutnya sebagai "penyakit kepartaian". Tak jarang, ia juga ikut turun
tangan menengahi konflik-konflik di tubuh militer yang juga berimbas pada jatuh bangunnya kabinet.
Seperti peristiwa 17 Oktober 1952 dan Peristiwa di kalangan Angkatan Udara.
Presiden Soekarno juga banyak memberikan gagasan-gagasan di dunia Internasional.
Keprihatinannya terhadap nasib bangsa Asia-Afrika, masih belum merdeka, belum mempunyai hak
untuk menentukan nasibnya sendiri, menyebabkan presiden Soekarno, pada tahun 1955,
mengambil inisiatif untuk mengadakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung yang
menghasilkan Dasasila Bandung. Bandung dikenal sebagai Ibu Kota Asia-Afrika. Ketimpangan dan
konflik akibat "bom waktu" yang ditinggalkan negara-negara barat yang dicap masih
mementingkan imperialisme dan kolonialisme, ketimpangan dan kekhawatiran akan munculnya
perang nuklir yang mengubah peradaban, ketidakadilan badan-badan dunia internasional dalam
penyelesaian konflik juga menjadi perhatiannya. Bersama Presiden Josip Broz
Tito (Yugoslavia), Gamal Abdel Nasser (Mesir), Mohammad Ali Jinnah (Pakistan), U Nu, (Birma)
dan Jawaharlal Nehru (India) ia mengadakan Konferensi Asia Afrika yang membuahkan Gerakan
Non Blok. Berkat jasanya itu, banyak negara Asia Afrika yang memperoleh kemerdekaannya.
Namun sayangnya, masih banyak pula yang mengalami konflik berkepanjangan sampai saat ini
karena ketidakadilan dalam pemecahan masalah, yang masih dikuasai negara-negara kuat atau
adikuasa. Berkat jasa ini pula, banyak penduduk dari kawasan Asia Afrika yang tidak lupa akan
Soekarno bila ingat atau mengenal akan Indonesia.[butuh rujukan]
Guna menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif dalam dunia internasional, Presiden
Soekarno mengunjungi berbagai negara dan bertemu dengan pemimpin-pemimpin negara. Di
antaranya adalah Nikita Khruschev (Uni Soviet), John Fitzgerald Kennedy (Amerika Serikat), Fidel
Castro (Kuba), Mao Tse Tung (Tiongkok).
Masa marabahaya

Soekarno di antara barisan prajurit


Soekarno, Presiden Indonesia pertama, sedikitnya pernah mengalami percobaan pembunuhan lebih
dari satu kali, Putrinya, Megawati Soekarnoputri pernah menyebut angka 23. "Saya ingin mengambil
satu contoh konkrit, Presiden Soekarno itu mengalami percobaan pembunuhan dari tingkat yang
namanya baru rencana sampai eksekusi (sebanyak) 23 kali," tutur Mega pada Juli 2009. Sementara
itu, angka lebih kecil keluar dari mulut Sudarto Danusubroto. Dia ajudan presiden pada masa-masa
akhir kekuasaan Soekarno. Sudarto pernah mengatakan ada 7 kali percobaan pembunuhan
terhadap Soekarno. Jumlah ini pernah diamini oleh eks Wakil Komandan Tjakrabirawa,
Kolonel Maulwi Saelan. Namun bekas pengawal pribadinya, hanya mampu mengingat 7 kali upaya
percobaan pembunuhan.[21]
Granat Cikini
Pada 30 November 1957, Presiden Soekarno datang ke Perguruan Cikini (Percik), tempat
bersekolah putra-putrinya, dalam rangka perayaan ulang tahun ke-15 Percik. Granat tiba-tiba
meledak di tengah pesta penyambutan presiden. Sembilan orang tewas, 100 orang terluka,
termasuk pengawal presiden. Soekarno sendiri beserta putra-putrinya selamat. Tiga orang
ditangkap akibat kejadian tersebut. Mereka perantauan dari Bima yang dituduh sebagai antek teror
gerakan DI/TII.[21]
Penembakan Istana Presiden
Pada 9 Maret 1960, Tepat siang bolong Istana presiden dihentakkan oleh ledakan yang berasal dari
tembakan kanon 23 mm pesawat Mig-17 yang dipiloti Daniel Maukar. Maukar adalah Letnan AU
yang telah dipengaruhi Permesta. Kanon yang dijatuhkan Maukar menghantam pilar dan salah
satunya jatuh tak jauh dari meja kerja Soekarno. Untunglah Soekarno tak ada di situ. Soekarno
tengah memimpin rapat di gedung sebelah Istana Presiden. Maukar sendiri membantah ia mencoba
membunuh Soekarno. Aksinya hanya sekadar peringatan. Sebelum menembak Istana Presiden, dia
sudah memastikan tak melihat bendera kuning dikibarkan di Istana – tanda presiden ada di Istana.
Aksi ini membuat 'Tiger', call sign Maukar, harus mendekam di bui selama 8 tahun.[21]
Pencegatan Rajamandala
Pada April 1960, Perdana Menteri Uni Soviet saat itu, Nikita Kruschev mengadakan kunjungan
kenegaraan ke Indonesia. Dia menyempatkan diri mengunjungi Bandung, Yogya dan Bali. Presiden
Soekarno menyertainya dalam perjalanan ke Jawa Barat. Tatkala, sampai di Jembatan
Rajamandala, ternyata sekelompok anggota DI/TII melakukan penghadangan. Beruntung pasukan
pengawal presiden sigap meloloskan kedua pemimpin dunia tersebut.[21]
Granat Makassar
Pada 7 Januari 1962, Presiden Soekarno tengah berada di Makassar. Malam itu, ia akan
menghadiri acara di Gedung Olahraga Mattoangin. Ketika itulah, saat melewati jalan Cendrawasih,
seseorang melemparkan granat. Granat itu meleset, jatuh mengenai mobil lain. Soekarno selamat.
Pelakunya Serma Marcus Latuperissa dan Ida Bagus Surya Tenaya divonis hukuman mati.[21]
Penembakan Idul Adha
Pada 14 Mei 1962, Bachrum sangat senang ketika berhasil mendapatkan posisi duduk pada saf
depan dalam barisan jemaah salat Idul Adha di Masjid Baiturahim. Begitu melihat Soekarno, dia
mencabut pistol yang tersembunyi di balik jasnya, moncong lalu diarahkan ke tubuh Soekarno.
Dalam sepersekian detik ketika tersadar, arah pun melenceng, dan peluru meleset dari tubuh
Soekarno, menyerempet Ketua DPR GR KH Zainul Arifin. Haji Bachrum divonis hukuman mati,
namun kemudian dia mendapatkan grasi.[21]
Penembakan mortir Kahar Muzakar
Pada 1960-an, Presiden Soekarno dalam kunjungan kerja ke Sulawesi. Saat berada dalam
perjalanan keluar dari Lapangan Terbang Mandai, sebuah peluru mortir ditembakkan anak buah
Kahar Muzakkar. Arahnya kendaraan Bung Karno, tetapi ternyata meleset jauh. Soekarno sekali
lagi, selamat.[21]
Granat Cimanggis
Pada Desember 1964, Presiden Soekarno dalam perjalanan dari Bogor menuju Jakarta.
Rombongannya membentuk konvoi kendaraan. Dalam laju kendaraan yang perlahan, mata
Soekarno sempat bersirobok dengan seorang lelaki tak dikenal di pinggir jalan. Perasaan Soekarno
kurang nyaman. Benar saja, lelaki itu melemparkan sebuah granat ke arah mobil presiden.
Beruntung, jarak pelemparannya sudah di luar jangkauan mobil yang melaju. Soekarno pun
selamat.[21]
Upaya pembunuhan karakter

Presiden Soekarno dan Dr.J. Leimena bernyanyi bersama para artis ibukota pada Resepsi Peringatan HUT ke-
21 Proklamasi Kemerdekaan RI di Istana Bogor.

