Anda di halaman 1dari 116

Ganesa

Ganesa (Dewanagari:
गणेश; IAST: Ganeṣa; 
 dengarkan (bantuan·info)) adalah salah
satu dewa terkenal dalam agama Hindu
dan banyak dipuja oleh umat Hindu, yang
memiliki gelar sebagai Dewa
pengetahuan dan kecerdasan, Dewa
pelindung, Dewa penolak bala/bencana
dan Dewa kebijaksanaan. Lukisan dan
patungnya banyak ditemukan di berbagai
penjuru India; termasuk Nepal, Tibet dan
Asia Tenggara. Dalam relief, patung dan
lukisan, ia sering digambarkan berkepala
gajah, berlengan empat dan berbadan
gemuk. Ia dikenal pula dengan nama
Ganapati, Winayaka dan Pilleyar. Dalam
tradisi pewayangan, ia disebut Bhatara
Gana, dan dianggap merupakan salah
satu putra Bhatara Guru (Siwa). Berbagai
sekte dalam agama Hindu memujanya
tanpa memedulikan golongan. Pemujaan
terhadap Ganesa amat luas hingga
menjalar ke umat Jaina, Buddha, dan di
luar India.[1]
Ganesa

Dewa pengetahuan, kecerdasan,


kebijaksanaan dan pelindung terhadap
segala bencana

Ejaan Dewanagari गणेश

Ejaan IAST gaṇeśa

Golongan dewa

Senjata parasu (kapak), pasa


(jerat), angkusa (kait)

Wahana tikus
Pasangan Buddhi
(kebijaksanaan), Riddhi
(kemakmuran), Siddhi
(keberhasilan)

Mantra ॐ गणेशाय नमः


(Oṃ Gaṇeśāya
Namaḥ)

lbs

Meskipun ia dikenal memiliki banyak


atribut, kepalanya yang berbentuk gajah
membuatnya mudah untuk dikenali.
Ganesa masyhur sebagai "Pengusir
segala rintangan" dan lebih umum
dikenal sebagai "Dewa saat memulai
pekerjaan" dan "Dewa segala rintangan"
(Wignesa, Wigneswara), "Pelindung seni
dan ilmu pengetahuan", dan "Dewa
kecerdasan dan kebijaksanaan". Ia
dihormati saat memulai suatu upacara
dan dipanggil sebagai
pelindung/pemantau tulisan saat
keperluan menulis dalam upacara.[2]
Beberapa kitab mengandung anekdot
mistis yang dihubungkan dengan
kelahirannya dan menjelaskan ciri-cirinya
yang tertentu.

Ganesa muncul sebagai dewa tertentu


dengan wujud yang khas pada abad ke-4
sampai abad ke-5 Masehi, selama
periode Gupta, meskipun ia mewarisi
sifat-sifat pelopornya pada zaman Weda
dan pra-Weda.[3] Ketenarannya naik
dengan cepat, dan ia dimasukkan di
antara lima dewa utama dalam ajaran
Smarta (sebuah denominasi Hindu) pada
abad ke-9. Sekte para pemujanya yang
disebut Ganapatya, (Sanskerta: गाणप य;
gāṇapatya), yang menganggap Ganesa
sebagai dewa yang utama, muncul
selama periode itu.[4] Kitab utama yang
didedikasikan untuk Ganesa adalah
Ganesapurana, Mudgalapurana, dan
Ganapati Atharwashirsa.

Etimologi dan nama lain


Patung Ganesa dari Karnataka, India. Patung ini
dibuat pada abad ke-13.

Ganesa memiliki banyak gelar dan nama


pujian, termasuk Ganapati dan
Wigneswara. Gelar dalam agama Hindu
yang dipakai sebagai penghormatan,
yaitu Sri (Sanskerta: ी; śrī, juga dieja Shri
atau Shree) seringkali ditambahkan di
depan namanya. Salah satu cara yang
terkenal dalam memuja Ganesa adalah
dengan menyanyikan Ganesa
Sahasranama, sebuah doa pengucapan
"seribu nama Ganesa". Setiap nama
dalam sahasranama mengandung arti
berbeda-beda dan melambangkan
berbagai aspek dari Ganesa. Sekurang-
kurangnya ada dua versi Ganesa
Sahasranama; salah satu versi diambil
dari Ganeshapurana, yaitu sastra Hindu
untuk menghormati Ganesa.

Nama Ganesa adalah sebuah kata


majemuk dalam bahasa Sanskerta,
terdiri dari kata gana (Sanskerta: गण;
gaṇa), berarti kelompok, orang banyak,
atau sistem pengelompokan, dan isha
(Sanskerta: ईश; īśa), berarti penguasa
atau pemimpin.[5] Kata gana ketika
dihubungkan dengan Ganesa seringkali
merujuk kepada para gana, pasukan
makhluk setengah dewa yang menjadi
pengikut Siwa.[6] Istilah itu secara lebih
umum berarti golongan, kelas,
komunitas, persekutuan, atau
perserikatan.[7] Ganapati (Sanskerta:
गणप त ; gaṇapati), nama lain Ganesa,
adalah kata majemuk yang terdiri dari
kata gana, yang berarti "kelompok", dan
pati, berarti "pengatur" atau
"pemimpin".[7] Kitab Amarakosha, yaitu
kamus bahasa Sanskerta, memiliki daftar
delapan nama lain Ganesa: Winayaka,
Wignaraja (sama dengan Wignesa),
Dwaimatura (yang memiliki dua ibu),
Ganadipa (sama dengan Ganapati dan
Ganesa), Ekadanta (yang memiliki satu
gading), Heramba, Lambodara (yang
memiliki perut bak periuk, atau, secara
harfiah, yang perutnya bergelayutan), dan
Gajanana (yang bermuka gajah).[8]

Winayaka (Sanskerta: वनायक ; vināyaka)


adalah nama umum bagi Ganesa yang
muncul dalam kitab-kitab Purana Hindu
dan Tantra agama Buddha.[9] Nama ini
mencerminkan sebutan terhadap
delapan kuil Ganesa yang terkenal di
Maharashtra yang masyhur sebagai
astawinayaka. Nama Wignesa
(Sanskerta: व नेश; vighneśa) dan
Wigneswara (Sanskerta: व ने र;
vighneśvara) (Penguasa segala
rintangan) merujuk kepada tugas
utamanya dalam mitologi Hindu sebagai
pencipta sekaligus penyingkir segala
rintangan (vighna).

Lukisan Ekadanta atau "Ganesa bergading satu",


dari daerah Mysore, negara bagian Karnataka, India.

Nama yang masyhur bagi Ganesa dalam


bahasa Tamil adalah Pille atau Pilleyar
("anak kecil"). A. K. Narain membedakan
arti istilah-istilah tersebut dengan
mengatakan bahwa pille berarti seorang
"anak" sementara pilleyar berarti seorang
"anak yang mulia". Dia menambahkan
bahwa kata pallu, pella, dan pell dalam
bahasa-bahasa rumpun Dravida berarti
"gigi atau gading gajah", tetapi lebih
lazim diartikan "gajah".[10] Seorang
penulis buku yang bernama Anita Raina
Thapan menambahkan bahwa akar kata
pille pada nama Pillaiyar mungkin aslinya
berarti "gajah muda", karena kata pillaka
dalam bahasa Pali berarti "gajah
muda".[11]

Penggambaran
Ganesa adalah figur yang terkenal dalam
kesenian India. Citra tentang Ganesa
menjamur di berbagai penjuru India
sekitar abad ke-6.[12] Tidak seperti dewa-
dewi lainnya, penggambaran sosok
Ganesa memiliki berbagai variasi yang
luas dan pola-pola berbeda yang berubah
dari waktu ke waktu. Dia kadangkala
digambarkan berdiri, menari, beraksi
dengan gagah berani melawan para iblis,
bermain bersama keluarganya sebagai
anak lelaki, duduk di bawah, atau
bersikap manis dalam suatu keadaan.

