Anda di halaman 1dari 29

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ginjal (renal) merupakan organ terpenting dalam mempertahankan

homeostatis cairan tubuh secara baik. Beberapa fungsi ginjal untuk

mempertahankan homeostatis dengan mengatur volume cairan;

keseimbangan osmotik dan asam basa; ekskresi sisa metabolisme; sistem

pengaturan hormonal dan metabolisme. Penurunan progresif fungsi ginjal

dalam beberapa bulan atau bahkan tahun akan menyebabkan penyakit ginjal

akut yang apabila tidak segera ditangani akan menjadi penyait gagal ginjal

kronis.1,2

Gagal ginjal kronis (chronik kidney disease) merupakan kelainan

progresif yang terkait dengan beberapa komplikasi. Beberapa dari

komplikasi ini adalah akibat langsung konsekuensi dari hilangnya fungsi

ginjal seperti volume berlebih, hiperkalemia, hiperfosfatemia, asidosis

metabolik, kedua antara lain hiperparatiroidisme, anemia, dan hipertensi

serta merupakan hasil dari perawatan penyebab gagal ginjal kronis seperti

dalam kasus kemoterapi untuk glomerulonefritis. Kegagalan kinerja ginjal

akibat ketidaknormalan fungsi ginjal yang berlangsung lama menyebabkan

penyakit gagal ginjal kronis tahap akhir (end-stage renal disease) (ESRD).

ESRD adalah proses penurunan fungsi ginjal dapat berlangsung terus

selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun sampai ginjal tidak dapat

berfungsi sama sekali.3,4


Penyakit gagal ginjal kronis merupakan penyebab kematian yang

menempati urutan ke 27 pada tahun 1990, meningkat menjadi urutan ke 16

pada tahun 2017 dan diperkirakan akan terus meningkat pada tahun 2040

menjadi urutan ke 5 menurut data dari Global Burden of Disease tahun

2017. Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018

prevalensi penyakit ginjal kronis naik dari 2% (Riskesdas 2013) menjadi

3,8% dan tercatat pasien aktif menjalani dialisis sebesar 19,3 %. Pada data

IRR (Program Perhimpunan Nefrologi Indonesia) 2017 provinsi Jawa

Tengah tercatat kurang lebih 2488 pasien baru dari jumlah pasien aktif

sebanyak 77.892 pasien.Sedangkan pasien penyakit gagal ginjal kronis yang

menjalani hemodialisis selama tahun 2015 tercatat sebanyak 1.243 orang

meninggal dunia dengan lama hidup dengan HD 1-317 bulan.2,5

Gagal ginjal kronis akan menyebabkan komplikasi diantaranya yaitu

hiperkalemia, hipertensi, anemia, penyakit tulang, perikarditis, efusi

perikardium dan tamponade jantung. Tindakan medis yang dapat dilakukan

pada penderita gagal ginjal kronis tahap akhir adalah hemodialisa,

peritoneal dialisis dan transplantasi ginjal. Hemodialisis merupakan suatu

proses untuk yang digunakan untuk mengeluarkan cairan dan produk limbah

dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu melaksanakan fungsi tersebut.

Tujuan hemodialysis adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen yang toksik

dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan (Brunner

&Suddarth, 2002). Data IRR tahun 2015 tercatat 30.554 pasien dengan

gagal ginjal kronis aktif menjalani hemodialisa. Masalah yang harus


diwaspadai saat pasien menjalani hemodialisa adalah peningkatan berat

badan antar waktu dialis atau disebut Interdialytic Weigth Gain (IDWG).

Penambahan berat badan dua sesi hemodialysa yang tinggi terkait dengan

tingkat ultrafiltrasi akan menyebabkan komplikasi kasdiovaskuler. Tingkat

ultrafiltrasi (UFR) yaitu tingkat cairan yang dihilangkan selama dialisis.

Ultrafiltrasi diperlukan untuk mempertahankan dan mengontrol volume

(keseimbangan garam dan air), tetapi secara bersamaan juga terjadi

pergeseran cairan non-fisiologis dan ketidakstabilan hemodinamik.UFR

yang tinggi dikaitkan dengan penambahan berat badan atau disebut

interdialytic weight gain (IDWG) dan sesi hemodialysa yang pendek.2,6,7,8

Adanya kenaikan berat badan 1 kilogram sama dengan satu liter air

yang dikonsumsi pasien. Kenaikan berat badan antar sesi hemodialisis yang

dianjurkan yaitu antara 2,5 % sampai 3,5 % dari berat badan kering.