Dekade 1950-an dan 1960-an, Amerika melalui perpanjangtanganannya Central Intelligence


Agency melancarkan misi rahasia yang bertujuan membunuh karakter dan kewibawaan Presiden
Soekarno melalui agitasi dan propaganda media popular via produksi film porno yang diperankan
oleh pemeran yang mirip Soekarno. Tujuan dari kampanye hitam ini adalah mengubah persepsi
masyarakat internasional terhadap Soekarno yang anti kapitalisme dan mengagumi kaum Hawa
tetapi tunduk tak berdaya di bawah kendali agen rahasia Rusia.[22][23]
"Kesuksesan itu menginspirasi para pejabat CIA membuat langkah lebih jauh lagi. Mereka berniat
memproduksi film porno Soekarno dengan seorang wanita pirang yang dibuat seolah-olah
pramugari Rusia itu," tulis Blum mengutip pengakuan mantan agen CIA, Joseph Burkholder Smith,
yang menulis buku Portrait of a Cold Warrior. Kepala Kepolisian Los Angeles sampai turun tangan
mencari pria berkulit gelap yang sedikit botak dan wanita pirang yang cantik. Tak ada yang mirip
Soekarno, CIA membuat topeng khusus yang mirip Soekarno kemudian dikirim ke Los Angeles.
Bintang porno disuruh memakai topeng Soekarno selama beradegan mesum. CIA merekam dan
mengambil foto-foto adegan biru tersebut.[22]
Menurut Kenneth J. Conboy dan James Morrison dalam Feet to the Fire: CIA Covert Operations in
Indonesia, 1957–1958, film porno itu dikerjakan di studio Hollywood yang dioperasikan Bing
Crosby dan saudaranya. Film ini dimaksudkan sebagai bahan bakar tuduhan bahwa Soekarno
(diperankan pria Chicano) mempermalukan diri dengan meniduri agen Soviet (diperankan
perempuan pirang Kaukasia) yang menyamar sebagai pramugari maskapai penerbangan. “Proyek
ini menghasilkan setidaknya beberapa foto, meski tampaknya tak pernah digunakan,” tulis William
Blum dalam Killing Hope: US Military and CIA Interventions Since World War II.[23]
Namun foto-foto itu akhirnya tak jadi disebarluaskan. Banyak versi kenapa CIA batal menyebarkan
adegan mesum itu. Sebagian peneliti menilai kampanye hitam seperti itu tak mempan untuk
menjatuhkan Soekarno. Apalagi ada mitos yang percaya jika seorang laki-laki "gagah" dan
"berkuasa", maka dirasa sah-sah saja berhubungan dengan banyak wanita, terutama mengingat
bahwa raja-raja di Nusantara pun dulu memiliki banyak istri dan selir.[22] Nasib akhir dari film yang
berjudul Happy Days pada akhirnya tak pernah dilaporkan.[23]
Masa embargo negara Adi Kuasa

Zhou Enlai, Presiden Soekarno, dan Kawashima pada saat Peringatan 10 Tahun Konferensi Asia
Afrika di Bandung pada 19 April 1965.

Pada masa pra maupun paska kemerdekaan, Indonesia terjepit pada dua blok negara Adi Kuasa
dengan ideologi yang bertentangan satu sama lain. Blok kapitalis yang dikomandoi Amerika dan
sekutu di satu sisi, dan blok kiri yang diperebutkan antara poros Rusia dan Tiongkok. Amerika
melakukan kebijakan embargo terhadap Indonesia karena menilai kecenderungan Soekarno dekat
dengan blok rival. Amerika tidak dapat berkutik ketika Allen Lawrence Pope, agen Central
Intelligence Agency tertangkap tangan. Tawar-menawar penangkapan Allen Pope, Amerika Serikat
akhirnya menyudahi embargo ekonomi dan menyuntik dana ke Indonesia, termasuk
menggelontorkan 37 ribu ton beras dan ratusan persenjataan yang dibutuhkan Indonesia saat itu
setelah diplomasi tingkat tinggi antara John F. Kennedy dengan Soekarno.[24] Sementara Rusia
menerapkan embargo militer terhadap Indonesia karena genosida terhadap elemen kiri,
orang Partai Komunis Indonesia pada tahun 1965–1967.[25] Indonesia sendiri terjepit di antara
geopolitik Asia Tenggara, Malaysia yang dianggap Soekarno adalah negara boneka Inggris, juga
Singapura yang memisahkan diri sebagai negara baru pada 9 Agustus 1965. Soekarno
mengumumkan sikap konfrontatif terhadap pembentukan negara federasi Malaysia pada Januari
1963. Sehingga pada 1964–1965 negara federasi Malaysia yang dideklarasikan 16 September 1963
tersebut diembargo Soekarno.[26] Singapura membuka keran kerja sama dan berusaha dengan
segala cara untuk mempertahankan perdagangan dengan Indonesia meski telah diboikot dan
diembargo. Hal ini dianggap merugikan aspek ekonomi bagi Singapura akibat konfrontasi tersebut.[27]
Masa keterpurukan
Situasi politik Indonesia menjadi tidak menentu setelah enam jenderal dibunuh dalam peristiwa yang
dikenal dengan sebutan Gerakan 30 September atau G30S pada 1965.[11][28] Pelaku sesungguhnya
dari peristiwa tersebut masih merupakan kontroversi walaupun PKI dituduh terlibat di
dalamnya.[11] Kemudian massa dari KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan KAPI
(Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia) melakukan aksi demonstrasi dan menyampaikan Tri Tuntutan
Rakyat (Tritura) yang salah satu isinya meminta agar PKI dibubarkan.[28] Namun, Soekarno menolak
untuk membubarkan PKI karena bertentangan dengan pandangan Nasakom (Nasionalisme, Agama,
Komunisme).[6][28] Sikap Soekarno yang menolak membubarkan PKI kemudian melemahkan
posisinya dalam politik.[6][11]
Lima bulan kemudian, dikeluarkanlah Surat Perintah Sebelas Maret yang ditandatangani oleh
Soekarno.[28] Isi dari surat tersebut merupakan perintah kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk
mengambil tindakan yang perlu guna menjaga keamanan pemerintahan dan keselamatan pribadi
presiden.[28] Surat tersebut lalu digunakan oleh Soeharto yang telah diangkat
menjadi Panglima Angkatan Darat untuk membubarkan PKI dan menyatakannya sebagai organisasi
terlarang.[28] Kemudian MPRS pun mengeluarkan dua Ketetapannya, yaitu TAP No. IX/1966 tentang
pengukuhan Supersemar menjadi TAP MPRS dan TAP No. XV/1966 yang memberikan jaminan
kepada Soeharto sebagai pemegang Supersemar untuk setiap saat menjadi presiden apabila
presiden berhalangan.[29]
Soekarno kemudian membawakan pidato pertanggungjawaban mengenai sikapnya terhadap
peristiwa G30S pada Sidang Umum ke-IV MPRS.[28] Pidato tersebut berjudul "Nawaksara" dan
dibacakan pada 22 Juni 1966.[6] MPRS kemudian meminta Soekarno untuk melengkapi pidato
tersebut.[28] Pidato "Pelengkap Nawaskara" pun disampaikan oleh Soekarno pada 10
Januari 1967 namun kemudian ditolak oleh MPRS pada 16 Februari tahun yang sama.[28]
Hingga akhirnya pada 20 Februari 1967 Soekarno menandatangani Surat Pernyataan Penyerahan
Kekuasaan di Istana Merdeka.[29] Dengan ditandatanganinya surat tersebut maka Soeharto de
facto menjadi kepala pemerintahan Indonesia.[29] Setelah melakukan Sidang Istimewa maka MPRS
pun mencabut kekuasaan Presiden Soekarno, mencabut gelar Pemimpin Besar Revolusi dan
mengangkat Soeharto sebagai Presiden RI hingga diselenggarakan pemilihan umum berikutnya.[29]

Sakit hingga meninggal

Pemakaman Soekarno pada 22 Juni 1970 di Blitar, Jawa Timur

Makam Presiden Soekarno di Blitar, Jawa Timur

Kesehatan Soekarno sudah mulai menurun sejak bulan Agustus 1965.[29] Sebelumnya, ia telah
dinyatakan mengidap gangguan ginjal dan pernah menjalani perawatan
di Wina, Austria tahun 1961 dan 1964.[29] Prof. Dr. K. Fellinger dari Fakultas Kedokteran Universitas
Wina menyarankan agar ginjal kiri Soekarno diangkat, tetapi ia menolaknya dan lebih memilih
pengobatan tradisional.[29] Ia bertahan selama 5 tahun sebelum akhirnya meninggal pada hari
Minggu, 21 Juni 1970 di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot
Subroto, Jakarta dengan status sebagai tahanan politik.[5][29] Jenazah Soekarno pun dipindahkan dari
RSPAD ke Wisma Yasso yang dimiliki oleh Ratna Sari Dewi.[29] Sebelum dinyatakan wafat,
pemeriksaan rutin terhadap Soekarno sempat dilakukan oleh Dokter Mahar Mardjono yang
merupakan anggota tim dokter kepresidenan.[29] Tidak lama kemudian dikeluarkanlah komunike
medis yang ditandatangani oleh Ketua Prof. Dr. Mahar Mardjono beserta Wakil Ketua Mayor
Jenderal Dr. (TNI AD) Rubiono Kertopati.[29]
Komunike medis tersebut menyatakan hal sebagai berikut:[29]

1. Pada hari Sabtu tanggal 20 Juni 1970 jam 20.30 keadaan kesehatan Soekarno semakin
memburuk dan kesadaran berangsur-angsur menurun.
2. Tanggal 21 Juni 1970 jam 03.50 pagi, Soekarno dalam keadaan tidak sadar dan kemudian
pada jam 07.00 Ir. Soekarno meninggal dunia.
3. Tim dokter secara terus-menerus berusaha mengatasi keadaan kritis Soekarno hingga saat
meninggalnya.
Walaupun Soekarno pernah meminta agar dirinya dimakamkan di Istana Batu Tulis, Bogor, namun
pemerintahan Presiden Soeharto memilih Kota Blitar, Jawa Timur, sebagai tempat pemakaman
Soekarno.[29] Hal tersebut ditetapkan lewat Keppres RI No. 44 tahun 1970.[29] Jenazah Soekarno
dibawa ke Blitar sehari setelah kematiannya dan dimakamkan keesokan harinya bersebelahan
dengan makam ibunya.[29] Upacara pemakaman Soekarno dipimpin oleh Panglima ABRI Jenderal M.
Panggabean sebagai inspektur upacara.[29] Pemerintah kemudian menetapkan masa berkabung
selama tujuh hari.[29]

Peninggalan

Gelanggang Olahraga Bung Karno pada 1962.

Dalam rangka memperingati 100 tahun kelahiran Soekarno pada 6 Juni 2001, maka
Kantor Filateli Jakarta menerbitkan prangko "100 Tahun Bung Karno".[9] Prangko yang diterbitkan
:247-251