Biasanya Ganesa digambarkan berkepala


gajah dengan perut buncit. Patungnya
memiliki empat lengan, yang merupakan
penggambaran utama tentang Ganesa.
Dia membawa patahan gadingnya
dengan tangan kanan bawah dan
membawa kudapan manis, yang ia
comot dengan belalainya, pada tangan
kiri bawah. Motif Ganesa yang belalainya
melengkung tajam ke kiri untuk
mencicipi manisan pada tangan kiri
bawahnya adalah ciri-ciri yang utama
dari zaman dulu. Patung yang lebih
primitif di Gua Ellora dengan ciri-ciri
umum tersebut, ditaksir berasal dari
abad ke-7.[13] Dalam perwujudan yang
biasa, Ganesa digambarkan memegang
sebuah kapak atau angkusa pada tangan
sebelah atas dan sebuah jerat pada
tangan atas lainnya.
Pengaruh unsur-unsur kuno dalam
susunan penggambaran tersebut masih
bisa diamati dalam penggambaran
Ganesa secara kontemporer. Dalam
sebuah penggambaran modern, satu-
satunya variasi terhadap unsur-unsur
kuno adalah tangan kanan bawah
Ganesa tidak memegang patahan gading
namun seolah-olah terarah ke mata
pengamat dengan gerak tangan yang
melambangkan perlindungan atau
penyingkir ketakutan (abhaya mudra).[14]
Kombinasi yang sama terhadap empat
lengan dan atribut, muncul pada patung
Ganesa yang sedang menari, yang
merupakan tema terkenal.
Atribut umum

Patung Ganesa di Maharashtra, India. Patung


tersebut dibuat sesuai dengan makna atribut-
atributnya.

Ganesa digambarkan berkepala gajah


semenjak awal kemunculannya dalam
kesenian India.[15] Mitologi dalam Purana
memberi beberapa penjelasan mengenai
kejadian yang menyebabkannya
berkepala gajah. Salah satu
perwujudannya yang terkenal, yakni
Heramba-Ganapati, memiliki lima kepala
gajah, dan variasi kecil lainnya pada
jumlah kepala diketahui. Sementara
beberapa kitab mengatakan bahwa
Ganesa terlahir dengan kepala gajah,
pada cerita yang terkenal dikatakan
bahwa ia memperoleh kepala gajah di
kemudian hari. Motif utama yang
terulang dalam cerita-cerita tersebut
adalah bahwa Ganesa lahir dengan tubuh
dan kepala manusia, kemudian Siwa
memenggalnya ketika Ganesa
mencampuri urusan antara Siwa dan
Parwati. Kemudian Siwa mengganti
kepala asli Ganesa dengan kepala gajah.
Detail kisah pertempuran dan
penggantian kepala, memiliki beragam
versi menurut sumber yang berbeda-
beda. Dalam kitab
Brahmawaiwartapurana terdapat kisah
yang cukup menarik. Saat Ganesa lahir,
ibunya, Parwati, menunjukkan bayinya
yang baru lahir ke hadapan para dewa.
Tiba-tiba, Dewa Sani (Saturnus), yang
konon memiliki mata terkutuk,
memandang kepala Ganesa sehingga
kepala si bayi terbakar menjadi abu.
Dewa Wisnu datang menyelamatkan dan
mengganti kepala yang lenyap dengan
kepala gajah. Kisah lain dalam kitab
Warahapurana mengatakan bahwa
Ganesa tercipta secara langsung oleh
tawa Siwa. Karena Siwa merasa Ganesa
terlalu memikat perhatian, ia
memberinya kepala gajah dan perut
buncit.

Nama Ganesa pada mulanya adalah


Ekadanta (satu gading), merujuk kepada
gadingnya yang utuh hanya berjumlah
satu, sedangkan yang lainnya patah.
Beberapa citra menunjukkan ia sedang
membawa patahan gadingnya. Hal
penting di balik penampilan khusus ini
dikandung dalam kitab Mudgalapurana,
yang mengatakan bahwa nama
penjelmaan Ganesa yang kedua adalah
Ekadanta. Perut buncit Ganesa muncul
sebagai ciri-ciri khusus pada kesenian
patung sejak zaman dulu, yang ditaksir
sejak periode Gupta (sekitar abad IV-
VI).[16] Penampilan ini amat penting,
karena menurut Mudgalapurana, dua
penjelmaan Ganesa yang berbeda
memakai nama yang diambil dari
Lambodara (perut buncit, atau, secara
harfiah, perut bergelantungan) dan
Mahodara (perut besar).[17] Kedua nama
tersebut merupakan kata majemuk
dalam bahasa Sanskerta yang
melukiskan bagaimana keadaan
perutnya. Kitab Brahmandapurana
mengatakan bahwa Ganesa bernama
Lambodara karena segala semesta (yaitu
"telur alam semesta"; IAST: brahmāṇḍa)
pada masa lalu, sekarang, dan yang akan
datang ada di dalam tubuhnya. Jumlah
lengan Ganesa bervariasi; wujudnya yang
terkenal memiliki sekitar dua sampai
enam belas lengan.[18] Banyak
penggambaran tentang Ganesa yang
menampilkan ia bertangan empat, yang
telah disebut dalam Purana dan
ditetapkan sebagai wujud standar dalam
beberapa kitab tentang ikonografi.
Wujudnya pada masa awal memiliki dua
lengan.[19] Wujud dengan 14 dan 20
lengan muncul di India Tengah selama
abad ke-9 dan abad ke-10.[20] Ular adalah
tampilan yang umum dalam
penggambaran tentang Ganesa dan
muncul dalam beragam bentuk.[21]
Menurut Ganesapurana, Ganesa
melilitkan ular Basuki di lehernya.
Penggambaran lain tentang ular meliputi
kegunaannya sebagai benang suci (IAST:
yajñyopavīta) yang dililitkan melingkari
perut sebagai sabuk, dipegang di tangan,
dililitkan di pergelangan kaki, atau
dipakai sebagai mahkota. Pada dahi
Ganesa kemungkinan ada mata ketiga
atau simbol sekte Siwa (Sanskerta:
tilaka), yang berupa tiga garis mendatar.
Ganeshapurana mengatakan bahwa
tanda tilaka sama saja dengan bulan
sabit pada dahi kepala. Wujud tertentu
dari Ganesa yang disebut Bhalachandra
(IAST: bhālacandra; "Bulan di dahi")
memasukkan unsur penggambaran
tersebut. Namun warna lain yang spesifik
dihubungkan dengan wujud tertentu.[22]
Beberapa contoh mengenai hubungan
warna dengan gerakan meditasi tertentu
dinyatakan dalam Sritattvanidhi, sebuah
buku tentang ikonografi dalam
Hinduisme. Sebagai contoh, putih
dihubungkan dengan wujud Ganesa
sebagai Heramba-Ganapati dan Rina-
Mochana-Ganapati (Ganapati yang
membebaskan dari belenggu). Ekadanta-
Ganapati digambarkan berwarna biru
selama bermeditasi dalam wujud itu.

Wahana
Sebuah lukisan bergaya Tajore, menampilkan
Ganesa yang sedang mengendarai wahananya, yaitu
tikus. Di belakangnya tampak seorang pelayan yang
setia menemaninya.

Citra Ganesa pada mulanya tidak disertai


dengan wahana (tunggangan).[23] Pada
delapan penjelmaan Ganesa yang
dinyatakan dalam Mudgalapurana,
Ganesa lima kali menggunakan tikus
dalam lima penjelmaannya,
menggunakan singa saat menjelma
sebagai Wakratunda, seekor merak saat
menjelma sebagai Wikata, dan
menggunakan Sesa, naga ilahi, dalam
penjelmaannya sebagai Wignaraja. Pada
empat penjelmaan Ganesa yang terdaftar
dalam Ganesapurana, Mohotkata
menunggangi singa, Mayureswara
menunggangi merak, Dumraketu
menunggangi kuda, dan Gajanana
menunggangi tikus. Dalam pandangan
agama Jaina terhadap Ganesa,
wahananya ada bermacam-macam,
seperti tikus, gajah, penyu, domba, atau
merak.[24]

Ganesa seringkali digambarkan


menunggangi atau diantar oleh seekor
tikus. Martin-Dubost mengatakan bahwa
tikus muncul sebagai wahana yang
utama dalam sastra tentang Ganesa, di
wilayah India Tengah dan Barat selama
abad ke-7; tikus juga selalu ditempatkan
dekat dengan kakinya. Tikus sebagai
wahana muncul pertama kali dalam kitab
Matsyapurana dan kemudian dalam
Brahmandapurana dan Ganesapurana,
dimana Ganesa menggunakannya
sebagai kendaraan hanya pada inkarnasi
terakhirnya. Ganapati Atharwashirsa
mengandung sloka tentang Ganesa yang
menyatakan bahwa gambar tikus
terdapat dalam benderanya. Nama
Musakawahana (berwahana tikus) dan
Akuketana (berbendera tikus) muncul
dalam Ganesa Sahasranama.
Tikus ditafsirkan dalam berbagai
pengertian. Seorang penulis buku
tentang Ganesa bernama John A. Grimes
telah menafsirkan makna tikus sebagai
atribut Ganesa. Michael Wilcockson
mengatakan bahwa tikus melambangkan
orang-orang yang ingin mengatasi
keinginan dan mengurangi sifat egois.[25]
Yuvraj Krishan, seorang penulis buku
Ganesa, mengatakan bahwa tikus itu
bersifat merusak dan mengancam
pertanian. Kata Sanskerta mūṣaka (tikus)
diambil dari akar kata mūṣ (mencuri,
merampok). Merupakan hal yang penting
untuk menaklukkan tikus sebagai hama
penghancur, sejenis wighna (rintangan)
yang perlu untuk diatasi. Jadi menurut
teori tersebut, Ganesa sebagai penguasa
tikus menunjukkan fungsinya sebagai
Wigneswara (dewa segala rintangan) dan
memberi bukti terhadap perannya
sebagai grāmata-devatā (dewa
pedesaan) bagi rakyat yang kemudian
meningkat kemuliaannya.[26] Paul Martin-
Dubost yang juga pernah menulis buku
tentang Ganesa memberi sebuah
pandangan bahwa tikus adalah simbol
yang memberi sugesti bahwa Ganesa,
seperti halnya tikus, mampu menembus
bahkan memasuki tempat-tempat
rahasia.[27]

Asosiasi
Patung Ganesa di sebuah kuil di Orissa, India.