Peningkatan IDWG yang melebihi 5 % dari berat badan kering dapat

menyebabkan berbagai macam komplikasi antara lain hipertensi dan gagal

jantung kongestif.Ada dua pilihan untuk meminimalkan penambahan berat

badan dalam praktek klinis saat ini: (1) membatasi asupan cairan pasien dan

(2) memperpanjang waktu dialisis. Kelebihan IDWG dapat dicegah dengan

pemasukan cairan tiap hari 500 – 750 ml dalam situasi produksi urin

kering. Pemasukan natrium 80 – 110 mmol tiap hari, akan cukup untuk

mengontrol haus dan membantu pasien mengatur cairan.8,9

Pembatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronis, sangat

perlu dilakukan. Air yang masuk ke dalam tubuh dibuat seimbang dengan
air yang keluar, baik melalui urin maupun insensible water loss. Dengan Commented [L1]: Italic/cetak miring

berasumsi bahwa air yang keluar melalui insensible water loss antara 500-

800 ml/hari (sesuai dengan luas permukaan tubuh), maka air yang masuk

dianjurkan 500- 800 ml ditambah jumlah urin.10

Upaya yang dapat dilakukan untuk pembatasan cairan adalah dengan

meningkatkan pengetahuan pasien tentang pentingnya pengaturan cairan.

Salah satu teori pembelajaran untuk edukasi yang menggunakan

pendekatan interpersonal pada pasien adalah Theori of Planned Behaviour

(TPB) atau teori perilaku terencana. Teori ini dikembangkan oleh Ajzen

tahun 1967 yang mencakup tiga hal yaitu keyakinan tentang kemungkinan

hasil dan evaluasi dari perilaku tersebut (behavioural beliefs), keyakinan

tentang norma yang diharapkan dan motivasi untuk memenuhi harapan

tersebut (normative beliefs), serta keyakinan tentang adanya faktor yang

dapat mendukung atau menghalangi perilaku dan kesadaran akan kekuatan

faktor tersebut (control belief). Pemberian edukasi dengan Teori of

Planned Behaviour (TPB) dikatakan efektif diberikan kepada pasien yang

menjalani hemodialisa karena memadukan ketiga faktor tersebut, sehingga

diharapkan menghasilkan intensi perilaku (behaviour intention). Secara

umum masyarakat kita masih memegang teguh nilai yang baik dan berlaku

dimasyarakat, apabila sikap dan norma subyektif menunjukkan ke arah

positif serta semakin kuat kontrol yang dimiliki maka akan lebih besar

kemungkinan seseorang akan cenderung melakukan perilaku pembatasan

cairan tersebut. Pemberian edukasi pada penderita gagal ginjal kronis yang
menjalani hemodialisa dengan melakukan penguatan pada tiga dasar

keyakinan dari Teori of Planned Behaviour (TPB) yaitu behavioural

beliefs, normative beliefs, serta control beliefs yang diharapkan dapat

memberikan keyakinan, niat untuk menerima kondisi sehingga edukasi

dapat diterima dan direspon dengan baik.7.11

Berdasarkan hasil penelitian dari Irma Mustika Sari dan Eska Dwi

Prajayanti pada tahun 2017 yaitu mengenai Aplikasi Teori Of Planned

Behaviour Terhadap Nilai Interdialytic Weight Gain (IDWG) Pasien

Hemodialisa. Hasil analisis dapat diketahui bahwa pada kelompok

intervensi terdapat perbedaan secara signifikan nilai IDWG sebelum dan

sesudah diberikan edukasi dengan menggunakan aplikasi Theory of Planned

Behaviour yaitu nilai p value 0,001. Kesimpulan dari penelitian ini adalah Commented [L2]: Coba tuliskan saja hasil secara detail,
lihat di hasil penelitian. Misalkan turun dari 3 menjadi 2,1 pada
kelompok intervensi dan …..pada kelompok kontrol
bahwa edukasi berlandaskan Theory of Planned Behaviour dapat digunakan

untuk menurunkan nilai Interdialytic Weight Gain (IDWG) pasien

hemodialisa di Unit Hemodialisa RSUD Panembahan Senopati Bantul.

