Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN RDS

A. Defenisi
Sindroma gagal nafas (respiratory distress syndrom, RDS) adalah istilah yang digunakan
untuk disfungsi pernafasan pada neonatus. Gangguan ini merupakan penyakit yang
berhubungan dengan keterlambatan perkembangan maturitas paru atau tidak adekuatnya
jumlah surfaktan dalam paru (Suriadi dan Yuliani, 2001). Gangguan ini biasanya dikenal
dengan nama hyaline membran desease (HMD) atau penyakit membran hialin karena pada
penyakit ini selalu ditemukan membran hialin yang melapisi alveoli.
Sindroma gagal nafas (respiratory distress syndrom, RDS) Adalah gangguan pernafasan
yang sering terjadi pada bayi premature dengan tanda-tanda takipnue (>60 x/mnt), retraksi
dada, sianosis pada udara kamar, yang menetap atau memburuk pada 48-96 jam kehidupan
dengan x-ray thorak yang spesifik. Tanda-tanda klinik sesuai dengan besarnya bayi, berat
penyakit, adanya infeksi dan ada tidaknya shunting darah melalui PDA (Stark 1986).

B. Etiologi
Ada 4 faktor penting penyebab defisiensi surfaktan pada RDS yaitu prematur, asfiksia
perinatal, maternal diabetes, seksio sesaria. Respiratory Distress Syndrome (RDS) disebut
juga Hyaline Membran Disease (HMD) didapatkan pada 10% bayi prematur, yang
disebabkan defisiensi surfaktan pada bayi yang lahir dengan masa gestasi kurang. Surfaktan
biasanya didapatkan pada paru yang matur.

C. Patofisiologi
RDS terjadi atelektasis yang sangat progresif, yang disebabkan kurangnya zat yang
disebut surfaktan. Surfaktan adalah zat aktif yang diproduksi sel epitel saluran nafas disebut
sel pnemosit tipe II. Zat ini mulai dibentuk pada kehamilan 22-24 minggu dan mencapai max
pada minggu ke 35. Zat ini terdiri dari fosfolipid (75%) dan protein (10%). Peranan surfaktan
ialah merendahkan tegangan permukaan alveolus sehingga tidak terjadi kolaps dan mampu
menahan sisa udara fungsional pada sisa akhir expirasi. Kolaps paru ini akan menyebabkan
terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi CO2 dan asidosis.
Hipoksia akan menyebabkan terjadinya :
1. Oksigenasi jaringan menurun>metabolisme anerobik dengan penimbunan asam laktat
asam organic>asidosis metabolic.
2. Kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolaris>transudasi kedalam
alveoli>terbentuk fibrin>fibrin dan jaringan epitel yang nekrotik>lapisan membrane
hialin.
Asidosis dan atelektasis akan menyebabkan terganggunya jantun, penurunan aliran darah
keparum, dan mengakibatkan hambatan pembentukan surfaktan, yang menyebabkan
terjadinya atelektasis.
Sel tipe II ini sangat sensitive dan berkurang pada bayi dengan asfiksia pada periode
perinatal, dan kematangannya dipacu dengan adanya stress intrauterine seperti hipertensi,
IUGR dan kehamilan kembar.

D. Tanda dan Gejala


Gejala utama Gawat napas / distress respirasi pada neonatus yaitu :
a. Takipnea : laju napas > 60 kali per menit (normal laju napas 40 kali per menit)
b. Sianosis sentral pada suhu kamar yang menetap atau memburuk pada 48-96 jam
kehidupan dengan x-ray thorak yang spesifik
c. Retraksi : cekungan pada sternum dan kosta pada saat inspirasi
d. Grunting : suara merintih saat ekspirasi
e. Pernafasan cuping hidung
f. Mur mur
g. Apnea
Tabel 2. Evaluasi Gawat Napas dengan skor Downes