Rintangan

Ganesa adalah Wigneswara atau


Wignaraja, dewa segala rintangan, baik
yang bersifat material maupun spiritual.
Ia masyhur dipuja sebagai penyingkir
segala rintangan, meski ia juga
memasang rintangan pada umatnya
yang perlu diberi cobaan. Paul Courtright
mengatakan, "pekerjaannya adalah
menempatkan dan menyingkirkan
rintangan. Itu merupakan kekuasaannya
yang utama..."[28]

Yuvraj Krishan menyatakan bahwa


beberapa nama Ganesa mencerminkan
perannya yang berkembang dari waktu
ke waktu.[29] M. K. Dhavalikar
beranggapan bahwa karena cepatnya
ketenaran Ganesa di antara dewi-dewi
Hindu, dan kemunculan para Ganapatya,
sehingga ada perubahan tekanan suara
dari wignakartā (pencipta rintangan)
menjadi wignahartā (penyingkir
rintangan).[30] Bagaimanapun, dua fungsi
tersebut menjadi amat penting dalam
karakter Ganesa, seperti yang dijelaskan
Robert Brown, "bahkan setelah Ganesa
dalam Purana digambarkan dengan baik,
Ganesa meninggalkan banyak hal-hal
penting untuk peran gandanya sebagai
pencipta dan penyingkir rintangan,
sehingga memiliki aspek negatif maupun
positif."[31]

Buddhi

Ganesa dianggap sebagai Dewa Aksara


dan Pelajaran. Dalam bahasa Sanskerta,
kata buddhi adalah kata benda feminin
yang banyak diterjemahkan menjadi
kecerdasan, kebijaksanaan, atau akal.[32]
Konsep buddhi erat dikaitkan dengan
kepribadian Ganesa, khususnya pada
zaman Purana, ketika banyak kisah
menonjolkan kepintarannya dan cinta
terhadap kecerdasan. Salah satu nama
Ganesa dalam Ganeshapurana dan
Ganesa Sahasranama adalah
Buddhipriya. Nama ini juga muncul
dalam daftar 21 nama di akhir Ganesa
Sahasranama yang menurut Ganesa
amat penting. Kata priya bisa berarti
"yang tercinta", dan dalam konteks
suami-istri bisa berarti "kekasih" atau
"suami",[33] maka nama Buddhipriya bisa
saja berarti "Yang dicintai oleh
kecerdasan" atau "Suami Buddhi".[34]

Om
Ganesa dalam perhiasan berbentuk simbol Aum.

Ganesa diidentikkan dengan mantra Om


dalam agama Hindu (Simbol: ॐ, juga dieja
'Aum'). Istilah oṃ(ng)kāraswarūpa (Om
adalah wujudnya), ketika diidentikkan
dengan Ganesa, merujuk pada sebuah
pemahaman bahwa ia menjelma sebagai
bunyi yang utama.[35] Kitab Ganapati
Atharwashirsa memberi penjelasan
mengenai hubungan ini. Swami
Chinmayananda menerjemahkan
pernyataan yang relevan berikut ini:

(O Hyang Ganapati!)
Engkaulah (Tritunggal)
Brahma, Wisnu, dan Mahesa.
Engkaulah Indra. Engakulah
api (Agni) dan udara (Bayu).
Engkaulah matahari (Surya)
dan bulan (Candrama).
Engkaulah Brahman.
Engkaulah (tiga dunia)
Bhuloka [bumi], Antariksa-
loka [luar angkasa], dan
Swargaloka [sorga].
Engkaulah Om. (Itu sebagai
tanda, bahwa Engkaulah
segala hal tersebut).[36]

Beberapa pemuja melihat kesamaan


antara lekukan tubuh Ganesa dalam
penggambaran umum dengan bentuk
simbol Om dalam aksara Dewanagari
dan Tamil.[37]

Cakra pertama

Menurut Kundalini yoga, Ganesa


menempati cakra pertama, yang disebut
muladhara. Mula berarti "asal, utama";
adhara berarti "dasar, fondasi". Cakra
muladhara adalah hal penting yang
merupakan manifestasi atau pelebaran
pokok-pokok kekuatan ilahi yang
terpendam.[38] Hubungan Gansea dengan
hal ini juga diterangkan dalam Ganapati
Atharwashirsa. Courtright
menerjemahkan pernyataan sebagai
berikut: "[O Ganesa,] Engkau senantiasa
menempati urat sakral di fondasi tulang
punggung [mūlādhāra cakra]."[39] Maka
dari itu, Ganesa memiliki kediaman tetap
dalam setiap makhluk yang terletak pada
Muladhara. Ganesa memegang,
menopang dan memandu cakra-cakra
lainnya, sehingga ia mengatur kekuatan
yang mendorong cakra kehidupan.[38]

Mitologi
Kelahiran

Parwati dan Siwa memandikan Ganesa. Sebuah


lukisan dari Kangra, dibuat sekitar abad ke-18.

Meski Ganesa terkenal sebagai putra dari


Siwa dan Parwati, mitos-mitos dalam
Purana memiliki ketidakpastian
mengenai kelahirannya. Dia bisa saja
diciptakan oleh Siwa, atau oleh Parwati,
atau oleh Siwa dan Parwati, atau muncul
secara misterius dan ditemukan oleh
Siwa dan Parwati. Terdapat berbagai
versi mengenai kelahiran Ganesa, tetapi
kisah yang paling terkenal berasal dari
kitab Siwapurana.

Dalam kitab Siwapurana dikisahkan,


suatu ketika Parwati (istri Dewa Siwa)
ingin mandi. Karena tidak ingin diganggu,
ia menciptakan seorang anak laki-laki. Ia
berpesan agar anak tersebut tidak
mengizinkan siapapun masuk ke
rumahnya selagi Dewi Parwati mandi dan
hanya boleh melaksanakan perintah
Dewi Parwati saja. Perintah itu
dilaksanakan sang anak dengan baik.

Alkisah ketika Dewa Siwa hendak masuk


ke rumahnya, ia tidak dapat masuk
karena dihadang oleh anak kecil yang
menjaga rumahnya. Bocah tersebut
melarangnya karena ia ingin
melaksanakan perintah Parwati dengan
baik. Siwa menjelaskan bahwa ia suami
Parwati dan rumah yang dijaga si bocah
adalah rumahnya juga. Namun sang
bocah tidak mau mendengarkan perintah
Siwa, sesuai dengan perintah ibunya
untuk tidak mendengar perintah
siapapun. Akhirnya Siwa kehabisan
kesabarannya dan bertarung dengan
anaknya sendiri. Pertarungan amat
sengit sampai akhirnya Siwa
menggunakan Trisulanya dan
memenggal kepala si bocah. Ketika
Parwati selesai mandi, ia mendapati
putranya sudah tak bernyawa. Ia marah
kepada suaminya dan menuntut agar
anaknya dihidupkan kembali. Siwa sadar
akan perbuatannya dan ia menyanggupi
permohonan istrinya.

Atas saran Brahma, Siwa mengutus


abdinya, yaitu para gana, untuk
memenggal kepala makhluk apapun
yang dilihatnya pertama kali yang
menghadap ke utara. Ketika turun ke
dunia, gana mendapati seekor gajah
sedang menghadap utara. Kepala gajah
itu pun dipenggal untuk mengganti
kepala Ganesa. Akhirnya Ganesa
dihidupkan kembali oleh Dewa Siwa dan
sejak itu diberi gelar Dewa Keselamatan.
Keluarga dan istri

Lukisan "Riddhi Siddhi" karya Raja Ravi Varma,


menggambarkan Ganesa yang didampingi kedua
istrinya, Riddhi dan Siddhi.