merupakan empat buah prangko berlatar belakang bendera Merah Putih serta menampilkan gambar
diri Soekarno dari muda hingga ketika menjadi Presiden Republik Indonesia.[9] Prangko pertama
memiliki nilai nominal Rp500 dan menampilkan potret Soekarno pada saat sekolah menengah. Yang
kedua bernilai Rp800 dan gambar Soekarno ketika masih di perguruan tinggi tahun 1920-an
terpampang di atasnya. Sementara itu, prangko yang ketiga memiliki nominal Rp900 serta
menunjukkan foto Soekarno saat proklamasi kemerdekaan RI. Prangko yang terakhir memiliki
gambar Soekarno ketika menjadi Presiden dan bernominal Rp1000. Keempat prangko tersebut
dirancang oleh Heri Purnomo dan dicetak sebanyak 2,5 juta set oleh Perum Peruri.[9] Selain prangko,
Divisi Filateli PT Pos Indonesia menerbitkan juga lima macam kemasan prangko, album koleksi
prangko, empat jenis kartu pos, dua macam poster Bung Karno serta tiga desain kaus Bung Karno.[9]
Prangko yang menampilkan Soekarno juga diterbitkan oleh Pemerintah Kuba pada tanggal 19
Juni 2008. Prangko tersebut menampilkan gambar Soekarno dan presiden Kuba Fidel
Castro.[30] Penerbitan itu bersamaan dengan ulang tahun ke-80 Fidel Castro dan peringatan
kunjungan Presiden Indonesia, Soekarno, ke Kuba.
Nama Soekarno diabadikan sebagai nama gelanggang olahraga pada tahun 1958. Bangunan
tersebut, yaitu Gelanggang Olahraga Bung Karno, didirikan sebagai sarana keperluan
penyelenggaraan Asian Games IV tahun 1962 di Jakarta. Pada masa Orde Baru, kompleks
olahraga ini diubah namanya menjadi Gelora Senayan. Tapi sesuai keputusan
Presiden Abdurrahman Wahid, Gelora Senayan kembali pada nama awalnya yaitu Gelanggang
Olahraga Bung Karno. Hal ini dilakukan dalam rangka mengenang jasa Bung Karno.[31]
Setelah kematiannya, beberapa yayasan dibuat atas nama Soekarno. Dua di antaranya adalah
Yayasan Pendidikan Soekarno dan Yayasan Bung Karno. Yayasan Pendidikan Soekarno adalah
organisasi yang mencetuskan ide untuk membangun universitas dengan pemahaman yang
diajarkan Bung Karno. Yayasan ini dipimpin oleh Rachmawati Soekarnoputri, anak ke tiga Soekarno
dan Fatmawati. Pada tahun 25 Juni 1999 Presiden Bacharuddin Jusuf
Habibie meresmikan Universitas Bung Karno yang secara resmi meneruskan pemikiran Bung
Karno, Nation and Character Building kepada mahasiswa-mahasiswanya.[32]
Sementara itu, Yayasan Bung Karno memiliki tujuan untuk mengumpulkan dan melestarikan benda-
benda seni maupun nonseni kepunyaan Soekarno yang tersebar di berbagai daerah di
Indonesia.[33] Yayasan tersebut didirikan pada tanggal 1 Juni 1978 oleh delapan putra-putri Soekarno
yaitu Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati
Soekarnoputri, Guruh Soekarnoputra, Taufan Soekarnoputra, Bayu Soekarnoputra, dan Kartika Sari
Dewi Soekarno.[33] Pada tahun 2003, Yayasan Bung Karno membuka stan di Arena Pekan Raya
Jakarta.[9] Di stan tersebut ditampilkan video pidato Soekarno berjudul "Indonesia Menggugat" yang
disampaikan di Gedung Landraad tahun 1930 serta foto-foto semasa Soekarno menjadi
presiden.[9] Selain memperlihatkan video dan foto, berbagai cenderamata Soekarno dijual di stan
tersebut.[9] Di antaranya adalah kaus, jam emas, koin emas, CD berisi pidato Soekarno, serta kartu
pos Soekarno.[9]
Seseorang yang bernama Soenuso Goroyo Sukarno mengaku memiliki harta benda warisan
Soekarno.[9] Soenuso mengaku merupakan mantan sersan dari Batalyon Artileri Pertahanan Udara
Sedang.[9] Ia pernah menunjukkan benda-benda yang dianggapnya sebagai warisan Soekarno itu
kepada sejumlah wartawan di rumahnya di Cileungsi, Bogor.[9] Benda-benda tersebut antara lain
sebuah lempengan emas kuning murni 24 karat yang terdaftar dalam register emas JM London,
emas putih dengan cap tapal kuda JM Mathey London serta plakat logam berwarna kuning dengan
tulisan ejaan lama berupa deposito hibah.[9] Selain itu terdapat pula uang UBCN (Brasil)
dan Yugoslavia serta sertifikat deposito obligasi garansi di Bank Swiss dan Bank
Netherland.[9] Meskipun emas yang ditunjukkan oleh Soenuso bersertifikat namun belum ada pakar
yang memastikan keaslian dari emas tersebut.[34]

Penghargaan
Gelar Doctor Honoris Causa
Semasa hidupnya, Soekarno mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dari 26 universitas di dalam
dan luar negeri.[35]

Tanggal Gelar yang Dianugerahkan Nama Universitas, Kota, Negara

Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum


10 Januari 1951 Far Eastern University, Manila, Filipina
(Doctor of Law)

19 September Universitas Gajah


Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum
1951 Mada, Yogyakarta, Indonesia

Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum Columbia University, New York, Amerika
24 Mei 1956
(Doctor of Law) Serikat
Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum Michigan University, Michigan, Amerika
27 Mei 1956
(Doctor of Law) Serikat

Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum


8 Juni 1956 McGill University, Montreal, Kanada
(Doctor of Law)

Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Teknik Berlin University, Berlin Barat, Jerman
23 Juni 1956
(Doctor of Technical Science) Barat

11 September Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum


Lomonosov University, Moskow, Rusia
1956 (Doctor of Law)

13 September Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum


Beograd University, Belgrado, Yugoslavia
1956 (Doctor of Law)

23 September Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum


Karlova University, Praha, Cekoslovakia
1956 (Doctor of Law)

Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum


27 April 1959 Istanbul University, Istanbul, Turki
(Doctor of Law)

Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum


30 April 1959 Warsaw University, Warsawa, Polandia
(Doctor of Law)

Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum


20 Mei 1959 Brazil University, Rio de Janeiro, Brazil
(Doctor of Law)

Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Politik


11 April 1960 Sofia University, Sofia, Bulgaria
(Doctor of Political Science)

Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Politik


13 April 1960 Bucharest University, Bukarest, Rumania
(Doctor of Political Science)
Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Mesin
17 April 1960 Budapest University, Budapest, Hungaria
(Doctor of Engineering)

Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Falsafah


24 April 1960 Al-Azhar University, Kairo, Mesir
(Doctor of Philosophy)

Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Sosial dan


5 Mei 1960 La Paz University, La Paz, Bolivia
Politik

13 September Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Teknik Institut Teknologi


1962 (Doctor of Technical Science) Bandung, Bandung, Indonesia

Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Pengetahuan


2 Februari 1963 Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia
Kemasyarakatan

Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Pengetahuan Universitas


29 April 1963
Hukum, Politik, dan Hubungan Internasional Hasanuddin, Makassar, Indonesia

Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum & Royal Khmere University, Phnom
14 Januari 1964
Politik (Doctor of Law & Politics) Penh, Kamboja

Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum University of the


2 Agustus 1964
(Doctor of Law) Philippines, Manila, Filipina

3 November Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Pengetahuan Universitas


1964 Politik Pyongyang, Pyongyang, Korea Utara

2 Desember Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Ushuluddin Institut Agama Islam
1964 Jurusan Da'Wah Negeri, Jakarta, Indonesia

23 Desember Universitas
Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Sejarah
1964 Pajajaran, Bandung, Indonesia
Doctor Honoris Causa dalam Falsafah Ilmu Universitas
3 Agustus 1965
Tauhid Muhammadiyah, Jakarta, Indonesia

Lain-lain
Pada bulan April 2005, Soekarno yang sudah meninggal selama 35 tahun mendapatkan
penghargaan dari Presiden Afrika Selatan Thabo Mbeki.[9] Penghargaan tersebut adalah
penghargaan bintang kelas satu The Order of the Supreme Companions of OR Tambo yang
diberikan dalam bentuk medali, pin, tongkat, dan lencana yang semuanya dilapisi emas.[9] Soekarno
mendapatkan penghargaan tersebut karena dinilai telah mengembangkan solidaritas internasional
demi melawan penindasan oleh negara maju serta telah menjadi inspirasi bagi rakyat Afrika Selatan
dalam melawan penjajahan dan membebaskan diri dari apartheid.[9] Acara penyerahan penghargaan
tersebut dilaksanakan di Kantor Kepresidenan Union Buildings di Pretoria dan dihadiri oleh
Megawati Soekarnoputri yang mewakili ayahnya dalam menerima penghargaan.[9] Penghargaan
lainnya Bintang Mahaputera Adipurna (1959),[36] Lenin Peace Prize (1960),[37] Philippine Legion of
Honor (Chief Commander, 3 Februari 1951).[38]