Skor
Pemeriksaan
0 1 2
Frekuensi napas < 60 /menit 60-80 /menit > 80/menit
Retraksi Tidak ada retraksi Retraksi ringan Retraksi berat
Sianosis Tidak ada sianosis Sianosis hilang Sianosis menetap
dengan 02 walaupun diberi O2
Air entry Udara masuk Penurunan ringan Tidak ada udara
udara masuk masuk
Merintih Tidak merintih Dapat didengar Dapat didengar
dengan stetoskop tanpa alat bantu
Evaluasi: < 3 = gawat napas ringan
4.5 = gawat napas sedang
>6 = gawat napas berat

D. Pemeriksaan Diagnostik/ Penunjang


Pemeriksaan Penunjang pada Neonatus yang mengalami Distress Pernafasan
Pemeriksaan Kegunaan

Kultur darah Menunjukkan keadaan bakteremia


Analisis gas darah Menilai drajat hipoksemia dan keseimbangan asam basa
Glukosa darah Menilai keadaan hipoglikemia, karena hipoglikemia
dapat menyebabkan atau memperberat takipnea
Rontgen toraks Mengetahui etiologi distress napas
Darah rutin dan hitung Leukositosis menunjukkan adanya infeksi
jenis Neutropenia menunjukkan infeksi bakteri
Trombositopenia menunjukkan adanya sepsis
Pulse oximetry Menilai hipoksia da kebutuhan tambahan oksigen

Sumber: Hermansen

- Komplikasi
Komplikasi jangka pendek ( akut ) dapat terjadi :
1. Ruptur alveoli : Bila dicurigai terjadi kebocoran udara ( pneumothorak, pneumomediastinum,
pneumopericardium, emfisema intersisiel ), pada bayi dengan RDS yang tiba-tiba memburuk
dengan gejala klinis hipotensi, apnea, atau bradikardi atau adanya asidosis yang menetap.
2. Dapat timbul infeksi yang terjadi karena keadaan penderita yang memburuk dan adanya
perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat timbul karena tindakan invasiv
seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan alat-alat respirasi.
3. Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular : perdarahan intraventrikuler terjadi
pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi terbanyak pada bayi RDS dengan ventilasi
mekanik.
4 PDA dengan peningkatan shunting dari kiri ke kanan merupakan komplikasi bayi dengan
RDS terutama pada bayi yang dihentikan terapi surfaktannya.
Komplikasi jangka panjang dapat disebabkan oleh toksisitas oksigen, tekanan yang tinggi
dalam paru, memberatnya penyakit dan kurangnya oksigen yang menuju ke otak dan organ
lain.
Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi :
1. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD): merupakan penyakit paru kronik yang
disebabkan pemakaian oksigen pada bayi dengan masa gestasi 36 minggu. BPD
berhubungan dengan tingginya volume dan tekanan yang digunakan pada waktu
menggunakan ventilasi mekanik, adanya infeksi, inflamasi, dan defisiensi vitamin A.
Insiden BPD meningkat dengan menurunnya masa gestasi.
2. Retinopathy prematur
Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang berhubungan dengan
masa gestasi, adanya hipoxia, komplikasi intrakranial, dan adanya infeksi.
- Penatalaksanaan

Menurut Suriadi dan Yuliani (2001) dan Surasmi,dkk (2003) tindakan untuk mengatasi
masalah kegawatan pernafasan meliputi :
1. Mempertahankan ventilasi dan oksigenasi adekuat.
2. Mempertahankan keseimbangan asam basa.
3. Mempertahankan suhu lingkungan netral.
4. Mempertahankan perfusi jaringan adekuat.
5. Mencegah hipotermia.
6. Mempertahankan cairan dan elektrolit adekuat.
Penatalaksanaan secara umum :
a.Pasang jalur infus intravena, sesuai dengan kondisi bayi, yang paling sering dan bila bayi tidak
dalam keadaan dehidrasi berikan infus dektrosa 5 %
1. Pantau selalu tanda vital
2. Jaga patensi jalan nafas
3. Berikan Oksigen (2-3 liter/menit dengan kateter nasal)
b. Jika bayi mengalami apneu
1. Lakukan tindakan resusitasi sesuai tahap yang diperlukan
2. Lakukan penilaian lanjut
c. Bila terjadi kejang potong kejang segera periksa kadar gula darah
e. Pemberian nutrisi adekuat
Setelah menajemen umum, segera dilakukan menajemen lanjut sesuai dengan
kemungkinan penyebab dan jenis atau derajat gangguan nafas. Menajemen spesifik atau
menajemen lanjut:
Gangguan nafas ringan
Beberapa bayi cukup bulan yang mengalami gangguan napas ringan pada waktu lahir
tanpa gejala-gejala lain disebut “Transient Tacypnea of the Newborn” (TTN). Terutama
terjadi setelah bedah sesar. Biasanya kondisi tersebut akan membaik dan sembuh sendiri
tanpa pengobatan. Meskipun demikian, pada beberapa kasus. Gangguan napas ringan
merupakan tanda awal dari infeksi sistemik.
Gangguan nafas sedang
1) Lakukan pemberian O2 2-3 liter/ menit dengan kateter nasal, bila masih sesak dapat
diberikan o2 4-5 liter/menit dengan sungkup
2) Bayi jangan diberi minukm
3) Jika ada tanda berikut, berikan antibiotika (ampisilin dan gentamisin) untuk terapi
kemungkinan besar sepsis.
- Suhu aksiler <> 39˚C
- Air ketuban bercampur mekonium
- Riwayat infeksi intrauterin, demam curiga infeksi berat atau ketuban pecah dini (> 18
jam)
4) Bila suhu aksiler 34- 36,5 ˚C atau 37,5-39˚C tangani untuk masalah suhu abnormal dan
nilai ulang setelah 2 jam:
- Bila suhu masih belum stabil atau gangguan nafas belum ada perbaikan, berikan
antibiotika untuk terapi kemungkinan besar seposis
- Jika suhu normal, teruskan amati bayi. Apabila suhu kembali abnormal ulangi tahapan
tersebut diatas.

5) Bila tidak ada tanda-tanda kearah sepsis, nilai kembali bayi setelah 2 jam

6) Apabila bayi tidak menunjukan perbaikan atau tanda-tanda perburukan setelah 2 jam, terapi
untuk kemungkinan besar sepsis
7) Bila bayi mulai menunjukan tanda-tanda perbaikan kurangai terapi o2secara bertahap .
Pasang pipa lambung, berikan ASI peras setiap 2 jam. Jika tidak dapat menyusu, berikan ASI
peras dengan memakai salah satu cara pemberian minum
8) Amati bayi selama 24 jam setelah pemberian antibiotik dihentikan. Bila bayi kembali tampak
kemerahan tanpa pemberian O2 selama 3 hari, minumbaik dan tak ada alasan bayi tatap
tinggal di Rumah Sakit bayi dapat dipulangka
Gangguan nafas ringan

1) Amati pernafasan bayi setiap 2 jam selama 6 jam berikutnya.


2) Bila dalam pengamatan ganguan nafas memburuk atau timbul gejala sepsis lainnya. Terapi
untuk kemungkinan kesar sepsis dan tangani gangguan nafas sedang dan dan segera dirujuk di
rumah sakit rujukan.
3) Berikan ASI bila bayi mampu mengisap. Bila tidak berikan ASI peras dengan menggunakan
salah satu cara alternatif pemberian minuman.
4) Kurangi pemberian O2 secara bertahap bila ada perbaikan gangguan napas. Hentikan
pemberian O2 jika frekuensi napas antara 30-60 kali/menit.

