Anda di halaman 1dari 7

JUDUL ESAI

“SEMI-AUTOMATIC COMPS SEBAGAI KOMPOSTER UNIK BERBASIS


ORGANISME DEDTRITIVOR BERTENAGA SURYA”

Karya Ini Disusun untuk Mengikuti

Selection for Fully Funded Asia Pasific Leaders Summit

“Enviroment Sustainable in Asia Pacific”

Disusun Oleh:

TITO YUDATAMA

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

JURUSAN FISIKA

PURWOKERTO

2019
I. PENDAHULUAN

Sampah adalah salah satu sumber penyakit yang sulit dipisahkan dalam
keseharian kita. Bahkan sejak lahir kita telah menjadi produsen sampah dan akan
selalu menghasilkan sampah selama masih hidup. Sampai saat ini sampah
merupakan masalah serius yang perlu ditangani, menurut UU Nomor 18 Tahun
2008 tentang pengelolaan sampah, telah diatur bahwa pengelolaan sampah tidak
hanya menjadi kewajiban pemerintah saja, melainkan masyarakat dan pelaku
usaha sebagai penghasil sampah juga harus bertanggung jawab dalam
menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat. Berdasarkan data statistik
persampahan domestik Indonesia yang dihimpun oleh Kementrian Negara
Lingkungan Hidup pada tahun 2008 menyebutkan bahwa sampah organik untuk
kota-kota besar bisa mencapai 70% dari total sampah, dan sekitar 28% adalah
sampah non organik. Sisanya sekitar 2% adalah sampah B3 (Bahan Berbahaya
Beracun) yang perlu dikelola tersendiri. Rumah tangga di Indonesia tercatat
sebagai penyumbang sampah terbesar yaitu 75% dari total volume sampah
(Norbertus Kaleka, 2010). Padahal sampah yang menggunung di TPA
menyebabkan peningkatan degradasi kebersihan lingkungan karena
mengeluarkan gas metan yang dapat memperparah kasus global warming, gas ini
memiliki daya rusak hingga 23 kali lebih kuat daripada karbon (Dias, 2009; Sony,
2010: Banowati, 2011).

Alternatif pengolahan sampah adalah memilah sampah organik dan


memprosesnya menjadi kompos atau pupuk hijau (Djuarnani, 2005). Sampah
organik yang berasal dari rumah tangga ataupun tempat umum sangat ideal
untuk dijadikan kompos karena yang dapat dimanfaatkan bukan hanya
komposnya, tetapi lingkungan pun terhindar dari pencemaran (Murbandono,
2006). Pupuk kompos adalah pupuk yang berasal dari proses penguraian bahan
organik seperti sisa buah-buahan ataupun daun.
Di pasaran, banyak beredar model komposter. Namun, komposter di
pasaran saat ini memiliki kekurangan seperti tidak ada indikator yang
menunjukkan kompos siap dipanen, proses yang lama, dan masih menimbulkan
bau saat diolah menjadi kompos. Hal-hal tersebut mengurangi minat masyarakat
untuk menggunakan komposter, sehingga peran masyarakat dalam mengolah
sampah organik sangat rendah. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka
inovasi yang diusulkan untuk lingkungan yang berkelanjutan adalah komposter
berbasis organisme detritivor tanpa bau bertenaga surya yang dimodifikasi
dengan rangkaian elektronika sehingga limbah organik yang dihasilkan oleh
masyarakat tidak mencemari lingkungan bahkan kesehatan.

Pengembangan komposter Unique COMPs untuk menjadi komposter tanpa


bau bertenaga surya termodifikasi dapat dilakukan dengan memadukan
beberapa konsep pembuatan komposter yang sudah ada sebelumnya, seperti
Biovessel dari Tingokok yang berbasis bantuan cacing untuk skala rumah tangga.
Untuk sistem penyimpanan energi listrik dapat dilakukan dengan memadukan prinsip
penyimpanan energi pada Pembangkit Listrik Tenga Surya (Erviana, 2011). Prinsip
kerja Unique COMPs tersebut bekerja dengan memanfaatkan organisme detritivor
dengan beberapa komponen elektronika sebagai pendukung untuk mempercepat kinerja
dari organisme detritivor guna mendapat hasil pengomposan yang lebih cepat.
Kemudian hasil pengolahan yang dilakukan oleh organisme detritivor dapat diketahui
hasilnya melalui indikator pemberitahuan. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka
dibuat 5 tahapan utama dalam kegiatan ini, yaitu:
Gambar 1 Diagram alir gagasan esai