Penelitian dari M Wahyu Purnomo, AH Yusuf dan Yanis Kartini juga

menunjukkan hasil analisis yang sama yaitu menunjukkan bahwa nilai

IDWG dari kelompok intervensi dihasilkan selisih mean 1.750 (p=0.001),

dan kelompok control dihasilkan selisih mean -2.400 (p=0.000) Commented [L3]: Coba lihat selisih meannya itu dari
sebelum berapa dan sesuadah berapa?

menunjukkan bahwa didapatkan pengaruh edukasi kesehatan berbasis

Theory of Planned Behavior terhadap penurunan nilai Interdialytic Weight

Gain (IDWG) dan kecemasan pasien hemodialisa di Rumah Sakit Islam

Jemursari Surabaya.
Dari uraian tentang penelitian yang dilakukan irma mustika sari dan

Eska Dwi Prajayanti pada tahun 2017 sehingga penulis tertarik untuk

melakukan penerapan tentang studi kasus yang berjudul “Penerapan Edukasi

Kesehatan Berbasis Theory Of Planned Behavior Terhadap Penurunan Nilai Commented [L4]: dalam

Interdialiytic Weight Gain (IDWG) Pada Pasien Hemodialisa”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis merumuskan masalah

pada penelitian ini adalah “Penerapan Edukasi Kesehatan Berbasis Theory Commented [L5]: Bagaimana penerapan

Of Planned Behavior Terhadap Penurunan Nilai Interdialiytic Weight Gain

(IDWG) Pada Pasien Hemodialisa?”

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan edukasi

kesehatan berbasis Theory of Planned Behaviour tentang asupan cairan

terhadap penurunan nilai Interdialytic Weight Gain (IDWG) pada pasien

hemodialisa.

D. Manfaat Penelitian Commented [L6]: Sesuaikan dengan buku pedoman,


manfaat ini diperuntukkan untuk siapa saja

1. Bagi masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi

dan mengantisipasi dampak dari penambahan berat badan di antara dua

waktu hemodialisis pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani

hemodialisa.
2. Bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

Penelitian ini dapat menambah kepustakaan yang berkaitan

dengan edukasi dengan menggunakan pendekatan Theory of Planned

Behaviour tentang asupan cairan pada pasien gagal ginjal kronis yang

menjalani hemodialisa.

3. Bagi penulis

Memperoleh pengalaman dan pengaplikasikan hasil penelitian

keperawatan khususnya studi kasus mengenai penerapan edukasi

dengan menggunakan pendekatan Theory of Planned Behaviour tentang

asupan cairan pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani

hemodialisa.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Teori Gagal Ginjal

1. Definisi

Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan

penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang

memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau

transplantasi ginjal. Penyakit ginjal kronis merupakan suatu proses

patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan

penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir

dengan gagal ginjal. Pada tahap ini ginjal sudah tidak mampu

mempertahankan metabolisme, keseimbangan cairan dan elektrolit

serta dapat mengarah kepada kematian.6,10

2. Etiologi

Gagal ginjal ronis sering kali menjadi penyakit komplikasi dari

penyakit lainya, sehingga merupakan penyakit sekunder (secondary

illness). Penyebab yang sering adalah diabetus melitus dan hipertensi.

Selain itu ada beberapa penyebab lainnya dari gagal ginjal kronis,

yaitu :

a. Penyakit glomerular kritis (glomerulonefritis)

b. Infeksi kronis (pyelonefritis kronis, tuberkulosis)


c. Kelainan kongenital (renal nephrolithisis)

d. Obstruksi saluran kemih (nephrolithisis)

e. Penyakit kolagen (systemic lupus erythematosus)

f. Obar-obaran nefrotoksik (aminoglikosida) 14

3. Patofisiologi

Patofisiologi penyakit ginjal kronis pada awalnya tergantung

pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan

selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan

massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional

nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya

kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin

dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi,

yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah

glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti

oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa.13

Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang

progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya

peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal,

ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis

dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis rennin-

angiotansin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor

seperti transforming growthfactor P (TGF-p). Beberapa hal yang juga


dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal

kronis adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia.

Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan

fibroisis glomerulus maupun tubulointerstitial. 13

Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronis, terjadi

kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan dimana

basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara

perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang

progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin

serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum

merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan

kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai

terjadi keluhan pada pasien seperti, nokturia, badan lemah, mual,

nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di

bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang

nyata seperti, anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan

metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain

sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi

salurankemih infeksi salurannapas, maupun infeksi saluran cerna.

Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau

hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium

dan kalium. Pada LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan

komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi


pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau

tansplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada

stadium gagal ginjal.13

4. Manifestasi Klinik

Manifestasi yang timbul antara lain sebagai berikut:12

a. Kardiovaskuler

1) Hipertensi

2) Pitting edema

3) Edema periorbital

4) Pembesaran vena leher

5) Friction rub perikardial

b. Pulmoner

1) Krekels

2) Nafas dangkal

3) Kusmaul

4) Sputum kental dan liat

c. Gastrointestinal

1) Anoreksia, mual dan muntah

2) Perdarahan saluran GI

3) Ulserasi dan perdarahan pada mulut

4) Konstipasi / diare dan nafas berbau amonia

d. Muskuloskeletal
1) Kram otot

2) Kehilangan kekuatan otot

3) Fraktur tulang

4) Foot drop

e. Integumen

1) Warna kulit abu-abu mengkilat

2) Kulit kering, bersisik

3) Pruritus

4) Ekimosis

5) Kuku tipis dan rapuh

6) Rambut tipis dan kasar

f. Reproduksi

1) Amonere

2) Atrofi testis

5. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan untuk menegakkan

diagnosa gagal ginjal kronis yaitu:14

a. Biokimiawi

Pemeriksaan utama dari analisa fungsi ginjal adalah ureum

dan kreatinin plasma. Untuk hasil yang lebih akurat untuk

mengetahui fungsi ginajal adalah denagan analisa klirens

kreatinin (creatinin clereance). Selain pemeriksaan fungsi ginjal,


pemeriksaan kadar elektrolit juga harus dilakukan untuk

mengetahui status keseimbangan elektrolit dalam tubuh sebagai

bentuk kinerja ginjal.

b. Urinalisis

Urinalisis dilaukan untuk manapis ada tidaknya infeksi pada

ginjal atau ada tidaknya perdarahan aktif akibat inflamasi pada

jaringan parenkim ginjal.

c. Ultrasonografi Ginjal

Gambaran (imaging) dari ultrasonografi akan mrmberikan

informasi yang mendukung untuk menegakkan diagnosis gagal

ginjal. Pada klien gagl ginjal biasanya menunjukkan adanya

obstruksi atau jaringan parut pada ginjal. Selain itu, ukurn dari

ginajl akan terlihat.

6. Komplikasi

Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari penyakit gagal ginjal

kronis adalah:14

a. Penyakit tulang

Penurunan kadar kalsium (hipokalsemia) secar langsung

akan mengakibatkan dekalsifikasi matriks tulang, sehingga tulang

akan menjadi rapuh (osteoporosis) dan jika berlangsung lama

akan mengakibatkan fraktur pathologis.

b. Penyakit kardiovaskuler
Ginjal sebagai kontrol sirulasi sistemik akan berdampa

secara sistemik berupa hipertensi, kelainan lipid, intoleransi

glukosa, dan kelainan hemodinamik (sering terjadi hipertrofi

ventrikrl kiri).

c. Anemia

Selain berfungsi dalam sirkulasi, ginjal juga berfungsi

dalam rangkaian hormonal (endokrin). Sekresi eritropoetin yang

mengalami defisiensi di ginjal akan mengakibatkan penurunan

hemoglobin.

d. Disfungsi seksual

Dengan gangguan sirkulasi pada ginjal, maka libido sering

mengalami penurunan dan terjadi impotensi pada pria. Pada

wanita dapat terjadi hiperprolaktinemia.

7. Penatalaksanaan

a. Obat-obatan

Antihipertensi, suplemen besi, agen pengikat fosfat,

suplemen kalsium, furosemid (membantu berkemih), tranfusi

darah.

