Anda di halaman 1dari 12

PEMANFAATAN SATELIT KOMUNIKASI DAN PENGINDERAAN JAUH

DAN IMPLIKASINYA DALAM HUKUM NASIONAL INDONESIA


Oleh
Prayudi 1906409866
Tri Widiastuti 1906410262
A. Latar Belakang
Keberhasilan Uni Soviet meluncurkan Sputnik I pada tahun 1957 menjadi
asal muasal kegiatan keantariksaan umat manusia. Prestasi Uni Soviet ini diikuti
Amerika Serikat dengan meluncurkan satelit Explorer I hingga Explorer 6
sepanjang tahun 1958. Aktivitas-aktivitas ini menjadi dasar dibentuknya prinsip-
prinsip aktivitas keantariksaan oleh Majelis Umum PBB pada 13 Desember
1963 yang dituangkan dalam perjanjian internasional bernama Treaty on
Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Use of
Outer Space (Outer Space Treaty 1967) dan disahkan pada tanggal 27 Januari
1967.1
Perkembangan dan pelaksanaan aktivitas keantariksaan Uni Soviet dan
Amerika Serikat tersebut kemudian diikuti oleh banyak negara, dimana salah
satunya adalah Indonesia dengan meluncurkan roket Kartika-I pada tahun 19642.
Aktivitas keantariksaan Indonesia dilanjutkan dengan peluncuran satelit Palapa-
A1 pada 8 Juli 1976 yang ditujukan untuk kepentingan komunikasi meliputi
pulau-pulau utama Indonesia serta beberapa negara-negara Asia Tenggara,
seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina3. Indonesia kemudian
melanjutkan pengembangan program keantariksaannya dengan meluncurkan
satelit-satelit lainnya, di antaranya Palapa-A2 pada tahun 1977, Palapa-B1 tahun
1983, hingga yang terbaru yaitu satelit Nusantara-1 yang diluncurkan pada 7

1
Priyatna Abdurrasyid, Hukum Antariksa Nasional (Penempatan Urgensinya), Cet.1 (Jakarta: CV.
Rajawali, 1989, hlm. 9-10.
2
Bayu Hermawan, Rudal Kartika 1: Kebanggaan Indonesia di Era Soekarno, Inilah.com, edisi 30
November 2010, https://m.inilah.com/news/detail/1015942/rudal-kartika-1-kebanggaan-indonesia-era-
sukarno, diakses pada 9 November 2019.
3
Gunter’s Space Page, Palapa A1, A2, https://space.skyrocket.de/doc_sdat/palapa-a.htm, diakses pada
9 November 2019.
Agustus 20184. Adapun pemanfaatan satelit-satelit tersebut selain untuk
telekomunikasi, juga dimanfaatkan untuk kepentingan di bidang navigasi,
mitigasi bencana, dan penginderaan jauh oleh Indonesia.
Meski Indonesia telah menjalankan program keantariksaannya dari tahun
1960an, ratifikasi Outer Space Treaty 1967 justru baru dilakukan Indonesia pada
tahun 2002 melalui UU No. 16 Tahun 2002 dan regulasi nasional yang mengatur
aktivitas keantariksaan baru ada di tahun 2013 setelah disahkannya UU No. 21
Tahun 2013 tentang Keantariksaan. Penulis di sini bermaksud mengajak
pembaca untuk menginvestigasi bagaimana pemanfaatan satelit telekomunikasi
dan penginderaan jauh oleh Indonesia dan bagaimana hal ini diatur di dalam
regulasi nasional Indonesia, yang mana kedua aktivitas tersebut secara umum
memang diatur di dalam UU Keantariksaan, namun memiliki pengaturan
khususnya, yaitu UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan PP No. 11
Tahun 2018 tentang Penginderaan Jauh. Pembahasan lebih lanjut akan
dijabarkan pada bagian B di bawah ini.

B. Satelit Komunikasi dan Penginderaan Jauh


1. Pengertian dan Dasar Hukum
a. Telekomunikasi
Telekomunikasi diartikan oleh Pasal 1 UU Telekomunikasi Republik
Indonesia sebagai setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan
dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar,
suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem
elektromagnetik lainnya. Regulasi pemanfaatan satelit telekomunikasi
terdapat pada beberapa peraturan nasional, yaitu:
1) UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi;
2) Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang
Penyelenggaraan Telekomunikasi;
3) Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan
Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit;

4
Irvin Avrianto Arief, Inilah 25 Sateli Milik Indonesia dari Waktu ke Waktu, CNBC Indonesia,
https://www.cnbcindonesia.com/news/20190224152921-4-57317/inilah-25-satelit-milik-indonesia-dari-
waktu-ke-waktu, diakses pada 11 November 2019.
4) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2009 tentang Jenis dan
Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku
Pada Departemen Komunikasi dan Informatika;
5) Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KM. 4 Tahun 2001
tentang Penetapan Rencana Dasar Teknis Nasional 2000;
6) Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KM. 21 Tahun 2001
tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Menteri
Komunikasi dan Informatika Nomor:
31/PER/M.KOMINFO/09/2008 tentang Perubahan Ketiga atas
Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KM. 21 Tahun 2001
tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi;
7) Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor:
13/P/M.KOMINFO/8/2005 tentang Penyelenggaraan
Telekomunikasi yang Menggunakan Satelit sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika
Nomor: 37/P/M.KOMINFO/12/2006;
8) Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor :
01/PER/M.KOMINFO/01/2010 tentang Penyelenggaraan
Jaringan Telekomunikasi; dan
9) UU No. 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan.
Penyelenggaraan telekomunikasi yang dilaksanakan Indonesia
mencakup tiga bidang, yaitu penyelenggaraan jaringan telekomunikasi,
penyelenggaraan jasa telekomunikasi, dan penyelenggaraan
telekomunikasi khusus5 dengan memperhatikan hal-hal terkait
perlindungan kepentingan dan keamanan negara, antisipasi
perkembangan teknologi dan tuntutan global, profesionalitas dan
bertanggungjawab, serta ikut sertanya masyarakat6.

5
Republik Indonesia, Pasal 7 ayat (1) UU Telekomunikasi.
6
Republik Indonesia, Pasal 7 ayat (2) UU Telekomunikasi.
b. Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh merupakan penginderaan permukaan bumi dari
dirgantara dengan memanfaatkan sifat gelombang elektromagnetik yang
dipancarkan, dipantulkan, atau dihamburkan oleh objek yang diindera7.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengkategorikan penginderaan jauh
sebagai kata kerja ‘mengindra’ yang berarti mengukur segala sifat fisik
benda dengan cara tidak menyentuhnya8. Pengaturan mengenai
penginderaan jauh dalam hukum nasional Indonesia terdapat pada UU
No. 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan dan PP No. 11 Tahun 2018
tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kegiatan Penginderaan Jauh.
Pasal 2 PP No. 11 Tahun 2018 menyebutkan bahwa
penyelenggaraan kegiatan pengindraan jauh mencakup perolehan data,
pengolahan data, penyimpanan dan pendistribusian data, serta
pemanfaatan dan diseminasi informasi yang dilaksanakan melalui
pengoperasian satelit9.

2. Pengaturan Pemanfaatan Satelit Telekomunikasi pada UU No. 36


Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan Penginderaan Jauh pada PP
No. 11 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Penginderaan
Jauh dan Keselarasannya dengan Prinsip-prinsip Outer Space Treaty
1967
No. Regulasi Nasional Pasal
1. UU No. 36 Tahun Bagian Pasal 32
1999 tentang Kesepuluh (1) Perangkat
Telekomunikasi Perangkat telekomunikasi yang
Telekomunikasi, diperdagangkan, dibuat,
Spektrum dirakit, dimasukkan dan
Frekuensi atau digunakan di
Radio, dan Orbit wilayah Negara
Satelit Republik Indonesia
wajib memperhatikan
persyaratan teknis dan