Penatalaksanaan medis:

Pengobatan yang biasa diberikan selama fase akut penyakit RDS adalah:
1) Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder
2) Furosemid untuk memfasilitasi reduksi cairan ginjal dan menurunkan caiaran paru
3) Fenobarbital
4) Vitamin E menurunkan produksi radikalbebas oksigen
5) Metilksantin (teofilin dan kafein ) untuk mengobati apnea dan untuk pemberhentian
dari pemakaian ventilasi mekanik.
Salah satu pengobatan terbaru dan telah diterima penggunaan dalam pengobatan RDS
adalah pemberian surfaktan eksogen ( derifat dari sumber alami misalnya manusia, didapat
dari cairan amnion atau paru sapi, tetapi bisa juga berbentuk surfaktan buatan )
- Apgar Skor
KONSEP KEPERAWATAN

A. Pengkajian

1. Riwayat maternal
- Menderita penyakit seperti diabetes mellitus
- Kondisi seperti perdarahan placenta
- Tipe dan lamanya persalinan
- Stress fetal atau intrapartus
- Prematur, umur kehamilan 34-35 minggu dan umur kehamilan normal di atas 37
minggu
- Apgar score, apakah terjadi aspiksia normalnya 7-10
- Bayi prematur yang lahir melalui operasi caesar
2. Cardiovaskular
- Bradikardi (dibawah 100 x per menit) dengan hipoksemia berat
- Murmur sistolik
- Denyut jantung dalam batas normal Integumen
3. Integumen
- Pallor yang disebabkan oleh vasokontriksi peripheral
- Pitting edema pada tangan dan kaki
- Mottling
4. Neurologis
- Immobilitas, kelemahan, flaciditas
- Penurunan suhu tubuh
- Reflek moro/terkejut
Apabila bayi diberi sentuhan mendadak terutama dengan jari dan tangan maka
akan menimbulkan gerak terkejut.
- Reflek mengenggam
Apabila telapak tangan disentuh dengan jari pemeriksa maka akan berusaha
mengenggam jari pemeriksa.
- Reflek rooting/mencari
Apabila pipi disentuh oleh jari pemeriksa maka ia akan menoleh dan mencari
sentuhan itu.
- Reflek menghisap/sucking reflek
Apabila bayi diberi dot/putting maka ia berusaha untuk menghisap.
- Glabella reflek
Bayi disentuh pada daerah os glabella dengan jari tangan pemeriksa maka ia akan
mengerutkan keningnya dan mengedipkan matanya.
- Gland reflek
Bila bayi disentuh pada lipatan paha kanan dan kiri maka ia berusaha mengangkat
kedua pahanya.
- Tonick neck reflek
Bila bayi diangkat dari tempat tidur/bila digendong maka ia akan berusaha
mengangkat kepalanya.
5. Pulmonary
- Takipnea (pernafasan lebih dari 60 x per menit, mungkin 80 – 100 x )
- Nafas grunting
- Nasal flaring
- Retraksi intercostal, suprasternal, atau substernal
- Cyanosis (sentral kemudian diikuti sirkumoral) berhubungan dengan persentase
desaturasi hemoglobin
- Penurunan suara nafas, crakles, episode apnea
Status Behavioral
- Lethargy
Study Diagnostik
- Seri rontqen dada, untuk melihat densitas atelektasis dan elevasi diaphragma dengan
overdistensi duktus alveolar
- Bronchogram udara, untuk menentukan ventilasi jalan nafas.
Profil paru, untuk menentukan maturitas paru, dengan bahan cairan amnion (untuk janin yang
mempunyai predisposisi RDS)
 Lecitin/Sphingomielin (L/S) ratio 2 : 1 atau lebih mengindikasikan maturitas paru
 Phospatidyglicerol : meningkat saat usia gestasi 35 minggu
 Tingkat phosphatydylinositol
- Analisa Gas Darah, PaO2 kurang dari 50 mmHg, PaCO2 kurang dari 60 mmHg, saturasi
oksigen 92% – 94%, pH 7,31 – 7,45
- Level pottasium, meningkat sebagai hasil dari release potassium dari sel alveolar yang rusak