b. Intake cairan dan Makanan

1) Minum yang cukup dengan rekomendasi asupan cairan

sebesar 750 – 1.000mL + jumlah protein yang diekskresi

(urine output/UOP), namun tidak boleh lebih dari

1.500mL/hari, termasuk yang berasal dari makanan.16


2) Pengaturan diet rendah protein (0,4-0,8 gram/kg BB) bisa

memperlambat perkembangan gagal ginjal kronis, Tambahan

vitamin B dan C diberikan jika penderita menjalani diet ketat

atau menjalani dialisa, asupan garam biasanya tidak dibatasi

kecuali jika terjadi edema (penimbunan cairan di dalam

jaringan) atau hipertensi, pada penderita gagal ginjal kronis

biasanya kadar trigliserida dalam darah tinggi. Hal ini akan

meningkatkan komplikasi, seperti stroke dan serangan

jantung. Kadar fosfat dalam darah dikendalikan dengan

membatasi asupan makanan kaya fosfat (misalnya produk

olahan susu, hati, polong, kacang-kacangan dan minuman

ringan. Makanan kaya kalium harus dihindari. Hiperkalemia

(tingginya kadar kalium dalam darah) sangat berbahaya

karena meningkatkan risiko terjadinya gangguan irama

jantung cardiac arrest. Jika kadar kalium terlalu tinggi maka

diberikan natrium polisteren sulfonat untuk mengikat kalium

sehingga kalium dapat dibuang bersama tinja. 15,16

B. Konsep Dasar (Theory of Planned Behaviour)

Proses edukasi dapat dilakukan perawat dengan menggunakan teori

pembelajaran. Ada berbagai teori tentang bagaimana orang belajar. Berikut

ini akan dibahas terkait dengan teori pembelajaran yang dapat digunakan

dalam keperawatan yaitu Theory of Planned Behaviour.11


Teori ini berawal dari ketertarikan dua orang profesor dalam bidang

psikologi sosial terhadap peran sikap dalam mempengaruhi perilaku. Icek

Ajzen adalah seorang profesor psikologi yang telah banyak menulis artikel

dan buku, dan salah satunya adalah menulis teori yang mendasari

seseorang dalammengambil perilaku yaitu Theory of Reasoned Action

(TRA) yang dikembangkannya pada tahun 1967, kemudian teori tersebut

berkembang dan dilakukan perbaikan. Teori tentang perilaku ini

dimodifikasi oleh Ajzen (1988) dan dinamai Teori Perilaku Terencana

(Theory of Planned Behaviour). 11

Inti teori ini mencakup tiga hal yaitu keyakinan tentang

kemungkinan hasil dan evaluasi dari perilaku tersebut (behavioural belief),

keyakinan tentang norma yang diharapkan dan motivasi untuk memenuhi

harapan tersebut (normative belief), serta keyakinan tentang adanya faktor

yang dapat mendukung atau menghalangi perilaku dan kesadaran akan

kekuatan faktor tersebut (control belief). Behavioural beliefs menghasilkan

sikap suka atau tidak suka berdasarkan perilaku individu tersebut (attitude

toward the behaviour). Normative beliefs menghasilkan kesadaran akan

tekanan dari lingkungan sosial dan norma subyektif (subjective norm),

sedangkan control beliefs menimbulkan kontrol terhadap perilaku tersebut

(perceived behavioural control). Dalam perpaduannya, ketiga faktor

tersebut menghasilkan intensi perilaku (behaviour intention). Secara

umum, apabila sikap dan norma subyektif menunjukkan ke arah positif

serta semakin kuat kontrol yang dimiliki maka akan lebih besar
kemungkinan seseorang akan cenderung melakukan perilaku tersebut.11

Faktor-faktor yang mempengaruhi intention terdiri atas faktor

personal yaitu sikap umum terhadap seseorang terhadap sesuatu, sifat

kepribadian (personality traits), nilai hidup (values), emosi dan kecerdasan

yang dimilikinya. Faktor yang kedua adalah faktor sosial antara lain usia,

jenis kelamin (gender), etnis, pendidikan, penghasilan, dan agama, dan

terakhir faktor yang ketiga adalah faktor informasi.17

Teori ini digunakan untuk mempelajari perilaku manusia dan untuk

mengembangkan intervensi-intervensi yang lebih tepat. Teori ini dapat

diaplikasikan ke semua bidang termasuk kesehatan. Penelitian yang pernah

dilakukan antara lain oleh Higgins & Marcun (2005) yang meneliti apakah

TPB dapat menjadi mediasi untuk mengatasi rendahnya kontrol diri dari

pengguna alkohol, kemudian penelitian dari McMillan, Higgins & Corner,

2005 dalam Sharma & Kanekar (2007) yang meneliti bahwa sikap, norma

subyektif, dan perceived behavioural control dapat mempengaruhi

perilaku merokok pada anak sekolah. Penelitian penerapan TPB juga

dilakukan oleh Rashidian & Rusel (2012) bahwa penggunaan TPB sangat

membantu dalam niat (intention) dalam memahami resep dokter, hal ini

dapat membantu dalam mempromosikan penggunaan profilaksis

kortikosteroid inhaler dan mencegah gejala asma kronis dan efek

sampingnya.11

Theory of Planned Behaviour (TPB) didasarkan pada asumsi bahwa

manusia adalah makhluk yang rasional dan menggunakan informasi-


informasi yang diperlukan dengan sistematis. Orang memikirkan implikasi

dari tindakan yang sudah dilakukan dan memutuskan untuk melakukan

atau tidak melakukan perilaku-perilaku tertentu.11

C. Konsep Theory Of Planned Behaviour Management Pada Pasien

Hemodialisa

D. Konsep Teori Interdialytic Weight Gain (IDWG)

1. Definisi

2. Komplikasi

3. Pengukuran Interdialytic Weight Gain (IDWG)

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi IDWG Commented [L7]: lanjutkan

E. Konsep Teori Hemodialisa

1. Definisi Hemodialisa

Hemodialisis berasal dari kata hemo yang berarti darah dan

dialisa yang artinya memisahkan. Jadi hemodialisis adalah Suatu

proses pemisahan darah dari zat anorganik/toksik/sisa metabolisme

melalui membran semipermiabel dimana darah disisi ruang lain dan

cairan dialisat disisi ruang lainnya. Hemodialisis merupakan suatu

proses untuk yang digunakan untuk mengeluarkan cairan dan produk

limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu melaksanakan

fungsi tersebut.8

2. Tujuan Hemodialisa

Tujuan hemodialysis adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen

yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan.8
3. Indikasi Hemodialisa

Hemodialisis dilakukan jika gagal ginjal menyebabkan beberapa

ondisi, seperti ensefalopati uremik, perikarditis, asidosis yang tidak

memberikan respons terhadap pengobatan lainya, gagal jantung dan

hiperkalemia. Hemodialisis juga digunakan pasien dalam keadaan

sakit akut yaitu pasien yang memerlukan dialisis jangka pendek

(beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit

ginjal stadium terminal yang membutuhkan terapi jangka panjang atau

terapi permanen.8,18

4. KontraIndikasi

a. Hipertensi berat (TD > 200/100 mmHg)

b. Hipotensi ( TD < 100 mmHg)

c. Adanya perdarahan hebat

d. Demam tinggi.19

5. Komplikasi

a. Hipotensi

Hipotensi merupakan komplikasi yang paling sering terjadi.

Jika terjadi hipotensi berilah bolus 50-100ml cairan fisiologis.

dan/atau diturunkan atau dihentikan ultrafiltrasi. Lakukan

penilaian ulang, hindari pemberian obat anti hipertensi sebelum

dialisis. Dapat digunakan ultrafiltrasi dan/atau sodium profiling.

Cairan dialisat dengan suhu yang rendah. Hindari makanan


selama dialisis dan batasi peningkatan berat badan selama

dialisis.10

b. Keram

Kemungkinan berhubungan dengan adanya perubahan

perfusi otot. Pengobatannya sama dengan hipotensi yang terjadi

selama dialisis.10

c. Dialisis disequilibrium syndrome

Kadar urea dalam darah berkurang terlalu cepat sehingga

dapat menyebabkan edem serebri dengan manifestasi klinis sakit

kepala, muntah, disorientasi, fits, koma bahkan kematian. Proses

pengeluaran urea dilakukan perlahan-lahan dan berikan 0.5-

1g/kg/dosis iv atau fenobarbiton 3-5mg/kg/dosis iv sebagai

profilaksis.10

d. Reaksi yang disebabkan dialiser

Reaksi yang disebabkan dialiser terjadi karena bio-

incompatibility. Reaksi anafilaksis (tipe A), biasanya terjadi

dalam menit-menit pertama dialisis, dengan manifestasi klinis

dispnea, nyeri dada bahkan kolaps dan henti jantung. Reaksi non

spesifik (tipe B), biasanya ditandai dengan nyeri punggung dan

nyeri dada yang terjadi selama menit-menit pertama sampai

beberapa jam setelah dialisis dimulai, biasanya bersifat ringan dan

dialisis dapat dilanjutkan.10


6. Prinsip Hemodialisa

Seperti pada ginjal, ada tiga prinsip yang mendasari kerja

hemodialisis, yaitu: difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi.

a. Proses difusi adalah proses berpindahnya zat karena adanya

perbedaan kadar di dalam darah, makin banyak yang berpindah ke

dialisat.

b. Proses osmosis adalah proses berpindahnya air karena tenaga

kimiawi yaitu perbedaan osmolaritas dan dialisat.

c. Proses ultrafiltrasi adalah proses berpindahnya zat dan air karena

perbedaan hidrostatik di dalam darah dan dialisat.

Luas permukaan membran dan daya saring membran

mempengaruhi jumlah zat dan air yang berpindah. Pada saat dialisis,

pasien dialiser dan rendaman dialisat memrlukan pemantauan yang

konstan untuk mendeteksi berbagai komplikasi yang dapat terjadi.18

7. Akses pembuluh darah

Terdapat tiga tipe akses pernbuluh darah:

a. Akses pembuluh darah dengan kateter permanen (cuffed):

lebih banyak digunakan untuk anak kecil, kateter dapat bertahan

selama 1-2 tahun. Kateter uncuffed: biasanya digunakan pada

HD yang sementara (untuk 3-4 minggu). Terdapat ukuran-

ukuran kateter yang direkomendasikan berdasarkan umur. Tempat

untuk pemasangan kateter biasanya di vena jugular intema, vena

subklavia atau vena femoral (vena jugular interna kanan lebih


sering digunakan karena memiliki risiko lebih rendah ilntuk

terjadinya stenosis).10

b. Fistula arterio-venous (AVF): tempat pemasangan di radial

cephalic (pergelangan tangan), brachial-cephalic (siku),

transposisi brachial-basilic (siku). Proses pemasangan ini

memerlukan waktu 2-4 bulan untuk dapat digunakan. Hampir 30-

40% AVF gagal untuk dapat digunakan pada anak kecil, sehingga

lebih sering digunakan pada anak yang lebih besar dan remaja.