1. Tahap pertama adalah pengamatan kecocokan komponen komposter dan sampah


organik sebagai bahan uji.
Pada tahap awal akan dilakukan pengumpulan data terkait komponen
kebutuhan alat dan bahan seperti jenis organisme detritivor, jenis media, maupun
jenis sampah yang dapat didegradasi oleh organisme. Jenis organisme yang
digunakan adalah cacing tanah L.Rubellus. Cacing tanah L.Rubellus ini dipilih
karena didasari atas keberadaannya yang paling banyak dibudidayakan di Asia
ataupun Indonesia, memiliki kecepatan konsumsi yang tinggi, dan memiliki
kemampuan beradaptasi teradap berbagai kondisi lingkungan, dan akan tetap
tinggal di tempatnya selama makanan tersedia. Jenis media yang digunakan
adalah tanah, dan jenis sampah yang dapat didegradasi oleh cacing L.rubellus
yakni sampah organik. Keberadaan cacing tanah dapat meningkatkan populasi
mikroorganisme yang bermanfaat bagi tanaman. Cacing tanah juga dapat
mendekomposisi sampah organik menjadi humus (Sharma et al., 2005 Ilyas,
2009). Jumlah kebutuhan makanan cacing tanah perhari sebanyak berat tubuhnya.
2. Tahap kedua adalah pengumpulan data dan survei kecocokkan komponen alat.
Setelah data terkait telah diketahui maka dilakukan survei kebutuhan alat
bahan prototipe dengan alat-alat pendukung elektronika lainnya agar didapat
kesesuaian antara jenis organisme detritivor dan jenis sampah organik yang akan
dikelola, baik dari segi pH, kelembaban, nilai suhu, kebutuhan tegangan listrik,
dan sebagainya.
a. Ukuran bahan
Semakin kecil ukuran bahan, proses pengomposan akan lebih
cepat dan lebih baik karena mikroorganisme lebih mudah beraktivitas
pada bahan yang lembut. Ukuran bahan yang dianjurkan pada
pengomposan aerobik antara 1-7,5 cm. Hal ini mempercepat proses
penguraian oleh bakteri dan mempermudah pencampuran bahan
(Yuwono, 2006).
b. Komposisi bahan
Bahan untuk pembuatan pupuk kompos berasal dari bahan organik yaitu
sampah sayur-sayuran dan buah-buahan. Sebelum digunakan sebagai
pakan cacing, sampah organik tersebut dipotong-potong ukuran 1-2 cm
terlebih dahulu agar memudahkan cacing dalam memakannya.
c. Kelembaban
Umumnya mikroorganisme tersebut dapat bekerja dengan kelembapan
sekitar 40-60 %. Kondisi tersebut perlu dijaga agar mikroorganisme
dapat bekerja secara optimal, sehingga membantu percepatan
pengomposan selain oleh cacing.
b. Keasaman (pH)
Keasaman atau pH dalam tumpukan kompos juga mempengaruhi
aktivitas mikroorganisme. Kisaran pH yang baik sekitar 6,5-7,5 (netral).
3. Tahap ketiga adalah pembuatan alat pengolah pupuk organik tanpa bau semi
elektrik berbasis organisme detritivor bertenaga surya.
4. Tahap keempat adalah pengumpulan sampah organik dan organisme detritivor
Selanjutnya dilakukan pengumpulan sampah organik dan organisme
detritivor untuk membuat pupuk kompos, sampah tersebut dikumpulkan berasal
dari limbah pasar.
5. Tahap kelima adalah pengujian prototipe.

Tahapan di atas menunjukan ilustrasi sederhana dari sistem Unique COMPs yang
hendak diterapkembangkan. Sistem tersusun dari sebuah tong sampah yang dipasang
pengatur suhu dan kelembaban yang berguna menjaga kondisi ruang komposter stabil
sekaligus mempercepat proses pengomposan yang dilakukan oleh cacing tanah. Selain
itu, komposter tersebut ditambahkan beberapa sensor untuk memodernisasikan dan
mempercepat pengomposan. Ketika pengomposan selesai, maka LED dan buzzer akan
aktif sebagai indikator pemberitahuan. Selama beroperasi, alat tersebut menggunakan
energi listrik mandiri yang berasal dari panel surya.

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai