Anda di halaman 1dari 3

BERAYAH KE RIAU BERIBU KEMINANGKABAU

Karya : Muhammad Subhan

Sekali waktu
Ia pulang ke tanah Melayu
Mencari ayah yang hilang ditelan bumi
Disuruh ibu yang menunggu karena rindu

Kenapa harus rantau dijauhkan


Kenapa harus kampung ditinggalkan

Ia susuri Sungai Jantan


Berlabuh ke arah matahari terbenam
Ia tumpangi tongkang bermuatan kayu

Di tepian jembatan yang membelah


Sungai itu, ia tatap lekat-lekat wajah
Lelaki yang di matanya bara api

“Untuk apa kau datang, selangkah aku tak akan pulang!”


Kata lelaki itu menikam sembilu

Ia menundukkan kepala, berderai air mata


Cinta tumbuh mekar berkobar di dadanya

“Ibu menyulam cemas padamu, Ayah, pulanglah”


Ia membujuk, tapi lelaki yang dipanggilnya
Ayah itu mengeraskan hati

“Tanah ibumu tanah beradat, tidak tuah untukku!”


Bola matanya jalang, kakinya surut ke belakang

Tiba-tiba sebuah proyektor membingkai di matanya


Ia ditontonkan sebuah film lama. Ia melihat lelaki
Muda dan gadis belia duduk bersanding di pelaminan
Sesudah itu hari-hari menjadi kembang gula

Di ranjang kelambu di bilik berdinding tepas


Ia mendengar seorang bayi menangis, dan
Itu adalah gambar dirinya.

Waktu cepat beranjak, dan


Ia saksikan pertengkaran itu
Lalu, sesudah purnama, lelaki
Yang menjadikannya ada
Tak pernah lagi menampakkan rupa

Ia kenang wajah Ibu yang menangis di kaki


Jenjang rumah gadang. “Aku tak mengusirnya
Tak pernah. Ia yang minggat sendiri”

Riau, 2017
SEBELUM MATAHARI TENGGELAM
-Yogyakarta 5,9 Righter-
Karya : Iyut Fitra

kisah apa lagi


ketika pintu-pintu tak henti diketuk
kabar airmata, duka yang dijajakan atau garis-garis hitam
memanjang melintas langit. ada gambar angkara sedang berpesta
menciptakan ayunan
orang-orang kehilangan alamat
bertukar tangis dengan bebayang, dengan kampung
dan tanah moyang
dan kita membaca gemurat cemas leleh sepanjang pesisir
kita baca jua gelisah angin berbuaian
membentur hari, lalu menghamparkan harapan demi harapan
ke ranjang tak berwarna

di jalan-jalan itu
di sudut kota kenangan kita tumpahkan. barangkali bagai
sepasang kekasih
lagu-lagu pun tercipta dari bibir yang bergetar
kemudian beragam rambu kita pancang
jejak,
cita-cita,
seribu mimpi atau trotoar menuju senja

tapi lihatlah, di jendela ibu-ibu terpana ke arah barat


waktu kini menjadi tanggal. lukisan-lukisan tua tergolek
kekanak menyabung murung di alun-alun, berlarian
dengan tangan
menunjuk-nunjuk langit; matahari akan tenggelam! matahari
akan tenggelam!
dan aku mencarimu, wahai para kekasih
dalam zikir, dalam do’a
sebelum segala
tak ada

Payakumbuh, Juli 2006


PAGI TADI LELAKI TUA ITU BERANGKAT KE SYURGA
: Buya Hamka
Karya : Fakhrunnas MA Jabbar

Pagi tadi
Lelaki tua itu berangkat ke Syurga
Langkahnya senyap
Tanpa debu
Berisik di pasir
Berjejak bagai telapak para malaikat
Siapa lagi ingin mencari
Persembunyian suara seraknya yang letih
Tengoklah ke liang yang bertimbun cahaya
Dan tujuh puluh tujuh anak sungai airmata
Bermuara ke dalam diam

Pagi tadi
Lelaki tua itu menjabat tangan semua umat
Senyum bekunya masih terpahat
Tak pernah berkata lagi
Jadi impian para pelukis yang berjaga
Di kamar sempit bertimbun cahaya
Siapa lagi tak rindu
Siapa lagi tak teraba-raba menyusuri jejaknya
Lelaki tua itu kini telah tiba
Menjemput uluran tangan orang-orang surga

Jubah lapang
Masih mengalunkan zikir
Tongkat lengang
Masih menghitung tasbih
Beribu malaikat mengangkat pahala
Ke depan Tuhan

Bayangkan
Kini ia bercengkerama di taman bunga
Di sekitarnya penuh tawa bocah
Dan tujuh puluh tujuh bidadari manis

Pagi tadi
Tanah Kusir sepi
Barangkali lelaki tua itu
Memeluk illahi

Pekanbaru, 1981/2003

Anda mungkin juga menyukai