Efek lainnya adalah dapat terjadi aneurisma pada penggunaan

jangka panjang, dapat menyebabkan kerusakan kulit.10

c. Synthetic grafts: biasanya terbuat dari polytetrafluroethylene

(PTFE) atau teflon. Materi ini memiliki pori-pori sehingga dapat

terjadi pertumbuhan fibroblas dan penggabungan dari graft

dengan jaringan subkutan. Tempatnya berada di forearm loops,

linear radio-cephalic forearm grafts, upper-arm bops. Graft ini

dapat digunakan setelah 1-2 minggu pemasangan. Risiko

terjadinya infeksi dan trombosis tinggi, demikian juga halnya

dengan risiko terjadinya stenosis pada anastomosis.10

8. Peralatan

Saat ini telah tersedia di pasaran berbagai macam peralatan

HD yang dihuat oleh perusahaan yang berbeda. Peralatan tersebut

adalah:
a. Dialiser adalah suatu alat berupa tabung atau lempeng, terdiri

dari kompartemen darah dan kompartemen dialisat yang

dibatasi oleh membrane semipermeabel. Dialiser yang biasa

digunakan pada anak adalah tipe hollow fiber dan paralel plate

dialiser. Hollow fiber lebih sering digunakan karena dapat lebih

mudah memprediksi klirens dan dapat mudah dibersihkan dan

diprose ulang. Memiliki membran selulosa, atau selulosa yang

dimodifikasi/sintetik. Volume priming 30 sampai 140 ml, dengan

luas permukaan antara 0,5 sampai 2,1 m2, ultraciltrationrate

coefficient (Kuf) 2,5 sampai 60 ml/jam/mmHg. Dialiser mass

transfer area coefficient (KoA) urea 200 sampai 1100, sterilisasi:

dengan menggunakan gamma irradiation, ethylene oxide atau

penguapan. Volume awal berbeda pada neonatus 25 ml atau anak

75 ml dan dewasa 127 ml.10

b. Mesin HD terdiri dari pemanas,pompa darah, detektor udara,

detektor kebocoran darah, monitor tekanan, suhu dan aliran, alat

otomatis pengontrol volume ultrafiltrasi, dan jalur darah tunggal.

Mesin HD anak harus memiliki pompa darah yang dapt mengatur

aliran darah secara akurat, serta pengontrol ultrafiltrasi yang tepat

untuk mencegah kehilangan cairan vaskuler yang terlalu cepat.10

c. Water treatment atau air diperlukan untuk menghasilkan dialisat,

harus memiliki komposisi biokimia yang tepat dan bebas dari

kontaminasi mikrobiologi. Oleh karena itu air perlu diperlakukan


sebaik mungkin dengan menggunakan water treatment system.

Water treatment system terdiri dari:

1) Mikrofilter untuk mengeluarkan lumpur/kotoran, pasir, karat

dan zat lain dengan berat molekul yang kecil.

2) Filter pembersih zat besi dan pasir untuk mengeluarkan zat

besi dan pasir.

3) Filter charcoal untuk mengeluarkan klorin, kloramin dan

materi organik lain, dan untuk mencegah pembentukan

nitrosamine.

4) Water softener untuk mengeluarkan kalsium dan magnesium

dengan cara regenerasi dengan sodium klorida, dan

mencegah hard water syndrome (mual dan muntah, sakit

kepala dan lelah).

5) Reverse osmosis unit untuk mengeluarkan lebih dari 90% zat.

Sistem ini diperlukan untuk proses pembersihan kuman dan

pemeriksaan kadar endotoksin dan jumlah bakteri secara

teratur.10

d. Cairan dialisat dipersiapkan dengan mencampurkan konsentrasi

elektrolit dan cairan yang sifatnya khusus. Asetat diketahui

bersifat vasodilator dan dapat menyebabkan hipotensi. Dialisis

bikarbonat telah menjadi cairan standar dibanding dengan laktat

pada HD. Hal ini untuk menghindarkan terjadinya penumpukan

cairan berlebih pada hati dan terjadinya ketidakstabilan pembuluh


darah. Biasanya menggunakan cairan dialisat rendah kalsium

(1.25mmol/L). Buffer bikarbonat merupakan bufet yang tersering

digunakan, dengan keadaan hemodinamik tidak stabil. Bufer

asetat dapat digunakan pada pasien.10

9. Prosedur Hemodialisa

Ada 3 unsur penting untuk sirkuit Hemodialisa:

a. Sirkulasi darah

Darah klien mengalir darah dari jarum/kanul arteri dengan

pompa darah (200-250 ml/mnt) ke kompartemen darah ginjal

buatan kemudian mengembalikan darah melalui vena yang

letaknya proksimal) terhadap jarum arteri , sirkuit darah punya 3

monitor: tekanan arteri, tekanan vena dan detektor gelembung

udara.