Karya tulis
 Sukarno. Pancasila dan Perdamaian Dunia
 Sukarno. Kepada Bangsaku : Karya-karya Bung Karno Pada Tahun 1926-1930-1933-1947-
1957.
 Sukarno. Cindy Adams. (1965). Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
 Sukarno. Pantja Sila Sebagai Dasar Negara.
 Sukarno. Bung Karno Tentang Marhaen Dan Proletar.
 Sukarno. Negara Nasional Dan Cita-Cita Islam: Kuliah Umum Presiden Soekarno.
 Sukarno. (1933). Mencapai Indonesia Merdeka.
 Sukarno. (1945). Lahirnya Pancasila
 Sukarno. (1951). Indonesia Menggugat: Pidato Pembelaan Bung Karno di Depan Pengadilan
Kolonial.
 Sukarno. (1951). Sarinah: Kewajiban Wanita Dalam Perjuangan Republik Indonesia.
 Sukarno. (1957). Indonesia Merdeka.
 Sukarno. (1959). Dibawah Bendera Revolusi Jilid 1. (kumpulan esai)
 Sukarno. (1960). Dibawah Bendera Revolusi Jilid 2. (kumpulan esai)
 Sukarno. (1960). Amanat Penegasan Presiden Soekarno Didepan Sidang Istimewa Depernas
Tanggal 9 Djanuari 1960.
 Sukarno. (1964). Tjamkan Pantja Sila ! : Pantja Sila Dasar Falsafah Negara.
 Sukarno. (1964). Komando Presiden/Pemimpin Besar Revolusi: Bersiap-sedialah Menerima
Tugas untuk Menjelamatkan R.I. dan untuk Mengganjang "Malaysia"!
 Sukarno. (1965). Wedjangan Revolusi.
 Sukarno. (1965). Tjapailah Bintang-Bintang di Langit: Tahun Berdikari.
 Sukarno. (1965). Pantja Azimat Revolusi.

Wikisource memiliki
naskah sumber yang
berkaitan dengan artikel
ini:
Pengarang:Soekarno

Pidato

Hari dan tanggal Rangka Judul pidato

Jumat, 17 Agustus 1945 Proklamasi Kemerdekaan RI Tudjuhbelas Agustus 1945

HUT Proklamasi Kemerdekaan RI


Sabtu, 17 Agustus 1946 Sekali Merdeka, Tetap Merdeka
ke-1

HUT Proklamasi Kemerdekaan RI Rawe-Rawe Rantas, Malang-Malang


Minggu, 17 Agustus 1947
ke-2 Putung

HUT Proklamasi Kemerdekaan RI


Selasa, 17 Agustus 1948 Seluruh Nusantara Berdjiwa Republik
ke-3

HUT Proklamasi Kemerdekaan RI


Rabu, 17 Agustus 1949 Tetaplah Bersemangat Elang-Radjawali
ke-4

HUT Proklamasi Kemerdekaan RI


Kamis, 17 Agustus 1950 Dari Sabang sampai Merauke
ke-5

HUT Proklamasi Kemerdekaan RI


Jumat, 17 Agustus 1951 Tjapailah Tata, Tenteram, Kertarahardja
ke-6

HUT Proklamasi Kemerdekaan RI


Minggu, 17 Agustus 1952 Harapan dan Kenjataan
ke-7

HUT Proklamasi Kemerdekaan RI


Senin, 17 Agustus 1953 Djadilah Alat Sedjarah
ke-8
HUT Proklamasi Kemerdekaan RI
Selasa, 17 Agustus 1954 Berirama dengan Kodrat
ke-9

HUT Proklamasi Kemerdekaan RI


Rabu, 17 Agustus 1955 Tetap Terbanglah Radjawali
ke-10

HUT Proklamasi Kemerdekaan RI


Jum'at, 17 Agustus 1956 Berilah Isi Kepada Hidupmu
ke-11

HUT Proklamasi Kemerdekaan RI


Sabtu, 17 Agustus 1957 Satu Tahun Ketentuan
ke-12

HUT Proklamasi Kemerdekaan RI


Minggu, 17 Agustus 1958 Tahun Tantangan
ke-13

HUT Proklamasi Kemerdekaan RI


Senin, 17 Agustus 1959 Penemuan Kembali Revolusi Kita
ke-14

HUT Proklamasi Kemerdekaan RI


Rabu, 17 Agustus 1960 Djalannja Revolusi Kita
ke-15

Membangun Dunia Kembali


Jumat, 30 September 1960 Sidang Umum PBB ke-XV
To Build The World Anew

HUT Proklamasi Kemerdekaan RI Revolusi – Sosialisme Indonesia –


Kamis, 17 Agustus 1961
ke-16 Pimpinan Nasional

HUT Proklamasi Kemerdekaan RI


Jumat, 17 Agustus 1962 Tahun Kemenangan
ke-17

HUT Proklamasi Kemerdekaan RI


Sabtu, 17 Agustus 1963 Genta Suara Revolusi Indonesia
ke-18
HUT Proklamasi Kemerdekaan RI
Senin, 17 Agustus 1964 Tahun "Vivere Pericoloso"
ke-19

HUT Proklamasi Kemerdekaan RI


Selasa, 17 Agustus 1965 Tahun Berdikari
ke-20

Rabu, 22 Juni 1966 Sidang Umum MPRS IV Nawaksara

HUT Proklamasi Kemerdekaan RI


Rabu, 17 Agustus 1966 Djangan Sekali-Kali Meninggalkan Sedjarah
ke-21

Budaya populer
Buku

 M. Yuanda Zara. Ratna Sari Dewi Sukarno.


 Sukarno, Iman Toto K. Rahardjo (Editor), Herdianto WK (Editor). (2001). Bung Karno dan
Wacana Islam: Kenangan 100 tahun Bung Karno.
 John Beilenson. Sukarno.
 Cindy Adams. Sukarno: My Friend.
 Adams, C. (2011). Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Penerjemah Syamsu
Hadi. Ed. Rev. Yogyakarta: Media Pressindo, dan Yayasan Bung Karno, ISBN 979-911-032-7-9.
 Guntur Sukarno. Sukarno: Bapakku, Kawanku, Guruku.
 Peter Polomka. Indonesia Since Sukarno .
 Clifford Geertz, Benedict Anderson, Wim F. Wertheim. Sukarno di Panggung Sejarah
 Justus Maria van der Kroef. Indonesia After Sukarno.
 Peter Kasenda. Sukarno Muda: Biografi Pemikiran 1926–1933.
 Ayub Ranoh. Kepemimpinan Kharismatis: Tinjauan Teologis-Etis Atas Kepemimpinan
Kharismatis Sukarno.
 Books LLC. Sukarno: Indonesia-Malaysia Confrontation, Transition to the New Order,
Mohammad Hatta, Megawati Sukarnoputri, Constitution of Indonesia.
 Anonim. (1956). Presiden Sukarno di Tiongkok.
 Maslyn Williams. (1965). Five Journeys from Jakarta: Inside Sukarno's Indonesia.
 John Hughes. (1967). The End of Sukarno: A Coup That Misfired: A Purge That Ran Wild.
 Bernhard Dahm. (1969). Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan.
 John D. Legge (1972) Sukarno: A Political.
 Christiaan Lambert Maria Penders (1974). The Life and Times of Sukarno.
 Lambert J. Giebels, 1999, Soekarno. Nederlandsch onderdaan. Biografie 1901–1950. Deel I,
uitgeverij Bert Bakker Amsterdam, ISBN 90-351-2114-7
 Lambert J. Giebels, 2001, Soekarno. President, 1950–1970, Deel II, uitgeverij Bert Bakker
Amsterdam, ISBN 90-351-2294-1 geb., ISBN 90-351-2325-5 pbk.
 Lambert J. Giebels, 2005, De stille genocide: de fatale gebeurtenissen rond de val van de
Indonesische president Soekarno, ISBN 90-351-2871-0
 Rex Mortimer. (1974). Indonesian Communism Under Sukarno: Ideology and Politics, 1959–
1965.
 Bambang S. Widjanarko, Antonie C.A. Dake (Introduction), Rahadi S. Karni (Ed.). (1974). The
Devious Dalang: Sukarno and the So-Called Untung-Putsch.
 Hal Kosut (Ed.). (1976). Indonesia: The Sukarno Years.
 Franklin B. Weinstein. (1976). Indonesian Foreign Policy and the Dilemma of Dependence:
From Sukarno to Soeharto.
 Masashi Nishihara, Dean Praty R. (Translator). (1976). Sukarno, Ratna Sari Dewi, dan
Pampasan Perang: Hubungan Indonesia-Jepang 1951–1966.
 Ganis Harsono. (1977). Recollections of an Indonesian Diplomat in the Sukarno Era.
 Fatmawati Sukarno. (1978). Fatmawati: Catatan Kecil Bersama Bung Karno (Book, #1).
 Guntur Sukarno. (1981). Bung Karno & Kesayangannya.
 Rosihan Anwar. (1981). Sukarno, Tentara, PKI : Segitiga Kekuasaan sebelum Prahara Politik
1961–1965.
 Ramadhan Kartahadimadja. (1981). Kuantar ke Gerbang: Kisah Cinta Inggit dengan Sukarno.
 Marshall Green. (1990). Dari Sukarno ke Soeharto: G30 S-PKI dari Kacamata Seorang Duta
Besar.
 Willem Oltmans. (1995). Mijn vriend Sukarno.
 John Subritzky. (2000). Confronting Sukarno: British, American, Australian and New Zealand
Diplomacy in the Malaysian-Indonesian Confrontation, 1961–65.
 Angus McIntyre, David Reeve. (2002). Sukarno in Retrospect: Annual Indonesia Lecture Series
# 24.
 Victor M. Fic. (2004). Anatomy of the Jakarata Coup: October 1, 1965: The Collusion with China
Which Destroyed the Army Command, President Sukarno and the Communist Party of
Indonesia.
 Antonie C.A. Dake. (2005). Sukarno File: Berkas-berkas Soekarno 1965–1967 – Kronologi
Suatu Keruntuhan.
 Wijanarka. (2006). Sukarno dan Desain Rencana Ibu Kota RI di Palangkaraya.
 Reni Nuryanti. (2007). Perempuan dalam Hidup Sukarno: Biografi Inggit Garnasih.
 Reni Nuryanti. (2007). Istri-istri Sukarno.
 Helen-Louise Hunter. (2007). Sukarno and the Indonesian Coup: The Untold Story.
 M. Yuanda Zara. (2008). Sakura Di Tengah Prahara: Biografi Ratna Sari Dewi Sukarno.
 Wawan Tunggul Alam. (2008). Demi Bangsaku: Pertentangan Sukarno vs Hatta.
 Arifin Suryo Nugroho. (2009). Srihana-Srihani:Biografi Hartini Sukarno.
 Onghokham. (2009). Sukarno, Orang Kiri, & Revolusi G30S 1965.
 Rushdy Hoesein. (2010). Terobosan Sukarno Dalam Perundingan Linggarjati.
 Tim Buku TEMPO. (2010). Sukarno: Paradoks Revolusi Indonesia.
 Arifin Surya Nugraha. (2010). Fatmawati Sukarno : The First Lady.
 M. Ridwan Lubis (2010). Sukarno dan Modernisme Islam.
 Books LLC. (2010). People From Blitar, East Java: Sukarno.
 Bücher Gruppe. (2010). Nationalheld Indonesiens: Tan Malaka, Liste Indonesischer
Nationalhelden, Sukarno, Mohammad Hatta, Abdul Muis, Diponegoro, Iskandar Muda.
 Hong Liu. (2011). Sukarno, Tiongkok, & Pembentukan Indonesia (1949–1965).
 Hephaestus Books. (2011). National Heroes Of Indonesia, including: Tuanku Imam Bonjol,
Sukarno, Wage Rudolf Supratman, Diponegoro, Mohammad Hatta, Adam Malik, Yos Sudarso,
Sudirman, Hamengkubuwono Ix, Sutan Sjahrir, Kartini, Sultan Agung Of Mataram, Abdul Muis,
Rizal Nurdin.
 Peter Kasenda. (2012). Hari – Hari Terakhir Sukarno.
 Jesse Russell (Editor), Ronald Cohn (Editor). (2012). Rukmini Sukarno.
 Joseph H. Daves. (2013). The Indonesian Army from Revolusi to Reformasi Volume 1: The
Struggle for Independence and the Sukarno Era.
 Joseph H Daves. (2013). The Indonesian Army from Revolusi to Reformasi: Volume 1 – The
Struggle for Independence and the Sukarno Era.
 Stefan Seefelder. (2014). Die Bedeutung Der Fruhen Komintern Fur Die Kommunistischen
Antikolonialen Bewegungen Asiens. Maos Und Sukarnos.
 Peter Kasenda. (2014). Sukarno, Marxisme & Leninisme: Akar Pemikiran Kiri & Revolusi
Indonesia.
 Walentina Waluyanti de Jonge. (2015). Sukarno-Hatta Bukan Proklamator Paksaan.
 Dr. Syafiq A. Mughnie,M.A.,PhD. Hassan Bandung, Pemikir Islam Radikal. PT. Bina Ilmu, 1994,
pp 110–111.
 Leslie H. Palmier. Sukarno, the Nationalist. Pacific Affairs, vol. 30, No, 2 (Jun. 1957), pp 101–
119.
 Bob Hering, 2001, Soekarno, architect of a nation, 1901–1970, KIT Publishers
Amsterdam, ISBN 90-6832-510-8, KITLV Leiden, ISBN 90-6718-178-1
 Stefan Huebner, Pan-Asian Sports and the Emergence of Modern Asia, 1913–1974.Singapore:
NUS Press, 2016, 174-201.
Lagu

 Lagu berjudul "Untuk Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno" ditulis pada awal dekade 1960-an
oleh Soetedjo dan dipopulerkan oleh Lilis Suryani, solis perempuan terkenal Indonesia era itu.
Liriknya penuh dengan puja-puji untuk Presiden seumur hidup tersebut.
Film, televisi, dan panggung pertunjukan
Artikel utama: Aktor pemeran Bung Karno
Di kancah perfilman, hiburan televisi, dan panggung teater Indonesia dan negara lain, ada beberapa
aktor yang memerankan sosok Bung Karno. Semua aktor tersebut, tentu saja bermain dalam film
dan panggung pertunjukan dan judul yang berbeda. Kebanyakan aktor itu, ketika mendapatkan
tawaran main, merasa bangga karena memerankan tokoh besar, pahlawan proklamator, bapak
pendiri bangsa, sekaligus presiden pertama Republik Indonesia.

Catatan
1. ^ Dalam otobiografi Sukarno, An Autobiography as Told to Cindy Adams (Bobbs-Merrill Company Inc,
New York, 1965) Sukarno menyebutkan lahir di Surabaya, "Bapak dipindah ke Surabaya dan di
sanalah aku dilahirkan" (halaman 26), selanjutnya "Aku dilahirkan pada tahun 1901... Hari lahirku
ditandai oleh angka serba enam. Tanggal 6 Juni." (halaman 21). Namun dalam beberapa dokumen
mencantumkan tanggal 6 Juni 1902 di antaranya "Dalam Buku Induk TH Bandoeng yang sekarang
masih tersimpan di ITB terbaca bahwa tanggal lahir Soekarno adalah 6 Juni 1902."[1]:37[2]:16 Pendapat
lain adalah "Dari Buleleng, ia mendapat temuan ayah Soekarno dipindah ke Surabaya tahun 1901.
Dan pada 1902 Soekarno lahir. "Kalau akhirnya dibuat 1901 itu mungkin untuk memudahkan
sekolahnya saja," ujar Nurinwa."[3] Adapun kontradiksi perbedaan tahun kelahiran ini akhirnya dapat
dijelaskan dalam dialog antara Sukarno dan ayahnya pada halaman 35 "Kalau perlu kita berbohong.
Kita akan mengurangi umurmu satu tahun. Pada tahun ajaran yang baru engkau akan didaftarkan
dengan umur tiga belas." - Oleh karenanya dapat dipastikan bahwa tanggal kelahiran Sukarno yang
sesungguhnya adalah tanggal 6 Juni 1901.
2. ^ "Soekarno yang biasa dipanggil Bung Karno, lahir di Surabaya, Jawa Timur, 6 Juni 1901 dan
meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970."[4]
3. ^ Bambang Eryudhawan, IAI: Ketika berdiri pada tahun 1920, Technische Hoogeschool te
Bandoeng berisi Fakultas Teknik saja. Bidang ilmu yang diajarkan, terutama: a) Ilmu Pasti, b) Ilmu
Alam, c) Mekanika, d) Arsitektur, e) Ilmu bahan bangunan, f) Sipil Basah/Bangunan air, g) Jalan dan
Jembatan, h) Mesin, i) Elektro, j) Surveying and leveling , k) Geodesi, l) Hukum pemerintahan dan
perdagangan, m) Kebersihan, n) Teknik penyehatan, o) Pertanian, p) Geologi terapan, q) Sejarah
kebudayaan
4. ^ Bambang Eryudhawan, IAI: Soekarno sebagai insinyur dianggap menguasai soal sipil basah, jalan
dan jembatan, serta arsitektur. Di arsitektur, gurunya adalah dua bersaudara Prof. Charles Prosper
Wolff Schoemaker dan Prof. Ir. Richard Leonard Arnold Schoemakeryang mengajar di kelas:
arsitektur, sejarah arsitektur, rencana kota, pembuatan bestek dan taksiran biaya.
5. ^ Algemeene Studieclub atau Algemeene Studie Club (ASC) adalah klab kuliah umum yang didirikan
oleh para intelektual nasionalis Bumiputera di Tanah Pasundan, Bandung pada jaman Hindia Belanda
tahun 1926. Presiden Sukarno adalah salah satu anggota pendirinya. Sebagai kelanjutan kelompok
studi itu, Soekarno dengan kawan-kawan kemudian mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia yang
merupakan cikal bakal Partai Nasional Indonesia pada 4 Juli 1927. Pemerintah kolonial Belanda
tampak sangat khawatir melihat kepopuleran Soekarno, bersama Maskun, Gatot Mangkupradja,
Supriadinata dan pertumbuhan pesat PNI. Dengan dalih menjaga ketertiban dan keamanan,
pemerintah kolonial menangkap dan menahan ratusan aktivis PNI pada 29 Desember 1929. [19]

Galeri

Soekarno pada tahun 1947.

 Presiden Soekarno pada suatu kunjungan pameran lukisan di Jakarta, mengamati lukisan 'Sumilah'
karya Sudibjo.

 Presiden Soekarno dan Mohammad Hatta dalam upacara pembukaan PON II/1951.

Potret resmi Presiden Soekarno pada era 1960-an.

 Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Nehru melihat Indira Gandhi menerima bunga pada
kunjungannya ke Borobudur.

 Letnan Vosveld melapor ke Soekarno.


 Soekarno melakukan penutupan sidang kepada Genseikan.

 Mobil Soekarno yang diberikan kepada Kolonel Julian.

 Soekarno berjabat tangan dengan Perdana Menteri Jepang Hideki Tojo.

 Soekarno bertemu dengan Sutan Syahrir. Di belakang adalah Mohammad Roem.

 Soekarno berterima kasih atas dilibatkannya rakyat Jawa dalam pemerintahan.

