Anda di halaman 1dari 14

Remaja

1. Respon Seksual dan Respon Fisiologis Pada Remaja


A. Respon Seksual Pada Remaja
Pada awal masa remaja, sebagian besar seksualitas berkaitan dengan penegasan
identitas gender dan harga diri. Pada saat pubertas terjadi perubahan-perubahan di
tubuh yang berlangsung tanpa dapat diduga sementara perubahan-perubahan hormon
menimbulkan dampak pada reaktivitas emosi.
Hipotalamus dan kelenjar hipofisis anterior pada wanita dan pria mengatur
produksi FSH dan LH. Jaringan target hormone-hormon ini adalah Gonad ovarium
atau testis. Pada wanita ovarium memproduksi ovum dan menyekresi progesterone
dan esterogen. Pada pria testis memproduksi sperma dan menyekresikan testosterone.
Mekanisme umpan balik antara hormone yang disekresi olen gonad, hipotalamus, dan
hipofisis anterior membeantu mengendalikan produksi sel-sel kelamin dan sekresi
hormone seks steroid.

B. Respons Fisiologis terhadap Stimulasi seksual


Walaupun pematangan perkembangan seksual pada wanita terjadi pada umur
ytang lebih dini, baik pria maupun wanita mencapai kematangan fisik pada usia
sekitar 17 tahun. Walaupun demikian, frekuensi perkembangan individu sangat
bervariasi. Perbedaan anatomi dan reproduksi tidak menjadi penghalang. Respon
fisiologis wanita dan pria terhadap rangsangan seksual dan orgasme lebih banyak
persamaannya daripada perbedaannya. Misalnya glans klitoris dan glans penis
homolog pada pada masa embrio. Bukan saja hanya terdapat sedikit perbedaan abtara
respon seksual wanita dan pria, tetapi respon fisik pun dasarnya sama, baik
distimulasi oleh koitus, fantasi, mekanis, maupun oleh masturbasi manual.
Secara fiologis, menurut Masters dan Johnson (1966), respon seksual dapat
dianalisi melalui dua proses: vasdokongesti dan miotonia.
Stimulasi seksual menimbulkan reflex vasokongesti, dilatasi pada pembuluh
darah penis (ereksi pada pria) dan pembuluh darah sirkumvaginal (lubrikasi pada
wanita) sehingga terejadi engorgement dan distensi genitalia. Kongesti vena
dilokalisasi terutama pada genitalia, tetapi juga terjadi dalam derajat yang lebih kecil
di payudara dan bagian tubuh lainnya.
Empat Fase Respon Seksual
Reaksi umum pada dua Reaksi wanita Reaksi pria
jenis kelamin
FASE RANGSANGAN
 Denyut jantung dan  Diameter klitoris  Timbul ereksi penis ;
tekanan darah terus membesar dan panjang dan diameter
meningkat membengkak penis meningkat
 Putting susu ereksi  Genitalia eksterna  Kulit skortum
Miotonia dimulai menegang dan menegang dan
warna menjadi menebal
gelap  Testis mulai membesar
 Terjadi lubrikasi dan terangkat kea rah
vagina; dua pertiga tubuh
bagian atas vagina
memanjang dan
meluas
 Serviks dan uterus
tertarik keatas
 Ukuran payudara
membesar
FASE PLATEAU
 Denyut jantung dan  Kepala klitoris  Kepala penis sedikit
tekanan darah terus retraksi di bawah membesar
meningkat pembungkus  Skrotum menegang
 Pernafasan klitoris dan menebal
meningkat  Sepertiga bagian  Testis terangkat dan
 Miotonia menjadi bawah vagina membesar
nyata; wajah membesar  Pengeluaran dua atau
meringis  Warna kulit tiga tetes cairan pada
berubah terlihat kepala penis sebelum
kemarahan di orgasme
payudara,
abdomen, atau di
permukaan yang
lain