b. Sirkuit dialisat/cairan

Cairan yang terdiri dari air, elektrolit Air → bersih, bebas

dari elekrolit, mikroorganisme atau bahan asing lain → perlu

diolah dengan berbagai cara. Konsentrat dialisat berisi komposisi

elektrolit:

1) Na + : 135-145 meq/l

2) K+ : 0 – 4,0 meq/l

3) Cl : 90-112

4) Ca : 2,5- 3,5 meq/l

5) Mg : 0,5 – 2,0 meq/l


6) Dext 5% : 0 – 2,0 meq/l

7) Acetat/ bicarbonat : 33-45

10. Prosedur pelaksanaan Hemodialisa

11. Intrepretasi Hasil


BAB II

METODE DAN STUDI KASUS

A. Rancangan Studi Kasus

B. Subjek Studi Kasus

C. Fokus Studi

D. Definisi Operasional Studi Kasus

E. Instrumen Studi Kasus

F. Metode Pengumpulan Data

G. Lokasi dan Waktu Studi Kasus

H. Analisis Data dan Penyajian Data

I. Etika Studi Kasus


96

DAFTAR PUSTAKA

1. Syaifuddin.Buku Ajar Ilmu Biomedik Dasar Untuk Mahasiswa Keperawatan.

Jakarta: Penerbit Salemba Medika. 2016.

2. Pusat Data Dan Informasi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Situasi

Penyakit Ginjal Kronis. 2017; 2-9.

3. Jonathan, Himmelfarb, Mohamed H. Sayegh. Chronic kidney disease,

dialysis, and transplantation : companion to Brenner & Rector’s the kidney

/3rd ed. Philadelphia: Penerbit Elsevier. 2010;

4. Nursalam, Batticaca, Fransisca B. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan

Gangguan Sistem Perkemihan. Jakaeta: Penerbit Salemba Medika. 2009.

5. Tedros, Murray. Global Burden Of Disease Study. United States of America.

2017

6. Padila. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta; Penerbit Nuha

Medika. 2012; 251

7. Mustikasari, Irma,et al.Aplikasi Theory Of Planned Behaviour Terhadap

Nilai Interdialytic Weight Gain (Idwg) Pasien Hemodialisa.2016

8. Isroin, Laily. Management Cairan Pada Pasien Hemodialisis Untuk

Meningkatkan Kualitas Hidup. Ponorogo: Penerbit Unmuh Ponorogo Press.

2016

9. Mustikasari, Irma, et al. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Nilai

Interdialytic Weight Gain Pasien Hemodialisa Di Rsud Panembahan

Senopati Bantul.2017

10. Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K et al. Kompendium Nefrologi Anak.
Jakarta: IDAI; 2011: 207-239

11. Ajzen, I., & Fishbein, M. Theory Based Behaviour Change Interventions :

comments on hobbis and Sutton. Journal of Health Psychology. Vol. 10.

No.1. 2016; 27-31

12. Purwanto, Hadi. Keperawatan Medical Bedah II. Jakarta: BPPSDMK

Kemenkes RI. 2016

13. Sudoyo A W, Setyohadi B, Alwi I Dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.

Jilid. II Edisi V. Jakarta: Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit

Dalam. 2009:1035-1053

14. Eko P, Andi E P. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Sistem Perkemihan.

Yogyakarta: Nuha Medika. 2014:196-206

15. Haryono, Rudi. Keperawatan Medikal Bedah : Sistem Perkemihan. Ed.I,

Yogyakarta: Rapha Publishing. 2013

16. Susetyowati, et al. Gizi Pada Penyakit Ginjal Kronis. Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press. 2017:47-171

17. Margareta, S. (2015). Efektifitas Edukasi Berbasis Theory of Planned

Behaviour Dalam Meningkatkan Koping Dan Kepatuhan Terapi Penyandang

Diabetes Melitus. Tesis. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

18. Arif M, Kumalasari. Asuhan keperawatan sistem perkemihan. Jakarta:

Salemba Medika. 2014:267-277

Anda mungkin juga menyukai