Referensi
1. ^ a b c d e (Indonesia) Goenarso (1995). Riwayat perguruan tinggi teknik di Indonesia, periode 1920–
1942. Bandung: Penerbit ITB.
2. ^ (Indonesia) Sakri, A. (1979a). Dari TH ke ITB: Kenang-kenangan lustrum keempat 2 Maret 1979.
Jilid I: Selintas Perkembangan. Bandung: Penerbit ITB.
3. ^ Iswidodo (ed.), Surya (Minggu, 29 Agustus 2010 20:28 WIB). "Antropolog UGM: Bung Karno Lahir
di Surabaya". tribunnews.com. Diakses tanggal 11 September 2015.
4. ^ "Soekarno – biografi". Kepustakaan Presiden-Presiden Republik Indonesia. Diakses tanggal 6
Juni 2015.
5. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s (Indonesia) Kasenda, Peter (2010). Sukarno Muda: Biografi Pemikiran 1926–
1933. Jakarta: Komunitas Bambu. ISBN 979-373-177-X.
6. ^ a b c d e f g h (Indonesia) Warman, Asvi (2009). Membongkar Manipulasi Sejarah. Jakarta: Kompas
Media Nusantara. ISBN 979-709-404-1.
7. ^ a b c d e (Indonesia) Adams, Cindy (1984). Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Jakarta: Gunung Agung. ISBN 979-96573-2-6.
8. ^ (Inggris) Adams, Cindy (1965). Sukarno, an autobiography as told to Cindy Adams. New York: The
Bobs Merryl Company Inc. ASIN B0007DFFFK.
9. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t Kisah Istimewa Bung Karno. Kompas Media Nusantara. 2010. ISBN 978-
979-709-503-1.
10. ^ (Belanda) "Nieuwe Rotterdamsche Courant", edisi 15 Juli 1921.
11. ^ a b c d e (Inggris) Brown, Colin (2007). Sukarno. Microsoft ® Student 2008 [DVD]. Redmond, WA:
Microsoft Corporation.
12. ^ a b (Indonesia) Sakri, A. (1979b). Dari TH ke ITB: Kenang-kenangan lustrum keempat 2 Maret 1979.
Jilid II: Daftar lulusan ITB. Bandung: Penerbit ITB.
13. ^ a b c "Menguak Sisi Artistik Bung Karno". Arsip Sunjayadi.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal
March 10, 2007. Diakses tanggal 18 September 2015.
14. ^ Zein, Abdul Baqir (1999). Masjid-Masjid Bersejarah di Indonesia. Jakarta: Gema Insani Press.
15. ^ Santi Widhiasih (Senin, 11 September 2006). "Jejak Arsitektur Sang Presiden". Pikiran Rakyat.
Diakses tanggal 11 September 2015. Resensi atas buku Bung Karno Sang Arsitek – Kajian Artistik
Karya Arsitektur, Tata Ruang Kota, Interior, Kria, Simbol, Mode Busana, dan Teks Pidato 1926 – 1965
16. ^ a b c d Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto (1992). Sejarah nasional Indonesia:
Jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia. PT Balai Pustaka.
17. ^ a b c d Yuke Ardhiati, JJ. Rizal (ed.), Edi Sedyawati (pengantar) (Juni 2005). Bung Karno Sang Arsitek
- Kajian Artistik Karya Arsitektur, Tata Ruang Kota, Interior, Kria, Simbol, Mode Busana, dan Teks
Pidato 1926-1965. Depok: Komunitas Bambu.
18. ^ Dahm, Bernhard (1987). Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan. Penerbit LP3ES Jakarta.
hlm. 47–48.
19. ^ Yudi Latif (2008). "Indonesian Muslim Intelligentsia and Power". ISEAS Publishing.
20. ^ Kasenda, Peter (2013). "SOEKARNO: Membongkar Sisi-sisi Hidup Putra Sang Fajar". Jakarta
Selatan: Jurnal Prisma. hlm. hal 2 & 3. Membaca kembali Sukarno. Sumber lain menyebut tahun
1924 dan 11 Juli 1925 sebagai hari kelahiran organisasi kuliah umum tersebut
21. ^ a b c d e f g h Anwar Khumaini (Jumat, 1 Juni 2012 06:12). "7 Percobaan pembunuhan terhadap Bung
Karno". Merdeka.com. Diakses tanggal 9 September 2015.
22. ^ a b c Ramadhian Fadillah (Kamis, 11 September 2014 01:02). "CIA bikin film porno Presiden
Soekarno & pramugari cantik Rusia". www.merdeka.com. Diakses tanggal 15 September 2015.
23. ^ a b c Yudi Anugrah Nugroho. "Film Porno Mirip Sukarno". historia.id. Diakses tanggal 15
September 2015.
24. ^ Kurnia Illahi (Minggu, 16 Agustus 2015−06:39 WIB). "Kecerdikan Soekarno Manfaatkan Soviet dan
Amerika". Nasional.sindonews.com. Diakses tanggal 15 September 2015.
25. ^ "Ketika Alutsista Diembargo ..." (ryi/bur/fan). Kompas.com. Diarsipkan dari versi aslitanggal Wed
Oct 04 2000 – 16:46:34 EDT. Diakses tanggal 15 September 2015.
26. ^ Peter N. Nemetz (1990). The Pacific Rim: Investment, Development and Trade: Second Revised
Edition. Vancouver BC: University of British Columbia Press. hlm. 16–20.
27. ^ Kawin Wilairat. "Singapore's Foreign Policy". Singapore: The Institute of Southeast Asean Studies.
28. ^ a b c d e f g h i (Inggris) Aji, Achmad Wisnu (2010). Kudeta Supersemar: Penyerahan atau Perampasan
Kekuasaan?. Garasi House of Book. ISBN 978-979-25-4689-7. Halaman 36, 145.
29. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q Huda M., Nurul (2010). Benarkah Soeharto Membunuh Soekarno?.
Starbooks. ISBN 978-979-25-4724-5. Halaman 5, 57, 84-89.
30. ^ Roy (3 Juni 2008). "Kuba Terbitkan Prangko Bung Karno dan Fidel Castro". Kompas Cyber Media.
Diakses tanggal 3 Juni 2008.
31. ^ Nurdin Saleh (15 Januari 2001). "Gelora Senayan Siap Berubah Menjadi Gelora Bung Karno".
Tempo Interaktif. Diakses tanggal 5 Juni 2010.
32. ^ Info UBK, Universitas Bung Karno. Diakses pada 5 Juni 2010.
33. ^ a b Profil Yayasan, Yayasan Bung Karno. Diakses pada 3 Agustus 2010.
34. ^ "Satria Piningit Mengaku Temukan Harta Karun Bung Karno". Suara Merdeka. 17 Mei 2003.
Diakses tanggal 3 Agustus 2010.
35. ^ Apa dan Siapa Ir. Sukarno, Yayasan Bung Karno. Diakses pada 3 Agustus 2010.
36. ^ "Awards". kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 17 Oct 2015
02:05:58 UTC. Diakses tanggal 17 Oct 2015 02:05:58 UTC.
37. ^ Yearbook of the Great Soviet Encyclopedia. Moscow. Russian: Sovetskaya Entsyiklopediya. 1961.
38. ^ "Briefer on the Philippine Legion of Honor". Official Gazette of the Republic of the Philippines.
Gov.ph. Diakses tanggal 2013-04-13.

Lihat pula
 Algemeene Studie Club (ASC), (1926).
 Marhaenisme, (1926–1927).
 Perserikatan Nasional Indonesia, 4 Juli (1927).
 Fikiran Ra'jat, (1932).
 Pancasila, (1945).
 Nasonalisme, Agama, Komunisme, (1956).
 Demokrasi terpimpin (1959).
 Manifesto politik, Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin,
Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia (Manipol-Usdek), (1959).
 Operasi Trikora, 19 Desember 1961).
 Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak/Pasukan Rakyat Kalimantan Utara, (1962–1966).
 Ganyang Malaysia, (1962–1966).
 Games of the New Emerging Forces (Ganefo), (1962).
 Sarinah, (1963)
 Unifikasi Indonesia Raya (Indonesia dengan rumpun Melayu), 1920-1950-an.
 Unifikasi Mafilindo (Malaya, Filipina dan Indonesia), 1963.
 Vivere pericoloso, (1964).
 Trisakti, (1964).
 Berdikari, (1965).
 Conference of The New Emerging Forces (Conefo), 7 Januari (1965)
 Gerakan 30 September, 1 Oktober (1965)
 Nawa Aksara, 22 Juni (1966).
 Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah, 17 Agustus (1966).
 Surat Perintah Sebelas Maret, 11 Maret (1966).
 De-Soekarnoisasi, (1967–1998).

Anda mungkin juga menyukai