Dalam keluarga Ganesa ada saudaranya


yang bernama Skanda, yang juga disebut
Kartikeya, Murugan, dan lain-lain.
Perbedaan wilayah memberikan versi
berbeda tentang jenjang kelahiran
mereka. Di India Utara, Skanda biasanya
dianggap yang lebih tua, sementara di
India Selatan, Ganesa dianggap yang
lebih dahulu lahir. Skanda merupakan
dewa perang yang masyhur sekitar tahun
500 SM sampai 600 M, ketika pemujaan
terhadapnya berkurang secara signifikan
di India Utara. Seiring dengan
memudarnya Skanda, Ganesa mulai
berkembang. Beberapa kisah
menceritakan persaingan antara kedua
bersaudara tersebut dan bisa saja
mencerminkan ketegangan yang terjadi
antar sekte (pemuja Ganesa dan pemuja
Skanda).[40]
Status orang tua Ganesa, subjek
pembicaraan yang luas bagi para
sarjana, memiliki beragam versi dalam
cerita-cerita mitos. Salah satu pola
dalam mitos mengidentifikasi Ganesa
sebagai seorang brahmacarya yang tak
menikah.[41] Pandangan ini biasa
terdapat di India Selatan dan di beberapa
wilayah India Utara. Dalam contoh lain, ia
diasosiasikan dengan konsep Buddhi
(kecerdasan), Siddhi (kekuatan spiritual),
dan Riddhi (kemakmuran); tiga kualitas
ini kadangkala dipersonifikasikan
sebagai para dewi, yang konon menjadi
para istri Ganesa. Dia bisa juga
digambarkan dengan satu pasangan saja
atau seorang pelayan tanpa nama
(Sanskerta: daşi). Dalam contoh lain, ia
diasosiasikan dengan dewi kebudayaan
dan kesenian, yaitu Saraswati atau Śarda
(umumnya di Maharashtra).[42] Dia juga
disangkutpautkan dengan dewi
keberuntungan dan kemakmuran,
Laksmi.[43] Contoh lainnya, terutama
yang menonjol di wilayah Benggala,
menghubungkan Ganesa dengan pohon
pisang, Kala Bo.[44]

Kitab Siwapurana mengatakan bahwa


Ganesa memiliki dua putra: Ksema
(kemakmuran) dan Laba (keuntungan).
Menurut kisah versi India Utara, putranya
seringkali disebut Suba (keselamatan)
dan Laba. Film berbahasa Hindi tahun
1975 berjudul Jai Santoshi Maa
menampilkan Ganesa yang menikahi
Riddhi dan Siddhi lalu memiliki puteri
bernama Santoshi Ma, dewi kepuasan.
Kisah ini tidak memiliki dasar dari kitab
Purana.[45]

Pemujaan dan festival

Festival Ganesa yang dirayakan oleh umat Hindu di


Paris, Prancis, pada tahun 2004.
Ganesa banyak dipuja saat acara
kerohanian maupun kegiatan sehari-hari;
khususnya saat mulai berniaga seperti
membeli kendaraan atau memulai bisnis.
K.N. Somayaji berkata, "jarang ada rumah
(Hindu di India) yang tidak memiliki arca
Ganapati. [..] Ganapati, sebagai dewa
yang termasyhur di India, dipuja oleh
hampir seluruh kasta dan di seluruh
penjuru negara".[46] Pemujanya percaya
bila Ganesa dibuat senang, ia akan
memberi kesuksesan, kemakmuran dan
perlindungan terhadap bencana.

Ganesa bukan dewa bagi sekte tertentu,


dan umat Hindu dari seluruh denominasi
memanggil namanya saat memulai
persembahyangan, memulai usaha yang
penting, dan upacara keagamaan. Penari
dan musisi, khususnya di India Selatan,
memulai pertunjukkan seni seperti tari
Bharatnatyam dengan terlebih dahulu
memuja Ganesa. Mantra-mantra seperti
Om Shri Gaṇeshāya Namah (Om, hormat
pada Hyang Ganesa yang masyhur-
mulia) seringkali dipakai. Salah satu
mantra paling terkenal yang
diasosiasikan dengan Ganesa adalah Om
Gaṃ Ganapataye Namah.

Pemujanya memberi persembahan


berupa manisan seperti modaka dan
bola-bola kecil manis (laddu). Dia
seringkali digambarkan memegang
semangkuk manisan, yang disebut
modakapātra. Karena ia diidentifikasikan
dengan warna merah, ia seringkali dipuja
dengan pasta cendana merah
(raktacandana) atau bunga merah.
Rumput Dūrvā (Cynodon dactylon) dan
benda lainnya sering dipakai dalam
memujanya.

Festival yang dikaitkan dengan Ganesa


adalah Winayaka caturti (Ganesa Caturti)
pada śuklapakṣa (hari keempat bulan
purnama) di bulan bhadrapada
(Agustus/September) dan Ganesa jayanti
(ulang tahun Ganesa) dirayakan pada
cathurthī dalam kṛṣṇapakṣa (hari
keempat bulan mati) di bulan magha
(Januari/Februari).

Patung besar Ganesa saat festival Ganesa Caturti di


Mumbai, tahun 2004.

Ganesa Caturti

Festival tahunan untuk memuja Ganesa


yang berlangsung selama sepuluh hari,
dimulai pada Ganesa Caturti, yang jatuh
pada akhir bulan Agustus atau awal
September. Festival memuncak pada
hari Ananta Caturdasi, ketika arca (murti)
Ganesa dicelupkan ke dalam air. Pada
tahun 1893, Lokmanya Tilak mengubah
festival tahunan ini dari perayaan
keluarga secara pribadi menjadi acara
bagi masyarakat luas.[47] Ia
melakukannya untuk mengatasi
kesenjangan antara golongan Brahmana
dan non-Brahmana dan menemukan
konteks tak lazim yang dimaksud untuk
membangun akar persatuan di antara
mereka, dalam cita-cita nasional
menentang penjajahan Inggris di
Maharashtra.[48] Karena Ganesa dipuja
secara luas sebagai "dewa bagi semua
orang", Tilak memilihnya sebagai tempat
menampung protes rakyat India terhadap
pemerintahan Inggris.[49] Tilak adalah
orang pertama yang memasang citra
Ganesa yang besar bagi masyarakat
umum di sebuah paviliun, dan
menetapkan tradisi untuk mencelupkan
semua citra Ganesa pada hari
kesepuluh.[50] Pada masa kini, umat
Hindu di penjuru India merayakan festival
Ganapati dengan semangat menyala,
meskipun hal itu paling populer di negara
bagian Maharashtra. Festival itu juga
mendapat proporsi yang besar di
Mumbai dan di sekitar kuil-kuil
Astawinayaka.

Kuil
Arca Ganesa di Birla Mandir (Pura Birla) di Jaipur,
India.

Dalam tempat suci Hindu, Ganesa dapat


diuraikan beraneka macam: sebagai
dewa bawahan (parswadewata); sebagai
dewa yang erat dengan dewa utama
(pariwaradewata); atau sebagai dewa
utama di sebuah kuil (pradhana), dijamu
bagaikan dewa tertinggi di antara dewa-
dewi Hindu.[51] Sebagai dewa keluar-
masuk, dia banyak ditempatkan di pintu
gerbang kuil Hindu untuk menghalau hal-
hal buruk, yang sama dengan perannya
sebagai penjaga pintu rumah Parwati.
Dan juga, beberapa kuil didedikasikan
untuk Ganesa sendiri, misalnya
Astawinayaka (Sanskerta: अ वनायक;
aṣṭavināyaka; "delapan (kuil) Ganesa") di
Maharashtra yang paling masyhur.
Terletak di jarak sekitar 100 kilometer
dari kota Pune, masing-masing dari
delapan kuil ini memuliakan wujud utama
Ganapati, lengkap dengan cerita dan
legendanya; bersama-sama mereka
membentuk sebuah mandala, menandai
wilayah suci Ganesa.

Ada banyak kuil Ganesa yang penting di


tempat-tempat berikut ini: Wai di
Maharashtra; Ujjain di Madhya Pradesh;
Jodhpur, Nagaur dan Raipur (Pali) di
Rajasthan; Baidyanath di Bihar; Baroda,
Dhokala, dan Balsad di Gujarat dan Kuil
Dhundiraj di Benares, Uttar Pradesh. Kuil
Ganesa yang utama di India Selatan yaitu
sebagai berikut: Kuil Jambukeśvara di
Tiruchirapalli; di Rameshvaram dan
Suchindram di Tamil Nadu; Hampi,
Kasargod, dan Idagunji di Karnataka; dan
Bhadrachalam di Andhra Pradesh.