FASE ORGASME
 Denyut jantung,  Kontraksi ritmik  Testis terangkat ke
tekanan darah dan yang kuat terasa di tinngkat maksimum
pernafasan klitoris, vagina, dan  Titik yang tidak
meningkat sampai uterus terelakkan terjadi saat
tingkat maksimum  Sensasi hangat sebelum ejakulasi dan
 Timbut spasma otot menyebar di terasa ada cairan di
involunter seluruh daerah uretra
 Sfinter rectum pelvis  Kontraksi ritmik
eksterna terjadi di penis
berkontraksi  Terjadi ejakulasi
semen
FASE RESOLUSI
 Denyut jantung,  Engorgement pada  Lima puluh persen
tekanan darah, dan genitalia eksterna ereksi segera hilang
pernafasan kembali dalam vagina setelah ejakulasi; penis
normal berkurang secara bertahap
 Ereksi putting susu  Serviks dan uterus kembali ke ukuran
mereda turun ke posisi normal
 Meotonia normal  Testis dan skrotum
berkurang  Ukuran payudara kembali ke ukuran
mengecil normal
 Kemerahan di kulit  Periode refraker
menghilang (waktu yang
diperlukan supaya
ereksi lagi) bervariasi
sesuai usia dan kondisi
fisik secara umum