7
Republik Indonesia, Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2018 tentang Tata Cara
Penyelenggaraan Kegiatan Penginderaan Jauh.
8
KBBI Daring, Indra, https://kbbi.web.id/indra, diakses pada 10 November 2019.
9
Republik Indonesia, Pasal 4 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2018 tentang
Tata Cara Penyelenggaraan Kegiatan Penginderaan Jauh.
berdasarkan izin sesuai
dengan peraturan
perundang-undangan
yang berlaku.
(2) Ketentuan mengenai
persyaratan teknis
perangkat
telekomunikasi
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 33
(1) Penggunaan
spektrum frekuensi radio
dan orbit satelit wajib
mendapatkan izin
Pemerintah.
(2) Penggunaan
spektrum frekuensi radio
dan orbit satelit harus
sesuai dengan
peruntukannya dan tidak
saling mengganggu.
(3) Pemerintah
melakukan pengawasan
dan pengendalian
penggunaan spektrum
frekuensi radio dan orbit
satelit.
(4) Ketentuan
penggunaan spektrum
frekuensi radio dan orbit
satelit yang digunakan
dalam penyelenggaraan
telekomunikasi diatur
dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 34
(1) Pengguna spektrum
frekuensi radio wajib
membayar biaya
penggunaan frekuensi,
yang besarannya
didasarkan atas
penggunaan jenis dan
lebar pita frekuensi.
(2) Pengguna orbit
satelit wajib membayar
biaya hak penggunaan
orbit satelit.
(3) Ketentuan mengenai
biaya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur
dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 35
(1) Perangkat
telekomunikasi yang
digunakan oleh kapal
berbendera asing dari
dan ke wilayah perairan
Indonesia dan atau yang
dioperasikan di wilayah
perairan Indonesia, tidak
diwajibkan memenuhi
persyaratan teknis
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32.
(2) Spektrum frekuensi
radio dilarang digunakan
oleh kapal berbendera
asing yang berada di
wilayah perairan
Indonesia di luar
peruntukannya, kecuali:
a. untuk kepentingan
keamanan negara,
keselamatan jiwa
manusia dan harta
benda, bencana alam,
keadaan marabahaya,
wabah, navigasi, dan
keamanan lalu lintas
pelayaran; atau
b. disambungkan ke
jaringan telekomunikasi
yang dioperasikan oleh
penyelenggara
telekomunikasi; atau
c. merupakan bagian
dari sistem komunikasi
satelit yang
penggunaannya sesuai
dengan ketentuan yang
berlaku dalam
penyelenggaraan
telekomunikasi dinas
bergerak pelayaran.
(3) Ketentuan mengenai
penggunaan spektrum
frekuensi radio
sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 36
(1) Perangkat
telekomunikasi yang
digunakan oleh pesawat
udara sipil asing dari
dan ke wilayah udara
Indonesia tidak
diwajibkan memenuhi
persyaratan teknis
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32.
(2) Spektrum frekuensi
radio dilarang digunakan
oleh pesawat udara sipil
asing dari dan ke
wilayah udara Indonesia
di luar peruntukannya,
kecuali:
a. untuk kepentingan
keamanan negara,
keselamatan jiwa
manusia dan harta
benda, bencana alam,
keadaan marabahaya,
wabah, navigasi, dan
keselamatan lalu lintas
penerbangan; atau
b. disambungkan ke
jaringan telekomunikasi
yang dioperasikan oleh
penyelenggara
telekomunikasi; atau
c. merupakan bagian
dari sistem komunikasi
satelit yang
penggunaannya sesuai
dengan ketentuan yang
berlaku dalam
penyelenggaraan
telekomunikasi dinas
bergerak penerbangan.
(3) Ketentuan mengenai
penggunaan spektrum
frekuensi radio
sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan
Pemerintah.
2. PP No. 11 Tahun 2018 Pasal 1 BAB I 9. Satelit adalah wahana
Ketentuan antariksa yang beredar
Umum mengelilingi bumi
berfungsi sebagai sarana
perolehan data primer
dalam kegiatan
penginderaan jauh.
16. Citra Satelit adalah
gambar yang dihasilkan
dari kegiatan
penginderaan
permukaan bumi
menggunakan sensor
yang dipasang pada
Satelit.
17. Data Resolusi
Rendah adalah Citra
Satelit yang
menggambarkan kondisi
spasial secara global,
seperti pada Citra Satelit
lingkungan dan cuaca.
18. Data Resolusi
Menengah adalah Citra
Satelit yang
menggambarkan kondisi
spasial teliti, seperti
pada Satelit sumber daya
alam.
19. Data Resolusi Tinggi
adalah Citra Satelit yang
menggambarkan kondisi
spasial sangat teliti
dengan ketelitian spasial
kurang dari 4 (empat)
meter.
BAB II tentang Pasal 3
Perolehan Data: Perolehan data
Bagian Kesatu penginderaan jauh
Umum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 huruf a
dilaksanakan untuk
menjamin kontinuitas
ketersediaan data.
Perolehan data
penginderaan jauh
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)
dilaksanakan dengan
menggunakan sarana:
a. Satelit;
b. Wahana lain;
c. Stasiun Bumi;
d. Perangkat Penerima
Teknis; dan/atau
e. Perangkat pengolahan
data.
Pasal 4
(1) Perolehan data
penginderaan jauh
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3
dilaksanakan melalui:
a. pengoperasianSatelit;
b. pengoperasian Stasiun
Bumi; dan/atau
c. Citra Satelit.
(2) Perolehan data
penginderaan jauh
melalui pengoperasian
Satelit sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
huruf a hanya dapat
dilaksanakan dengan
dukungan pengoperasian
Stasiun Bumi.
(3) Perolehan data
penginderaan jauh
melalui pengoperasian
Stasiun Bumi
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b
dapat dilaksanakan
tanpa pengoperasian
Satelit.
(4) Selain pengoperasian
Stasiun Bumi
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b,
pengumpulan data
Satelit pengamatan bumi
resolusi rendah
dilaksanakan dengan
menggunakan Perangkat
Penerima Teknis.
Pasal 5
(1) Hasil perolehan data
penginderaan jauh dapat
berupa:
a. data primer; dan
b. data proses.
(2) Data sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
dapat diklasifikasikan ke
dalam :
a. resolusi rendah;
b. resolusi menengah;
dan
c. resolusi tinggi.
Bagian Kedua Pasal 6
tentang Pengoperasian Satelit
Pengoperasian sebagaimana dimaksud
Satelit dalam Pasal 4 ayat (l)
huruf a dilaksanakan
untuk mengindera
permukaan bumi dan
mengirimkan data yang
diperoleh dari Satelit ke
Stasiun Bumi.
Pasal 7
(1) Pengoperasian
Satelit sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6
dilaksanakan oleh
Lembaga.
(2) Pengoperasian
Satelit oleh lembaga
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)
dilaksanakan melalui
kegiatan:
a. membuat perencanaan
Satelit;
b. membangun Satelit;
dan
c. mengoperasikan
Satelit.
Keselarasan antara Regulasi Nasional dan Outer Space Treaty 1967
Prinsip pada Outer Space
Regulasi Nasional Indonesia
Treaty 1967
Article I Konsideran a. bahwa Antariksa
The exploration and use of Menimbang UU merupakan ruang
outer space, including the Keantariksaan beserta isinya yang
Moon and other celestial terdapat di luar Ruang
bodies, shall be carried out Udara yang mengelilingi
for the benefit and in the dan melingkupi Ruang
interests of all countries, Udara serta merupakan
irrespective of their degree of ciptaan Tuhan Yang
economic or scientific Maha Esa yang
development, and shall be the dipergunakan untuk
province of all mankind. sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat
sebagaimana
diamanatkan dalam
Undang-Undang Dasar
Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa posisi
geografis wilayah
Indonesia yang
terbentang di garis
khatulistiwa dan terletak
di antara dua benua dan
dua samudra menjadikan
Indonesia sebagai
negara yang memiliki
ketergantungan dalam
pemanfaatan teknologi
Keantariksaan dan
sekaligus keunggulan
komparatif yang
berbasis ilmu dan
teknologi bagi kemajuan
peradaban serta
kesejahteraan manusia
Indonesia pada
khususnya dan umat
manusia pada umumnya;
Konsideran a. bahwa tujuan
Menimbang UU pembangunan nasional
Telekomunikasi adalah untuk
mewujudkan masyarakat
adil dan makmur yang
merata materiil dan
spiritual berdasarkan
Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945;
b. bahwa
penyelenggaraan
telekomunikasi
mempunyai arti strategis
dalam upaya
memperkukuh persatuan
dan kesatuan bangsa,
memperlancar kegiatan
pemerintahan,
mendukung terciptanya
tujuan pemerataan
pembangunan dan hasil-
hasilnya, serta
meningkatkan hubungan
antarbangsa;

C. Kesimpulan
Indonesia memanfaatkan satelit dalam berbagai bidang, di antaranya
telekomunikasi, navigasi, mitigasi bencana dan penginderaan jauh. Terkhusus
mengenai pemanfaatan satelit telekomunikasi dan penginderaan jauh, Indonesia
menuangkannya ke dalam pengaturan khusus yaitu UU No. 36 Tahun 1999
tentang Telekomunikasi dan PP No. 11 Tahun 2018 tentang Penginderaan Jauh.
Adapun mengenai keselarasan kegiatan keantariksaan Indonesia dalam
pemanfaatan satelit telekomunikasi dan penginderaan jauh tersebut telah sesuai
dengan prinsip kemanfaatan untuk umat manusia pada Outer Space Treaty 1967,
sebagaimana dinyatakan pada konsideran UU No. 21 Tahun 2013 dan UU No.
36 Tahun 1999.

Anda mungkin juga menyukai