T. A. Gopinatha berkata, "Setiap desa,


meskipun desa kecil, memiliki citra
Wigneswara-nya sendiri dengan atau
tanpa kuil untuk menempatkannya. Di
jalan masuk menuju desa atau sebuah
benteng, di bawah pohon bodhi […],
dalam sebuah relung […], di kuil Wisnu
maupun Siwa dan juga pada bangunan
suci yang khususnya dibangun dalam
kuil Siwa […]; figur Wigneswara kelihatan
tak berubah-ubah."[52] Kuil Ganesa juga
dibangun di luar India, termasuk Asia
Tenggara, Nepal, dan di beberapa negara
barat.

Sejarah ketenaran
Arca Ganesa yang cukup tua, dibuat pada abad ke-8,
kini disimpan di Mueseum Cham, Vietnam.

Kemunculan pertama

Ganesa muncul dalam wujud klasiknya


sebagai dewa yang mudah dikenali
dengan atribut-atribut yang tergambar
dengan baik pada permulaan abad ke-4
sampai abad ke-5. Shanti Lal Nagar
mengatakan bahwa arca paling awal,
yang diketahui sebagai wujud Ganesa
ada dalam sebuah ceruk di kuil Siwa di
Bhumra, yang ditafsir berasal dari zaman
kerajaan Gupta.[53] Pemujaan tersendiri
terhadapnya muncul sekitar abad ke-
10.[54] Narain mengikhtisarkan
kontroversi antara pemuja Ganesa dan
pandangan akademis terhadap
perkembangan Ganesa sebagai berikut:

[A]pa yang selama ini tak


terduga adalah kemunculan
Ganesa yang agak dramatis
menurut pandangan sejarah.
Pelopornya tak jelas.
Keterbukaan dan
ketenarannya yang luas, yang
melampaui batas mahzab dan
teritorial, sungguh
menakjubkan. Di satu sisi ada
kepercayaan bagi umat yang
ortodoks terhadap asal usul
Ganesa dari zaman Weda dan
dalam Purana terdapat
penjelasan yang
membingungkan, namun
merupakan mitologi yang
cukup menarik. Di sisi lain
terdapat keraguan mengenai
adanya gagasan dan arca
tentang dewa ini sebelum abad
keempat sampai kelima
Masehi. ...[54]

Pengaruh memungkinkan

Buku yang ditulis Thapan tentang


perkembangan Ganesa mengandung
sebuah bab tentang spekulasi mengenai
peran kepala gajah pada zaman awal di
India, tetapi berkesimpulan bahwa,
"meski pada abad ke-2 Masehi ada
perwujudan yaksa berkepala gajah, itu
tidak bisa dianggap menggambarkan
Ganapati-Winayaka. Tidak ada bukti
mengenai dewa yang disebut memiliki
wujud gajah atau berkepala gajah pada
permulaan zaman ini. Ganapati-Winayaka
masih membuat debutnya."[55]
Lukisan Ganesa berlengan empat yang dibuat pada
abad ke-19. Berasal dari Nurpur, India.

Suatu teori mengenai asal usul Ganesa


mengatakan bahwa ia perlahan-lahan
menjadi tenar sehubungan dengan
empat Winayaka.[56] Dalam mitologi
Hindu, para Winayaka adalah kelompok
empat makhluk jahat yang membuat
rintangan dan kesulitan, tetapi mudah
untuk ditenangkan. Nama Winayaka
adalah nama yang biasa bagi Ganesa,
baik dalam Purana-Purana maupun Tantra
Buddha.[9] Krishan adalah salah satu
sarjana yang menerima teori ini, yang
berkomentar datar tentang Ganesa, "Dia
bukan dewa dalam Weda. Asal-usulnya
mengikuti jejak empat Winayaka, roh
jahat, dari Manawagrehyasutra (abad VII-
IV SM) yang menyebabkan berbagai jenis
kejahatan dan penderitaan".[57]
Penggambaran figur manusia berkepala
gajah, yang beberapa di antaranya
diidentifikasikan dengan Ganesa, muncul
dalam kesenian dan koin India pada
permulaan abad ke-2.[58]

Sastra Weda dan wiracarita


Gelar "Pemimpin kelompok" (Sanskerta:
ganapati) muncul dua kali dalam
Regweda, tetapi keduanya tidak merujuk
pada Ganesa yang sekarang. Istilah itu
muncul dalam Regweda (Rw 2.23.1)
sebagai gelar untuk Brahmanaspati,
menurut para komentator.[59] Saat sloka
itu tak diragukan lagi merujuk pada
Brahmanaspati, sloka itu kemudian
diadopsi untuk memuja Ganesa dan
masih dipakai hingga sekarang.[60]
Dalam pembantahan bahwa pernyataan
tersebut merupakan bukti keberadaan
Ganesa dalam Regweda, Ludo Rocher
mengatakan bahwa itu dengan jelas
merujuk kepada Wrehaspati—dewa
himne-himne—dan hanya Wrehaspati.[61]
Hal yang juga mirip, yaitu pernyataan
kedua (Rw 10.112.9) merujuk pada Indra,
yang diberi gelar 'ganapati',
diterjemahkan menjadi "Pemimpin
perkumpulan (bagi para Marut)." Tetapi,
Rocher menyatakan bahwa sastra-satra
Ganapatya terkini seringkali mengutip
sloka-sloka Regweda untuk menghormati
Ganesa.[62]

Dua sloka dalam kitab yang termasuk


Yajurweda hitam, yaitu Maitrayaniya
Samhita (2.9.1) dan Taittiriya Aranyaka
(10.1), menyatakan permohonan kepada
dewa yang "bertaring satu" (Dantih),
"bermuka gajah" (Hastimuka), dan
"berbelalai bengkok" (Wakratunda).
Nama-nama ini mengingatkan kita pada
Ganesa, dan seorang komentator dari
abad ke-14 bernama Sayana dengan
tegas memastikan identifikasi ini.[63]
Deskripsi tentang Dantin, yang memiliki
belalai bengkok (wakratunda) dan
memegang jagung, tebu, dan gada,
merupakan karakteristik Ganapati yang
utama secara Purana, seperti yang
dikatakan Heras, "tidak bisa dibantahkan
lagi untuk menerima identifikasinya (ciri-
ciri Ganesa) dengan (ciri-ciri) Dantin
ini".[64] Tapi, Krishan menganggap bahwa
himne-himne ini adalah tambahan
(carangan) pasca zaman Weda.[65]
Thapan menambahkan bahwa
pernyataan-pernyataan itu lazimnya
dianggap sebagai sebuah sisipan.
Dhavalikar mengatakan, "referensi
mengenai dewa berkepala gajah di
Maitrayani Samhita telah terbukti sebagai
sisipan paling akhir, maka tidak begitu
berguna dalam menentukan informasi
paling awal mengenai sang dewa
(Ganesa)".[66]

Ganesa tidak muncul dalam wiracarita


India pada zaman Weda. Sebuah sisipan
pada wiracarita Mahabharata
mengatakan bahwa Resi Byasa meminta
Ganesa untuk membantunya sebagai
seorang penulis untuk mencatat
wiracarita yang didikte oleh sang resi
kepadanya. Ganesa setuju namun
dengan syarat bahwa Byasa harus
membeberkan wiracarita itu tanpa
diselingi, yaitu, tanpa berhenti. Sang resi
setuju, tetapi sadar bahwa untuk
melakukan jeda, ia perlu menceritakan
suatu pernyataan yang sangat kompleks
sehingga Ganesa akan bertanya untuk
mengklarifikasi. Kisah tersebut tidak
dianggap sebagai sebuah bagian dalam
kitab orisinilnya oleh editor dalam kitab
Mahabharata edisi kritikan. Hubungan
antara Ganesa dengan ketangkasan
pikiran dan pembelajaran adalah salah
satu alasan sehingga ia ditampilkan
sebagai penulis dikte yang dijabarkan
Byasa tentang Mahabharata dalam
sisipan tersebut.[67] Richard L. Brown
memperkirakan waktunya terjadi sekitar
abad ke-8, dan Moriz Winternitz
menyimpulkan bahwa kisah itu dikenal
pada awal th. 900, tetapi tidak
ditambahkan ke dalam Mahabharata
sampai sekitar 150 tahun kemudian.
Winternitz juga menambahkan bahwa
versi berbeda dalam naskah
Mahabharata di India Selatan adalah
penghapusan terhadap legenda Ganesa
tersebut.[68] Istilah winayaka ditemukan
dalam beberapa resensi dalam
Santiparwa dan Anusasanaparwa yang
dianggap sebagai sisipan.[69] Sebuah
referensi tentang Wignakartrinam
("Pencipta rintangan") dalam Wanaparwa
juga dipercaya sebagai sebuah sisipan
dan tidak muncul dalam edisi kritikan.[70]

Lukisan Ganesa yang terdapat dalam kitab


Bhagawatapurana, dibuat sekitar awal abad ke-19.