B. Diagnosa Keperawatan
1. ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan ketidaksamaan nafas bayi dan
ventilator, tidak berfungsinya ventilator dan posisi bantuan ventilator yang kurang tepat
2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan
menghisap, penurunan motilitas usus
3. Gangguan pertukaran gas b.d imaturitas paru dan neuromuskular, defisiensi surfaktan dan
ketidakstabilan alveolar.
4. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan hilangnya fungsi jalan nafas,
peningkatan sekret pulmonal, peningkatan resistensi jalan nafas
5. Resiko tinggi deficit volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan sensible dan
insensible
6. Koping keluarga inefektif berhubungan dengan ansietas, perasaan bersalah, dan perpisahan
dengan bayi sebagai akibat situasi krisis
7. Resiko tinggi gangguan termoregulasi : hipotermi b.d belum terbentuknya lapisan lemak
pada kulit.
C. Implementasi Keperawatan
1) Tidak efektifnya pola nafas yang berhubungan dengan ketidaksamaan nafas bayi dan
ventilator, tidak berfungsinya ventilator dan posisi bantuan ventilator yang kurang tepat
dan keterbatasan pengembangan otot.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan pola nafas
teratur.
Kriteria Hasil:
1. irama pernafasan teratur / tidak sesak
2. pernafasan dalam batas normal
3. kedalaman pernafasan normal
4. suara perkusi jaringan paru normal (sonor)
Intervensi
1. Kaji status pernafasan, catat peningkatan respirasi atau perubahan pola nafas
R:Takipneu adalah mekanisme kompensasi untuk hipoksemia dan peningkatan usaha
nafas
2. Catat ada tidaknya suara nafas dan adanya bunyi nafas tambahan seperti crakles, dan
wheezing
R:Suara nafas mungkin tidak sama atau tidak ada ditemukan. Crakles terjadi karena
peningkatan cairan di permukaan jaringan yang disebabkan oleh peningkatan
permeabilitas membran alveoli – kapiler. Wheezing terjadi karena bronchokontriksi atau
adanya mukus pada jalan nafas
3. Kaji adanya cyanosis
R:Selalu berarti bila diberikan oksigen (desaturasi 5 gr dari Hb) sebelum cyanosis
muncul. Tanda cyanosis dapat dinilai pada mulut, bibir yang indikasi adanya hipoksemia
sistemik, cyanosis perifer seperti pada kuku dan ekstremitas adalah vasokontriksi.
4. Observasi adanya somnolen, confusion, apatis, dan ketidakmampuan
beristirahat
R:Hipoksemia dapat menyebabkan iritabilitas dari miokardium
5. Berikan istirahat yang cukup dan nyaman
R:Menyimpan tenaga pasien, mengurangi penggunaan oksigen Kolaboratif,
posisikan ekstensi
6. Berikan humidifier oksigen dengan masker CPAP jika ada indikasi
R:Memaksimalkan pertukaran oksigen secara terus menerus dengan tekanan
yang sesuai g.
7. Berikan pencegahan IPPB
R:Peningkatan ekspansi paru meningkatkan oksigenasi
8. Review X-ray dada
R:Memperlihatkan kongesti paru yang progresif
9. Kolaborasi dengan tim medis
R:Untuk mencegah ARDS
2) Gangguan pertukaran gas b.d imaturitas paru dan neuromuskular, defisiensi surfaktan
dan ketidakstabilan alveolar.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan pola nafas
efektif.
KH:
a. Jalan nafas bersih
b. Frekuensi jantung 100-140 x/i
c. Pernapasan 40-60 x/i
d. Takipneu atau apneu tidak ada
e. Sianosis tidak ada
Intervensi
1. Posisikan untuk pertukaran udara yang optimal; tempatkan pada posisi telentang dengan