2. Remaja
Menurut teori Erikson (1959) tentang perkembangan psikososial, masa remaja
merupakan suatu periode penting untuk pembentukan identitas remaja. Remaja harus
menjadi orang dengan hak diri mereka sendiri, individu yang bertanggung jawab terhadap
kehidupan mereka dan mengetahui siapa diri mereka. Tugas perkembangan utama di
masa remaja adalah untuk menyelesaikan konflik antara pencapaian identitas dan difusi
identitas. Remaja dapat mengembangkan sensasi diri yang kuat disertai rencana untuk
masa mendatang atau tidak memiliki kemampuan untuk mengembangkan identitas
pribadi atau vokasional yang kuat Pembentukan kepribadian selama masa remaja
dipengaruhi oleh bagaimana tahap perkembangan sebelumnya terselesaikan (Erikson,
1959).
Misalnya, remaja yang tidak berhasil mengembangkan rasa percaya selama masa
kanak-kanak awal mungkin akan terus tidak percaya pada orang lain. Begitu juga remaja
yang tidak dapat mengembangkan rasa inisiatil selama masa prasekolah mungkin akan
nurang percaya diri untuk bereksperimen dengan identitas yang berbeda dan merasa
nyaman dengan individualitas mereka.
Remaja menghadapi tantangan dalam mengembangkan identitas vokasional dan
seksual yang diperlukan untuk membina karier dan hubungan intim di masa dewasa. Jika
krisis kebingungan identitas dapat diselesaikan dengan keberhasilan yang masuk akal
selama masa remaja maka individu tersebut dapat terus maju memasuki tahap
perkembangan dewasa dan mereka berespons terhadap krisis dengan identitas diri yang
kuat. Jika krisis ego-identitas tidak berhasil diselesaikan, akan terjadi gangguan
perkembangan ego dan orang tersebut cenderung kurang mampu menyelesaikan krisis
ketika di masa dewasa.
A. Seksualitas Pada Remaja
Istilah seks dan seksualitas adalah suatu hal yang berbeda. Kata seks sering
digunakan dalam dua cara. Paling umum seks digunakan untuk mengacu pada bagian
fisik dari berhubungan, ya itu aktivitas seksual genital. Seks juga digunakan untuk
memberi label jender, baik seseorang itu pria atau wanita (Zawid, 1994; Perry &
Potter 2005).
Seksualitas adalah kebutuhan dasar manusia dalam manifestasi kehidupan yang
berhubungan dengan alat reproduksi. (Stevens: 1999). Sedangkan menurut WHO
dalam Mardiana (2012) seksualitas adalah suatu aspek inti manusia sepanjang
kehidupannya dan meliputi seks, identitas dan peran gender, orientasi seksual,
erotisme, kenikmatan, kemesraan dan reproduksi.
Seksualitas adalah komponen identitas personal individu yang tidak terpisahkan
dan berkembang dan semakin matang sepanjang kehidupan individu. Seksualitas
tidak sama dengan seks. Seksualitas ialah interaksi faktor-faktor biologis, psikologi
personal, dan lingkungan. Fungsi biologis mengacu pada kemampuan individu untuk
memberi dan menerima kenikmatan dan untuk bereproduksi. Identitas dan konsep diri
seksual psikologis mengacu pada pemahaman dalam diri individu tentang seksualitas
seperti citra diri, identifikasi sebagai pria atau wanita, dan pembelajaran peran-peran
maskulin atau feminin. Nilai atau aturan sosio budaya membantu dalam membentuk
individu berhubungan dengan dunia dan bagaimana mereka memilih berhubungan
seksual dengan orang lain. (Bobak: 2004)
Menurut Hurlock (1999) dorongan seksual dipengaruhi oleh :
a. Faktor internal, yaitu stimulus yang berasal dari dalam diri individu yang
berupa bekerjanya hormon-hormon alat reproduksi sehingga menimbulkan
dorongan seksual pada individu yang bersangkutan dan hal ini menuntut untuk
segera dipuaskan.
b. Faktor eksternal,yaitu stimulus yang berasal dari luar individu yang
menimbulkan dorongan seksual sehingga memunculkan perilaku seksual.
Stimulus eksternal tersebut dapat diperoleh.
B. Kehamilan Pada Remaja
Separuh kehamilan pertama kali terjadi dalam waktu 6 bulan setelah melakukan
hubungan seksual pertama kali dan sebanyak satu per lima kehamilan terjadi pada
bulan pertama (zabin et al., 1979; Marsiglio et al., 1986). Remaja yang hamil akibat
tidak menggunakan atau menggunakan alat kontrasepsi secara tidak efektif
berhadapan dengan suatu pilihan, apakah akan mengakhiri kehamilan tersebut secara
sukarela. Hasil beberapa studi menunjukan bahwa keputusan untuk melahirkan
daripada melakukan aborsi lebih banyak dipilih oleh remaja yang lebih tua, remaja
yang putus sekolah dari SMA dan mereka yang prestasi sekolahnya buruk, anggota
dari keluarga besar atau keluarga dengan orang tua tunggal, dan mereka yang
memiliki seorang kakak perempuan yang haml pada masa remajanya (Brooks-Gunn
et al., 1989; Friede et al.,1986; Abrahamse et al., 1988). Remaja yang kebanyakan
memilih mengaborsi kehamilan yang tidak diinginkan adalah remaja kulit putih,
berpendidikan tinggi, dan mampu, dan mereka memiliki orang tua yang lebih
pendidikan (Alan Guttmacher Institute,1981,1994; Kafka, 1988; Neilsen,1987).
Hamper 60% remaja berkulit putih yang kehamilannya tidak diinginkan memilih
aborsi, disbanding dengan hanya kurang dari 50% ramaja Afrika Amerika dan remaja
Hispanik (Henshaw, 1992). Para remaja yang melakukan aborsi sering menyebut
dirinya masih berusia muda, khawatir tentang bagaimana memiliki seorang bayi akan
mengubah kehidupan mereka, dan penghasilan yang rendah sebagai alasan dalam
mengambil keputusan tersebut (Facts in Brief, 1994; Torres et al, 1988).
Menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) usia untuk
hamil dan melahirkan adalah 20 sampai 30 tahun, lebih atau kurang dari usia tersebut
adalah beresiko. Kesiapan seseorang perempuan untuk dan melahirkan atau
mempunyai anak ditentukan oleh kesiapan dalam tiga hal, yaitu kesiapan fisik,
kesiapan mental/emosi/ psikologis dan kesiapan sosial/ekonomi. Secara umu,
seseorang perempuan dikatakan siap secara fisik jika telah menyelesaikan
pertumbuhan tubuhnya (ketika tubuhnya berhenti tumbuh), yaitu sekitar usia 20
tahun. Sehingga usia 20 tahun bisa dijadikan pedoman kesiapan fisik (BKKBN, 2005
dalam Rosmawar, 2014)
Menurut Depkes RI resiko kehamilan pada usia dini adalah rahim dan panggul
belum mencapai ukuran dewasa, ditinjau dari segi gizi kehamilan pada remaja
merupakan hal yang beresiko. Gizi yang diperlukan oleh para remaja yang hamil ini
berkompetisi antara kebutuhan mereka terhadap pertumbuhan dan perkembangan dan
perkembangan janin. Beresiko terjadinya anemia, bayi prematur, bayi berat lahir
rendah, kematian bayi dan penyakit menular seksual meningkat pada remaja yang
hamil sebelum usia 19 tahun (Manuaba, 2007).
Faktor-faktor yang berkontribusi dalam terjadinya kehamilan remaja antara lain
(Doddy, 2006 dalam Palinoan, 2014) :
1. Tradisi atau kebiasaan yang menyebabkan terjadinya pernikahan dini.
2. Kebiasaan seksual remaja yang dipengaruhi oleh alkohol dan obat-obatan.
3. Kurangnya pendidikan dan informasi mengenai kesehatan reproduksi dan
kurangnya akses untuk kontrasepsi.
4. Pelecehan seksual dan pemerkosaan.
5. Kemiskinan.
6. Kekerasan dalam rumah tangga.
7. Kurang perhatian dari orangtua.
8. Pendidikan yang rendah.
C. Menjadi Orang Tua Pada Usia Remaja
Data mengenai remaja yang memilih adopsi masih kurang, karena kecenderungan
remaja yang akan memberikan bayinya untuk di adopsi menurun jumlahnya secara
dramatis pada tahun-tahun belakangan ini, terutama di kalangan remaja kulit putih.
Antara tahun 1982 dan 1988, hanya sebanyak 3% remaja kulit putih yang tidak
menikah dan bukan Hispanik yang melepaskan bayi baru lahir mereka (Alan
Guttmacher Institute, 1994). Studi yang dipublikasikan secara terbatas menunjukkan
bahwa kaum remaja yang merencanakan adopsi lebih menyerupai mereka yang
memilih melakukan aborsi dari pada mereka yang memilih untuk menjadi orangtua
(Resnick, 1984, McLaughlin et al., 1988). Beberapa konsekuensi negatif telah
ditemukan pada remaja yang melepaskan bayi baru lahir mereka disbanding dengan
remaja yang memelihara bayi mereka (Mc Laughlin et al., 1988). Remaja yang
melepaskan bayi baru lahir mereka cenderung memiliki status sosioekonomi yang
lebih tinggi, sementara remaja yang merawat bayi mereka cenderung mereka yang
berusia lebih muda, dari keluarga orang tua tunggal, dan mengungkapkan kurang
setuju terhadap aborsi sebagai suatu alternatif dari kelahiran bayi.
Tiap tahun, lebih dari satu juta remaja hamil. Pada tahun 1991, angka kelahiran
adalah sebesar 62 kelahiran per 1.000 remaja wanita dengan usia 15 tahun sampai 19
tahun (kenyataan terdapat 531.59 1 kelahiran menurut Centers for Disease Control
and prevention (CDC). Keadaan ini merepresentasikan peningkatan angka kelahiran
sebesar 27% pada kelompok usia remaja yang lebih muda dan sebanyak 19% pada
kelompok remaja yang berusia lebih tua selama periode 5 tahun Meskipun angka
kelahiran bayi di kalangan remaja kulit putih terhitung sebanyak dua per tiga dari
seluruh angka kelahiran pada remaja, tetapi insidensi kehamilan dan kelahiran di
kalangan remaja jauh lebih tinggi terjadi di kalangan minoritas kelompok minoritas
Sebagai contoh, lebih dari 40% kelahiran pertama di kalangan wanita Afrika-Amerika
adalah kelahiran remaja, dibanding dengan kelompok remaja kulit putih yaitu hanya
sebanyak 20%. Angka kelahiran bayi di kalangan remaja Hispanik sedikit lebih
rendah dibanding kelompok remaja wanita Afrika-Amerika dan lebih tinggi dari
kelompok remaja wanita kulit putih namun, peningkatan dramatis yang terjadi di
kalangan wanita muda Hispanik ditemukan selama beberapa tahun terakhir ini.
a. Pengaruh Pada Ibu Usia Remaja
Usia pertama kali remaja hamil sangat memengaruhi efek yang
ditimbulkan kehamilan terhadap kehidupan remaja tersebut. Kehamilan yang
tidak dikehendaki memiliki implikasi yang berbeda bagi remaja usia 18 tahun
atau 19 tahun yang lulus sekolah menengah atas dibandingkan bayi remaja usia 13
tahun atau 14 tahun yang masih sekolah menengah pertama. Umumnya, para
remaja yang menjadi orang tua kemungkinannya kecil untuk menyelesaikan
sekolah menengah atas, kuliah, mencari pekerjaan tetap, atau dapat menyokong
dirinya sendiri dibandingkan mereka yang menjadi orang tua pada usia yang lebih
tua (Hayes, 1987; Hofferth et al., 1987). Seiring dengan makin bertambahnya
sekolah yang menyediakan berbagai macam program khusus untuk bawah umur
yang hamil dan ibu muda, kehamilan remaja menjadi faktor yang kurang
menentukan apakah seorang remaja dapat menyelesaikan pendidikan sekolah
menengah atas mereka (Males, 1993). Namun, menjadi orang tua sebelum
waktunya sering kali menyebabkan keterlambatan remaja untuk menyelesaikan
sekolah, mengubah pilihan ibu muda untuk tetap memilih melanjutkan sekolah,
dan sering kali menghalangi rencana mereka untuk melanjutkan pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi (Pittman 1990)
Sebanyak 31% remaja yang telah menjadi ibu sebelum mereka berusia 17
tahun dan sebanyak 24% dari mereka yang berusia 18 tahun sampai 19 tahun saat
mereka melahirkan anak pertama mereka memiliki anak kedua dalam dua tahun
(Facts at a Glance 1994). Besar presentasi kelahiran bayi pertama dikalangan
remaja wanita yang tidak menikah meningkat secara tajam sejak awal tahun 1960-
an- dari 33% menjadi 80% (Facts at a Glance 1994). Walaupun beberapa dari
remaja yang menjadi ibu menikah dengan ayah dari bayi baru lahir mereka,
banyak dari mereka yang mungkin mempertahankan kontak yang teratur atau
sesekali. Pernikahan dini dengan ayah biologisnya bayinya tampaknya tidak
memperbaiki keadaan, remaja wanita yang menjadi ibu yang memilih untuk
tinggal sendiri lebih cenderung menyelesaikan sekolah dan mencegah kehamilan
berikutnya daripada mereka yang menikah. Hampir satu pertiga pernikahan
pertama di antara remaja berakhir dengan perceraian dalam lima tahun dibanding
dengan 15% di antara pasangan yang menunda perkawinan mereka sampai
mereka berusia 23 tahun sampai 29 tahun (Alan Guttmacher Institute, 1994)
b. Pengaruh Pada Ayah di Usia Remaja
Secara umum, para ayah usia remaja cenderung lebih sedikit mengalami
pengaruh yang merugikan karena menjadi orangtua terlalu awal deibanding
dengan para ibu usia remaja. Namun mereka beresiko mengalami pencapaian
tingkat pendidikan yang lebih rendah dan dihubungkan dengan penurunan
pencapaian kerja dan ekonomi (Marsinglio et al., 1986; Elster et al., 1987). Angka
putus sekolah dari sekolah menengah atas lebih tinggi terjadi pada ayah
disbanding dengan laki-laki usia muda lainnya dan tidak terpengaruh oleh status
pernikahan.
3. Prinsip-prinsip Etik Keperawatan
Ada 8 prinsip etika keperawatan yang wajib diketahui oleh perawat dalam
memberikan layanan keperawatan kepada individu, kelompok/keluarga, dan masyarakat.
1. Otonomi (Autonomi) prinsi otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu
mampu berpikir logis dan mampu membuat keputusan sendiri. Orang dewasa mampu
memutuskan sesuatu dan orang lain harus menghargainya. Otonomi merupakan hak
kemandirian dan kebebasan individu yang menuntut pembedaan diri. Salah satu
contoh yang tidak memperhatikan otonomi adalah Memberitahukan klien bahwa
keadaanya baik, padahal terdapat gangguan atau penyimpangan
2. Beneficence (Berbuat Baik) prinsip ini menentut perawat untuk melakukan hal yang
baik dengan begitu dapat mencegah kesalahan atau kejahatan.
Contoh : perawat memberikan informasi tentang manfaat IMD dan manfaat
pemberian ASI eksklusif kepada klien ibu sedang hamil.
3. Justice (Keadilan) nilai ini direfleksikan dalam praktek professional ketika perawat
bekerja untuk terapi yang benar sesuai hukum, standar praktik dan keyakinan yang
benar untuk memperoleh kualitas pelayanan kesehatan.
Contoh : ketika perawat dinas sendirian dan ketika itu ada klien baru masuk serta ada
juga klien rawat yang memerlukan bantuan perawat maka perawat harus
mempertimbangkan faktor-faktor dalam faktor tersebut kemudian bertindak sesuai
dengan asas keadilan.
4. Non-maleficence (tidak merugikan) prinsi ini berarti tidak menimbulkan
bahaya/cedera fisik dan psikologis pada klien.
Contoh : perawat menolak membantu aborsi karena merasa tidak etis mengambil
nyawa janin tanpa ada alas an yang jelas dan dapat merugikan klien baaik secara fisik
maupun psikologis klien
5. Veracity (Kejujuran) nilai ini bukan cuman dimiliki oleh perawat namun harus
dimiliki oleh seluruh pemberi layanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran
pada setiap klien untuk meyakinkan agar klien mengerti. Informasi yang diberikan
harus akurat, komprehensif, dan objektif. Kebenaran merupakan dasar membina
hubungan saling percaya. Klien memiliki otonomi sehingga mereka berhak
mendapatkan informasi yang ia ingin tahu.
Contoh : Ny. S diprediksikan oleh dokter mendapatkan bayi kembar saat hamilnya,
namun saat kelahiran salah satu bayi tidak tertolong akibat jarak kelahiran yang
terlalu lama antara anak pertama dan anak kedua. Ny. S selalu bertanya-tanya tentang
keadaan kedua bayinya pasca melahirkan. Dokter berpesan kepada perawat untuk
belum memberitahukan kematian salah satu bayinya kepada klien perawat tidak
mengetahui alasan tersebut dari dokter dan kepala ruangan menyampaikan intruksi
dokter harus diikuti. Perawat dalam hal ini dihadapkan oleh konflik kejujuran.
6. Fidelity (Menepati janji) tanggung jawab besar seorang perawat adalah meningkatkan
kesehatan, mencegah penyakit, memulihkan kesehatan, dan meminimalkan
penderitaan. Untuk mencapai itu perawat harus memiliki komitmen menepati janji
dan menghargai komitmennya kepada orang lain.
Contoh : ketika seorang perawat membuat kontrak waktu atau sebuah janji kepada
seorang klien untuk memberikan obat penghilang rasa nyeri pada bagian abdomen
setelah dilakukannya operasi Caesar, maka perawat harus ingat terhadap janji yang
telah dibuatnya agar klien tetap memberi kepercayaan kepada perawat tersebut.
7. Confidentiality (Kerahasiaan) kerahasiaan adalah informasi tentang klien harus dijaga
privasi klien. Dokumentasi tentang keadaan kesehatan klien hanya bisa dibaca guna
keperluan pengobatan dan peningkatan kesehatan klien. Diskusi tentang klien diluar
area pelayanan harus dihindari.
Contoh : ketika ada salah satu kelurga pasien yang tidak bertanggung jawab atas
perawatan klien yang sedang di rawat menanyakan detail tentang penyakit yang
diderita oleh kliennya maka sikap seorang perawat harus dapat menjelaskan tentang
privasi pasien tersebut.
8. Accountability (Akuntabilitasi) akuntabilitas adalah standar yang pasti bahwa
tindakan seorang professional dapat dinilai dalam situasi yang tidak jelas atau tanda
tekecuali.
Contoh : perawat bertanggung jawab pada diri sendiri, profesi, klien, sesama teman
sejawat, karyawan, dan masyarakat. Jika perawat salah memberi tindakan kepada
klien perawat dapat digugat oleh klien yang menerima pelayanan, dokter yang
memberi tugas delegatif, dan masyarakat yang menuntut kemampuan professional.
Daftar Pustaka

Reeder, Martin., Koniak, Griffin. 2011.keperawatan Maternitas Kesehatan Wanitya Bayi dan
Keluarga. Vol.2. Jakarta. EGC.
http://warungbidan.blogspot.co.id/2016/09/fenomena-kehamilan-remaja-kehamilan.html
http://inirizamala.blogspot.co.id/2013/05/konsep-seksualitas-manusia.html
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/123/jtptunimus-gdl-dewicahyas-6103-2-babii.pdf
KEPERAWATAN MATERNITAS I

REMAJA

Disusun Oleh :

Tifany Amalia Amran

2016720103

3B

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

Anda mungkin juga menyukai