Zaman Purana

Kisah mengenai Ganesa seringkali


muncul dalam kitab-kitab Purana. Brown
mengatakan, ketika kitab-kitab Purana
tidak menyebutkan kapan tepatnya suatu
peristiwa terjadi, penuturan kisah hidup
Ganesa yang lebih detail ada dalam kitab
yang muncul belakangan, sekitar th.
600–1300.[71] Yuvraj Krishan
mengatakan bahwa mitos mengenai
kelahiran Ganesa dan bagaimana ia
memperoleh kepala gajah, ada dalam
Purana yang digubah dari th. 600 dan
seterusnya. Ia meneliti masalah dan
mengungkapkan bahwa referensi
tentang Ganesa yang terdapat dalam
Purana-purana awal, seperti Bayupurana
dan Brahmandapurana, adalah sisipan di
kemudian hari yang dibuat dari abad ke-
7sampai abad ke-10.[72]

Bangkitnya ketenaran Ganesa


dikodifikasikan pada abad ke-9, ketika
secara formal ia dimasukkan ke dalam
lima dewa utama dalam aliran Smarta.
Filsuf abad ke-9 bernama Shankaracarya
memopulerkan "pemujaan terhadap lima
wujud" (pañcāyatana pūjā), sebuah
sistem di antara kaum brahmana yang
ortodoks dalam tradisi Smarta. Dalam
pemujaan ini dilakukan pemanggilan
lima dewa yaitu Ganesa, Wisnu, Siwa,
Dewi, dan Surya. Shankaracarya
mendirikan tradisi itu dengan tujuan
utama untuk menyatukan dewa-dewi
utama dari lima sekte besar pada status
yang sama. Hal ini sungguh-sungguh
membuat peran Ganesa sebagai seorang
dewa komplementer.

Buku dan sastra


Lukisan Ganesa yang sedang menari, berasal dari
Tibet Tengah. Wujud ini juga dikenal sebagai
"Maharakta".

Ketika Ganesa diterima sebagai salah


satu dari lima dewa utama dalam
Brahmanisme, beberapa brahmana
memilih untuk memuja Ganesa sebagai
dewa utama mereka. Mereka
mengembangkan tradisi Ganapatya,
seperti yang dapat disimak dalam
Ganeshapurana dan Mudgalapurana.

Masa penggubahan Ganeshapurana dan


Mudgalapurana (dan waktunya tidak
tetap antara satu sama lain) telah
mengobarkan perdebatan para sarjana.
Kedua-duanya berkembang dari waktu ke
waktu dan mengandung isi yang
bertumpuk-tumpuk. Anita Thapan
mengutarakan komentar tentang masa
penggubahan dan mengukuhkan
pendapatnya. "Sepertinya, mungkin
pokok-pokok isi dari Ganeshapurana
muncul sekitar abad keduabelas dan
ketigabelas", dia berkata, "namun
kemudian diberi sisipan."[73] Lawrence W.
Preston berpikir bahwa waktu yang
memungkinkan untuk penggubahan
Ganeshapurana antara tahun 1100 dan
1400, bersamaan dengan waktu
berdirinya tempat-tempat suci seperti
yang disebutkan dalam kitab itu.[74]

R.C. Hazra mengatakan bahwa


Mudgalapurana lebih tua daripada
Ganeshapurana, yang menurutnya
digubah pada tahun 1100 dan 1400.[75]
Tetapi, Phyllis Granoff menemukan
masalah terhadap waktu yang tidak tetap
ini dan berkesimpulan bahwa
Mudgalapurana adalah kitab filsafat
terakhir yang menyinggung masalah
Ganesa. Ia mengemukakan alasannya
berdasarkan sebuah fakta bahwa, di
antara bukti-bukti internal lainnya,
Mudgalapurana secara spesifik menyebut
Ganeshapurana sebagai salah satu dari
empat Purana (Brahma, Brahmanda,
Ganesha, dan Mudgalapurana) yang
menyinggung masalah Ganesa.[76]
Sementara isinya sudah usang, kitab itu
diberi sisipan sampai abad ke-17dan ke-
18, sehubungan dengan pemujaan
Ganapati yang menjadi penting dalam
wilayah tertentu.[77] Kitab lain yang
memuji Ganesa, yaitu Ganapati
Atharwashirsa, ada kemungkinan
digubah pada abad ke-16 atau ke-17.[78]

Di luar India dan agama


Hindu

Arca Ganesha dari Candi Banon (Museum Nasional)


Arca Ganesa dari marmer. Dibuat pada abad ke-5.
ditemukan di Gardez, Afganistan, sekarang di
Dargah Pir Rattan Nath, Kabul.

Hubungan dagang dan budaya telah


memperluas pengaruh India di Asia Barat
dan Tenggara. Ganesa adalah salah satu
dari banyaknya dewa-dewi Hindu yang
menjamah negeri asing sebagai
akibatnya.[79]

Ganesa khususnya disembah oleh para


pedagang dan rombongannya, yang pergi
ke luar India untuk malakukan hubungan
dagang. Periode dari sekitar abad ke-10
sampai seterusnya ditandai oleh
perkembangan jaringan-jaringan baru
terhadap hal pertukaran, pembentukan
serikat dagang, dan bangkitnya sirkulasi
keuangan. Selama masa ini, Ganesa
menjadi dewa utama yang dikaitkan
dengan para pedagang.[80] Tulisan paling
awal yang mengandung seruan kepada
Ganesa sebelum memanggil dewa-dewi
lainnya dikaitkan dengan komunitas
rombongan pedagang.[81]

Umat Hindu bermigrasi ke nusantara dan


membawa budaya mereka, termasuk
Ganesa, bersama mereka. Arca-arca
Ganesa ditemukan di sepanjang wilayah
Nusantara dalam jumlah yang banyak,
seringkali di samping kuil Siwa. Wujud
Ganesa didapati dalam kesenian Hindu
di Jawa, Bali, dan Kalimantan yang
menunjukkan pengaruh regional yang
spesifik.[82] Penyebaran budaya Hindu
secara perlahan-lahan ke Asia Tenggara
telah membuat wujud Ganesa
dimodifikasi di Burma, Kamboja, dan
Thailand. Di Indochina, agama Hindu dan
Buddha dijalankan dengan
berdampingan, dan pengaruh timbal balik
bisa dilihat dalam penggambaran
Ganesa di wilayah itu. Di Thailand,
Kamboja dan di Vietnam, Ganesa
terutama dianggap sebagai penyingkir
segala rintangan. Bahkan kini oleh umat
Buddha di Thailand, Ganesa dihormati
sebagai penyingkir segala rintangan,
atau dewa keberhasilan.[83]
Sebelum kedatangan Islam, Afganistan
memiliki ikatan budaya yang erat dengan
India, dan pemujaan terhadap dewa-dewi
Hindu maupun Buddha sama-sama
dijalankan. Beberapa contoh arca dari
abad ke-5 sampai abad ke-7 telah
bertahan, mencerminkan bahwa
pemujaan Ganesa adalah hal yang
populer di wilayah itu.[84]

Ganesa muncul dalam agama Buddha


Mahayana, tidak hanya dalam wujud
dewa Vināyaka dalam agama Buddha,
tetapi juga sebagai wujud raksasa
dengan nama yang sama.[85] Citranya
muncul dalam arca-arca agama Buddha
selama akhir masa kerajaan Gupta.
Sebagai dewa Vināyaka dalam agama
Buddha, ia seringkali digambarkan
sedang menari. Wujud ini, disebut Nṛtta
Ganapati, dan termasyhur di wilayah
India Utara, kemudian diadopsi di Nepal,
lalu di Tibet.[86] Di Nepal, wujud Ganesa
secara Hindu, dikenal sebagai Heramba,
sangat terkenal; ia memiliki lima kepala
dan menunggangi singa. Penggambaran
Ganesa di Tibet menunjukkan
pandangan yang bertentangan
terhadapnya.[87] Ganapati versi Tibet
adalah tshogs bdag.[88] Dalam versi Tibet,
Ganesa digambarkan sedang diinjak oleh
kaki Mahākāla, yaitu dewa bangsa Tibet
yang terkenal. Penggambaran lain
menampilkan wujudnya sebagai
pemusnah segala rintangan, kadangkala
dalam wujud sedang menari. Ganesa
muncul di Cina dan Jepang dalam wujud
yang menampilkan karakter wilayah yang
berbeda. Di Cina Utara, ada patung batu
dari zaman awal yang dikenal sebagai
Ganesa, disertai tulisan yang berangka
tahun 531.[84] Di Jepang, pemujaan
terhadap Ganesa pertama kali
disebutkan pada tahun 806.[89]

Sastra agama Jaina (Jainisme) tidak


menyebutkan adanya pemujaan terhadap
Ganesa. Namun, Ganesa dipuja oleh
banyak umat Jaina, muncul sebagai
pengambil alih fungsi Kubera.[90]
Hubungan Jaina dengan komunitas
perdagangan mendukung gagasan
bahwa Jainisme mengambil tradisi
pemujaan Ganesa sebagai akibat dari
hubungan perdagangan.[91] Patung
Ganesa tertua versi Jaina ditaksir berasal
dari abad ke-9.[92] Sebuah kitab Jaina
dari abad ke-15 memaparkan prosedur
untuk memasang citra Ganapati.[93] Citra
Ganesa muncul dalam kuil Jaina di
Rajasthan dan Gujarat.[94]
Arca Ganesa di candi Prambanan,
Indonesia.