leher sedikit ekstensi dan hidung menghadap keatap dalam posisi ’mengendus’
R: untuk mencegah adanya penyempitan jalan nafas.
2. Hindari hiperekstensi leher
3. Observasi adanya penyimpangan dari fungsi yang diinginkan , kenali tanda-tanda distres
misalnya: mengorok, pernafasan cuping hidung, apnea.
R: memastikan posisi sesuai dengan yang diinginkan dan mencegah terjadinya distres
pernafasan.
4. Lakukan penghisapan
R: menghilangkan mukus yang terakumulasi dari nasofaring, trakea, dan selang
endotrakeal.
5. Penghisapan selang endotrakeal sebelum pemberian surfaktan
R: memastikan bahwa jalan napas bersih
6. Hindari penghisapan sedikitnya 1 jam setelah pemberian surfaktan
R: meningkatkan absorpsi ke dalam alvelolar
7. Observasi peningkatan pengembangan dada setelah pemberian surfaktan.
R: menilai fungsi pemberian surfaktan.
8. Turunkan pengaturan, ventilator, khususnya tekanan inspirasi puncak dan oksigen
R: mencegah hipoksemia dan distensi paru yang berlebihan
.
3) Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan hilangnya fungsi jalan nafas,
peningkatan sekret pulmonal, peningkatan resistensi jalan nafas ditandai dengan :
dispneu, perubahan pola nafas, penggunaan otot pernafasan, batuk dengan atau tanpa
sputum, cyanosis.
K.H :
-Pasien dapat mempertahankan jalan nafas dengan bunyi nafas yang jernih dan ronchi (-)
-Pasien bebas dari dispneu
-Mengeluarkan sekret tanpa kesulitan
-Memperlihatkan tingkah laku mempertahankan jalan nafas
Intervensi
1. Catat perubahan dalam bernafas dan pola nafasnya
R:Penggunaan otot-otot interkostal/abdominal/leher dapat meningkatkan usaha dalam
bernafas
2. Observasi dari penurunan pengembangan dada dan peningkatan fremitus
R:Pengembangan dada dapat menjadi batas dari akumulasi cairan dan adanya cairan
dapat meningkatkan fremitus
3. Catat karakteristik dari suara nafas
R:Suara nafas terjadi karena adanya aliran udara melewati batang tracheo branchial dan
juga karena adanya cairan, mukus atau sumbatan lain dari saluran nafas
4. Catat karakteristik dari batuk
R:Karakteristik batuk dapat merubah ketergantungan pada penyebab dan etiologi dari
jalan nafas. Adanya sputum dapat dalam jumlah yang banyak, tebal dan purulent
5. Pertahankan posisi tubuh/posisi kepala dan gunakan jalan nafas tambahan bila perlu
R:Pemeliharaan jalan nafas bagian nafas dengan paten
6. Kaji kemampuan batuk, latihan nafas dalam, perubahan posisi dan lakukan suction bila
ada indikasi
R:Penimbunan sekret mengganggu ventilasi dan predisposisi perkembangan atelektasis
dan infeksi paru
7. Peningkatan oral intake jika memungkinkan
R:Peningkatan cairan per oral dapat mengencerkan sputum Kolaboratif
8. Berikan oksigen, cairan IV ; tempatkan di kamar humidifier sesuai indikasi
R:Mengeluarkan sekret dan meningkatkan transport oksigen
9. Berikan therapi aerosol, ultrasonik nabulasasi
R:Dapat berfungsi sebagai bronchodilatasi dan mengeluarkan sekret
10. Berikan fisiotherapi dada misalnya : postural drainase, perkusi dada/vibrasi jika ada
indikasi
R:Meningkatkan drainase sekret paru, peningkatan efisiensi penggunaan otot-otot
pernafasan
11. Berikan bronchodilator misalnya : aminofilin, albuteal dan mukolitik
R:Diberikan untuk mengurangi bronchospasme, menurunkan viskositas sekret dan
meningkatkan ventilasi

4) Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan


menghisap, penurunan motilitas usus.
Tujuan : Mempertahankan dan mendukung intake nutrisi
Intervensi
1. Berikan infus D 10% W sekitar 65 – 80 ml/kg bb/ hari
R: Untuk menggantikan kalori yang tidak didapat secara oral
2. Pasang selang nasogastrik atau orogastrik untuk dapat memasukkan makanan jika
diindikasikan atau untuk mengevaluasi isi lambung
R:Pilihan ini dilakukan jika masukan sudah tidak mungkin dilakukan.
3. Cek lokasi selang NGT dengan cara :
- Aspirasi isi lambung
- Injeksikan sejumlah udara dan auskultasi masuknya udara pada lambung
- Letakkan ujung selang di air, bila masuk lambung, selang tidak akan
memproduksi gelembung
R: Untuk mencegah masuknya makanan ke saluran pernafasan
4. Berikan makanan sesuai dengan prosedur berikut :
- Elevasikan kepala bayi
- Berikan ASI atau susu formula dengan prinsip gravitasi dengan ketinggian 6– 8
inchi dari kepala bayi - Berikan makanan dengan suhu ruangan
- Tengkurapkan bayi setelah makan sekitar 1 jam
R: Memberikan makanan tanpa menurunkan tingkat energi bayi
8. Berikan TPN jika diindikasikan
R: TPN merupakan metode alternatif untuk mempertahankan nutrisi jika bowel sounds
tidak ada dan infants berada pada stadium akut.
5) Resiko tinggi deficit volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan sensible dan
insensible
Tujuan : Mempertahankan keseimbangan cairan
dan elektrolit
Intervensi
1. Pertahankan pemberian infus Dex 10% W 60 – 100 ml/kg bb/hari
R: Penggantian cairan secara adekuat untuk mencegah ketidakseimbangan
2. Tingkatkan cairan infus 10 ml/kg/hari, tergantung dari urine output, penggunaan pemanas
dan jumlah feedings
R: Mempertahankan asupan cairan sesuai kebutuhan pasien. Takipnea dan penggunaan
pemanas tubuh akan meningkatkan kebutuhan cairan
3. Pertahankan tetesan infus secara stabil, gunakan infusion pump Untuk mencegah
kelebihan atau kekurangan cairan.
R: Kelebihan cairan dapat menjadi keadaan fatal.
4. Monitor intake cairan dan output dengan cara :
- Timbang berat badan bayisetiap 8 jam
- Timbang popok bayi untuk menentukan urine output
- Tentukan jumlah BAB
- Monitor jumlah asupan cairan infus setiap hari
R:Catatan intake dan output cairan penting untuk menentukan ketidak seimbangan cairan
sebagai dasar untuk penggantian cairan
5. Lakukan pemeriksaan sodium dan potassium setiap 12 atau 24 jam
R:Peningkatan tingkat sodium dan potassium mengindikasikan terjadinya dehidrasi dan
potensial ketidakseimbangan elektrolit
DAFTAR PUSTAKA

Evan. 2011. Asuhan Keperawatan Pasien Respiratory Distress Syndrome (RDS),

diakses pada tanggal 10 September 2011


<http://www.ilmukeperawatanku.com/asuhan-keperawatan-pasien-respiratory-
distress-syndrome-rds.html>

Hermansen C, Lorah K. Respiratory distress in the newborn. Am Fam Physician.


2007;76:987-94.

Indrasanto, Eriyanti., dkk. 2008. Paket Pelatihan Pelayanan Obsetri Dan Neonatal
Emergensi Komprehensif (PONEK).

Kosim. M.S., 2010. Deteksi Dini Dan Manajemen Gangguan Napas Pada Neonatus Sebagai
Aplikasi P O N E K (Pelayanan Obstetri Neonatal Emergency Komprehensif). Bagian
Ilmu Kesehatan Anak RSUP Dr. Kariadi/ FK UNDIP Semarang

Markum, A.H, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI,
Jakarta, 1991, hal. 303-306.

Nur .A ., dkk. 2010. Pemberian Surfaktan Pada Bayi Prematur Dengan Respiratory Distress
Syndrome. Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK. Unair/RSUD Dr. Soetomo

Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I, Editor : Rusepno
Hassan & Husein Alatas, Bagian IKA FKUI, Jakarta 1985, hal.

Surasmi,Asrining,dkk.2003.Perawatan Bayi Resiko Tinggi.Jakarta: EGC

Suriadi dan Yuliani, R. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak, edisi 1 Jakarta : CV Sagung
Seto

Winarno, dkk, Penatalaksanaan Kegawatan Neonatus, dalam Simposium Gawat Darurat


Neonatus, Unit Kerja Koordinasi Pediatri Darurat IDAI, Badan Penerbit UNDIP,
Semarang, 1991, hal. 151-153.

Anda mungkin juga menyukai