Altar Ganesha dengan patung seukuran


manusia yang juga digunakan oleh umat
Hindu di Klenteng Sanggar Agung.

Galeri
Arca Ganesa di India.
Catatan kaki
1. ^ Martin-Dubost, hal. 311–320.
2. ^ Getty, hal. 5.
3. ^ Narain, A. K. "Gaṇeśa: The Idea and
the Icon" in Brown 1991, hal. 27
4. ^ For history of the development of
the gāṇapatya and their relationship
to the wide geographic dispersion of
Ganesha worship, see: Chapter 6,
"The Gāṇapatyas" in: Thapan (1997),
hal. 176–213.
5. ^ Narain, A. K. "Gaṇeśa: A
Protohistory of the Idea and the
Icon". Brown, hal. 21–22.
6. ^ For the derivation of the name and
relationship with the gaņas, see:
Martin-Dubost. hal. 2.
7. ^ a b Apte, hal. 395.
8. ^ Krishan hal. 6
9. ^ a b Thapan, hal. 20.
10. ^ Narain, A. K. "Gaṇeśa: The Idea and
the Icon". Brown, hal. 25.
11. ^ Thapan, hal. 62.
12. ^ Brown, hal. 175.
13. ^ See photograph 2, "Large Ganesh",
in: Pal, hal. 16.
14. ^ Martin-Dubost, hal. 197–198.
15. ^ Pal, hal. 41–64.
16. ^ "Ganesha in Indian Plastic Art" and
Passim. Nagar, hal. 101.
17. ^ Granoff, Phyllis. "Gaṇeśa as
Metaphor". Brown, hal. 91.
18. ^ For an inconographical chart
showing number of arms and
attributes classified by source and
named form, see: Nagar, hal. 191–
195. Appendix I.
19. ^ Krishan 1999, hal. 89
20. ^ Martin-Dubost, hal. 120.
21. ^ Martin-Dubost, hal. 202, For an
overview of snake images in
Ganesha iconography.
22. ^ "The Colors of Ganesha". Martin-
Dubost, hal. 221–230.
23. ^ Krishan, hal. 48, 89, 92.
24. ^ Maruti Nandan Tiwari and Kamal
Giri, "Images of Gaṇeśa In Jainism",
in: Brown, hal.101-102.
25. ^ A Student's Guide to AS Religious
Studies for the OCR Specification, by
Michael Wilcockson, pg.117.
26. ^ Krishan hal. 49–50.
27. ^ Martin-Dubost, hal. 231.
28. ^ Courtright, hal. 136.
29. ^ For Krishan's views on Ganesha's
dual nature see his quote: "Gaṇeśa
has a dual nature; as Vināyaka, as a
grāmadevatā, he is vighnakartā, and
as Gaṇeśa he is vighnahartā, a
paurāṇic devatā." Krishan, hal. viii.
30. ^ For Dhavilkar's views on Ganesha's
shifting role, see Dhavalikar, M. K.
"Gaṇeśa: Myth and reality" in Brown
1991, hal. 49
31. ^ Brown, hal. 6.
32. ^ Apte, hal. 703.
33. ^ Practical Sanskrit Dictionary By
Arthur Anthony MacDonell; hal. 187
(priya); Published 2004; Motilal
Banarsidass Publ; ISBN 81-208-2000-
2
34. ^ Krishan 1999; hal. 60-70 discusses
Ganesha as "Buddhi's Husband".
35. ^ Grimes, hal. 77.
36. ^ Chinmayananda, hal. 127. In
Chinmayananda's numbering system,
this is upamantra 8.
37. ^ For examples of both, see: Grimes,
hal. 79–80.
38. ^ a b Tantra Unveiled: Seducing the
Forces of Matter & Spirit By Rajmani
Tigunait; Contributor Deborah
Willoughby ; Published 1999;
Himalayan Institute Press; hal. 83;
ISBN 0-89389-158-4.
39. ^ Translation. Courtright, hal. 253.
40. ^ Gupta, hal. 38.
41. ^ Getty 1936, hal. 33. "According to
ancient tradition, Gaṇeśa was a
Brahmacārin, that is, an unmarried
deity; but legend gave him two
consorts, personifications of
Wisdom (Buddhi) and Success
(Siddhi)."
42. ^ For associations with Śarda and
Sarasvati and the identification of
those goddesses with one another,
see: Cohen, Lawrence, "The Wives of
Gaṇeśa", in: Brown 1991, hal. 131–
132.
43. ^ For associations with Lakshmi see:
Cohen, Lawrence, "The Wives of
Gaṇeśa", in: Brown 1991, hal. 132–
135.
44. ^ For discussion of the Kala Bo, see:
Cohen, Lawrence, "The Wives of
Gaṇeśa", in: Brown 1991, hal. 124–
125.
45. ^ Cohen, Lawrence. "The Wives of
Gaṇeśa". Brown, hal. 130.
46. ^ K.N. Somayaji, Concept of Ganesha,
hal. 1 as quoted in Krishan hal. 2-3
47. ^ Metcalf and Metcalf, hal. 150.
48. ^ Thapan, hal. 225. For Tilak's role in
converting the private family festivals
to a public event in support of Indian
nationalism.
49. ^ Brown (1991), hal. 9. For Ganesha's
appeal as "the god for Everyman" as
a motivation for Tilak.
50. ^ For Tilak as the first to use large
public images in maṇḍapas
(pavilions or tents) see: Thapan, hal.
225.
51. ^ Krishan hal. 92
52. ^ T.A.Gopinatha; Elements of Hindu
Iconography, pp 47-48 as quoted in
Krishan hal. 2
53. ^ Nagar, hal. 4.
54. ^ a b Narain, A. K. "Gaņeśa: A
Protohistory of the Idea and the
Icon", in: Brown, hal. 19.
55. ^ Thapan, hal. 75.
56. ^ Rocher, Ludo. "Gaņeśa's Rise to
Prominence in Sanskrit Literature".
Brown, hal. 70–72.
57. ^ Krishan, hal. vii.
58. ^ For a discussion of early depiction
of elephant-headed figures in art, see
Krishan 1981–1982, hal. 287–290 or
Krishna 1985, hal. 31–32
59. ^ Wilson, H. H. Ŗgveda Saṃhitā.
Sanskrit text, English translation,
notes, and index of verses. Parimal
Sanskrit Series No. 45. Volume II:
Maṇḍalas 2, 3, 4, 5. Second Revised
Edition; Edited and Revised by Ravi
Prakash Arya and K. L. Joshi.
(Parimal Publications: Delhi, 2001).
ISBN 81-7110-140-9 (Vol. II); ISBN
81-7110-138-7 (Set). RV 2.23.1
(2222) gaṇānāṃ tvā gaṇapatiṃ
havāmahe kaviṃ
kavīnāmupamaśravastamam |
2.23.1; "We invoke the
Brahmaṇaspati, chief leader of the
(heavenly) bands; a sage of sages."
60. ^ Nagar, hal. 3.
61. ^ Rocher, Ludo. "Gaņeśa's Rise to
Prominence in Sanskrit Literature".
Brown, hal. 69. Bṛhaspati is a variant
name for Brahamanaspati.
62. ^ For use of RV verses in recent
Ganapatya literature, see Rocher,
Ludo. "Gaņeśa's Rise to Prominence
in Sanskrit Literature" in Brown 1991,
hal. 70.
63. ^ For text of Maitrāyaṇīya Saṃhitā
2.9.1 and Taittirīya Āraṇyaka 10.1
and identification by Sāyaṇa in his
commentary on the āraṇyaka, see:
Rocher, Ludo, "Gaņeśa's Rise to
Prominence in Sanskrit Literature" in
Brown 1991, hal. 70.
64. ^ Heras, hal. 28.
65. ^ Krishan 1981–1982, hal. 290
66. ^ Krishan 1999, hal. 12–15. For
arguments documenting
interpolation into the Maitrāyaṇīya
Saṃhitā.
67. ^ Brown, hal. 4.
68. ^ Winternitz, Moriz. "Gaṇeśa in the
Mahābhārata". Journal of the Royal
Asiatic Society of Great Britain and
Ireland (1898:382). Citation provided
by Rocher, Ludo. "Gaņeśa's Rise to
Prominence in Sanskrit Literature".
Brown, hal. 80.
69. ^ For interpolations of the term
vināyaka see: Krishan 1999, hal. 29.
70. ^ For reference to Vighnakartṛīṇām
and translation as "Creator of
Obstacles", see: Krishan 1999, hal.
29.
71. ^ Brown, hal. 183.
72. ^ Krishan, hal. 103.
73. ^ For a review of major differences of
opinions between scholars on dating,
see: Thapan, hal. 30–33.
74. ^ Preston, Lawrence W., "Subregional
Religious Centers in the History of
Maharashtra: The Sites Sacred to
Gaṇeśa", in: N. K. Wagle, ed., Images
of Maharashtra: A Regional Profile of
India. hal. 103.
75. ^ R.C. Hazra, "The Gaṇeśa Purāṇa",
Journal of the Ganganatha Jha
Research Institute (1951);79–99.
R.C. Hazra, "The Gaṇeśa Purāṇa",
Journal of the Ganganatha Jha
Research Institute (1951);79–99.
76. ^ Phyllis Granoff, "Gaṇeśa as
Metaphor", in Brown, hal. 94–95, note
2.
77. ^ Thapan, hal. 30–33.
78. ^ Courtright, hal. 252.
79. ^ Nagar, hal. 175.
80. ^ Thapan, hal. 170.
81. ^ Thapan, hal. 152.
82. ^ Getty, hal. 55–66.
83. ^ Brown, hal. 182.
84. ^ a b Martin-Dubost, hal. 311.
85. ^ Getty, hal. 37–45.
86. ^ Getty, hal. 38.
87. ^ Nagar, hal. 185.
88. ^ Wayman, Alex (2006). Chanting the
Names of Manjushri. Motilal
Banarsidass Publishers: hal. 76 .
ISBN 81-208-1653-6
89. ^ Martin-Dubost, hal. 313.
90. ^ Thapan, hal. 157.
91. ^ Thapan, hal. 151, 158, 162, 164,
253.
92. ^ Krishan, hal. 122.
93. ^ Krishan, hal. 121.
94. ^ Thapan, hal. 158.

Referensi
Agrawala, Prithvi Kumar (1978),
Goddess Vināyakī: The Female Gaṇeśa,
Indian Civilization Series, Varanasi:
Prithivi Prakashan
Apte, Vaman Shivram (1965), The
Practical Sanskrit Dictionary, Delhi:
Motilal Banarsidass Publishers,
ISBN 81-208-0567-4 (fourth revised
and enlarged edition).
Avalon, Arthur (1933), Śāradā Tilaka
Tantram, Motilal Banarsidass
Publishers, ISBN 81-208-1338-3 (1993
reprint edition).
Bailey, Greg (1995), Ganeśapurāna:
Introduction, translation, notes and
index, Harrassowitz, ISBN 3-447-
03647-8
Bhattacharyya (Editor), Haridas (1956),
The Cultural Heritage of India, Calcutta:
The Ramakrishna Mission Institute of
Culture Four volumes.
Brown, Robert (1991), Ganesh: Studies
of an Asian God, Albany: State
University of New York, ISBN 0-7914-
0657-1
Chinmayananda, Swami (1987). Glory
of Ganesha. Bombay: Central
Chinmaya Mission Trust.
Courtright, Paul B. (1985), Gaṇeśa: Lord
of Obstacles, Lord of Beginnings, New
York: Oxford University Press,
ISBN ISBN 0-19-505742-2 Periksa nilai:
invalid character |isbn= (bantuan)
Danielou, Alain (1954), The meaning of
Ganapati, Madras: The Adyar Library
bulletin
Doniger, Wendy (1996), Merriam-
Webster's Encyclopedia of World
Religions, Merriam-Webster,
ISBN 0877790442
Flood, Gavin (1996), An Introduction to
Hinduism, Cambridge: Cambridge
University Press, ISBN 0-521-43878-0
Getty, Alice (1936), Gaņeśa: A
Monograph on the Elephant-Faced God
(edisi ke-1992 reprint), Oxford:
Clarendon Press, ISBN 81-215-0377-X
Periksa nilai: checksum |isbn=
(bantuan).
Grimes, John A. (1995), Ganapati: Song
of the Self, SUNY Series in Religious
Studies, Albany: State University of
New York Press, ISBN 0-7914-2440-5
Gupta, Shakti M. (1988), Karttikeya: The
Son of Shiva, Bombay: Somaiya
Publications Pvt. Ltd., ISBN 81-7039-
186-5
Heras, H. (1972), The Problem of
Ganapati, Delhi: Indological Book
House
Jansen, Eva Rudy (1993), The Book of
Hindu Imagery, Havelte, Holland:
Binkey Kok Publications BV, ISBN 90-
74597-07-6
Khokar, Ashish (2005), Ganesha-
Karttikeya, New Delhi: Rupa and Co,
ISBN 81-291-0776-7
Krishan, Yuvraj (1981–1982), "The
Origins of Gaṇeśa" , Artibus Asiae, 43
(4): 285–301, diakses tanggal 2007-
09-11
Krishan, Yuvraj (1999), Gaņeśa:
Unravelling An Enigma, Delhi: Motilal
Banarsidass Publishers, ISBN 81-208-
1413-4
Krishna, Murthy, K. (1985), Mythical
Animals in Indian Art, New Delhi:
Abhinav Publications,
ISBN 0391032879
Macdonell, Arthur Anthony (1996), A
Practical Sanskrit Dictionary,
Munshiram Monoharlal Publishers,
ISBN 81-215-0715-4
Martin-Dubost, Paul (1997), Gaņeśa:
The Enchanter of the Three Worlds,
Mumbai: Project for Indian Cultural
Studies, ISBN 81-900184-3-4
Mate, M. S. (1988), Temples and
Legends of Maharashtra, Bombay:
Bharatiya Vidya Bhavan
Metcalf, Thomas R., A Concise History
of India
Nagar, Shanti Lal (1992), The Cult of
Vinayaka, New Delhi: Intellectual
Publishing House, ISBN 81-7076-043-9
Periksa nilai: checksum |isbn=
(bantuan)
Oka, Krishnaji Govind (1913), The
Nāmalingānuśāsana (Amarakosha) of
Amarasimha: with the Commentary
(Amarakoshodghāṭana) of
Kshīrasvāmin (PDF), Poona: Law
Printing Press, diakses tanggal 2007-
09-14.
Pal, Pratapaditya (1995), Ganesh: The
Benevolent, Marg Publications,
ISBN 81-85026-31-9
Ramachandra Rao, S. K. (1992), The
Compendium on Gaņeśa, Delhi: Sri
Satguru Publications, ISBN 81-7030-
828-3
Saraswati, Swami Tattvavidananda
(2004), Gaṇapati Upaniṣad, Delhi: D. K.
Printworld Ltd., ISBN 81-246-0265-4
Śāstri Khiste, Baṭukanātha (1991),
Gaṇeśasahasranāmastotram: mūla
evaṁ srībhāskararāyakṛta ‘khadyota’
vārtika sahita, Vārāṇasī: Prācya
Prakāśana. Source text with a
commentary by Bhāskararāya in
Sanskrit.
Śāstri, Hargovinda (1978), Amarkoṣa
with Hindi commentary, Vārānasi:
Chowkhambā Sanskrit Series Office
Thapan, Anita Raina (1997),
Understanding Gaņapati: Insights into
the Dynamics of a Cult, New Delhi:
Manohar Publishers, ISBN 81-7304-
195-4
Wilson, H. H. (1990), Rgveda-Samhita,
Text in Devanagari, English translation
Notes and indices by H. H. Wilson, Ed.
W.F. Webster, New Delhi: Nag
Publishers,11A/U.A. Jawaharnagar

Pranala luar
Wikimedia Commons memiliki media
mengenai Ganesha.

(Inggris) Ganesh: Symbol and presence


(Inggris) Ganesha: The Elephant-faced
God

Diperoleh dari
"https://id.wikipedia.org/w/index.php?
title=Ganesa&oldid=15229383"

Terakhir disunting 4 bulan yang lalu oleh LaninBot

Konten tersedia di bawah CC BY-SA 3.0 kecuali


dinyatakan lain.

Anda mungkin juga menyukai